Pbl 20 Dari Idai
-
Upload
kiky-hetharie -
Category
Documents
-
view
173 -
download
13
Transcript of Pbl 20 Dari Idai
GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS
Mohammad Sjaifullah Noer
DEFINISI
Glomerulonefritis adalah suatu terminologi umum yang menggambarkan adanya
inflamasi pada glomerulus, ditandai oleh proliferasi sel-sel glomerulus akibat proses imunologik.
Istilah akut, misal glomerulonefritis akut (GNA), glomerulonefritis akut pasca Streptokokus
(GNAPS) secara klinik berarti bersifat temporer atau suatu onset yang bersifat tiba-tiba,
sedangkan secara histopatologik didapatkan leukosit polimorfonuklear dalam glomerulus.
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) ditandai oleh onset yang tiba-tiba
dari kombinasi gejala-gejala hematuria gros, sembab periorbita, dan hipertensi dengan torak sel
darah merah, serta adanya infeksi Streptokokus sebelumnya. GNAPS merupakan penyebab
terbanyak nefritis akut pada anak di negara berkembang, sedangkan di Negara maju terjadi
dalam laju prevalensi yang rendah dengan sekali-sekali timbul epidemi.
ETIOLOGI
GNA dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit yang heterogen, seperti misalnya
Nefropati IgA, Nefritis Henoch-Schonlein, Nefritis lupus, Vaskulitis ANCA (antineutrophil
cytoplasmic antibody), Glomerulonefritis karena virus (Hepatitis B, Hepatitis C, HIV), Nefritis
pirau, Glomerulonefritis mesangiokapiler dan GNAPS. Pembahasan dalam makalah ini hanya
difokuskan pada GNAPS. Istilah GNAPS berarti penyebabnya adalah Streptokokus β-
hemolitikus grup A. Untuk penyebab selain Streptokokus β-hemolitikus grup A, biasanya disebut
sebagai glomerulonefritis akut pasca infeksi.
PATOGENESIS
Mekanisme bagaimana terjadinya jejas renal (renal injury) pada GNAPS sampai sekarang
belum jelas benar, meskipun telah diduga terdapat sejumlah faktor host dan faktor kuman yang
berperan.
Faktor host
Fakta yang menunjukkan mengapa hanya 10-15% pasien yang terinfeksi kuman
Streptokokus grup A strain nefritogenik menderita GNAPS masih sulit dijelaskan; mungkin oleh
karena adanya faktor-faktor host tertentu yang berperan. GNAPS menyerang semua kelompok
umur dimana kelompok umur 5-15 tahun (di Indonesia antara umur 2,5-15 tahun, dengan puncak
umur 8,4 tahun) merupakan kelompok umur tersering dan paling jarang pada bayi. Anak laki-
laki menderita 2 kali lebih sering dibandingkan anak wanita. Rasio anak laki-laki dibanding anak
wanita adalah 76,4%:58,2% atau 1,3:1,6 GNAPS lebih sering dijumpai di daerah tropis dan
biasanya menyerang anak-anak dari golongan ekonomi rendah.
Faktor kuman
GNAPS berawal apabila host rentan yang terpapar kuman Streptokokus grup A strain
nefritogenik bereaksi untuk membentuk antibodi terhadap antigen yang menyerang. Tetapi apa
saja komponen antigen Streptokokus yang mampu memicu proses patologik terjadinya GNAPS
sampai sekarang belum dapat diidentifikasi dengan pasti, namun paling tidak telah diketahui 7
komponen antigen Streptokokus yang mungkin berperan, yaitu protein M, endostreptosin (pre-
absorbing antigen), cation icproteins, streptococcal pyrogenic exotoxin B, streptokinase,
neuramidase, dan nephritis-associated plasmin receptor (nephritis plasmin binding protein).
Kemungkinan besar lebih dari satu antigen yang terlibat, yang bekerja pada stadium yang
berbeda.
Mekanisme imunopatogenik terjadinya GNAPS
GNAPS adalah suatu penyakit imunologik akibat reaksi antigen-antibodi yang terjadi
dalami sirkulasi atau in situ dalam glomerulus. Proses inflamasi yang mengakibatkan terjadinya
jejas renal dipicu oleh:
1. Aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh streptokinase yang kemudian diikuti oleh
aktivasi kaskade komplemen
2. Deposisi kompleks Ag-Ab yang telah terbentuk sebelumnya ke dalam glomerulus
3. Ab antistreptokokus yang telah terbentuk sebelumnya berikatan dengan molekul tiruan
(molecul mimicry) dari protein renal yang menyerupai Ag Streptokokus (jaringan glomerulus
yang normal yang bersifat autoantigen bereaksi dengan circulating Ab yang terbentuk
sebelumnya untuk melawan Ag Streptokokus)
GEJALA KLINIK
Onset GNAPS biasanya berlangsung secara tiba tiba, terjadi 7-14 hari setelah anak
menderita faringitis atau infeksi saluran nafas atas, atau 3-6 minggu setelah infeksi kulit. Gejala
klinik biasanya berupa sindrom nefrotik akut, yang terdiri atas sekumpulan gejala berupa
hematuria gros, sembab periorbita, dan hipertensi dengan torak sel darah merah, proteinuria dan
oliguria.
Gejala overload cairan berupa sembab (85%), sedangkan di Indonesia 76,3% kasus
menunjukkan gejala sembab orbita dan kadang-kadang didapatkan tanda-tanda sembab paru
(14%), atau gagal jantung kongestif (2%). Hematuria mikroskopik ditemukan pada hampir
semua pasien (di Indonesia 99,3%). Hematuria gros ( di Indonesia 53,6%) terlihat sebagai urin
berwarna merah kecoklatan seperti warna coca-cola, tanpa disertai rasa sakit. Kebanyakan pasien
tampak pucat, akibat dilusi dan pembengkakan jaringan subkutan. Penurunan fungsi ginjal
biasanya ringan sampai sedang dengan meningkatnya kadar kreatinin (45%). Takhipnea dan
dispnea yang disebabkan kongesti paru dengan efusi pleura sering ditemukan pada pasien
glomerulonefritis akut. Takikardia, kongesti hepar dan irama gallop timbul bila terjadi gagal
jantung kongesti. Proteinuria (di Indonesia 98,5%) masanya bukan tipe proteinuria nefrotik.
Hipoalbuminemia tidak hebat, disebabkan karena efek dilusi ekspansi volume cairan
intravaskular. Gejala sindrom nefrotik dapat terjadi pada kurang dari 5% pasien. Hipertensi
ringan sampai sedang terlihat pada 60-80% pasien (di Indonesia 61,8%) yang biasanya sudah
muncul sejak awal penyakit. Tingkat hipertensi beragam dan tidak proporsional dengan hebatnya
sembab. Kadang-kadang terjadi krisis (hipertensi yaitu tekanan darah mendadak meningkat
tinggi dengan tekanan sistolik melampaui 200 mm Hg, dan tekanan diastolik lebih dari 120
mmHg. Sekitar 5% pasien rawat inap mengalami ensefalopati hipertensi (di Indonesia 9,2%),
dengan keluhan sakit kepala hebat, perubahan mental, koma dan kejang. Adanya anuria,
proteinuria nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal yang lebih parah, mungkin suatu
glomerulonefritis progresif cepat yang terjadi pada 1% kasus GNAPS.
PEMERIKSAAN
Urinalisis
Urine biasanya menjadi sangat berkurang, pekat dengan warna mulai dari kelabu
berkabut sampai merah coklat. Warna tersebut sebagai akibat degradasi hemoglobin menjadi
asam hematin. Proteinuria biasanya sesuai dengan tingkat hematuria dan berkisar antara seangin
sampai 2+ (sampai 100 mg/dl). Ekskresi protein jarang melebihi 2 g/m2 luas permukaan tubuh
per hari. Hampir 2-5% pasien glomerulonefritis akut pasca streptokokus menunjukkan
proteinuria masif dengan gambaran sindrom nefrotik.
Hematuria merupakan kelainan urine yang selalu ada. Torak eritrosit sebagai tanda
adanya perdarahan glomerulus kadang-kadang terlihat pada pemeriksaan urinalisis.
Darah
Anemia biasanya tampak sebagai anemia normokromik normositer, yang terjadi sebagai
akibat dilusi, dan retensi cairan. Komponen darah lainnya biasanya normal meskipun kadang-
kadang terlihat kenaikan jumlah sel darah putih. Beberapa pasien menunjukkan hipoproteinemia
dan hiperlipidemia (hiperkolesterolemi ringan).
Uji fungsi ginjal
Sebagian besar pasien GNAPS yang rawat inap menunjukkan kenaikan kadar BUN dan
keatinin serum. Sebagian pasien menunjukkan gejala uremia (di Indonesia 10,5%), dengan
asidosis metabolik dan hiperkalemia. Penurunan fungsi ginjal berkorelasi dengan parahnya jejas
glomerulus. Profil elektrolit biasanya normal. Hiperkalemia dan asidosis metabolik hanya terjadi
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berat.
Infeksi streptokokus
Bila tanda-tanda adanya infeksi Streptokokus secara langsung tidak didapatkan, uji
serologik dapat dipakai untuk membuktikan adanya respon imun terhadap antigen Streptokokus.
Kenaikan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO) terlihat dalam 10-14 hari setelah
terjadinya infeksi Streptokokus. Tetapi respon titer ASTO pada pasca infeksi kulit sangat rendah.
Hal tersebut disebabkan karena efek lemak kulit yang menghambat antigenisitas streptolisin O.
Sebaiknya dilakukan kombinasi dengan uji lainnya, seperti misalnya anti hyaluronidase dan anti
deoxyribonuclease B atau uji streptozyme yang meningkat pada infeksi Streptokokus tanpa
terpengaruh lokasi infeksi.
Uji imunologi
Yang penting dan paling konsisten pada glomerulonefritis akut pasca Streptokokus
adalah menurunnya kadar komplemen ketiga (C3). Kadar C3 menurun pada saat onset pada 80-
90% pasien dan akan kembali normal dalam 8-10 minggu setelah onset.
Pencitraan
Pada USG ginjal terlihat besar dan ukuran ginjal yang biasanya normal. Bila terlihat
ginjal yang kecil, mengkerut atau berparut, kemungkinannya adalah penyakit ginjal kronik yang
mengalami eksaserbasi akut. Gambaran ginjal pada USG menunjukkan peningkatan
echogenisitas yang setara dengan echogenisitas parenkhim hepar. Gambaran tersebut tidak
spesifik dan dapat ditemukan pada penyakit ginjal lainnya.
Pemeriksaan histologik
Biopsi ginjal dilakukan pada pasien-pasien yang mempunyai gejala-gejala klinik, uji
laboratorium, atau perjalanan penyakit yang tidak sesuai dengan lazimnya gambaran
glomerulonefritis akut pasca Streptkokus. Pada pasien tersebut, pemeriksaan histologik dengan
pemeriksaan mikroskop cahaya, imunofluoresent dan elektron mungkin akan dapat banyak
membantu. Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar pasien GNAPS.
KOMPLIKASI
Komplikasi akut yang paling sering adalah hipertensi dengan atau tanpa gejala sistem
saraf pusat. Sembab paru diderita oleh beberapa pasien akibat meningkatnya volume
intravaskular yang berlangsung pada awal penyakit. Gagal jantung kongestif dan miokarditis
jarang dijumpai. Azotemia yang menetap atau memburuk selalu merupakan masalah dan
merupakan gagal ginjal akut. Gagal ginjal akut dapat memberikan petunjuk adanya diagnosis
yang lain, seperti misalnya glomerulonefritis proliferasi membranosa, purpura Henoch
Schonlein, lupus eritematosus sistemik, atau GNAPS yang memburuk, seperti pada
glomerulonefritis progresif cepat.
TATA LAKSANA
Antibiotik
Antibiotik (penisilin atau eritromisin) selama 10 hari diperlukan untuk eradikasi
streptokokus. Beberapa klinisi memberikan antibiotik hanya bila terbukti ada infeksi yang masih
aktif.
Simtomatik
Pada kasus ringan, dapat dilakukan tirah baring, mengatasi sembab kalau perlu dengan
diuretik, atau mengatasi hipertensi yang timbul dengan vasodilator atau obat-obat anti hipertensi
yang sesuai. Pada gagal ginjal akut harus dilakukan restriksi cairan, pengaturan nutrisi dengan
pemberian diet yang mengandung kalori yang adekuat, rendah protein, rendah natrium, serta
restriksi kalium dan fosfat, kalau perlu dilakukan dialisis akut atau terapi pengganti ginjal.
Edukasi pasien
Pasien dan keluarganya perlu dijelaskan sifat penyakit, perjalanannya, dan prognosisnya.
Mereka perlu memahami bahwa meskipun kesembuhan yang sempurna diharapkan, masih ada
kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang menetap dan bahkan memburuk.
PROGNOSIS
Biasanya sembuh sempurna meskipun proteinuria memerlukan waktu 3-6 bulan untuk
menghilang dan sampai 1 tahun untuk hematuria. Hanya kurang dari 1% menjadi RPGN (rapidly
progressive glomerulunephritis, glomerulonefritis progresif cepat).
SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK
Mohammad Sjaifullah Noer
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit kronik yang sering dijumpai pada masa
kanak-kanak, dengan insiden antara 2-4 kasus dari setiap 100.000 anak dibawah 16 tahun setiap
tahunnya. Sedangkan Willa Wirya melaporkan 6 orang anak menderita sindrom nefrotik diantara
100.000 anak yang berusia dibawah 14 tahun per tahun di Jakarta.
Kelainan histopatologik yang terbanyak dijumpai pada sindrom nefrotik idiopatik pada
anak (lebih dari 80%) adalah tipe kelainan minimal. Sindrom nefrotik dapat menyerang semua
umur, tetapi terutama menyerang anak-anak yang berusia antara 2-6 tahun, anak laki-laki lebih
banyak menderita dibandingkan anak perempuan dengan rasio 3:2. Lebih dari 90% kasus
sindrom nefrotik adalah idiopatik, sedangkan sisanya adalah sindrom nefrotik sekunder yang
disebabkan oleh beragam penyakit, antara lain nefritis Henoch-Schonlein, Lupus Eritematosus
Sistemik, amyloidosis, dan sebagainya.
DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu:
1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik
Dimana dalam urin terdapat protein ≥40 mg/m2 lpb/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam, atau
rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg, atau dipstik ≥2+. Proteinuria pada
sindrom nefrotik kelainan minimal relatif selektif, yang terbentuk terutama oleh albumin.
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum <2,5 g/dl. Harga normal kadar albumin plasma pada anak dengan gizi baik
berkisar antara 3,6-4,4 g/dl. Pada sindrom nefrotik retensi cairan dan sembab baru akan
terlihat apabila kadar albumin plasma turun dibawah 2,5-3,0 g/dl, bahkan sering dijumpai
kadar albumin plasma yang jauh dibawah kadar tersebut.
3. Sembab
4. Hiperlipidemia
Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia (kolesterol serum lebih
dari 200 mg/dl).
GAMBARAN KLINIK
Pasien sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih
berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang disertai oliguria dan
gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya peritonitis. Infeksi saluran napas atas atau eksantema virus akan
memperberat episode awal atau relaps selanjutnya. Riwayat atopi terdapat pada 30-60% kasus.
Anamnesis riwayat keluarga menunjukkan bahwa 1-3% pasien mempunyai saudara yang juga
menderita sindrom nefrotik.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar
perut, dan tekanan darah. Berat badan sering akan membantu pemantauan penurunan sembab
pada relaps berikutnya. Pemeriksaan denyut jantung dan capillary filling time bermanfaat untuk
mengevaluasi intravascular volume status. Dalam laporan ISKDC (International Study of Kidney
Diseases in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20%
disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat
sementara.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED)
b. Kadar albumin dan kolesterol plasma
c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
d. Titer ASTO dan kadar komplemen C3 bila terdapat hematuria mikroskopis persisten
e. Bila curiga lupus eritematosus sistemik pemeriksaan dilengkapi dengan permeriksaan
kadar komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti-dsDNA
BIOPSI GINJAL
Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom nefrotik. Lebih
dari 80% anak dengan sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik kelainan minimal dengan ciri
khasnya berupa histologi ginjal yang normal pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya.
Sisanya berupa Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS, 7%), Glomerulonefritis
Mesangioproliferatif (GNMesP, 5%), Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP, 7%), dan
Glomerulonefropati membranosa (GNM, 1-2%).
Pasien yang menunjukkan gambaran klinik dan laboratorium yang tidak sesuai dengan
gejala kelainan niinimal, sebaiknya dilakukan biopsi ginjal sebelum terapi steroid dimulai (lihat
tabel 2). Biopsi ginjal umumnya tidak dilakukan pada sindrom nefrotik kambuh sering atau
dependen steroid (sebelum dimulainya terapi levamisol atau siklofosfamid) selama masih sensitif
steroid.
GAGAL GINJAL AKUT
Husein Alatas
DEFINISI
Gagal ginjal akut (GGA) adalah penurunan fungsi ginjal mendadak dengan akibat
hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Akibatnya terjadi
peningkatan metabolit persenyawaan nitrogen seperti ureum, kreatinin dan gangguan
keseimbangan cairan, elektrolit dan asam-basa. Dalam klinik, GGA bisa bersifat oligurik dan
non-oligurik.
GGA oligurik lebih banyak ditemukan dalam klinik. Batasan oliguria pada neonatus yaitu
jumlah urin <1 ml/kgBB/jam dan pada anak besar <0,5 ml/kgBB/jam. Pada GGA non-oligurik,
diuresis >1-2 ml/kgBB/jam.
Acute Kidney Injury (AKI)
Pada beberapa tahun terakhir ini istilah gagal ginjal akut (GGA) dianjurkan untuk diganti
dengan acute kidney injury (AKI) diterjemahkan dengan gangguan ginjal akut. Pergantian ini
bukan hanya istilah tetapi juga pergantian konsep yang mendasar dalam mendeteksi semua
tahapan gangguan ginjal. Hal ini ditetapkan oleh ADQI (Acute dialysis quality initiative) pada
tahun 2002.
Istilah AKI dilengkapi dengan berbagai faktor yang mempengaruhi tahapan GGA yang
disebut RIFLE (Risk-Injury-Failure-Loss-End stage renal disease).
Tahap Risk (RIFLE-R) contohnya bila produksi urin <0,5 ml/kg/jam selama 6 jam, pada
anak BB 20 kg = 10 ml/jam memberi arti adanya risiko terjadinya GGA. Biasanya GGA/AKI
pada tahap ini masih reversibel, hingga dapat dicegah penurunan fungsi ginjal lebih lanjut.
Tahap injury (I) telah terjadi kerusakan awal yang kalau tidak cepat ditangani bisa
menetap. Pada tahap ini sudah mulai timbul gejala klinik tetapi masih bisa terapi konservatif.
Tahap failure (F) sudah terjadi gagal ginjal dengan gejala klinik overhidrasi,
hiperkalemia, asidosis dan uremia dan sudah harus dilakukan dialisis.
Tahap loss (L) dan end stage renal disease (E) lebih menunjukkan ke arah prognosis,
oleh karena itu Acute kidney injury network (AKIN) pada tahun 2005 tidak memasukannya
dalam kriteria AKI karena tidak menunjukkan tahapan penyakit. Jadi kriteria AKIN untuk AKI
hanya dibagi 3, tahap I, II dan III. Pada kriteria AKIN pada tahap I ditambahkan kenaikan SKr ≥
0,3 mg/dl atau kenaikan 1,5-2 x kadar SKr sebelumnya. Tahap II = Injury dan tahap III = Failure.
KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI
Klasifikasi GGA berdasarkan etiologi dibagi menjadi 3 yaitu: prarenal, renal (intrinsik)
dan pasca renal.
Etiologi Prarenal
1. Hipovolemia karena:
Gastroenteritis dehidrasi
Perdarahan
2. Penurunan volume vaskuler efektif:
Sepsis akibat vasodilatasi
Luka bakar/trauma akibat pengumpulan cairan di ruang ketiga
Sindrom nefrotik akibat hipoalbuininemia dan edema
3. Penurunan curah jantung akibat:
Gagal jantung
Kardiomiopati
Pasca bedah jantung.
Etiologi Renal
1. Kelainan kongenital ginjal:
Agenesis ginjal
Ginjal polikistik
Ginjal hipoplastik-displastik
2. Glomerulonefritis (GN):
Glomerulonefritis akut (GNA) biasanya pasca Streptokokus.
GN kresentik idiopatik atau mengikuti penyakit sistemik antara lain sindrom Good
pasture, lupus eritematosus sistemik (LES)
3. Kelainan vaskuler ginjal:
Sindrom hemolitik uremik (SHU)
Trombosis arteri/vena renalis
Vaskulitis antara lain periarterilis nodosa, purpura Henoch Schonlein.
4. Nefritis interstisialis:
Obat antara lain metisilin
Infeksi antara lain malaria, leptospirosis
Pielonefritis
5. Kerusakan tubulus:
Tipe iskemik: GGA prarenal yang berlangsung lama
Tipe nefrotoksik:
Endogen : asam urat, mioglobulinuria, hemogloblinuria.
Eksogen : zat kontras radioopak, obat aminoglikosida.
Etiologi Pasca Renal
1. Kelainan kongenital saluran kemih :
Katub uretra posterior
Obstruksi ureter bilateral biasanya pada hubungan ureteropelvik atau ureterovesika
2. Uropati obstruktif didapat:
Batu, bekuan darah
Kristal asam jengkol, asam urat
Tumor.
Membedakan Gagal Ginjal Prarenal, Renal
Gagal ginjal prarenal perlu diantisipasi dini, karena dengan tindakan yang cepat dan
tepat, dapat mencegah terjadinya GGA renal (intrinsik). Demikian pula GGA pasca renal bila
didiagnosis dini dan dilakukan dekompresi cepat dapat mencegah terjadinya kerusakan ginjal
yang permanen.
Untuk mengetahui apakah GGA prarenal sudah berlanjut menjadi renal dapat dilakukan
pemeriksaan indeks urin dengan tujuan melihat integritas fungsi tubulus ginjal. Pada GGA
prarenal fungsi tubulus masih baik sehingga daya reabsorpsi natrium dan air masih baik. Hal ini
dapat dilihat dengan pemeriksaan indeks urin (tabel 1) dengan syarat diperiksa sebelum
diberikan obat diurerika.
Obstruksi saluran kemih perlu disingkirkan pada setiap GGA. Cara mengetahui adanya obstruksi
dengan cepat dan mudah adalah dengan dilakukan pemeriksaan USG untuk melihat adanya
pelebaran pelviokalises dengan atau tanpa pelebaran ureter. Bila perlu dilakukan pielografi
antegrad atau retrograd untuk lokalisasi obstruksi. Dilatasi sudah dapat terlihat 24-36 jam setelah
terjadi obstruksi.
Membedakan Gagal Ginjal Akut dan Kronik
GGA dan gagal ginjal kronik (GGK) atau GGK pada GGA (acute on chronic renal
failure) kadang-kadang sulit dibedakan. Pada pasien perlu dicari riwayat dan tanda/gejala
penyakit ginjal kronik:
riwayat menderita penyakit ginjal sebelumnya
adanya pasien penyakit ginjal herediter dalam keluarga antara lain sindrom Alport, ginjal
polikistik
adanya hambatan pertumbuhan
adanya retinopati hipertensif
gambaran osteodistrofi ginjal (rakitis atau osteitis fibrosa kistika)
pada USG ditemukan kedua ginjal kecil/ mengkerut.
PEMANTAUAN PADA GAGAL GINJAL AKUT RENAL
Bila pasien telah memasuki tahap GGA renal, perlu dilakukan pemantauan berkala untuk
melihat perubahan gejala klinik atau laboratorik yang dapat membahayakan jiwa dan
memerlukan tindakan segera, yaitu:
tanda-tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, ritme jantung
pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit
urinalisis dan pengukuran jumlah diuresis berkala
kadar ureum, kreatinin plasma
elektrolit: K, Na, Cl, Ca, P asam urat
analisis gas darah
protein dan albumin darah.
CHRONIC KIDNEY DISEASE
Nanan Sekarwana
DEFINISI
Definisi yang tercantum dalam clinical practice guidelines on CKD menyebutkan bahwa
seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah satu dari kriteria dibawah ini:
1. Kerusakan ginjal ≥3 bulan, yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi
ginjal dengan atau tanpa penurunan glomerular filtration rate (GFR), yang bermanifestasi
sebagai satu atau lebih gejala:
a. Abnormalitas komposisi urin
b. Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
c. Abnormalitas biopsi ginjal
2. GFR <60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥3 bulan dengan atau tanpa gejala kerusakan
ginjal lain yang telah disebutkan.
ANGKA KEJADIAN
Prevalens CKD pada anak dilaporkan kira-kira 18,5-58,3 per satu juta anak. Penelitian di
India melaporkan terdapat 5,3% anak dengan CKD yang terdapat di rumah sakit rujukan. Data
dari Itali menyebutkan insidens rata-rata 12,1 kasus per tahun pada populasi yang tergantung
umur (rentang usia 8,8-13,9 tahun). Di RSCM Jakarta dilaporkan 21 dari 252 anak yang
menderita gagal ginjal kronik antara tahun 1986-1988 adalah pasien GGK.
KLASIFIKASI
Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi awal
kerusakan ginjal dan tata laksana, serta untuk pencegahan komplikasi CKD.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang timbul pada CKD merupakan manifestasi:
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D.
4. Abnormalitas respon end organ terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan).
Pasien CKD menunjukkan keluhan non-spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang
nafsu makan, muntah, polidipsi, poliuria, dan gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan anak tampak pucat, lemah dan hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung bertahun-
tahun. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan keadaan-keadaan
seperti:
Gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan: hiperkalemia/hipokalemia,
hipernatremia/hiponatremia, dehidrasi.
Gangguan keseimbangan asam basa: asidosis metabolik.
Gangguan metabolism karbohidrat (hiperglikemi) dan lemak (hiperlipidemia).
Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat: hiperparatiroid sekunder, osteodistrofi ginjal,
rickets/osteomalasia, kalsifikasi jaringan lunak.
Gangguan metabolism hormon: anemia normokrom normositer hipertensi.
Gangguan perdarahan.
Gangguan fungsi kardiovaskular: perikarditis, toleransi miokard terhadap latihan rendah.
Gangguan jantung: kardiomiopati uremik, hipertrofi ventrikel kiri dan penebalan septum
interventrikular.
Gangguan neurologi: neuropati perifer,enselopati hipertensif dan retardasi mental.
Gangguan perkembangan seksual: keterlambatan pubertas.