Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas
-
Upload
fahmi-hidayati -
Category
Documents
-
view
306 -
download
6
description
Transcript of Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas
Patologi Sistem Imun
Reaksi Hipersensitivitas
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan
membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat
berlangsung dengan baik.
Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat
menyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitas
adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitas
terbagi menjadi empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksi
hipersensitif, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV..
Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena
terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan cara
ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun
normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel
plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel
mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase
sensitisasi). Karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada
kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30
menit hingga 10-20 jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi
antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan
reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi
tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan
dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan
menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan pelepasan mediator
inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil
serta menstimulasi terjadinya urtikaria, vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas
vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan menyebakan peningkatan
2
pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) and protein
(sitokin and enzim).
Mediator Primer :
- Histamine :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
- Serotonin :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
- ECF-A :Kemotaksis eosinofil
- NCF-A :Kemotaksis eosinofil
- proteases :Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung
− Mediator Sekunder :
- Leukotrienes :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
- Prostaglandins :Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi otot polos
- Bradykinin :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
- Cytokines :Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil
Gambar 1. Mekanisme Reaksi hipersensitivitas Tipe I
3
Reaksi ini dapat diperkuat dengan adanya PAF (Platelet Activator Factor),
yang menyebabkan agregasi platelet dan pelepasan histamin, heparin, dan amina
vasoaktif. Eosinofil dapat melepaskan berbagai enzim hidrolitik yang dapat
menyebabkan kematian sel, serta mengontrol pelepasan arylsulphatase, histaminase,
phospholipase-D dan prostaglandin-E, walaupun belum diketahui peran pasti dari
eosinofil.
Karakteristik dari IgE adalah kelabilannya bila terpapar panas dan
kemampuannya untuk menempel pada sel mast dan basofil. Hal ini dapat dilihat
bawha walaupun waktu paruh IgE adalah 2,5 hari, sel mast dan basofil dapat
tersensitisasi selama lebih dari 12 minggu karena tersensitisasi atopic serum yang
mengandung IgE.
Faktor pemicu reaksi alergi :
Defisiensi sel T
Penurunan jumlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah serum
IgE pada penyakit Eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi yang
disusui dengan ASI dan dengan susu bubuk.
Mediator feedback
Menurut penelitian, inhibisi reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom dan
aktivasi penahan sel T oleh histamine akan meningkatkan jumlah IgE
Faktor lingkungan
Polutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas
mukosa sehingga meningkatkan pemasukkan antigen dan respos IgE
Dampak yang muncul akibat hipersensitivitas tipe 1 ada 2, yaitu :
1. Anafilatoksis lokal ( alergi atopik )
Terjadi karena adanya alergen yang masuk ke tubuh dan gejalanya tergantung
dari tipe alergen yang masuk, misalnya :
a. batuk, mata berair, bersin karena alergen masuk ke saluran respirasi
(alergi rhinitis) yang mengindikasikan aksi dari sel mast. Alergen
biasanya berupa : pollen, bulu binatangm debu, spora.
b. Terakumulasinya mucus di alveolus paru-paru dan kontraksi oto polos
kontraksi yang mempersempit jalan udara ke paru-paru sehingga
4
menjadi sesak, seperti pada penderita asma. Gejala ini dapat menjadi
fatal bila pengobatan tertunda terlalu lama
c. Kulit memerah atau pucat, gatal (urticaria) karena alergi makanan.
Makanan yang biasanya membuat alergi adalah gandum, kacang tanah,
kacang kedelai, susu sapi, telur, makanan laut
2. Anafilatoksis sistemik
Dampak ini disebabkan karena pemaparan alergen yang menyebabkan respon
dari sel mast yang banyak dan cepat, sehingga mediator-mediator inflamasi
dilepaskan dalam jumlah yang banyak. Gejalanya berupa sulit bernafas karena
kontraksi otot polos yang menyebabkan tertutupnya bronkus paru-paru,
dilatasi arteriol sehingga tekanan darah menurun dan meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan tubuh keluar ke jaringan.
Gejala ini dapat menyebabkan kematian dengan hitungan menit karena
tekanan darah turun drastis dan pembuluh darah collapse (shock anafilatoksis).
Alergen dapat biasanya berupa penisilin, antisera, dan racun serangga dari
lebah
Usaha penanganan dan pengobatan apabila terserang reaksi hipersensitivitas tipe I
adalah sebagai berikut :
1. anafilatoksis lokal
a. menghindari alergen dan makanan yang dapat menyebabkan alergi
b. Bila alergen sulit dihindari (seperti pollen, debu, spora, dll) dapat
digunakan antihistamin untuk menghambat pelepasan histamine dari
sel mastosit., seperti Chromolyn sodium menghambat degranulasi sel
mast, kemungkinan dengan menghambat influks Ca2+. Bila terjadi
sesak nafas pengobatan dapat berupa bronkoditalor (leukotriene
receptor blockers,seperti Singulair, Accolate) yang dapat merelaksasi
otot bronkus dan ekspektoran yang dapat mengeluarkan mucus
c. Injeksi alergen secara berulang dapar dosis tertentu secara subkutan
dengan harapan pembentukan IgG meningkat sehingga mampu
mengeliminasi alergen sebelum alergen berikatan dengan IgE pada sel
mast. Proses ini disebut desensitisasi atau hiposensitisasi.
2. Anafilatoksis sistemik
5
Pengobatan harus dilakukan dengan cepat dengan menyuntikan epinefrin
(meningkatkan tekanan darah) atau antihistamin (memblok pelepasan
histamine) secara intravena.
Untuk mengetahui hal-hal yang dapat menginduksi reaksi alergi pada
seseorang dapat dilakukan tes kulit. Tes kulit dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
penyebab alergi. Test dilakukan dengan menginokulasi potensial alergen dan setelah
diinkubasi dalam kondisi sesuai (biasanya 24 jam) bila terjadi benjolan merah
menunjukkan respon positif. Respon terhadap alergen diukur untuk mengetahui
tingkat keparahan reaksi alergi yang ditimbulkan. Ilustrasi mengenai tes kulit dapat
dilihat pada gambar berikut :
Tes kulit untuk mengidentifiasi
allergen. Allergen tuberculin (A)
diinjeksikan secara subkutan. Bila terjadi
merah dan bengkak(B) berarti positif. Ukuran
dari respon diukur untuk
memperkirakan seberapa parah
alergi.(C) Pictures courtesy of
the Center for Disease Control and
Prevention.
Gambar 2. Tes Kulit Terhadap Alergen
Tidak semua respon positif ditunjukkan dengan respon atopik (merah dan
bengkak). Oleh karena itu, biasanya dilakukan pengukuran jumlah Ig E dengan
modification of enzyme immunoassay (ELISA) setelah penyuntikan alergen
Hipersensitivitas Tipe II
(Reaksi Sitotoksik Yang Memerlukan Bantuan Antibodi)
Penggolongan reaksi hipersensitivitas semula didasarkan atas perbedaan
mekanisme kerusakan jaringan yang diakibatkannya. Baik reaksi tipe II maupun
reaksi tipe III melibatkan IgG dan IgM. Perbedaannya adalah bahwa pada reaksi tipe
II antibodi ditujukan kepada antigen yang terdapat pada permukaan sel atau jaringan
6
tertentu, sedangkan pada reaksi tipe III antibodi ditujukan kepada antigen yang
terlarut dalam serum. Jadi pada reaksi tipe II, antibodi dalam serum bereaksi dengan
antigen yang berada pada permukaan suatu sel atau yang merupakan komponen
membran sel tertentu yang menampilkan antigen bersangkutan.
Seringkali suatu substansi berupa mikroba dan molekul-molekul kecil lain
atau hapten, melekat pada permukaan sel dan bersifat sebagai antigen. Pada umumnya
antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel bersifat patogenik, karena
kompleks antigen-antibodi pada permukaan sel sasaran akan dihancurkan oleh sel
efektor, misalnya oleh makrofag maupun oleh neutrofil dan monosit, atau limfosit T-
sitotoksik dan sel NK sehingga ada kemungkinan menyebabkan kerusakan sel itu
sendiri. Pada keadaan ini sulit membedakan antara reaksi imun yang normal dengan
reaksi hipersensitivitas.
Pada hipersensitivitas tipe II, mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
Gambar 3. Mekanisme yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe II
Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan
berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel
sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan
mengaktivasi komponen C1 komplemen. Konsekuensinya adalah:
a. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen
akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel
mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktivasi
sel efektor lain. Fagositosis terjadi dengan cara merusak patogen dalam
fagolisosom oleh kombinasi metabolit radikal, ion, enzim dan perubahan pH. Jika
target terlalu besar maka lisosom dieksositosis.
7
b. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d
pada membran sel sasaran. Sensitisasi sel target untuk interaksi dengan sel efektor
(makrofag, neutrofil) yang membawa reseptor untuk aktivasi komplemen. C3b
berikatan dengan sel target membentuk ikatan kovalen setelah putusnya ikatan
tiolester internal oleh C3 konvertase. C3b diinaktivasi oleh faktor I dan enzim
serum, C3d berikatan dengan sel target secara kovalen. C3b dan C3d dapat beraksi
sebagai struktur pengenalan untuk sel yang memiliki reseptor komplemen.
Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel yang memiliki reseptor Fc (makrofag,
eosinofil, neutrofil, sel K)
c. Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan
Membrane Attack Complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.
Sel-sel efektor, yaitu makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel NK, berikatan pada
kompleks antibodi melalui reseptor Fc atau berikatan dengan komponen komplemen
yang melekat pada permukaan sel tersebut. Pengikatan antibodi pada reseptor Fc
merangsang fagosit untuk memproduksi lebih banyak leukotrien dan prostaglandin
yang merupakan molekul-molekul yang berperan pada respon inflamasi. Sel-sel
efektor yang telah terikat kuat pada membran sel sasaran menjadi teraktivasi dan
akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran.
Isotip antibodi yang berbeda-beda mempunyai kemampuan yang tidak sama
dalam menginduksi reaksi ini, bergantung pada kemampuan masing-masing untuk
mengikat C1q atau kemampuan berinteraksi dengan reseptor Fc pada permukaan sel
sasaran. Fragmen-fragmen komplemen atau IgG dapat bertindak sebagai opsonin
yang melapisi permukaan sel pejamu atau mikroorganisme, dan fagosit akan menelan
partikel-partikel yang diopsonisasi. Dengan meningkatkan aktivitas lisosom dan
kemampuan makrofag untuk memproduksi ROI (reactive oxygen intermediates)
misalnya superoksida, opsonin tersebut bukan saja meningkatkan kemampuan fagosit
untuk menghancurkan pathogen, tetapi juga meningkatkan kemampuannya untuk
merusak sel atau jaringan sasaran. Mekanisme pengrusakan jaringan sel sasaran oleh
sel-sel efektor pada reaksi hiprsensitivitas tipe II, merefleksikan cara sel-sel itu
menyingkirkan patogen dalam keadaan normal.
Antibodi juga memperantarai hipersensitivitas dengan cara cross linking sel K
pada jaringan sasaran. Sel K terutama terdapat dalam populasi limfosit besar
bergranula (large granular lymphocytes ). Sel ini mengikat antibodi pada reseptor Fc
8
berafinitas tinggi yang terdapat pada permukaan selnya. Dari uraian tersebut jelas
bahwa reseptor Fc berfungsi sebagai jembatan antara sel efektor dengan sel sasaran.
Mekanisme sitolisis oleh sel efektor sebenarnya menggambarkan fungsi sel
efektor dalam keadaan normal bila menghadapi kuman patogen. Sebagian besar
kuman patogen di fagositosis dan dibunuh intralisosom, tetapi hal ini tidak mungkin
dilakukan terhadap sel sasaran yang berukuran besar. Karena itu pada keadaan ini,
fagosit atau sel efektor lain melepaskan mediator-mediator tertentu ke sekitarnya,
misalnya protease dan kolagenase yan mampu merusak sel sasaran. Mekanisme
sitolisis dengan bantuan antibodi yang dikenal sebagai ADCC bermanfaat untuk
membantu sel sitotoksik menghancurkan sel sasaran yang berukuran terlalu besar
untuk difagositosis. Selai itu mekanisme sitolisis dengan bantun anti bodi bermanfaat
untuk menghancurkan sel patologis, misalnya sel tumor, terutama apabila antibodi
yang terbentuk justru melindungi permukaan sel sasaran dari serangan sel T sitotoksik
secara langsung. Tetapi apabila immunoglobulin itu melapisi sel tubuh (self)
kemudian menyebabkan reaksi ADCC, maka sitolisis dalam hal ini merugikan.
Kepekaan berbagai jenis sel sasaran terhadap aksi pengrusakan oleh sel efektor
maupun oleh aktivasi komplemen berbeda-beda tergantung pada jumlah antigen pada
permukan sel sasaran, dan daya tahan sel sasaran terhadap pengrusakan. Sebagai
contoh: eritrosit mungkin dapat dihancurkan hanya oleh reaksi C5 pada satu tempat di
permukaan sel, tetapi untuk merusak sel berinti diperlukan interaksi pada banyak
tempat.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit seperti
yang terlihat pada reaksi transfusi, hemolytic disease of the newborn (HDN) akibat
ketidaksesuaian faktor resus (Rhesus incompatibility), dan anemia hemolitik akibat
obat serta kerusakan jaringan pada penolakan jaringan transplantasi hiperakut akibat
interaksi dengan antibodi yang telah ada sebelunya pada resipien. Reaksi terhadap
trombosit dapat menyebabkan trombositopenia sedangkan reaksi terhadap neutrofil
dan limfosit dihubungkan dengan lupus eritematosus sistemik (SLE).
a. Kerusakan pada eritrosit
Transfusi eritrosit kepada resipien yang mengandung antibodi terhadap
eritrosit yang ditransfusikan dapat menimbulkan reaksi transfusi. Jenis reaksi
tergantung pada kelas dan jumlah antibodi yang terlibat. Antibodi terhadap
eritrosit sistem ABO biasanya terdiri atas antibodi kelas IgM. Antibodi
9
golongan ini menimbulkan aglutinasi, aktivasi komplemen dan hemolisis
intravaskular. Sistem golongan darah yang lain menimbulkan pembentukan
antibody kelas IgG dan pada umumnya IgG akan melapisi eritrosit kemudian
menimbulkan reaksi tipe II. Mekanisme reaksi transfusi adalah
menghancurkan sel darah merah asing oleh sistem komplemen yang
distimulasi oleh IgG. Hal ini dapat menyebabkan hemoglobinuria.
Gambar 4. Reaksi Transfusi
Hal serupa terjadi pada HDN (Hemolytic Disease oh the Newborn) dimana
immunoglobulin anti-D-IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta masuk
ke adalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosit janin
kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitask antibodi tipe II. HDN terjadi
apabila seorang ibu Rh (-) mengandung janin Rh (+). Sensitisasi pada ibu
umumnya terjadi saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak
timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya limfosit ibu akan
membentuk anti-D-IgG yang dapat menembus plasenta dan mengadakan
interaksi dengan faktor Rh pada permukaan eritrosit janin. Penanganannya
adalah dengan anti-Rh antibodi (Rhogam).
10
Gambar 5. Mekanisme HDN
Anemia Hemolitik Autoimun juga dapat dianggap reaksi hipersensitivitas
tipe II karena eritrosit yang dilapisi autoantibody lebih cepat dihancurkan oleh
fagosit. Hal yang sama terjadi pada anemia hemolitik, agranulositosis atau
purpura trombositopenia akibat obat. Pada kasus-kasus ini obat melekat pada
permukaan sel bersangkutan menyusun kompleks antigen yang dapat memicu
pembentukkan antibodi. Kompleks antigen-antibodi selanjutnya merangsang
reaksi hipersensitivitas tipe II.
b. Reaksi karena Obat
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul dalam berbagai bentuk:
1. Obat melekat pada eritrosit kemudian dibentuk antibodi terhadap
obat. Dalam hal ini baik obat maupun antibodi harus ada untuk
menyebabkan reaksi.
2. Kompleks imun yang terdiri atas obat dan antibodimelekat pada
permukaan eritrosit. Kerusakan sel terjadi akibat lisis oleh
komplemen yang diaktivasi oleh kompleks antigen-antibodi
tersebut.
3. Obat menyebabkan reaksi alergi dan autoantibodi ditujukan kepada
antigen eritrosit sendiri.
Obat tampaknya membentuk suatu kompleks antigenik dengan permukaan
suatu elemen yang ada pada darah, dan merangsang pembentukan antibodi
yang bersifat sitotoksik bagi kompleks obat-sel itu. Bila obat dihentikan
kepekaan itu akan hilang tidak lama kemudian. Sebagai contoh mekanisme ini
11
telah ditentukan pada anemia hemolitik yang kadang-kadang dihubungkan
dengan pemakaian terus-menerus klorpromazin atau fenasetin, pada
agranulositosis yang dihubungkan dengan pemakaian amidopirin atau
quinidine dan pada keadaan klasik purpura trombositopenia yang mungkin
disebabkan oleh sedormid, serum segar yang diambil dari penderita dapat
melisiskan trombosit, sedang tanpa sedormid hal ini tidak akan terjadi;
pemanasan sebelumnya pada suhu 56oC selama 30 menit akan menjadikan
komplemen tidak aktif dan menghilangkan efek tersebut.
Selain reaksi tipe II, reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul
sebagai reaksi anafilaktik apabila melibatkan IgE, reaksi tipe III bila obat
berinteraksi dengan protein, atau reaksi tipe IV pada obat yang digunakan
topikal.
c. Kerusakan pada Leukosit dan Platelet
Hal ini terjadi karena adanya autoantibodi untuk neutrofil dan limfosit,
contohnya pada Lupus (SLE). Autoantibodi pada platelet terjadi 70% dari
kasus purpura trombositopenia idiopatik yaitu kelainan dimana terjadi
peningkatan pembuangan platelet dari sirkulasi. Autoantibodi pada fosfolipid
dapat mencegah penutupan luka. Trombositopenia juga dapat diinduksi oleh
obat.
d. Kerusakan jaringan transplantasi
Reaksi penolakan jaringan transplantasi secara hiperakut mungkin terjadi
apabila resipien sebelumnya pernah terpapar pada antigen jaringan
transplantasi tersebut sehingga sudah ada sensitisasi sebelumnya dan resipien
telah mengandung antibodi terhadap antigen jaringan transplantasi
bersangkutan. Reaksi hiperakut dapat terjadi dalam waktu singkat, yaitu
beberapa menit hingga 48 jam setelah tindakan transplantasi selesai. Antibodi
yang terdapat dalam darah resipien dapat segera bereaksi dengan antigen yang
terdapat pada permukaan jaringan transplantasi. Reaksi yang paling hebat
disebabkan antibodi sistem ABO karena banyak jaringan mengandung antigen
ABO. Kerusakan terjadi karena antibodi dan aktivasi komplemen dalam
pembuluh darah yang menyebabkan rekruitmen dan aktivasi neutrofil dan
12
trombosit. Mungkin juga antibodi yang terlibat adalah antibodi terhadap
antigen MHC kelas I, bila sebelumnya resipien pernah terpapar pada jaringan
transplantasi yang tidak sesuai (inkompatibel).
Reaksi ini terjadi pada transplantasi yang mengalami revaskularisasi
segera setelah transplantasi, misalnya transplantasi ginjal. Dalam waktu 1 jam
setelah revaskularisasi tampak infiltrasi neutrofil secara ekstensif dan disusul
oleh kerusakan pembuluh darah glomerulus dan pendarahan. Deposit trombus
terdapat dalam arteriol dan jaringan transplantasi mengalami kerusakan
irreversibel. Faktor utama yang berperan dalam kerusakan jaringan adalah
neutrofil dan trombosit yang berinteraksi dengan sel-sel melalui reseptor Fc,
C3b dan C3d. Sel-sel itu melepaskan berbagai mediator, misalnya
superoksida, enzim dan vasoactive amine, sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler dan kerusakan jaringan setempat.
Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karena
patogenesisnya adalah antibodi tubuhnya sendiri. Usaha penanganan yang dilakukan
untuk penderita reaksi hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan mengendalikan gejala
saja.
Hipersensitivitas Tipe III ( Reaksi Kompleks Imun )
Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen, tetapi
dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan secara efektif
oleh jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun
menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar
dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1) Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody
yang lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat
mengendap di berbagai jaringan.
2) Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi
secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.
3) Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru –
paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.
13
Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang
pembentukan antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya
pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tpe III, antibodi
bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen antibodi yang
akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan
pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan
akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak proses itu juga
merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim
proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim pembentuk kinin. Apabila
kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses diatas bersama–sama
dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks.
Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler twisty (glomeruli ginjal, kapiler
persendian).
Gambar 6. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja
bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada
perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana antibodi
berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibodi,
14
kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang
ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN, agregasi
trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan edema. Reaksi
ini disebut Reaksi Arthus.
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine atau
mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local. Dalam
suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang larut
dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di berbagai jaringan
diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti pada glomerulo-
nefritis dan arthritis. Tempat pengendapan kompleks yang berbeda dapat
memunculkan manifestasi klinis yang berbeda pula.
Meskipun demikian, pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi
inflamasi sistemik seperti:
1. Demam, nyeri, malaise
2. Gatal, edema
3. Pengurangan komplemen di dalam darah
4. Glomerulonephritis (ginjal)
5. Arthritis (persendian)
6. Rheumatik penyakit jantung
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
A. Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai
ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat disingkirkan
oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil
dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu. Ada dugaan bahwa efek
genetic yang memudahkan produksi antibody dengan afinitas rendah dapat
menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran kecil, sehingga individu
bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks imun.
B. Kelas imunoglobulin
Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas
immunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada
eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak demkian
halnya dengan IgA yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan dapat
15
disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan dalam
berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.
C. Aktivasi Komplemen
Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah
berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen
melalui jalur klasik dapat mencegah penegendapan kompleks imun karena C3b
yang terbentuk dapat menghambat pembentukan kompleks yang besar. Kompleks
yang terikat pada C3b akan melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu
dibawa ke hepar mana kompleks itu dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini
terganggu, misalnya pada defisiensi komplemen, maka kompleks diatas akan
membentuk kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan ia terperangkap
diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa kompleks imun yang
paling merusak apabila ia mengendap atau terperangkap dalam jaringan.
D. Permeabilitas pembuluh darah
Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas
vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, diantaranya oleh peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal yang
berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya
komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit yang dapat memberikan
kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vascular.
E. Proses hemodinamik
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan
tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap
dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam
dinding percabangan arteri dan ditempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pada
pleksus choroids dimana tempat turbelensi.
F. Afinitas antigen pada jaringan
Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat – tempat
tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan kompleks imun adalah ginjal.
Pada arthritis rheumatoid kompleks imun lebih suka mengendap dalam sendi dan
walaupun selalu ada kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap di ginjal.
Hal ini ditentukan oleh afinitas antigen terhadap organ tetentu.
Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
16
1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu lama
2. Infusi intravena obat antigenik
3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)
4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam rematik)
5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus erythematosis
-SLE) : sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai senyawa asing dan
membuat anti-nuclear antibodies (ANA); kompleks Ag/Ab terdeposit pada
dinding pembuluh (vasculitis) pada:
− Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia
− Ginjal
− Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala
(Canis lupus)
− Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada
Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Obat anti-inflamasi\antihistamin
2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan
antitoksin.
Hipersensitivitas tipe IV (Delayed hypersensitivity)
Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini dimediasi oleh
antibodi, tetapi dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen.
Memerlukan waktu sekitar 2-3 hari untuk berkembang.
Type Reaction
time
Clinical
appearance Histology Antigen and site
Contact 48-72 hr eczema
lymphocytes,
followed by
macrophages;
edema of
epidermis
epidermal (
organic
chemicals, poison
ivy, heavy
metals, etc.)
17
Tuberculin 48-72 hr local
induration
lymphocytes,
monocytes,
macrophages
intradermal
(tuberculin,
lepromin, etc.)
Granuloma 21-28
days hardening
macrophages,
epitheloid and
giant cells,
fibrosis
persistent antigen
or foreign body
presence
(tuberculosis,
leprosy, etc.)
persensitivitas Tipe III
lper CD4+ mengenali antigen yang
aupun tipe 2. sel penyaji antigen dalam
IL-12 (bekerja menstimulasi proliferasi
ensekresi IL-2 dan interferon γ, untuk
ini akan memediasi respon imun. Sel T
akrofag memproduksi
enzim hidrolitik, sehingga dengan adanya pa an membentuk sel
raksasa
Gambar 7. Mekanisme Reaksi Hi
Sel T sitotoksik CD8+ dan sel T he
membentuk kompleks dengan MHC tipe 1 at
reaksi ini adalah makrofag, yang mensekresi
dari sel T CD4+). Sel T CD4+ ini akan m
menginduksi pelepasan sitokin tipe 1. Sitokin
CD8+ yang aktif akan menghancurkan sel target, sedangkan m
thogen intraselular, ak
multinukleus.
Reaksi ini dapat terjadi karena :
rusaknya sel atau jaringan akibat penyakit tertentu, seperti TBC, lepra, cacar
air, candidiasis, histoplasmosis
reaksi akibat pengujian pada kulit
kontak dengan tanaman penyebab dermatitis, contohnya poison ivy
18
diabetes tipe 1 dimana CTL menghancurkan sel penghasil insulin
sklerosis ganda dimana simfosit T dan makrofag mensekresikan sitokin untuk
menghancurkan lapisan myelin pada serabut saraf neuron
adanya reaksi penolakan pada proses transplantasi organ sebagai akibat dari
upresan seperti syklosporin A atau FK-506
(T r nsplantasi
or n it T dengan
m
kortik
kerusakan CTL dari sel pendonor atau sel penerima
Pengobatan menggunakan imunos
ac olimus) dilakukan untuk menahan reaksi penolakan pada proses tra
ga . Kedua obat ini menghalangi proliferasi dan diferensiasi limfos
enghambat proses transkripsi IL-2. pengobatan dapat pula menggunakan
osteroid.
Comparison of Different Types of hypersensitivity
characteristic type-I
(anaphylactic)
type-II
(cytotoxic)
type-III
(immune
complex)
type-IV (delayed type)
Antibody IgE IgG, IgM IgG, IgM None
Antigen
exogenous cell surface Soluble tissues & organs
Response time 15-30 minutes minutes-hours 3-8 hours 48-72 hours
Appearance weal & flare lysis and necrosis erythema and
ede sis
erythema and
induration
Histology eosinophil
an
complement
com d
neutrophils
monocytes and
lymphocytes
Transferred
Examples
allergic
asthma, hay fetalis,
nephritis
SLE, farm g tube
i
ma, necro
plement anbasophils and tibody and
with antibody Antibody Antibody T-cells
fever
erythroblastosis
Goodpasture's
er's lun
disease
rculin test, poison
vy, granuloma
19
Pustaka Boedina, Siti. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi 3, 1996.
Roitt, Ivan, Jonathan Brostoff, David Male.1989. Immunology. Second ed. Ney York:
Harper&Row Publishers Inc. Bab 19 – bab 22.
http://en.wikiped hyperse y
http://www.cehs.siu.edu/fix/medm
http://www.maxanim.com/immunology/IgE%20Mediated%20(Type%20I)%20Hyper
sensitivity/IgE%20Mediated%20(Type%20I)%20Hypersensitivity.htm
icro.med.sc.edu/ghaffar/hyper00.htm
http://w ogle&rid=imm.section.1756
sp?did=767
/unit2/bacpath
Fakultas kedokteran UI
ia.org/wiki/ nsitivit
icro/hyper.htm
http://pathm
http://student.ccbcmd.edu/courses/bio141/lecguide/unit5/hypersensitivity/type4/type4.
html
http://www.eyepathologist.com/disease.asp?IDNUM=331580
ww.ncbi.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?indexed=go
http://www.virtualbloodcentre.com/diseases.a
http://student.ccbcmd.edu/courses/bio141/lecguide
20