Obesitas 2 & Sindrom Metabolik
-
Upload
paul-wendy-dasilva -
Category
Documents
-
view
24 -
download
0
description
Transcript of Obesitas 2 & Sindrom Metabolik
Obesitas Tipe 2 dengan Sindrom Metabolik
Wendy Yudija Limbong Allo102012312
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida [email protected]
Pendahuluan
Semua manusia yang ada pasti membutuhkan energi dalam beraktivitas, energi yang
dibutuhkan adalah terutama karbohidrat, protein, dan lemak serta komponen-komponen lain
yang berperan serta. Bila energi yang masuk tidak seimbang dengan yang dikeluarkan dalam
tubuh, maka energi tersebut terakumulasi dan akan menjadi suatu lemak yang menumpuk di
tubuh, yang biasa akan menumpuk pada abdomen pada laki-laki atau panggul pada wanita.
Penumpukan lemak ini disebut juga obesitas.
Terdapat juga obesitas yang disertai peningkatan gula darah (resistensi insulin), tekanan
darah yang tinggi, LDL yang tinggi, HDL yang rendah dan trigliserida yang tinggi (dislipidemia),
yang disebut sebagai sindroma metabolik. Etiologi dari sindroma metabolik ini sendiri
bermacam-macam diantaranya adalah pola hidup yang tidak sehat dan juga dari genetik dari
orang tua. Sindroma metabolik atau juga disebut sindroma X ini juga bertanggung jawab atas
peningkatan kematian akibat penyakit-penyakit kardiovaskular, sehingga memerlukan intervensi
modifikasi gaya hidup yang ketat dan intensif.
Modifikasi gaya hidup ini pun meliputi aktivitas fisik yang teratur, pola makan yang sehat
serta terjaga, dan juga terdapat obat-obatan yang dipakai pada obesitas yang berat.
Anamnesis
Berdasarkan kasus, pasien adalah Laki-laki 45 tahun bekerja sebagai guru yang datang
dengan maksud untuk menurunkan berat badannya. Berdasarkan dari anamnesis yang perlu
ditanyakan diantaranya:
Apakah ada anggota keluarga lain yang overweight?
Apakah ada riwayat keluarga dengan diabetes?
1 | P a g e
Apakah pasien memiliki penyakit diabetes?
Apakah pasien memiliki tekanan darah tinggi?
Apakah pasien sedang mengkonsumsi obat hormone tiroid?
Apakah ada kenaikan 20 kg sejak berusia 20 tahun?
Apakah pasien olahraga teratur?
Apakah pasien memiliki penyakit batu pankreas?
Apakah sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu?
Apakah sekarang sedang stress atau banyak tekanan?
Dari pertanyaan diatas sudah bisa mengarahkan perkembangan obesitas dari pasien, apa yang
telah terjadi pada pasien, dan bagaimana keberhasilan dan kegagalan usaha mereka. Riwayat
keluarga penting untuk mengidentifikasi tipe dari obesitas dan kemungkinan ditemukannya
kelainan genetic yang langka. Untuk informasi kenaikan berat badan berguna untuk menetukan
resiko komplikasi kedepannya.1,2
Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan fisik, ada beberapa pemeriksaan yang penting dalam menetukan derajat
keparahan maupun menetukan resiko-resiko obesitas kedepannya.
1. Tanda-tanda vital
Para perawat dan dokter seharusnya dapat memeriksa tanda-tanda vital, dalam hal ini
diantaranya tekanan darah, denyut nadi, pernapasan dan suhu.1
2. Antropometri
Pemeriksaan antropometri meliputi; tinggi badan, berat badan, lingkar perut, lingkar
pinggang dan lingkar panggul
3. Indeks Massa Tubuh (IMT) / Body Mass Index (BMI)
IMT dihitung dengan pembagian berat badan (kg) oleh tinggi badan (m) pangkat dua.
Kini IMT banyak digunakan di rumah sakit untuk mengukur status gizi pasien karena
IMT dapat memperkirakan ukuran lemak tubuh yang sekalipun hanya estimasi tetapi
lebih akurat daripada pengukuran berat badan saja. Di samping itu, pengukuran IMT
lebih banyak dilakukan saat ini karena orang yang kelebihan berat badan atau yang
gemuk lebih berisiko untuk menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke,
hipertensi, osteoarthritis dan beberapa bentuk penyakit kanker. Namun, The National
2 | P a g e
Institute of Diabetes and Digestive and kidney Diseases mengingkatkan bahwa orang
yang berotot dan bertulang besar dapat memiliki IMT yang tinggi tetapi tetap sehat.
Begitu pula orang berusia lanjut, orang dengan massa otot yang rendah dan pasien
malnutrisi bisa memiliki IMT yang normal tetapi tidak tepat. Berikut ini adalah rumus
untuk menghitung IMT.3 Penghitungan IMT dapat dicari melalui rumus, berikut adalah
rumusnya: IMT = Berat badan (Kg)/ (Tinggi badan)2
Ini adalah tahap pertama dalam mentukan resiko-resiko yang akan dihadapi oleh
pasien. Nilai IMT ini mempunyai curva relasi terhadap resiko-resiko tertentu, dan
beberapa level dari resiko tersebut dapat diindentifikasi menggunakan IMT tersebut.1,2
4. Rasio Pinggang : Panggul / Waist to Hip Ratio (WHR)
Rasio pi-pa diukur dengan mula-mula mengukur lingkar pinggang (perut) pada lingkaran
terkecil di atas panggul. Kemudian, lingkaran panggul diukur lewat tonjolan gluteus yang
paling maksimal. Hasil kedua pengukuran ini kemudian digambar pada nomogram dan
letakkan hasil pengukuran lingkaran pinggang pada skala di sebelah kiri, sementara
hasil pengukuran lingkaran panggul pada skala di sebelah kanan. Hubungkan kedua
hasil pada skala tersebut dengan garis lurus yang akan memotong garis AGR/ WHR
(abdominal-gluteal ratio atau waist to hip ratio) yang terletak di antara kedua skala.
Rasio pi-pa (WHR) yang sebesar 1,0 atau kurang bagi laki-laki dan 0,8 atau kurang bagi
wanita merupakan nilai normal.3
Pengukuran lingkar perut (waist circumference) kini menjadi metode paling populer
kedua (sesudah IMT) untuk menentukan status gizi. Cara pengukuran lingkaran perut ini
dapat dapat membedakan obesitas menjadi jenis abdominal (obesitas tipe android) dan
perifer (obesitas tipe ginoid). Pasien dengan obesitas abdominal yang merupakan faktor
risiko untuk berbagai penyakit metabolik, vaskuler dan degeneratif memiliki lingkaran
perut yang lebih besar dari normal. Untuk diagnosis obesitas abdominal, lingkaran perut
bagi wanita Asia adalah ≥ 80 cm dan bagi pria Asia adalah ≥ 90 cm.3
Dan pada pemeriksaan fisik secara umum, hasil yang didapati adalah sebagai berikut;
TD:130/90mmHg, TB 150cm, BB 80kg, Lpe 95cm, Lpa 105cm.
Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan kriteria sindrom metabolik, maka pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan
antara lain:
3 | P a g e
Resistensi Insulin
Glukosa darah puasa (normal < 110 mg/ dl)
Mikroalbuminuria (rasio albumin / kreatinin)
Profil Lipid :
Kolesterol total (normal <270 mg/ dl)
Kolesterol HDL (normal > 45 mg/ dl)
Kolesterol LDL (normal < 100 mg/ dl)
Trigliserida (normal < 150 mg/ dl)
Pemeriksaan lain juga bisa dilakukan seperti pemeriksaan TSH, PSA, mamografi, USG pada
kandung empedu.1
Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 12%, GDP 100 mg/dL, kolesterol 130 mg/dL, trigliserid 180
mg/dL, HDL 30 mg/dL, LDL 100 mg/dL.
Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik (sering juga disebut syndrome X atau insulin resistance syndrome)
merupakan istilah yang digunakan ketika seorang pengidap obesitas telah memiliki 3 dari 5
faktor risiko. Kelima faktor risiko ini dapat dilihat pada Tabel 5 Kriteria sindrom metabolik.7
Meskipun banyak faktor diyakini terlibat, penyebab sindrom metabolik belum
sepenuhnya terkuak. Fakotr-faktor yang terbukti berpengaruh pada resistensi insulin ini,
meliputi (1) faktor genetik, (2) penggunaan karbohidrat dan gula secara berlebihan, (3)
penggunaan asam lemak jenuh yang berlebihan, sementara asam lemak esensial terlalu
sedikit, (4) ketidakseimbangan antara kalsium dan magnesium, (5) penggunaan stimulant dan
obat tertentu, serta (6) stres.5
Bukti campur tangan komponen genetik diperoleh berdasarkan hasil kajian keluarga
yang menunjukkan bahwa komponen sindrom metabolik sangat mungkin dimiliki seorang
pengidap obesitas jika orang tuanya merupakan penyandang diabetes, hipertensi, atau
keduanya. Prevalensi kembar monozigot dalam menampakkan komponen sindrom ini lebih
tinggi ketimbang kembar dizigot.
Karbohidrat adalah penyumbang kelimpahan insulin, terutama akibat penggunaan
refined sugar secara berlebihan dalam jangka panjang. Kelimpahan asam lemak jenuh,
khususnya ketakselarasan perbandingan antara asam-asam lemak bebas (omega 3 dan omega
4 | P a g e
6), mengakibatkan kelainan membrane sel yang pada akhirnya menghambat masuknya molekul
glukosa ke dalam sel.
Magnesium ialah mineral yang banyak berperan dalam berbagai kegiatan metabolik,
seperti relaksasi otot dan saraf, pencernaan lemak, aktivitas normal kelenjar tiroid, penurunan
kadar kolesterol, dan lain-lain. Terkikisnya magnesium langsung memicu konstriksi pembuluh
darah, mengakibatkan peninggian tekanan darah serta perangsangan sistem saraf secara
berlebihan. Magnesium juga merupakan komponen penting dalam pembentukan insulin, di
samping insulin itu sendiri berperan aktif dalam proses ambilan (uptake) mineral ini ke dalam
sel. Resistensi insulin mengurangi penyerapan magnesium yang ikut memicu hiperaktivitas sel
yang pada gilirannya kelak akan menambah beban resistensi insulin. Kelebihan glukosa dalam
darah menyebabkan pertambahan ambilan kalsium ke dalam sel. Pertambahan ambilan
kalsium yang dibarengi pengurangan ambilan magnesium akan mengganggu keseimbangan
kalsium-magnesium. Dampak dari dominasi ion kalsium ialah perangsangan sel secara
berlebihan oleh kalsium, mengakibatkan hipersentivitas sel.
Stimulan, seperti kopi, teh, minuman ringan, alkohol, dan rokok, mampu meningkatkan
kadar gula darah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Alkohol memang mengandung
gula sehingga konsumsi minuman ini akan cepat sekali meningkatkan kadar gula darah.
Kandungan gula dalam minuman ringan akan segera meningkatkan sekresi insulin. Kopi dan
rokok akan merangsang kelenjar adrenal untuk menyekresikan adrenalinyang selanjutnya tentu
saja meningkatkan tekanan darah.
Selain itu masih ada obat lain yang mampu memperberat aresistensi insulin. Preparat
yang dimaksud adalah NSAID (nonsteroid anti-inflamation drug), steroid, diuretik, dan β-blocker.
NSAID mengacaukan keseimbangan prostaglandin dalam tubuh sehingga mengganggu
permeabilitas sel. Steroid mengganggu keseimbangan hormon-hormon alami tubuh dan
membuat orang menjadi agresif, si samping menggiatkan sistem saraf simpatis. β-blocker
meningkatkan defisiensi magnesium yang telah ada karena obat ini akan meningkatkan
ekskresi magnesium. Sementara itu, diuretik memperparah keadaan karena perangainya, yaitu
memicu ekskresi banyak mineral, salah satunya ialah magnesium, ketidakseimbangan kalsium-
magnesium merupakan salah satu dampak yang selalu dicemaskan.
Respon tubuh terhadap stres juga berupa peningkatan tekanan darh dengan begitu
cepat, respons ini sesungguhnya mempunyai tujuan yang sangat alami, yaitu berupa fight atau
5 | P a g e
flight. Jika stres berlangsung kronis, tekanan darah yang telah tinggi itu pun akan terus
bertahan tinggi selama stres tersebut belum teratasi.
Peran obesitas sentral dalam menumbuhkan sindrom metabolic tercantum pada kriteria
yang dipatok oleh NCEP/ ATP III maupun WHO. Meskipun nilai BMI subjek belum terekam
pada kriteria obesitas, ketidaknormalan ukuran lingkar pinggang telah terbukti kaitannya dengan
risiko hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dan sindrom metabolik. Lokasi jaringan lemak
menjadi faktor penentu prekembangan resistensi insulin. Massa lemak intraperitoneal
berkorelasi paling kuat dengan resistensi insulin, kadar VLDL dan apolipoprotein B, serta
produksi VLDL oleh hati.5,8
Meskipun obesitas bukanlah penyebab resistensi insulin (obesitas hanyalah salah satu
contributor bagi resistensi insulin), penanganan sindrom metabolik diarahkan pada penurunan
berat badan. Beberapa zat suplementer (vitamin dan mineral) terbukti berkhasiat memekakan
insulin, yaitu vitamin E, biotin, kalsium, kalium, kromium, magnesium, vanadium, dan seng. Di
samping itu, ada pula lemak tertentu yang dapat memperbaiki permeabilitas membran sel
terhadap insulin serta zat-zat gizi yang mengoptimalkan metabolisme glukoas, asam amino lain
yang masih terkait ialah glutathione dan L-arginin.5,8
Konsep penanganan sindrom metabolik adalah eliminasi faktor yang menyebabkan atau
melatarbelakangi sindrom ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian,
tahapan penanganan sindrom metabolik boleh diterjemahkan ke dalam lima tahap pereduksian
pengaruh resistensi insulin: (1) mengurangi asupan karbohidrat dan gula, (2) metabolic typing,
(3) mengembalikan keseimbangan asam lemak esensial, (4) mereduksi stress, dan (5) mulai
menggunakan suplemen.5
Pengurangan asupan gula berarti menyantap gula olahan (refined sugar), alkohol,
minuman ringan, stimulan, dan karbohidrat berindeks glikemis tinggi. Seluruh bahan berbasis
karbohidrat hendaknya diganti dengan sayur dan buah berindeks glikemik rendah.diet yang
mengandung 50-60% kalori dari karbohidrat merupakan anjuran baku bagi diabetes tipe 2 dan
pengidap sindrom metabolik. Penyeimbangan asam lemak esensial terbukti meningkatkan
asupan omega 3 secara bermakna, sementara metabolic typing berguna untuk menakar
kemampuan genetik diabetes dalam memproses glukosa. Pemberian suplemen berguan untuk
menggenapkan kekurangan elemen kelumit utamanya, berperan dalam pemekaan insulin.5
6 | P a g e
Dosis suplementasi kalsium ditakar sebanyak 600 mg/hari, kromium dibatasi sekitar
400-800 ug/hari, magnesium ditetapkan sebesar 200-400 mg/hari, vanadium hanya 5 mg/hari,
dan seng cukup 30 mg/hari. Sementara itu, suplementasi asam eikosapentanoat
(eicosapentanoic acid, EPA) dianjurkan sebanyak 3-6 g/hari dalam dosis terbagi, konjugat asam
linoleat sebesar 2 g tiga kali sehari yang diminum saat makan, asam lipoat 300-1200 mg/hari
dalam dosis terbagi, koenzim Q10 100 mg/hari, L-karnitin dan taurin masing-masing 500 mg 2
kali sehari. Vanadil sulfat juga merupakan elemen kelumit yang terkait dengan pengaturan gula
darah.5
Kejadian di US, peningkatan obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom
metabolik. Prevalensi sindrom metabolik pada populasi > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia
50 tahun sebesar 45%. Pandemic sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan
peningkatan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi
yang dilakukan di Depok (2001) menunjukan prevalensi sindrom metabolik menggunakan
kriteria National Cholesterol EducationProgram Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III)
dengan modifikasi Asia Pasifik, terdapat 25,7% pria dan 25% wanita. Prevalensi sindroma
metabolik sebesar 13,3% dan menunjukan bahwa kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >
25 kg/m2 lebih cocok untuk diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian di DKI Jakarta pada
tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom metabolik yang tidak jauh berbeda dengan depok
yaitu dengan 26,3% dengan obesitas sentral merupakan komponen terbanyak (59,4%).5
NCEP/ATP III WHO
Tiga dari kriteria berikut Disglisemia [DM tipe 2, gula darah puasa
terganggu, TGT (toleransi glukosa
ternganggu), atau resistensi insulin] + 2 kriteria
berikut
Lingkar perut > 88 cm (perempuan) dan > 102
cm (laki-laki)
BMI > 30 dan/ atau rasio pi-pa > 0,9 (laki-laki)
dan > 0,85 (perempuan)
Trigliserida ≥ 150 mg/dL Trigliserida ≥ 150 mg/dL
HDL <40 mg/dL (L), <50 mg/dL (P) HDL <35 mg/dL (L), <39 mg/dL (P)
Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
Gula darah puasa ≥ 110 mg/dL Mikroalbuminuria (ekskresi albumin urin >20
7 | P a g e
ug/menit) dan rasio albumin /kreantinin ≥30
mg/g
Etiologi
Sindroma metabolik terdiri dari resistensi insulin/ hiperinsulinemia, intoleransi glukosa/
diabetes mellitus, dislipidemia, hiperurisemia, gangguan fibrinolisis, hiper-fibrinogenemia dan
hipertensi. Pada kebanyakan orang didapatkan sindroma metabolik terjadi akibat obesitas,
gangguan profil lipid (dislipidemia) dan hipertensi dengan meningkatkan faktor risiko untuk
kelainan kardiovaskular.6 Faktor lain pencetus sindrom metabolik yaitu:
1. Diet yang salah
Pada sindrom metabolik yang menjadi perhatian adalah bukan berapa banyak makanan
yang dimakan, tapi apa jenis makanan yang dimakan. Konsumsi makanan dengan tinggi
karbohidrat yang mengandung gula putih dan tepung terigu menyababkan terjadinya
sindrom metabolik dalam masyarakat modern sekarang ini.
2. Kelebihan berat badan
Sindrom metabolic lebih banyak ditemui pada orang dengan kelebihan berat badan,
dengan penimbunan lemak pada tubuh bagian atas. Jadi sindrom metabolic banyak
ditemui pada orang dengan bentuk tubuh seperti apel. Timbunan lemak pada daerah
aras tubuh mempermudah produksi hormone pria seperti androstenedione. Bila kadar
hormone tersebut meningkat maka dapat menyebabkan resistensi insulin.
3. Sindrom ovarium polikistik
Sindrom ini merupakan bentuk gangguan hormonal yang sering ditemui pada wanita,
diderita oleh 6-10% wanita premenopause. Pada keadaan ini produksi hormone wanita
meningkat, sehingga ovulasi dihambat. Karena ovulasi tidak terjadi, maka produksi
hormone wanita progesterone menjadi terhambat, menyebabkan gangguan menstruasi
dan infertilitas. Wanita dengan sindrom ovarium polikistik mempunyai tendensi
8 | P a g e
mengalami sindrom metabolic lebih besar, dan tujuh kali lebih sering mengalami
diabetes mellitus tipe 2, terutama jika ,mereka juga mengalami kelebihan berat badan.
4. Faktor Genetic
Bila diantara anggota keluarga mempunyai riwayat obesitas, diabetes mellitus tipe 2,
hipertensi, sindrom ovarium polikistik atau penyakit jantung, maka resiko untuk
mengalami sindrom metaboolik meningkat.
5. Fitness dan Exercise
Resistensi insulin lebih umum ditemui pada orang yang biasa hidup dengan cara
sedentary lifestyle dan tidak melakukan olahraga secara teratur. Kekurangan latihan
olahraga akan meningkatkan resiko sindrom metabolic sebanyak 20-25%. Meskipun
latihan olahraga teratur akan menurunkan resistensi insulin, manfaatnya akan hilang bila
latihan olahraga tersebut dihentikan. Merokok dapat sedikit meningkatkan resistensi
insulin, sedangkan minuman beralkohol 1-2 gelas/hari tidak meningkatkan tendensi
sindrom metabolic. 7,8\
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom
metabolic. Prevalensi sindrom metabolic pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada
usia > 50 tahun sebesar 45%. Pandemik sindrom metabolik berkembang seiring dengan
prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia. Penelitian Soegondo (2004) menunjukkan
bahwa kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >25 kg/m2 lebih cocok untuk diterapkan
pada orang Indonesia, dan pada penelitiannya didapatkan prevalensi sindrom metabolik adalah
13,13%. Penelitian lain yang dilakukan menunjukkan prevalensi sindrom metabolik
menggunakan kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III
(NCEP-ATP III) dengan modifikasi Asia, terdapat pada 25.7% pria dan 25% wanita.
Penelitian Sugondo (2004) melaporkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13 % dan
menunjukkan bahwa kriteria Indeks Masa Tubuh (IMT) obesitas > 25 kg/m2 lebih cocok untuk
diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian di DKI Jakarta tahun 2006 melaporkan prevalensi
sindrom metabolik yang tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3% dengan obesitas sentral
merupakan komponen terbanyak (59,4%). 6
Karbohidrat
9 | P a g e
Karbohdirat adalah sakarida yang tergabung dalam berbagai tingkat kompleksitas untuk
membentuk gula sederhana, serta unit yang lebih besar seperti oligosakarida dan polisakarida.
Fungsi utamanya adalah sebagai sumber energi dalam bentuk glukosa. Beberapa karbohidrat
tidak dapat dicerna (disebut non-glikemik) dan terdiri atas polisakarida nonpati yang merupakan
bagian dari serat makanan dan berperan dalam fungsi usus.9,10
Jika energi yang dibutuhkan sangat tinggi, sedangkan intake ataupun cadangan
karbohidrat berkurang, maka mekanisme tubuh adalah mengubah sumber-sumber
nonkarbohidrat seperti lemak menjadi glukosa. Kebutuhan tubuh terhadap karbohidrat sekitar
55-65% total kalori/ hari. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori.9,10
Lemak
Lemak meliputi beraneka ragam zat yang larut dalam lipid, sebagian besar merupakan
trigliserida atau triasilgliserol (TAG). Produk turunannya, seperti fosfolipid dan sterol (yang
paling terkenal adalah kolesterol) juga termasuk dalam kelompok ini. TAG dipecah untuk
menghasilkan energi dan menyusun cadangan energi utama bagi tubuh dalam jaringan
adiposa. Asam lemak spesifik yang terdapat dalam TAG penting bagi struktur dan fungsi
membrane sel, dan harus diperoleh dari diet. Asam lemak ini disebut asam lemak esensial.9,10
Fungsi lemak adalah sebagai sumber cadangan energi, komponen dari membrane sel,
insulator suhu tubuh, pelarut vitamin A, D, E, dan K. kebutuhan lemak oleh tubuh sekitar 20-
30% total kalori/ hari. Satu gram lemak menghasilkan 9 kalori.9
Protein
Protein terdiri atas berbagai rantai dari asam amino tunggal yang tergabung membentuk
beraneka ragam protein. Saat dicerna, masing-masing asam amino digunakan untuk sintesis
asam amino serta protein lainnya yang diperlukan oleh tubuh, dengan melibatkan cukup banyak
daur ulang dari komponen-komponen tersebut.9
Ada delapan asam amino esensial (untuk anak, ada lebih dari delapan) yang harus
diperoleh dari diet. Selain itu, beberapa asam amino mungkin menjadi esensial karena keadaan
(conditionally essential) dalam kondisi stres fisiologis tertentu. Jika aasam amino tidak
dibutuhkan lebih lanjut, barulah asam amino tersebut dipecah dan digunakan sebagai energy
dan bagian nitrogennya terekskresi sebagai urea. Konsumsi protein oleh tubuh kita sekitar 15-
20% total kalori/ hari. Satu gram protein menghasilkan 4 kalori.9,10
10 | P a g e
Penatalaksanaan Obesitas
Penderita obesitas berat memerlukan terapi untuk memperbaiki prognosis, bentuk
tubuh, dan meminimalisasi gejala/ keluhan, terutama yang berasal dari masalah fisik.
Penanganan pasien obesitas diawali dengan penilaian derajat obesitas, distribusi berat badan,
penentuan faktor risiko, evaluasi kesiapan pasien, dan ketersediaan sumber/ peralatan untuk
menurunkan berat badan. Tujuan pengobatan penderita obesitas ialah mengembalikan fungsi
normal proses metabolik dan organ tubuh. Rasionalisasi tetapi bukan semata didasari oleh
pengingkatan angka kematian terkait-obesitas, tetapi telah terbukti pula bahwa penurunan berat
badan terbukti berhasil menurunkan tekanan darah pengidap obesitas, memperbaiki profil lipid,
memperbaiki toleransi glukosa dan kadar gula darah puasa.5
Secara umum, pengobatan obesitas terbagi atas modifikasi gaya hidup, pemberian obat,
dan intervensi bedah. Perubahan gaya hidup mencakup perubahan komposisi pangan,
modifikasi kegiatan fisik, dan pengobatan perilaku. Perubahan gaya hidup jelas sangat
bermanfaat. Inti pengobatan perilaku adalah perbaikan kebiasaan makan. Metode pengobatan
perilaku ini setidaknya mencakup 6 langkah, yaitu (1) pemantauan mandiri, (2) pengawasan
rangsangan, (3) penekanan pada perbaikan gizi, (4) restrukturisasi kognitif, (5) pembelajaran
hubungan antarpribadi, dan (6) pencegahan kemungkinan kambuh. Pasien juga diajarkan untuk
tidak terpengaruh iklan pemangkasan berat badan secara instan.5,10
Pemantauan mandiri meliputi pencatatan asupan makanan dan situasi ketika bersantap.
Pengawasan rangsangan berupa pembatasan diri untuk tidak kontak dengan lingkungan yang
memungkinkan makan berlebihan. Pasien dianjurkan agar semata-mata bersantap, tidak
digabung dengan kegiatan lain (misalnya sambil membaca koran atau menonton televisi).
Restrukturisasi kognitif merupakan upaya untuk menentukan serta mengubah pikiran dan sikap
negatif tentang pengaturan berat badan. Pembelajaran hubungan antar-pribadi diarahkan pada
pengembangan kemampuan pasien dalam menghadapi pemicu yang khas menimbulkan nafsu
makan berlebihan. Pencegahan kemungkinan kambuh, langkah yang terakhir ialah upaya
berkelanjutan yang dirancang untuk memantapkan keberlangsungan proses pengurangan berat
badan.10
Target penurunan berat badan, berpatokan pada BMI, sangat bergantung pada nilai BMI
ketika upaya pengurangan berat badan itu tengah dirancang. Jika BMI masih dibawah 30 dan
11 | P a g e
orang yang bersangkutan dalam keadaan sehat serta berminat mengikuti program
pengurangan berat badan, target BMI boleh dipatok pada angka 20-27. Sementara itu, jika BMI
≥ 30 dan obesitas telah berlangsung lama, target nilai BMI ditetapkan tidak lebih dari minus 2
dari BMI semula.5
Pengobatan gizi medis (PGM)
Edukasi gizi dan kebiasaan makan yang baik untuk pengendalian berat badan pasien
obesitas merupakan inti strategi penanganan. Intervensi ini dimaksudkan untuk menormalkan
kadar lemak, menstabilkan kadar gula darah, menurunkan tekanan darah, serta mengurangi
atau memelihara berat badan. Pengobatan gizi medis untuk pasien obesitas yang didasarkan
pada pengurangan asupan kalori, setidaknya terbagi ke dalam empat pilihan, yaitu5.
1. Diet kalori sangat rendah (DKSR)
DKSR (< 800 kkal/hari) ditujukan bagi pasien dengan nilai BMI ≥ 30 tanpa faktor
komorbid dan atau faktor risiko lain atau pasien yang mempunyai BMI ≥ 27 dengan
faktor komorbid dan/ atau faktor risiko lain. Diet jenis ini diterapkan secara eksklusif
selama 12-16 minggu yang kemudian dilanjutkan dengan diet kalori rendah (800-1200
kkal) selama 24 minggu hingga 5 tahun.
2. Diet kalori rendah (DKR)
Diet ini (800-1200 kkal/hari) dianjurkan pada pasien obes denga nilai BMI ≥ 27
tanpa faktor kormobid dan/ atau faktor risiko lain atau pasien yang mempunyai BMI ≥ 25
dengan faktor komorbid dan/ atau faktor risiko lain. Dalam kurun waktu 6-12 bulan.
3. Diet kalori sedang dengan kandungan lemak rendah/ diet rendah lemak (DRL)
Jumlah kalori yang dipatok untuk DRL berkisar antara 1200-2300 kkal/hari.
Kontribusi lemak antara 20-30%.
4. Diet perorangan
Jumlah asupan energi yang dtakar berdasarkan kebutuhan gizi yang khas untuk
setiap pasien obesitas. Dalam hal ini, jumlah asupan energy per hari tentunya
diupayakan jangan kurang dari 1200 kkal. Dari sini, disusun daftar menu yang bergizi,
beragam, serta berimbang (B3), untuk selanjutnya diterjemahkan ke dalam daftar bahan
penukar.
12 | P a g e
Olahraga
Olahraga bukan hanya berkhasiat menurunkan berat badan, tetapi juga meningkatkan
kepekaan insulin, terutama pada mereka yang terlahir dari rahim pengidap diabetes, di samping
meningkatkan ambilan oksigen, membugarkan sistem kardiorespirasi, serta menyegarkan
pikiran.10
Di awal pengobatan, pasien dimotivasi untuk menjalankan kegiatan fisik selama 30-45
menit sebanyak 3-5 hari seminggu. Bagi sebagian besar pasien obesitas, olahraga harus
dimulai perlahan-lahan denga penambahan intensitas secara bertahap. Pasien jangan dipaksa
berolahraga, melainkan sekadar dibujuk agar bersedia mengubah pola, sekaligus meragamkan,
kegiatan fisik (misalnya memarkir kendaraan beberapa ratus meter dari tempat tujuan,
menggunakan tangga ketimbang lift atau escalator dan menggunakan sapu konvensional
ketimbang vacuum cleaner). Seiring berjalannya waktu, terlebih jika pasien telat merasakan
kenikmatan dan manfaat dari berkurangnya berat badan, intensitas kegiatan dapat
ditingkatkan.4,5
Upaya mempertahankan berat badan yang telah susut, setelah pasien menjalani PGM,
tidak akan berhasil tanpa disertai olehraga (atau sekadar melakukan kegiatan fisik). Sementara
itu, untuk memperoleh keberhasilan jangka panjang, gaya hidup harus pula diubah. Meskipun
tengah menjalani diet, nafsu makan pasien obesitas kadang kala tidak dapat dicegah. Jika
memang demikian, para pengidap obesitas hendaknya diajari cara “membakar” kalori makanan
yang sudah terlanjur mengonsumsi kue pie apel. Jika pasien menginginkan kalori yang
terkandung dalam kue itu tidak mengendap dalam tubuhnya, maka pasien harus berjalan kaki
selama 77 menit atau bersepeda 49 menit, atau berenang 36 menit, atau berlari 21 menit.
Demikian pula jika seseorang hendak menenggak, sebut saja segelas bir, dia harus
memusnahkan kalori yang terkandung dalam bir tersebut dengan berjalan kaki selama 22
menit.5
Farmakoterapi
Karena obesitas merupakan suatu kondisi kronis, penggunaan obat jelas akan
berlangsung lama. Sama seperti obat antihipertensi, penghentian mendadak dapat
mengakibatkan efek putus-obat (withdrawal effect), yaitu berat badan dapat tiba-tiba melonjak.
13 | P a g e
Oleh karena itu, National Institute of Helath menganjurkan agar penggunaan farmako terapi
diarahkan pada pasien obesitas yang gagal diobati melalui perubahan gaya hidup. Upaya
farmako terapi juga ditempuh sebagai pendamping modifikasi gaya hidup jika pasien memenuhi
kriteria BMI ≥ 30 tanpa keadaan kormobid atau BMI ≥ 27 de ngan minimal satu keadaan
komorbid dan/ atau faktor risiko lain. Faktor risiko yang dimaksud ialah hipertensi, dislipidemia,
penyakit jantung koroner, diabetes mellitus tipe 2, serta sleep apnea.5
Obat penurun berat badan yang kini disetujui oleh Food and Drugs Administration (FDA)
terbagi dalam dua kelompok, yaitu obat penurun asupan pangan dan obat yang berfungsi
sebagai pengurang serapan zat gizi.5,11
1. Obat nonadrenergik
Obat-obat nonadrenergik yang tersedia saat ini, antara lain fentermin, dietlipropion,
fendimetrazin, dan benzofetamin. Amfetamin tidak lagi dianjurkan karena cenderung
dislahgunakan, begitu pula dua obat terakhir (fendimetrazin, dan benzofetamin). Obat-
obat golongan ini dianjurkan dan disetujui FDA hanya untuk penggunaan jangka
pendek, beberapa minggu saja (kurang dari 12 minggu). Beberapa penelitian memang
membuktikan bahwa obat-obat ini aman digunakan hingga 6 minggu atau lebih
(maksimal 3 bulan). Berat badan akan terkikis sebanyak 4,8 kg, jika digunakan dosis 10
mg, atau sebanyak 6,1 kg dengan takaran dosis 15 mg.
Efek samping obat golongan ini berupa insomnia, mulit ,kering, sembelit/ konstipasi,
euforia, sakit kepala, palpitasi, serta hipertensi. Kontraindikasi relatif penggunaan obat
golongan ini meliputi penyakit jantung koroner, aritmia, gagal jantung kongestif, dan
stroke.
2. Obat serotonergik
Obat serotonergik bekerja dengan cara meningkatkan pengeluaran serotonin dan
menghambat ambilan-kembali (re-uptake), atau keduanya. Dua obat, fenfluramin
(Redux) dan dexflenfuramin (Pondimin), yang merangsang pengeluaran serotonin
sembari menghambat ambilan-kembali, telah ditarik dari peredaran karena
keterkaitannya dengan kelainan katup jantung dan hipertensi pulmonal. Kedua obat ini,
masih dalam penelitian memepunyai kemanfaatan yang serupa dengan obat-obat
nonadrenergik.
Obat-obat serotonergik kini diindikasikan pada keadaan yang tidak terkait dengan
obesitas, seperti depresi dan obsesi-kompulsi. Beberapa penghambat ambilan-kembali
14 | P a g e
serotonin, seperti fluoksetin (Prozac), hanya dapat menurunkan berat selama 6 bulan
dengan dosis 60 mg. meskipun obat tetap diberikan, berat badan ternyata kembali
seperti semula dalam enam bulan berikutnya. Hal ini juga ditemukan pada penggunaan
sertralin (Zoloft), yang terbukti tidak memiliki kemanfaatan jangka panjang.
3. Obat campuran nonadrenergik-serotonergik
Sibutramin (Merida) salah satu penghambat ambilan-kembali norepinefrin dan serotonin,
juga telah disetujui FDA sebagai obat penurun dan pemelihara berat badan. Namun,
penggunaannya harus dipadukan dengan diet rendah kalori. Preparat ini diindikasikan
bagi pengidap dengan BMI ≥ 30 tanpa faktor komorbid atau dapat juga diberikan pada
mereka dengan BMI ≥ 27 dengan faktor risiko lain, semisal diabetes mellitus tipe 2 atau
hiperkolesterolemia. Penggunaan obat ini tidak dianjurkan pada anak/ remaja di bawah
18 tahun dan lansi di atas 65 tahun.
Efek samping sibutramin berupa peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi, mulut
kering, sakit kepala, insomnia, dan sembelit. Selain berat badan berkurang, faktor risiko
lain pun dapat diperbaiki. FDA tidak menganjurkan penggunaan preparat sibutramine
pada pasien dengan hipertensi tak-terkendali, penyakit jantung koroner, gagal jantung
kongestif, aritmia jantung, dan penyakit serebrovaskuler, hipertiroidisme, hipertrofi
prostat, feokromositoma, glaukoma sudut tertutup, wanita hamil dan menyusui, mereka
yang memiliki riwayat sebagai pecandu alkohol atau penyalahgunaan obat, gangguan
jiwa, serta stroke. Oleh sebab itu, pemantauan yang ketat harus diterapkan selama
pemberian obat.
Besaran dosis dipatok pada kisaran 10-15 mg/hari. Pemberian awal cukup 10 mg
sehari, yang ditingkatkan menjadi 15 mg jika penyusutan berat badan kurang dari 2 kg
setelah 4 minggu pemakaian. Apabila penurunan berat badan dengan dosis maksimal
ini tidak sampai 2 kg selama 4 minggu, obat tidak boleh digunakan lagi. Lama
penggunaan tidak boleh lebih dari 1 tahun. Obat harus dihentikan jika pengurangan
berat setelah 3 bulan kirang dari 5% berat badan awal. Pengobatan boleh diperpanjang
hingga lebih dari 6 bulan jika susutan berat badan lebih dari 10%. Berat badan pengidap
obesitas yang diberi obat ini selama 6 bulan, dipadukan dengan diet rendah kalori,
terbukti berkurang sebanyak 5-8%.
Berlainan dengan fenfluramin dan dexfenfluramine, sibutramin tidak mengimbas
pelepasan serotonin sehingga tidak menyebabkan gangguan katup jantung. Efek
samping yang tersering berupa konstipasi, anoreksia, mulut kering, dan insomnia. Efek
15 | P a g e
samping lain yang kadang-kadang terjadi adalah nausea, takikardia, palpitasi,
hipertensi, vasodilatasi, sakit kepala, parestesia, kecemasan, produksi keringat
berlebihan, gangguan pengecapan, dan pandangan kabur (jarang sekali terjadi).
4. Obat pengurang serapan zat gizi
Obat pengurang serapan zat gizi yang disetujui FDA hanyalah orlistat (Xenical) yang
merupakan penghambat lipase pankreas dan hati. Obat ini bekerja dengan jalan
berikatan dengan enzim lipase pada lumen saluran cerna guna mencegah hidrolisis
lemak dari makanan menjadi asam lemak bebas yang dapat diserap. Pasien yang
mengonsumsi orlistat sebanyak 120 mg akan mengeluarkan sekitar sepertiga (30%)
lemak yang tersantap sekitar 1 jam setelah makan.
Preparat ini diindikasikan bagi pendidap obesitas yang memiliki BMI ≥ 30 atau BMI ≥ 28
dengan faktor risiko lain. Dosis mulai dari 120 mg, yang dianjurkan ditelan sebelum,
sewaktu, atau paling lama 1 jam setelah makan. Dosis boleh ditingkatkan hingga 360
mg sehari dengan penggunaan maksimal 2 tahun. Jika makanan tidak mengandung
lemak, preparat ini sebaiknya tidak dikonsumsi. Perlu diingat bahwa penggunaan
preparat ini tidak dianjurkan pada anak-anak berusia luring dari 2 tahun, bahkan
dikontraindikasikan bagi wanita hamil dan menyusui, penyandang sindrom malabsorpsi,
serta pengidap kolestatis.
Efek samping orlistat berupa tinja cair berlemak, defekasi, flatus, nyeri perut dan rectum,
sakit kepala, ketidakteraturan haid, kecemasan, kelelahan ekstrem, dan hepatitis (jarang
sekali). Penggunaan orlistat bersamaan dengan pereduksian asupan lemak yang akan
mengakibatkan defisiensi vitamin larut-lemak. Oleh sebab itu, suplementasi vitamin
ADEK perlu dilakukan.
5. Suplemen/ preparat herbal
Kesulitan dalam menaati diet serta kemalasan melakukan olahraga yang disertai
dengan dampak negative (fisik maupun psikis) dari obesitas itu sendiri, menyebabkan
banyak pasien memilih jalan pintas dan beralih ke terapi herbal/ suplemen. Suplemen
atau preparat herbal, abik yang dijual bebas di took maupun yang disebar melalui bisnis
MLM (multilevel marketing) banyak diminati karena menawarkan penurunan berat badan
tanpa harus bersusah-payah mengatur diet dan memeras keringat untuk berolahraga.5
Efedra (Ephedra sinica) merupakan perangsang SSP. Jika dipadukan dengan kafein,
preparat ini mampu memangkas berat badan, tetapi gagal menyusutkan berat badan
16 | P a g e
jika diberikan sendiri-sendiri. Namun, paduan ini tidak dapat digunakan lama karena
berpotensi menimbulkan efek samping yang berbahaya.11
Kekurangan kromium berhubungan dengan keadaan hiperglisemia, hiperinsulinemia,
hipertrigliseridemia, serta rendahnya kadar kolesterol HDL, karena elemen kelumit ini
berperan penting dalam pemekaan reseptor insulin. Namun, tidak ada kajian yang
membuktikan pengaruhnya sebagai pengikis berat badan.11
Guar gum, glucomannan, dan psyllium merupakan sumber serat yang larut dalam air.
Secara teoritis, serat ini akan menyerap banyak air dalam usus sehingga menimbulkan
efek rasa kenyang, di samping berperan dalam mengendalikan gula darah pasien DM
dan keadaan hiperlipidemia. Sayang sekali, efek rasa kenyang yang berlanjut sebagai
penekan nafsu makan tidak serta merta berdaya guna menurunkan berat badan.
Sebagai penurun berat badan, guar gum tidak terbukti lebih baik disbanding plasebo.
Kemanfaatan psyllium sudah terbukti dalam memperbaiki profil lemak dan gula darah
secara bermakna pada penyandang DM tipe 2, tetapi tidak tebrukti mampu menurunkan
berat badan.5,11
Konjugat asam linoleat (conjugated linoleic acid, CLA) berkhasiat mereduksi timbunan
lemak pada tikus percobaan yang obesitas melalui peningkatan oksidasi dan penurunan
ambilan trigliserida dalam jaringan lemak. Sayangnya hasil penelitian ini tidak dapat
diekstrapolasi ke manusia karena tidak ada data penelitian yang mendukung
keberhasilan CLA dlaam penurunan berat badan.5
Penelitian Dullo et al membuktikan bahwa teh hijau mampu meningkatkan oksidasi
lemak dan termogenesis, tetapi tidak ada laporan tentang kemanfaatannya dalam
pengikisan berat badan. Meskipun tidak dapat mengurangi nilai BMI, licorice dapat
mengurangi lemak, preparat herbal ini terbukti pula membuahkan efek samping berupa
pseudo-aldosteronisme, hipertensi, dan hipokalemia.5
Chitosan diolah dari chitin yang terkandung pada kulit Crustacea (salah satu kelas
Arthropoda) merupakan polimer bermuatan listrik positif yang dianggap mampu
mencegah penyerapan lemak karena sel-sel lemak dalam saluran cerna bermuatan
listrik negatif. Pengaruh penurunan berat badan ini tidak bermakna ketimbang efek yang
ditimbulkan oleh plasebo. Peneliti lain bahkan tidak dapat membuktikan perbedaan
tersebut dan cenderung melaporkan hasil penelitian yang berseberangan. Preparat ini
sebaiknya tidak dimakan bersamaan dengan vitamin yang larut dalam lemak.5,11
Dua jenis preparat herbal, dandelion dan cascara, terbukti mampu menyusutkan berat
badan dengan cara mengeluarkan cairan tubuh. Dandelion berkhasiat diuretik,
17 | P a g e
sementara cascara bertindak sebagai pencahar. Keduanya menyebabkan efek samping
berupa dehidrasi dan ketidaknormalan elektrolit.11
Suplemen atau preparat herbal yang boleh direkomendasikan sebagai obat seharusnya
memenuhi tiga kriteria, yaitu quality (mutu), safety (keamanan), dan efficacy
(kemanfaatan). Jika ketiga criteria ini terpenuhi, sebuah suplemen boleh dikonsumsi
dengan melakukan pengawasan terhadap penggunanya (pasien). Jika tidak, suplemen
tersebut jangan digunakan.5
Pembedahan
Tujuan pembedahan pada pasien obesitas ialah menginduksi pengurangan berat badan
dan mempertahankannya, melalui tindakan operasi secara aman, serta memperbaiki atau
melenyapkan berbagai kondisi komorbid. Dengan begitu, mutu kehidupan dapat ditingkatkan
dan usia pasien dapat diperpanjang.10
Tindakan bedah baru boleh dipertimbangkan jika BMI pasien ≥ 40 atau BMI ≥ 35 dengan
faktor komorbid dan/ atau faktor risiko lain. Intervensi bedah terbatas untuk pasien berusia
antara 18 hingga 50 tahun. Keberhasilan tindakan operasi dalam memangkas berat badan,
yang dinilai pada tahun kelima, jauh melampaui (90%) kesuksesan pengobatan dengan obat
(21%). Meski demikian, tindakan bedah pada obesitas morbid sesungguhnya bukan pilihan
utama, melainkan sebagai pendamping bagi terapi diet. Pada prinsipnya, terapi bedah
didasarkan pada dua hal, yaitu rancangan malabsropsi pada usus halus dan restriksi pada
lambung. Rancangan malabsorpsi pada usus halus bertujuan memendekkan usus halus atau
mengurangi kemampuan mukosanya dalam menyerap zat gizi. Operasi restriktif pada lambung
merupakan upaya manipulatif melalui pembuatan kantong dan saluran keluar baru (neogastric
pouch), dengan begitu diharapkan asupan makanan akan berkurang.10
Kesimpulan
Sindroma metabolik adalah sekumpulan faktor risiko metabolik yang secara bersama-sama
ataupun sendiri-sendiri akan meningkatkan risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular
aterosklerotik, stroke, diabetes, dan berbagai penyakit metabolik lainnya.
Pada umumnya menjaga factor resiko sesuai dengan etiologi dari sindrom metabolic, serta
menjaga untuk mendapatkan berat badan ideal pada pasien obesitas dan selalu memeriksa
profil lipid pada pasien yang mempunyai resiko terkena penyakit tersebut. Diet serta aktivitas
fisik untuk mencegah kegemukan.
18 | P a g e
Daftar Pustaka
1. Bray GA, Bouchard C. Handbook of obesity: clinical applications. Edisi ke-2. Penington
Biomedical Research Center Lousiana State University; Bato Rouge, Lousiana, U.S.A:
2004. h.15-9
2. Bickley LS. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-5.
Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta: 2012. h. 45-7
3. Hartono A. Terapi gizi dan diet rumah sakit. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2006.h.93-7,107-
8,173-5.
4. Asmadi. Teknik prosedural konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta:
Salemba Medika; 2008.h.68-70,83-5.
5. Arisman. Obesitas, diabetes mellitus, & dislipidemia: konsep, teori, dan penanganan
aplikatif. Jakarta: EGC; 2010.h.1-42.
6. Sudoyo AW, et all. S. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima jilid III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 1865-72.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan Pelayanan Medik.
Jakarta: Pusat Penerbit FKUI, 2006.
8. Kurnia, Y. sindrom X dan Obesitas. Dalam Majalah Kedokteran Fakultas Kedokteran
UKRIDA Meditek. Agustus-Desember 2003; vol.11:12-27.
9. Barasi ME. At a glance ilmu gizi. Jakarta: Erlangga; 2007.h.26,106-10.
10. Davet P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2004.h.54-5.
11. Arif A, Bahry B, Estuningtyas A, Muchtar HA, Setiawati A. Farmakologi dan terapi. Edisi
ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.h.139-60.
19 | P a g e