MITOS DALAM NOVEL DAWUK: KISAH KELABU DARI RUMBUK...
Transcript of MITOS DALAM NOVEL DAWUK: KISAH KELABU DARI RUMBUK...
MITOS DALAM NOVEL DAWUK: KISAH KELABU DARI
RUMBUK RANDU KARYA MAHFUD IKHWAN SERTA
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA
DAN SASTRA DI SMA
(KAJIAN: MITOS ROLAND BARTHES)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Rifa Nurafia
11150130000041
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
i
ABSTRAK
Rifa Nurafia (NIM: 11150130000041), “Mitos dalam Novel Dawuk: Kisah
Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA (Kajian: Mitos Roland Barthes)”. Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur pembangun cerita dan
bentuk mitos dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya
Mahfud Ikhwan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif, sedangkan tinjauannya menggunakan teori mitos Roland Barthes.
Adapun di dalamnya terdapat analisis unsur intrinsik; tema, alur/plot, tokoh dan
penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. Hasil penelitian menunjukkan
ada sembilan mitos dalam Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya
Mahfud Ikhwan yaitu: kehidupan yang sempurna, religius moralis, pasangan serasi,
orang tua baik: anak baik, dan cantik fisik kebahagiaan. Kemunculan mitos tersebut
merupakan hasil depolitisasi masyarakat Rumbuk Randu terhadap berbagai
peristiwa yang diterima begitu saja secara alamiah. Penelitian ini juga dapat
diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah yaitu dengan cara
menganalisis isi dan kebahasan novel.
Kata Kunci: Mitos Roland Barthes, Dawuk, Mahfud Ikhwan
ii
ABSTRACT
Rifa Nurafia (NIM: 11150130000041), "Myth in Dawuk: The Gray Story of
Rumbuk Randu Novel by Mahfud Ikhwan and Its Implications for Learning
Language and Literature in High School (Study: Myth of Roland Barthes)".
Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah
and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2019.
The aim of this study is to determine the elements of story building and mythical
form in Dawuk: The Gray Story of Rumbuk Randu novel by Mahfud Ikhwan. The
method used in this research is descriptive qualitative, while the review used the
theory of the myth of Roland Barthes. It contains an intrinsic elemental analysis;
theme, plot, character and characterization, point of view, language style and
mandate. The result showed that there are nine myths in Dawuk: The Gray Story of
Rumbuk Randu by Mahfud Ikhwan, there are; a perfect life, religious moralists, a
harmonious couple, good parents: good children, and beautiful physical happiness.
The emergence of this myth is the result of the depolitization of the Rumbuk Randu
community to various events that received naturally. This research can also be
implicated in learning literature in schools by analyzing the content and the
linguistic of the novel.
Keywords: Myth Roland Barthes, Dawuk, Mahfud Ikhwan
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi ALLAH SWT yang tiada henti
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Mitos Dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
Karya Mahfud Ikhwan dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
di SMA”. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
para keluarga, sahabat, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis menyusun
skripsi ini sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini membutuhkan banyak
bantuan, bimbingan, dan doa dari berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat,
penulis menyampaikan terima kasih pada:
1. Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Novi Diah Haryanti, M. Hum, Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai dosen pembimbing
yang telah memberikan arahan, bimbingan, motivasi, serta saran saat
menyusun skripsi ini, sehingga penulis menyelesaikan dengan baik;
4. Nur Syamsiah, M. Pd., selaku dosen penasihat akademik yang telah
memberikan pengarahan selama masa perkuliahan;
5. Rosida Erowati, M. Hum., dan M. Nida’ Fadlan, M. Hum., selaku dosen
penguji skrpisi yang telah memberikan saran, sehingga penulis
menyelesaikan skripsi dengan baik;
6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta;
iv
7. Bapa dan Mama tercinta, Ucu Sopian dan Masuliyah, S.Pd.I., yang
senantiasa memberikan doa setiap detik, memberikan dukungan moral dan
moril. Terima kasih untuk menjadi orang tua yang hebat dalam segala hal;
8. Kakak tersayang, I’ah Mawadah, Amd., dan Syamsul Arifin, S. Hut., yang
senantiasa memberikan dukungan, arahan, motivasi, serta canda tawa pada
penulis. Terima kasih untuk menjadi editor skripsiku;
9. Adik tersayang, Ridela Nuraulia serta keponakan Syafiq Aufa Arifin, yang
telah memberikan canda tawa saat penulis mengalami kepenatan;
10. Keluarga kedua di SMP Islam Bina Insani Ciseeng, terutama Ika Fitri H.,
S.Pd., Siti Nurjanah, S.S., Saepudin, S.Pd.I., Siti Sopiah,S.Ak., dan Lutfi
Khairul U., S.S., Chabi Mufti, S.S., Dwi Pebri, S.S., serta Relawan dari
Kawan (RDK) yang telah sama-sama berjuang bersama penulis dalam
membangun sekolah, semoga Allah SWT segera beri kejutan terbaik atas
perjuangan kita;
11. Lutfi Hasanal Bolqiah, S.Sos., yang telah membantu dan menjadi teman
diskusi dalam penelitian skrpisi ini, terima kasih sudah menjadi
pembimbing kedua;
12. Teman-teman PBSI angkatan 2015, terkhusus sahabat seperjuangan di
kampus: Nabila, Resty Maulidha, Mia Fatmala, Nur Alfiatussa’adah,
Nadine Ayuningtias P, Windi Atika, terima kasih telah memberikan
kehangatan selama berkuliah;
13. Sahabat-sahabat terdekat penulis serta berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Semoga Allah memberikan balasan kepada kalian
semua.
Bogor, 8 November 2019
Rifa Nurafia
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAT............................................................................................................i
ABSTRACK.........................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI……………………………………………………..……………..v
DAFTAR BAGAN….…………………………………………………..............vii
DAFTAR TABEL…………………………………………………….................ix
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah .................................................................................... 4
D. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
E. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
F. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5
G. Metodologi Penelitian .................................................................................. 5
1. Pendekatan dan Metode Penelitian ........................................................... 5
2. Sumber dan Data Penelitian ..................................................................... 7
3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 7
4. Teknik Analisis Data ................................................................................ 7
BAB II KAJIAN TEORI ...................................................................................... 9
A. Hakikat Novel .............................................................................................. 9
B. Unsur Intrinsik Novel ................................................................................... 9
1. Tema ....................................................................................................... 10
2. Alur atau Plot .......................................................................................... 10
3. Tokoh dan Penokohan ............................................................................ 12
4. Latar ........................................................................................................ 14
5. Sudut Pandang ........................................................................................ 14
vi
6. Gaya Bahasa ........................................................................................... 15
7. Amanat ................................................................................................... 16
C. Hakikat Mitos Roland Barthes ................................................................... 16
D. Membaca dan Mengurai Mitos Menurut Roland Barthes .......................... 19
E. Fungsi Mitos Roland Barthes ..................................................................... 21
F. Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah ................................................. 22
G. Penelitian Relevan ...................................................................................... 24
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MAHFUD IKHWAN…………… 34
A. Biografi Mahfud Ikhwan ............................................................................ 34
B. Pemikiran Mahfud Ikhwan dalam Berkarya .............................................. 35
C. Sinopsis Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu ..................... 37
BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN…………………………. 39
A. Analisis Unsur Intrinsik ............................................................................. 39
1. Tema ....................................................................................................... 39
2. Alur/ Plot ................................................................................................ 41
3. Tokoh dan Penokohan ............................................................................ 50
3. Latar ........................................................................................................ 62
4. Sudut Pandang ........................................................................................ 71
5. Gaya Bahasa ........................................................................................... 72
6. Amanat ................................................................................................... 74
B. Analisis Mitos dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu 75
1. Kehidupan yang Sempurna..................................................................... 75
2. Religius Bermoral ................................................................................... 78
3. Pasangan Serasi ...................................................................................... 79
4. Orang Tua Baik Mejadikan Anak Baik .................................................. 82
5. Cantik Fisik itu kebahagiaan .................................................................. 84
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA .................. 88
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 91
A. Simpulan .................................................................................................... 91
B. Saran ........................................................................................................... 92
vii
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 93
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
PROFIL PENULIS
viii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Tahap Signifikasi Menurut Barthes..……………………………….. 20
Bagan 2.2 Ilustrasi Denotasi dan Konotasi Menggunakan Kerangka Barthes…. 21
Bagan 4.1 Plot Utama dan Sub-Plot……………………………………………. 50
Bagan 4.2 Kehidupan yang Sempurna…..……………………………………... 77
Bagan 4.3 Mitos Religius Moralis..………………………………………......... 79
Bagan 4.4 Pasangan Serasi…………………………………………………....... 81
Bagan 4.5 Mitos Orang tua Baik; Anak Baik…………………………………... 83
Bagan 4.6 Mitos Cantik Fisik sebagai Kebahagiaan…………………………… 86
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Plot Utama Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu... 45
Tabel 4.2 Tipe Mitos Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu… 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan refleksi dari keadaan masyarakat. Sebagai hasil
penghayatan atas realitas kehidupan, sastra menampilkan diri dengan beban
pemikiran berupa aktualisasi dan reintrepertasi mitologi. Dengan aktualisasi
terhadap mitologi akan terungkap nilai mitologi dalam konteks zaman, pengukuhan
nilai mitos di masyarakat, serta sebagai alat penghubung dunia tradisi dan dunia
modernitas. Dengan adanya pemaknaan kembali terhadap mitologi, akan terungkap
pengingkaran atau pembalikan nilai yang menghadirkan persoalan zaman dan
realitas.1
Mitologi dalam kaitan sastra modern bukanlah bentuk sastra yang
mengandung konsepsi dengan dongeng suci mengenai kehidupan dewa, makhluk
halus, hal-hal gaib, atau latar dunia metafisika, tetapi mitologi yang dimaksud
merupakan mitos dengan pengertian cara mengungkapkan refleksi sikap
masyarakat terhadap segala sesuatu yang mengandung pesan. Mitos modern
membahas segala hal berkaitan dengan fungsi yang tereduksi sebagai bentuk
memperkuat atau melemahkan keadaan di masyarakat.
Mitos dalam karya sastra terus berkembang seiring kreativitas sastrawan
yang meningkat pula, mitos dalam karya sastra menjadi tanda adanya kesatuan
pengarang dengan masyarakat.2 Kreativitas tersebut dituangkan salah satunya
dengan karya novel sebagai medianya. Novel sering kali dipilih karena dianggap
mempunyai ruang bahasan yang cukup luas dan kompleks dalam mengungkapkan
persoalan dibandingkan dengan cerita pendek. Novel yang menarik dan berbicara
soal permasalahan sosial, budaya, serta adanya mitos adalah novel Dawuk: Kisah
Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan, selanjutnya disingkat
1 Puji Santoso, Sastra Dan Jati Diri Bangsa: Kontribusi Mitologi Dan Multicultural
Dalam Sastra Indonesia, 2019, h.4, (http//badanbahasa.kemendikbud.go.id//content/sastra-jati-
diri-bangsa-kontribusi-mitologi-dan-multikultural-dalam-sastra-indonesia), diakses tanggal 6
April 2019 pukul 17.56. 2 Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terjemah. Dari Theory of
Literature oleh Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 2013), Cet. V, h. 225.
2
DKKDRR. Novel ini dinobatkan sebagai pemenang Kusala Khatulistiwa tahun
2017.
Kisah dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu (DKKDRR)
diawali dengan kemunculan Warto Kemplung sebagai narator. Kisah dalam novel
bercerita tentang percintaan antara Mat Dawuk dan Inayatun yang kelam dan
kelabu. Pasangan yang menjadi kontroversi sebab mereka dinilai oleh orang-orang
Rumbuk Randu sebagai pasangan ganjil. Pemikiran tersebut muncul dan membuat
semacam ‘mitos’ mengenai kisah sejarah asal usul desa Rumbuk Randu. Selain itu,
kemunculan berbagai cerita pendukung dalam kisah Mat Dawuk dan Inayatun
sebagai pelengkap penjelas memahami realitas yang mengarah pada adanya mitos
dalam novel tersebut.
Adanya mitos yang muncul dan berkembang di Desa Rumbuk Randu bukan
hanya berkaitan dengan tokoh Mat Dawuk dan Inayatun saja, melainkan berkaitan
dengan cara pandang orang-orang Rumbuk Randu dalam memaknai sesuatu yang
diperkuat berdasarkan banyaknya orang yang menganut dengan sikap-sikap atau
respon yang sama. Masyarakat Rumbuk Randu dalam novel tersebut mengontruksi
pandangan umum untuk menunjuk cerita buatan yang masih dipertanyakan
kebenaran historisnya.
Pandangan-pandangan umum dalam DKKDRR terkontruksi dengan objek
yang di antaranya berkaitan dengan cara menilai sesuatu dalam kehidupan
bermasyarakat secara begitu saja. Pandangan umum tersebut berkaitan dengan
semua komponen dalam kehidupan yang bisa menjadi pesan dan mempengaruhi
kehidupan bermasyarakat.
Terlebih lagi, dari kisah yang disampaikan lewat narator Warto Kemplung
dengan menghadirkan cerita sampingan sebagai pelengkap cerita membuat isi
peristiwa novel DKKDRR menjadi tidak sesederhana yang kebanyakan orang-orang
Rumbuk Randu ketahui. Ada elemen-elemen yang jika diperdalam kenyataannya
yang dianggap baik tidak selalu baik atau yang dianggap benar; sesuai dengan
kesepakatan banyak orang, ternyata mempunyai konotasi yang berbeda. Dengan
demikian, mitos menjadi hal yang menarik untuk diteliti dalam cerita novel
tersebut.
3
Novel DKKDRR dapat dikatakan sebagai cerita berbingkai. Hal tersebut
dikarenakan isi dari novel yang disampaikan oleh Warto Kemplung tidak hanya
satu cerita, tetapi ada cerita sampingan yang mendukung cerita utama. Cerita utama
tentang konflik antara Mat Dawuk dengan orang-orang Rumbuk Randu yang
kemudian memunculkan kisah lain, yakni cerita sejarah nenek moyang Rumbuk
Randu, cerita dendam tiga generasi yang dibalut penceritaanya dalam kurun waktu
tiga hari cerita di warung kopi.
Cerita novel DKKDRR yang menunjukkan kisah berbingkai memungkinkan
banyak interpretasi tidak hanya satu makna dalam cerita tersebut. Intrepretasi
tersebut berkaitan dengan kebenaran historis di dalamnya, sehingga hal itu
memungkinkan adanya mitos. Kemunculan mitos secara nyata terungkap dan
mengalami pemaknaan khusus sesuai dengan konotasi yang diberikan oleh
komunitas atau kekuasaan yang dominan. Adanya konotasi merupakan hasil
mengupas sebuah mitos, kaitannya mitos pada hal ini yakni semua hal yang dapat
menjadi pesan dalam novel.
Proses pemikiran dan perkembangan membaca karya sastra tentu
diperlukan perkembangannya untuk memastikan segala yang ada di karya sastra
dapat menjadikan refleksi keadaan masyarakat dan memberikan timbal balik
memahami kehidupan yang dihadapi. Pembelajaran tersebut bukan hanya sekedar
dianalisis oleh mahasiswa sastra saja melainkan perlu diaplikasikan pada peserta
didik di sekolah.
Pembelajaran di sekolah berkaitan dengan sastra sering dianggap sebagai
pembelajaran yang membosankan karena membaca karya sastra selalu dikaitkan
dengan buku bacaan yang tebal, bahasa yang sulit dipahami, serta materi
pembahasan yang hanya terpusat pada satu pembahasan saja; misalnya peserta
didik hanya terfokus pada unsur-unsur intrinsik yang sederhana. Dengan demikian,
perlu diberikan stimulus dalam mempelajari karya sastra seperti membahas karya
sastra berkaitan dengan kajian mitos. Hal tersebut guna memberikan gambaran baru
serta wawasan yang luas untuk mendalami pembongkaran makna dalam karya
sastra.
4
Berkaitan dengan hal tersebut, lewat penelitian tentang mitos kajian Roland
Barthes akan didapatkan pemahaman berkenaan memaknai sesuatu. Dari
pemahaman tersebut diharapkan peserta didik dapat memandang segala hal bukan
hanya berdasarkan satu representasi saja, melainkan juga dengan pandangan lain,
sehingga dapat memaknai gejala-gejala masyarakat dan budaya secara bijak. Hal
tersebut menjadi bekal para peserta didik agar memaknai segala hal dalam
kehidupan sehari-hari dengan menelusuri kebenarannya bukan begitu saja
menerima secara alamiah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat judul
“Mitos dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya Mahfud
Ikhwan dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat ditarik
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Munculnya tumpang-tindih berkaitan dengan pemaknaan mitos modern dan
mitos tradisional dalam cerita karya sastra.
2. Konotasi pandangan umum dihasilkan dari kesepakatan dan kekuasaan
dominan untuk memahami realitas.
3. Adanya interpretasi berlebihan dari cerita buatan yang masih dipertanyakan
kebenaran historisnya.
4. Mitos segala hal dalam kehidupan sudah alamiah dan muncul sebagai sesuatu
tanpa perlu melihat realita sesungguhnya.
5. Adanya anggapan peserta didik dalam menerima pembelajaran sastra sebagai
sebuah pelajaran yang membosankan, bacaan yang cukup tebal, sulit di
pahami, dan terpusat hanya pada unsur intrinsik sederhana.
C. Pembatasan Masalah
Agar dapat mempermudah proses penelitian, dari hasil identifikasi masalah
di atas, dilakukan pembatasan masalah yakni terfokus pada mitos dalam novel
Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan serta
implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
5
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana bentuk mitos dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk
Randu karya Mahfud Ikhwan?
2. Bagaimana implikasi Mitos dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan terhadap pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai adalah sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan bentuk mitos dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan.
2. Mendeskripsikan pengaruh mitos dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan terhadap pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang mencakup
aspek teoretis maupun praktis.
1. Manfaat secara teoretis, diharapkan penelitian ini dapat menambah
pengetahuan mengenai pembahasan mitos Roland Barthes dalam kritik
sastra Indonesia.
2. Manfaat secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu mengenai
mitos yang terdapat dalam novel. Selain itu, diharapkan juga penelitian ini
dapat bermanfaat bagi pendidik untuk mengembangkan pembelajaran
sastra di sekolah yang berkaitan dengan unsur intrinsik dalam teks sastra.
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
Semiotik Mitos Roland Barthes. Pendekatan semiotik memberikan
6
perangkat analisis kepada peneliti yang terlihat tidak asing dengan objek
yang diamati dan ide-ide lewat penanda, petanda, dan tanda.3 Penelitian ini
berjenis penelitian pustaka sebab data primer maupun sekunder berupa
pustaka, yaitu naskah tertulis. Pada penelitian ini digunakan sejumlah
referensi berupa buku, jurnal, artikel dan lain-lain yang memuat segala
informasi yang berhubungan dengan persoalan yang diteliti.
Metode penelitian dalam mengkaji novel Dawuk: Kisah Kelabu
Dari Rumbuk Randu yaitu metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif
digunakan untuk menganalisis isi suatu dokumen atau teks. Metode
deskriptif berupaya menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang menjadi
bahasan dalam penelitian, tidak berbentuk perhitungan statistik berupa
angka-angka atau koefisien. Sedangkan, metode kualitatif memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks
keberadaanya.4 Wujud data yang diambil pada penelitian kualitatif dalam
sastra yakni karya, naskah, data penelitian yang berupa kata, kalimat, dan
wacana. Ciri-ciri terpenting metode kualitatif, sebagai berikut:
a. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan
hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural;
b. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian
sehingga makna selalu dapat berubah;
c. Desain penelitian dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab
penelitian bersifat terbuka;
d. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budanya
masing-masing.
Dengan demikian penelitian novel Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk
Randu merancang desain penelitian dengan pendekatan semiotik mitos
Roland Barthes dengan konsep deskriptif kualitatif.
3 Rachmah Ida, Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya., (Jakarta: Prenada
Media Group, 2014.), h.75. 4 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, ( Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), h. 47
7
2. Sumber dan Data Penelitian
Sumber data pada peneltian ini adalah novel Dawuk: Kisah Kelabu
Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan terbitan Marjin Kiri pada tahun
2017 dengan tebal 181 halaman. Data berupa unit-unit teks yang
menggambarkan adanya mitos dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan teknik baca catat. Teknik baca catat dilakukan dengan
membaca seluruh isi dari novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
karya Mahfud Ikhwan secara berulang-ulang, kemudian menandai atau
mencatat data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Langkah-langkah
dalam pengumpulan data tersebut antara lain:
a. Membaca novel, pada tahapan ini novel yang menjadi objek
penelitian adalah novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
karya Mahfud Ikhwan, dibaca berulang kali guna mendapatkan
pemahaman atas isi novel.
b. Inventarisasi data, mengumpulkan data dengan cara mencatat
kutipan-kutipan yang ada dalam novel yang berhubungan dengan
fokus penelitian, baik kata, kalimat, ataupun wacana yang dapat
merepresentasikan tentang dekontruksi mitos dalam novel Dawuk:
Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan.
c. Klasifikasi data, mengklasifikasikan data sesuai dengan rumusan
masalah yaitu mengenai bagaimana bentuk mitos dalam novel
Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan.
d. Membuat korpus data, setelah mengklasifikasikan data tahap
selanjutnya adalah membuat korpus data guna mempermudah
penganalisisan data.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif
dibantu dengan metode analisis deskriptif. Penafsiran kualitatif
8
memberikan perhatian pada data-data alamiah, data dalam hubungannya
dengan konteks keberadaannya.5 Sementara lewat metode deskriptif,
peneliti mendapatkan dan menganalisis informasi dengan menghubungkan
pertalian hubungan dengan adat, politik, kepentingan mitos, dan lain-lain
yang ada dalam masyarakat dan budaya yang berlaku dengan teks-teks
yang dihasilkan.6 Data yang diperoleh lewat pencatatan akan diidentifikasi
dan diklasifikasi sesuai kategori yang telah ditentukan dalam bentuk tabel.
Kemudian data yang telah teridentifikasi dan terklasifikasi ditafsirkan
maknanya dengan menghubungkan data dengan konteksnya ke dalam
kajian teori. Adapun prosedur analisis data dalam penelitian ini melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menganalisis struktur yang mengandung unsur intrinsik dalam novel
Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan.
b. Analisis selanjutnya, identifikasi mitos dalam novel dengan
menganalisis makna teks yang memiliki tanda denotasi: penanda-
petanda, dan konotasi: tanda-petanda yang sudah ditemukan,
kemudian dikaitkan dengan teori Mitos Roland Barthes.
c. Jejak mitos yang tersebar dalam novel dikumpulkan dan
dikelompokkan, disejajarkan dan dibandingkan dengan wacana-
wacana atau realitas di luar teks dengan tujuan membalikkan oposisi-
oposisi hierarki yang menunjukkan adanya saling ketergantungan di
antara yang bertentangan.
d. Mengimplikasikan makna mitos dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu
Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan pada pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia di sekolah.
e. Membuat simpulan dari analisis data.
5 Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. ( Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2013), h. 46 6 Rachman Ida, Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. ( Prenada
Media:Jakarta,2014), h. 68.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Hakikat Novel
Novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata.1
Istilah novel dalam bahasa Inggris (Inggris: nove) dan inilah yang kemudian
masuk ke Indonesia. Novel dalam bahasa Italia yaitu novella (yang dalam
bahasa Jerman: novelle). 2
Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan
sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak
melibatkan permasalahan yang kompleks.
Novel pada dasarnya cerita yang secara imajinatif menghadirkan
keadaan dunia hasil refleksi kehidupan yang lebih besar dan kompleks,
namun tetap saling berjalinan. Novel umumnya terdiri dari sejumlah bab
yang masing-masing memiliki kepaduan menjadi cerita yang utuh.3 Novel
ditandai dengan adanya sejumlah bagian peristiwa yang masing-masing
mempunyai keterkaitan. Hal itulah yang menjadi pembeda novel dengan
cerita pendek.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel
adalah karya sastra fiksi yang bersifat imajinatif yang menghadirkan refleksi
kehidupan secara lebih kompleks dan lebih panjang penceritaanya dari
cerita pendek.
B. Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai
karya sastra, unsur-unsur secara faktual akan dijumpai jika orang membaca
1 Renne Wellek dan Austin Warren, Teori Kesustraan, Terjemahan (Jakarta: Gramedia,
2013), h. 260. 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007), h. 11 3 Ibid., h. 13-17.
10
karya sastra. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat
sebuah novel berwujud. Unsur-unsur intrinsik:
1. Tema
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan
dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih,
rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu sering
tema dapat disinonimkan dengan gagasan isi cerita.4 Tema dalam
sebuah cerita dapat dipahami sebagai sebuah makna, makna yang
mengikat keseluruhan unsur cerita sehingga cerita itu hadir sebagai
sebuah kesatuan yang padu.
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan
dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah budaya,
tradisi/ adat-istiadat, ekonomi, cinta, rindu, religius, dan sebagainya.
Dalam hal tertentu, tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan
utama cerita.5
Sehingga, tema pada dasarnya berkaitan tentang gagasan, ide pokok,
ataupun benang merah dasar terjadinya cerita.
2. Alur atau Plot
Unsur intrinsik selanjutnya pada novel adalah alur atau plot. Stanton
dalam Burhan Nurgiantoro berpendapat bahwa plot adalah urutan
kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab
akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya
peristiwa yang lain.6 Sedangkan E. Kosasih berpendapat bahwa alur
(plot) merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh
hubungan sebab akibat.7
4 E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012),
h.60. 5 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2009), hlm. 25. 6 Ibid., h. 167. 7 E. Kosasih, Op. Cit., h.34.
11
Plot juga berkaitan dengan peristiwa sambung-sinambung
berdasarkan hukum sebab akibat. Plot tampaknya dapat dipahami
sebagai berbagai peristiwa yang diseleksi dan diurutkan berdasarkan
hubungan sebab akibat untuk mencapai efek tertentu dan sekaligus
membangkitkan suspense dan surprise pada pembaca.8 Plot tidak hanya
mengemukakan apa yang terjadi, tetapi juga menjelaskan mengapa hal
itu terjadi. Dengan sambung-sinambungnya peristiwa ini terjadilah
sebuah cerita.9
Pembahasan plot dalam novel di pihak lain lebih memiliki bahasan
yang tidak sederhana, karena ketidakterikatan pada panjang cerita plot
dalam novel dapat memiliki lebih dari satu plot; terdiri dari satu plot
utama atau satu plot utama dan sub-subplot.10 Plot utama berisi konflik
utama yang menjadi inti persoalan yang diceritakan sepanjang cerita itu,
sedangkan sub-subplot adalah berupa (munculnya) konflik tambahan
yang bersifat menopang, mempertegas, melatarbelakangi, dan
mengintensifkan adanya konflik utama. Sub-sub plot dapat berisi
konflik yang mungkin tidak sama pentingnya terhadap plot utama.
Nurgiyantoro mengatakan bahwa subplot hanya menjadi penting
dan berarti dalam kaitannya dengan plot utama. Subplot sering berupa
sorot balik masa lalu tokoh cerita atau kisah lain yang berhubungan
dengan tokoh utama.11
Salah satu bentuk subplot yang paling lazim adalah naratif bingkai.12
Naratif bingkai atau cerita bingkai dapat dikatakan sebagai subplot yang
membingkai dan membungkus naratif utama (plot utama), sehingga
dapat menghasilkan cerita dalam cerita.
Oleh karena itu, subplot merupakan bagian dari plot utama yang
menjadi cerita tambahan untuk memperjelas atau memperluas
8 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 168. 9 Ibid., h. 10. 10 Ibid., h. 15. 11 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 158. 12 Robert Stanton. Teori Fiksi. Terj. dari An Introduction to Ficton oleh Sugihastuti dan
Rossi Abi Al Irsyad.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 27
12
pandangan kita terhadap plot utama dan mendukung efek keseluruhan
cerita. Sehingga Sebuah cerita dapat dikatakan mempunyai cerita
berbingkai jika cerita kedua yang dikisahkan lebih penting dibanding
cerita yang pertama yang hanya berfungsi sebagai pengantar.13
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa plot
adalah jalannya cerita yang terjadi dengan hubungan kausalitas, plot
menjadi dasar terjadinya banyak peristiwa di dalam keseluruhan cerita
yang dapat terdiri dari plot utama dan sub-plot.
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan
dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dari tindakan.14
Istilah penokohan lebih luas dari pada tokoh dan perwatakan sebab
ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam
sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas
kepada pembaca. Penokohan sekaligus memberikan penyajian watak
dan penciptaan citra tokoh oleh pengarang.15
Tokoh dalam kaitan cerita fiksi merupakan orang yang terlibat
dalam cerita yang juga sekaligus membawa isi cerita. Tokoh-tokoh
dalam cerita fiksi dapat dibedakan beberapa jenis, antara lain sebagai
berikut:
a. Berdasarkan proporsi, klasifikasi tokoh yaitu tokoh utama cerita
(central character, main character), sedangkan yang kedua
adalah tokoh tambahan. Tokoh utama sangat diutamakan
pencitraannnya, ia merupakan tokoh yang paling banyak
13 Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G, Westseijn, Tentang Sastra, Terj. dari Over
Literatuur oleh Akhadiati Ikram, (Jakarta: Intermasa, 1989), h. 118. 14 Ibid., h. 16. 15 Esti Ismawati., Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013)., h.70.
13
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
mengalami kejadian atau konflik. Oleh karena itu, tokoh utama
sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan, tokoh
utama dalam sebuah novel bisa lebih dari satu orang, walaupun
kadar keutamaannya tidak selalu sama.16 Pembedaan keutamaan
tokoh-tokoh itu bertingkat; tokoh utama (yang) utama, tokoh
utama tambahan, tokoh tambahan (peripheral) utama, dan tokoh
tambahan (yang memang) tambahan.
b. Jika dipertimbangkan dalam fungsinya, tokoh dapat dibedakan
menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis
merupakan tokoh yang yang dikagumi yang di dalamnya harus
memberikan nilai-nilai dan norma-norma yang positif para
pembacanya. Tokoh protagonis sering menampilkan sesuatu
sesuai dengan pandanganpembaca. Sedangkan tokoh penyebab
terjadinya konflik disebut tokoh antagonis yang beroposisi
dengan tokoh protagonis secara langsung maupun tidak langsung
dan bersifat fisik maupun batin.17
c. Selanjutnya, jika pada kategori perkembangan perwatakan dapat
dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh
sederhana merupakan tokoh yang hanya menampilkan satu
karakter yang secara konsisten dalam novel, sedangkan tokoh
bulat merupakan tokoh yang muncul pada novel dengan berbagai
perubahan perwatakan yang dapat mengejutkan pembaca, ia tidak
muncul dengan sifat watak yang moton dan tidak hanya
mencerminkan satu watak tertentu.18
Jadi, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah perwatakan
yang ada dalam diri tokoh yang juga mempengaruhi isi cerita. Unsur ini
menjadi dasar sebuah peristiwa dapat terjadi. Berdasarkan pemaparan
16 Burhan Nurgiantoto, Op.Cit. h. 259. 17 Ibid., h. 261. 18 Ibid., h. 265.
14
tersebut, kategori tokoh menjadikan posisi seorang tokoh dalam cerita
dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan cerita. Penokohan
pada dasarnya memberikan gambaran utuh sisi peran orang yang
terlibat dalam cerita.
4. Latar
Istilah latar adalah terjemahan dari istilah bahasa Inggris setting.
Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.19 Latar terdiri dari tiga
macam, yaitu latar sosial, latar waktu dan latar tempat.
Latar dalam karya sastra merupakan bagian yang menunjukan
terjadinya suatu peristiwa. Sebuah cerita tidak akan mudah dipahami
jika unsur latar menghilang dari cerita tersebut. Latar mempunyai
keterkaitan dalam menjelaskan sebuah peristiwa di dalam cerita.
5. Sudut Pandang
Istilah sudut pandang dideskripsikan sebagai posisi pengarang atau
narator dalam membawakan cerita.20 Dari posisi tersebut diceritakanlah
tentang tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu dalam cerita.21 Sudut
pandang berkaitan dengan penyampaian cerita agar bisa sampai pada
pembaca. Sudut pandang menjadikan pengisahan cerita diambil dari sisi
sudut apapun, bisa dari orang pertama, orang ketiga ataupun pengamat
dalam cerita.
Nurgiyantoro membedakan sudut pandang berdasarkan pembedaan
yang telah umum dilakukan oleh orang, yaitu bentuk persona pertama,
kedua, ketiga, dan campuran.22 Sudut pandang tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
19 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., h. 70. 20 E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012),
h.70. 21 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 151. 22 Burhan Nurgiyantoro,Op. Cit., h. 347.
15
a. Sudut pandang persona ketiga, yaitu pengisahan cerita yang
menggunakan sudut pandang “Dia” yang memposisikan narator di
luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut
nama atau kata ganti. Dalam sudut pandang ini, Dia dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu Dia bersifat mahatahu yang menjadikan
narator dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tokoh dan Dia bersifat terbatas atau sebagai pengamat.
b. Sudut pandang persona pertama, yaitu pengisahan cerita yang
menggunakan sudut pandang “Aku” terletak pada seorang narator
yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang ini, Aku
dibedakan menjadi dua macam, yaitu Aku sebagai tokoh utama yang
menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita, dan Aku sebagai tokoh
tambahan yang hadir untuk membawakan cerita, sedang tokoh cerita
yang dikisahkan dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai
pengalamannya.
c. Sudut pandang persona kedua, yaitu pengkisahan menggunakan kata
“kau” sebagai variasi dari cara memandang tokoh aku dan dia.
Penggunaan teknik ini juga dipakai untuk memposisikan diri sendiri
sebagai orang lain. Keadaan seperti demikian ditemukan dalam sudut
pandang “aku” dan “dia” sebagai variasi penyebutan
d. Sudut pandang campuran, yaitu penggunaan sudut pandang yang
bersifat tidak hanya satu, melainkan berupa gabungan antara persona
pertama dan ketiga, antara “aku dan “dia” sekaligus. Pengarang dapat
berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Teknik
semacam ini merupakan siasat untuk memberi kesan kepada pembaca
seolaholah cerita itu sungguh-sungguh ada dan terjadi.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa berkaitan tentang salah satu sarana retorika yang
digunakan pengarang untuk mencapai tujuannya. Setiap teks
16
mempunyai suatu gaya bahasa sebagai ciri khas.23 Gaya bahasa juga
dimaknai sebagai cara mengungkapkan pikiran pemakai bahasa.24
Pemakaian bahasa ini terlihat adanya bermacam-macam gaya bahasa
yang memberikan corak yang beragam pada karya sastra. Pengarang
dalam bercerita akan senantiasa menciptakan suatu nada atau suasana
persuasif yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antar
sesame tokoh.25
Dengan demikian, gaya bahasa berkaitan dengan penggunaan diksi
dalam menyampaikan narasi cerita. Gaya bahasa akan menunjukan juga
upaya penulis menarasikan maksud dan gagasan cerita.
7. Amanat
Amanat banyak disinggung dalam istilah moral. Moral seperti
halnya tema, dilihat dari segi dikotomi bentuk isi karya sastra
merupakan unsur isi. Amanat merupakan cara pengarang
menyampaiakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna
yang disarankan lewat cerita.26
Amanat berkaitan dengan maksud serta pesan yang ingin
disampaiakan oleh penulis. Setiap karya sastra tentu mengandung nilai-
nilai di dalamnya. Sehigga amanat merupakan sesuatu yang bisa kita
ambil maknanya dari karya sastra.
C. Hakikat Mitos Roland Barthes
Barthes memaknai mitos modern dengan istilah mitologi. Mitologi berasal
dari gabungan mythos (pemikiran mitos yang benar) dan logos (pemikiran rasional-
ilmiah). Sebuah mitologi dapat membentuk gaya dan hidup tren sosial.27 Konsep
23 Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G, Westseijn, Pengantar Ilmu Sastra. Terj.
dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1986) h. 105. 24 Gory Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 113. 25 E. Kosasih, Op., Cit, h. 71. 26 Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 320. 27 Marcel Danesi, Pesan, tanda, dan Makna; Buku teks dasar mengenai semiotik dan
Teori Komunikasi. Ter. dari Meassages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and
Communication Theory oleh Evi Setyarini dan Llusi Lian Piantari (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
h. 214.
17
mitos yang Barthes maksud ini yakni konsep ideologi, dan sekali lagi dipertegas
bukan konsep pemikiran mitos yang berkembang berkenaan tentang ghaib dan
mistik.
Barthes mengemukakan bahwa mitos adalah tipe wicara.28 Wicara dalam
hal ini adalah sebuah pesan yang terbentuk dari penanda, petanda, dan tanda.29
Makna sebuah tanda baru dapat dikatakan berlipat ganda jika tanda tunggal tersebut
disarati dengan makna yang berlapis-lapis.30 Setiap tanda selalu memperoleh
pemaknaan awal yang dikenal secara umum (biasa disebut denotasi) dan oleh
Barthes disebut sebagai “sistem primer”. Sedangkan pengembangannya disebut
“sistem sekunder”. Roland Barthes sebagai penerus teori Ferdinand De Saussure
konsep tanda tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa (sebagai salah satu aspek
kebudayaan), tetapi dapat pula digunakan untuk menganalisis unsur-unsur
kebudayaan lain.31 Roland Barthes memaknai mitos sebagai sebuah tataran kedua
dalam memaknai tanda dalam kebudayaan.
Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologi urutan kedua atau metabahasa.
Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama. Tanda
pada sistem pertama (penanda dan petanda) yang membentuk makna denotatif
menjadi penanda pada urutan kedua makna mitologis konotatif.32
Barthes menjelaskan bahwa yang telah dilakukan oleh Saussure berkaitan
dengan signifier yang awalnya hanya merupakan makna denotatif, mampu menjadi
makna konotatif yang bermakna mitos yang dibangun oleh Barthes. Mitos milik
Barthes adalah bagian dari sistem aturan kedua atau biasa disebut “sistem
sekunder”. Barthes mengartikan mitos adalah ideologi yang dipahami sebagai ide-
ide dan praktik-praktik yang secara aktif mempromosikan nilai-nilai dan
28 Roland Barthes, Mitologi, Ter. dari Mythologies oleh Nurhadi dan A, Sihabul Millah,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), h. 151. 29 Ibid., 161. 30 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, Ter. dari Culture Studies, Theory
and Practice oleh Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), h. 75. 31 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Komunitas Bambu,
2014), h. 58. 32 Ibid., h. 74.
18
kepentingan dari kelompok dominan dalam masyarakat yang mempunyai
kekuasaan.33
Sejalan dengan itu, Barthes juga menyebut denotasi sebagai sistem
“pertama”. Biasanya pemakaian tanda ke dua arah yang disebut oleh Barthes
sebagai sistem “kedua” atau konotasi. Denotasi yang disebut sebuah tanda yang
paling stabil dan teruji secara objektif, sedangkan konotasi bisa bersifat plural,
bersifat terstruktur, fleksibel, serta merupakan sesuatu yang memungkinkan kita
untuk melihat secara cukup jelas beberapa sarana yang melaluinya sosial dan tanda
saling berkaitan.34
Konsep sistem sekunder dalam kaitannya Barthes menyebutnya sebagai
konsep konotasi yang didasari tidak hanya dipahami oleh paham kognisi, tetapi oleh
paham pragmatik (yakni pemakaian tanda dan situasi pemahamannya). Dalam
kaitannya dengan pemakaian tanda, dapat memasukkan perasaan (aspek emotif)
sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi.35
Di antara cara-cara menggunakan konsep mitos agar dapat dilakukan
simplifikasi, terdapat dua hal yang paling kuat dan sering yaitu oposisi biner; semua
relasi direduksi pada skala tunggal yang dibangun di antara dua istilah yang
berlawanan, indiferensiasi; penolakan atau perbedaan yang mungkin melibatkan
dua kutub, namun keduanya hanya mengatur pelbagai hal berdasarkan satu
kualitas.36
Mempelajari mitos membuat kita belajar bagaimana masyarakat menjawab
pertanyaan-pertanyaan bagaimana orang-orang mengembangkan suatu sistem
sosial khusus dengan banyaknya adat istiadat, cara hidup, dan juga memahami
secara lebih baik nilai-nilai yang mengikat para anggota kelompok untuk menjadi
satu kelompok. Mitos dapat dibandingkan untuk mengetahui bagaimana
33 Rachmah Ida, Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya, ( Jakarta: Prenada
Media Group, 2014), h. 83. 34 Tony Thwaites, Lloyd Davis, Warwick Mules., Introducing Cultural and Media
Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik. Ter. dari Introducing Cultural and Media Studies: A
Semiotic Approach oleh Saleh Rahmana, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 50. 35 Benny H. Hoed, Indonesia: Tanda yang Retak, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra:
2002), h. 19-20. 36 Ibid., 100.
19
kebudayaan dapat saling berbeda atau menyerupai satu sama lain, dan mengapa
orang bertingkah laku seperti itu.37
Mitos dalam kajian ini bukan berkaitan dengan hal-hal gaib dan mistis.
Mitos dalam kaitan penelitian ini yakni mitos kajian Roland Barthes. Makna mitos
ini merupakan sebuah peristilahan yang di dalamnya secara metonimis mewakili
peristilahan dalam suatu sistem yang menyebabkan adanya pengkodean secara
berlebihan kepada suatu unsur dominan tunggal dan satu relasi tunggal.38
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mitos yang
dikembangakan oleh Barthes membuka konsep tataran pemikiran dibalik sesuatu
yang terlihat sebagai tanda. Lewat teori Barthes, kumpulan konsep pemikiran yang
berkembang di masyarakat dikaji dan dipertanayakn kembali kebenarannya dengan
penandaan sistem kedua. Mitos Barthes membongkar pemikiran atau ideologi yang
diyakini oleh suatu masyarakat. Pada akhirnya, mitos Roland Barthes merupakan
upaya pemaknaan makna tingkat kedua berkenaan cara berpikir atau ideologi yang
ada pada masyarakat tentang sesuatu terbentuk dan termaknai oleh setiap individu
yang terbentuk pada kekuasaan masyarakat.
D. Membaca dan Mengurai Mitos Menurut Roland Barthes
Membaca dan mengurai mitos dengan kajian Roland Barhes artinya
mengungkapkan wicara yang eksplisit, membuka dan membaca mitos dengan konsep
Roland Barthes menjadikan mitos bukan sebagai tujuan tetapi sebagai alasan.39
Membaca dan mengurai mitos Barthes menjadikan segala hal menjadi sebuah makna.
Hal ini menjadikan membaca dan mengurai mitos Barthes diperlukan ketelitian sebab
ketika membaca makna dalam mitos akan ditemukan pemaknaan yang berbeda dari
setiap orang sebab mitos berada pada tataran wicara metabahasa.
Sejalan dengan itu juga mitos tidak menyembunyikan dan memamerkan
segala hal. Mitos hanya mendistorsi. Mitos bukan dusta atau pengakuan, melainkan
sebuah infleksi (pembelokan).40 Mengurai mitos Roland Barthes berarti
37 Marcel Danesi, Op., Cit, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 207. 38 Tony Thwaites, dkk.,Op., Cit, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 98. 39 M. Rafiek, Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik, (Bandung: Refika Aditama, 2010)
h. 108. 40 Ibid.,
20
membongkar pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya sudah
arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.41
Fokus perhatian Barthes dalam mitos melalui signifikansi dua tahap. Dalam
pembacaan mitos, ada dua proses signification dalam analisis semiotika. Tingkat
pertama adalah sistem linguistik, sistem kedua adalah sistem mitis yang
menggunakan model dari sistem pertama. Berikut ini digambarkan peta konsep dari
proses membaca dan mengurai mitos:
1. Signifier 2. Signified
Sign (meaning)
I. Signifier (form)
II. Signified (concept)
III. Sign (signification)
Bagan 2.1. Tahap Signifikasi Menurut Barthes
Berdasarkan gambaran di atas, terdapat signifikasi tahap pertama, makna
diproduksi antara signifier dan signified.42 Barthes menyebutnya sebagai denotasi,
yaitu makna paling nyata dari tanda.43 Sementara pada tahap kedua, adalah konotasi
yang mengeksploitasi tanda (penanda dan petanda) denotatif untuk menjadi
penanda (signifier) pada level konotasi yang kepadanya tersemat petanda (signified)
yang lain. Pada sistem signifikasi tahap kedua (konotasi) inilah mitos beroperasi.
Mitos dalam konsepsi Barthes merupakan metabahasa yang beroperasi dan
bertindak untuk menaturalisasikan dan membiasakan sesuatu yang sifatnya
ideologis untuk kemudian dianggap wajar dan diterima begitu saja.44
Denotasi tingkatan pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan
petanda pada realitas, sedangkan konotasi tingkatan pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna tidak eksplisit,
tidak langsung, dan tidak pasti. Misalnya: orang yang pergi berhaji, dimaknai
sebagai seseorang yang dengan otomatis memiliki kekuasaan dan kehormatan yang
tinggi di masyarakat. Pemaknaan tersebut dikategorikan sebagai mitos yang
41 Alex Sobur, Semiotik Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2016), h. Vii. 42 Dadang Ismatullah, “Mitos Cinta Layla Majnun (Kajian Mitologi Roland Barthes)”,
Jurnal ALFAZ, Vol. 1, No. 1, 2013, h. 86. 43 M. Rafiek, Op.Cit., h.110. 44 Siti Kholifah & I Wayan Suyadnya, Op. Cit., h. 292.
21
berkembang di masyarakat sebagai sebuah ideologi yang secara turun-temurun
diterima sebagai nilai yang alamiah dan diterima begitu saja.
Berikut di bawah ini terdapat ilustrasi denotasi dan konotasi dengan konsep
signifikasi:
Bagan 2.2. Ilustrasi Denotasi dan Konotasi Menggunakan Kerangka
Barthes45
Berdasarkan pemaparan ilustrasi di atas, dapat diketahui bahwa membaca
dan mengurai mitos Roland Barthes membongkar tanda dalam tataran semiologi
yang kemudian dapat dibaca melalui konsep denotasi (tahap pertama), dan konotasi
(tahap kedua). Dari konotasi itulah makna mitos beroperasi dan terbentuk.
E. Fungsi Mitos Roland Barthes
Barthes dalam bukunya Mythologies memaparkan bahwa fungsi mitos
adalah memaparkan sesuatu, sederhananya membuat sesuatu menjadi alamiah dan
abadi.46 Mitos membuat segala hal bukan didasarkan pada kebenaran, melainkan
pada manfaat dan kegunaan atau dengan kata lain mendepolitisasi sesuatu
berdasarkan kebutuhan.47 Dengan demikian, mitos tidak menyembuyikan dan
memamerkan apa pun. Mitos hanya mendistorsi. Mitos bukan dusta atau
pengakuan, melainkan sebuah infleksi (pembelokan).48
45 Siti Kholifah & I Wayan Suyadnya, Metodologi Penelitian Kualitatif Berbagi
Pengalaman Dari Lapangan, (Depok: Rajawali Pres, 2018), h. 293. 46 Barthes, Op., Cit, h. 209. 47 Barthes, Op, Cit., h. 211. 48 M. Rafiek, Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik, (Bandung: Refika Aditama, 2010),
h. 108.
Peci putih
(penanda)
Haji
(petanda)
Tanda
Haji (penanda)
Kaya,
Kehormatan
(petanda)
Orang yang berhaji dimaknai seorang yang punya
kekuasaan dan kehormatan yang tingi di masyarakat
(Tanda)
Denotasi Konotasi
Mitos
22
Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa mitos berfungsi untuk
membuat sesuatu terlihat wajar dan alamiah sebagai kekuatan dominan. Mitos
melakukan penaturalisasian (naturalization) konsep (sistem gagasan) ke dalam
suatu masyarakat pengguna tanda sebagai suatu yang wajar. Mitos tidak ditentukan
oleh objek pesannya, namun oleh cara mengutarakan pesan itu sendiri. Oleh sebab
itu, ada mitos yang kuat dan lemah. Pada tipe pertama, caranya mengungkapkan
sesuatu bersifat langsung, bukan untuk menyangkal sesuatu melainkan penegasan
fakta (a statement of fact). Pada tipe kedua, mitos membuat sesuatu itu menjadi
luntur seperti warna, bias dan menjadi seperti objek yang tidak mempunyai
makna.49
Dengan demikian, fungsi mitos sebagai cara mengungkapkan sesuatu dapat
menjadikan mitos tersebut kuat ataupun lemah, sehingga pada dasarnya tidak ada
dalam dunia ini yang tidak dapat menjadi mitos. Semua dapat menjadi mitos dan
berfungsinya disesuaikan dengan kebutuhan agar terlihat wajar dan alamiah.
F. Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah
Pembelajaran sastra di sekolah menjadi bahan ajar yang diharapkan
memberikan pengalaman kepada peserta didik lewat membaca karya sastra. Sastra
sebagai sesuatu yang dipelajari dapat berfungsi sebagai bahan renungan dan refleksi
kehidupan karena sastra sejajar dengan kejidupan, artinya dari pembelajaran sastra
dapat ditemukan berbagai nilai kehidupan.50 Pembelajaran tersebut dalam
kaitannya dengan melakukan apresiasi sastra di dalam pembelajran di sekolah.
Kegiatan apresiasi sastra dimaknai sebagai kegiatan menggauli, menggeluti,
memahami, dan menikmati cipta sastra hingga tumbuh pengetahuan, pengertian,
kepekaan, dan penghargaan terhadap karya sastra.51 Pemahaman dalam mendalami
sastra diharapakan memunculkan nilai-nilai karakter pada peserta didik sebab
dengan membedah sebuah karya peserta didik dapat berpikir tentang kehidupan
yang digambarkan pada karya sastra.
49 Barthes, Op, Cit., h 209-211. 50 Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h.3. 51 Ibid., h. 1.
23
Masalah-masalah kehidupan dalam karya sastra sejalan dengan masalah
yang di kehidupan nyata, lewat pembelajaran sastra peserta didik dapat berpikir
dalam merespon keadaan masalah jika suatu hari dihadapkan pada masalah yang
ditampilkan dalam karya sastra. Masalah-masalah yang ditampilakan pada karya
sastra mengasah peserta didik dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotor siswa
lewat mempelajari dan mendalami makna yang terkandung dalam karya sastra.
Kemampuan kognitif adalah kemampuan yang dimiliki oleh manusia
berdasarkan pikiran. Kemampuan afektif adalah kemampuan dasar manusia yang
berkaitan dengan emosional seseorang. Kemampuan psikomotorik adalah
kemampuan mengatur sisi kejiwaan untuk bertahan terhadap berbagai persoalan.
Ketiga kemampuan tersebut secara serempak dapat ditemukan dalam pengajaran
sastra.52
Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelektual pembaca dalam
memahami unsur karya sastra, aspek afektif berkaitan dengan unsur emosi pembaca
dalam upaya menghayati keindahan karya sastra, dan aspek psikomotorik berkaitan
dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap karya sastra.53
Salah satu aspek dalam mempelajari karya sastra adalah menentukan unsur
intrinsik. Melalui unsur intrinsik diharapkan ketiga aspek tersebut dapat dihadirkan
oleh guru pada peserta didik lewat mendengar, menyimak, membaca, dan menulis
karya sastra terutama novel, sehingga dapat membantu peserta mengembangkan
pola pikir. Penelitian ini difokuskan pada pandangan mitos tokoh pada karya sastra
novel agar peserta didik mampu menilai kepribadian bukan berdasarkan kebenaran
yang belum diketahui melainkan berdasarkan dengan fakta yang terlihat di
kehidupan. Hal ini juga menjadikan peserta didik tidak begitu saja mudah menerima
informasi, ada proses berpikir dan memaknai keadaan secara kritis.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran sastra di sekolah
merupakan bahan ajar dalam menghadirkan masalah dalam kehidupan sosial
masyarakat tanpa perlu terlebih dahulu peserta didik mengalaminya, dengan
52 Arif Hidayat, “Pembelajaran Sastra Di Sekolah”, Jurnal INSANIA, Vol. 4, No. 2, 2009,
h.1. 53 Esti Ismawati, Op. Cit., h. 74.
24
pembelajaran sastra peserta didik justru dihadirkan pengalaman mengenal
kehidupan dan keadaan sosial budaya masyarakat lewat bacaan karya sastra.
Sehingga, dengan begitu diharapkan peserta didik dapat berpikir secara kritis
menghadapi problematika dalam kehidupan sehari-hari secara bijak.
G. Penelitian Relevan
Karya ilmiah sangatlah membutuhkan referensi sebagai acuan dalam
penelitiannya. Referensi tersebut melalui tinjauan pustaka, artikel, jurnal, makalah,
dan sebagaiannya. Penelitian relevan bertujuan mencari kebaruan dari segi subjek
dan objek, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
Selain itu juga, penelitian relevan digunakan untuk menghindari penjiplakan dalam
penelitian ini. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan peneliti, berikut penelitian
yang sudah dilakukan terkait karya Mahfud Ikhwan antara lain:
Penelitian pertama yang dilakukan oleh Rany Rizkyah Putri S1 Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Surabaya, dengan judul “Konflik Sosial dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan (Kajian Teori Ralf Dahrendorf)”, Penelitian
ini menggunakan pendekatan objektif yang berfokus pada unsur intrinsik atau
analisis intrinsik. Selanjutnya Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik baca catat. Sedangkan teknik
analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif. Tujuan
yang terdapat dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan (1) dua wajah
masyarakat; (2) kekuasaan dan wewenang; (3) kelompok yang terlibat dalam
konflik sosial; (4) pengendalian konflik sosial bentuk arbitrase dalam novel Dawuk:
Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan.54
Penelitian kedua dilakukan oleh Suci Purnama Cahyani, R. Yudi Permadi,
dan Nana Suryana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjajaran dengan judul
jurnal “Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk
54 Rany Rizkyah Putri, Konflik Sosial Dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk
Randu Karya Mahfud Ikhwan (Kajian Teori Ralf Dahrendorf), (Surabaya: Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Volume 01 Nomor 01, Universitas Negeri Surabaya, 2018).
25
Randu Karya Mahfud Ikhwan”, tahun 2018. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analisis dengan teori sosiologi sastra. Untuk dapat mengetahui gambaran
permasalahan sosial yang terjadi dalam Dawuk, penelitian ini menggunakan teori
permasalahan sosial yang dikemukakan oleh Soerdjono Soekanto. Dari 9
permasalahan sosial yang disebutkan oleh Soerdjono Soekanto, hasil penelitian ini
mengindikasikan terdapat empat permasalahan sosial yang terjadi pada masyarakat
Rumbuk Randu dalam novel. Empat permasalahan sosial tersebut yaitu kemiskinan,
kejahatan, disorganisasi keluarga, dan pelanggaran norma-norma masyarakat yang
disebabkan oleh faktor ekonomis, faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor
kebudayaan.55
Penelitian ketiga dilakukan oleh Muhamad Satria Aji, Fakultas Ilmu
Keguruan dan Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Skripsi dengan Judul
“Kearifan Lokal Dalam Novel Dawuk Karya Mahfud Ikhwan Serta Relevansinya
Sebagai Materi Pembelajaran Sastra Di SMA”, tahun 2019. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan dan menjelaskan (1) bentuk kearifan lokal dalam novel
Dawuk karya Mahfud Ikhwan; dan (2) relevansi novel Dawuk karya Mahfud
Ihkwan sebagai materi pembelajaran sastra di SMA. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan antropologi sastra.
Pendekatan antropologi sastra digunakan untuk menganalisis bentuk kearifan lokal
dalam novel Dawuk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) bentuk kearifan
lokal dalam novel Dawuk meliputi peralatan kehidupan, mata pencaharian, sistem
kemasyarakatan, sistem bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi.
Bentuk kearifan lokal yang banyak terdapat dalam novel Dawuk karya Mahfud
Ikhwan adalah sistem religi; dan (2) Novel Dawuk karya Mahfud Ikhwan relevan
sebagai materi pembelajaran sastra di SMA untuk kelas XII dengan kompetensi
dasar (KD) antara lain: (a) menafsir pandangan pengarang terhadap kehidupan
dalam novel yang dibaca; dan (b) menganalisis isi dan kebahasaan novel. Novel
55 Suci Purnama Cahyani,dkk., Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Dawuk: Kisah
Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan, (Bandung, Metahumaniora Vol. 8 No. 2
Universitas Padjajaran, 2017) h. 271-280.
26
Dawuk juga relevan karena telah memenuhi tiga kriteria pemilihan novel, yaitu
bahasa, psikologi siswa, dan latar belakang budaya siswa.56
Penelitian keempat dilakukan oleh Ika Istyna Mulansari, Fakultas Ilmu
Budaya, Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro, Jurnal yang
berjudul “Aspek Moral Dalam Novel Dawuk Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
Karya Mahfud Ikhwan (Sebuah Kajian Sosiologi Sastra)”, tahun 2019. Tujuan dari
penulisan skripsi ini adalah mampu mendeskripsikan struktur dari karya sastra
berupa analisis berupa analisis unsur intrinsik novel, seperti tokoh dan penokohan,
alur, serta latar dan aspek-aspek moral yang terdapat dalam novel Dawuk Kisah
Kelabu dari Rumbuk Randu. Berdasarkan hasil analisis dalam novel Dawuk Kisah
Kelabu dari Rumbuk Randu terdapat unsur intrisik dan aspek moral. Dalam unsur
intrinsik dari segi tokoh memiliki tokoh utama dan tokoh tambahan yaitu Mat
Dawuk, Inayatun, Mbah Dulawi, Ayah Mat Dawuk, Bapak Imamudin, Ibu
Sulaikah, Mandor Har, serta Blandong Hasan. Sedangkan dalam aspek moral
terdapat aspek moral positif dan negatif. Aspek moral positif berupa jangan melukai
hati orang lain, cinta kasih, tanggung jawab, mandiri, kekeluargaan, ketaatan, dan
menepati janji dan aspek moral negatif berupa dendam, tidak menghormati, tidak
setia, egois, suka berkelahi, dan berkata dusta. Aspek moral negatif yang telah
tergambarkan justru membalikkan suatu fakta. Bahwa di balik perilaku moral yang
bersifat negatif terdapat pesan-pesan positif yang ingin disampaikan kepada
pembaca.57
Penelitian kelima dilakukan oleh Dwina Dian Putri, Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul skripsi “Narasi NU dan
Muhammadiyah dalam Roman Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan dan
56 Muhammad Satria Aji, “Kearifan Lokal dalam Novel Dawuk Karya Mahfud Ikhwan
serta Relevansinya Sebagai Materi Pembelajaran Sastra di SMA” Skripsi. Universitas Sebelas
Maret: Solo, 2019. 57 Ika Istyna Mulansari, “Aspek Moral Dalam Novel Dawuk Kisah Kelabu Dari Rumbuk
Randu Karya Mahfud Ikhwan (Sebuah Kajian Sosiologi Sastra)”Jurnal Skripsi Fakultas Ilmu
Budaya, Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro, tahun 2019. Diunduh dari
laman eprints.undip.ac.id, 12 Juni 2019 pukul 23.57.
27
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Latar belakang penelitian
ini adalah untuk mengetahui narasi dalam strategi penceritaan roman Kambing dan
Hujan karya Mahfud Ikhwan dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di
Sekolah. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat tujuan dari fokalisasi yang
digunakan oleh Mahfud Ikhwan dalam strategi penceritaannya. Teknik fokalisasi
yang digunakan Mahfud Ikhwan menunjukkan adanya cerita berbingkai dalam
roman yang terlihat dari para tokoh utamanya, menarasikan konflik yang
mempengaruhi kisahannya membantu membangun konflik yang tidak memihak.
Pada pembelajaran sastra di sekolah, roman ini menjadi media yang dapat
diimplikasikan ke dalam pembelajaran mengenai analisis unsur pembangun pada
teks sastra.58
Selain penelitian yang berkaitan dengan karya Mahfud Ikhwan, penulisan
skripsi ini juga dilakukan ulasan beberapa skrpsi, jurnal, artikel yang menggunkan
teori dengan kajian tokoh Roland Barthes dalam penelitian teks sastra, berikut
penelitian yang sudah dilakukan terkait teori Roland Barthes:
Penelitian yang menggunakan kajian Roland Barthes dilakukan oleh Fazli
Aini, Universitas Negeri Makassar. Skripsi tahun 2019 dengan judul “Sistem Kode
dalam Novel 86 Karya Okky Madasari (Suatu Kajian Semiologi Roland Barthes).
Selain itu, Berkaitan dengan pemikiran kajian Roland Barthes juga dilakukan oleh
Yuliani, tahun 2018 Universitas Negeri Makasar dengan judul “Sistem Kode Dalam
Novel Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi karya M. Aan Mansyur (Semiologi
Roland Barthes).59 Selanjutnya penelitian kajian Roland Barthes juga pernah ditulis
oleh Mustika dan Fina Amalia Masri, Universitas Halu Oleo dengan judul “Kajian
58 Dwina Dian Putri, “Narasi NU dan Muhamadiyah dalam Roman Kambing dan Hujan
Karya Mahfud Ikhwan dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Skripsi.
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2019. 59 Fazli Aini, “Sistem Kode dalam Novel 86 Karya Okky Madasari (suatu kajian semiologi
Roland Barthes), Yuliyani “Sistem Kode Dalam Novel Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi
karya M. Aan Mansyur (Semiologi Roland Barthes). Skripsi. Universitas Negeri Makasar, diunduh
pada lamanhttp://eprints.unm.ac.id/, 21 November 2019.
28
Semiotik Roland Barthes dalam Cerpen Bayi yang Dipetik Sebatang Pohon Karya
Yetti A. KA.60
Ketiga penelitian tersebut menunjukan kode-kode semiologi Roland
Barthes yang terdiri dari: kode heremeutik, kode proaretik, kode semik, kode gnoik,
dan kode simbolik. Pemikiran Roland Barthes pada ketiga penelitian tersebut
digunakan untuk membedah fokus masalah berkaitan dengan sistem kode pada teks
sastra. Hasil yang didapatkan dalam ketiga penelitian tersebut memiliki kemiripan
pola analisis dengan metode deskriptif kualitatif. Ketiga penelitian tersebut
menghasilkan pembahasan dengan menunjukan bentuk kelima kode dalam teks
masing-masing karya, sehingga seperti melihat pola analisis yang sama dengan
beda karya sastra saja, dan hasil pembahasannya pun tidak jauh beda. Pemikiran
semiologi Roland Barthes yang dilakukan oleh ketiga penelitian tersebut terlihat
hanya berfokus pada deskripsi tanpa melakukan pembedahan mendalam
kemunculan kode-kode tersebut dalam teks sastra. Pada ketiga penelitian tersebut
kajian semiologi Roland Barthes lebih fokus ke dalam kode-kode bahasa.
Selanjutnya, jika pada titik fokus semiotik pemikiran Roland Barthes
penelitian akan memunculkan bahasan yang berbeda dengan hasil analisis
identifikasi pada ranah denotasi, konotasi, dan mitos. Penggunaan istilah semiologi
dan semiotik pada kajian penelitian tanda prinsipnya tidak membawa perbedaan
maksud yang mendasar, hanya jika pada tataran semiologi bahasan cenderung
bersifat teoritis seperti hanya mengungkapkan aspek pengetahuan tanda bahasa
dalam teks sastra, sedangkan semiotik lebih pada kajian praktis.
Penelitian dengan pisau bedah semiotik Roland Barthes pernah dilakukan
oleh Zahrotul Insiyah dengan judul Skripsi “Analisis Semiotik Pesan Dakwah
dalam Novel Rindu Karya Darwis Tere Liye tahun 2017 Universitas Islam Negeri
60 Mustika dan Fina Amalia Masri, Universitas Halu Oleo dengan judul “Kajian Semiotik
Roland Barthes dalam Cerpen Bayi yang Dipetik Sebatang Pohon Karya Yetti A. KA. Jurnal,
diunduh pada laman http://journal.fib.uho.ac.id/index.php/hiskisultra/article/view/190, 21
November 2019.
29
Walisongo.61 Hasil penelitian ini diantaraya adalah novel Rindu karya Darwis Tere
Liye termasuk dalam jenis novel fiksi inspiratif. Pada novel Rindu terdapat pesan-
pesan dakwah yang diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: pesan akidah, pesan
syariat, dan pesan akhlak. Pesan akidah yaitu iman kepada Allah berupa takut
kepada Allah (khouff) dan iman kepada takdir Allah yaitu (qodho’ dan qodar).
Pesan syariat berupa birrul walidain, tholabul ‘ilmi, amal jariyah, dan sholat
jamaah. Pesan akhlak berupa akhlak pada diri sendiri, akhlak pada guru, akhlak
pada sesama manusia.
Penelitian tersebut membongkar penanda-petanda dengan jelas lewat tabel
signifikasi Roland Barthes. Analisis dalam penelitian tersebut dilatarbelakangi
konsep-konsep dakwah yang sering muncul di masyarakat sebagai bagian dari
interaksi dan komunikasi yang mengandung pesan. Metode yang digunakan yakni
kualitatif deskriptif. Pembahasan dalam analisis cukup runtut dan sistematis,
sehingga tujuan akhir penelitian dapat dipahami dengan mudah.
Selain itu, terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Bayu Teja Kusumua,
skripsi dari Universitas Sultan Ageng Titayasa Serang-Banten, tahun 2017 dengan
judul “Representasi Nilai Perempuan dalam Islam pada Novel Ratu yang Bersujud
(Analisis Semiotik Roland Barthes)”.62 Skripsi tersebut menggunakan pendekatan
semiotik Roland Barthes dengan mengidentifikasi makna denotasi, konotasi, dan
mitos pada novel Ratu yang Bersujud. Latar belakang penelitian dilakukan karena
di dalam novel terlihat perlawanan kaum Feminis terhadap propaganda buruk nilai-
nilai perempuan dalam Islam. Penggunaan metode deskriptif kualitatif peneliti
dengan kerangka teori semiotik Roland Barthes. Penelitian tersebut bertujuan untuk
memaparkan representasi perempuan sebagai fokus masalah yang diteliti. Hasil
penelitian menggambarkan representasi perempuan dalam Islam ditunjukkan lewat
ciri pakaian, sikap, dan perilaku. Pembahasan dalam analisis mengungkapkan
61 Zahrotul Insiyah,“Analisis Semiotik Pesan Dakwah dalam Novel Rindu Karya Darwis
Tere Liye, Skripsi. Universitas Islam Negeri Walisongo, diunduh pada laman
http://eprints.walisongo.ac.id/ 21 November 2019. 62 Bayu Teja Kusumua, “Representasi Nilai Perempuan dalam Islam pada Novel Ratu yang
Bersujud (Analisis Semiotik Roland Barthes)”, Skripsi. Universitas Sultan Ageng Titayasa Serang-
Banten , diunduh pada laman http://repository.fisip-untirta.ac.id/ 22 November 2019.
30
secara detail kemunculan representasi tersebut yang dikaitkan dengan ayat-ayat
dalam Al-quran. Penggunaan kajian teori sangat tepat, sehingga penelitian
dianalisis dengan baik.
Penelitian dengan semiotik Roland Barthes lebih memperluas jangkauan
tidak hanya sekedar dalam ranah kode-kode bahasa saja, melainkan kode-kode
tersebut direpresentasikan dalam makna yang lebih luas. Terlebih jika penelitian
berfokus dengan mitos, kemunculan fokus bahan kajian pokok mitos akan
menjadikan analisis secara mendalam karena bukan hanya membahas tanda,
penanda-petanda saja, tetapi pada pengungkapan narasi-narasi mitos sebagai
sebuah ideologi yang dianggap “kebenaran”.
Pada penelitian yang berfokus pada Mitos kajian Roland Barthes telah
dilakukan oleh Dadang Ismatullah dengan jurnal berjudul “Mitos Cinta Layla
Majnun (Kajian Mitologi Roland Barthes)”, dasar penelitian tersebut untuk
membongkar hakikat cinta yang melekat pada karya sastra kisah Laila Majnun.
Sebuah kisah cerita rakyat Arab yang sangat popular. Banyak yang menganggap
kisah percintaan itu sebagai sebuah kisah cinta sejati. Konsep-konsep pemikiran
tersebut menjadikan “mitos” mengenai cinta sejati melekat pada cerita tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian tersebut dilakukan guna
memberikan penjelasan bagaimana suatu konsep ternyata terbentuk
kausalitasnya.63
Penelitian Dadang Ismatullah memberikan penjelasan bahwa kemunculan
mitos percintaan dalam kisah Layla Majnun antara lain: cinta adalah pemenuhan
janji, cinta adalah pengorbanan, cinta yang membinasakan, cinta yang terpuji dan
cinta yang tercela. Konsep yang diyakini selama ini perihal kisah percintaan
lagendaris tersebut sebagai hakikat cinta sejati, namun setelah dilakukan
pembacaan dengan model Roland Barthes didapatkan bahwa hal itu hanya mitos.
Kemunculan mitos didapatkan dengan analisis bahwa fakta-fakta yang
63 Dadang Ismatullah “Mitos Cinta Layla Majnun (Kajian Mitologi Roland Barthes)”,
Jurnal ALFAZ, Vol. 1, No. 1, 2013.
31
dimunculkan dalam teks sastra kisah Layla Majnun menunjukan bahwa hubungan
itu sebagai bentuk hubungan kausalitas. Hubungan tersebut didapatkan lewat
petanda dan penanda pada tataran denotasi muncul sebagai konotasi, dari tataran
konotasi tersebut hadirlah mitos.
Konsep Cinta yang diyakini orang sebagai sebuah kebenaran yang muncul
pada teks sastra Layla Majnun didapatkan bukan karena cinta sejati, melainkan
lebih mengarah pada tidakterbalaskannya cinta Qais pada Laila. Hasil analisis
tersebut didapatkan dari kemunculan mitos atas cerita percintaan Layla Majnun.
Dengan demikian, pembacaan dengan teori Roland Barthes ketika dilakukan secara
kritis dan mendalam dapat ditemukan “fakta” yang diyakini masyarakat ternyata
hanya sebuah “mitos”.
Sejalan dengan penelitian tersebut, konsep analisis dengan fokus bahasan
Mitos Roland Barthes juga pernah dilakukan oleh Suarni Syam Saguni dan
Baharman Universitas Negeri Makasar dengan judul “Narasi tentang Mitos
Kecantikan dan Tubuh Perempuan dalam Sastra Indonesia: Studi atas Karya-Karya
Cerpenis Indonesia”.64 Jurnal yang berfokus dengan delapan cerpen dari para
cerpenis Indonesia terbitan tahun 2004-2014. Berfokus pada narasi-narasi mitos
kecantikan yang menjadi standar umum dalam masyarakat patriaki yang
memandang bahwa perempuan berharga karena ia indah. Konsep standar umum
tersebut membuat pertanyaan adakah perlawanan terhadap regulasi tersebut dalam
narasi cerpen Indonesia mutakhir. Penelitian yang dimaksudkan untuk
mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis gambaran mitos kecantikan
dalam cerpen Indonesia Mutakhir.
Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
memaparkan kemunculan narasi-narasi mitos kecantikan secara jelas dan runtut,
hanya dalam jurnal tidak dijelaskan paparan teori. Hasil analisis memaparkan,
mitos kecantikan dimaknai secara mapan antara lain: 1) Tubuh perempuan yang
cantik dengan kulitputih, mulus, kinclong. 2) Perempuan cantik dihubungkan
64 Suarni Syam Saguni dan Baharman “Narasi tentang Mitos Kecantikan dan Tubuh
Perempuan dalam Sastra Indonesia: Studi atas Karya-Karya Cerpenis Indonesia”Jurnal Retorika,
Vol 9, No 2 (2016) Universitas Negeri Makasar, diunduh pada laman
https://ojs.unm.ac.id/retorika/article/view/3804/2196 22 November 2019.
32
dengan dandanan, pakaian, aksesoris. 3) Perempuan cantik seksi dan menggoda. 4)
Gaya perempuan cantic modern mengarah modis, luwes, dan maskulin. 5)
Perempuan cantik itu simestris, dicintai, dan bahagia. Kemunculan mitos tersebut
sering digunakan sebagai upaya mengontrol konsep yang disukai oleh masyarakat
sebagai budaya patriaki.
Konsep pemikiran mitos yang digunakan dalam penelitian jurnal tersebut
dipaparkan dengan jelas, hanya hubungan kausalitas tidak muncul sebagai mana
penelitian jurnal Mitos Cinta Layla Majnun. Secara keseluruhan, mitos dengan teori
Roland Barthes yang digunakan oleh dua penelitian tersebut dipaparkan secara jelas
lewat hasil analisis dan pembahasan.
Konsep-konsep standar pandangan umum yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat dibongkar oleh pemikiran Mitos Roland Barthes, sehingga didapatkan
hubungan kausalitas yang menjelaskan budaya dominasi masyarakat sebagai
pembuat kesepakatan. Pemikiran Mitos Roland Barthes digunakan sebagai upaya
pembongkaran makna tersembunyi dari narasi-narasi yang diyakini kebenarannya.
Penggunaan teori mitos Roland Barthes dipilih sebagai pisau bedah membongkar
budaya dominasi kesepakatan oleh masyarakat.
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan beberapa penelitian berkaitan
dengan teori Roland Barthes ternyata dapat disimpulkan adanya beberapa
perbedaan ketika dalam memilih fokus bahasan pokok permasalahan. Jika pada
ranah semiologi Roland Barthes terfokus pada kemunculan kode-kode bahasa,
semiotik Roland Barthes berfokus pada kemunculan denotasi, konotasi, dan mitos
yang tersebar dalam teks, dan pada fokus bahasan Mitos Roland Barthes analisis
mengupas kemunculan ideologi sebagai sesuatu yang perlu dipertanyakan dan
dibongkar kembali hakikat kebenarannya.
Hasil ulasan beberapa penelitian di atas sebagai gambaran teori Roland
Barthes yang ternyata masih mempunyai keterkaitan meskipun dengan penyebutan
nama teori yang berbeda, namun hal tersebut berkaitan dengan fokus bahasan yang
diambil. Pada penelitian yang dilakukan skripsi ini, penulis berfokus pada
membongkar standar umum pandangan yang muncul dalam teks novel Dawuk:
33
Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan yang dianggap sebagai
sebuah kebenaran mutlak oleh orang-orang Rumbuk Randu.
Penelitian skripsi ini berfokus pada pembongakaran konsep-konsep
“kebenaran” yang muncul dalam novel tersebut. Rancangan analisis yang dibangun
berkaitan kemunculan mitos dan keterkaitan kekuatan di dalamnya dalam dominasi
kekuasaan budaya. Selain itu, skripsi ini dikaitan dengan pembelajaran bahasa dan
sastra di SMA yang ada pada Kurikulum 2013. Dengan demikian, skripsi ini
berjudul “Mitos dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya
Mahfud Ikhwan serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di
SMA (Kajian: Mitos Roland Barthes).
34
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MAHFUD IKHWAN
A. Biografi Mahfud Ikhwan
Mahfud Ikhwan seorang penulis yang lahir di Lamongan 7 Mei 1980.
Mahfud Ikhwan menyelesaikan kuliah tahun 2003 dari Jurusan Sastra Indonesia
Universitas Gadjah Mada dengan skripsi tentang cerpen-cerpen Kuntowijoyo.1
Perkenalan Mahfud dengan dunia sastra dimulai ketika umur delapan sampai
sepuluh tahun dengan membaca karya Zawawi, Arswendo, Andy Wasis, dan
sosok-sosok lain yang ditunjuk resmi pemerintah dari departemen pendidikan
atau Balai Pustaka untuk menulis cerita anak.
Perkenalan Mahfud Ikhwan dengan sastra berlanjut pada saat ia masuk
SMP. Ketika itu, Mahfud sudah mengetahui beberapa nama saseperti Iwan
Simatupang, Chairil Anwar, Amir Hamzah, serta Rendra, tetapi hanya dalam
bentuk hapalan nama dan karya yang mereka tulis. Namun ketika di SMU,
Mahfud Ikhwan mengenal karya sastra lewat tugas membaca karya dalam
membuat resensi pelajaran Bahasa Indonesia.2
Karier kepenulisan Mahfud Ikhwan dimulai dengan menulis cerpen yang
diterbitkan oleh majalah Annida dengan genre cerita islami. Selain itu, Mahfud
Ikhwan juga menulis serial Sejarah Kebudayaan Islam untuk siswa MI berjudul
Bertualang Bersama Tarikh (4 jilid tahun 2004), cergam berjudul Seri
Peperangan pada Zaman Nabi (3 jilid tahun 2008), kumpulan cerpen Belajar
Mencintai Kambing (2016), novel Ulid Tak Ingin Ke Malaysia (2009), Lari
Gung! Lari (2011), Kambing dan Hujan (2014) yang memenangkan Sayembara
Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014, dan novel berjudul Dawuk: Kisah
1 Sabda Badio., Profil Mahfud Ikhwan, Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017
Kategori Prosa. https://www.abasrin.com/2017/10/profil-mahfud-ikhwan.html diakses 15 Juli
2019 pukul 12:00 WIB. 2 Febrina Aninditia, “Wacana Kehidupan Bersama Mahfud Ikhwan” pada laman
https://www.whiteboardjournal.com/interview/ideas/wacana-kehidupan-bersama-mahfud-ikhwan/
di akses pada tanggal 24 Juli 2019 pukul 15:06
35
Kelabu Rumbuk Randu (2017) yang juga meraih Kusala Sastra Khatulistiwa
tahun 2017.
Karya-karya Mahfud baik dalam tulisan fiksi maupun non-fiksi berkisah
dalam satu titik pusat: kemanusiaan yang apa adanya. Mahfud Ikhwan ingin
menyampaikan karyanya tanpa melodramatik. Selain sebagai penulis dan editor
buku, kegiatan sehari-harinya juga mengulas bahasan sepakbola dan film India
di blog pribadi. Mahfud Ikhwan juga berprofesi sebagai fasilitator dalam
Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
B. Pemikiran Mahfud Ikhwan dalam Berkarya
Mahfud Ikhwan merupakan seorang penulis yang dikenal namanya
karena novel Kambing dan Hujan memenangkan sayembara novel DKJ tahun
2014. Selain itu, terkenal karena novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk
Randu yang meraih Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2017. Namanya dapat
dideretkan dengan penulis sezaman seperti Faisal Oddang dan Okky Madasari
yang menjadi barometer sastrawan yang terus produktif menulis hingga
sekarang.
Kemunculannya yang secara mengagumkan dalam kemenangan
sayembara DKJ tahun 2014 dan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2017
membawa Mahfud Ikhwan menjadi penulis yang diperhitungkan
kemampuannya. Karyanya hadir dengan balutan kehidupan pedesaan, lagu
India, urbanisasi, dan sosio-keagamaan. Karyanya memuat isu-isu baru yang
bukan lagi hanya terpusat pada pembahasan zaman penjajahan dan peperangan,
melainkan isu-isu kehidupan sehari-hari yang sering ditemukan dan dihadapi
masyarakat.
Mahfud Ikhwan mengawali karier menulis dengan kegiatan kelompok
kecil di Fakultas bernama “Akar Angina”. Mahfud Ikhwan mengawali proses
kepenulisan dengan menulis cerpen. Hal tersebut dikarenakan Mahfud merasa
36
belum bisa menulis puisi ataupun novel, juga karena cerpen mempunyai
kemungkinan termuat di penerbit koran dan mendapat honor.3
Proses kepenulisan Mahfud Ikhwan mengalir begitu saja, tidak ada
orientasi menjadikan tulisannya sebagai bentuk karya sastra. Keinginannya
untuk menulis itu datang tanpa ada tujuan yang berambisi tinggi terhadap
kesusatraan Indonesia. Bahkan dia menulis awalnya untuk mendapatkan uang. 4
Selain itu, ketertarikan Mahfud Ikhwan menulis muncul saat sudah
menjadi mahasiswa, bukan sebelum menjadi mahasiswa. Mahfud Ikhwan
menegaskan bahwa bukan karena dia senang menulis kemudian masuk sastra
Indonesia, melainkan sebaliknya. Beliau masuk dulu sastra dan berpikir bahwa
sebaiknya dia menulis.5
Mahfud Ikhwan menulis berdasarkan segala hal yang diketahui,
dipahami, dan dikuasai. Pandangan menulis tersebut membuat Mahfud Ikhwan
mempunyai orientasi karya-karyanya cenderung membahas pedesaan. Segala
hal yang berbau masyarakat desa dimunculkan dalam karyanya. Kecenderungan
tersebut disebabkan perjalanan menulis Mahfud Ikhwan merupakan perjalanan
pulang: artinya kembali ke desa, dan itulah dirinya. Mahfud Ikhwan
menganggap bahwa desa dan dirinya adalah satu kesatuan. Karya-karya yang
ditulisnya merupakan representasi berdasarkan segala sesuatu yang membekas
dan paling terkenang dalam ingatannya.
Mahfud Ikhwan dalam berkarya banyak mengambil inspirasi dari Putu
Wijaya dan Kuntowijoyo. Putu Wijaya mengajarkan kepadanya tentang
kelugasan berbahasa. Kuntowijoyo menunjukkannya cara untuk menyampaikan
apa yang akrab dengannya yakni segala hal yang berkaitan tentang desa.
3 Wa Ode Wulan Ratna, Pahlawan Menulis Mahfud Ikhwan,
https://jurnalruang.com/read/1511937033-pahlawan-menulis-mahfud-ikhwan, di akses pada
tanggal 29 April 2019 pukul 20.00 WIB. 4 Wawancara pribadi via surel ([email protected]) dengan penulis
([email protected]) pada tanggal 06 April 2019 pukul 23.47 WIB. 5 Loc.,Cit.
37
Baginya, Kuntowijoyolah yang mempengaruhi untuk tetap menulis tentang desa
dengan gagah.6
Pengalaman Mahfud Ikhwan sebagai seorang anak gembala juga membuat
kata kambing muncul di beberapa karyanya, seperti karya yang berjudul
Kambing dan Hujan, serta Belajar Mencintai Kambing (2016). Baginya, hal itu
merupakan pengalaman yang membekas. Meskipun dirinya besar di Kota
Yogyakarta, tetapi perjalanan masa kecil di desa dan menjadi anak gembala
menjadikan landasan dia dalam menulis beberapa karya.7 Selain itu,
kegemarannya terhadap film India dan sepak bola juga mempengaruhi bahasan
cerita di beberapa karyanya. Mahfud Ikhwan hadir sebagai penulis karya sastra
Indonesia dengan wajah cerita unik dan sedikit berbeda.
C. Sinopsis Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
Kisah diawali dengan hadirnya seorang Warto Kemplung sebagai
pembuka cerita. Warto digambarkan sebagai seorang narator yang dianggap
sebelah mata karena kebiasaan bercerita yang isinya hanya bualan. Warto
menceritakan kisah di sebuah warung kopi kepada siapa saja yang sudi
mendengarnya, lebih tepatnya yang sudi berbagi rokok dan membelikannya
kopi.
Kisah berpusat pada percintaan antara dua sejoli, Mat Dawuk dan
Inayatun. Dua sejoli yang di mata masyarakat sekitarnya begitu lekat dengan
stereotipe negatif. Novel Dawuk: KKDRR berlatar kehidupan sosial yang
berubah, dari tanaman komoditas kayu jati dan belakangan ramai oleh kebiasaan
kerja jadi buruh migran dan menjadi TKI ke Malaysia. Dawuk; lelaki yang
terlahir buruk rupa. Dia menjalani masa kecil yang penuh ejekan dan hinaan,
tumbuh menjadi remaja pendiam yang misterius, dan saat dewasa merantau ke
Malaysia dengan pekerjaan yang sama misteriusnya. Sementara Inayatun lahir
dari keluarga santri terpandang, tumbuh menjadi remaja pemberontak dengan
6 M. Nafi,” Mahfud Ikhwan : Desa, Sepakbola, dan Film India dalam laman
http://www.sajadah.co/mahfud-ikhwan-desa-sepakbola-dan-film-india/ di akses pada tanggal 24
Juli 2019 pukul 14:54 7 Sophia Mega dan Mahfud Ikhwan, “Desa & Kambing Bagi Mahfud Ikhwan- Dialog
Ep.4” https://www.youtube.com/watch?v=XSnN2V8seSo di akses 20 Mei 2019 pukul 14.15 WIB
38
pesona menggoda, lalu memilih pergi ke Malaysia untuk mencari kebebasannya.
Keduanya bertemu dalam suasana yang suram tetapi perlahan membangun
hubungan yang penuh cinta dan kegairahan.
Romansa dan tragedi kisah Rumbuk Randu yang dituturkan narator
Warto Kemplung membuat cerita percintaan Dawuk dan Inayatun menjadi tidak
sederhana, dan ternyata itu berkait dengan dongeng asal-usul kampung, sejarah
kelam, dan perubahan-perubahan sosial di Rumbuk Randu.
Peristiwa dimulai pada saat keduanya pulang ke Indonesia dan menjalani
kehidupan berumah tangga. Inayatun yang tidak mendapat restu menikah dengan
Dawuk terus coba dipisahkan dengan berbagai cara oleh ayahnya yaitu Pak
Imam. Ketidakutuhan identitas serta keburukrupaan fisik Dawuk membuat
Dawuk dirasa tidak pantas bersanding dengan Inayatun.
Klimaks cerita terjadi pada saat Dawuk pergi mencari makanan ke hutan.
Ketika itu Blandong Hasan dan Mandor Har bertamu ke rumah Inayatun dan
Mat Dawuk. Meskipun telah menikah, Inayatun terus diganggu oleh Blandong
Hasan dan Mandor Har. Saat mereka bertamu, mereka menggoda Inayatun
kemudian terjadilah perselisihan antara ketiganya. Tidak disangka, perselisihan
itu menyebabkan Inayatun mengalami luka pada perutnya yang saat itu sedang
hamil. Inayatun meninggal ketika dalam perjalanan ke puskesmas.
Kejadian perselisihan itu sulit terdeskripsikan karena Mandor Har juga
meninggal dalam peristiwa tersebut. Orang yang hidup dan terlibat pada
peristiwa tersebut hanya Blandong Hasan dan Mat Dawuk. Blandong Hasan
bersaksi bahwa Mat Dawuklah yang bertanggung jawab atas kematian Inayatun
dan Mandor Har. Sementara, ketika itu Mat Dawuk pulang dari hutan dan sudah
melihat Inayatun bersimbah darah dan Mandor Har tertusuk kapak.
Peristiwa berdarah tersebut membuat Mat Dawuk diadili dan masuk
pengadilan. Ketika dalam pengadilan, seorang saksi yakni Mbah Dulawi (Kakek
Mat Dawuk) yang secara peristiwa tidak ikut terlibat bercerita memberikan
penjelasan secara detail hingga kejadian tersebut masuk akal. Namun, tetap saja
Mat Dawuk dianggap sebagai pembunuh dan di penjara.
39
BAB IV
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik
Pengkajian mitos sastra khususnya untuk mengetahui unsur-unsur mitos
yang terdapat dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya
Mahfud Ikhwan dengan memperhatikan pengkajian unsur intrinsik. Hal tersebut
berfungsi untuk memaparkan keterkaitan antara tujuan estetik dan makna
keseluruhan isi yang ingin dicapai. Berikut ini penjabaran unsur intrinsik dalam
novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan.
1. Tema
Tema merupakan sebuah gagasan yang menjadi dasar cerita. Selain itu,
tema memberikan kekuatan dan menegaskan kesatuan setiap peristiwa-peristiwa
dalam cerita menjadi utuh dan terbangun kisah. Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan mengangkat tema percintaan antara si buruk
rupa Mat Dawuk dan si Inayatun yang tinggal di desa Rumbuk Randu.
Mat Dawuk dan Inayatun, dua sejoli yang dianggap mempunyai streotip
negatif di masyarakat. Si laki-laki yang buruk rupa dan tidak jelas identitas
membuat geger masyarakat Rumbuk Randu dengan menikahi perempuan kembang
desa yang cantik dan menggoda. Sebuah kisah percintaan yang sangat kontroversial
bagi orang-orang Rumbuk Randu. Hal tersebut berdasarkan kutipan:
Dalam soal rupa, itu jelas pernikahan yang ganjil bagi banyak orang. Tapi
tidak ada yang aneh bagi keduanya. Mereka justru merasa diciptakan untuk
bersama. Mereka yakin ditakdirkan untuk berjumpa. Saling melengkapi,
saling mengisi, saling menyembuhkan. Mat membuat Inayatun lebih tenang
dan bisa mengendalikan diri, demikian kata Inayatun. Inayatun menuntun
Mat Keluar dari kesepian dan kemurungannya selama ini, kira-kira begitu
menurut Mat. Tumbu yang ketemu tutupnya; gentong yang ketemu
gayungnya; dan tentunya alu yang bersua lumpangnya. Cocok.1
11 Mahfud Ihwan, Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu, (Tangerang Selatan:
Marjin Kiri, 2017) h. 45.
40
Berdasarkan kutipan tersebut, meskipun dianggap sebagai pasangan ganjil
oleh orang-orang Rumbuk Randu, Mat Dawuk dan Inayatun merasa bahwa
pernikahan mereka bukanlah sebuah pernikahan yang ganjil. Mereka saling
melengkapi kekurangan pada diri mereka. Mereka merasa bahwa pernikahan
mereka dilandasi dengan cinta, dan tidak mempermasalahkan soal rupa. Mat
Dawuk dan Inayatun menjalani hari-hari pernikahan dengan penuh cinta, hal ini
terbukti pada kutipan:
Ini persis seperti kandang di film Betaab. Luas dan Sepi,” kata Inayatun
dengan mata ceria, sehabis mereka bercinta di lantai—sebab dipan mereka
tidur belum selesai dibikin. Siang-siang pula.2
Pernikahan Mat Dawuk dan Inayatun yang berlandas cinta dan ketulusan
membuat kebahagiaan selalu mewarnai hari-hari mereka. Kebahagiaan itu lengkap
dengan kabar Inayatun hamil. Hal itu berdasarkan kutipan:
Aku meteng goblok! Kali ini lebih keras. “Bunting.” Ulangnya, sambil
membuat tanda gundukan diperutnya. Mat Kaget. Gembira, tapi seketika
juga khawatir.3
Dan dengan semakin bertambah usia janin di perut Inayatun, rasa bahagia
itu semakin bertambah-tambah. 4
Kutipan di atas memberi gambaran kehidupan rumah tangga Mat Dawuk
dan Inayatun yang terasa sangat bahagia dan lengkap dengan kehadiran janin di
perut Inayatun. Meskipun begitu, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, cerita
percintaan mereka berakhir dengan tragis, yakni dengan kematian Inayatun. Hal ini
berdasarkan kutipan:
“Is…istri… Anda su… sudah tiada….” Kata si dokter, terbata-bata. “Jug…
juga bayinya.”5
Kutipan di atas menggambarkan kisah percintaan yang berakhir tragis yang
diakibatkan malapetaka. Nyawa Inayatun tidak tertolong bersama sang bayi. Akhir
sebuah kisah percintaan yang begitu tragis dan menyedihkan. Mat Dawuk seperti
diserang kebingungan dan ketidakpercayaan.
2 Ibid., h. 48. 3 Ibid., h. 54. 4 Ibid., h. 62. 5 Ibid., h. 81.
41
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kisah dalam novel DKKDRR bertema
percintaan yang berakhir dengan kesedihan. Kisah pernikahan antara Mat Dawuk
dan Inayatun yang membuat geger orang-orang Rumbuk Randu yang dianggap
tidak cocok dan tidak pantas. Sebuah gambaran kehidupan bahwa percintaan di
dalam anggapan kebudayaan masyarakat yang penuh fragmen-fragmen yang sulit
untuk diuraikan. Gambaran percintaan yang masih memiliki standar umum bahwa
yang buruk rupa tidak pantas bersanding dengan yang cantik jelita. Sebuah
pandangan mitos yang menguat menjadi kebenaran.
2. Alur/ Plot
Alur atau plot pada novel umumnya memiliki lebih dari satu plot: terdiri
lebih dari satu plot utama dan sub-plot.6 Hal ini terlihat pada plot dalam novel
DKKDRR yang memiliki plot utama dan sub-plot. Adanya plot utama dan sub-plot
pada cerita dalam novel DKKDRR memberikan gambaran terbentuknya cerita
berbingkai pada pengkisahan novel tersebut. Berdasarkan hal tersebut, akan
dipaparkan sebagai berikut:
a. Plot utama
Plot utama pada novel DKKDRR merupakan urutan peristiwa yang
dialami oleh tokoh Mat Dawuk dan Inayatun. Sedangkan sub-plot novel
tersebut adalah urutan peristiwa kisah; Warto Kemplung dengan tokoh aku,
kisah legenda Rumbuk Randu, dan kisah dendam Mbah Dulawi dan Sinder
Harjo yang mempunyai keterkaitan dengan tokoh utama Mat Dawuk
sebagai bagian penjelasan keseluruhan isi cerita plot utama. Berdasarkan
urutan peristiwa, plot utama pada novel DKKDRR adalah sorot balik-
flasback. Penentuan tersebut terbukti pada kutipan:
Kira-kira lima pekan lalu, pada sebuah sore yang biasa, yang orang
mengira tak akan terjadi apa-apa, ia muncul di ujung kelokan jalan
dari arah utara desa Rumbuk Randu, desa istrinya, setelah
menghilang hampir dua windu lamanya.7
Berdasarkan kutipan tersebut, cerita pada novel DKKDRR dimulai
dengan tahapan pemunculan peristiwa kedatangan kembali Mat Dawuk
6 Burhan Nurgiantoro, Op.Cit., h. 15. 7 Mahfud Ikhwan, Op.Cit., h. 9.
42
yang telah menghilang selepas peritiwa berdarah kematian Inayatun.
Kedatangannya ke desa Rumbuk Randu bertujuan untuk berziarah ke
makam istrinya. Namun, kedatangannya membuat keresahan orang-orang
desa Rumbuk Randu. Berikut ini akan disajikan tahapan plot dalam plot
utama:
1) Tahap pengenalan situasi cerita, yaitu menceritakan pertemuan
tokoh Mat dan Inayatun di Malaysia. Hal ini terbukti pada kutipan:
“Inayatun kan?” Mat Dawuk memastikan. “Mat ini Mat.” Ia
menyingkap rambut kriting panjangnya, mengikatnya ke
belakangan, dan memperlihatkan dengan lebih jelas wajah
buruknya. “Rumbuk Randu. Ya, Rumbuk Randu.”8
Kutipan tersebut merupakan peristiwa pertemuan antara Mat Dawuk
dan Inayatun di tanah perantauan yakni di Malaysia. Lewat pertemuan
itu juga kehidupan Mat Dawuk dan Inayatun semakin erat, dan
semakin menjadi lebih dekat. Pertemuan itu terjadi karena Mat Dawuk
menolong Inayatun yang sedang dikejar oleh lelaki wandu-nya yang
begitu tergila-gila mencintai Inayatun tetapi membuat Inayatun
merasa tidak bahagia karena tersiksa. Pada tahap cerita pertemuan itu
juga menjadi awal cerita selanjutnya bergulir.
2) Tahapan peningkatan konflik, yaitu kemunculan peristiwa ketika
Mat Dawuk dan Inayatun memutuskan untuk menikah dan pulang ke
Rumbuk Randu dari Malaysia. Inayatun dan Mat Dawuk dianggap
sebagai pasangan ganjil yang oleh orang-orang Rumbuk Randu
dianggap tidak cocok. Hal ini terbukti pada kutipan:
Pada bulan ketujuh kebersamaan mereka, Mat memasukkan
kembali poster Ayat Kursi, Al-Quran, dan kitab-kitabnya ke
kardus, membungkusnya dengan rapi. Kali ini sekalian dengan
poster-poster film, buku-buku Wiro Sableng, dan kaset-kaset
lagu Indianya. Setelah menimang banyak hal, mereka
memutuskan untuk pulang ke Rumbuk Randu. “Untuk hidup
yang lebih baik,” kurang lebih begitu pamit mereka kepada
orang-orang yang mereka kenal di Malaysia. Tapi, kalian tahu,
justru kehancuranlah yang tengah menunggu.9
8 Ibid.,h .31. 9 Ibid., h. 45.
43
Pulang dengan laki-laki yang berbeda itu bikin malu. Namun
menggandeng Mat Dawuk ke depan kedua orangtuanya
dianggap lebih buruk dari sekedar penghinaan.10
Peristiwa kembalinya Inayatun dan Mat Dawuk ke Rumbuk Randu
dari tanah perantauan menjadi tahap pemunculan konflik. Kepulangan
mereka mengagetkan orang-orang Rumbuk Randu serta membuat
hubungan Inayatun dan orangtuanya semakin renggang. Pernikahan
mereka tidak mendapat restu.
3) Tahapan konflik, yaitu peristiwa kunjungan Mandor Har dan
Blandong Hasan ke rumah kandang, padahal pada saat itu hanya
Inayatun yang berada di rumah. Mandor Har dan Blandong Hasan
datang bertamu dan bertanya status kepemilikan tanah yang digarap
oleh Mat Dawuk kepada Inayatun. Namun, peristiwa tersebut membuat
ketiganya terlibat dalam percekcokan. Hal ini terbukti pada kutipan:
Inayatun memohon untuk dilepaskan; “Aku sedang
mengandung,” katanya mengiba; “Wah, malah kebetulan,”
sahut Mandor Har dengan muka senang, “Kalau aku ikut
urunan, wajah anakmu nanti bisa lebih mendingan; Mandor Har
bertindak semakin jauh, mulai menyosori tengkuk Inayatun dan
menaikkan cengkaman tangannya dari pinggang ke dadanya,
sementara Blandong Hasan malah dengan sigap mengunci pintu
rumah dari dalam…11
Berdasarkan kutipan tersebut, peristiwa percekcokan itu
mengarah untuk memperkosa Inayatun. Peristiwa tersebut membuat
ketiganya melakukan aksi pertahanan dan perlawanan. Mandor Har
dan Blandong Hasan yang memang berniat datang berkunjung untuk
menggoda Inayatun beraksi dengan cepat, tetapi Inayatun yang
merasa terancam melakukan ancaman dengan memegang pisau.
Hingga, peristiwa itu membuat meninggalnya Inayatun dan Mandor
Har. Hal ini berdasarkan kutipan:
Inilah takdir yang menjungkirbalikkan kehidupan bahagianya
dengan Inayatun. Seluruh kehidupannya, lebih tepatnya.12
10 Ibid., h. 19. 11 Ibid., h. 118. 12 Ibid.,h. 76
44
“Itu Mat Dawuk!” Terdengar seorang menyebut namanya, tapi
bukan untuk memanggilnya.
“Dia yang bunuh Inayatun dan Mandor Har!” Seseorang
terdengar menyahut, kali ini cukup keras di antara deru hujan
yang menderas.13
Peristiwa yang berdarah sore itu membuat Mat Dawuk tertuduh dan
menjalani hukuman atas perbuatan yang sebenarnya tidak
dilakukannya. Peristiwa konflik tersebut membuat ketegangan antara
Mat Dawuk dengan orang-orang Rumbuk Randu. Peristiwa itu juga
yang membuat kisah Dawuk benar-benar kelabu; ditinggal meninggal
istirnya dan semakin dikucilkan masyarakat.
4) Tahap penyelesaian, yaitu dengan menurunnya konflik berdarah
kematian Inayatun dan Mandor Har. Penurunan konflik berdarah
tersebut diakhiri dengan kesedihan. Peristiwa akhir cerita yaitu
pengeroyokan kembali Mat Dawuk, setelah sebelumnya pernah
dilakukan ketika kematian Inayatun. Perisitwa terjadi ketika Mat
Dawuk pulang ke Rumbuk Randu untuk berziarah ke makam istrinya
setelah dua windu menghilang. Pengeroyokkan tersebut dilakukan
orang-orang Rumbuk Randu untuk menyelesaikan keresahan warga
atas kemunculan kembali Mat Dawuk. Peristiwa penyelesaian
dibiarkan menggantung oleh penulis. Hal ini berdasarkan kutipan:
Tapi, belum lagi lampu teplok itu menggantung sempurna,
sebuah bayangan menghambur ke arahnya. Mat Dawuk
terhempas ke daun pintu rumah kandangnya, setelah sebuah
terjangan yang keras dan penuh amarah menerpa pangkal
pahanya. Ia terjerembab ke samping. Lampu teplok bergoyang
karena tangan yang sebelumnya memegangnya terpental
mengikuti tubuh yang terjengkang. Jelas sudah, ia sedang tak
sekuat sebelum-sebelumnya. Dari cahaya teplok yang goyah,
Mat Dawuk terlihat memegangi kepalanya, mengaduh tertahan.
Tampaknya kepalanya membentur kusen pintu. Ketika berusaha
hendak bangkit, sebuah sepakan keras dari kaki yang lain
menyambut dagunya, dan itu membuat kepalanya kembali
13 Ibid.,h. 83
45
terpental, kali ini jatuh terkulai ke lantai tanah. “Rangket dia!
Ikat!” terdengar suara mengomando.14
Siapa yang mati? Siapa yang hilang? Siapa membunuh siapa?15
Berdasarkan penggalan dalam kutipan novel tersebut, akhir cerita
oleh pengarang dibiarkan menggantung begitu saja. Tahap penyelesaian
kisah Mat Dawuk dibirakan menggantung dan membingungkan. Dengan
demikian, jika peristiwa diurutan pada plot utama pada DKKDRR dapat
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 4.1 Plot Utama Novel Dawuk: Kisak Kelabu Dari Rumbuk Randu
14 Ibid.,h. 163 15 Ibid., h. 181
No Tahapan
Plot
Urutan
Peristiwa Peristiwa
1 Pengenalan
situasi cerita B
Pertemuan Mat Dawuk dan Inayatun di
Malaysia.
2 Pemunculan
peristiwa A
Kemunculan kembali Mat Dawuk setelah
menghilang selama bertahun-tahun
setelah kejadian berdarah untuk
berziarah ke makam istrinya di Rumbuk
Randu membuat warga merasa tergangu
dan terusik.
3 Peningkatan
Konflik C
Mat Dawuk dan Inayatun memutuskan
menikah dan kembali ke Rumbuk Randu
dari perantauan di Malaysia.Pernikahan
mereka tidak direstui oleh orang tua
Inayatun dan perniakahan mereka
menjadi perbincangan karena dianggap
sebagai pasangan ganjil.
4 Konflik D
Terbunuhnya Inayatun dan Mandor
Hariyanto dalam percekcokkan berdarah
di rumah kandang. Mat Dawuk dituduh
sebagai pembunuh.
5 Penyelesaian E Mat Dawuk dikeroyok di rumah
kandang.
46
Sedangkan, jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot
utama novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu yaitu sorot balik- flasback
dapat digambarkan sebagai berikut:
D1A B C D ED2
Peristiwa D1 dan D2 merupakan pertalian kronologis cerita yang plotnya
saling berkaitan dan terjadi dalam kurun waktu yang bertahap progresif. Hal
tersebut dikarenakan kemunculan kembali Mat Dawuk setelah menghilang selama
dua windu membuat keresahan, sehingga terjadi peristiwa dikeroyoknya Mat
Dawuk di Rumah Kandang. Ada pertalian dalam satu kurun waktu yang progresif
antara peristiwa A dan E, sehingga awal cerita diawali dengan suspensi dalam
tahapan penceritaan dalam novel sehingga cerita menjadi sorot balik-flasback.
b. Sub-plot
Sub-plot pada novel DKKDRR merupakan cerita yang menjelaskan serta
melengkapi kesempurnaan isi cerita. Sub-plot mempunyai keterkaitan untuk
menjelaskan beberapa cerita dalam plot utama. Sub-plot memiliki konflik yang
tetap masih ada hubungannya dengan plot utama. Sub-plot dalam novel novel
DKKDRR menggambarkan juga adanya cerita berbingkai di dalam novel tersebut.
Sebuah cerita dapat dikatakan mempunyai cerita berbingkai jika cerita kedua yang
dikisahkan lebih penting dibanding cerita yang pertama yang hanya berfungsi
sebagai pengantar.16
Sub-plot dalam novel tersebut dianalisis dengan diberi judul “Cerita di Warung
Kopi”, “Legenda Rumbuk Randu” dan “Dendam Tiga Generasi”. Pemberian judul
digunakan untuk mempermudah pengklasifikasian plot utama. Selain itu,
pemberian judul juga sebagai gambaran cerita yang berfungsi pegantar dan
penjelasan kelengkapan isi cerita. Hal ini dilakukan juga untuk memberikan
penjelasan secara merinci berkaitan urutan peristiwa. Berikut ini akan dipaparkan
sub-plot dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu:
16 Jan van Luxemburg, dkk, Tentang Sastra, Terj. dari Over Literatuur oleh Akhadiati
Ikram, (Jakarta: Intermasa, 1991), h. 118.
47
1. Sub-Plot Cerita di Warung Kopi
Cerita di Warung Kopi merupakan kisah dalam novel yang dimunculkan di
bab awal. Kemunculan narrator Warto Kemplung yang menceritakan kisah
kelabu Rumbuk Randu kepada para pembeli di warung kopi. Peristiwa tersebut
membuat cerita DKKDRR termuat dalam koran, dari sana pula cerita menjadi
rumit dan tidak sederhana. Tokoh Aku yang berperan sebagai penulis cerita
tersebut mengalami kebingungan perihal kebenaran cerita yang sudah ditulis di
koran. Hal ini terbukti pada kutipan:
Dan, ya, beginilah. Aku adalah raja yang malang, juga bodoh, yang
pagi-pagi rela datang ke warung kopi ini, mengabaikan meliput
peristiwa tidak penting untuk mendengar seorang pembual
mengisahkan cerita yang mungkin lebih tidak penting. Dan jelas-jelas
sama sekali tak terjamin kebenarannya.17
Berdasarkan pemaparan kutipan di atas, cerita Mat Dawuk dan Inayatun
bergulir dengan kemunculan tokoh “Aku” yang ingin mendengarkan Warto
Kemplung “si pembual”. Penulis memunculkan sub-plot sebagai petunjuk
bahwa cerita berbentuk naratif berbingkai dengan kemunculan nyata tokoh-
tokoh lain yang secara langsung tidak terlibat pada kisah, tetapi muncul sebagai
pengantar. Sub-Plot yang memunculkan sang narrator sebagai pembawa kisah
kelabu Rumbuk Randu.
2. Sub-Plot Legenda Rumbuk Randu
Legenda Rumbuk Randu merupakan kisah yang menceritakan asal-usul
nenek moyong orang-orang Rumbuk Randu. Kisah tersebut menjadi
terungkap kembali dengan adanya pernikahan pasangan ganjil yaitu Mat
Dawuk dan Inayatun. Hal tersebut berdasarkan kutipan:
Kisah nenek-moyang yang merupakan percintaan kutukan sang anak
kyai yang bengal dan tidak mau dijodohkan, tetapi dikarenakan
perbuatannya dia bertemu dengan pemuda kalang buruk rupa. Sang
kyai malu dan murka dengan keputusan anak gadisnya. Pasangan yang
tak direstuinya itu diusirnya agar pergi jauh sehingga ia tak lagi melihat
wajah mereka. Tak lupa disumpahinya pula. Kepada anak gadisnya,
sang kyai jatuhkan kutuk: si anak gadis, dan gadis-gadis yang jadi anak
cucunya kelak, tak akan bisa memegang janji kepada lelaki yang
dipilihnya sebagai suami, sebagaimana ia tak bisa dipegang oleh
17 Ibid., h. 89
48
ayahnya sendiri; kepada si pemuda kalang ia menyabda: ladang, hutan,
ternak, dan keahlian apapun yang dimilikinya berkaitan dengan itu tak
akan mampu menghidupi istri dan anaknya keturunannya. Keduanya
kemudian berkelana membawa serta kutukan itu. Di suatu tempat yang
jauh dari hutan, yang jauh dari utara, tak terjangkau dari selatan, yang
batas barat dan timurnya tak terbayangkan, mereka mumutuskan
berhenti dan menetap, dan kemudian beranak-pinak. Dan setelah tiba
ramainya masa, tempat itulah yang kemudian disebut sebagai Rumbuk
Randu.18
Cerita tersebut disampaikan oleh Warto Kemplung yang
memberikan gambaran bahwa pernikahan Mat Dawuk dan Inayatun
dikaitkan dengan kisah nenek moyang Rumbuk Randu. Pernikahan yang
sangat ditolak oleh orang-orang Rumbuk Randu. Pertalian cerita tersebut
juga yang membuat orang-orang Rumbuk Randu menolak kedatangan
kembali Mat Dawuk sebagai warganya, hal ini berdasarkan kutipan:
Mat Dawuk harus mati lebih karena ia lelaki berwajah buruk yang
menikahi perempuan tercantik yang pernah lahir di Rumbuk Randu.
Tahu kenapa? Karena pasangan ganjil itu, cinta tak terbayangkan antara
si buruk rupa dan si cantik jelita itu, mengingatkan mereka akan legenda
Siti si anak kyai dan Suta si Pemuda Kalang, nenek moyang yang tak
pernah mereka akui itu. Mereka tak ingin kisah tak menyenangkan itu
diputar ulang, dengan kutukan yang diperbaharui. Mereka tak terima
itu.19
Berdasarkan penggalan kutipan pada novel tersebut, pengkategorian
cerita ini sebagai sub-plot merupakan sebagai kisah penjelas yang
mempunyai keterkaitan dengan plot utama, yakni kemunculan peristiwa
pengeroyokan Mat Dawuk di rumah kandang. Penjelasan tersebut tetapi
tidak masuk dalam peristiwa pokok dalam plot. Cerita hanya mempengaruhi
sebagai pengantar peristiwa yang memperjelas adanya sebab-akibat,
sehingga cerita tersebut menjadi sub-plot.
3. Sub-Plot Dendam Tiga Generasi
Sub-plot selanjutnya yaitu kisah Dendan Tiga Generasi, cerita dimulai
dengan kemunculan Mbah Dulawi untuk memberikan saksi di pengadilan
18 Ibid., h. 95-96. 19 Ibid., h. 103
49
atas tuduhan Mat Dawuk membunuh Inayatun dan Mandor Har. Cerita
dendam tersebut juga bergulir sebagai pengantar yang memberikan
penjelasan sebab-akibat konflik Mandor Har dan Mat Dawuk. Hal ini
terbukti pada kutipan:
Ini lebih berkaitan dengan bangkitnya kembali amarah yang terpendam
selama tiga generasi.20
Dan ketika melihat Dulawi muncul di pengadilan, dalam keadaan sehat-
walafiat pula, apalagi mencoba membebaskan Mat Dawuk dari tuduhan
pembunuhan atas Mandor Har, mereka menyadari ada yang belum
tuntas. Ada yang musti diselesaikan. Dendam itu masih ada. Sakit hai
itu masih nyata.21
Berdasarkan kutipan tersebut, penjelasan cerita Dendam Tiga
Generasi sebagai sub-plot memberikan gambaran penjelasan tambahan
alasan peristiwa Mat Dawuk dikeroyok di rumah kandang setelah kematian
Inayatun. Peristiwa tersebut bukan hanya terjadi karena orang-orang
Rumbuk Randu resah karena kemunculannya kembali untuk berziarah ke
makam istrinya melainkan dikarenakan masih ada dendam yang belum
selesai antara Mbah Dulawi yang bercucu Mat Dawuk dan Sinder Harjo
yang bercucu Mandor Har. Ada keterkaitan silsilah dendam keluarga yang
membuat peristiwa tersebut terjadi.
Peristiwa pengeroyokan yang dilakukan sebagai penyelesaian akhir
dari plot utama merupakan akibat dari dendam tiga generasi yang belum
selesai. Ada kekuatan tambahan dari orang-orang yang menyimpan dendam
pada Mat Dawuk. Hal tersebut yang membuat muncul sub-plot Dendam
Tiga Generasi. Cerita yang di dalamnya tidak terlibat secara langsung
dengan plot utama, tetapi memberikan penjelasan keterkaitan peristiwa.
Sub-plot dalam plot uta ma dapat dijelaskan sebagai adanya hubungan
sebab-akibat.
Berdasarkan pemaparan plot utama dan sub-plot, dapat ditarik
kesimpulan dalam bagan sebagai berikut:
20 Ibid., h. 121 21 Ibid., h. 131
50
Bagan 4.1 Plot Utama dan Sub-plot
Keterangan:
= Plot Utama
= Sub-plot yang masuk ke plot utama
= Sub-plot pengantar cerita
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan orang yang terlibat dalam cerita, sedangkan penokohan
merupakan watak atau karakter yang melekat pada tokoh tersebut. Setiap tokoh
dalam cerita mempunyai karakter yang berbeda-beda. Penokohan dimaksudkan
untuk menunjang jalannya cerita dalam novel. Mengikuti perkembangan peran
dalam cerita, maka tokoh dalam novel DKKDRR karya Mahfud Ikhwan memiliki
dua golongan tokoh yaitu, tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
merupakan tokoh-tokoh yang terlibat konflik dan mempengaruhi perkembangan
plot cerita. Unsur tokoh tambahan adalah tokoh yang terlibat dalam cerita sebagai
unsur yang melengkapi perkembangan cerita. Berikut pembagian tokohnya beserta
dengan penokohannya:
a. Tokoh Utama
Tokoh utama novel DKKDRR yaitu Mat Dawuk dan Inayatun. Tokoh
tersebut terlibat dalam plot utama dalam keseluruhan kisah dalam novel
DKKDRR. Keduanya menjadi tokoh pusat kisah percintaan di desa Rumbuk
Randu. Berikut penggambarannya:
1. Mat Dawuk
Mat Dawuk merupakan tokoh laki-laki yang digambarkan sebagai
seorang yang buruk rupanya, Hal tersebut terunggap dalam kutipan:
1 2
3
51
Agak sulit menjelaskan betapa buruk rupanya Mat Dawuk di masa
bocahnya, sebagaimana sulit menjelaskan betapa mengerikan
wajahnya saat dewasa.22
Kutipan tersebut menegaskan bahwa tokoh Mat Dawuk
digambarkan sebagai tokoh yang memiliki fisik buruk rupa, nama
sebenarnya Muhammad Dawud, namun orang mengejeknya sebagai
“Dawuk”. Hal tersebut terungkap dalam kutipan:
Nama aslinya bagus, bahkan agung: Muhammad Dawud. Tapi,
karena sejak kecil ia begitu kumuh, kumal, tak terawatt, orang
mengejeknya sebagai “Dawuk”, sebutan yang biasanya dipakai
orang Rumbuk Randu untuk menyebut kambing berbulu kelabu.
Sejak itu orang memanggilnya Mat Dawuk.23
Kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa tokoh Mat Dawuk
terlukiskan sebagai tokoh yang sudah sejak kecil dilabeli dengan
keburukrupaan dan tidak terurus. Hal ini dikarenakan Mat Dawuk yang
terlahir buruk rupa tidak mempunyai sanak-saudara, kehilangan Ibu yang
meninggal saat melahirkannya, dan bapak yang tidak menganggap dirinya
ada. Tokoh Dawuk tergambar memiliki nasib buruk, hal tersebut terunggap
dalm kutipan:
Lebih buruk dari wajahnya adalah nasibnya. Sudah buruk rupa, si
anak juga tak dianggap oleh si bapak sebagai biang keladi kematian
ibunya, yang meninggal saat melahirkannya.24
Tokoh Dawuk merupakan tokoh yang memiliki perwatakan sebagai
seorang tokoh yang tetap mengedepankan nilai-nilai, beliau memiliki nilai
kebaikan yang ditunjukan ketika pada suatu hari menolong Inayatun dari
kejaran seorang laki-laki. Hal tersebut terungkap dalam kutipan berikut:
Ketika Inayatun melihat orang itu dan Mat Dawuk melihat ketakutan
yang sangat di matanya, ia sudah tahu apa yang terjadi. Ia mengerti.
Tanpa kata-kata, diberinya Inayatun tanda agar tidak usah takut dan
tak perlu lari.25
Kutipan di atas menggambarkan Mat Dawuk yang mencoba
menolong Inayatun yang sedang dikejar-kejar oleh seorang laki-laki, Mat
22 Ibid.,h. 19 23 Ibid., 24 Ibid., h. 19-20 25 Ibid., h. 32
52
Dawuk mencoba memberikan pertolongan dan memberikan kenyamanan
bahwa tidak perlu takut, dirinya dapat menolong Inayatun. Hal tersebut
memberikan gambaran bahwa sebagai seorang yang sama-sama merantau
di Malaysia Mat Dawuk memberikan pertolongan pada Inayatun yang
sedang dalam bahaya. Semua itu berupa nilai-nilai yang sesuai dengan
pandangan kita secara umum, sehingga Mat Dawuk termasuk dalam
kategori tokoh protagonis. Meskipun sejak kecil terkucilkan dan dijauhi
orang-orang Rumbuk Randu, dia sesungguhnya tetap muncul sebagai
seorang yang baik dan memiliki watak yang tetap mengedapankan nilai-
nilai sosial. Hal ini terbukti pada kutipan:
Ketika malam, ia lebih asyik dengan kesendiriannya, dengan lagu-
lagu India lama yang dulu sering didengar bersama istrinya. Ia
tenang-tenang saja ketika seorang mengambil jarak saat ia ikut
shalat berjamaah di masjid. Tak perlu ada yang diambil hati ketika
seseorang mengulurkan tangan sesudah salam ke sisi lain namun
tidak kepadanya.26
Berdasarkan kutipan di atas dapat diperjelas kembali bahwa
perwatakan tokoh Dawuk termasuk dalam kategori tokoh bulat. Tokoh
Dawuk tergambar sebagai seorang yang penyendiri, namun dengan
kesendirian itu bukan berarti dia menjauhi orang-orang sekelilingnya
meskipun di masyarakat tokoh Dawuk dijauhi dan dikucilkan karenan
dianggap seorang yang berbeda dan buruk rupa.
Jika dilihat dari peran tokoh dalam perkembangan cerita, tokoh
Dawuk terkategori sebagai tokoh utama (yang) utama. Tokoh Dawuk
menjadi tokoh utama yang mendominasi keseluruhan dan menentukan plot
cerita secara keseluruhan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa judul novel
mengangkat nama “Dawuk”; sebuah penggambaran bahwa isi keseluruhan
novel bercerita tokoh Dawuk.
2. Inayatun
Inayatun adalah sosok perempuan yang muncul pada novel
DKKDRR sebagai seorang perempuan cantik yang bisa dikatakan sebagai
26 Ibid., h. 11
53
kembang desa di Rumbuk Randu. Perempuan yang tumbuh dengan
kecantikan yang luar biasa namun juga memiliki sikap yang membuat
pusing keluarganya. Hal tersebut terbukti pada kutipan:
Inayatun tumbuh sebagai gadis cantik yang disukai banyak pria, tapi
bikin pusing keluarganya.27
Penggambarak tokoh Inayatun yang cantik jelita membuat Inayatun
banyak disukai pria, namun dengan kecantikan itu juga dia mudah merayu
banyak lelaki dan kurang memiliki akhlak yang baik, Inayatun menjadi anak
yang tidak diharapkan keluarganya karena sikapnya yang kurang baik.
Inayatun tampil sebagai sosok perempuan yang gampang gonta-ganti
pasangan, akhlak yang bobrok, dan tampil sebagai perempuan yang tidak
diharapkan oleh keluarga. Hal ini terbukti pada kutipan:
Mereka tentu saja mendambakan anak gadis yang salehah. Bukan
saja demi kebaikannya sendiri di akhirat sana, tapi juga demi
kebaikan diri dan keluarganya di dunia. Tapi apa daya, yang mereka
dapatkan adalah seorang gadis badung yang sulit diatur, yang
ngawur. Inayatun memang pandai mengaji, tapi sepandai itu pula ia
merayu laki-laki. Bacaan Arab-nya fasih, sefasih saat ia bicara kotor
atau memaki.28
Berdasarkan penggambaran lewat penggalan di atas dapat dilihat
bahwa tokoh Inayatun memiliki perwatakan yang tergambarkan memiliki
banyak sisi dan beragam dia tidak hanya digambarakan pada satu sisi,
sehingga dia terkategorikan tokoh bulat.
Inayatun berperan sebagai tokoh utama (yang) utama perempuan
dalam novel DKKDRR, pengkategorian sebagai tokoh utama karena ia
banyak diceritakan juga mempengaruhi isi cerita berkaitan dengan kisah
percintaan dengan Mat Dawuk. Posisinya dapat dikategorikan sebagai
tokoh protagonis, meskipun dalam beberapa aspek tidak mengedepankan
nilai-nilai norma tapi Inayatun masih memiliki nilai baik karena dirinya
rajin mengaji dan lancar membaca Alquran. Sebuah nilai norma yang
27 Ibid., h. 17 28 Ibid.,
54
diharapkan oleh masyarakat bahwa meskipun akhlaknya buruk, masih ada
sisi yang patutu dicontoh. Pembawa nilai-nilai norma hal ini dikarenakan
penokohan pada dirinya sebagai penyebab terjadinya konflik, dia menjadi
penyebab banyak terjadinya perubahan peristiwa ketika bertemu dengan
Mat Dawuk.
b. Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan dalam novel DKKDRR merupakan tokoh yang
melengkapi keseluruhan isi cerita. Tokoh-tokoh tersebut tampil sebagai
pelengkap peristiwa serta mempunyai peran menjelaskan sebab-akibat
dalam cerita novel. Tokoh-tokoh tersebut terdiri dari tokoh yang
beroposisi dengan tokoh utama, tokoh yang mendukung tokoh utama, serta
tokoh di luar plot cerita utama (sub-plot). Berikut ini penggambarannya:
1. Pak Immamudin
Pak Imamudin atau Pak Imam adalah ayah kandung Inayatun,
yang berarti mertua Mat Dawuk. Pak Imam; seorang kyai sekaligus
pamong desa kawakan yang dipercaya dan sangat dihormati di
Rumbuk Randu. Hal ini berdasarkan kutipan:
Bapaknya, Immamudin (orang-orang dengan hormat
memanggilnya Pak Imam), adalah seorang pamong desa
kawakan dengan pengetahuan agama yang mendalam.29
Selain itu, tokoh Pak Imam mempunyai perwatakan kejam,
pemarah, dan keras kepala bahkan memiliki pikiran negatif. Hal ini
terbukti juga pada kutipan:
“Tapi siapa yang tahu kau hanya berpura-pura Mat?”
Ah betul-betul buruk perangai orang itu, tak mengherankan
anaknya tumbuh sebagai gadis Bengal.30
“Copot kalung jimat di lehermu!” perintah Pak Imam.Mat
Dawuk tersenyum tak percaya dengan mertua tak berbelas
kasihanya, seperti seorang paman penyayang menghadapi
rengekan keponakan yang menjengkelkan.31
29 Ibid., h. 17. 30 Ibid., h. 162. 31 Ibid., h. 160.
55
Berdasarkan pemaparan kutipan di atas, tokoh Pak Immamudin
berperan sebagai tokoh tambahan yang beroposisi dengan tokoh utama
dalam peristiwa konflik. Kadar tokoh tambahan pak Immamudin
bersifat tokoh tambahan (peripheral) utama. Keberadaan sebagai tokoh
tambahan memiliki keutamaan yang sangat tinggi sebagai tokoh yang
turut mempengaruhi sebagian plot cerita. Selain itu, dapat
dikategorikan sebagai tokoh antagonis, hal ini dikarenakan Pak Imam
begitu banyak memiliki nilai-nilai ideal yang bertolak belakang, yaitu
angkuh, berkuasa, kejam, pemarah, berpikiran negatif. Apabila dilihat
dari perwatakan tokoh, maka Pak Imam termasuk dalam kategori tokoh
bulat karena ditampilkan dengan karakter yang beragam.
2. Ibu Sulaikah
Ibu Sulaikah adalah isteri Pak Imam, artinya ibu kandung dari
Inayatun sekaligus mertua perempuan Mat Dawuk. Tokoh ini
digambarkan sebagai seorang yang aktif di Rumbuk Randu dan
mengurus urusan pengajian. Tokoh ibu Sulaikah menjadi panutan ibu-
ibu Rumbuk Randu karena sebagai seorang istri dari tokoh masyarakat
yang disegani, sehingga dengan suaminya yang tokoh dan pamong desa
Rumbuk Randu, ibu Sulaikah juga mempunyai tempat di orang-orang
Rumbuk Randu sebagai seorang yang sangat dihormati dan disegani.
Hal ini berdasarkan kutipan:
Ibunya, Sulaikah, sementara itu adalah pengurus pengajian
yang bersemangat dan jadi panutan.32
Penggambaran tokoh ibu Sulaikah sangat sederhana, dia
hanya muncul sekali dalam kutipan novel DKKDRR, sehingga sulit
diidentifikasi perihal wataknya. Namun dari kutipan di bawah ini
tergambar bahwa sosok ibu Sulaikah sebagai seorang yang lemah dan
lembut, hal ini tergambar ketika dia terkejut kemudian pingsan melihat
32 Ibid., h. 17.
56
Inayatun pulang menggandeng Mat Dawuk sebagai suaminya. Terbukti
pada kutipan:
“Kenapa kau tak laburi saja muka ibumu ini dengan tahi, In!” Jerit
ibunya sebelum tumbang pingsan.33
Berdasarkan kutipan di atas, ibu Sulaikah berperan sebagai tokoh
tambahan yang dapat bersifat tokoh tambahan (yang memang)
tambahan, hal ini dikarenakan hanya ditampilkan secara sekilas. Selain
itu, tokoh ibu Sulaikah termasuk ke dalam tokoh antagonis karena tokoh
beroposisi dengan tokoh protagonis, juga terkategori sebagai tokoh
sederhana karena hanya ditampilkan kualitas kepribadian tertentu saja,
yaitu sebagai seorang ibu yang lembut
3. Mandor Hariyanto (Mandor Har)
Mandor Hariyanto atau biasanya dipanggil Mandor Har
adalah polisi hutan di Rumbuk Randu. Dia merupakan penguasa hutan
di Rumbuk Randu, kekuasaannya didapatkan secara turun temurun.
Mandor Har digambarkan dengan perawakan fisik yang tinggi besar,
tampan, rambut kecoklatan. Mandor Har juga ditampilakan sebagai
seorang yang memiliki hubungan percintaan dengan Inayatun pada
masa remaja. Hal ini berdasarkan kutipan:
Itu Mandor Hariyanto, atau biasa dipanggil lebih sederhana
sebagai Mandor Har. Inilah si empu nama yang disebut istrinya
di rumah tadi. Ia boleh dibilang sebagai keturunan ketiga
penguasa hutan Rumbuk Randu. Anak Mantri Hartoyo dan cucu
Sinder Harjo, ia sangat mudah dikenali, apalagi di tengah hutan,
karena perawakan yang tinggi besar, berkulit gelap namun
tampan, dengan rambut yang agak kecoklatan—ciri-ciri yang
konon merupakan tinggalan nenek dari garis ibunya yang punya
darah campuran Ambon-Spanyol, yang datang dari keluarga
penguasa hutan masa Gupernemen di loji-loji besar di bekas
Karesidenan Rembang.34
Dan tentu ia tahu cerita cinta remaja Mandor Har dan Inayatun di
masa lalu.35
33 Ibid., h. 19. 34 Ibid., h. 70. 35 Ibid., h. 72.
57
Perwatakan Mandor Har dilukiskan sebagai tokoh yang suka
bercanda dan angkuh. Hal ini berdasarkan kutipan teks:
“Tidak sedang mau mblandong, to?” tanya Mandor Har lagi,
itu jelas bercanda, meskipun nadanya menuduh.36
…Inayatun terus mencoba meronta, dan Mandor Har sudah
mulai bertindak terlalu jauh: Inayatun memohon untuk
dilepaskan. “Aku sedang mengandung,” katanya mengiba;
“Wah, malah kebetulan,” sahut Mandor Har dengan muka
senang, “kalua aku ikut urunan, wajah anakmu nanti bisa
lebih mendingan.” Mandor Har bertindak semakin jauh…37
Berdasarkan pemaparan di atas Mandor Har berperan sebagai
tokoh tambahan yang dapat dikategorikan sebagai tokoh sederhana, hal
ini dikarenakan hanya ditampilkan kualitas kepribadian tertentu saja.
Selain itu juga, Mandor Har dapat dikategorikan tokoh antagonis,
sebab dia oposisi dari tokoh Mat Dawuk.
4. Hasan
Tokoh Hasan atau biasa dikenal dengan Blandong Hasan
adalah seorang tokoh yang berprofesi sebagai penggergaji kayu. Profesi
yang bagi orang Rumbuk Randu adalah pekerjaan yang cukup
mengangkat derajat. Status sosial Hasan yang berbeda dengan
kebanyakan orang Rumbuk Randu membuat ia memiliki watak yang
congkak dan sombong. Hal ini berdasarkan kutipan:
“Mau nggak, Mat? Hasan, atau orang ramai menyebutnya
Blandong Hasan, mengulagi pertanyaan lagi, sembari berdiri
di samping motor tril Mandor Har. Seperti yang dikenal Mat
sebelum-sebelumnya, anak Blandong Hasim, orang Rumbuk
Randu pertama yang punya gergaji mesin, yang umurnya
sepantaran dengannya itu tak pernah mengurangi rasa
congkak ucapannya.38
Berdasarkan pemaparan tersebut, tokoh Hasan berperan
sebagai tokoh tambahan yang bersifat tokoh tambahan (yang memang)
tambahan. Hal tersebut, dikarenakan keberadaan tokoh Hasan tidak
36 Ibid., h. 70. 37 Ibid., h. 117-118. 38 Ibid.,
58
mempengaruhi apapun dalam plot cerita. Tokoh Hasan sebatas
memperjelas dan melengkapi isi cerita. Tokoh Hasan juga merupakan
tokoh antagonis karena ditampilkan sebagai sosok yang congkak;
merasa dan bertindak membanggakan dirinya, juga merupakan oposisi
dari tokoh Dawuk. Kutipan di atas juga memberikan gambaran bahwa
tokoh hasan ditampilkan satu kualitas kepribadian, sehingga termasuk
dalam tokoh sederhana.
5. Mbah Dulawi
Mbah Dulawi adalah tokoh yang ditampilkan sebagai kakek
dari Mat Dawuk. Mbah Dulawi adalah mantan geriliyawan. Mbah
Dulawi sosoknya banyak tidak diketahui orang-orang Rumbuk Randu.
Keberadaanya yang menghilang pada saat Mat Dawuk masih kecil
membuat tokoh Mbah Dulawi sangat misterius. Keberadaanya bagi
orang-orang sangat misterius. Kemisteriusan itu membuat Mbah
Dulawi terkenal sebagai pribadi yang tertutup. Hal ini berdasarkan
kutipan:
Mbah Dulawi, demikian kakeknya dipanggil, adalah orang
yang memberikan nama bagus bagi cucu yang berwajah
buruk itu. Sayangnya, sang kakek tak lama bersamanya. Saat
Mat Dawuk beumur lima tahunan, Mbah Dulawi
menghilang—ya, menghilang, lenyap, tak jelas
juntrungannya, dan orang-orang tak bisa memastikan apakah
ia masih hidup atau sudah mati.39
Ketika Mat Modar diperkirakan telah mati di tangan pasukan
Jepang, Dulawi bergabung dengan laskar-laskar gerilya,
keluarmasuk hutan sepanjang masa-masa perjuangan,
melawan sisasisa pasukan Jepang dan kemudian menghadapi
Sekutu.40
Tokoh Mbah Dulawi kemudian muncul kembali menjadi
sosok yang serba tahu dalam eksekusi pengadilan atas tuduhan Mat
Dawuk membunuh istrinya. Hal ini terbukti pada kutipan:
“Begitulah, Pak Hakim sekalian,” Mbah Dulawi
memungkasi kesaksiannya. Semua orang di pengadilan
39 Ibid., h. 20. 40 Ibid., h.126.
59
tercengang. Lengkap, tak ada yang terlewatkan, meyakinkan,
dan sangat masuk akal. 41
Berdasarkan pemaparan di atas, tokoh Mbah Dulawi dapat
dikategorikan sebagai tokoh tambahan yang bersifat tokoh tambahan
(periferal) utama yang serba tahu. Hal tersebut didasarkan perannya
sebagai tokoh yang mendukung keberadaan tokoh utama dan menjadi
tokoh yang membawa plot menuju sub-plot cerita. Mbah Dulawi juga
dapat terkategorikan sebagai tokoh protagonis dikarenakan perannya
membawa nilai-nilai sebagai pejuang kebenaran. Tokoh Mbah Dulawi
juga dapat terkategori tokoh sederhana karena dalam novel
ditampilakan hanya mencerminkan satu watak.
6. Sinder Harjo
Sinder Harjo merupakan tokoh yang digambarkan memiliki
riwayat permusuhan dengan Mbah Dulawi. Akar dari dendam tiga
turunan yang diceritakan dalam novel. Tokoh Sinder Harjo merupakan
tokoh terkenal sebagai orang kaya dan terhormat karena pohon jati atau
hutan jati yang menjadi pengawasannya. Tugasnya sebagai aparat
kehutanan adalah untuk menjaga pohon-pohon jati yang ada di hutan
Rumbuk Randu. Badan Sinder Harjo tambun dan buncit, ia memiliki
watak yang tegas, angkuh, namun lemah juga penakut ketika bertemu
dengan Mbah Dulawi. Hal ini berdsarkan kutipan:
Di loji, Sinder Harjo memukulinya dengan batang jati muda.
Ditanya mencuri jati untuk apa, ia terpaksa menjawab bahwa
jati itu untuk disumbangkan ke langgar Dulawi. “Bilang ke
Dulawi,” kata Sinder Harjo, seperti diceritakan blandong
yang malang itu, “kalau ia mau bikin langgar dari kayu jati,
suruh dia menanam jati sendiri, jangan nyolong kayu punya
pemerintah!”42
Berdasarkan pemaparan di atas, tokoh Sinder Harjo
merupakan tokoh tambahan dengan kategori sifat tokoh tambahan
(yang memang) tambahan. Hal tersebut didasarkan karena peran tokoh
41 Ibid., h.120. 42 Ibid., h. 128.
60
merupakan penjelas isi cerita dalam sub-plot dalam novel. Selain itu,
tokoh Sinder Harjo termasuk dalam tokoh antagonis karena beroposisi
dengan tokoh utama, serta ditampilkan dengan karakter yang konsisten.
7. Warto Kemplung
Warto kemplung merupakan tokoh yang muncul sebagai
seorang yang mencerita kisah kelabunya Rumbuk Randu di warung
kopi. Warto kemplung terkenal dan mempunyai watak pembual. Watak
pembual atau pembohong yang dilakukan untuk menarik para
pengunjung terhadap ceritanya dan memberikan atau membayarakan
kopi dan rokok agar dia terus bisa bercerita. Hal ini terbukti pada
kutipan:
Tentu saja tak ada seorang pun yang percaya dengan kisah
itu. Dan sejak itulah Warto menjadi Warto Kemplung.
Hingga hari ini, di warung kopi ini, ia tetap dianggap sebagai
seorang pembual.43
Tokoh Warto Kempung dapat dikategorikan sebagai tokoh
tambahan yang bersifat tokoh tambahan (periferal) utama dalam sub-
plot karena perannya dalam cerita sebagai narrator kisah kelabu
Rumbuk Randu. Tokoh ini juga dapat dikategorikan sebagai tokoh
antagonis dikarenakan sifatnya yang tidak membawa nilai-nilai ideal;
terkenal pembual, dan tokoh Warto Kemplung juga dikategorikan
sebagai tokoh sederhana karena memiliki satu sifat tertentu.Tokoh
Warto mempengaruhi peran dalam cerita sebagai tokoh pelengkap sub-
plot Cerita Warung Kopi.
8. Bu Siti
Bu Siti adalah pemilik warung kopi, tempat Warto Kemplung
menceritakan bualannya perihal kisah Kelabu Rumbuk Randu.Tokoh
Bu Siti memiliki watak yang galak dan pemarah, tapi hanya kepada
Warto Kemplunglah ia bersikap seperti itu. Hal ini terbukti pada
kutipan:
43 Ibid., h. 7.
61
“Oi, Siti...! Kopi!” kali ini ia benar-benar menggonggong.
“Tak usah teriak-teriak! Sentak suara serak perempuan dari
arah dapur. “Ini warung, bukan hutan!” Si kerudung sarung
tersenyum demi mendengar sahutan marah itu. “Manis atau
pahit?” teriak suara dari dapur. “Biasa!” Sebentar kemudian,
seorang perempuan paroh baya muncul dengan wajah kusut,
seperti seorang yang baru saja dibangunkan mimpi buruk
dari tidur nyenyaknya. Ia menaruh cangkir kopi di depan
pemesannya dengan gerakan setengah melempar.44
Tokoh Bu Siti dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai
tokoh tambahan (yang memang) tambahan, dia berperan hanya sebagai
tokoh yang muncul dalam melengkapi isi cerita agar terkesan lengkap
di dalam bagian sub-plot Cerita Warung Kopi, keberadaanya sulit
dianalisis karena hanya muncul beberapa kali dan tidak cukup
berpengaruh terhadap isi cerita.
9. Mustofa Abdul Wahab (Aku)
Tokoh ini adalah narator dalam keseluruhan cerita dalam
novel. Ia adalah pengarang yang masuk ke dalam cerita sebagai tokoh
“aku”. Ia menggambarkan dirinya sebagai seorang jurnalis di sebuah
koran, pekerjaannya menulis sebuah berita dan mengedit berita
sebelum diterbitkan dalam koran kecilnya.
Dia selalu hadir ketika Warto Kemplung mulai membual di
warung kopi Bu Siti. Ia ingat setiap kejadian, bahkan ia ingat semua
bualan Warto Kemplung, yang kemudian ia jadikan cerbung atau cerita
bersambung guna mengisi konten koran buatannya. Ia sangat tertarik
dengan semua bualan atau cerita Warto Kemplung. Hal ini berdasarkan
kutipan:
Dan, ya beginilah. Aku adalah raja yang malang, juga bodoh,
yang pagi-pagi rela datang ke warung kopi ini, mengabaikan
meliput peristiwa penting tidak penting untuk mendengar
seorang pembual mengisahkan cerita yang mungkin lebih
tidak penting lagi. Dan jelas-jelas sama sekali tak terjamin
kebenarannya.45
44 Ibid., h. 2. 45 Ibid., h. 89.
62
Tokoh aku sangat antusias untuk mendengarkan semua
bualan Warto Kemplung. Namun di akhir cerita dalam novel, tokoh
“Aku” dilanda kebingungan setelah didatangi seseorang yang mengaku
sebagai Mat. Orang tersebut menyuruh tokoh “aku” menghentikan
cerbung terhadap cerbung buatannya. Hal ini terbukti pada kutipan:
“Pakde Warto hanya membual. Karena itu, demi kebaikan
bersama, sebaiknya koranmu berhenti memuat cerita buruk
ini,” katanya tegas, sambil mengetuk-ngetukkan benda yang
dipegangnya tepat pada nama penulis—namaku—yang
berada di bawah ilustrasi cerbung.46
Tokoh aku menjadi tokoh utama (yang) utama di bagian
kisah sub-plot Cerita Warung Kopi. Keberadaanya yang menjadi
narrator seluruh kisah membuat perannya mempengaruhi isi cerita.
Tokoh Mustofa Abdul Wahab termasuk dalam fungsi protagonis sebab
karena membawa nilai ideal yakni menghargai Warto Kemplung pada
saat bercerita dan termasuk dalam tokoh sederhana karena konsisten
dengan satu karkter yaitu menjadi pendengar setia cerita Warto
Kemplung. Lewat perannya sebagai “aku” dapat terlihat bahwa cerita
dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu merupakan
kisah berbingkai.
3. Latar
Latar merupakan pijakan sebuah cerita dalam menciptakan suasana realistis
dan memberikan suasana tertentu seolah-olah berada dalam lingkungan yang
sering ditemui. Berikut ini merupakan pemaparan analisis latar dalam novel
Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk Randu.
a) Latar Tempat
Secara garis besar, latar tempat yang terdapat di dalam novel
Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk Randu berada dalam lingkungan perdusunan
bernama Rumbuk Randu, sesuai dengan nama judul novelnya, memang
46 Ibid., h. 180.
63
novel tersebut berkisah tentang kehidupan di Rumbuk Randu. Berdasarkan
kutipan dibawah ini:
Untuk banyak alasan dan pertimbangan, agak mengherankan nenek-
moyang orang Rumbuk Randu memilih tempat itu untuk tinggal.
Jika dihitung jarak dari Laut Jawa di utara dan Bengawan Solo di
selatan, tempat itu hampir persis di tengah-tengah.47
Berdasarkan gambaran kutipan di atas, latar tempat seperti
mengarah pada keadaan pedesaan di Lamongan, Jawa Timur. Sebuah desa
yang memang menjadi tempat kelahiran penulis novel.
Selain itu, penamaan desa Rumbuk Randu memiliki makna tersendiri.
Rumbuk adalah alat untuk menangkap udang terbuat dari batang pohon
yang diikat dan diberi penambat atau penahan, kemudian ditambatkan di
sungai, sedangkan randu adalah pohon yang kayunya tidak keras dan
berwarna putih, kulit kayu berwarna hijau, berdaun majemuk, terdiri atas 3–
9 anak daun tersusun menjari, bunganya berwarna putih kekuning-
kuningan, berbuah lonjong, berbiji bulat kecil berwarna hitam, berserat
kapuk, digunakan untuk mengisi bantal dan kasur. Randu juga berarti
kapuk. Namun, untuk memudahkan keterkaitan tempat, dikategorikanlah
latar tempat dalam plot utama novel Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk Randu
yakni terdiri dari rumah kandang, masjid, pengadilan, hutan, kamar Mat
Dawuk, dan stasiun kereta api Kuala Lumpur. Sedangkan, latar sup-plot
berada di warung kopi Bu siti dan Rumah Kos Mustofa Abdul Wahab.
Berikut ini rincian latar tempat yang mempengaruhi cerita:
1) Rumah Kandang
Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
Ya, memang itulah sebutan yang pas untuk rumah yang mereka
huni sesampainya di Rumbuk Randu. Itu adalah bekas kandang
sapi milik Pak Imam yang terpaksa diberikan untuk anak
perempuannya yang Bengal dan suami barunya yang buruk rupa.48
47Ibid., h. 92. 48 Ibid., h.47.
64
Rumah Kandang merupakan sebuatan untuk rumah yang dibangun
dari bekas kandang sapi. Rumah Kandang menjadi latar tempat yang
sangat penting dan paling sering muncul dalam novel dikarenakan
rumah tersebut menjadi tempat kejadian percekcokkan berdarah antara
Inayatun, Mandor Har, serta Blandong Hasan, dan tempat Mat Dawuk
dikeroyok oleh Pak Imam dan orang-orang Rumbuk Randu.
2) Masjid
Hal tersebut berdasarkan kutipan:
Masalah justru datang dari bocah-bocah yang sama-sekali tak
mengenalnya, yang pasti belum lahir ketika peristiwa itu terjadi,
yang tak sanggup menahan diri dari rasa takjub yang meletup-letup
perihal orang aneh yang tiba-tiba muncul di masjid mereka. 49
Ia tenang saja ketika orang mengambil jarak saat ia ikut shalat
berjamaah di masjid. Tak ada yang perlu diambil hati ketika
seseorang mengulurkan tangan sesudah salam ke sisi lain, namun
tidak kepadanya.50
Ketika orang yang mereka bicarakan muncul lagi di masjid pada lain
hari, bisik-bisik itupun mulai lagi.51
Ya, ia memang jarang bergaul sejak pulang dari Malaysia. Boleh
jadi karena rumahnya yang jauh, tapi terutama karena agak malas—
kemunculannya terakhir ke masjid bersama Mat Dawuk untuk ikut
shalat berjamaah terlalu mencolok, sehingga malah jadi pusat
perhatian.52
Tak perlu menghiraukan pandangan ingin tahu dan curiga orang-
orang dan anak-anak atas kehadirannya dan sosoknya yang aneh, ia
mulai di masjid saat Jumatan.53
Latar masjid menjadi latar yang muncul dalam novel Dawuk: Kisah
Kelabu Rumbuk Randu, kemunculan latar Masjid berkaitan dengan
peristiwa adanya keresahan dan kasak-kusuk kemunculan Mat Dawuk
yang sudah lama menghilang kembali lagi di hadapan orang-orang
Rumbuk Randu pada saat jam-jam ibadah salat di Masjid.
Latar masjid menjadi tempat orang-orang Rumbuk Randu selalu
berkumpul karena melaksanakan salat berjamaah. Kemunculan Mat
49 Ibid., h.11. 50 Ibid., 51 Ibid., h.13. 52 Ibid., h.50. 53 Ibid., h.60.
65
Dawuk di masjid Rumbuk Randu menjadi permasalahan bagi anak-anak
desa Rumbuk Randu yang merasa aneh dengan fisik dan tingkah laku
Mat Dawuk.
3) Pengadilan
Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
Mat Dawuk disidang nyaris tanpa pengacara.54
Ketika proses pengadilan memasuki tahap mendengar saksi-saksi
dari pihak terdakwa, Mat tak tahu siapa yang mesti diajukannya.
Pada saat itulah muncul Mbah Dulawi, kakeknya, dengan cara yang
sulit dijelaskan betapa mengherankannya.55
Pengadilan menjadi tempat yang paling penting dikarenakan
mempengaruhi plot cerita berkaitan dengan kemuunculan kembali
Mbah Dulawi untuk memberikan saksi karena Mat Dawuk diadili atas
tuduhan membunuh Inayatun; istrinya.
4) Hutan
Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
Karena tujuan utamanya ke hutan adalah mencarikan buah kurcacil
untuk Inayatun, ia tak banyak membuang waktu.56
“Kalau aku kasih gergaji mesin, kau mau jadi blandong, Mat?”
terdengar pertanyaan dari suara lain. Hasan, seorang pemilik rumah
penggergajian kayu tidak resmi di Rumbuk Randu, muncul dari
semak dibalik pohon sembari merapikan keretan celananya.57
Latar tempat hutan lekat dengan kisah di novel Dawuk: Kisah
Kelabu Rumbuk Randu. Hutan juga menjadi latar tempat bertemu
Mandor Har dan blandong Hasan pada saat sebelum terjadi tragedi
berdarah kematian Inayatun. Hutan juga menjadi gambaran umum
keadaan desa Rumbuk Randu sebagai komoditas kayu jati.
5) Stasiun Kereta Api Kuala Lumpur
Hal ini terbukti pada kutipan:
54 Ibid., h.115. 55 Ibid., 56 Ibid., h. 73. 57 Ibid., h. 71.
66
Inayatun duduk di kursi tunggu yang agak tersembunyi di sebuah
stasiun kereta api kecil dan sepi di sekitaran Kuala Lumpur—apa
namanya rasanya tak penting.58
Itu bukan pertama kali baginya. Menemukan perempuan Jawa
menangis di bangku stasiun kereta api di Malaysia bisa berarti
macam-macam, tapi nyaris semuanya buruk.59
Stasiun kereta api di Kuala Lumpur merupakan tempat pertama Mat
Dawuk dan Inayatun bertemu, pertemuan yang membawa mereka
menjalin kedekatan dan menjadi akrab. Stasiun tersebut juga tempat yang
paling mudah dijumpai para TKI/TKW dari Indonesia. Stasiun tersebut
juga menjadi penting dikarenakan ketika pertemuan itu, Mat Dawuk
menolong Inayatun dari kejaran laki-laki yang tergila-gila padanya. Mat
Dawuk melumpuhkan laki-laki tersebut dengan perkelahian satu lawan
satu di stasiun tersebut.
6) Kamar Mat Dawuk
Hal tersebut berdasarkan kutipan:
Tak seperti perawakan dan penampilannya, kamar Mat Dawuk jauh
lebih rapi dari yang bisa dikira. Tentu saja kamar itu sangat
sederhana, Cuma sepetak sekatan papan dan asbes seluas tiga kali
dua meter yang jadi bagian dari sebuah bangunan tak selesai di
pinggir kebun sawit, itu pun kebun sawit yang sudah tak diurus. 60
Ketika Inayatun pertama kali memasukinya, di kamar itu hanya ada
sebuah dipan kecil dengan Kasur tipis yang disangga dengan tiga
lapis papan agar tidak melengkung. Ada meja yang tingginya sejajar
dengan bantal dan guling yang ditumpuk.61
Latar kamar Mat Dawuk menjadi latar berkaitan dengan peristiwa
antara Mat Dawuk dan Inayatun yang tinggal bersama, dalam kamar
tersebut mulai tumbuh perasaan antara Mat Dawuk dan Inayatun,
melalui latar kamar Mat Dawuk, Inayatun merasa nyaman dan
terlindungi dari lelaki wandu yang mengejar-ngejarnya dan tergila-gila
padanya. Kamar Mat Dawuk menjadi tempat tinggal Inayatun setelah
kabur dari pelarian lelaki wandu nya.
58 Ibid., h. 30. 59 Ibid., h. 31. 60 Ibid., h. 37. 61 Ibid.,
67
7) Warung Kopi Bu Siti
Hal ini berdasarkan kutipan:
Pagi di warung kopi.62
“Tak usah teriak-teriak!” sentak suara serak perempuan dari arah
dapur. “Ini warung, bukan hutan!” 63
Latar warung kopi menjadi tempat penyampaian cerita kisah
Rumbuk Randu kepada para pengunjung yang ada di sana, tempat
bergulirnya cerita Rumbuk Randu yang diceritakan oleh Warto
Kemplung; si pembual. Latar warung kopi Bu Siti muncul dalam sub-
plot Cerita di Warung Kopi.
8) Rumah Kos Mustofa Abdul Wahab
Hal ini berdasarkan kutipan:
Pagi itu, di beranda rumah kosku, aku tengah membaca ulang
cerbung tersebut di edisi keempatnya.
Ia naik beranda dengan tenang, nyaris tak sopan, dan tanpa permisi
duduk di kursi kosong di sisi lain mejaku. “Mustofa Abdul Wahab?”
tanyanya sambil menaikkan kacamata ke kepalanya. Bau jel rambut
menusuk hidungku.64
“Pakde Warto hanya membual. Karena itu, demi kebiakan bersama,
sebaiknya koranmu berhenti membuat cerita buruk itu.” Katanya
tegas, sambal mengetuk-ngetukkan benda yang dipeganggnya tepat
pada nama penulis—namaku—yang berada di bawah ilustrasi
cerbung.65
Rumah Kos Mustofa Abdul Wahab merupakan tempat yang di
datangi seorang yang mengaku Mat. Dia meminta dan memberi tahu
bahwa cerita perihal Rumbuk Randu hanya bualan, dan meminta agar
cerita yang ditulis di koran oleh Mustofa Abdul Wahab perihal Rumbuk
Randu agar tidak dilanjutkan. Latar rumah kos muncul dalam latar sub-
plot Cerita di Warung Kopi.
b) Latar Waktu
Latar waktu dalam plot utama novel Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk
Randu secara umum muncul seperti pagi, siang, sore, malam. Namun,
62 Ibid., h. 1. 63 Ibid., h. 2. 64 Ibid., h. 179. 65 Ibid., h. 180.
68
waktu sore menjadi waktu paling penting dalam novel tersebut, hal ini
dikarenakan pada sore terjadi peristiwa berdarah meninggalnya Inayatun
dan Mandor Har. Peristiwa yang menjadi puncak konflik cerita dalam
novel. Hal ini berdasarkan kutipan:
Tanpa perlu ditanya macam-macam lagi, ia bercerita apa yang
diketahuinya tentang peristiwa berdarah sore itu. Ia memulai dari
saat Mat meninggalkan Inayatun setelah pertengkaran kecil mereka,
sebelum Mat berangkat ke hutan dan bertemu dengan Mandor Har
dan Blandong Hasan…66
Itu sore yang sangat berbeda. Sam asekali berbeda. Tak adacericit
empirit. Angin mati. Udara tak bergerak.67
Selain latar waktu sore, novel Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk Randu
menunjukkan peristiwa terjadi pada tahun 1987. Hal ini berdasarkan
kutipan:
Ini kisah yang sebenarnya belum lama terjadi. Sebuah kisah kelabu
penuh darah. Hanya seumuran dua kali coblosan lurah; tak berselang
lama dari saat, untuk pertama kalinya di daerah sini, Golkar menang
dari Petiga dengan mudah. 68
Tak berapa lama sehabis Pemilu Lapan Tujuh, setelah kemenangan
Golkar yang pertama di desa itu dan harga minyak tanah malah naik,.69
Berdasarkan pemaparan kutipan di atas, latar waktu tersebut
memberikan gambaran juga bahwa pengkisahan dalam plot utama
merupakan sorot balik-flasback. Hal tersebut juga dibuktikan dengan
adanya penunjukkan waktu sub-plot Cerita di Warungi Kopi yang
menceritakan kisah berdarah tersebut merupakan kisah yang sudah lama
bergulir dan kembali diceritakan karena kemunculan Mat Dawuk
meresahkan orang-orang Rumbuk Randu. Hal ini terbukti pada kutipan:
Kira-kira lima pekan lalu, pada sebuah sore yang biasa orang mengira
tak akan terjadi apa-apa, ia muncul di ujung kelokan jalan dari arah
utara desa Rumbuk Randu, desa istrinya setelah menghilang hampir
dua windu lamanya.70
66 Ibid., h 116. 67 Ibid., h 78. 68 Ibid., h. 9. 69 Ibid., h. 99. 70 Ibid., h. 9.
69
Berdasarkan kutipan tersebut, waktu kemunculan kembali Mat
Dawuk setelah kejadian berdarah dan kematian Inayatun dapat diperkirakan
pada tahun 2003. Waktu tersebut menjadi bagian dari plot utama sekaligus
menjadi latar waktu pada sub-plot Cerita di Warung Kopi bergulir. Latar
waktu tersebut membuktikan bahwa gambaran kisah kelabu tersebut
dikisahkan kembali oleh sang narator cerita Warto Kemplung.
Selain itu, latar waktu yang dimunculkan oleh pengarang juga
memberikan penjelasan waktu dalam istilah Kalender Islam. Penunjukkan
waktu tersebut, dapat terlihat sebagai upaya memberikan kesan nyata cerita
yang bergulir. Hal ini terbukti pada kutipan:
Bulan tua di separoh akhir Sa’ban itu begitu lemah dan renta
menghadapi pekatnya langit malam.71
Penggambaran waktu tersebut bulan Sa’ban dalam kutipan tersebut
merupakan bulan kemunculan kembali Mat Dawuk setelah menghilang
selama dua windu dari tahun 1987.
c) Latar Sosial
Latar sosial yang muncul pada Novel Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk
Randu adalah pedesaan, sebuah desa yang bertempat di Jawa Timur bagian
utara. Masyarakat desa pinggiran hutan bekerja sebagai mandor atau
penjaga hutan, pesanggem atau penggarap lahan hutan, dan sebagian yang
lain merantau ke Malaysia sebagai TKI. Hal ini berdasarkan kutipan:
Tak mungkin jadi nelayan karena terlalu jauh dari pantai, mereka
juga nanggung kalau disebut petani, tak seperti tetangga mereka di
selatan hutan, yang setiap tahun mendapat kiriman lumpur subur
dari luapan air bengawan. Karena itulah, secara turun temurun
mereka hanya jadi pesanggem, penggarap ladang hutan.72
… orang-orang Rumbuk Randu meninggalkan ladang kering
mereka, melanggar tabu punden-punden mereka yang tak suka
meninggalkan tanah kelahiran. Ketularan desa-desa sekitar,
mereka berduyun-duyun menyebrang ke Malaysia.73
71 Ibid. h. 149. 72 Ibid., h. 93. 73 Ibid., h.99.
70
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa latar
dimunculkan oleh pengarang sebagai tempat persitiwa dalam
mempengaruhi perubahan plot. Latar-latar tersebut memberikan gambaran
nyata bergulirnya sebuah kisah dalam novel. Penamaan latar tempat pada
novel Dawuk: KKDRR berpengaruh pada kaitannya terhadap pemaknaan
latar sosial yang ada di dalam novel. Penamaan itu mengindikasikan bahwa
daerah itu berlatar sosial kapuk yang tentu harga jualnya cukup mahal,
namun kenyataanya masyarakat di Rumbuk Randu malah bekerja sebagai
pesanggem dan penggarap lading hutan
Penggambaran keadaan sosial yang sangat kontradiksi bahwa
mereka sendiri mengatakan diri mereka tidak memiliki apapun di daerahnya
sendiri. Orang-orang rumbuk randu hidup dengan keadaan sosial yang
kurang dari sejahtera, dan tidak menikmati hasil dari hutan-hutan mereka.
Komoditas jati yang jelas menjadi latar tempat pada novel ini digambarkan
tidak dinikmati para warganya. Hal ini terbukti pada kutipan:
Jati jawa jelas kayu terbaik di dunia, tak diragukan lagi. (jika
bangunan-bangunan di surge memakai kusen-kusen dari kayu,
pastilah itu terbuat dari jati jawa). Tapi siapapun tahu, orang Jawa,
lebih-lebih para penebangnya, tak pernah mendapat berkah dari
hutan jatinya. Dulu begitu, dan masih akan terus begitu. Sebaliknya,
mereka justru menderita karenanya.74
Penggambaran latar tersebut jelas memberikan informasi bahwa
keadaan sosial di Desa Rumbuk Randu tidak seperti yang terlihat dalam
kenyataannya, dengan adanya kapuk dan hutan jati bukan berarti mereka
hidup sejahtera, malah justru keadaan sosial mereka tertinggal dan
terbelakang secara ekonomi. Keadaan itu yang menyebabkan mereka pergi
merantau ke Malaysia. Ada hal yang tergambar jelas lewat latar sosial dalam
novel ini, seperti menyiratkan bahwa keadaan alam yang sangat kaya malah
justru tidak dinikmati oleh orang-orang Rumbuk Randu, malah justru tidak
ada kesejahteraan yang didapatkan dari keadaan alam yang melimpah.
74 Ibid., h.93.
71
4. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pada novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu merupakan sudut pandang campuran. Sudut pandang yang
digunakan pengarang dengan menggunakan narator Warto Kemplung sebagai
tokoh yang masuk dalam naskah dan menggunakan sudut pandang “dia”. Hal ini
terbukti pada kutipan:
Ia duduk di bangku panjang dengan kasar, seperti bocah kecil yang sedang
tak enak hati. Dihentak-hentakkan kakinya dengan gelisah ke tanah. Sepasang
kaki itu, dengan sandal jepit bolong di salah satu tumitnya dan tali rafia
penolong di jepitannya, kotor dan berdebu. Ia mengingatkan kepada seorang
pembuat arang yang tak sempat membersihkan tubuhnya sehabis bekerja.75
Penggalan kutipan tersebut merupakan bagian dari cerita plot utama.
Penggunaan sudut pandang “dia” oleh pengarang dimunculkan pada plot utama.
Namun, di beberapa bagian cerita berubah menjadi sudut pandang tokoh aku, hal
ini terbukti pada kutipan:
Aku tersenyum kecut membaca berita pendek yang hanya diberi judul
“Rumbuk Randu” itu—tentu saja itu bukan judul sebenarnya, melainkan
inisial tempat kejadian. Dan alangkah buruknya berita itu ditulis. Seorang
bocah magang yang mengerjakannya. Meskipun sudah diedit—dan, sialnya,
akulah yang mengeditnya—berita kecil itutetap tak tertolong buruknya.76
Peralihan sudut pandang dari “dia” ke “aku” dalam novel Dawuk: Kisah
Kelabu Dari Rumbuk Randu memberikan penggambaran dan penjelasan berkaitan
dengan adanya penceritaan dengan pola cerita berbingkai. Pada penggunaan sudut
pandang “dia” menunjukkan cerita berkisah dengan plot utama. Namun, ketika
pengkisahan menjadi sudut pandang “aku” terjadi peralihan cerita yang masuk
dalam sub-plot.
Dengan demikian, penggunaan sudut pandang campuran ( dari “dia” ke
“aku”) dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu merupakan
peralihan dari plot utama menuju sub-plot. Penggunaan sudut pandang tersebut juga
75 Ibid., h. 1. 76 Ibid., h. 168.
72
memberikan efek sorot balik-flasback; artinya pembaca dibawa untuk melakukan
peralihan plot cerita dengan petunjuk sudut pandang.
5. Gaya Bahasa
Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu menggunakan gaya
bahasa naratif dan dialog. Cerita yang menggunakan teknik naratif biasanya
digunakan pengarang untuk menguraikan cerita, sedangkan dalam dialog
pengarang berusaha menghidupkan tokohnya dengan menyertakan dialog atau
cakapan antara tokoh yang satu dengan yang lainnya.77
Gaya bahasa naratif banyak muncul dalam sub-plot yang menarasikan kisah
lagenda Rumbuk Randu dan Cerita dendam tiga generasi. Hal ini ini berdasarkan
kutipan:
Kisah nenek-moyang yang merupakan percintaan kutukan sang anak kyai
yang bengal dan tidak mau dijodohkan, tetapi dikarenakan perbuatannya dia
bertemu dengan pemuda kalang buruk rupa. Sang kyai malu dan murka
dengan keputusan anak gadisnya. Pasangan yang tak direstuinya itu diusirnya
agar pergi jauh sehingga ia tak lagi melihat wajah mereka. Tak lupa
disumpahinya pula.
Kepada anak gadisnya, sang kyai jatuhkan kutuk: si anak gadis, dan gadis-
gadis yang jadi anak cucunya kelak, tak akan bisa memegang janji kepada
lelaki yang dipilihnya sebagai suami, sebagaimana ia tak bisa dipegang oleh
ayahnya sendiri; kepada si pemuda kalang ia menyabda: ladang, hutan,
ternak, dan keahlian apapun yang dimilikinya berkaitan dengan itu tak akan
mampu menghidupi istri dan anaknya keturunanya. Keduanya kemudian
berkelana membawa serta kutukan itu. Di suatu tempat yang jauh dari hutan,
yang jauh dari utara, tak terjangkau dari selatan, yang batas barat dan
timurnya tak terbayangkan, mereka mumutuskanberhenti dan menetap, dan
kemudian beranak-pinak. Dan setelah tiba ramainya masa, tempat itulah yang
kemudian disebut sebagai Rumbuk Randu.78
Ini lebih berkaitan dengan bangkitnya kembali amarah yang terpendam
selama tiga generasi.79
Dan ketika melihat Dulawi muncul di pengadilan, dalam keadaan sehat-
walafiat pula, apalagi mencoba membebaskan Mat Dawuk dari tuduhan
pembunuhan atas Mandor Har, mereka menyadari ada yang belum tuntas.
Ada yang musti diselesaikan. Dendam itu masih ada. Sakit hai itu masih
nyata.80
77 Burhan Nurgiantoro, Op.Cit., h. 418. 78 Mahfud Ikhwan, Op.Cit., h. 95-96. 79 Ibid., h. 121. 80 Ibid., h. 131.
73
Penggunaan gaya bahasa naratif yang muncul pada novel Dawuk: Kisah
Kelabu Dari Rumbuk Randu memberikan gambaran pula berkaitan cara pengarang
untuk melakukan penyampaian penceritaan dengan teknik cerita berbingkai. Sub-
plot pada novel tersebut dituliskan lebih banyak dengan gaya naratif.
Gaya naratif juga digunakan pengarang dalam mendeskripsikan latar. Hal
tersebut membuat pengarang secara khusus memperlihatkan latar secara rinci
sebagai cara menggambarkan isi cerita secara nyata. Hal ini berdasarkan kutipan:
Kira-kira lima pecan yang lalu, pada sebuah sore yang biasa, yang orang
mengira tak akan terjadi apa-apa, ia muncul di ujung kelokan jalan dari arah
utara desa Rumbuk Randu, desa istirnya, setelah menghilang hampir dua
windu lamanya.81
Selain naratif, pengarang menggunakan gaya bahasa dialog. Gaya bahasa
dialog muncul banyak dalam plot-utama, hal ini memperlihatkan bahwa pengarang
membawa pembaca untuk berinteraksi langsung dengan tokoh dan peristiwa. Hal
ini berdasarkan kutipan:
“Aku tak suka gerak-geriknya,” Inayatun meneruskan.
“Memang dia melakukan apa,” Mat bertanya.
“Dia tak melakukan apa-apa. Mungkin belum,”
“Ah, kau hanya sedang perasa saja.”82
Penggunaan gaya dialog dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk
Randu memberikan kesan realistis dan membawa pembaca masuk ke dalam cerita.
Penggunaan gaya dialog juga memberi petunjuk dalam mengambil sudut pandang
penceritaan. Penggunaan gaya dialog yang digunakan pengarang sering kali
menggunakan narasi penjelas. Hal tersebut membuktikan juga ada dialog yang
bukan dari bagian dari plot utama, terbukti pada kutipan:
“Kopi! Lagi! Biasa!” teriaknya, berseri-seri, seperti penjudi ketengan yang
baru saja bikin bangkrut bandar.83
81 Ibid., h. 9. 82 Ibid., h. 67. 83 Mahfud Ikhwan, Op. Cit., h. 9. Dialog yang muncul pada sub-plot Cerita di Warung
Kopi. Dialog ini memberikan gambaran interaksi si narator ditampilkan secara langsung
dengan pendengar yang ada di warung kopi. Dialog yang memberikan petunjuk
kemunculan adanya narator sebagai tokoh yang bercerita.
74
Penggunaan gaya bahasa yang digunakan Mahfud Ikhwan dalam novel
Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu merupakan gaya bahasa yang
memberikan petunjuk berkaitan isi cerita di dalamnya. Penggunaan naratif dan
dialog tersebut memberikan gambaran ada plot utama dan sub-plot yang dihadirkan
lewat penggunaan gaya bahasa.
6. Amanat
Amanat adalah pesan yang tersirat dalam sebuah karya sastra. Pada novel
Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu amanat yang dapat diambil yakni
pengarang mengajak pembaca untuk tidak terlalu terlena dalam sebuah
kebahagiaan, sebab kebahagiaan di dunia itu adalah fana. Ini. lihat cangkir kopi ini.
ya, inilah kebahagiaan. Hal ini terbukti pada kutipan:
Bahagia itu, kalian tahu, jika memang ada, hanya permainan dan tipudaya
dunia belaka. Itulah kenapa Tuhan hanya benar-benar menjanjikan
kebahagiaan itu di alam sana, bukannya di sini, di dunia ini. Yang kekal
abadi, selamanya, khaalidiina fiiha abadan, hanya di surga. Di sini,
semuanya fana. Dan fana artinya binasa. Mati. Habis.84
Pengarang memberikan pesan kepada pembaca bahwa kebahagiaan di dunia
itu tidaklah kekal, justru bahagia yang abadi adalah di surga. Lewat isi cerita dalam
Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu, pengarang menyampaikan konsep
kebahagiaan yang selama ini manusai selalu cari di dunia, padahal kebahagiaan
dunia itu hanya sesaat. Selain itu, pesan yang terdapat pada novel tersebut juga
memberikan pandangan lain bahwa sebagai manusia kita tidak boleh begitu saja
menerima sebuah cerita tanpa mencari kebenarannya. Hal ini terbukti pada kutipan:
Ketika orang itu sudah tak terlihat lagi, tiba-tiba aku tersadar, sampai hari
ini aku belum pernah bertemu dengan Mat Dawuk, apalagi mengenalnya.
Aku tak pernah melihat secara langsung wajah buruknya, rambut merah
keriting panjangnya, kaos dalam hitam dan celana Camel dengan saku-
sakunya yang besar, dan tentu saja ruyung kecilnya yang ditakuti itu.
bahkan, sebagai wartawan, aku seharusnya masih mempertahankan rasa
curiga soal apakah orang bernama Mat Dawuk itu memang benar-benar
ada atau hanya karangan belaka. Sementara, pada saat yang sama, tak
mungkin semua kisah Warto Kemplung bisa kupercaya85
84 Ibid.,58. 85 Ibid.,180.
75
Berdasarkan pemaparan kutipan di atas juga memberikan penjelasan bahwa
tidak semua cerita yang disampaikan seseorang bisa dipercaya, tapi cerita tersebut
belum tentu juga salah. Lewat novel tersebut pesan pengarang pada pembaca yakni
agar terus menjadi seorang yang kritis dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap
sebuah informasi, berita, ataupun cerita. Pesan yang menyiratkan untuk menjadi
pribadi yang lebih kritis.
B. Analisis Mitos Dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
Adapun mitos pada Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu tergambar
pada diri tokoh dan anggapan orang-orang Rumbuk Randu yang
mengkontruksinya, dalam hal ini oposisi yang terlihat yakni antara tokoh Dawuk-
Inayatun yang beroposisi dengan Pak Immamudin yang dalam perannya sebagai
tokoh masyarakat dengan kekuasaan dominan. Adapun mitos yang ditemukan
sebagai berikut:
1. Kehidupan yang Sempurna
Mitologi sebagai pembongkar ideologi yang dianggap “kebenaran” oleh
masyarakat. Orang-orang Rumbuk Randu menganggap bahwa kehidupan sebagai
segala hal yang sempurna, dan tidak ada celah cacat sedikitpun. Kesempurnaan itu
dalam bentuk fisik dan batin. Hal tersebut terlihat pada adanya anggapan kutukan
sebagai makna konotasi dari kelahiran Mat Dawuk di dalam novel tersebut. Mat
Dawuk yang lahir dengan membuat sang ibu meninggal dianggap lahir secara tidak
sempurna, ditambah dengan keadaan dirinya yang memiliki fisik yang tidak sama
dengan kebanyakan orang Rumbuk Randu semakin membuat anggapan kehidupan
yang sempurna tidak dimiliki oleh Mat Dawuk. Hal ini berdasarkan kutipan:
Namun, setelah Mat Dawuk lahir, yang untuk itu harus ditebus dengan
kematian ibunya.86
Sudah buruk rupa, si anak juga dianggap oleh bapak sebagai biang keladi
kematian ibunya, yang meninggal saat melahirkannya.87
86 Mahfud Ikhwan, Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu, (Tangerang Selatan:
Marjin Kiri, 2017, h. 133. 87 Ibid., h. 19.
76
Berdasarkan kutipan di atas, masyarakat menganggap keadaan Mat Dawuk
tidak mencerminkan keadaan kehidupan yang lengkap. Dia ditinggal ibu ketika
lahir, buruk rupa, dan tidak disayang oleh bapak merupakan sesuatu yang sangat
aib. Masyarakat Rumbuk Randu menganggap itu sebagai sebuah kutukan dalam
kehidupan. Sebuah aib yang tidak pernah ingin mereka alami, sehingga keberadaan
Mat Dawuk dijauhi dan dikucilkan, bahkan dia dianggap berbahaya dan
menakutkan. Hal ini terbukti pada kutipan:
“Nggak mau mandi, mau seperti Mat Dawuk, ya?” begitu biasanya.
Atau, “Kalau masih nakal, nanti digendong Mat Dawuk lho”.
Tapi, tanpa kalimat-kalimat macam itupun, para bocah, bahkan yang seusia
dengannya, menjauh, takut, tak merasa aman dekat dengannya.88
Berdasarkan penggalan kutipan dalam novel tersebut, orang-orang Rumbuk
Randu mengaitkan diri Mat Dawuk sebagai sesuatu yang menjadi cambuk
ketakutan. Sebuah anggapan bahwa ketidaksempurnaan kehidupan Mat Dawuk
menjadi sebuah peringatan yang perlu ditekankan pada anak-anak orang Rumbuk
Randu, sehingga tanpa sadar anggapan itu menyebar dan terus menerus dilakukan
sebagai sebuah gambaran kehidupan yang tidak pernah ingin mereka alami dan
jangan sampai terjadi pada anak-anak mereka.
Kehidupan yang sempurna yang menjadi pandangan kehidupan di desa
tergambar oleh masyarakat Rumbuk Randu kenyataanya di dalam novel dengan
kontradiksi yang sangat berbeda. Bukan hanya terlihat dari kelahiran Dawuk
dengan ketidaksempurnaan yang digambarkan saja, melainkan pada kehidupan
sosial masyarakat tersebut. Keadaan pedesaan orang-orang rumbuk randu hidup
dengan keadaan sosial yang kurang dari sejahtera, dan tidak menikmati hasil dari
hutan-hutan mereka. Komoditas jati yang jelas menjadi latar tempat pada novel ini
digambarkan tidak dinikmati para warganya. Hal ini terbukti pada kutipan:
Jati jawa jelas kayu terbaik di dunia, tak diragukan lagi. (jika bangunan-
bangunan di surge memakai kusen-kusen dari kayu, pastilah itu terbuat dari
jati jawa). Tapi siapapun tahu, orang Jawa, lebih-lebih para penebangnya, tak
pernah mendapat berkah dari hutan jatinya. Dulu begitu, dan masih akan terus
begitu. Sebaliknya, mereka justru menderita karenanya.89
88 Ibid., h. 21. 89 Ibid., h. 93.
77
Berdasarkan pemaparan di atas, kehidupan desa yang sempurna dan sejahtera
tidak muncul dalam novel tersebut. Pandangan tentang desa malah terlihat sangat
jauh dari sejahtera. Orang-orang Rumbuk Randu justru menderita dengan keadaan
tersebut. Berikut ini proses signifikasi penanda-petanda sehingga terbongkar
ideologi yang menjadi mitos hanyalah sebuah pandangan yang sebenarnya
terbentuk dari konotasi:
Bagan 4.2. Mitos Kehidupan yang Sempurna
Mitos kutukan dalam kaitannya oleh masyarakat Rumbuk Randu
mempunyai fungsi untuk menaturalisasikan sebuah peristiwa yang saling memberi
penjelasan. Kenyataanya dalam anggapan tersebut ada kontruksi yang terbentuk
antara yang terkena mitos yaitu Mat Dawuk dan yang membuat mitos yakni
masyarakat. Mat Dawuk mempercayai dirinya sebagai kutukan dan masyarakat
menggunakan itu sebagai cara untuk menjelaskan sesuatu secara begitu adanya,
sehingga terlihat agar alamiah. Masyarakat mengakui serta memperkuat mitos
tersebut, hal ini terbukti pada kutipan:
Mereka tidak ingin kisah yang sudah seharusnya mereka lupakan, dengan
kutukan yang secara terus menerus berusaha mereka patahkan, terulang
kembali—dengan cara yang begitu terang-benderang.90
Berdasarkan pemaparan kutipan tersebut dijelaskan pula bahwa orang-orag
Rumbuk Randu mengakui bahwa keberadaan tokoh Dawuk adalah kutukan. Bagi
masyarakat kampung Rumbuk Randu, konsepsi tersebut merupakan hasil dari
kelakuan orang tua yang tidak bisa menjaga sikap dan perilaku. Mereka tidak ingin
90 Ibid., h. 103.
Ibu meninggal saat melahirkan (Penanda I) → pembawa sial (Petanda I)
Penanda II → Kutukan (petanda II)
Penanda III → tidak tarak pada istri saat hamil (petanda III)
Penanda IV → Anak terlahir buruk rupa
Kehidupan yang sempurna >< Kehidupan tidak sempurna
(Ideologi yang dibongkar)
78
kutukan si anak yang membuat ibunya meninggal terus hadir di masyarakat
Rumbuk Randu. Ada usaha dari masyarakat untuk melupakan kisah kelam lahirnya
tokoh Dawuk di Rumbuk Randu agar hilang dan terlupakan.
Mitos tokoh Dawuk sebagai kutukan terdepolitisasi sebagai sebuah
penjelasan dari sebuah peristiwa. Masyarakat Rumbuk Randu menguatkan mitos
dengan kekuatan dominan agar diterima begitu saja dan terlihat sebagai sesuatu
yang alamiah.
2. Religius Bermoral
Religius sebagai suatu pandangan yang hadir dalam novel ditunjukan oleh
tokoh Pak Immamudin sebagai tokoh agamis yang sangat dihargai oleh orang-orang
Rumbuk Randu. Sikap-sikap kesalehan yang ditunjukan oleh Pak Imam
memberikan gambaran perihal keadaan desa yang melekat dengan konsep
ketuhanan. Hal ini berdasarkan kutipan:
Bapaknya, Immamudin (orang-orang dengan hormat memanggilnya Pak
Imam), adalah seorang pamong desa kawakan dengan pengetahuan agama yang
mendalam.91
Berdasarkan kutipan di atas, tokoh pak Immam yang agamis tersebut
seharusnya membuat sikap-sikap toleransi muncul. Namun. Kenyataanya di dalam
novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu pandangan tentang religius malah
mencerminkan kontradiksi yang sangat berbeda dari yang terlihat. Tokoh pak Imam
malah menjadi tokoh yang paling menentang kehadiran Mat Dawuk. Hal ini
terbukti pada kutipan:
“Pak Imam, sang mertua yang kini terlihat semakin jemawa, dengan
congkak menyahut: “agar kamu terlihat seperti Mat Modar dan kemudian
mati dengan merasa jadi pahlawan, heh?” sebuah tendangan lagi, kali ini
di punggung, menyambut ucapan Pak Imam. “Apa kamu kira kami
bodoh?”92
Berdasarkan pemaparan di atas, berkaitan dengan kejadian pengeroyokan
Mat Dawuk atas tuduhan membunuh istrinya Inayatun ternyata dikomandoi oleh
Pak Immam sebagai mertua. Tokoh agamis yang seharusnya melerai keributan
91 Ibid., h. 17. 92 Ibid., h. 164.
79
malah dengan sebaliknya menjadi pendukung. Sikap-sikap religius yang
seharusnya di wujudkan lewat sikap toleransi tidak ditunjukkan oleh tokoh Pak
Immam. Pak Immam yang seharusnya menjadi tokoh yang mencontohkan dan
menjaga kedamaian menunjukan kontradiksi yang mematahkan pandangan umum
sikap religiuitas dengan sikap moral masyarakat. Dia memberikan stigma baru
bahwa orang agamis belum tentu menunjukan sikap-sikap toleransi. Berikut ini
proses signifikasi penanda-petanda sehingga terbongkar ideologi yang menjadi
mitos hanyalah sebuah pandangan yang sebenarnya terbentuk dari konotasi:
Bagan. 4.3. Mitos Religius Moralis
Berdasarkan pemaparan di atas, religius dengan sikap-sikap moral ternyata
tidak selalu begitu saja muncul secara bersamaan. Pak Imam memberikan
pelemahan terhadap mitos tersebut. Dia menjadi tokoh yang membuat terjadinya
pengeroyokan Mat Dawuk di rumah kandang. Nilai sikap yang sangat tidak
mencerminkan moralitas. Dengan demikian, fungsi mitos religius bermoral
terlemahkan dalm novel Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk Randuk. Pandangan
umum tersebut terbongkar dan ternyata hanya menjadi sebuah ideologi yang tidak
bisa disamaratakan pada semua orang religius.
3. Pasangan Serasi
Pernikahan adalah menyatukan dua orang dalam satu ikatan yang secara
legal berlaku di agama dan masyarakat. Konsep pasagan serasi merupakan
kontruksi ideologi yang berkembang banyak di masyarakat. Sebuah anggapan
bahwa yang cantik diharuskan juga bersanding dengan yang tampan. Namun dalam
novel Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk Randuk tokoh Dawuk dan Inayatun yang
Pak Immamudin (penanda I) → Tokoh agamis/ religius (petanda II)
Penanda II → Tokoh agama yang tidak moralis
(petanda II)
Religius bermoralis >< Religius tidak bermoral
(Ideologi yang dibongkar)
80
menjadi poros dalam cerita percintaan itu dikatakan sebagai pasangan yang ganjil.
Dua orang itu dihadang dan dilabeli pasangan yang tidak serasi, dan tidak pantas.
Hal ini terbukti pada kutipan:
Dalam soal rupa, itu jelas pernikahan yang ganjil bagi banyak orang.93
Keganjilan itu dikarenakan wajah tokoh Dawuk yang buruk rupa dan Tokoh
Inayatun yang cantik jelita. Pasangan ganjil yang dianggap tidak pantas untuk
bersatu. Masyarakat Rumbuk Randu merasa bahwa pernikahan itu sebagai sebuah
ketidakwajaran. Hal ini terbukti pada kutipan:
Karena pasangan ganjil itu, cinta tak terbayangkan antara si buruk rupa dan
si cantik jelita itu, mengingatkan mereka akan legenda Siti si anak kyai dan
Suta si pemuda kalang. Nenek-moyang yang tak pernah mereka akui itu.94
Kisah nenek-moyang yang merupakan percintaan kutukan sang anak kyai
yang bengal dan tidak mau dijodohkan, tetapi dikarenakan perbuatannya dia
bertemu dengan pemuda kalang buruk rupa. Sang kyai malu dan murka
dengan keputusan anak gadisnya. Pasangan yang tak direstuinya itu diusirnya
agar pergi jauh sehingga ia tak lagi melihat wajah mereka. Tak lupa
disumpahinya pula. Kepada anak gadisnya, sang kyai jatuhkan kutuk: si anak
gadis, dan gadis-gadis yang jadi anak cucunya kelak, tak akan bisa memegang
janji kepada lelaki yang dipilihnya sebagai suami, sebagaimana ia tak bisa
dipegang oleh ayahnya sendiri; kepada si pemuda kalang ia menyabda:
ladang, hutan, ternak, dan keahlian apapun yang dimilikinya berkaitan dengan
itu tak akan mampu menghidupi istri dan anaknya keturunanya. Keduanya
kemudian berkelana membawa serta kutukan itu. Di suatu tempat yang jauh
dari hutan, yang jauh dari utara, tak terjangkau dari selatan, yang batas barat
dan timurnya tak terbayangkan, mereka mumutuskanberhenti dan menetap,
dan kemudian beranak-pinak. Dan setelah tiba ramainya masa, tempat itulah
yang kemudian disebut sebagai Rumbuk Randu.95
Berdasarkan kutipan tersebut, ketidakwajaran disebabkan percintaan Mat
Dawuk dan Inayatun mengingatkan pada kisah Siti anak kyai dan Suta si pemuda
kalang merupakan kisah kutukan. Kisah yang berisi kutukan dari sang ayah yang
kecewa dengan perilaku Siti sang anak yang bengal dan pemalas. Perilaku tersebut
membuat sang anak mendapat jodoh pemuda kalang. Kisah tersebut merupakan
sebuah kisah yang harus terlupakan dan jangan sampai terjadi kembali. Kisah
kutukan yang tak pernah ingin masyarakat Rumbuk Randu mengingatnya. Kisah
93 Ibid., h. 45. 94 Ibid., h.103. 95 Ibid., h. 95-96.
81
yang mereka percayai sebagai sebuah kekelaman asal-usul desa. Lebih jelasnya
proses signifikasi sebagai berikut:
Bagan 4.4. Mitos Pasangan Serasi
Mitos tersebut mempunyai fungsi untuk menaturalisasikan sebuah peristiwa
yang saling memberi penjelasan. Kenyataanya dalam anggapan tersebut ada
kontruksi yang terbentuk antara yang terkena mitos yakni Mat Dawuk dan Inayatun,
serta yang membuat mitos yakni orang-orang Rumbuk Randu. Kontruksi tersebut
berkaitan dengan kesepakatan untuk menerima mitos pasangan serasi terus
berkembang. Masyarakat tersebut mengakui serta memperkuat mitos tersebut, hal
ini terbukti pada kutipan:
Mat Dawuk harus mati lebih karena ia lelaki berwajah buruk yang menikah
perempuan tercantik yang pernah lahir di Rumbuk Randu.
Tahu kenapa? Karena pasangan ganjil itu, cinta tak terbayangkan antara si
buruk rupa dan si cantik jelita itu, mengingatkan mereka akan legenda Siti
si anak kyai dan Suta si pemuda kalang, nenek-moyang yang tak pernah
mereka akui.96
Fungsi mitos berdasarkan kutipan tersebut memberikan penjelasan bahwa
orang-orang Rumbuk Randu membuat sebuah pemaknaan yang lebih tentang
pasangan serasi. Pemaknaan tersebut berkaitan dengan adanya penerimaan yang
begitu saja dilakukan dengan membiaskan sesuatu berdasarkan kebutuhan.
Maksudnya, orang-orang Rumbuk Randu melihat itu sebagai sesuatu yang sudah
ada sebelumnya dan saling mengaitkan cerita sebelumnya dengan cerita yang
sedang terjadi. Ada reinkarnasi kisah ketika Mat Dawuk dan Inayatun menikah,
sehingga kemunculan pasangan cantik menikah dengan yang buruk rupa menjadi
96 Ibid., h. 103.
Cantik+ buruk rupa (penanda I) → Inayatun + Mat Dawuk (petanda II)
Penanda II → Pasangan ganjil (petanda II)
Pasangan serasi >< Pasangan tidak serasi
(Ideologi yang dibongkar)
82
sebuah hal yang mereka tidak sukai. Padahal, kenyataanya pernikahan tidak hanya
sebatas kesamaan wajah dan fisik. Konsepsi antara Inayatun dan Mat Dawuk
diterima sebagai hal yang tidak mereka sukai.
4. Orang Tua Baik Mejadikan Anak Baik
Mitologi membongkar pemikiran yang dianggap “kebenaran” yang terlihat
secara natural. Orang tua sebagai model ideal dianggap menentukan karakteristik
diri anak. Orang-orang Rumbuk Randu beranggapan orang tua yang baik akan
menghasilkan anak yang baik pula. Pada pandangan ini terlihat pada Pak
Immamudin dan Ibu Sulaikah sebagai orang yang terpandang tentu mendambakan
anak yang saleh dan baik, namun ternyata Inayatun sebagai anak tidak mecirikan
sedikitpun karakter yang diharapkan, meskipun kedua orang tuanya sebagai
pemuka agama yang dihormati dan dihargai. Hal ini terbukti pada kutipan:
Bapaknya, Immamudin (orang-orang dengan hormat memanggilnya Pak
Imam), adalah seorang pamong desa kawakan dengan pengetahuan agama
yang mendalam.97
Ibunya, Sulaikah, sementara itu adalah pengurus pengajian yang
bersemangat dan jadi panutan.98
Berdasarkan kutipan di atas, pemaparan dari karakter Pak Immamudin dan
Ibu Sulaikah menampilkan sosok suami-istri yang tentu sangat ideal. Keduanya
tentu mempunyai kualitas kepribadian yang sangat bagus, sehingga orang-orang
Rumbuk Randu tentu akan membayangkan kehadiran anak dari keduanya pasti
baik. Hal ini berdasarkan kutipan:
Mereka tentu mendambakan anak gadis yang salehah. Bukan saja demi
kebaikannya sendiri di akhirat sana, tapi juga demi kebaikan diri dan
keluarganya di dunia. Tapi apa daya, yang mereka dapatkan adalah seorang
gadis badung yang sulit diatur, yang ngawur.99
Berdasarakan pemaparan kutipan di atas, ada harapan-harapan yang muncul
sebagai orang tua yang mempunyai gelar kehormatan dan disegani oleh orang-
orang di sekelilingnya untuk mempunyai anak yang baik secara moral ataupun fisik.
Tokoh Inayatun merupakan anak gadis cantik jelita di Desa Rumbuk Randu yang
97 Ibid., h. 17. 98 Ibid., 99 Ibid.,
83
sejak kecil diidam-idamkan karena kecantikannya, namun ketika dewasa menjadi
kebencian keluarganya. Keyakinan akan anak yang akan tumbuh baik karena lahir
dari orang tua yang baik terbongkar dan terjungkirbalikan begitu saja oleh tokoh
Inayatun. Meskipun kedua orangtuanya menjadi panutan di desa tersebut sebagai
sosok yang agamis dan panutan, ternyata sang anak memiliki norma-norma sosial
yang tidak sesuai di masyarakat.
Inayatun sebagai seorang anak yang diharapkan menjadi anak yang baik.
Kedua orang tua yang berkarakter dan berlatarbelakang mempunyai status sosial
serta kepribadian yang terhormat. Latar belakang orang tua yang bagi masyarakat
dianggap berstatus baik dan berkualitas justru terbalik dengan keadaan dan karakter
sang anak; Inayatun. Petanda sebagai pasangan suami istri yang baik, muncul
dalam Pak Imam dan Ibu Sulaikah. Pasangan suami istri yang dalam kontruksi
masyarakat dianggap sebagai orang tua ideal.
Petanda itu memunculkan penanda bahwa dari sana akan memunculkan
keluarga harmonis dan baik pula, sebab keduanya membangun keluarga dari
karakter dan kepribadian yang baik. Keluarga yang baik tentu akan mendambakan
anak yang baik pula. Anggapan itu muncul sebagai sebuah mitos yang melekat
banyak dalam masyarakat, bahwa ketika orang tua sudah baik, maka akan muncul
anak baik. Proses siginifikasi mitos ini dapat dijelaskan sebagi berikut:
Bagan 4.5. Mitos orang tua baik, anak juga baik
Pak Immamudin dan Bu Sulaikah (penanda I) → pasangan suami istri
ideal (petanda II)
Penanda II → Inayatun: anak perempuan
badung (petanda II)
Orang tua baik, anak juga baik >< orang tua baik, tapi anak tidak baik
(Ideologi yang dibongkar)
84
Mitos yang terbentuk perihal orang tua baik; anak juga baik terpatahkan
dalam cerita novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu. Mitos yang
beranggapan kebaikan pada orang tua akan memunculkan juga anak yang baik
terlemahkan dalam cerita novel ini. Inayatun tidak mencerminkan nilai-nilai
ideal yang dimiliki orang tuanya, juga terdapat pada dirinya. Hal ini terbukti
pada kutipan:
Inayatun memang pandai mengaji, tapi sepandai itu pula ia merayu
laki-laki. Bacaan Arab-nya fasih, sefasih saat ia bicara kotor atau
memaki.100
Berdasarkan penggalan kutipan tersebut, mitos tersebut terlemahkan oleh
tokoh Inayatun. Dia menjadi orang yang mematahkan fungsi mitos. Mitos yang
berkebutuhan untuk memunculkan kesepakatan itu oleh Inayatun dimatikan dan
dibunuh pemaknaanya. Mitos tersebut melemah, dan terbongkar menjadi makna
baru juga, bahwa tidak semua kebaikan pada orang tua, akan memunculkan
karakter anak yang baik juga. Hal ini membuktikan bahwa mitos silsilah
keluarga baik dapat berubah tergantung karakter individu anak tersebut.
5. Cantik Fisik itu kebahagiaan
Kecantikan merupakan pandangan mitos yang juga muncul pada novel
Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu. Cantik yang dalam posisi ini
dimiliki oleh tokoh Inayatun. Cantik yang mengonsep bahwa dirinya lebih
bahagia dibandingkan perempuan lain di Rumbuk Randu. Kecantikan yang dia
miliki dapat menarik perhatian laki-laki di sekelilingnya. Petanda paras yang
cantik dan badan yang molek membuat Inayatun lekat sekali dengan
kecantikan bagi orang-orang Rumbuk Randu. Inayatun merupakan primadona
desa. Hal ini terbukti pada kutipan:
… sejak kecil adalag gadis pujaan. Ia adalah primadona desa. Saat kanak-
kanak, ia bayi perempuan dengan mata besar, pipi montok, kulit terang.
Dan mulut yang tak henti-hentinya mengoceh. Para ibu yang sedang
mengandung atau ingin mengandung mengelus perutnya sembari menatap
wajahnya, berharap memperoleh anak perempuan sepertinya101
100 Ibid., h. 17. 101 Ibid., h. 16.
85
Berdasarkan penggalan di atas, kecantikan yang di miliki Inayatun sudah
melekat sejak ia kecil. Paras dan tubuh yang ideal menjadi tanda kecantikan itu
ada dalam diri Inayatun. Masyarakat Rumbuk Randu menyetujui dan
menyepakati itu sebagai sebuah kecantikan yang kemudian didambakan pada
setiap anak perempuan yang mereka ingin milik. Fisik yang melekat pada diri
Inayatun menjadi petanda yang membentu penanda konsep cantik dalam benak
masyarakat Rumbuk Randu.
Petanda-penanda yang terbentuk itu kemudian membiaskan dan
membentuk makna adanya kebahagiaan sebab dalam dirinya ada ciri tertentu
yang tidak dimiliki oleh perempuan lain di Rumbuk Randu. Kesepakatan ini
membentuk adanya mitos kecantikan dan kebahagiaan. Masyarakat sepakat
bahwa mitos tersebut ada. Hal ini terbukti pada kutipan:
Pada Inayatun, para perempuan Rumbuk Randu belajar apa yang
diinginkan laki-laki dan apa yang didambakan para suami. Dengan adanya
Inayatun, mereka menjadi getol merawat diri, sebab mereka tak secantik
dia. Dan dari Inayatun, diakui atau tidak, mereka belajar menjadi
perempuan yang lebih bahagia, lebih bangga atas dirinya. Dan Inayatun
sangat tahu hal itu.102
Berdasarkan kutipan tersebut, mitos kecantikan terbentuk dan terkonotasi
maknanya dengan kebahagiaan. Mitos kecantikan dan kebahagiaan disepakati
oleh masyarakat Rumbuk Randu dengan adanya Inayatun. Orang-orang rumbuk
randu begitu mendambakan kecantikan fisik yang melekat pada Inayatun juga
bisa didapatkan oleh mereka. Paradigma sebagai perempuan yang
membandingkan kecantikan dengan standar perempuan lain terkontruksi dalam
novel ini. pembandingan yang mencerminkan kebahagiaan yang didapatkan.
Masyarakat sepakat, bahwa paras dan fisik menjadi tanda kecantikan itu
berwujud. Anggapan itu muncul sebagai sebuah mitos yang melekat, bahwa
ketika cantik, maka akan bahagia. Proses siginifikasi mitos ini dapat dijelaskan
sebagi berikut:
102 Ibid., h. 53.
86
Bagan 4.6. Mitos Cantik Fisik sebagai Kebahagiaan
Mitos berkaitan dengan kecantikan yang berarti kebahagiaan bagi
perempuan di Rumbuk Randu fungsinya menjadi kuat. Masyarakat Rumbuk Randu
begitu saja menjadi alamiah dan menerima itu sebagai sebuah kewajaran.
Masyarakat mendukung fugsi mitos kecantikan itu kebahagiaan, hal ini dibuktikan
dengan kutipan:
Tak banyak beda, atau malah terlihat lebih matang, ia kini akan membuat
para suami kurang bahagia dengan perkawinannya, sementara para istri
menjadi lebih tidak bahagia lagi. Bahwa ia tak sepesolek dulu, berpupur
sekedarnya saja, malah sering tak pakai liven, itu sama sekali tak
mengurangi pesonanya.103
Berdasarkan pemaparan di atas gambaran Inayatun yang menjadi dambaan
semua orang di dasarkan pada kesempurnaan diri yang cantik sebagai perempuan.
Orang-orang Rumbuk Randu berpikir bahwa memiliki anak perempuan dengan
wajah cantik merupakan sebuah kebahagiaan. Tapi kenyataanya, lewat diri
Inayatun wajah cantik tersebut membuat pusing keluarganya. Hal ini terbukti pada
kutipan:
Inayatun tumbuh sebagai gadis cantik yang disukai banyak pria, tapi bikin
pusing keluarganya.104
Berdasarkan pemaparan tersebut tergambar bahwa tokoh Inayatun yang
cantik jelita ternyata tidak sesuai harapan keluarganya. Sebuah pandangan
kontradiksi yang membongkar bahwa kecantikan wajah seorang anak tidak serta
103 Ibid.,h. 50. 104 Ibid., h.17.
Mata besar pipi montok, kulit putih (penanda I) → Inayatun (Petanda II)
Penanda II → Perempuan badung yang cantik
(petanda II)
Cantik Fisik sebagai kebahagiaan >< Cantik yang jadi Malapetaka
(Ideologi yang dibongkar)
87
merta membuat kebahagiaan. Pandangan kecantikan yang sering dianggap
kebahagiaan bagi sebagian orang tapi di dalam novel ini terkontradiksi dengan
sebuah kesedihan. Kecantikan yang sering dipandang menyenangkan dan
membahagiakan dibongkar lewat tokoh Inanyatun yang cantik tetapi tidak membuat
bahagia keluarganya. Hal ini berdasarkan kutipan:
Tapi apa daya, yang mereka dapatkan adalah seorang gadis badung yang
sulit diatur, yang ngawur. Inayatun memang pandai mengaji, tapi sepandai
itu pula ia merayu laki-laki. Bacaan Arab-nya fasih, sefasih saat ia bicara
kotor atau memaki.105
Penggalan kutipan tersebut memberikan gambaran pula bahwa
sesungguhnya kecantikan fisik bukan sebagai sesuatu kebahagiaan mutlak yang
perlu selalu dipuja-puja dan diagungkan. Lewat narasi tersebut pandangan cantik
fisik sebagai kebahagiaan justru terbongkar menjadi sebuah hal yang ironi.
Pandangan cantik fisik dibongkar secara jelas bukan sebagai sesuatu yang penting
untuk ditampilkan. Sebaliknya nilai-nilai moral yang menjadikan diri setiap orang
cantik dan bukan fisik saja.
Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu memiliki banyak bias
mitos yang terbentuk dari kekuasaan, masyarakat menaturalisasikan itu sebagai
sebuah ideologi yang perlu dipertahankan. Padahal, mereka melakukan depolitisasi
menurut kebutuhan. Berdasarkan pemaparan berkaitan dengan mitos pada novel
Dawuk: Kisah Kelabu Rumbuk Randu dapat dirangkum hasil analisis ke dalam tabel
berikut ini:
Tabel. 4.2 Tipe Mitos novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
No Mitos Tipe Mitos
Kuat Lemah
1 Kehidupan yang Sempurna ✓
2 Religius Bermoralis ✓
3 Pasangan Serasi ✓
4 Orang tua baik, anak baik ✓
5 Cantik Fisik sebagai Kebahagiaan ✓
105 Ibid.,
88
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mitos dalam novel tersebut
terbentuk sebagai upaya depolitisasi atau penundaan, serta pengalihan sesuatu yang
ada di masyarakat sebagai tanda kebudayaan untuk membentuk adanya proses
kausalitas memaknai keadaan kehidupan di masyarakat.
Pengalihan dan penundaan tersebut dibentuk agar terjadi penerimaan terjadi
begitu saja adanya dan terlihat seperti alamiah, sehingga kemunculan mitos dalam
masyarakat merupakan upaya untuk menjelaskan sesuatu berdasarkan apa yang
diharapkan oleh masyarakat sebagai pembuat mitos. Mitos mengeneralisasikan
segala hal berdasarkan cara memaknainya sebagai pemberi pesan dan penerima
pesan.
Mitos yang muncul pada novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
merupakan cara pandang memaknai dan memberikan penjelasan terhadap masa lalu
dan ingatan terhadap sebuah kisah yang di dalamnya merupakan kisah kelam yang
tidak pernah diinginkan oleh orang-orang Rumbuk Randu. Mitos yang muncul
dalam novel tersebut digunakan sebagai upaya untuk menjelaskan sesuatu yang
mereka tidak sukai. Kemunculan mitos pada novel tersebut dimunculkan sebagai
upaya untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk dapat memberikan justifikasi
secara alamiah dan wajar fenomena-fenomena yang muncul di Rumbuk Randu.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA
Pembelajaran sastra di SMA merupakan sebuah upaya dalam memberikan
pengalaman gejala-gejala kehidupan di masyarakat. Pengalaman tersebut
didapatkan peserta didik dengan membaca karya sastra serta menerapkan analisis
terhadap isi karya sastra. Lewat membaca dan menganalisis karya sastra peserta
didik dapat mengetahui masalah tanpa perlu terlebih dahulu mereka mengalaminya.
Masalah-masalah yang ditampilakan pada karya sastra mengasah peserta didik
dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotor lewat mempelajari dan mendalami
makna yang terkandung dalam karya sastra. Masalah dalam karya sastra dapat
memberikan pengalaman untuk diambil pelajaran serta cara menyikapinya jika
sewaktu-waktu masalah dalam karya sastra dialami oleh peserta didik.
89
Karya sastra yang memuat banyak pemasalahan sering kali lebih banyak
muncul pada novel. Hal tersebut karena karya sastra novel relatif lebih banyak
menampilkan peristiwa lebih kompleks, sehingga memberikan pengalamanan pada
peserta didik secara lebih mendalam berkaitan kemunculan permasalahan pada
karya sastra. Permasalah tersebut sering dimunculkan berkaitan dengan gejala-
gejala kebudayaan pada masyarakat. Namun, pembelajaran berkenaan tentang
karya sastra khususnya dengan novel sering dianggap membosankan karena
memiliki bacaan yang cukup tebal dan sulit dipahami maknanya.
Kelemahan memaknai pesan, tanda, dan makna dalam novel membuat
pemaknaan teks karya sastra hanya pada satu kerangka berpikir; misalnya peserta
didik hanya terfokus pada unsur-unsur intrinsik yang sederhana tanpa membongkar
hal lain dalam menstrukturkan perepresentasian dalam teks berkenaan hal-hal yang
lainnya. Kelemahan tersebut terkadang membuat pembelajaran sastra sering
terabaikan dan kurang diminati oleh peserta didik.
Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian analisis mitos dalam novel
Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan diharapkan
memberikan pemahaman baru berkaitan memaknai karya sastra. Pemilihan karya
tersebut dikarenakan novel tersebut mengandung banyak gejala-gejala kebudayaan
yang sering ditemui di masyarakat. Gejala-gejala tersebut berkaitan dengan cara
memandang suatu hal yang sudah alami dan wajar tetapi ternyata diperlukan
pemikiran kritis untuk mendapatkan kebenarannya.
Selain itu, novel tersebut dapat membuat daya imajinasi peserta didik
berkembang sebab penceritaan disajikan dengan cara cerita berbingkai. Dengan
begitu, peserta didik dapat memandang segala hal bukan hanya berdasarkan satu
representasi satu sudut pandang saja, melainkan juga dengan cara lain. Cara
penceritaan cerita berbingkai memungkinkan peserta didik untuk menelaah isi
cerita secara cermat. Hal tersebut dilakukan agar peserta didik mengetahui pokok
pemasalah yang bisa diambil pelajaran untuk dirinya.
Penelitian dalam bentuk analisis mitos pada novel Dawuk: Kisah Kelabu
Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan dengan fokus mitos memiliki implikasi
terhadap pembelajaran sastra di kelas XII sesuai dengan silabus yang tertera pada
90
kurikulum 2013 dengan kompetensi dasar menganalisis isi dan kebahasaan novel.
Dengan adanya pembelajaran sastra di sekolah, peserta didik diharapkan dapat
mengambil pesan yang tersirat dalam bacaan yang telah mereka baca tidak hanya
sekedar paham mengenai unsur pembangun sastra di dalamnya tetapi pesan-pesan
yang belum terugkap dan termaknai secara kritis dan cermat.
Hasil penelitian berupa bentuk-bentuk mitos yang muncul dalam novel
Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu diharapkan memberikan alternatif baru
dalam menganalisis karya sastra. Melalui kegiatan menganalisis mitos diharapkan
siswa dapat memahami mitos bukan hanya sebagai pengertian dari cerita dewa-
dewa dan hal-hal ghaib, tetapi memaknai segala sesuatu berdasarkan kebenaran
yang dapat dipertanggungjawabkan dan bukan atas dasar kekuasaan yang
mendominasi atau dimaknai sesuai kebutuhan dirinya saja.
Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan
menceritakan kisah percintaan si buruk rupa dan si cantik jelita yang tidak
mendapat restu dan mendapat pengucilan karena dianggap kutukan. Sikap-sikap
kontroversi yang muncul dalam kisah novel tersebut dapat memberikan pelajaran
untuk peserta didik agar bersikap dengan bijak menghadapi fenomena di
masyarakat.
91
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada novel Dawuk:
Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan dapat
disimpulkan:
1. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada sembilan mitos dalam
novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan
antara lain: mitos kehidupan yang sempurna, religuitas bermoralis,
pasangan serasi, orang tua baik; anak baik, dan cantik fisik sebagai
kebahagiaan. Tipe-tipe mitos yang muncul dalam novel tersebut rata-
rata diperlemah. Hal tersebut membuktikan bahwa terjadi pembongkaan
ideologi. Mitos tersebut terbentuk sebagai penjelasan atas apa yang
orang-orang Rumbuk Randu tidak sukai. Mitos menjelaskan hubungan
kausalitas berdasarkan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna mitos
tersebut.
2. Implikasi yang dapat diterapkan dari penelitian mitos dalam novel
Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan
terhadap pembelajaran sastra di kelas XII sesuai dengan silabus yang
tertera pada kurikulum 2013 dengan kompetensi dasar menganalisis isi
dan kebahasaan novel. Dengan adanya pembelajaran sastra di sekolah,
peserta didik diharapkan dapat mengambil pesan yang tersirat dalam
bacaan yang telah mereka baca tidak hanya sekedar paham mengenai
unsur pembangun sastra di dalamnya tetapi pesan-pesan yang belum
terugkap dan termaknai secara wajar dikritisi dengan cermat. Melalui
kegiatan menganalisis mitos diharapkan siswa dapat memahami mitos
bukan hanya sebagai pengertian dari cerita dewa-dewa dan hal-hal
ghaib, tetapi memaknai segala sesuatu berdasarkan kebenaran yang
dapat dipertanggungjawabkan dan bukan atas dasar kekuasaan yang
mendominasi atau dimaknai sesuai kebutuhan dirinya saja.
92
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta implikasi terhadap pembelajaran
sastra di sekolah, maka penulis menyarankan:
1. Melalui penelitian mitos dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan, peserta didik dapat
memperbaharui bahan bacaan dengan masalah-masalah kehidupan yang
dekat dengan gejala pemaknaan kebenaran bukan berdasarkan
kedominanan makna tersebut digunakan oleh masyarakat. Hal tersebut
membuat peserta didik memepersiapkan diri untuk menerima segala
pesan kehidupan tanpa justifikasi secara berlebihan. Selain itu juga,
peserta didik dapat membedakan mitos dalam pengertian tradisional
dengan mitos yang dimaknai dengan teori Roland Barthes.
2. Melalui penelitian mitos dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan pendidik dapat memberikan
referensi bahan bacaan sastra serius yang tidak selalu berpusat pada
karya-karya lama yang tebal dan sulit dipahami penggunaan bahasanya.
3. Dengan hadirnya penelitian ini, peneliti yang lain dapat menggunakan
novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan
sebagai penelitian lebih lanjut guna mendapatkan nilai-nilai yang lebih
luas dalam memperbaharui wawasan sastra di Indonesia, sehingga
penelitian dapat berguna dalam dunia pendidikan dan sastra.
93
DAFTAR PUSTAKA
Rujukan Buku
Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktik, Ter. dari Culture Studies,
Theory and Practice oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011.
Barthes, Roland. Mitologi, Ter. dari Mythologies oleh Nurhadi dan A, Sihabul
Millah. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
Danesi, Marcel. Pesan, tanda, dan Makna; Buku teks dasar mengenai semiotik
dan Teori Komunikasi. Ter. dari Meassages, Signs, and Meanings: A Basic
Textbook in Semiotics and Communication Theory oleh Evi Setyarini dan
Llusi Lian Piantari. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Press,
2016.
Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu, 2014.
Hoed, Benny. Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra:
2002.
Ida, Rachmah Ida. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya.Jakarta:
Prenada Media Group, 2014.
Ikhwan, Mahfud. Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu. Tangerang Selatan:
Marjin Kiri, 2017.
Ismawati, Esti. Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013.
Keraf, Gory. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia, 2009.
Kholifah, Siti dan I Wayan Suyadnya, Metodologi Penelitian Kualitatif Berbagi
Pengalaman Dari Lapangan. Depok: Rajawali Pres, 2018.
Kosasih, E. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya,
2012.
Luxemburg, Jan Van., Mieke Bal, Willem G. Westseijn, Pengantar Ilmu Sastra.
Terj. dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia, 1986.
94
Luxemburg, Jan Van., Mieke Bal, Willem G. Westseijn, Tentang Sastra, Terj. dari
Over Literatuur oleh Akhadiati Ikram. Jakarta: Intermasa, 1989.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007.
Rafiek, M. Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika Aditama,
2010.
Ratna, Nyoman Kutha.Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
Sobur, Alex. Semiotik Komunikasi. Bandung: Rosdakarya, 2016.
Stanton, Robert. Teori Fiksi. Terj. dari An Introduction to Ficton oleh Sugihastuti
dan Rossi Abi Al Irsyad.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Thwaites, Tony., Lloyd Davis, Warwick Mules. Introducing Cultural and Media
Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik. Ter. dari Introducing Cultural and
Media Studies: A Semiotic Approach oleh Saleh Rahmana. Yogyakarta:
Jalasutra, 2009.
Wellek, Rene and Austin Warren. Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of
Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia, Cet. V, 2013.
Rujukan Skripsi, Jurnal, Artikel Daring
Aji, Muhammad Satria. “Kearifan Lokal dalam Novel Dawuk Karya Mahfud
Ikhwan serta Relevansinya Sebagai Materi Pembelajaran Sastra di SMA”
Skripsi. Universitas Sebelas Maret: Solo, 2019.
Aninditia, Febrina,“Wacana Kehidupan Bersama Mahfud Ikhwan” pada laman
https://www.whiteboardjournal.com/interview/ideas/wacana-kehidupan-
bersama-mahfud-ikhwan/ di akses pada tanggal 24 Juli 2019 pukul 15:06
Aini, Fazli. “Sistem Kode dalam Novel 86 Karya Okky Madasari (suatu kajian
semiologi Roland Barthes). Skripsi. Universitas Negeri Makasar, diunduh
pada lamanhttp://eprints.unm.ac.id/, 21 November 2019.
Badio, Sabda. Profil Mahfud Ikhwan, Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017
Kategori Prosa. https://www.abasrin.com/2017/10/profil-mahfud-
ikhwan.html diakses 15 Juli 2019 pukul 12:00 WIB.
95
Cahyani. Suci Purnama., R.Yudi Permadi, Nana Suryana. Gambaran Kemiskinan
Dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya Mahfud
Ikhwan. Jurnal. Bandung, Metahumaniora Vol. 8 No. 2 Universitas
Padjajaran, 2017.
Hidayat, Arif. “Pembelajaran Sastra Di Sekolah”, Jurnal INSANIA, Vol. 4, No. 2,
2009.
Insiyah, Zahrotul. “Analisis Semiotik Pesan Dakwah dalam Novel Rindu Karya
Darwis Tere Liye, Skripsi. Universitas Islam Negeri Walisongo, diunduh
pada laman http://eprints.walisongo.ac.id/ 21 November 2019.
Ismatullah, Dadang. “Mitos Cinta Layla Majnun (Kajian Mitologi Roland
Barthes)”, Jurnal ALFAZ, Vol. 1, No. 1, 2013.
Kusumua, Bayu Teja. “Representasi Nilai Perempuan dalam Islam pada Novel
Ratu yang Bersujud (Analisis Semiotik Roland Barthes)”, Skripsi.
Universitas Sultan Ageng Titayasa Serang-Banten , diunduh pada laman
http://repository.fisip-untirta.ac.id/ 22 November 2019.
Mega, Sophia dan Mahfud Ikhwan, “Desa & Kambing Bagi Mahfud Ikhwan-
Dialog Ep.4” https://www.youtube.com/watch?v=XSnN2V8seSo di akses
20 Mei 2019 pukul 14.15 WIB
Mulansari, Ika Istyna Mulansari. “Aspek Moral Dalam Novel Dawuk Kisah
Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan (Sebuah Kajian
Sosiologi Sastra)”Jurnal Skripsi Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi
Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro, tahun 2019. Diunduh dari laman
eprints.undip.ac.id, 12 Juni 2019 pukul 23.57.
Mustika dan Fina Amalia Masri.“Kajian Semiotik Roland Barthes dalam Cerpen
Bayi yang Dipetik Sebatang Pohon Karya Yetti A. KA. Jurnal, Universitas
Halu Oleo diunduh pada laman
http://journal.fib.uho.ac.id/index.php/hiskisultra/article/view/190, 21
November 2019.
Nafi, M. ” Mahfud Ikhwan : Desa, Sepakbola, dan Film India dalam laman
http://www.sajadah.co/mahfud-ikhwan-desa-sepakbola-dan-film-
india/ di akses pada tanggal 24 Juli 2019 pukul 14:54.
96
Putri, Dwina Dian. “Narasi NU dan Muhamadiyah dalam Roman Kambing dan
Hujan Karya Mahfud Ikhwan dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Sastra di Sekolah”. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2019.
Putri, Rany Rizkyah. Konflik Sosial Dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan (Kajian Teori Ralf Dahrendorf).
Surabaya: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Volume 01
Nomor 01, Universitas Negeri Surabaya, 2018.
Ratna, Wa Ode Wulan. Pahlawan Menulis Mahfud Ikhwan,
https://jurnalruang.com/read/1511937033-pahlawan-menulis-mahfud-
ikhwan, diakses pada tanggal 29 April 2019 pukul 20:00 WIB.
Santoso, Puji. Sastra Dan Jati Diri Bangsa: Kontribusi Mitologi Dan
Multicultural Dalam Sastra Indonesi, 2019.
(http//badanbahasa.kemendikbud.go.id//content/sastra-jati-diri-bangsa-
kontribusi-mitologi-dan-multikultural-dalam-sastra-indonesia), diakses
tanggal 6 April 2019 pukul 17.56.
Saguni, Suarni Syam dan Baharman. “Narasi tentang Mitos Kecantikan dan
Tubuh Perempuan dalam Sastra Indonesia: Studi atas Karya-Karya Cerpenis
Indonesia”Jurnal Retorika, Vol 9, No 2 (2016) Universitas Negeri Makasar,
diunduh pada laman https://ojs.unm.ac.id/retorika/article/view/3804/2196
22 November 2019.
Wawancara pribadi via surel ([email protected]) dengan penulis
([email protected]) pada tanggal 06 April 2019 pukul 23.47
WIB.
Yuliyani “Sistem Kode Dalam Novel Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi karya
M. Aan Mansyur (Semiologi Roland Barthes). Skripsi. Universitas Negeri
Makasar, diunduh pada laman http://eprints.unm.ac.id/, 21 November 2019.
97
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Sekolah : SMA/MA..........................
Mata Pelajaran : BAHASA INDONESIA
Kelas/Semester : XII/1
Materi Pokok : Unsur Intrinsik dan Kebahasaan Novel
Alokasi Waktu : 45 menit x 2 (1 x pertemuan)
A. Kompetensi Inti (KI)
KI-1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
KI-2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli
(gotong royong, kerjasama, toleran, damai), bertanggung jawab,
responsif, dan pro-aktif dalam berinteraksi secara efektif sesuai dengan
perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat dan
lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan
internasional
KI-3 : Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis,
spesifik, detil, dan kompleks berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab
fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan pada bidang
kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah
KI-4 : Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara:
efektif, kreatif, produktif, kritis, . mandiri, kolaboratif, komunikatif,
dan solutif, dalam ranah konkret dan abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah, serta mampu
menggunakan metoda sesuai dengan kaidah keilmuan.
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
C. Tujuan Pembelajaran
Melalui kegiatan pembelajaran dengan pendekatan saintifik dengan model active
learning peserta didik dapat menganalisis isi dan kebahasaan novel dengan rasa ingin
tahu, tanggung jawab, displin, dan kreatif (Integritas) selama proses pembelajaran
dengan bersikap jujur,percaya diri, serta pantang menyerah.
Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi
3.9 Menganalisis isi dan
kebahasaan novel
3.9.1 Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dan
kebahasaan dalam novel
3.9. 2 Mempresentasikan hasil temuan unsur-unsur
instrinsik dan kebahasaan dalam novel
3.9.3 Menganalisis unsur-unsur isi dalam novel
LAMPIRAN
98
D. Materi Pembelajaran
Unsur-unsur instrinsik dalam novel :
1. Tema
2. Tokoh dan Penokohan
3. Latar
4. Plot
5. Sudut Pandang
6. Gaya Bahasa
7. Amanat
E. Metode/Model
Pendekatan : Saintifik
Model : Active Learning
Metode : ceramah, diskusi kelompok, tanya jawab, peta konsep
F. Media/Alat dan Bahan
1. Laptop
2. Proyektor
3. Video unsur-unsur intrinsik
4. Power Point
5. Buku paket
6. Novel
G. Bahan dan Sumber Belajar
1. Buku paket bahasa Indonesia kelas XII SMA/MA
2. Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan
3. Internet
H. Langkah-langkah Pembelajaran (2JP)
Pertemuan pertama (2x 45 menit)
Tahap Langkah-langkah pembelajaran
Nilai Karakter
(PPK, 4C,
HOTS)
Alokasi
waktu
PENDAHULUAN
MEMBANGUN
KONTEKS
Orientasi
❖ Melakukan pembukaan dengan
salam pembuka dan berdoa untuk
memulai pembelajaran
❖ Memeriksa kehadiran peserta
didik sebagai sikap disiplin
Apersepsi
❖ Mengaitkan materi/tema/kegiatan
pembelajaran yang akan
dilakukan dengan pengalaman
Religiusitas
(PPK)
Disiplin
Rasa ingin tahu
(PPK)
15 menit
99
peserta didik dengan
materi/tema/kegiatan sebelumnya,
pada kelas XI
❖ Mengingatkan kembali materi
prasyarat dengan bertanya.
❖ Mengajukan pertanyaan yang ada
keterkaitannya dengan pelajaran
yang akan dilakukan.
Motivasi
❖ Memberikan gambaran tentang
manfaat mempelajari pelajaran
yang akan dipelajari.
❖ Apabila materi/tema/projek ini
kerjakan dengan baik dan
sungguh-sungguh ini dikuasai
dengan baik, maka peserta didik
diharapkan dapat menjelaskan
tentang:
➢ Unsur intrinsik dan kebahasan
pada novel
❖ Menyampaikan tujuan
pembelajaran pada pertemuan
yang berlangsung
❖ Mengajukan pertanyaan.
Pemberian Acuan
❖ Memberitahukan materi pelajaran
yang akan dibahas pada pertemuan
saat itu.
❖ Memberitahukan tentang
kompetensi inti, kompetensi dasar,
indikator, dan KKM pada
pertemuan yang berlangsung
❖ Pembagian kelompok belajar
❖ Menjelaskan mekanisme
pelaksanaan pengalaman belajar
sesuai dengan langkah-langkah
pembelajaran.
Komunikasi
Kolaborasi
Berpikir Kritis
Komunikasi
KEGIATAN INTI
MENELAAH
MODEL
Mengamati
Peserta didik diberi motivasi atau
rangsangan untuk memusatkan perhatian
pada topik
➢ Unsur intrinsik dan kebahasan
pada novel
Dengan cara:
❖ Melihat (tanpa atau dengan alat)
1. Menayangkan materi unsur-unsur
instrinsik dan kebahasaan pada novel
Literasi Media
Kemandirian
Tanggungjawab
Berpikir kritis
Berpikir Kritis
70 menit
100
MENGKONSTR
UKSI MANDIRI
MENYAJIKAN
HASIL KARYA
2. Peserta didik diminta untuk
mengomentari terkait materi yang
telah ditayangkan
❖ Membaca Novel Dawuk: Kisah
Kelabu Dari Rumbuk Randu
(dilakukan di rumah sebelum kegiatan
pembelajaran berlangsung), dan
mengaitkan dengan materi
pembelajaran
❖ Mengajukan pertanyaan tentang :
pertanyaan terkait dengan materi unsur-
unsur instrinsik dan unsur kebahasaan
pada novel
❖ Mengumpulkan Informasi
Peserta didik secara berkelompok
berdiskusi untuk menemukan unsur-unsur
instrinsik dan unsur kebahasan dalam
novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk
Randu yang telah dibaca sebelumnya
❖ Mengkomunikasian
Peserta didik secara berkelompok
menyimpulkan hasil temuan pada novel
yang telah dianalisis sebelumnya.
kemudian peserta didik lain melakukan:
❖ Mengemukakan pendapat atas
presentasi yang dilakukan dan
ditanggapi oleh kelompok yang
mempresentasikan.
❖ Setiap kelompok menanggapi
presentasi teman/kelompok lain
secara santun
Komunikasi
Literasi
Berpikir Kritis
Kolaborasi
Berpikir kritis
Tanggungjawab
kerjasama
Kolaborasi
Berpikir kritis
kerjasama
tanggungjawab
Komunikasi
Kreatif dan
inovatif
PENUTUP
Kegiatan guru bersama peserta didik
yaitu:
1. Peserta didik berdiskusi
menyimpulkan materi pembelajaran
melakukan refleksi terhadap kegiatan
yang sudah dilaksanakan; dan
2. memberikan umpan balik terhadap
proses dan hasil pembelajaran; dan
3. menutup pembelajaran dengan berdoa
Kegiatan guru yaitu:
1. melakukan penilaian;
2. merencanakan kegiatan tindak lanjut
dalam bentuk pembelajaran remedi,
program pengayaan, layanan
Kolaborasi,
Tanggung Jawab,
Kerja sama
Komunikasi
Religuitas
Komunikasi
15 e
n
i
t
5 Menit
101
konseling dan/atau memberikan
tugas baik tugas individual maupun
kelompok sesuai dengan hasil belajar
peserta didik; dan
menyampaikan rencana pembelajaran
pada pertemuan berikutnya.
Catatan :
Selama pembelajaran berlangsung, guru mengamati sikap siswa dalam pembelajaran yang
meliputi sikap: disiplin, rasa percaya diri, berperilaku jujur, tangguh menghadapi masalah
tanggungjawab, rasa ingin tahu, peduli lingkungan)
Pertemuan kedua (2 x 45 menit)
Tahap Langkah-langkah pembelajaran
Nilai Karakter
(PPK, 4C,
HOTS)
Alokasi
waktu
PENDAHULUAN
MEMBANGUN
KONTEKS
Orientasi
❖ Melakukan pembukaan dengan
salam pembuka dan berdoa untuk
memulai pembelajaran
❖ Memeriksa kehadiran peserta
didik sebagai sikap disiplin
Apersepsi
❖ Mengaitkan materi/tema/kegiatan
pembelajaran yang akan
dilakukan dengan pengalaman
peserta didik dengan
materi/tema/kegiatan sebelumnya,
pada kelas XI
❖ Mengingatkan kembali materi
prasyarat dengan bertanya.
❖ Mengajukan pertanyaan yang ada
keterkaitannya dengan pelajaran
yang akan dilakukan.
Motivasi
❖ Memberikan gambaran tentang
manfaat mempelajari pelajaran
yang akan dipelajari.
❖ Apabila materi/tema/projek ini
kerjakan dengan baik dan
sungguh-sungguh ini dikuasai
dengan baik, maka peserta didik
Religiusitas
(PPK)
Disiplin
Rasa ingin tahu
(PPK)
Komunikasi
Kolaborasi
15 menit
102
diharapkan dapat menjelaskan
tentang:
➢ Unsur intrinsik dan isi novel
❖ Menyampaikan tujuan
pembelajaran pada pertemuan
yang berlangsung
❖ Mengajukan pertanyaan.
Pemberian Acuan
❖ Memberitahukan materi pelajaran
yang akan dibahas pada pertemuan
saat itu.
❖ Memberitahukan tentang
kompetensi inti, kompetensi dasar,
indikator, dan KKM pada
pertemuan yang berlangsung
❖ Pembagian kelompok belajar
❖ Menjelaskan mekanisme
pelaksanaan pengalaman belajar
sesuai dengan langkah-langkah
pembelajaran.
Berpikir Kritis
Komunikasi
KEGIATAN INTI
MENELAAH
MODEL
MENGKONSTR
UKSI MANDIRI
Mengamati
Peserta didik diberi motivasi atau
rangsangan untuk memusatkan perhatian
pada topik
➢ Unsur intrinsik dan isi novel
Dengan cara:
❖ Membaca Novel Dawuk: Kisah
Kelabu Dari Rumbuk Randu
(dilakukan di rumah sebelum kegiatan
pembelajaran berlangsung), dan
mengaitkan dengan materi
pembelajaran berkaitan kemunculan
mitos pada novel
❖ Mengajukan pertanyaan tentang:
pertanyaan terkait dengan materi isi
kaitannya perihal kemunculan mitos
❖ Mengumpulkan Informasi
Peserta didik secara berkelompok
berdiskusi untuk menemukan unsur-unsur
instrinsik dan unsur kebahasan dalam
novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk
Randu yang telah dibaca sebelumnya
dikaitkan dengan temuan mitos pada
novel tersebut.
❖ Mengkomunikasian
Literasi Media
Kemandirian
Tanggungjawab
Berpikir kritis
Literasi
Berpikir Kritis
Komunikasi
Kolaborasi
Berpikir kritis
Tanggungjawab
kerjasama
Kolaborasi
Berpikir kritis
70 menit
103
MENYAJIKAN
HASIL KARYA
Peserta didik secara berkelompok
menyimpulkan hasil temuan pada novel
yang telah dianalisis sebelumnya.
kemudian peserta didik lain melakukan:
❖ Mengemukakan pendapat atas
presentasi yang dilakukan dan
ditanggapi oleh kelompok yang
mempresentasikan.
❖ Setiap kelompok menanggapi
presentasi teman/kelompok lain
secara santun
kerjasama
tanggungjawab
Komunikasi
Kreatif dan
inovatif
Catatan :
Selama pembelajaran berlangsung, guru mengamati sikap siswa dalam pembelajaran yang
meliputi sikap: disiplin, rasa percaya diri, berperilaku jujur, tangguh menghadapi masalah
tanggungjawab, rasa ingin tahu, peduli lingkungan)
PENUTUP
Kegiatan guru bersama peserta didik
yaitu:
4. Peserta didik berdiskusi
menyimpulkan materi pembelajaran
melakukan refleksi terhadap kegiatan
yang sudah dilaksanakan; dan
5. memberikan umpan balik terhadap
proses dan hasil pembelajaran; dan
6. menutup pembelajaran dengan berdoa
Kegiatan guru yaitu:
3. melakukan penilaian;
4. merencanakan kegiatan tindak lanjut
dalam bentuk pembelajaran remedi,
program pengayaan, layanan
konseling dan/atau memberikan
tugas baik tugas individual maupun
kelompok sesuai dengan hasil belajar
peserta didik; dan
5. menyampaikan rencana
pembelajaran pada pertemuan
berikutnya.
Kolaborasi,
Tanggung Jawab,
Kerja sama
Komunikasi
Religuitas
Komunikasi
15 e
n
i
t
4 Menit
104
I. Penilaian
1. Penilaian Sikap
a. Teknik penilaian : Observasi: sikap religiius dan sikap sosial
b. Bentuk penilaian : lembar pengamatan
c. Instrumen penilaian : jurnal (terlampir)
2. Pengetahuan
Jenis/Teknik tes : tertulis
Bentuk tes : uraian
Instrumen Penilaian (terlampir)
3. Keterampilan
Teknik/Bentuk Penilaian : Lisan
Praktik/Performence
Instrumen Penilaian (terlampir)
105
Lampiran Instrumen Penilaian
A. PENILAIAN SIKAP
INTRUMEN PENILAIAN SIKAP
Nama Satuan pendidikan : MA/SMA N
Tahun pelajaran : 2018/2019
Kelas/Semester : XII/ 1
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
N
O WAKTU NAMA
KEJADIAN/
PERILAKU
BUTIR
SIKAP
POS
/
NE
G
TINDAK LANJUT
1
2
3
Kolom aspek perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria berikut.
5 = sangat baik 4 = baik 3 = cukup 2 = kurang 1 = sangat kurang
B. PENILAIAN PENGETAHUAN
Kompetensi
Dasar IPK
Materi
Pokok Instrumen soal
Btk soal
3.9
Menganalisis
isi dan
kebahasaan
novel
3.9.1
Mendeskripsikan
unsur-unsur
intrinsik dan
kebahasaan
dalam novel
3.9.3
Menganalisis
unsur isi novel
Unsur
intrinsik dan
kebahasaan
novel
Tentukan dan
deskripsikanlah unsur-unsur
instrinsik dan kebhasaan
dalam novel Dawuk: Kisah
Kelabu Dari Rumbuk
Randu!
Tentukan isi mitos yang
terdapat dalam novel
Dawuk: Kisah Kelabu Dari
Rumbuk Randu!
Tulis
C. PENILAIAN KOMPETENSI KETERAMPILAN
Kompetens
i Dasar IPK
Materi
Pokok Instrumen soal
Btk
soal
3.9
Menganalisi
s isi dan
kebahasaan
novel
3.9.2
Mempresentasi
kan hasil
temuan unsur-
unsur instrinsik
dan kebahasaan
dalam novel
Unsur
intrinsik dan
kebahasaan
novel
Presentasikanlah hasil
diskusimu bersama
kelompokmu terkait unsur
instrisnsik dan
kebahasaaan novel
Dawuk: Kisah Kelabu
Dari Rumbuk Randu di
depan kelas !
Lisan
106
Lampiran Pedoman Skor
NO Aspek yang Dinilai Skor Skor
Maksimal
1.
a. Peseta didik dapat menentukan unsur-unsur instrinsik
novel dengan tepat
b. Peseta didik dapat menentukan unsur-unsur instrinsik
novel kurang tepat.
c. Peseta didik dapat menentukan unsur-unsur instrinsik
novel tidak tepat.
30
20
10
30
2. a. Peseta didik dapat menjelaskan unsur-unsur kebahasaan
novel dengan tepat.
b. Peseta didik dapat menjelaskan unsur-unsur kebahasaan
novel dengan kurang tepat.
c. Peseta didik dapat menjelaskan unsur-unsur
kebahasaan novel tidak tepat.
35
25
25
35
3. a. Peseta didik dapat mempresentasikan dengan urutan
yang benar.
b. Peseta didik dapat mempresentasikan dengan urutan
yang kurang tepat.
c. Peseta didik dapat mempresentasikan dengan urutan
yang tidak tepat.
35
25
15
35
Total skor 100
Penilaian Akhir
Nilai Akhir= 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑎ℎ
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑘𝑜𝑟 x 100
Nilai Keterangan Predikat
90-100 Sangat Baik A
80-89 Baik B
70-79 Cukup C
69-0 Kurang D
Mengetahui ..............., ................................
2019
Kepala SMA, Guru Mata Pelajaran,
……………………………. Rifa Nurafia
107
108
109
110
111
112
113
114
RIWAYAT PENULIS
Rifa Nurafia lahir di Bogor, 17 Januari 1997. Anak kedua
dari pasangan Ucu Sopian dan Masuliyah. Penulis yang
hobi menulis dan mengoleksi novel ini menempuh
pendidikan di MI Nurul Huda (2003-2009), SMP Negeri 1
Ciseeng (2009-2012), SMA Negeri 1 Ciseeng (2012-2015),
kemudian kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Sejak lulus Sekolah Menengah Atas penulis telah
aktif mengajar dan mengabdi di SMP Islam Bina Insani Ciseeng, sekolah yang dibangun
untuk anak yatim dan dhuafa di wilayah Cibeuteung Muara Ciseeng Bogor.
Penulis dapat dihubungi via
Twitter: @rifanurafia
Instagram: rifanurafia/jatuhcintadenganbeda
blog: [email protected]