Makalah Teknik Penyediaan Air Minum Teknologi Elektrokoagulasi
-
Upload
eka-wijaya -
Category
Documents
-
view
644 -
download
15
Transcript of Makalah Teknik Penyediaan Air Minum Teknologi Elektrokoagulasi
MAKALAH TEKNIK PENYEDIAAN AIR MINUMTEKNOLOGI ELEKTROKOAGULASI
DALAM PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN AIR GAMBUT
Oleh :
EKA WIJAYA03071001061
Dosen Pembimbing :
Nyimas Septi Rika, ST. M.Si.
UNIVERSITAS SRIWIJAYAFAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperoleh dari
berbagai sumber, tergantung pada kondisi daerah setempat. Kondisi sumber air pada
setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada keadaan alam dan kegiatan manusia
yang terdapat di daerah tersebut. Penduduk yang tinggal di daerah dataran rendah
dan berawa seperti di Sumatera dan Kalimantan menghadapi kesulitan memperoleh
air bersih untuk keperluan rumah tangga, terutama air minum. Hal ini karena sumber
air di daerah tersebut adalah air gambut yang berdasarkan parameter baku mutu air
tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih.
Air gambut mengandung senyawa organik terlarut yang menyebabkan air
menjadi berwarna coklat dan bersifat asam, sehingga perlu pengolahan khusus
sebelum siap untuk dikonsumsi. Senyawa organik tersebut adalah asam humus yang
terdiri dari asam humat, asam fulvat dan humin. Asam humus adalah senyawa organik
dengan berat molekul tinggi dan berwarna coklat sampai kehitaman, terbentuk karena
pembusukan tanaman dan hewan, sangat tahan terhadap mikroorganisme dalam
waktu yang cukup lama (Notodarmojo, 1994).
Air gambut di Indonesia merupakan salah satu sumber daya air yang masih
melimpah, kajian pusat Sumber Daya Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral melaporkan bahwa sampai tahun 2006 sumber daya lahan gambut di
Indonesia mencakup luas 26 juta ha yang tersebar di pulau kalimantan (± 50 %),
Sumatera (± 40 %) sedangkan sisanya tersebar di papua dan pulau-pulau lainnya.
Dan untuk lahan gambut Indonesia menempati posisi ke – 4 terluas setelah Canada,
Rusia dan Amerika Serikat (Tjahjono, 2007).
Berdasarkan data di atas, air gambut di Indonesia secara kuantitatif sangat
potensial untuk dikelola sebagai sumber daya air yang dapat diolah menjadi air bersih
atau air minum. Namun secara kualitatif penggunaan air gambut masih banyak
mengalami kendala. Beberapa kendala penggunaannya sebagai air bersih adalah
warna, tingkat kekeruhan, dan zat organik yang tinggi sehingga sangat tidak layak
untuk digunakan sebagai air bersih.
Kenyataan di atas dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di area gambut yang
masih cukup luas. Masyarakat yang tinggal di areal gambut tersebut masih
2
menggunakan air gambut untuk keperluan sehari-harinya tanpa melalui proses
pengolahan terlebih dahulu.
Kondisi ini mendorong timbulnya penelitian-penelitian baru dalam pengolahan
air gambut, sehingga dapat dimanfaatkan sesuai standar air bersih yang berlaku
karena air gambut merupakan salah satu sumber air permukaan yang dapat
digunakan sebagai air baku pengolahan air bersih. Air gambut baik sebagai air
permukaan maupun air tanah umumnya memiliki kualitas yang tidak memenuhi
persyaratan kualitas air bersih yang distandarkan oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, karena :
1. Berwarna kuning/merah kecoklatan
2. Tingkat keasaman tinggi, sehingga kurang enak diminum.
3. Zat organik tinggi sehingga menimbulkan bau.
Air gambut yang berwarna kuning/merah kecoklatan disebabkan oleh
kandungan organik yang merupakan partikel koloid bermuatan negatif dan sulit
ipisahkan dari cairannya karena ukurannya sangat kecil dan mempunyai sifat muatan
listrik pada permukaannya yang menyebabkan partikel stabil. Salah satu cara
pendestabilisasian partikel koloid ini yaitu melalui proses koagulasi dengan bantuan
garam-garam yang mengandung ion-ion logam bervalensi tiga, seperti besi dan
aluminium sebagai koagulan, sehingga proses pengolahan air gambut ini dapat
dilakukan dengan cara elektrolisa yang disebut dengan elektrokoagulasi (D.
Ghernaout et al., 2009). Koagulasi adalah proses yang penting dalam proses
pengolahan air secara konvensional, dimana proses ini bersamaan dengan proses
lain seperti sedimentasi dan filtrasi. Tujuan utama proses koagulasi adalah untuk
mendestabilisasi partikel sehingga dapat bergabung dengan partikel lain untuk
membentuk agregat yang lebih besar yang akan lebih mudah mengendap.
Proses elektrokoagulasi ini dilakukan dengan cara memasukkan elektroda
dari lempengan logam aluminium (Al) ke dalam elektrolit (air baku) pada suatu bak
persegi empat. Lempengan aluminium tersebut disusun secara paralel dengan suatu
jarak tertentu dan dialiri dengan listrik arus searah. Dengan adanya arus listrik
tersebut, aluminium akan dipisahkan dari anoda dan sedikit demi sedikit akan larut
ke dalam air membentuk ion Al3+ yang akan bereaksi dengan air (hidrolisa) sebelum
terjadi presipitasi Al(OH)3, sedangkan pada katoda terbentuk gas hidrogen.
Dari penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan terhadap air baku air
gambut dapat disimpulkan bahwa :
Secara kuantitatif air gambut merupakan sumber air baku yang sangat
potensial untuk dikelola sebagai sumber daya air yang dapat diolah menjadi
3
air bersih maupun air minum, terutama di sebagian besar pulau Kalimantan
dan sebagian pulau Sumatera.
Perlu pengolahan terlebih dahulu dalam pemanfaatan air gambut sebagai air
bersih, karena pada umumnya kualitas air gambut mempunyai kandungan
organik, warna dan derajat keasaman yang tinggi.
Proses elektrokoagulasi dapat dipakai sebagai salah satu alternatif untuk
memperbaiki kualitas air gambut karena dapat menurunkan kandungan
organik, kekeruhan dan warna. Menurut Irianto bahwa air gambut sulit diolah
secara koagulasi konvensional karena kandungan kation partikel tersuspensi
yang rendah.
Ditinjau dari persyaratan kualitas air yang ditetapkan pada dasarnya
penelitian-penelitian terdahulu sudah dapat menurunkan beberapa
karakteristik penting dari air gambut, namun ditinjau dari segi ekonomis masih
kurang memuaskan.
Dari kendala-kendala yang ada maka prospek yang dianjurkan dalam
penelitian ini yaitu sebagai salah satu alternatif pengganti beban kebutuhan bahan
kimia dalam pengolahan air gambut dan lebih efisien dari segi operasi dan
pemeliharaan. Dengan melihat hasil tersebut maka pada penelitian ini akan
dirancang suatu model untuk pengolahan air gambut untuk menghasilkan air bersih
dengan proses elektrokoagulasi dalam skala pilot.
Sebagai suatu alternatif pengganti proses yang ketergantungan terhadap
bahan kimia, maka proses elektrokoagulasi ini perlu direncanakan dengan baik agar
memberikan hasil yang optimum dan lebih efektif dengan mempertimbangkan faktor-
faktor yang mempengaruhi reaksi elektroda yang akan menentukan pemakaian daya
listrik, yaitu : variabel elektroda, meliputi : jenis, jumlah, dan jarak antar elektroda.
Dan variabel listrik, meliputi : arus, tegangan, dan kecepatan alir.
1.2. Permasalahan
Sumber air bersih untuk dikonsumsi sangat sulit dan jauh diperoleh di daerah
lahan gambut, hal ini karena sumber air yang tersedia adalah air gambut. Air gambut
yang berwarna kuning, merah kecoklatan dan hitam disebabkan oleh senyawa-
senyawa organik. Senyawa organik tersebut bersifat asam sehingga umumnya
logam-logam terlarut dalam bentuk mikroelement di dalam air gambut. Berdasarkan
identifikasi masalah di atas, maka permasalahan dalam makalah adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana mendapatkan air bersih di lahan gambut yang sesuai dengan
persyaratan kualitas air bersih berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
4
No. 416/MENKES/PER/IX/1990 tanggal 3 September 1990, dengan sumber
air baku dari air gambut.
2. Bagaimana merancang model yang praktis dan efisien yang dapat digunakan
untuk mengolah air gambut menjadi air bersih di lahan gambut.
3. Apakah model yang dirancang dengan proses elektrokoagulasi dan
penambahan larutan tawas dapat mengolah air gambut menjadi air bersih
yang efektif dan efisien.
1.3. Tujuan Penulisan
Merancang suatu model pengolahan air gambut dengan menggunakan metode
elektrokoagulasi untuk menghasilkan air bersih, yang sesuai dengan persyaratan
kualitas air bersih berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
416/MENKES/PER/IX/1990 tanggal 3 September 1990. Khususnya :
1. Merancang suatu model pengolahan air gambut dalam skala pilot yang efektif
dan efisien.
2. Merancang berapa besar kecepatan alir yang optimum yang diperlukan
model, untuk menghasilkan air bersih.
1.4. Manfaat Penulisan
1. Memberikan suatu alternatif pengolahan air gambut pada daerah-daerah atau
kawasan yang sumber air bersih sulit diperoleh terutama dikawasan gambut.
2. Sebagai suatu studi untuk mengatasi masalah dalam pengadaan air bersih
melalui pengolahan air gambut.
3. Model yang dirancang dapat mengolah air gambut dalam skala pilot untuk
menghasilkan air bersih dengan metode elektrokoagulasi dan penambahan
larutan tawas dengan kecepatan alir 1 L/menit.
4. Model dapat diaplikasikan langsung di lapangan baik untuk konsumsi rumah
tangga maupun untuk skala industri.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Air Gambut
Karakteristik Air Gambut
Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah
berawa maupun dataran rendah terutama di Sumatera dan Kalimantan, yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Kusnaedi, 2006) :
• Intensitas warna yang tinggi (berwarna merah kecoklatan)
• pH yang rendah
• Kandungan zat organik yang tinggi
• Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah
• Kandungan kation yang rendah
Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari
tingginya kandungan zat organik (bahan humus) terlarut terutama dalam
bentuk asam humus dan turunannya. Asam humus tersebut berasal dari
dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon atau kayu dengan berbagai
tingkat dekomposisi, namun secara umum telah mencapai dekomposisi yang
stabil (Syarfi, 2007). Dalam berbagai kasus, warna akan semakin tinggi
karena disebabkan oleh adanya logam besi yang terikat oleh asam-asam
organik yang terlarut dalam air tersebut. Struktur gambut yang lembut dan
mempunyai pori-pori menyebabkannya mudah untuk menahan air dan air
pada lahan gambut tersebut dikenal dengan air gambut. Berdasarkan sumber
airnya, lahan gambut dibedakan menjadi dua yaitu (Trckova, M., 2005) :
1. Bog
Merupakan jenis lahan gambut yang sumber airnya berasal dari
air hujan dan air permukaan. Karena air hujan mempunyai pH yang agak
asam maka setelah bercampur dengan gambut akan bersifat asam dan
warnanya coklat karena terdapat kandungan organik.
2. Fen
Merupakan lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air
tanah yang biasanya dikontaminasi oleh mineral sehingga pH air gambut
tersebut memiliki pH netral dan basa.
6
Tabel Karakteristik Air Gambut dari Berbagai Lokasi di Sumatera & Kalimantan.
Karakteristik air gambut bersifat spesifik, bergantung pada lokasi,
jenis vegetasi dan jenis tanah tempat air gambut tersebut berada, ketebalan
gambut, usia gambut, dan cuaca. Hal ini dapat dilihat pada Tabel karakteristik
air gambut dari sebagian wilayah Indonesia yang merupakan hasil penelitian
Puslitbang Pemukiman bekerja sama dengan PAU ITB (Irianto, 1998).
Karakteristik air gambut seperti yang telah disebutkan di atas
menunjukkan bahwa air gambut kurang menguntungkan untuk dijadikan air
minum bagi masyarakat di daerah berawa. Namun karena jumlah air gambut
tersebut sangat banyak dan dominan berada di daerah tersebut maka harus
bisa menjadi alternatif sumber air minum masyarakat. Kondisi yang kurang
menguntungkan dari segi kesehatan adalah sebagai berikut :
Kadar keasaman pH yang rendah dapat menyebabkan kerusakan gigi dan
sakit perut.
Kandungan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan bagi
mikroorganisma dalam air, sehingga dapat menimbulkan bau apabila
bahan organik tersebut terurai secara biologi, (Wagner, 2001).
Apabila dalam pengolahan air gambut tersebut digunakan klor
sebagai desinfektan, akan terbentuk trihalometan (THM’S) seperti
senyawa argonoklor yang dapat bersifat karsinogenik (kelarutan
logam dalam air semakin tinggi bila pH semakin rendah), (Wagner,
2001).
7
Ikatannya yang kuat dengan logam (Besi dan Mangan) menyebabkan
kandungan logam dalam air tinggi dan dapat menimbulkan kematian
jika dikonsumsi secara terus menerus (Wagner, 2001).
Pada massa sekarang penggunaan teknologi elektrokoagulasi mulai
dikembangkan kembali untuk meningkatkan kualitas effluen air limbah.
Elektrokoagulasi digunakan untuk mengolah effluen dari beberapa air limbah
yang berasal dari industri makanan, limbah tekstil, limbah rumah makan,
limbah yang mengandung senyawa arsenik, air yang mengandung flourida,
dan air yang mengandung partikel yang sangat halus, bentonit dan kaolinit.
Untuk pertimbangan penentuan penggunaan elektrokoagulasi maka Mollah
(2001) telah memberikan gambaran tentang keuntungan dan kerugiannya.
Keuntungan dari penggunaan elektrokoagulasi adalah sebagai berikut :
1. Elektrokoagulasi membutuhkan peralatan yang simpel dan mudah
dioperasikan.
2. Air yang diolah dengan elektrokoagulasi menghasilkan effluen yang
jernih, tidak berwarna dan tidak berbau.
3. Flok yang terbentuk pada elektrokoagulasi memiliki kesamaan dengan
flok yang berasal dari koagulasi kimia. Perbedaannya adalah flok dari
elektrokoagulasi berukuran lebih besar dengan kandungan air yang
sedikit, lebih stabil dan mudah dipisahkan secara cepat dengan filtrasi.
4. Effluen yang dihasilkan elektrokoagulasi mengandung TDS (Total
Dissolved Solid) dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan
pengolahan kimiawi.
5. Proses elektrokoagulasi mempunyai keuntungan dalam mengolah
partikelpartikel koloid yang berukuran sangat kecil, sebab
diaplikasikan medan elektrik dengan gerak yang lebih cepat, sehingga
proses koagulasi lebih mudah terjadi dan lebih cepat.
6. Proses elektrokoagulasi jauh dari penggunaan bahan kimia sehingga
tidak bermasalah dengan netralisasi kelebihan bahan kimia, dan tidak
ada polusi yang kedua yang disebabkan substansi-substansi kimia
yang ditambahkan pada konsentrasi yang tinggi.
7. Produksi gelembung-gelembung gas selama elektrolisis dapat
membawa polutan-polutan yang diolah untuk naik ke permukaan
(flotasi) dimana flok tersebut dapat dengan mudah terkonsentrasi,
dikumpulkan dan dipisahkan (removed).
8
8. Perawatan reaktor elektrokoagulasi lebih mudah karena proses
elektrolisis yang terjadi cukup dikontrol dari pemakaian listrik tanpa
perlu memindahkan bagian-bagian didalamnya.
9. Teknologi elektrokoagulasi dapat dengan mudah diaplikasikan di
daerah yang tidak terjangkau layanan listrik yakni dengan
menggunakan panel matahari yang cukup untuk terjadinya proses
pengolahan.
Sedangkan kerugian dari penggunaan elektrokoagulasi adalah :
1. Elektroda yang digunakan dalam proses pengolahan ini harus diganti
secara teratur.
2. Terbentuknya lapisan di elektroda dapat mengurangi efisiensi
pengolahan.
3. Penggunaan listrik kadangkala lebih mahal pada beberapa daerah.
4. Teknologi ini membutuhkan konduktivitas yang tinggi pada air limbah
yang diolah.
9
BAB III
PEMBAHASAN
Proses Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi merupakan metode pengolahan air secara elektrokimia
dimana pada anoda terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam (biasanya
alumunium atau besi) ke dalam larutan, sedangkan pada katoda terjadi reaksi
elektrolisis berupa pelepasan gas Hidrogen (Holt et al., 2004). Menurut Mollah
(2004), elektrokoagulasi adalah proses kompleks yang melibatkan fenomena kimia
dan fisika dengan menggunakan elektroda untuk menghasilkan ion yang digunakan
untuk mengolah air limbah. Sedangkan elektrokoagulasi menurut Ni’am (2007),
adalah proses penggumpalan dan pengendapan partikel-partikel halus dalam air
menggunakan energi listrik. Proses elektrokoagulasi dilakukan pada bejana
elektrolisis yang didalamnya terdapat dua penghantar arus listrik searah yang
disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan elektrolit.
Gambar Perinsip proses elektrokoagulasi (Ni’am, 2007)
Apabila dalam suatu larutan elektrolit ditempatkan dua elektroda dan dialiri
arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala dekomposisi
elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima elektron yang
direduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda dan menyerahkan elektron yang
10
dioksidasi. Sehingga membentuk flok yang mampu mengikat kontaminan dan
partikel-partikel dalam limbah. Diidentifikasikan terdapat tiga proses mendasar yang
terjadi dalam elektrokoagulasi, yaitu elektrokimia, koagulasi dan flotasi. Ketiga
proses ini dapat digambarkan dengan diagram Venn dimana kombinasi dari
ketiganya menghasilkan teknologi elektrokoagulasi, sedangkan kombinasi yang lain
menghasilkan teknologi yang berbeda. Elektrokoagulasi bukan merupakan teknologi
baru, dari literatur yang ada menunjukkan bahwa teknologi ini telah ditemukan lebih
dari seratus tahun yang lalu. Contoh aplikasi yang ada misalnya adalah pada akhir
abad ke -19, telah terdapat beberapa instalasi pengolahan air bersih yang cukup
besar di London yang mempergunakan teknologi ini (Matteson et al, 1995 dalam Holt
et al, 2004).
Gambar Diagram Venn (Holt et al, 2004)
Proses Elektrokoagulasi Dengan Penambahan Larutan Tawas
Menurut Michael Faraday bahwa air murni hampir merupakan isolator yang
sempurna, sedangkan larutan yang bisa melarutkan sesuatu bahan dapat berfungsi
sebagai konduktor. Jika dua buah elektroda dimasukkan ke dalam bejana berisi air,
yang satu dihubungkan dengan ujung positif dan yang lain dengan ujung negatif
suatu sumber arus searah, maka tidak akan terdapat arus. Tetapi jika ke dalam air
dimasukkan larutan atau garam, misalnya Al2SO4 maka terlihat adanya arus
mengalir.
Hal yang sama terjadi pada air gambut, jika dua buah elektroda Al
dimasukkan ke dalam bak berisi air gambut dan dihubungkan dengan suatu sumber
arus listrik searah maka tidak akan terdapat arus, karena air gambut mengandung
zat organik yang tinggi yang terlarut dalam air terutama dalam bentuk asam humus
(asam humat, asam fulvik dan humin). Tetapi jika ke dalam air gambut dimasukan
11
larutan tawas (Al2SO4) maka terlihat adanya arus mengalir. Larutan tawas ini jika
dimasukkan ke dalam air gambut akan terionisasi membentuk Al3+ dan SO4 2- yang
dapat menetralkan muatan koloid. Unsur Al yang terdapat pada tawas akan mengikat
partikel negatif yang ada dalam air gambut sehingga terjadi penggumpalan partikel
dan sekaligus menurunkan warna dan kekeruhan. Larutan tawas akan mengaktifkan
ion – ion pada elektroda Al sehingga terjadi interaksi dengan asam-asam humus dan
terjadilah proses elektrokoagulasi (koagulasi dan flokulasi), yang akan membentuk
flok yang mampu mengikat asam-asam humus dan partikel-partikel lain dalam air
gambut dalam waktu yang cukup singkat. Larutan tawas di sini berfungsi sebagai
membuat koligatif larutan sehingga air gambut akan mempunyai larutan elektrolit
didalamnya.
Dari hasil penelitian, dosis tawas yang dibutuhkan untuk mencapai besarnya
efisiensi penurunan warna dan kekeruhan di atas 90 % relatif rendah yaitu 10 ml/ L
sampel, Dan tawas yang digunakan adalah tawas yang dikomersialkan dengan mutu
17 % dengan kadar 1000 ppm. Bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya,
PAU ITB (1992) dengan dosis tawas 1300 mg/L, Mu’min (2002) dengan dosis tawas
50 mg/L, dan Fitria (2008) dengan dosis tawas 280 mg/L. Dari segi ekonomi hal ini
sudah cukup memuaskan sehingga prospek kedepannya merupakan salah satu
alternatif pengganti beban kebutuhan bahan kimia dalam pengolahan air gambut.
Penambahan larutan tawas ke dalam air gambut yang kemudian
dielektrokoagulasi ternyata lebih baik digunakan dalam pengolahan air gambut pada
penelitian ini. Hal ini disebabkan larutan tawas dapat bertindak sebagai sumber ion
elektrolit dalam proses koagulasi yang kemudian diikuti proses flokulasi yang
membentuk flok-flok yang lebih besar berupa Al(OH)3. Dengan terbentuknya flok-flok
tersebut maka terjadi penurunan konsentrasi logam, senyawa-senyawa organik dan
partikel-partikel lain yang larut di dalam air gambut. flokulasi yang membentuk flok-
flok yang lebih besar berupa Al(OH)3. Dengan terbentuknya flok-flok tersebut maka
terjadi penurunan konsentrasi logam, senyawa-senyawa organik dan partikel-partikel
lain yang larut di dalam air gambut.
Mekanisme dalam elektrokoagulasi
Mekanisme yang terjadi dalam elektrokoagulasi pada percobaan ini terbagi
dalam beberapa faktor. Menurut Holt et al. (2006), ada berbagai kemungkinan
mekanisme yang terjadi dalam elektrokoagulasi (interaksi dalam larutan) yaitu :
1. Migrasi ke muatan elektroda yang berlawanan (electrophoresis) dan
agregatisasi netralisasi muatan.
2. Kation atau ion OH- membentuk suatu presipitasi dengan polutan
12
3. Interaksi kation logam dengan OH- untuk membentuk suatu hidroksida yang
mempunyai sifat-sifat adsorpsi yang tinggi sekaligus mengikat polutan
(jembatan koagulasi).
4. Hidroksida membentuk struktur seperti kisi yang lebih besar dan sweep
coagulation.
5. Oksidasi polutan-polutan
6. Pemindahan (remove) oleh elektroflotasi dan adhesi ke gelembung
Sedangkan Menurut Mollah (2004) mekanisme penyisihan yang umum terjadi
di dalam elektrokoagulasi terbagi dalam tiga faktor utama yaitu :
a. terbentuknya koagulan akibat proses oksidasi elektrolisis pada elektroda,
b. destabilisasi kontaminan, partikel tersuspensi, dan pemecahan emulsi, dan
c. agregatisasi dari hasil destabilisasi untuk membentuk flok.
Proses destabilisasi kontaminan, partikel tersuspensi, dan pemecahan emulsi
terjadi dalam tahapan sebagai berikut :
a. Kompresi dari lapisan ganda (double layer) difusi yang terjadi di sekeliling spesies
bermuatan yang disebabkan interaksi dengan ion yang terbentuk dari oksidasi di
elektroda.
b. Netralisasi ion kontaminan dalam air limbah dengan menggunakan ion
Berlawanan yang dihasilkan dari elektroda. Dengan adanya ion tersebut
menyebabkan berkurangnya gaya tolak menolak antar partikel dalam air limbah
(gaya Van der Waals) sehingga proses koagulasi bisa berlangsung.
c. Terbentuknya flok, dimana flok ini terbentuk akibat proses koagulasi sehingga
terbentuk sludge blanket yang mampu menjebak dan menjembatani partikel koloid
yang masih ada di air limbah.
13
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian menggunakan model pengolahan air gambut
dengan proses elektrokoagulasi kapasitas L/menit, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Model yang telah dirancang secara teknis memberikan kinerja yang baik,
karena mampu mereduksi kontaminan dalam air gambut di atas 90 % dan air
bersih yang dihasilkan sudah memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah
melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990
tanggal 3 September 1990 tentang persyaratan kualitas air bersih.
2. Kinerja yang baik dari model pengolahan air gambut untuk menghasilkan air
bersih dengan metode elektrokoagulasi sangat dipengaruhi oleh dosis larutan
tawas yang dimasukkan ke dalam sampel (air gambut) yaitu 10 ml/l air gambut,
waktu elektrokoagulasi (waktu kontak dengan plat aluminium sebagai elektroda)
yaitu 45 menit, dan kecepatan alir sampel (air gambut) yang masuk ke dalam
bak elektrokoagulasi adalah 1 L/menit.
3. Model pengolahan air gambut untuk menghasilkan air bersih yang telah
dirancang dapat langsung diaplikasikan di lapangan.
4.2. Saran
1. Karena Indonesia mempunyai lahan gambut yang cukup besar, sebaiknya
teknologi ini digunakan dengan sebaik mungkin.
2. Proses elektrokoagulasi ini harus dilakukan dengan baik dan teliti, agar air yang
dihasilkan benar-benar layak konsumsi.
14