Makalah Syok Gustep
-
Upload
retna-gumilang -
Category
Documents
-
view
33 -
download
8
description
Transcript of Makalah Syok Gustep
BAB I
PENDAHULUAN
Syok hipovolemik yang disebabkan oleh terjadinya kehilangan
darah secara akut (syok hemoragik) sampai saat ini merupakan salah satu
penyebab kematian di negara-negara dengan mobilitas penduduk yang
tinggi. Salah satu penyebab terjadinya syok hipovolemik tersebut
diantaranya adalah cedera akibat kecelakaan. Menurut WHO cedera
akibat kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan terjadinya 5 juta
kematian diseluruh dunia. Angka kematian pada pasien trauma yang
mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan
yang lengkap mencapai 6%. Sedangkan angka kematian akibat trauma
yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang
kurang memadai mencapai 36% (Diantoro, 2014)
Syok hipovolemik juga terjadi pada wanita dengan perdarahan
karena kasus obstetri, angka kematian akibat syok hipovolemik mencapai
500.000 per tahun dan 99% kematian tersebut terjadi di negara
berkembang. Sebagian besar penderita syok hipovolemik akibat
perdarahan meninggal setelah beberapa jam terjadinya perdarahan
karena tidak mendapat penatalaksanaan yang tepat dan adekuat. Diare
pada balita juga meruapakan salah satu penyebab terjadinya syok
hipovolemik. Menurut WHO, angka kematian akibat diare yang disertai
syok hipovolemik pada balita di Brazil mencapai 800.000 jiwa. Sebagian
besar penderita meninggal karena tidak mendapat penanganan pada
waktu yang tepat (Diantoro, 2014).
Syok adalah suatu sindroma klinis yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan system sirkulasi
untuk mempertahanlan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.
Tanpa melihat penyebabnya, ketidak seimbangan antara kebutuhan dan
pengangkutan oksigen dan substrat yang diinduksi oleh hipoperfusi
mengakibatkan disfungsi selular. Kerusakan pada sel akibat dari
kekurangan pada kebutuhuan dan pengangkutan oksigen dan substrat
1
menginduksi produksi dan pelepasan mediator inflamasi yang nanti akan
mengkompromi perfusi melalui perubahan fungsional dan struktural
mikrovaskular.
Syok hipovolemik terjadi disebabkan oleh perdarahan, kehilangan
plasma dan kehilangan cairan ekstrselular. Pada syok hipovolemik terjadi
penurunan penting dalam volume intravaskular .Hilangnya balik vena
(preload) menyebabkan penurunan pengisian ventrikel dan mengurangi
stroke volume . Kecuali diimbangi dengan peningkatan denyut
jantung ,curah jantung menurun. Bila cairan intravaskular berkurang,
tubuh akan selalu berusaha mempertahankan perfusi organ-organ vital
jantung dan ginjal dengan mengorbankan perfusi organ uang lain. Di ginjal
terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-
aldosteron, sistem ADH,dan saraf simpatis. Cairan intersisiel akan masuk
ke pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular. Dengan
demikian tujuan untama mengatasi syok hipovolemik adalah menormalkan
kembali volume intravaskular dan intertitial dan mengatasi kerusakan
organ yang lebih lanjut.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Syok
2.1.1 Definisi
Syok merupakan ganggguan hemodinamik yang menyebabkan
tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi jaringan yang disebabkan
oleh bermacam-macam proses baik primer pada sistim kardiovasculer,
trauma, metabolik, neurologis ataupun imunologis. Ada beberapa
mekanisme hipoperfusi organ dan syok. Syok mungkin karena volume
rendah beredar (syok hipovolemik), vasodilatasi (syok distributif),
penurunan utama dalam cardiac output (baik kardiogenik dan obstruktif
shock), atau kombinasi keduanya. Dari jenis syok tersebut, syok
hipovolemik adalah jenis syok yang banyak terjadi, karena penyebab dari
syok hipovolemik itu sendiri beragam dan sering dijumpai. (Napolitano et
al., 2010)
2.1.2 Klasifikasi
1) Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh
penurunan curah jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular
yang cukup, dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat
terjadi karena disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi
pada keadaan di mana fungsi ventrikel kiri cukup baik. Hipotensi sistemik
umurnnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk tekanan darah
sistolik yang sering dipakai adalah < 90 mmHg. Dengan menurunnya
tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang
mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis dapat
ditemukan tanda-tanda hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status
mental, kulit dingin dan oliguria. Syok kardiogenik terjadi pada disfungis
sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi valvular, cardiac aritmia, coronary
3
artery disease dan komplikasi mekanik. Manifestasi klinis pada syok
kardiogenik adalah pasien kelihatan sianotik, akral dingin, basah,
takikardia dan irregular jika ada aritmia, terdapat peningkatan JVP, bisa
ada suara jantung S3 dan S4, pasien menunjukkan tanda-tanda
hipoperfusi seperti gangguan kesadaran dan penurunan produksi urin.
(Ren, 2014)
2) Syok Distributif
Syok distributif dibagi menjadi 3 yaitu syok anafilaktik, syok
septik, dan syok neurogenik.
a. Syok Anafilaktik
Terdapat berbagai definisi mengenai anafilaksis, tetapi umumnya
para pakar sepakat bahwa anafilaksis merupakan keadaan darurat yang
potensial dapat mengancam nyawa. Gejala anafilaksis timbul segera
setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus lainnya. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manfestasi klinis dari anafilaksis yang
ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah.
Istilah syok anafilaktik menunjukkan derajat kegawatan, tetapi terlalu
sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena
anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana
obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya. yang timbul
beberapa detik sampai beberapa menit setelah pasien terpajan oleh
alergen atau faktor pencetus nonalergen seperti zat kimia, obat atau
kegiatan jasmani. Ciri kedua yaitu anafilaksis merupakan reaksi sistemik,
sehingga melibatkan banyak organ yang gejalanya timbul serentak atau
hampir serentak. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau
urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang
mematikan. Gejala dapat timbul pada satu organ saja, tetapi pula muncul
gejala pada beberapa organ secara serentak atau hampir serentak.
Kombinasi gejala yang sering dijumpai adalah urtikaria atau angioedema
yang disertai gangguan pernapasan baik karena edema laring atau
spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi urtikaria dengan
4
gangguan kardiovaskular seperti syok yang berat sampai terjadi
penurunan kesadaran.
b. Syok Septik
Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi
dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga
terjadi aktivasi proses inflamasi. Syok septik merupakan keadaan dimana
terjadi penurunan tekanan darah (tekanan darah sistolik kurang dari 90
mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 40 mmHg) disertai
tanda kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan
secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan
tekanan darah dan perfusi organ. Patofisiologi syok septik tidak terlepas
dari patofisiologi sepsis itu sendiri dirnana endotoksin (lipopolisakarida)
yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi yaitu: sitokin, neutrofil,
komplemen, NO dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis
merupakan proses homeostatis dimana terjadi keseimbangan antara
proses inflamasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeostasis pada proses
inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas individu terhadap proses
inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inflarnasi yang melebihi
kemampuan homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi yang
maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang bersifat
destruktif.
c. Syok Neurogenik
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus
sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya
disebabkan oleh suhu lingkungan panas, terkejut, takut atau nyeri hebat.
Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien
dibaringkan, umunya keadaan berubah menjadi baik kembali secara
spontan.
Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan
perfusi jaringan dalam syok distributif merupakan hasil utama dari
5
hipotensi arterial karena penurunan resistensi pembuuh darah sistemik
(systemic vascular resistence). Gambaran klasik syok neurogenik adalah
hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi kulit.
Syok distributif yang terjadi dalam bentuk syok neurogenik memiliki
manifestasi yang hampir sama dengan syok pada umunya. Ditemukan
hipotensi, hanya aja akibat dari berbagai disfungsi saraf otonom, takikardi,
dapat juga terjadi bradikardi. Kadangan disertai defisit neurologis dalam
bentuk quadriplegia atau paraplegia. Pada keadaan lanjut, sesudah
pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Warna kulit
terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan. (Kanaparthi, 2013)
2.2 Syok Hipovolemik
2.2.1 Definisi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat
dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Syok
hipovolemik berhubungan dengan rendahnya volume intravaskular. Syok
Hipovolemik juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi
kehilangan cairan tubuh atau darah yang menyebabkan jantung tidak
mampu memompakan cukup darah ke seluruh tubuh sehingga perfusi
jaringan tubuh menjadi terganggu.
Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling umum
ditandai dengan penurunan volume intravascular. Cairan tubuh
terkandung dalam kompartemen intraselular dan ekstraseluler. Cairan
intra seluler menempati hamper 2/3 dari air tubuh total sedangkan cairan
tubuh ekstraseluler ditemukan dalam salah satu kompartemen
intravascular dan intersisial. Volume cairan interstitial adalah kira-kira 3-4x
dari cairan intravascular. Syok hipovolemik terjadi jika penurunan volume
intavaskuler 15% sampai 25%. Hal ini akan menggambarkan kehilangan
750 ml sampai 1300 ml pada pria dgn berat badan 70 kg. Paling sering,
syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok
hemoragik). (Napolitano et al., 2010)
6
2.2.2 Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap pendarahan akut dengan
mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi,
kardiovaskular, ginjal, dan sistem neuroendokrin
Vasokonstriksi adalah kompensasi awal dari syok hipovolemik.
Penurunan tekanan darah menghambat lepasnya jalur aferen dari
baroreseptor yang ada di arkus aorta dan sinus karotis. Ini menstimulasi
sistem simpatis. Penurunan volume darah menghambat receptor yang
ada di atrium kanan dan juga menstimulasi aferen dari kemoreseptor
sehingga menyebabkan pelepasan katekolamin, epinefrin,
dannorepinefrin, meningkatkan denyut jantung, kontraktilitas miokard, dan
cardiac output. Mekanisme kompensasi ini merupakan upaya untuk
meningkatkan perfusi ke organ vital dan jaringan.
Tubuh mempertahankan aliran darah ke jantung dan otak dengan
mengorbankan gastrointestinal (GI) , kulit, dan otot rangka. Namun, jika
keadaan syok berlanjut atau memburuk, fungsi miokard akhirnya akan
terganggu
Penurunan aliran darah ginjal mengaktifkan sistem renin-
angiotensin, yang merangsang produksi angiotensin I, Angiotensin I
kemudian dikonversi menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat
yang memicu aldosteron dilepaskan dari korteks adrenal. Bersamaan
dengan ini, angiotensin II mempengaruhi aksi hormon
adrenocorticotrophic pada korteks adrenal dan selanjutnya memicu
pelepasan epinefrin dari medula adrenal. Hormon adrenocorticotrophic
dilepaskan dari korteks adrenal untuk meningkatkan natrium ginjal dan
retensi air, serta ekskresi kalium, yang bertujuan untuik mendukung
volume intravaskular. Bersamaan dengan ini, hipofisis posterior
melepaskan hormon antidiuretik tambahan, atau vasopressin, yang
menyebabkan penyerapan kembali air bebas zat terlarut dalam tubulus
distal dan sistem pengumpulan ginjal. Hal ini juga lebih merangsang
vasokonstriksi perifer.
7
Aliran darah ke ginjal tetap dipertahankan pada perdarahan kecil
sampai sedang . Namun, pembuluh darah ginjal akan konstriksi dengan
berlangsungnya kehilangan darah yang besar. Akhirnya akan terjadi
penurunan filtrasi glomerulus dan urine out put. Ginjal membutuhkan
aliran darah yang tinggi untuk mempertahankan metabolisme sel.
Hipotensi yang berkelanjutan dapat menyebabkan nekrosis tubular.
Selama syok juga terjadi katabolisme, katekolamin dan
glukokortikoid menimbulkan keadaan katabolik. Konsentrasi plasma
banyak mengandung glukagon. Bersama-sama, katekolamin dan
glukagon menyebabkan glikogenolisis dan lipolisis. Akibatnya,
hiperglikemia, serta laktat dan asam lemak tinggi. Juga terjadi gangguan
asam basa karena terjadi metabolisme anaerob, oleh karena itu penting
untuk melihat analisis gas darah yang terdiri dari pH, serum bikarbonat,
base excess dan laktat. Jika terjadi hipoksik atau hipotensi dan
penumpukan laktat maka bisa terjadi asidosis metabolik.
2.2.3 Etiologi
8
Syok hipovolemik disebabakan oleh turunnya volume intravaskuler
lebih dari 15-20%. Perdarahan merupakan penyebab tersering, namun
syok hipovolemik juga bisa disebabakan oleh kehilangan protein plasma,
garam, dan air. Keadaan-keadaan klinik yang biasanya berkaitan dengan
syok hipovolemik mencakup trauma, luka bakar, peritonitis, muntah, diare,
fistula, dan dieresis.
Penyebab syok hipovolemik dapat diklasifikasikan dalam tiga
kelompok yang terdiri dari :
1. Perdarahan:
- Hematom subkapsular hati
- Aneurisma aorta pecah
- Perdarahan gastrointrestinal
- Perlukaan berganda
2. Kehilangan plasma:
- Luka bakar yang luas
- Pankretitis
- Deskuamasi kulit
- Sindrom dumping
3. Kehilangan cairan ekstraseslular
- Muntah
- Dehidrasi
- Diare
- Terapi diuretik yang agresif
- Diabetes insipidus
- Insufisiensi renal
2.2.4 Tanda dan Gejala
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung usia, kondisi
premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya
berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis
respon kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi
kehilangan cairan dengan jumlah sedang, vasokonstriksinya dan takikardi.
9
Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun
terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan
kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.
1. Status mental
Perubahan dalam sensorium merupakan tanda khas dari stadium
syok. Ansietas, tidak bisa tenang, takut, apati, stupor, atau koma
dapat ditemukan. Kelainan-kelainan ini menunjukkan adanya
perfusi serebral yang menurun
2. Tanda-tanda vital
a. Tekanan darah
Perubahan awal dari tekanan darah akibat hipovolemia
adalah adanya pengurangan selisih antara tekanan sistolik
dan diastolik. Ini merupakan akibat adanya peningkatan
tekanan diastolik yang disebabkan oleh vasokonstriksi atas
rangsangan simpatis. Tekanan sistolik dipertahankan pada
batas normal sampai terjadinya kehilangan darah 15-25%.
Hipotensi postural dan hipotensi pada keadaan berbaring
akan timbul. Perbedaan postural lebih besar dari 15 mmHg
adalah bermakna.
b. Denyut nadi
Takikardi postural dan bahkan dalam keadaan berbaring
adalah karakteristik untuk syok. Perubahan postural lebih
dari 15 denyutan per menit adalah bermakna. Dapat
ditemukan adanya penurunan amplitudo denyutan. Takikardi
dapat tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan
beta bloker.
c. Pernafasan
Takipnea adalah gejala khas dan alkalosis respiratorius
sering ditemukan pada tahap awal dari syok.
3. Kulit
a. Kulit terasa dingin, pucat, dan berbintik-bintik. Secara
keseluruhan mudah berubah menjadi pucat
10
b. Vena-vena ekstremitas menunjukkan tekanan yang rendah
(vena perifer kolaps). Tidak ditemukan adanya distensi vena
jugularis.
4. Gejala lain
Biasanya pasien mengeluh mual, lemah, dan ditemukan rasa haus
yang sangat
(Eliastam, 1998)
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi syok hipovolemik berdasarkan American College of
Surgeon Committe on Trauma dibagi menjadi 4 kelas. Sistem ini dapat
memastikan tanda-tanda dini syok hipovolemik.
Gambar 1 Klasifikasi Syok Hipovolemik
2.2.6 Diagnosis
Anamnesis pada pasien syok hipovolemik terutama untuk
menentukan penyebabnya. Pasien biasanya mengeluh haus, berkeringat,
dan kesulitan bernafas. Kesadaran pasien umumnya normal, kecuali pada
syok berat pasien menjadi apatis atau kebingungan. Untuk diagnosis klinis
syok, dapat ditemukan hipotensi dan tanda klinis iskemi organ. Tanda
11
klinis ini tidak sensitif pada kehilangan darah yang sedikit. Sensitivitas ini
dapat dinilai dengan menggunakan indeks syok, yaitu frekuensi jantung
dibagi dengan tekanan darah sistolik. Klinisi dapat menentukan syok bila
terdapat penurunan tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg atau
penurunan tekanan darah lebih dari 40 mmHg di bawah tekanan darah
sebelum syok, dengan penurunan tekanan nadi (Harijanto E., 2007).
Diagnosis klinis dari syok hipovolemik tidak sulit bila ditemukan
hipotensi dan kehilangan cairan yang terlihat seperti pada trauma
(misalnya fraktur), perdarahan saluran cerna dan paru, luka bakar dan
diare. Perdarahan internal akibat ruptur aneurisma aorta, trauma tumpul
abdomen, dan hemotoraks sulit didiagnosa kecuali dari anamnesis dan
tanda fisik yang nyata, seperti redup pada perkusi dada, nyeri dan distensi
abdomen menunjukkan kemungkinan adanya perdarahan internal. Pada
kasus perdarahan saluran cerna bagian atas, harus dicari tanda-tanda
penyakit hati kronis, seperti eritema palmar, spider nevi, dan hipertensi
portal (asites), karena hal ini dapat menunjukkan perdarahan varises yang
menyebabkan syok hipovolemik. Warna kecoklatan pada telapak tangan
dan membran mukosa menunjukkan adanya insufisiensi adrenokortikal,
serta adanya bau aseton pada udara ekspirasi menunjukkan diabetes
mellitus yang tidak terkontrol (ketoasidosis).
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa
ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan.
Diagnosis akan sulit bila perdarahan tak ditemukan dengan jelas atau
berada dalam traktus gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan jumlah
plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka biasanya hemoglobin dan
hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi,
atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal
tidak menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan. Kehilangan plasma
ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas ditandai
dengan hipernatremia. Temuan hal ini semakin meningkatkan kecurigaan
adanya hipovolemia (Wijaya IP, 2007).
12
2.2.6 Penatalaksanaan
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang
bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi
tubuh, dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung
pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat
diberikan pengobatan kausal.
Selama survey primer, kondisi yang mengancam jiwa harus
diidentifikasi dan manajemennya mulai untuk dilakukan secara simultan.
Prioritas tatalaksana sekuensial harus dilakukan berdasarkan penilaian
secara keseluruhan pada pasien. Menurut American Heart Association
(AHA) tahun 2010, survei primer yang mulanya dilakukan dari airway,
breathing, circulation (ABC) saat ini berubah menjadi circulation, airway
dan breathing (CAB).
a. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi oleh karena perdarahan harus dipikirkan oleh karena
hipovolemik hingga terbukti terdapat penyebab lainnya. Perlu kita
lakukan identifikasi sumber perdarahan. Penilaian yang cepat dan
akurat dari status hemodinamik pasien penting untuk dilakukan.
Empat hal yang dapat diobservasi dengan cepat dan
menggambarkan keadaan klinis mampu memberikan informasi
dalam hitungan detik yaitu
Derajat kesadaran: menurunnya tekanan perfusi serebral
dapat menyebabkan menurunnya skor Glasgow Coma Scale
(GCS). Hal ini dapat disebabkan oleh karena hypovolemia.
Warna Kulit: Warna kulit yang masih kemerahan jarang
menandakan adanya hypovolemia yang signifikan. Namun
kulit yang nampak pucat merupakan tanda terjadinya
hypovolemia, biasanya telah terjadi kehilangan darah hingga
> 30%.
Nadi: Tanda ini biasanya tanda yang paling awal dari
terjadinya syok hypovolemia. Nadi dapat terasa cepat, lemah
13
atau nadi tidak teraba. Apabila nadi radialis masih teraba,
maka tekanan darah masih bernilai > 80 mmHg. Sedangkan
apabila nadi karotis masih teraba maka tekanan darah > 60
mmHg. Nadi yang irregular menandakan kemungkinan
gangguan dari jantung.
Tekanan darah: tekanan darah dapat menjadi turun apabila
terjadi kehilangan darah yang signifikan, umumnya
setidaknya kehilangan hingga 2 liter, akan menunjukkan
syok kelas III atau IV.
Manajemen:
Berikan penekanan pada tempat terjadinya perdarahan
eksternal
Pasang 2 intravena (IV) line dengan menggunakan kateter
dengan ukuran besar melalui vena-vena besar seperti
antercubital/femoral atau vena jugular
Melakukan pemeriksaan darah yaitu pemeriksaan darah
lengkap, cross match, urea, kreatinin, elektrolit, faal
hemostasis dan pemeriksaan arterial blood gas
Base excess pada arterial blood gas < -2 mengindikasikan
adanya defisit perfusi oleh karena hipovolemi
Inisiasi pemberian terapi cairan melalui IV dengan kristaloid.
Penggantian darah dapat menggunakan whole blood atau
packed red cell dengan platelet dan fresh frozen plasma
dalam rasio 1:1:1 apabila terjadi kehilangan darah yang
terus terjadi atau setelah pemberian 2 liter kristaloid namun
hanya memberikan respon hemodinamik yang minimal atau
tidak ada respon.
Pasang monitor EKG, bila nampak disritmia pikirkan
kemungkinan terjadinya tamponade jantung. Apabila terjadi
pulseless electrical activity (PEA) pikirkan mengenai
kemungkinan tamponade jantung, tension pneumothorax,
dan hypovolemia. Apabila nampak bradikardi, gangguan
14
konduksi, atau ektopik pada ventrikel menandakan adanya
hipoksia dan hipoperfusi.
Pasang kateter urin dan nasogastric kecuali terdapat
kontraindikasi
Gastric tube diindikasikan untuk mengurangi distensi pada
perut dan menurunkan resiko aspirasi
Gunakan selimut untuk mencegah hipotermia
(Harijanto, 2009)
b. Jalan Napas (Airway)
Penilaian bila ada keraguan pada patensi jalan napas, kita perlu
menginspeksi beberapa hal berikut:
Benda asing pada rongga mulut
Fraktur fasial atau mandibular
Fraktur laryngeal atau trakea (leher nampak bengkak dan
ada bruise)
Penilaian dengan cepat hal hal yang berpotensial adanya obstruksi:
Suara napas stridor
Nampak darah / mucus/ benda asing pada rongga mulut
Perubahan suara
Adanya krepitasi subkutan di area wajah atau leher
Nampak adanya bengkak atau jejas pada leher
Manajemen: Tujuannya untuk membebaskan jalan napas hingga
menjadi paten
Lakukan jaw trust maneuver
Bersihkan jalan napas dari benda asing
Gunakan bantuan orofaringeal atau nasofaringeal sesuai
ukuran
Dapat dilakukan jalan napas definitive, misalnya dengan
intubasi orofaringeal atau nasotrakeal, needle
cricothyrotomy, dan surgical cricothyrotomy
(David, 2012)
c. Pernapasan (Breathing)
15
Jalan napas yang paten tidak dapat memastikan bahwa terjadi
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat. Penilaian:
Paparkan dada dan leher pasien, pastikan immobilisasi dari
leher dan kepala
Nilai kedalamaan dan kecepatan dalam bernapas
Inspeksi dan palpasdi leher dan dada untuk menilai adanya
deviasi trakea, pergerakan dinding dada, penggunaan otot-
otot tambahan, dan berbagai tanda adanya deformitas, luka,
atau krepitasi
Auskultasi dada secara bilateral, dari basal hingga ke apex
Jika suara napad tidak sama, perkusi kedua dinding dada
apakah terdapat dullness/ suara pekak atau hiperresonans
untuk menentukan ada tidaknya haemothorax atau
pneumothorax
Berikut merupakan hal yang sifatnya akut dan dapat
mengganggu ventilasi dan oksigenasi, yaitu tension
pneumothorax, flail chest dengan kontusio pulmonum, open
pneumothorax, dan massive haemothorax
Manajemen:
Memasangkan pulse oximeter pada pasien
Menggunakan oksigen dengan konsetrasi yang tinggi
Pertimbangkan untuk kebutuhan ventilasi dengan bag-valve-
mask apabila saturasi oksigen perifernya <92%
Atasi tension pneumothorax dengan menginsersikan jarum
berukuran besar ke intercostal kedua sejajar mid clavicular
line pada hemithorax yang dicurigai terkena, kemudian
diikuti dengan insersi chest tube pada intercostal kelima,
sejajar dengan anterior hingga mid-axillary line
Pada open pneumothorax lakukan penutupan luka lalu
direkatkan pada ketiga sisinya sehingga menjadi katub,
kemudian insersikan chest tube
Pada kasus haemothorax dilakukan tube thoracostomy
16
Pada kasus haemopneumothorax, gunakan chest tube yang
berukuran bear untuk drainase (Ooi and Manning, 2015)
Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip
resusitasi ABC. Jalan nafas (A = airway) harus bebas kalau perlu dengan
pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin,
kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen
100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok
hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik,
dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan
bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi
jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.
Penanganan di UGD terdapat tiga objektif yang ingin dicapai di UGD
pada pasien syok hipovolemik seperti berikut: (1) memaksimalkan
pemberian oksigen-lengkap dengan memastikan pemberian ventilasi yang
adekuat, meningkatkan saturasi oksigen ke dalam darah dan
mengembalikan aliran darah, (2) mengontrol perdarahan lanjut, dan (3)
pemberian resusitasi cairan. Selain itu, desposisi pasien haruslah
ditentukan secara cepat dan tepat (Wijaya IP. 2012).
Pendekatan awal untuk Pasien SyokPada awalnya, hemodinamik yang memadai pasien shock sangat
penting untuk mencegah memburuknya disfungsi organ dan kegagalan.
Resusitasi harus dimulai bahkan ketika investigasi penyebabnya sedang
berlangsung. Setelah diidentifikasi, penyebabnya harus dikoreksi dengan
cepat (misalnya, kontrol perdarahan, intervensi koroner perkutan untuk
sindrom koroner, trombolisis atau embolektomi untuk emboli paru masif,
dan pemberian antibiotik dan pengendalian sumber untuk syok septik).
Kecuali kondisi ini cepat terbalik, kateter arteri harus dimasukkan
untuk pemantauan tekanan darah arteri dan pengambilan sampel darah,
ditambah kateter vena sentral untuk infus cairan dan agen vasoaktif dan
untuk memandu terapi cairan. Manajemen awal syok berorientasi
17
masalah, dan tujuan adalh sama, dengan penyebab apapun, meskipun
perawatan yang tepat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut mungkin berbeda. Sebuah mnemonic yang bermanfaat untuk
menggambarkan komponen penting dari resusitasi adalah rule7 VIP:
ventilasi (pemberian oksigen), infus (resusitasi cairan), dan pompa
(pemberian agen vasoaktif). (David, 2012)
VentilasiPemberian oksigen harus segera mulai untuk meningkatkan
pengiriman oksigen dan mencegah hipertensi pulmonal. Pulse oximetry
sering tidak dapat digunakan sebagai akibat dari vasokonstriksi perifer,
dan cara yang tepat memantau kebutuhan oksigen adalah gas darah.
Ventilasi mekanik dengan menggunakan masker daripada intubasi
endotrakeal memiliki tempat terbatas dalam pengobatan syok karena
kegagalan teknis dapat dengan cepat menyebabkan gagal pernapasan
dan jantung. Oleh karena itu, intubasi endotrakeal harus dilakukan untuk
memberikan ventilasi mekanik invasif pada hampir semua pasien dengan
dyspnea berat, hipoksemia, atau asidemia yang terus-menerus atau
memburuk (pH, <7.30). Ventilasi mekanik invasif memiliki manfaat
tambahan mengurangi kebutuhan oksigen otot pernafasan dan penurunan
afterload ventrikel kiri dengan meningkatkan tekanan intratoraks.
Penurunan mendadak tekanan arteri setelah inisiasi ventilasi mekanik
invasif sangat menunjukkan hipovolemia dan penurunan aliran balik vena.
Penggunaan agen penenang harus disimpan ke minimum untuk
menghindari penurunan lebih lanjut dalam tekanan arteri dan curah
jantung. (Harijanto, 2009)
Resusitasi cairanManajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat
berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input
cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu
termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk
18
kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan
menurunkan angka mortalitas. Larutan parenteral pada syok hipovolemik
diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid
cukup baik untuk terapi syok hipovolemik.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan
gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena
perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian,
memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat
dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah. Untuk
perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena
yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau
Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test. Jika
hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi
darah. Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan
memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak
selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi.
Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah,
mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek
samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut
dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok
hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik.
Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan
ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar
kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis
metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan
Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti
kehilangan cairan insensibel. Ringer asetat memiliki profil serupa dengan
Ringer Laktat.
Terapi cairan untuk meningkatkan aliran darah mikrovaskuler dan
meningkatkan curah jantung merupakan bagian penting dari pengobatan
19
segala bentuk shock. Bahkan pasien dengan syok kardiogenik dapat
mengambil manfaat dari cairan, karena edema akut dapat mengakibatkan
penurunan volume intravaskular efektif. Namun, pemberian cairan harus
dipantau secara ketat, karena terlalu banyak cairan membawa risiko
edema dengan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Titik akhir pragmatis untuk resusitasi cairan sulit untuk ditentukan.
Secara umum, tujuannya adalah untuk cardiac output menjadi preload-
independen (yaitu, di bagian dataran tinggi kurva Frank-Starling), tapi ini
sulit untuk menilai secara klinis. Pada pasien yang menerima ventilasi
mekanik, tanda-tanda respon cairan dapat diidentifikasi secara langsung
dari pengukuran beat-by-beat stroke volume dengan menggunakan
monitor cardiac-output atau secara tidak langsung dari variasi yang
diamati dalam tekanan nadi pada arteri selama siklus ventilator . Namun,
terdapat beberapa limitasi- terutama, bahwa pasien harus menerima
ventilasi dengan volume tidal yang relatif besar, tidak memiliki napas
spontan (yang biasanya membutuhkan administrasi obat penenang atau
bahkan relaksan otot), dan bebas dari aritmia besar dan disfungsi ventrikel
kanan. Tes leg raising pasif adalah metode alternatif tetapi membutuhkan
perangkat yang cepat-respon, karena efeknya bersifat sementara. Selain
dari tes yang digunakan, masih ada zona di mana sulit untuk
memprediksi respon pasien terhadap cairan infus.
Teknik fluid-challenge harus digunakan untuk menentukan respon
aktual pasien untuk cairan, sementara membatasi risiko efek samping.
Fluid-challenge menggabungkan empat unsur yang harus didefinisikan.
Pertama, jenis cairan yang harus dipilih. Larutan kristaloid adalah pilihan
pertama, karena mereka ditoleransi dengan baik dan murah. Penggunaan
albumin untuk memperbaiki hipoalbuminemia berat mungkin wajar dalam
beberapa patients. Kedua, tingkat pemberian cairan harus didefinisikan.
Cairan harus meresap dengan cepat untuk menginduksi respon yang
cepat tapi tidak begitu cepat sehingga respon stres buatan berkembang;
biasanya, infus 300 sampai 500 ml cairan diberikan selama periode 20
sampai 30 menit. Ketiga, tujuan dari fluid-challenge harus didefinisikan.
20
Pada syok, tujuannya biasanya peningkatan tekanan arteri sistemik,
meskipun juga bisa menjadi penurunan denyut jantung atau peningkatan
output urin. Akhirnya, batas keselamatan harus didefinisikan. Edema paru
adalah komplikasi yang paling serius dari infus cairan. Meskipun bukan
merupakan pedoman yang sempurna, batas tekanan vena sentral dari
beberapa milimeter air raksa di atas nilai dasar biasanya diatur untuk
mencegah overload cairan.
Stimulasi pasien dan perubahan lainnya dalam terapi harus
dihindari selama tes. Fluid-challenge dapat diulang sesuai kebutuhan,
tetapi harus dihentikan dengan cepat dalam hal tidak ada respon untuk
menghindari kelebihan cairan.
Jika hipotensi tetap berlangsung, harus dilakukan transfusi darah
pada pasien-pasien ini secepat mungkin, dan kecepatan serta jumlah
yang diberikan disesuaikan dengan respons dari parameter yang
dipantau.
Darah yang belum dilakukan reaksi silang atau yang bergolongan
O-negatif dapat diberikan terlebih dahulu, apabila syok menetap
dan tidak ada cukup waktu (kurang lebih 45 menit) untuk
menunggu hasil reaksi silang selesai dikerjakan.
Segera setelah hasil reaksi silang diperoleh, jenis golongan darah
yang sesuai harus diberikan.
Koagulopati dilusional dapat timbul pada pasien yang mendapat
transfusi darah yang masif. Darah yang disimpan tidak
mengandung trombosit hidup dan faktor pembekuan V dan VI. Satu
unit plasma segar beku harus diberikan untuk setiap 5 unit whole
blood yang diberikan. Hitung jumlah trombosit dan status koagulasi
harus dipantau terus menerus pada pasien yang mendapat terapi
transfusi masif.
Hipotermia juga merupakan konsekuensi dari transfusi masif.
Darah yang akan diberikan harus dihangatkan dengan koil
penghangat dan suhu tubuh pasien dipantau
21
MonitoringPemantauan dilakukan terus menerus terhadap pernapasan, denyut
nadi, tekanan darah, suhu badan dan kesadaran. Ketika syok hipovolemik
diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah menempatkan
pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan
diberikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intravena atau cara
lain yang memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (central
venous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah
garam isotonus yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis
hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti Ringer’s laktat
(RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis tentang
kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2-4
L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan
hemodinamik. (Wijaya IP, 2007)
VasopresorPemakaian vasopresor pada penanganan syok hipovolemik akhir-akhir ini
kurang disukai. Alasannya adalah bahwa hal ini akan pengurangi perfusi
jaringan. Pada kebanyakan kasus, vasopresor tidak boleh digunakan,
tetapi vasopresor mungkin bermanfaat pada beberapa keadaan.
Vasopresor dapat diberikan sebagai tindakan sementara untuk
meningkatkan tekanan darah sampai didapatkannya cairan pengganti
yang adekuat. Hal ini terutama bermanfaat bagi pasien yang lebih tua
dengan penyakit koroner atau penyakit pembuluh darah otak yang berat.
Zat yang digunakan adalah norepinefrin 4-8 mg yang dilarutkan dalam 500
ml dektrosa 5% dalam air (D5W), yang bersifat vasokonstriktor predominan
dengan efek yang minimal pada jantung. Dosis harus disesuaikan dengan
tekanan darah. Vasopresor dapat diberikan sebagai tindakan sementara
untuk meningkatkan tekanan darah sampai didapatkannya cairan
pengganti yang adekuat. (Eliastam et al., 1998)
2.2.7 Komplikasi
22
Reperfusi sel iskemik dapat menyebabkan cedera lebih lanjut.
Setelah substrat kembali dipaparkan, aktivitas neutrofil dapat bertambah,
meningkatkan produksi kerusakansuperoksida dan hidroksil radikal.
Setelah aliran darah dipulihkan,mediator inflamasi dapat diedarkan ke
organ lain.
Sindrom disfungsi organ multiple (MODS) .Kombinasi cedera dan
reperfusi langsung dapat menyebabkan MODS-disfungsi progresif ≥ 2
organ konsekuen untuk penyakit yang mengancam jiwa atau cedera.
MODS dapat mengikuti semua jenis syok tetapi paling sering terjadi bila
adainfeksi yang terlibat; kegagalan organ adalah salah satu cirri yang
mendefinisikan syok septik). MODS juga terjadi pada> 10% pasien
dengan cedera traumatik yang parah dan merupakan penyebab utama
kematian pada mereka yang masih hidup> 24 jam.
Setiap sistem organ dapat dipengaruhi, tetapi organ target yang
paling sering adalah paru-paru, di mana peningkatan permeabilitas
membran menyebabkan pengisian yang banyakpada alveoli dan inflamasi
lebih lanjut. Hipoksia yang progresif dapat semakin resisten terhadap
terapi O2 tambahan. Kondisi ini disebut cedera paru akut atau, jika berat,
sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS).
Ginjal yang terluka saat perfusi ginjal menurun secara bermakna,
menyebabkan nekrosis tubular akut dan insufisiensi ginjal dengan
manifestasi oliguria dan peningkatan progresif kreatinin serum.
Pada jantung, penurunan perfusi koroner dan peningkatan mediator
(termasuk TNF dan IL-1) dapat menekan kontraktilitas, memperburuk
kepatuhan miokard dan penurunan β-reseptor. Faktor-faktor ini
menurunkan curah jantung, lanjut dengan perburukan perfusi baik miokard
dan sistemik dan menyebabkan kematian. Aritmia juga bisa terjadi.
Di saluran pencernaan, perdarahan ileus dan submukosa dapat
terjadi. Hipoperfusi hepar dapat menyebabkan nekrosis hepatosellular
yang fokal atau extensive, peningkatan transaminase dan bilirubin, dan
penurunan produksi faktor pembekuan.
23
BAB III
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorothy M. Kelly, Lippincott Williams & Wilkins. 2005, Hypovolemic Shock
An Overview.
2. Xiushui (Mike) Ren,2014, Cardiogenic shock, Medscape,
http://emedicine.medscape.com/article/152191overview#aw2aab6b2b2aa
3. Jill Cherry-Bukowiec and Lena M Napolitano, 2010, “Trauma and Critical
Care Surgical Emergency-Shock” page 275-277
4. Catherine Jane MacKinnon,MD,FRCPC,Brantford ON Chair et al, 2010,
“JOGC hemorraghic shock” page 3.
5. Ms Sharene Pascoe, Ms Joan Lynch, 2007, Adult Trauma Clinical
Practice Guidelines, Management of Hypovolaemic Shock in the Trauma
Patient, NSW Institute of Trauma and Injury Management.
6. Aru W. Sudoyo,dkk, 2010, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
7. Fauci, et al, Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition, Volume
II
8. Toni Ashadi, (2006). Syok Hipovolemi. (online).
Http://www.medicastore.com/med/.detail-pyk.Phd?id
9. Eliastam, M., Sternbach G.L., Bresler, M.J. 1998. Penuntun Kedaruratan
Medis. Edisi 5. Hal 4-7.
10.Marc A, de Moya, 2013 , Intravenous Fluid Resuscitation, Merck Manuals,
http://www.merckmanuals.com/professional/critical_care_medicine/shock_
and_fluid_resuscitation/intravenous_fluid_resuscitation.html
11.Marc A, de Moya, 2013 , Shock, Merck Manuals,
http://www.merckmanuals.com/professional/critical_care_medicine/shock_
and_fluid_resuscitation/shock.html
12.Simon R FInfer, 2013, Circulatory Shock, The New England Journal of
Medicine, http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1208943
13.Xiushui (Mike) Ren, 2014, Cardiogenic shock, Medscape,
http://emedicine.medscape.com/article/152191-overview#aw2aab6b2b2aa
14.Lalit K Kanaparthi, 2013, Distributive shock, Medscape,
http://emedicine.medscape.com/article/168689-overview#aw2aab6b2b3aa
25
15.David, et al. 2012. Initial Evaluation of the Trauma Patient. Diakses dari
www.emedicine.medscape.com
16.Kolecki P. Hypovolemic Shock. 29 Desember 2012. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview.
17.Harijanto E. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Jakarta : PP
IDSAI; 2009.Hal.22
18.Jill Cherry-Bukowiec and Lena M Napolitano, 2010, “Trauma and Critical
Care Surgical Emergency-Shock” page 275-277
19.Wijaya, IP. Syok hipovolemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2007.Hal.180-1
26