Makalah Stres Faktor Psikologis Dan Kesehatan
-
Upload
mita-febriyani -
Category
Documents
-
view
487 -
download
8
Transcript of Makalah Stres Faktor Psikologis Dan Kesehatan
A. Pengertian Stres
Istilah stres ditemukan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang
mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap
tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunaan
untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang dipicu oleh berbagai
faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut.
Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu
yang disebabkan kerena individu dihadapkan pada situasi internal dan
eksternal. Sedangkan menurut Korchin (1976) keadaan stres muncul apabila
tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan
atau integritas seseorang. Stres tidak hanya kondisi yang menekan seseorang
baik keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap
tekanan tadi, akan tetapi stres adalah keterkaitan antara ketiganya (Prawitasari,
1989). Karena banyaknya definisi mengenai stres, maka Sarafino (1994)
mencoba mengkonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu :
1. Stimulus
Keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau
membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut
sebagai stressor. Beberapa ahli yang menganut pendekatan ini
mengkategorikan stresor menjadi tiga :
a. Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado atau gempa bumi.
b. Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang
yang dicintai.
c. Keadaan kronis, misalnya hidup dalam kondisi sesak atau bising.
2. Respon
Respon adalah reaksi seseorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui
dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan
komponen fisiologis.
a. Komponen psikologis, seperti perilaku, pola pikir dan emosi
b. Komponen fisiologis, seperti detak jantung, mulut yang mengering
(sariawan), keringat dan sakit perut.
Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan.
3. Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stesor dan strain ditambah dengan satu
dimensi penting yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses ini
melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga
dengan istilah transaksi antar manusia dengan lingkungan, yang didalamnya
termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.
A.1. Stress dan Penyakit
Sumber psikologis dari stress tidak hanya menurunkan kemampuan kita
untuk menyesuaikan diri, tetapi secara tajam juga mempengaruhi kesehatan.
Stress meningkatkan resiko terkena berbagai jenis penyakit fisik.
Stress dan Sistem Endokrin
Beberapa kelenjar endokrin terlibat dalam menampilkan respon tubuh
terhadap stress. Pertama, hipotalamus, suatu struktur kecil di otak,
melepas suatu hormon yang menstimulasi kelenjar pituitari di dekatnya
untuk menghasilkan adrenocorticotrophic hormone (ACTH). ACTH,
selanjutnya, menstimulasi kelenjar adrenal yang berlokasi di atas
ginjal. Di bawah pengaruh ACTH, lapisan terluar kelenjar adrenal
yang disebut korteks adrenal, melepas sekelompok steroid. Kortikol
steroid ini merupakan hormon yang mempunyai sejumlah fungsi yang
beda dalam tubuh, seperti mendorong stress, membantu perkembangan
otot dan menyebabkan hati mengeluarkan gula, yang merupakan
tenaga dalam menghadapi stressor yang mengancam. Selain itu juga
membantu tubuh mempertahankan diri dari reaksi alergi dan
peradangan. Cabang simpatis dari susunan saraf otonom menstimulasi
lapisan dalam dari kelenjar adrenal, yang disebut medula adrenalis,
untuk melepas zat kimia yang disebut adrenalin dan non adrenalin. Zat
ini berfungsi sebagai hormon setelah terlepas di dalam aliran darah.
Non adrenalin juga diproduksi di sistem saraf dan berfungsi sebagai
suatu neurotransmitter. Gabungan adrenalin dan non adrenalin
menggerakkan tubuh menghadapi stressor dengan meningkatkan kerja
jantung dan menstimulasi hati untuk melepaskan persediaan gula,
menjadi tenaga. Hormon stress yang diproduksi oleh kelenjar adrenal
membantu tubuh menyiapkan diri mengatasi stressor. Jika stressor
terlewati, tubuh kembali normal. Namunsaat stress yang kronis terjadi,
tubuh terus memompa keluar hormone dan dapat menyebabkan
kerusakan pada seluruh tubuh, termasuk menekan kemampuan dari
sistem kekebalan tubuh yang melindungi kita dari berbagai infeksi dan
penyakit.
A.2. Stress dan Sistem Kekebalan
Sistem kekebalan adalah sistem pertahanan tubuh melawan penyakit.
Pasukan sistem kekebalan tubuh sendiri adalah sel darah putih atau
leukosit, leukosit ini secara sistematis membunuh pathogen (bakteri
yang merugikan). Leukosit mengenali pathogen yang menyerang ini
dari lapisan permukaan mereka yang disebut antigen. Beberapa
leukosit memproduksi antibodi, protein khusus yang melekat pada sel-
sel yang dianggap asing, menonaktifkan sel-sel tersebut, memberi
tanda bagian mana yang harus dihancurkan.
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa stress membuat kita rentan
terhadap penyakit karena melemahnya sistem kekebalan tubuh.
A.3. Stres dan Perubahan Hidup
Perubahan hidup menjadi sumber stress bila perubahan hidup tersebut
menuntut kita untuk menyesuaikan diri. Perubahan ini dapat berupa
peristiwa menyenangkan dan menyedihkan. Para peneliti melaporkan
adanya hubungan antara pemaparan terhadap stressor hidup, termasuk
perubahan hidup dan masalah sehari-hari, resiko berkembangnya
masalah kesehatan fisik, bahkan resiko terluka karena olahraga. Kita
harus hati-hati dalam menginterpretasikan hasil temuan ini. Hubungan
yang ditemukan ini sifatnya korelasional, dan bukan eksperimental.
B. Jenis Stres
Holahan (1981) menyebutkan jenis stres yang dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu systemic stress dan psychological stress.
1) Systemic Stress
Systemic stress didefinisikan oleh Selye (dalam Holahan, 1981) sebagai
respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia
menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stres, misalnya
racun kimia atau temperatur ekstrim, sebagai stressor.
Selye mengidentifikasikan tiga tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap
kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation
Syndrome (GAS).
Tahap pertama adalah alarm reaction dari sistem syaraf otonom, termasuk
didalamnya peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan darah dan
otot menegang. Tahap ini bisa diartikan sebagai pertahanan tubuh.
Selanjutnya tahap ini diikuti oleh tahap resistance atau adaptasi, yang
didalam nya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik.
Tahap ketiga, exhaustion atau kelelahan, akan terjadi apabila stressor datang
secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, jika usaha-usaha
perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat.
2) Psychological Stress
Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan
yang penuh stress sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau
melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan, 1981). Sebuah
situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial
apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan
pendapatan dan seterusnya (dalam Heimstra & McFarling, 1978).
Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) metemukan bahwa stress dapat
timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti ditempat kerja, di
lingkungan fisik dan kondisi sosial. Stress yang timbul dari kondisi sosial bisa
dari lingkungan rumah, sekolah atau tempat kerja.
C. Sumber Stres (Stressor)
Lazarus dan Cohen (dalam Evans, 1982) mengemukakan bahwa terdapat tiga
kelompok sumber stress, yaitu :
1. Fenomena catalismic, yaitu hal-hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba, khas,
dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam, perang, banjir,
dan sebagainya.
2. Kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuaian atau coping seperti pada
fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih sedikit
seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian.
3. Daily hassles, yaitu masalah yang sering dijumpai di dalam kehidupan sehari-
hari yang menyangkut ketidakpuasan kerja atau masalah-masalah lingkungan
seperti kesesakan atau kebisingan karena polusi.
C.1. Sumber-sumber stress di dalm diri seseorang
Sumber stress itu ada di dalam diri seseorang salah satunya melalui kesakitan.
Tingkatan stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur
individu. Stres juga akan muncul dalam seseorang melalui penilaian dari kekuatan
motivasional yang melawan, bila seseorang mengalami konflik.
Menurut Kurt Lewin, kekuatan motivasional yang melawan menyebabkan dua
kecenderungan yang melawan : pendekatan dan penghindaran. Kecenderungan
tersebut menggolongkan tiga jenis pokok dari konflik :
a. Konflik pendekatan-pendekatan
b. Konflik penghindaran-penghindaran
c. Konflik pendekatan-penghindaran
C.2. Sumber Stres di dalam Keluarga
Stres dapat bersumber dari interaksi para anggota keluarga, seperti perselisihan
dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, tujuan-tujuan yang
saling berbeda dan lain-lain. Para orang tua yang kehilangan anak-anaknya atau
pasangannya karena kematian akan merasa kehilangan arti. Perasaan kehilangan
ini akan semakin terasa terutama pada masa dewasa awal dan dapat menimbulkan
stres.
C.3. Sumber-sumber stres di dalam komunitas dan lingkungan
Interaksi subyek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stres,
contohnya : pengalaman stres anak-anak di sekolah dan di beberapa kejadian
kompetitif, seperti olah raga. Sedangkan beberapa pengalaman stres orang tua
bersumber dari pekerjaannya, dan lingkungan stresful sifatnya.
C.4. Pekerjaan dan Stress
Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stres sehubungan
dengan pekerjaan. Tak jarang situasi stresful ini kecil dan tak beerarti tapi bagi
banyak ornag situasi stres itu begitu sangat terasa dan berkelanjutan dalam waktu
lama. Tuntutan kerja dapat menimbulkan stres dalam dua cara. Pertama, pekerjaan
itu mungkin terlalu banyak. Orang yang bekerja terlalu keras dan lembur karena
keharusan mengerjakan tugas itu. Keharusan itu dapat berupa alasan keuangan
atau alasan lain. Kedua, jenis pekerjaan itu sendiri sudah lebih stresful daripada
jenis lainnya. Pekerjaan itu misalnya, jenis pekerjaan yang memberikan penilaian
atas penampilan kerja bawahannya.
Menurut Sarafino, stres kerja dapat disebabkan karena empat faktor. Yang
pertama lingkungan fisik yang terlalu menekan, yang kedua kurangnya kontrol
yang dirasakan, yang ketiga kurangnya hubungan interpersonal, yang keempat
kurangnya pegakuan terhadap kemampuan kerja.
D. Respon Stres
Taylor (1991) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai
peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai
indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami
individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:
1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak
jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu,
seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang,
dan pikiran tidak wajar.
3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin
dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.
4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang
menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.
E. Coping Stres
E.1. Proses Coping Stres
Coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan
merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau
eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki
individu. Coping yang dilakukan ini berbeda dengan perilaku adaptif otomatis,
karena coping membutuhkan suatu usaha, yang mana hal tersebut akan menjadi
perilaku otomatis lewat proses belajar. Coping dipandang sebagai suatu usaha
untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan
tersebut. Namun coping bukan merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh
situasi menekan, karena tidak semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai.
Maka, coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping yang membantu
seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak
merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Lazarus & Folkman, 1984).
Menurut Lazarus & Folkman (1984), dalam melakukan coping, ada dua strategi
yang dibedakan menjadi :
1. Problem-focused-coping
Problem-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau
mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan
terjadinya tekanan.
2.Emotion-focused-coping.
Emotion-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur
respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan
ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.
Individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam
menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya.
Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam
menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol (Lazarus &
Folkman, 1984). Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut
secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh
individu (Taylor, 1991). Para peneliti menemukan bahwa penggunaan
strategi emotion focused coping oleh anak-anak secara umum meningkat seiring
bertambahnya usia mereka (Band & Weisz, Compas et al., dalam Wolchik &
Sandler, 1997).
Suatu studi dilakukan oleh Folkman et al. (dalam Taylor, 1991) mengenai
kemungkinan variasi dari kedua strategi terdahulu, yaitu problem-
focused coping dan emotion focused coping. Hasil studi tersebut menunjukkan
adanya delapan strategi coping yang muncul, yaitu :
Problem-focused coping :
1. Confrontative coping; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan
dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan
resiko.
2. Seeking social support; yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional
dan bantuan informasi dari orang lain.
3. Planful problem solving; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan
dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.
Emotion focused coping:
1. Self-control; usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang
menekan.
2. Distancing; usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar
dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-
pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon.
3. Positive reappraisal; usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan
terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat
religius.
4. Accepting responsibility; usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri
dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk
membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah
terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak
baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.
5. Escape/avoidance; usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi
tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum,
merokok, atau menggunakan obat-obatan.
Gangguan penyesuaian
Gngguan penyesuaian merupakan suatu reaksi maladaptif terhadap stressor yang dikenali, yang ditandai dengan adanya hendaya yang bermakna (signifikan) dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau akademis, atau adanya kondisi distress emosional yang melebihi batas normal. Diagnosis gangguan penyesuaian bisa ditegakkan bila reaksi terhadap stress tersebut tidak memenuhi kriteria diagnostik sindrom klinis yang lain seperti gangguan mood atau kecemasan.
Ciri gangguan penyesuaian
Gangguan penyesuaian ditandai dengan adanya reaksi emosional yang lebih besar dari reaksi normal yang biasanya muncul dalam situasi tertentu atau adanya hendaya fungsi yang bermakna. Hendaya biasanya berbentuk masalah di sekolah, di tempat kerja, atau dalam relasi sosial maupun aktivitas.
E.2.Coping-Outcome
Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan, coping yang efektif adalah coping yang
membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta
tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Sesuai dengan pernyataan
tersebut, Cohen dan Lazarus (dalam Taylor, 1991) mengemukakan,
agar coping dilakukan dengan efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada
lima fungsi tugas coping yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu :
1. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk
memperbaikinya.
2. Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif.
3. Mempertahankan gambaran diri yang positif.
4. Mempertahankan keseimbangan emosional.
5. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.
Menurut Taylor (1991), efektivitas coping tergantung dari keberhasilan
pemenuhan coping task. Individu tidak harus memenuhi semua coping task untuk
dinyatakan berhasil melakukan coping dengan baik. Setelah coping dapat
memenuhi sebagian atau semua fungsi tugas tersebut, maka dapat terlihat
bagaimana coping outcome yang dialami tiap individu. Coping outcome adalah
kriteria hasil coping untuk menentukan keberhasilan coping. Coping outcome,
yaitu :
1. Ukuran fungsi fisiologis, yaitu coping dinyatakan berhasil bila coping yang
dilakukan dapat mengurangi indikator dan arousal stres seperti menurunnya
tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
2. Apakah individu dapat kembali pada keadaan seperti sebelum ia mengalami stres,
dan seberapa cepat ia dapat kembali. Coping dinyatakan berhasil bila coping yang
dilakukan dapat membawa individu kembali pada keadaan seperti sebelum
individu mengalami stres.
3. Efektivitas dalam mengurangi psychological distress. Coping dinyatakan berhasil
jika coping tersebut dapat mengurangi rasa cemas dan depresi pada individu.
F. Faktor-faktor Psikologis dan Gangguan-gangguan Fisik
Telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor- faktor psikologis dapat
mempengaruhi fungsi fisik; faktor faktor fisik juga dapat memepengaruhi fungsi
mental.
Saat ini, banyak bukti menunjukkan bahwa pentingnya peranan faktor psikologis
dalam berbagai gangguan fisik yang lebih luas daripada beberapa gangguan fisik
yang disebut sebagai gangguan psikosomatis tradisiaonal.
a. Sakit kepala
Sakit kepala merupakan simtom dari banyak gangguan medis. Apabila
sakit kepala ini terjadi tidak bersamaan dengan gejala-gejala yang lain,
maka sakit kepala ini dapat dikelompokkan sebagai gangguan fisik yang
berhubungan dengan stress. Sampai sejauh ini, sakit kepala yang paling
sering muncul adalah sakit kepala karena tegang (Mark, 1998). Stress
dapat menyebabkan kontraksi yang kuat terhadap kulit kepala, muka,
leher, dan bahu sehingga muncul sakit kepala yang periodik dan kronis.
Sakit kepala seperti itu secara berangsur-angsur berkembang dan biasanya
ditandai dengan rasa sakit yang terus menerus dikedua sisi kepala disertai
dengan tekanan yang menghimpit. Kebanyakan sakit kepala yang lain,
termasuk sakit kepala sebelah (migrain) yang parah, diyakini melibatkan
perubahan aliran darah ke kepala. Biasanya migrain berlangsung selama
beberapa jam atau beberapa hari. Sakit ini dapat muncul setiap hari atau
sering kali setiap bulannya. Sakit ini ditandai dengan rasa yang menusuk
disebelah sisi kepala atau dibelakang mata.
Serangan migrain berlangsung selama 4-72 jam. Ada dua tipe utama
migrain, yaitu: Migrain tanpa aura, dan migrain dengan aura. Aura adalah
sekelompok tanda peringatan sebelum terjadinya serangan.
Perspektif teoretis
Mengapa beberapa orang mengalami stress, menderita gangguan sakit
kepala? Sebab yang mendasari sakit kepala migren tidak dengan jelas
dimengerti. Para peneliti mengira sebabnya adalah karena adanya
ketidakstabilan serotonin kimiawi otak (Edelson, 1998). Turunnya tingkat
serotonin menyebabkan pembuluh darah di otak mengalami kontraksi atau
menyempit dan kemudian mengembang. Peregangan ini menstimulasi
ujung-ujung syaraf yang menyebabkan timbulnya rasa yang menusuk yang
diasosiasikan dengan migrain.
Banyak faktor dapat menjadi pemicu munculnya serangan migrain, hal
ini termasuk stress; stimuli seperti sinar terang, perubahan dalam tekanan
udara; serbuk; obat tertentu; MSG (monosodium glutamat) kimiawi, yang
sering dipakai sebagai bumbu penyedap makanan; anggur merah; dan
bahkan kelaparan (Martin, dan Seneviratne, 1997).
Penanganan
Adanya penghilang rasa sakit seperti aspirin, ibuprofen, dan
acetaminophen, dapat mengurangi atau menghilangkan rasa sakit yang
berhubungan dengan sakit kepala karena tegang. Penanganan psikologis
dalam banyak kasus dapat pula membantu mengurangi sakit kepala karena
tegang atau migrain. Penanganan ini termasuk pelatihan biofeedback,
relaksasi, pelatihan keterampilan coping, dan beberapa terapi kognitif.
Pelatih biofeedback membantu individu memperoleh kendali terhadap
berbagai fungsi tubuhnya, seperti ketengangan otot, dan gelombang otak,
dengan memberikan informasi (feedback) tentang fungsi-fungsi tubuh ini
dalam bentuk tanda auditori/suara atau gambaran visual. Individu belajar
mengubah tanda kearah yang dikehendaki. Pelatihan keterampilan
relaksasi dipadukan dengan biofeedback juga terbukti efektif.
b. Kardiovaskular
Sekitar 10% populasi di amerika, sekitar 22 juta orang mengalami
CHD. Dalam penyakit jantung koroner, aliran darah ke jantung tidak
mencukupi kebutuhan. Proses penyakit yang mendasari CHD adalah
arteriosclerosisatau “pengerasan arteri”, suatu kondisi dimana dinding
arteri menjadi kebal, lebih keras, dan berkurang elastisitasnya. Kondisi ini
membuat darah sulit mengalir dengan bebas. Sebab utama terjadinya
arteriosclerosis adalah atherosclerosis yakni suatu proses yang
menyangkut penimbunan lemak sepanjang dinding arteri yang membuat
terjadinya sumbatan. Bila terjadi pembekuan darah di arteri yang telah
menjadi sempit, sumbatan ini mungkin menghalangi atau bahkan
menghentikan aliran darah ke jantung. Sebagai akibatnya terjadi suatu
serangan jantung (juga disebut myocardial infarction), suatu kejadian yang
mengancam hidup dimana terjadi kematian jaringan jantung karena
kurangnya darah yang kaya oksigen. Apabila gumpalan darah
menghalangi suplai darah ke otak, dapat terjadi stroke, menimbulkan
kematian jaringan otak sehingga kehilangan fungsi-fungsi yang
dikendalikan oleh bagain otak tersebut, koma, atau bahkan kematian.
Faktor psikologis, misalnya emosi-emosi negatif seperti marah dan
cemas, juga merupakan faktor resiko terjadinya gangguan kardiovaskular.
Penelitian ini juga mengidentifikasi suatu pola kepribadian, disebut pola
tingkahlaku tipe A, juga merupakan faktor resiko psikologis dari CHD.
Pola tingkah laku Tipe A
Pola tingkah laku tipe A merupakan suatu gaya tingkah laku seseorang
yang menunjukkan ciri-ciri seperti berkemauan keras, ambisius, tidak
sabaran, dan kompetitif tinggi, berhubungan dengan resiko yang lebih
tinggi untuk mengalami CHD (T.Q. Miller dkk, 1991). Bukti
menunjukkan bahwa intervensi psikologis yang difokuskan untuk
mrmbantu orang-orang mengurangi tingkah laku tipe A, mereka dapat
secara signifikan mengurangi resiko serangan jantung yang berikutnya
pada orang yang pada orang yang pernah mendapat serangan jantung
(Brosy, 1996c; Friedman dkk 1986). Hostilitas-cepat marah- adalah unsur
pola tingkah laku tipe A yang paling dekat hubungannya dengan resiko
kardiovaskular (Donker,2000).
Stress Lingkungan Sosial
Faktor seperti kerja lembur, pekerjaan yang terus menerus ada, dan
menghadapi tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan, berhubungan
dengan peningkatan resiko CHD (C.D. Jenkins 1988). Bagaimanapun,
keterkaitan CHD dengan stress tidak dapat diuraikan dengan jelas.