BAB III Sejarah Seni Ukir Kaligrafi Al-Qur’an Al-Akbar dan ...
Makalah Seni Dalam Islam Kaligrafi
-
Upload
harisya-muchni -
Category
Documents
-
view
3.509 -
download
103
Transcript of Makalah Seni Dalam Islam Kaligrafi
MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KALIGRAFI DALAM ISLAM
Kelompok 2:
1.Haryani (06111010011)
2. Alhamd Hadi Putra (06111010013)
3. Harleli Rianavita (06111010014)
4. Ririn Vidiastuti (06111010015)
5. Susianah (06111010016)
6. Harisya Muchni (06111010017)
7. Feri Setiawan (06111010018)
8. Zulkandri (06111010019)
Dosen Pembimbing : Nurhasan M.Ag
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah Mata Kuliah Pengembangna
Kepribadian Agama Islam yang berjudul “Seni Dalam Islam” dengan tepat waktu.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan agama islam.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada bapak Nurhasan,M.Ag. selaku dosen pembimbing mata kuliah agama
islam dan kepada teman –teman serta rekan-rekan sekalian yang telah terlibat dalam
penyelesaian makalah ini.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca sekalian dan dapat menambah wawasan kita terhadap seni dalam islam.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal
pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini
sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Indralaya,01 Maret 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia diciptakan dengan berbagai potensi bakat, minat, kreativitas
yang unik seta dinamis. Tentu dengan kesemua itu harus ada usaha atau
kewajiban untuk mengembangkan baik itu dari kecerdasan majemuk,
kecerdasan spiritual, maupun kecerdasan emosional. Dalam perkembangan itu
tentunya banyak mengalami hambatan atau rintangan yang dihadapi yang
dapat menghambat sehingga mengasilkan sesutu yang baik .Begitu juga
dengan Kesenian tidak mungkin langsung dihasilkan karya-karya yang
menakjubkan, melainkan ada prosesnya.
Kesenian dalam islam sangat banyak akan tetapi yang lebih menonjol
yaitu kaligrafi. kaligrafi hanya terdapat dalam agama islam karena dalam seni
kaligrafi yang di tulis huruf-huruf arab dan huruf arab biasanya di pakai oleh
orang-orang islam. Oleh karena itu kami memilih kaligrafi untuk di bahas
dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses perkembangan kaligrafi di dunia Islam?
2. Bagaimana proses perkembangan kaligrafi di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui proses perkembangan kaligrafi di dunia islam.
2. Untuk mengetahui proses perkembangan kaligrafi di Indonesia.
1.4 Manfaat
1 Mengetahui proses perkembangan kaligrafi di dunia islam.
2 Mengetahui proses perkembangan kaligrafi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kaligrafi
Kaligrafi, dari bahasa Yunani; καλλι "keindahan" + γραφος "menulis",
dalam Bahasa Jepang Nihongo 日本語) adalah seni menulis dengan indah dengan
pena sebagai hiasan. Tulisan dalam bentuk kaligrafi biasanya tidak untuk dibaca
dengan konsentrasi tinggi dalam waktu lama, karena sifatnya yang membuat mata
cepat lelah. Karena itulah sangat sulit menemukan contoh kaligrafi sebagai
tipografi buku-buku masa kini. Meskipun kaligrafi dalam tulisan arab lebih
dikenal, tetapi banyak pula penerapan aplikasi ke dalam tulisan latin.
Kata Kaligrafi ini berasal dari bahasa Yunani yang disederhanakan dalam
bahasa Inggris yaitu Calligraphy yang berasal dari dua suku kata bahasa Yunani
yaitu Kallos dan Graph yang berarti beauty (indah) dan grapeny: to write
(menulis), jadi dapat diartikan dengan tulisan indah, atau seni tulisan indah.
Dalam bahasa Arab kaligrafi, kaligrafi ini biasa disebut dengan khath, ( ج الخط،
خط – – ) Merupakan bentuk masdar dari bahasa Arab yaitu . (خطوط خطا (يخط
yang artinya الكتبة atau السطر (tulisan atau garis), misalnya الشيئ artinya خط
كتبه غيره أو ia menulis atau memberi garis dengan pena atau dengan yang) بقلم
lain).
Manja Mohd Ludin dan Ahmad Suhaimi J. Mohd Nor mengungkapkan
pengertian kaligrafi itu suatu coretan atau tulisan yang membawa maksud tulisan
yang indah, dalam arti kata tulisan tersebut mempunyai kehalusan dan kesenian.
Dengan demikian dapat dikatakan suatu tulisan yang ditulis dengan indah atau
suatu kepandaian menulis elok dan boleh juga dikatakan seni tulisan indah. Dalam
mengungkapkan pengertian kaligrafi ini bermacam-macam ungkapan yang
dikemukakan oleh para tokoh dan pencintanya. Ungkapan tersebut sesuai dengan
pengalaman yang dirasakan oleh kaligrafer itu sendiri, sehingga masing-masing
kaligrafer itu memiliki corak tersendiri dalam memaknai kaligrafi tersebut. Syeikh
Syam al-Din al-Afghani menyatakan:
Kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf
tunggal, letak-letaknya dan tata cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang
tersusun di atas garis dan bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang
tidak perlu ditulis, mengubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara
bagaimana menggubahnya.
Ada lagi Yaqut al-Musta’shimi (seorang kaligrafer kenamaan pada masa
Usman) mengungkapkan bahwa kaligrafi itu sebagai seni arsitektur rohani yang
terwujud melalui pengolahan keadaan. Sedangkan Ubaidillah Ibn Abbas
mengistilahkan kaligrafi ini dengan “lisan al-Yadd” atau lidahnya tangan.
Selain itu ada pula yang menyatakan bahwa kaligrafi merupakan apa-apa
yang ditulis ahli dengan sentuhan kesenian. Kaligrafi melahirkan suatu ilmu
tersendiri tentang tata cara menulis, meneliti tentang tanda-tanda bahasa yang bisa
dikomunikasikan, yang dibuat secara propesional dan harmonis yang dapat dilihat
secara kasat mata dan diakui sebagaimana susunan yang dihasilkan lewat kerja
kesenian. Di samping itu ada juga yang mengungkapkan bahwa kaligrafi itu
sebagai suatu kepandaian untuk mengatur gerakan ujung jari dengan
memanfaatkan pena atau kalam dengan metode atau tata cara tertentu.
Muhammad Thahir ibn ‘Abd al-Qadir al-Kurdi dalam karyanya Tarikh al-
Khat al-‘Arabi wa Adabihi, pernah mengumpulkan sekitar tujuh macam
pengertian kaligrafi atau khath, dan kemudian menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan kaligrafi adalah suatu kepandaian untuk mengatur gerakan
ujung jari dengan memanfaatkan pena dalam tata cara tertentu. Adapun yang
dimaksud dengan pena di sini adalah pusat gerakan-gerakan ujung jari, sementara
tata cara tertentu menunjukkan pada semua jenis kaidah penulisan.
Meskipun bermacam-macam pengertian yang dikemukakan oleh para ahli,
namun pada dasarnya tujuan ungkapan tersebut mengarah kepada arti tulisan yang
indah. Dapat juga dikatakan suatu tulisan yang dirangkai dengan nilai estetika
yang bersumber pada pikiran atau ide dan diwujudkan melalui benda materi (alat
tulis) yang diikat oleh aturan dan tata cara tertentu. Jadi seni kaligrafi itu sebuah
kepandaian menulis tulisan indah dengan mengikuti metode-metode tertentu
untuk mempelajarinya.
Pemakaian istilah kaligrafi ini sering juga disebut orang kepada dua
istilah. Ada yang menyebut dengan kaligrafi Arab dan ada juga yang
menyebutnya dengan kaligrafi Islam. Mengenai istilah kaligrafi Arab ini Ahmad
Munawir mengemukakan bahwa pada kata khath itu diberikan kata sifat العربي
sehingga menjadi الخط artinya tulisan Arab. Orang yang menggeluti dan ,العربي
makin dalam menulis tulisan Arab disebut الخطاط (penulis halus).
Memang apabila dilihat dari asalnya kaligrafi ini berasal dari Arab, dan
tulisan yang digunakan itu bahasa Arab. Namun tulisan Arab itu berkembangnya
setelah Islam datang pada bangsa Arab. Perbedaan pemakaian istilah ini terjadi
karena tingkat pemahaman seseorang terhadap kaligrafi itu berbeda juga. Orang
yang memakai istilah kaligrafi Arab mengatakan huruf-huruf yang digoreskan
lewat pena terdiri dari huruf-huruf Arab. Sementara yang mengatakan istilah
kaligrafi Islam mengatakan bahwa sekalipun tulisan yang ditulis tersebut terdiri
dari huruf-huruf Arab perkembangannya yang sangat pesat adalah setelah Islam
datang.
Kedua istilah tersebut sama benarnya, sebab apabila ditinjau dari sejarah,
seni kaligrafi itu memang lahir dari ide “menggambar” atau apa lukisan yang
dipahat atau dicoretkan dalam benda-benda tertentu, seperti daun-daun, kulit
kayu, tanah dan batu. Akar dari tulisan Arab itu dari Mesir (Kan’an Semit atau
Turnesia), dari tulisan Hierogrhaph. Lalu tulisan tersebut terpecah menjadi khath
Feniqi (Funisia), dengan cabang-cabang (Arami): Nabati di Hirah atau Hurun dan
Sataranjih-Suryani di Irak dan Musnad: Safawi, Samudi, Lihyani, (Utara Jazirah
Arabia) dan Humeri; selatannya. Sedangkan Kamil al-Baba mengatakan bahwa
pendapat yang paling dipercaya kaligrafi Arab itu diadopsi dari tulisan suku
Nabati, ras Arab yang menempatkan wilayah Utara jazirah Arabia, di negeri
Yordan dengan ibu kota Puetra. Hal ini berdasarkan bukti-bukti nyata arkeologi
(Dinas Purbakala) yang pernah mengadakan penelitian tentang pertumbuhan
tulisan. Dalam perkembangan tulisan ini, tulisan musnad yang disebar luaskan
oleh suku Maniyah (Minneni) di Yaman yang berpindah ke Arabia Utara.
Kemudian dari Musnad ini lalu pindah ke Nabati sampai kedatangan Islam.
Untung orang Nabatea meninggalkan sejumlah inskripsi yang tersebar di daerah
yang mewakili tahap peralihan yang maju menuju perkembangan huruf Arab.
Di dalam seni rupa Islam, tulisan arab seringkali dibuat kaligrafi. Biasanya
isinya disadur ayat-ayat Al-Quran. Bentuknya bermacam-macam, tidak selalu
pena diatas kertas, tetapi seringkali juga ditatahkan di atas logam atau kulit. Salah
satu bentuk penerapan kaligrafi Islam sebagai seni hias adalah di Istana Al Hamra,
Spanyol.
2.2 Kaligrafi Islam
Kaligrafi Islam, yang dalam juga sering disebut sebagai kaligrafi Arab,
merupakan suatu seni artistik tulisan tangan, atau kaligrafi, serta meliputi hal
penjilidan, yang berkembang di negera-negera yang umumnya memiliki warisan
budaya Islam. Bentuk seni ini berdasarkan pada tulisan Arab, yang dalam waktu
lama pernah digunakan oleh banyak umat Islam untuk menulis dalam bahasa
masing-masing. Kaligrafi adalah seni yang dihormati di antara berbagai seni rupa
Islam, karena merupakan alat utama untuk melestarikan Al-Qur'an. Penolakan
penggambaran figuratif karena dapat mengarah pada penyembahan berhala,
menyebabkan kaligrafi dan penggambaran abstrak menjadi bentuk utama ekspresi
seni dalam berbagai budaya Islam, khususnya dalam konteks keagamaan. Sebagai
contoh, kaligrafi nama Tuhan diperkenankan sementara penggambaran figuratif
Tuhan tidak diizinkan. Karya kaligrafi banyak dijadikan koleksi dan adalah hasil
seni yang dihargai.
Kaligrafi Arab, Persia dan Turki Utsmaniyah memiliki hubungan dengan
motif arabesque abstrak yang terdapat di dinding-dinding dan langit-langit masjid
maupun di halaman buku. Para seniman kontemporer di dunia Islam menggali
warisan kaligrafi mereka dan menggunakan tulisan kaligrafi atau abstraksi dalam
berbagai karya seni mereka.
2.3 Jenis – jenis Kaligrafi
Dalam kaligrafi, ada istilah khat. Khat adalah suatu ilmu yang
memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, penyusunannya dan cara
merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Khat merupakan seni tulisan
indah yang mempunyai nilai-nilai kehalusan dan kesenian. Sehingga sering
digunakan untuk menulis ayat-ayat suci dan kata-kata bijak.
Jenis-jenis kaligrafi yang paling dasar dan dianjurkan serta dikembangkan
oleh para penulis kaligrafi terutama di Indonesia ada 6 :
1. Nasakh atau Naskhi
Adalah salah satu jenis khat yang paling awal berkembang yang
diperkenalakan oleh seorang master kaligrafer bernama Imam Muqlah
pada abad ke-10 lalu dikembangkan oleh kaligrafer lainnya. Karena jenis
ini relative sangat mudah dibaca dan ditulis, maka tulisan ini paling
banyak digunakan oleh para muslim dan orang arab di belahan dunia.
2. Tsuluts atau Tsulutsy
Khat tsuluts pertama kali dibuat pada abad ke-7 pada jaman Khalifah
Ummayah akan tetapi baru dikembangkan pada akhir abad ke-9. Kata
tsuluts berarti sepertiga. Walaupun tulisan ini jarang digunakan untuk
tulisan al quran, tulisan ini berperan penting dalam tulisan hiasan/dekorasi,
judul dan kepala surat.
3. Diwani (Diwani ‘aady dan Diwani Jaly)
Tulisan ini berkembang luas di akhir abad ke-15 dan dipelopori oleh
seorang kaligrafer Ibrahim Munif dari Turki. Diwani jail adalah tulisan
diwani yang bernuansa ornament/ hiasan yang pertama kali dikembangkan
oleh Hafiz Uthman.
4. Ta’liq atau Farisi
Ta’liq artinya menggantung, karena tulisan gaya ini terkesan
menggantung. Seorang kaligrafer Persia Mir Ali Sultan Al Tabrizi
mengembangkan gaya ini lebh halus dan variatif menjadi nasta’liq. Ta’liq
dan nasta’liq biasa digunakan uuntuk penulisan literature dan syair
kepahlawanan. Bukan untuk penulisan al quran.
5. Riq’ah atau Riq’iy
Tulisan ini dikembangkan dari nasakh dan tsuluts namun riq’ah punya cirri
khas yang berbeda yakni lebih simple dan sederhana, memiliki bentuk
huruf tebal dengan batang huruf pendek dan huruf alif tidak pernah ditulis
dengan berkepala.
6. Kufi
Kufi termasuk tulisan paling dominan pada jaman dahulu. Ia memiliki
bentuk huruf yang proporsional, kaku danm persegi.
Kufi Al Mukhammal
Kufi Al Muzaffar
Kufi Al Handasi
2.4 Kaligrafi dan Perkembangannya
2.4.1 Perkembangan Kaligrafi dalam Dunia Islam
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang
sastra, dengan sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun
dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila
dibandingkan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah
mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja
misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa India dengan
Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian
dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku, dan
pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara.
Keadaan ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang
hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan
keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komuniksai dari mulut
kemulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak
anti huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya pada masa menjelang
kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan al-Mu’alaqat (syair-syair
masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada
masa-masa awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab
Utara bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan
tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf
Arab berasal dari huruf Nabati yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang
masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-
huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar
tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan
Jazirah Arab.
Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan
nama kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan
hanya ada tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal
di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar), Mutsallats (segitiga),
dan Ti’im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga
inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis
yang disebut gaya Muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut
berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya
inipun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi
diantaranya Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif).
Gaya Masyq dan Naskh terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun
ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi
pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis vertikal maupun
horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya.
Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi
daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan
lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar biasa
bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru
maupun penggunannya, dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab
agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur
mengembangkan tulisan kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan
empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts. Keempat tulisan ini
saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain sehingga menjadi
lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus ditulis dengan
pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh, gulungan kulit atau kertas)
yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk komunikasi tertulis para
khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana.
Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat
luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap
oleh karena khilafah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah
menghancurkan sebagian besar peninggalan-peninggalannya demi
kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh tulisan yang tersisa seperti
prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu’awiyah, tulisan di Qubbah
Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang dibangun
Khalifah Hisyam dan lain-lain.
Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih
pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-
Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah
(750-754 M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur
(754-775 M) dan al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang
besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan
mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf
as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf
yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai
nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi
kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi
pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler
tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga
unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu : titik,
huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus dibuat
berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang
berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok
(al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan
Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi
populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser
dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang
terkenal diantaranya Muhammad ibn As-Simsimani dan Muhammad ibn
Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu
Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis
oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf
bersandar yang indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan
khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-karyanya hanya
sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan fragmen
duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang
memperkenalkan metode baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih
lembut dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang masyhur itu. Yaqut
adalah kaligrafer besar di masa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya
dinasti ini pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan
keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa
Umayyah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali
penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah
berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai
ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang
hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat
pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang
membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan
bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri
Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan
ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang
berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di
Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga
tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat
konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah
Abbasiyah oleh tentara Mongol dibawah Jengis Khan dan puteranya
Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak
kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah
memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali.
Penggantinya yaitu Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia
memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk
berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya.
Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti
Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Quran dalam gaya Muhaqqaq
tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-
Suyufi dan lain-lain.
Dinasti Il-Khan yang bertahan sampai akhir abad ke-14 digantikan
oleh Dinasti Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal
sebagai pembinasa besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar
dan seniman mendapat perhatian yang istimewa. Ia mempunyai perhatian
besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur’an. Hal ini
dilanjutkan oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa
ini adalah Muhammad al-Tughra’I yang menyalin al-Qur’an bertarih 1408
daam gaya Muhaqqaq emas. Dan putra Shah Rukh sendiri yang bernama
Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15
dan segera digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan
Irak sampai tahun 1736. pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah
Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru
yang disebut Ta’liq yang sekarang dikenal khat Farisi. Gaya baru yang
dikembangkan dari Ta’liq adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari
Naskhi. Tulisan Nasta’liq ahkirnya menggeser Naskhi dan menjadi tulisan
yang biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.
Di Kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih
bernuansa tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14 yang
bergaris horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikalnya
yang ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang
khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim
disebut gaya Shini. Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan yang
berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan di
keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oeh
Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak
masa dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan
dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah
ini memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya
pada kalangan terpelajar dan seniman tetapi juga beberapa sultan bahkan
dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak segan-segan untuk merekrut
ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya Farisi pun
dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai
kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi
yang melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah
melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan
dengan gaya kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya.
Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani, dan
Diwani Jali. Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang dikembangkan
dari Ta’liq an Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya dipakai untuk keperluan-
keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan dari
Ta’liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim
Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini
benar-benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan bersusun-
susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru
yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai
Humayuni (kerajaan). Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz
Usman dan para muridnya.
2.4.2 Perkembangan Kaligrafi Di Indonesia
Di Indonesia, kaligrafi merupakan bentuk seni budaya Islam yang
pertama kali ditemukan, bahkan ia menandai masuknya Islam di
Indonesia. Ungkapan rasa ini bukan tanpa alasan karena berdasarkan hasil
penelitian tentang data arkeologi kaligrafi Islam yang dilakukan oleh Prof.
Dr. Hasan Muarif Ambary, kaligrafi gaya Kufi telah berkembang pada
abad ke-11, datanya ditemukan pada batu nisan makam Fatimah binti
Maimun di Gresik (wafat 495 H/1082 M) dan beberapa makam lainnya
dari abad-abad ke-15. Bahkan diakui pula sejak kedatangannya ke Asia
Tenggara dan Nusantara, disamping dipakai untuk penulisan batu nisan
pada makam-makam, huruf Arab tersebut (baca: kaligrafi) memang juga
banyak dipakai untuk tulisan-tulisan materi pelajaran, catatan pribadi,
undang-undang, naskah perjanjian resmi dalam bahasa setempat, dalam
mata uang logam, stempel, kepala surat, dan sebagainya. Huruf Arab yang
dipakai dalam bahasa setempat tersebut diistilahkan dengan huruf Arab
Melayu, Arab Jawa atau Arab Pegon.
Pada abad XVIII-XX, kaligrafi beralih menjadi kegiatan kreasi
seniman Indonesia yang diwujudkan dalam aneka media seperti kayu,
kertas, logam, kaca, dan media lain. Termasuk juga untuk penulisan
mushaf-mushaf al-quran tua dengan bahan kertas deluang dan kertas
murni yang diimpor. Kebiasaan menulis al-Qur’an telah banyak dirintis
oleh banyak ulama besar di pesantren-pesantren semenjak akhir abad XVI,
meskipun tidak semua ulama atau santri yang piawai menulis kalgrafi
dengan indah dan benar. Amat sulit mencari seorang khattat yang
ditokohkan di penghujung abad XIX atau awal abad XX, karena tidak ada
guru kaligrafi yang mumpuni dan tersedianya buku-buku pelajaran yang
memuat kaidah penulisan kaligrafi. Buku pelajaran tentang kaligrafi
pertama kali baru keluar sekitar tahun 1961 karangan Muhammad Abdur
Razaq Muhili berjudul ‘Tulisan Indah’ serta karangan Drs. Abdul Karim
Husein berjudul ‘Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf
Arab’ tahun 1971.
Pelopor angkatan pesantren baru menunjukkan sosoknya lebih
nyata dalam kitab-kiab atau buku-buku agama hasil goresan tangan
mereka yang banyak di tanah air. Para tokoh tersebut antara lain; K.H.
Abdur Razaq Muhili, H. Darami Yunus, H. Salim Bakary, H.M. Salim
Fachry dan K.H. Rofi’I Karim. Angkatan yang menyusul kemudian
sampai angkatan generasi paling muda dapat disebutkan antara lain
Muhammad Sadzali (murid Abdur Razaq), K. Mahfudz dari Ponorogo,
Faih Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz Abdur Razaq dan Muhammad Wasi’
Abdur Razaq, H. Yahya dan Rahmat Arifin dari Malang, D. Sirojuddin
dari Kuningan, M. Nur Aufa Shiddiq dari Kudus, Misbahul Munir dari
Surabaya, Chumaidi Ilyas dari Bantul dan lainnya. D. Sirajuddin AR
selanjutnya aktif menulis buku-buku kaligrafi dan mengalihkan kreasinya
pada lukisan kaligrafi.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi tidak hanya
dikembangkan sebatas tulisan indah yang berkaidah, tetapi juga mulai
dikembangkan dalam konteks kesenirupaan atau visual art. Dalam konteks
ini kaligrafi menjadi jalan namun bukan pelarian bagi para seniman lukis
yang ragu untuk menggambar makhluk hidup. Dalam aspek kesenirupaan,
kaligrafi memiliki keunggulan pada faktor fisioplastisnya, pola
geometrisnya, serta lengkungan ritmisnya yang luwes sehingga mudah
divariasikan dan menginspirasi secara terus-menerus.
Kehadiran kaligrafi yang bernuansa lukis mulai muncul pertama
kali sekitar tahun 1979 dalam ruang lingkup nasional pada pameran
Lukisan Kaligrafi Nasional pertama bersamaan dengan
diselenggarakannya MTQ Nasional XI di Semarang, menyusul pameran
pada Muktamar pertama Media Massa Islam se-Dunia than 1980 di Balai
Sidang Jakarta dan Pameran pada MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun
1981, MTQ Nasional di Yogyakarta tahun 1991, Pameran Kaligrafi Islam
di Balai Budaya Jakarta dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriyah
1405 (1984) dan pameran lainnya.
Para pelukis yang mempelpori kaligrafi lukis adalah Prof. Ahmad
Sadali (Bandung asal Garut), Prof. AD. Pirous (Bandung, asal Aceh), Drs.
H. Amri Yahya (Yogyakarta, asal Palembang), dan H. Amang Rahman
(Surabaya), dilanjutkan oleh angkatan muda seperti Saiful Adnan, Hatta
Hambali, Hendra Buana dan lain-lain. Mereka hadir dengan membawa
pembaharuan bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang
menjauhkannya dari kaedah-kaedah aslinya, atau menawarkan pola baru
dalam tata cara mendesain huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah
dibakukan. Kehadiran seni lukis kaligrafi tidak urung mendapat berbagai
tanggapan dan reaksi, bahkan reaksi itu seringkali keras dan menjurus
pada pernyataan perang. Namun apapun hasil dari reaksi tersebut,
kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap para khattat sendiri membawa
banyak hikmah, antara lain menimbulkan kesadaran akan kelemahan para
khattat selama ini, kurang wawasan teknik, kurang mengenal ragam-ragam
media dan terlalu lama terisolasi dari penampilan di muka khalayak.
Kekurangan mencolok para khattat, setelah melihat para pelukis mengolah
karya mereka adalah kelemahan tentang melihat bahasa rupa yang ternyata
lebih atau hanya dimiliki para pelukis.
Perkembangan lain dari kaligrafi di Indonesia adalah dimasukkan
seni ini menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam even MTQ.
Pada awalnya dipicu oleh sayembara kaligrafi pada MTQ Nasional XII
1981 di Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di Padang 1983. Sayembara
tersebut pada akhirnya dipandang kurang memuaskan karena sistemnya
adalah mengirimkan hasil karya khat langsung kepada panitia MTQ,
sedangkan penulisannya di tempat masing-masing peserta. MTQ Nasional
XIV di Pontianak meniadakan sayembara dan MTQ tahun selanjutnya
kaligrafi dilombakan di tempat MTQ.
2.5 Semangat Kaligrafi Dalam Islam
Kaligrafi Islam mempunyai kedudukan yang istimewa diantara cabang-
cabang seni Islam yang lain. Tidak seperti cabang seni Islam yang lain – musik,
arsitektur misalnya, yang dalam beberapa hal banyak dipengaruhi oleh gaya-gaya
lokal dan sejumah seniman non muslim – kaligrafi mencapai puncak
keindahannya di tangan-tangan piawai seniman muslim sepenuhnya, tanpa
campur tangan pihak lain. Tanpa Islam barangkali huruf Arab tidak akan berarti
apa-apa. Hal ini dapat dilihat dari perhatian umat Islam terhadap tulisan yang
berawal dari perhatian mereka terhadap al-Qur’an. Wahyu Allah yang turun
melalui Nabi Muhammad adalah kalimat suci yang merupakan bahasa Tuhan
kepada hamba-Nya. Pertalian langsung antara tulisan dengan nilai-nilai
keagamaan yang sakral menjadikan umat Islam selalu termotivasi untuk terus
mengembangkannya. Pandangan ini kemudian dipertegas lagi dengan kenyataan
bahwa bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa liturgis umat Islam. Tulisan
Arab menjadi terangkat fungsi dan statusnya, bukan sekedar sebagai alat
komunikasi antar manusia, tetapi juga merupakan tulisan religius yang sakral.
Kehadiran Islam dengan berbagai atribut yang dibawanya, telah membawa
perubahan besar dan cepat pada perkembangan tradisi Arab. Betapa tidak, ketika
orang-orang Arab tengah asyik-masyuk dengan tradisi verbal yang mereka
banggakan, wahyu pertama (al-‘Alaq:1-5) yang berisi perintah Tuhan agar
membaca, menelaah, menganalisis justru menghentakkan mereka dari tidur
panjangnya seolah menjadi “bom” yang menghempaskan idealisme bangsa Arab,
sekaligus “proklamasi” kemestian budaya tulis-menulis dalam risalah yang
dibawa Nabi Muhammad saw (baca: Islam). Wahyu pertama itu segera disusul
dengan pengertian lain seperti ‘Tuhanmu yang mengajari manusia dengan pena’.
Kemudian dalam surat al-Qalam (Pena) (Q.S: 68: 1) Allah berfirman ; ‘Nun, demi
pena dan apa yang mereka tulis’. Di samping itu, pengertian-pengertian simbolis
pentingnya tulisan juga terdapat dalam banyak ayat, misalnya al-Qur’an yang
tertulis dalam Lauhul Mahfudz (Q.S. 85:21-22), dua malaikat yang mencatat
perbuatan manusia (Q.S. 82: 10, 50: 16), pemberian buku catatan perbuatan
manusia pada hari akhir kelak (Q.S. 17:73, 10:62, 34:4 dan sebagainya),
perumpamaan seluruh pohon di bumi dijadikan pena tidak akan cukup menulis
kekuasaan Allah (Q.S.31: 27), dan perumpamaan air laut sebagai tinta yang tidak
akan cukup untuk menuliskan kekuasaan Allah meskipun ditambah lagi dengan
tujuh kali air laut yang ada di bumi (Q.S. 31:27, 18: 109). Semua ayat diatas
merupakan penghargaan yang sangat tinggi terhadap pena, tinta, buku, dan
tulisan. Dari sini dapat dipahami bahwa kaligrafi atau tulis-menulis memperoleh
asal-usul yang langsung dari Allah lewat firman-firman-Nya. Dalam sejarah
perkembangan kaligrafi, nilai-nilai dalam al-Qur’an ini menjadi ruh, spirit bagi
para kaligrafer untuk terus mencipta dan berkarya.
Penghargaan yang demikian tinggi terhadap tulisan juga terdapat dalam
beberapa Hadist Nabi. Kata Qalam (pena) misalnya disinggung dalam sebuah
hadist tentang nasib manusia yang telah tertulis dan tidak dapat diubah, qad jaffa
al-qalam (pena telah kering). Hadist lain mengatakan ‘Ajarilah anakmu membaca
dan menulis’, serta penjelasan hadist nabi yang merupakan penghargaan terhadap
tulisan indah, ‘bahwa siapa yang menulis Bismillahirrahmaniirahim dan
memperindahnya, dia akan masuk surga’. Dalam sejarah Islam juga diperoleh
keterangan bahwa Nabi mengerahkan para tawanan perang- yang notabene non
muslim- untuk mengajari membaca dan menulis anak-anak Madinah. Kecintaan
kepada tulis-menulis seperti dicontohkan Nabi akhirnya menjadi tauladan bagi
para sahabatnya termasuk Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Budaya tulis-
menulis dalam Islam telah memulai sejarahnya dan terbangun kuat sejak masa-
masa awal Islam ini.
Memandang kaligrafi dari perspektif agama, hal ini juga didukung oleh
citra bahwa kaligrafi dalam Islam dipandang sebagai manifestasi semangat
religiusitas. Ini bermula dari pernyataan-pernyataan Allah sendiri dalam al-Qur’an
dan beberapa Hadist seperti yang dikemukakan di atas. Kualitas religius yang suci
ini akhirnya menjadi ciri yang sangat tipikal dalam apresiasi kaligrafi sepanjang
peradaban Islam. Melihat betapa dekatnya dunia seni dengan dunia agama dalam
visi Islam dan peran besar kaum sufi – yang turut meniupkan ruh keilahian dalam
seni Islam – kaligrafi mencapai puncak keindahannya. Hal ini dikarenakan ia
tersembul dari spiritualitas (rohani) yang seimbang, serasi, dan harmonis.
Keindahannya bukan muncul dari imajinasi tak terarah atau selera egois
senimannya. Dalam kaligrafi Islam tidak ada kesan rebelli (memberontak), yang
ada hanya bebas tetapi harmonis, tenteram. Dan keindahannya, keelastisannya
adalah peta batin sang kaligrafer yang telah dinafasi oleh ruh religiusitas tertentu.
KESIMPULAN
Kaligrafi adalah suatu tulisan yang ditulis dengan indah atau suatu
kepandaian menulis elok dan boleh juga dikatakan seni tulisan indah. Di dalam
seni rupa Islam, tulisan arab seringkali dibuat kaligrafi. Biasanya isinya ayat-ayat
Al-Quran dan katta-kata bijak. Bentuknya bermacam-macam, tidak selalu pena
diatas kertas, tetapi seringkali juga ditatahkan di atas logam atau kulit. Kaligrafi
adalah seni yang dihormati di antara berbagai seni rupa Islam, karena merupakan
alat utama untuk melestarikan Al-Qur'an. Salah satu bentuk penerapan kaligrafi
Islam sebagai seni hias adalah di Istana Al Hamra, Spanyol.