Makalah Presentasi Kelompok
-
Upload
ilham-akbar -
Category
Documents
-
view
240 -
download
7
description
Transcript of Makalah Presentasi Kelompok
MAKALAH
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR (ISBD)
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN
KLOMPOK VI :
M. Rendy M.R (125524007)Ferdiand Arif M (125525013)Ilham Akbar S (125524021)Diah Permata Sari (125524931)Tiara Margaretha (125524040)M. Rizqi Awaludin (125524009)
PENDIDIKAN TEKNIK MESIN / 2012
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2013
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN
A. Pendahuluan
Keragaman dapat diartikan dengan suatu hal yang “banyak
macamnya”, “beda” atara satu dan sifatnya tidak tunggal. Sedangkan
kesetaraan dapat diartikan sebagai “sama”,”tidak Berbeda” atau “sederajat”.
Ada tiga istilah yang digunakan secara bergantian untuk menggambarkan
masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa, dan budaya, yaitu pluralitas
(plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural).
Pluralitas (plurality) yaitu suatu konsep yang mengandalkan adanya “hal-hal
yang lebih dari satu”. Sisi lain dari pluralitas adalah kemajemukan yang
didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Karena itu, pluralitas tidak
dapat terwujud atau diadakan atau terbayangkan keberadaannya kecuali
sebagai objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum
seluruh dimensinya.
Pluralitas, sebagaimana halnya seluruh fenomena pemikiran, memiliki
sifat pertengahan, keseimbangan juga mempunyai sisi yang ekstern, baik
yang melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Pluralitas juga bisa
dianggap sebagai motivator dalam menghadapi ujian, cobaan, kesulitan
berkompetensi, dan berlomba-lomba dalam berkarya dan berinteraksi diantara
masing-masing pihak yang berbeda-beda dalam peradaban.
Istilah lain yang digunakan untuk masyarakat yang terdiri dari agama,
ras, bahasa, dan budaya yang berbeda, yakni keragaman (divercity) yang
menunjukkan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda,
heterogen dan bahwa tidak dapat disamakan. Furnivail adalah yang pertama
kali mengintrogasi konsep masyarakat majemuk pada waktu dia membahas
kebijakan dan praktek-praktek pemerintah jajahan di Indonesia. Konsep
multikulturalisme juga dapat dianggap sesuai dengan masalah-masalah
“perbedaan”, bahkan konsep ini juga mampu menjembatani perbedaa-
perbedaan yang muncul dari kemajemukan.
Dibandingkan dengan konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya
relatif baru. Menurut Bhiku Parekh (seperti dikutip oleh Siswarini dan
Kasijanto), baru sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di
Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan
negara lain. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas,
keragaman dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan
menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan
perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa maupun agama.
Menurut Suparlan, seperti dikutip oleh Siswarini dan Kasijanto
(2003), multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan-
perbedaan individual atau perorang dan perbedaan budaya. Perbedaan budaya
mendorong upaya terwujudnya keanekaragaman atau pluralisme budaya
sebagai corak kehidupan masyarakat yang mempunyai keanekaragaman
kebudayaan, yaitu yang saling memahami dan menghormati kebudayaan-
kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai kelompok minoritas.
Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat bangsa
dilihat sebagai memiliki sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum
(mainstream). Model kulturalisme ini bertentangan dengan model
monokulturalisme yang menekankan keseragaman atau kesatuan kebudayaan
dengan melalui proses penyatuan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda
kedalam sebuah kebudayaan yang dominan dan mayoritas. Dalam model
multikulturalisme penekanannya pada kesederajatan ungkapan-ungkapan
budaya yang berbeda-beda. Dalam masyarakat multibudaya atau
multikultural, setiap orang adalah multikulturalis, menurut Nathan Glazer
(seperti dikutip oleh Siswarini dan Kasijanto, 2003) karena setiap orang
mempunyai kebudayaan yang bukan hanya berasal dari kebudayaan asal atau
suku bangsa tetapi juga mempunyai kebudayaan yang berisikan kebudayaan-
kebudayaan dari suku bangsa sendiri atau bangsa lain.
Adalah Samuel P. Huntington yang meramalkan bahwa konflik antar
perbedaan di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi,
politik, dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah-masalah suku, agama,
ras dan antar golongan (SARA). Ada juga David C. Korten (1993) juga
mengemukakan ramalan bahwa ada bukti kuat sifat tindak kekerasan yang
terorganisir sedang berubah. Perang konvensional yang menghadapkan
tentara suatu negara melawan tentara negara lain, kini dengan cepat akan
menjadi suatu keanehan historis saja. Dalam peperangan kontemporer
semakin banyak perkelahian terjadi antara fraksi-fraksi agama, etnis, dan
politik yang memiliki batas negara dan kebangsaan yang sama.
Huntington mengemukakan enam alasan mengapa di masa mendatang
akan terjadi benturan antara perbedaan yaitu : (1) perbedaan antara peradaban
tidak hanya riil, tetapi juga mendasar; (2) dunia sekarang semakin meyempit;
(3) adanya proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia; (4) tumbuhnya
kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat; (5)
karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa berkompromi dibanding
karakteristik dan perbedaan sosial politik dan ekonomi; (6) regionalisme
ekonomi semakin meningkat.
Asumsi tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan pengamat dan
pakar politi, ekonomi, maupun budaya, ada yang menolak pendapat
Huntington karena menurutnya dengan berakhirnya perang dingin yang
terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat, tetapi justru perpecahan menuju
entitas yang lebih kecil lagi, serta menurut Donal K.Emerson memandang
bahwa kategorisasi dan polarisasi Huntington tidak mewakili ketegangan
antar perbedaan di dunia, yang hanya menyoroti kemungkinan semakin
parahnya ketegangan perbedaan Barat dan Islam.
B. Memahami Masyarakat Multikultural
Pemahaman terhadap multikulturalisme sendiri sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari pengertian kebudayaan. Karena kata kebudayaan itulah, yang
menjadi kunci pemahaman konsep multikulturalisme. Kebudayaan
merupakan sekumpulan nilai moral untuk meningkatkan derajat manusia dan
kemanusiaan. Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya
perbedaan dalam kesetaraan, baik secara individual maupun kelompok dalam
kerangka kebudayaan. Heterogenitas kekayaan budaya negara-bangsa
Indonesia selama ini terekatkan dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Dengan
kata lain, kekayaan budaya dapat bertindak sebagai faktor pemersatu, yang
sifatnya majemuk dan dinamis. Tidak ada kebudayaan Indonesia, bila bukan
terbentuk dari kebudayaan masyarakat yang lebih kecil. Sebagai sebuah
konsep, multikulturalisme menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil
yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial. Sehingga, bisa
menjamin rasa aman bagi masyarakat dan kelancaran tata kehidupan
masyarakat. Melihat kemajemukan Indonesia yang begituluasnya – terdiri
dari sedikitnya 500 suku bangsa, maka multikulturalisme hendaknya tidak
hanya sekadar retorika, tetapi harus diperjuangkan sebagai landasan bagi
tumbuh dan tegaknya proses demokrasi, pengakuan hak asasi manusia, dan
akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Upaya itu harus dilakukan
jika melihat berbagai konflik yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air,
beberapa waktu lalu. Konflik itu mengindikasikan belum tuntasnya
pembentukan masyarakat multikultural di Indonesia. Munculnya konflik antar
suku, misalnya, menunjukkan belum dipahaminya prinsip multikulturalisme
yang mengakui perbedaan dalam kesetaraan. Penanaman nilai-nilai
kesetaraan dalam perbedaan itulah yang senantiasa dilakukan secara aktif
baik oleh tokoh masyarakat, tokoh partai, maupun lembaga swadaya
masyarakat. Dengan demikian, pemahaman bahwa bangsa Indonesia
merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam kebudayaan harus menjadi
bagian tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesetaraan
setiap warga masyarakat dan dijaminnya hak masyarakat tradisional
merupakan unsur dasar dari prinsip demokrasi, yang terkandung pengakuan
terhadap kesetaraan dan toleransi terhadap perbedaan dalam kemajemukan.
C. Pluralitas Masyarakat Indonesia
Dalam skala lokal, Indonesia yang merupakan bagian dari dunia
global mengalami gejala pluralis etnis, agama, dan budaya. Indonesia sebagai
negara bangsa yang mempunyai karakteristik yang unik (Sunyoto
Usman,1992), yaitu merupakan negara yang pluralistic dilihat baik secara
vertikal maupun horizontal. Secara vertikal sruktur masyarakat Indonesia
ditandai oleh adanya polarisasi social berdasarkan kekuatan ekonomi dan
politik. Kontras demikian akan menempatkan dua kelompok masyarakat
seolah-olah dalam posisi saling berhadap-hadapan secara antagonistic.
Struktur masyarakat terpolarisasi menjadi sebagian besar orang yang secara
ekonomi dan politik lemah yang menempati lapisan bawah dan sebagian kecil
orang yang secara ekonomi dan politik kuat yang menempati lapisan atas.
Di bidang ekonomi, misalnya kita dapat menyaksikan dua macam
ekonomi yang berkembang dimasyarakat, yaitu sektor ekonomi modern yang
secara komersial lebih bersifat canggih (shopistacated), banyak bersentuhan
dengan lalu lintas perdagangan internasional, dan profit oriented, dan sektor
ekonimi tradisional yang bersifat konservatif, berorientasi untuk motif-motif
memelihara keamanan dan kelenggengan system sudah ada, tidak profit
oriented, serta kurang mampu mengusahakan pertumbuhan. Polarisasi
ekonomi secara historis telah berakar pada masa kolonial Belanda.
Perbedaan antara kedua sektor ekonomi tersebut secara intergral
berakar di dalam keseluruhan struktur masyarakat Indonesia yang
mengandung perbedaan yang tajam antara struktur masyarakat desa
tradisional. Jika sektor ekonomi modern terutama dijumpai di dalam
masyarakat kota, maka sektor ekonomi tradisional terutama dijumpai di
dalam masyarakat pedesaan. Struktur masyarakat demikian ditandai oleh
adanya gap di dalam hampir semua aspek kehidupan. Dalam kehidupan
sehari-hari kita dapat menyaksikan adanya jurang pemisah antara sejumlah
besar orang yang miskin dengan sejumlah kecil orang yang kaya raya, anata
sejumlah besar orang yang kurang berpendidikan dengan sejumlah kecil
orang yang berpendidikan, antara sejumlah besar orang yang hidup di desa
dengan sejumlah kecil orang yang hidup di kota, antara sejumlah besar orang
yang masih tradisional dengan sejumlah kecil orang yang modern.
Di dalam kehidupan politik kita juga dapat menyaksikan adanya
polarisasi yang seolah-olah membelah masyarakat Indonesia menjadi
duakelompok, yakni antara kelompok elit dan kelompok massa. Struktur
masyarakat demikian juga ditandai oleh adanya gap yaitu antara sejumlah
kecil orang yang memegang kekuasaan dengan sejumlah besar orang yang
tidak memiliki kekuasaan.
Secara horizontal, pluralitas masyarakat Indonesia ditandai oleh
adanya perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, dan kedaerahan.
Perbedaan-perbedaan di bidang kehidupan masyarakat tersebut yang
menandai masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk, seperti
dikonsepkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia
pada masa Hindia-Belanda. Dikatakan oleh Furnival, masyarakat Indonesia
pada masa Hindia-Belanda adalah merupakan masyarakat yang majemuk,
yakni suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan
politik. Masyarakat salam pengertian demikian merupakan suatu cirri
masyarakat daerah tropis di mana mereka yang berkuasa dengan mereka
yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Misalnya, struktur masyarakat
Indonesia pada masa Kolonial terdiri dari orang-orang Eropa, Timur Asing,
dan pribumi, yang masing-masing berasal dari ras yang berbeda.
Pada pascakemerdekaan pengertian masyarakat majemuk menurut
Furnivall haruslah direvisi, karena terdapat perubahan-perubahan dalam
struktur masyarakat Indonesia. Dengan “terlemparnya” orang-orang Eropa
dari struktur masyarakat, kemajemukan masyarakat Indonesia tidak terjadi
antara orang-orang Eropa, Timur Asing, dan Pribumi, melainkan terjasi
antarpribumi. Kemajemukan masyarakat Indonesia akan memperoleh arti
penting dilihat dari sukubangsa, agama, dan budaya.
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Secara geografis wilayah
Indonesia terbentang dari Sabang sampai Marauke. Sebagai negara
kepulauan, Indonesia terdiri dari sekitar delapanbelas ribu pulau, yang hampir
sebagaian besar dihuni oleh penduduk. Secara historis, kondisi geografis
demikian, memaksa penduduk di masing-masing pulau untuk hidup terpisah
dan masing-masing pulau untuk hidup terpisah daaan masing-masing
membentuk komunitas. Komunitas inilah yang membentuk kesatuan yang
disebut suku bangsa. Tiap kesatuan sukubangsa terdiri dari sejumlah orang
yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional serta memandang diri mereka
masing-masing sebagai suatu jenis tersendiri. Masing-masing sukubangsa
mengembangkan kepercayaan, adat istiadat dan bahasanya sendiri.
Kenyataanya geografis demikian melahirkan pluralitas di bidang
sukubangsa. Tentang berapa jumlah sukubangsa di Indonesia, ternyata
terdapat berbagai pendapat yang berbeda di antara para ahli ilmu
kemasyarakatan. Hildred Geertz, seperti dikutip oleh Usman (1992),
misalnya, menyebutkan adanya lebih dari 300 sukubangsa di Indonesia, yang
masing-masing mengembangkan bahasa dan identitas kultural yang berbeda-
beda. Skinner menyebutkan adanya lebih dari 35 sukubangsa di Indonesia,
masing-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama.
Sementara itu, menurut Suprlan (2001) arti lambang negara Bhineka
Tunggal Ika atau berbeda-beda namun tetap satu juga, mencerminkan
kenyataan aktual dari masyarakat Indonesia. Indonesia terdiri atas 500
sukubangsa, yang masing-masing mempunyai jati dii sukubangsa dan
kebudayaan dan meng-haki wilayah tempat hidup mereka. Anggota-anggota
dari setiap masyarakat sukubangsa hidup dalam komunitas-komunitas yang
pada dasarnya homogeny dengan masing-masing jatidiri sukubangsa dan
jatidiri budayanya di dalam batas-batas wilayah sendiri. Di tanah air sendiri
masyarakat sukubangsa setempat dengan kebudayaannya adalah dominan,
yang berfungsi sebagai seperangkat system acuan dalam mempedomani
anggota-anggota komunitas di dalam kegiatan-kegiatan setiap hari dan di
dalam cara mereka melihat dan memahami dunia sekeliling mereka dimana
mereka menjadi bagian dari dunia tersebut.
Letak Indonesia yang strategis yang berada diantara dua samudera,
yaitu Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik menjadi faktor yang
mempengaruhi pluralitas agama di masyarakat Indonesia. Letak strategis
tersebut menjadikan masyarakat Indonesia telah menjalin kontak dengan
pengaruh kebudayaan luar, yang dibawa oleh para pedagang asing. Pengaruh
yang pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia adalah pengaruh
kebudayaan Hindu dan Budha, yang masuk ke Indonesia kira-kira sejak tahun
400 setelah masehi. Pengaruh Hinduisme dan Budhaisme pada waktu itu telah
tersebar cukup luas di wilayah Indonesia serta lebur bersama-sama dengan
kebudayaan lokal. Setelah itu pada abad ke-13 pengaruh Islam masuk ke
Indonesia dan mencapai puncak perluasan pengaruhnya pada abad ke-15.
Pengaruh agama Islam pertama-tama memperoleh tempat berpijak pada
daerah-daerah di mana pengaruh agama Hindhu dan Budha tidak cukup kuat.
Kemudian meluas ke daerah-daerah lain yang sebelumnya pengaruh Hindhu
dan Budha cukup kuat, namun daerah seperti Bali pengaruh Islam tidak
cukup kuat.
Sementara itu pengaruh kebudayaan Barat mulai masuk ke Indonesia
melalui kedatangan bangsa Portugis pada permulaan abad ke-16. Bangsa
Portugis dalam kedatangannya membawa agama Katolik, yang memperoleh
tempat berpijak di daerah-daerah seperti Maluku. Ketika bangsa Belanda
berhasil mendesak Portugis ke luar dari daerah tersebut sekitar tahun 1600-an,
maka pengaruh agama Katolik segera digantikan oleh pengaruh agama
Kristen Protestan. Agama Katolik dan Kristen Protestan mempunyai
pengaruh yang cukup kuat terutama di wilayah Indonesia bagian Timur,
seperti Maluku, NTT, Irian Jaya, Sulawesi Utara, sebagian wilayah Indonesia
bagian Timur seperti Tapanuli, dan wilayah perkotaan.
D. Beberapa Kasus Konflik Di Indonesia
Menjelang peralihan abad ke-20 ke abad ke-21 bangsa Indonesia
dihadapkan pada serangkaian peristiwa konflik, yang terjadi diberbagai
daerah, seperti Jawa, Maluku, Poso, Mataram, Kupang, Papua, D.I.Aceh, dan
lainnya. Konflik dan kerusuhan yang telah memakan korban ribuan jiwa,
ribuan tempat tinggal, dan ratusan tempat ibadah tersebut telah meninggalkan
luka phisik dan psikisyang amat dama di kalangan mereka yang langsung
maupun tidak langsung, terlibat dalam berbagai konflik tersebut.
Berikut ini akan diuraikan pola-pola konflik yang dapat dikategorikan
sebagai konflik yang bernuansa SARA. Sejak runtuhnya pemerintahan
Soeharto beberapa daerah di Indonesia, seperti di Maluku, NTT, NTB,
Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah, dilanda konflik yang bernuansa
SARA. Tiga peristiwa konflik yang merupakan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi bekerjasama
dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) (Sihbudi dan Nurhasim,
2001) diantaranya adalah Kerusuhan di Kupang NTT, Kerusuhan di Sambas
Kalimantan Barat, Kerusuhan di Mataram NTB.
1. Kerusuhan di Kupang NTT
Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi yang pernah dilanda
kerusuhan berbau SARA ini, telah memiliki sebuah “laboratorium sosial”
yang berusaha menghindari gesekan antar umat beragama. Masyarakat
Agamis, Rukun Mengharum, demikian nama laboratorium itu, merupakan
visi NTT yang dicanangkan setahun yang lalu (2010). Visi itu menjadi
program kanwil Depag Setempat.
Kerusuhan di Kupang NTT terjadi pada tanggal 30 November
1998. Konflik ini merupakan kerusuhan yang disebabkan oleh masalah
tergesernya sumber ekonomi penduduk lokal oleh para pendatang, yang di
pengaruhi pula oleh konflik agama dan politik. Stereotip sering muncul
dan bahkan menimbulkan kebencian. Percepatan perkembangan ekonomi
kaum pendatang yang kemudian juga diikuti pekembangan agama Islam di
Kupang pada periode 1980-an hingga 1990-an menjadi sumber konlik
laten di Kupang semakin mengkristal. Percepatan perkembangan ekonomi
dan agama ini menimbulkan masalah baru yaitu adanya kesenjangan
antara penduduk asli dan pendatang.
Penduduk lokal yang mayoritas beragama Kristen protestan lebih
menyukai sektor birokrasi dibanding bergerak di bidang wiraswasta.
Akibatnya tingkat kesejahteraan ekonominya mengikuti dan tergantung
pada kenaikan gaji dari pemerintah. Selain itu banyak yang bertumpu di
sektor pertanian dan pertukangan, serta buruh tani. Tingkat pengangguran,
kemiskinan dan pemilikan modal antara penduduk asli dan pendatang
sangat jauh perbedaannya. Akibatnya semua ini terjadi perbandingan
terbalik antara pola penguasaan ekonomi dan perbandingan jumlah
penduduk.
Sumber masalah tersebut pada kenyataannya tidak berdiri
sendirikarena didalam masyarakat terdapat sejumlah sumber lain yang
berfungsi sebagai pemercepat ketegangan yaitu memori social antaretnik
dan suku serta agama dalam konflik-konflik historis diantara mereka di
masa lalu. Agama dan suku juga menjadi basis konflik dalam perebutan
kekuasaan dan brokrasi di Kupang. Selain itu kondisi hubungan sosial
antarsuku, agama, ras, dan golongan yang longgar dan rapuh juga ikut
mendorong ketegangan-ketegangan.
Ketika terjadi penumpukan atas sumber masalah dengan faktor-
faktor yang bersifat mempercepat, ditambah oleh adanya provokasi dari
luar, terutama kasus kerusuhan di ketapang, mengakibatkan benih-benih
konfliksemakin terbuka. Acara perkabungan yang diselenggarakan oleh
GEMA KRISTI di NTT, berubah menjadi kerusuhan, ketika isu-isu gelap
terjadi dalam susasana ketegangan sosial di Kupang yang sudah
memuncak. Isu tersebut adalah adanya berita yang menyebar luas bahwa
Gereja Katedral Agung Kupang dibakar oleh massa Muslim. Demikian
sebaliknya kelompok islam menerima kabar bahwa masjid at-Taqwa
(masjid tertua di Kupang) dibakar oleh massa Nasrani. Akibat itu semua
terjadilah saling menyerang diantara dua kelompok yang berbeda.
2. Kerusuhan di Sambas Kalimantan Barat
Sumber masalah: Konflik cultural antara etnik Dayak yang sudah
ber-langsung lama, Akumulasi tindakan kekerasan antar-etnik Madura
dengan Melayu Dayak, Hubungan antar-etnik lebih berwujud rivalitas dan
konflik.
Akselerator: Berkurangnya daya dukung lingkungan bagi
masyarakat asli (Dayak) seperti tanah yang tercemar, penebangan hutan
(HPH) yang merugikan masyarakat lokal, krisis ekonomi kemiskinan, dan
lainnya. Pergeseran sumber-sumber ekonomi vital di sambas kepada
pendatang (terutama penduduk yang beragama islam). Segregasi
pemukiman antara penduduk asli dan pendatang yang melebar.
Terganggunya interaksi antar etnik. Interaksi lebih berciri ke dalam, bukan
ke luar dan prasangka (kecurigaan) lebih tinggi dibandingkan dengan
harmonisasi. Ketidaktegasan aparat keamanan (polisi) terhadap
premanisme, tindak kekerasan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh
oknum beretnis Madura. Lambannya aparat keamanan dan birokrasi dalam
menangani konflik antaretnik. Ketidakpastian penegak hukum atau hukum
tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Politisasi etnik dalam perebutan
kekuasaan dan borokrasi lokal.
Pemicu atau penyulut: Tindak kekerasan: penganiayaan dan
pembunuhan etnik Madura terhadap etnik Melayu dan Dayak.
Kemungkinan adanya provokasi. Peranan media masa dalam pemberitaan
kerusuhan yang cenderung provokatif, tidak imbang yang memicu spirit
atas konflik lebih lanjut. Penyebaran isu melalui telepon genggam atas
perkembangan situasi konflik dan berita-berita yang menyesatkan.
Pengiriman bagian tubuh yang dimutilasi.
3. Kerusuhan di Mataram NTB
Kerusuhan yang terjadi di Mataram dan sekitarnya pada tanggal 17
Januari 200, disebabkan oleh provokasi dari para elit politik tertentu yang
menyebabkan terjadinya kerusuhan di wilayah tersebut, sebagai dampak
dari fanatisme agama pemeluknya. Secara terbuka, sebenarnya rivalitas
konflik berdimensi agama terjadi antara pemeluk Islam dan Hindu, tetapi
dalam kehidupan sehari-hari di Mataram pemeluk agama Hindu mamou
mengemas pola penyebaran agamanya secara rapi dan tidak mencolok,
sehingga tidak menimbulkan reaksi dari pihak mayoritas.
Sementara penyebaran agama Kristen dianggap sangat agresif,
dengan penonjolan pembangunan rumah-rumah ibadah di pusat-pusat
kota, yang menimbulkan kebencian mayoritas Islam terhadapnya. Kondisi
ini diperparah oleh adanya kesenjangan ekonomi antara penduduk local
yang umumnya muslim dan kaum pendatang yang umumnya nasrani.
Serta konflik ini juga turut dipercepat oleh ketidaksiapan aparat keamanan
dalam mengamankan acara Tabliq Akbar tanggal 17 Januari 2000,
disamping itu kerusuhan di Mataram juga dipicu atau disulut oleh seorang
penceramah yang memprovokasi massa pada acara Tabliq Akbar tersebut.
MATRIK PERBANDINGAN ANATOMI KONFLIK SAMBAS, KUPANG
DAN MATARAM (AKAR MASALAH, AKSELERATOR, DAN
PEMICUNYA)
KATEGOR
I
KUPANG (NUSA
TENGGARA
TIMUR)
MATARAM (NUSA
TENGGARA
BARAT)
SAMBAS
KALIMANTAN
BARAT)
Sumber
Masalah
Rivalitas sumber
ekonomi antara
pendatang dan
penduduk asli.
Pengangguran
penduduk asli yang
tinggi.
Kemiskinan
penduduk asli yang
hampir 60%.
Ketimpangan
modal antara
penduduk asli dan
pendatang.
Kecemburuan
Provokasi para
provokator dari
luar dan dari NTB
pada Aksi
Solidaritas untuk
kasus Ambon.
Konflik elit pusat
yang berimbas ke
daerah.
Fanatisme
kehidupan di satu
sisi, di sisi lain ada
gejala agama lain
melakukan
agresivitas
Konflik cultural antara
etnik Dayak yang sudah
ber-langsung lama.
Akumulasi tindakan
kekerasan antar-etnik
Madura dengan Melayu
Dayak.
Hubungan antar-etnik
lebih berwujud rivalitas
dan konflik.
sosial penduduk
asli terhadap
pendatang.
penyebaran agama.
Berlarut-larutnya
konflik Ambon –
Maluku.
Akselerator Pertarungan etnik
dan agama dalam
sejarah social
NTT.
Politisasi dan
Persaingan agama
dalam perebutan
kekuasaan
Masalah
keamanan,
kriminalitas dan
perkelahian
pemuda
(premanisme)
Masalah
pengungsi yang
tidak segera
diatasi, memicu
konflik dengan
penduduk asli.
Tidak siapnya
aparat keamanan
mengantisipasi
keadaan pra dan
pada saat
kerusuhan.
Kondisi hubungan
Penarikan
Pamswakarsa
(Pasukan Amphibi)
dari rencana awal
untuk
mengamankan
acara Tabliq Akbar
di Mataram.
Kesenjangan sosial
ekonomi
khususnya antara
pendatang dengan
penduduk asli.
Perubahan
kebijakan di tubuh
TNI – Polri
mengakibatkan
saling lempar
tanggungjawab
terhadap kemanan
di Mataram.
Kurangnya
koordinasi antara
TNI dan Polri
dalam menghadapi
ancaman
kerusuhan massa.
Berkurangnya daya
dukung lingkungan bagi
masyarakat asli (Dayak)
seperti tanah yang
tercemar, penebangan
hutan (HPH) yang
merugikan masyarakat
lokal, krisis ekonomi
kemiskinan, dan lainnya.
Pergeseran sumber-
sumber ekonomi vital di
sambas kepada
pendatang (terutama
penduduk yang
beragama islam).
Segregasi pemukiman
antara penduduk asli dan
pendatang yang melebar.
Terganggunya interaksi
antar etnik. Interaksi
lebih berciri ke dalam,
bukan ke luar dan
prasangka (kecurigaan)
lebih tinggi
dibandingkan dengan
harmonisasi.
Ketidaktegasan aparat
antara SARA
yang rapuh di
Indonesia
menyebabkan
longgarnya
hubungan sosial
ditingkat nasional
dan lokal.
Tersumbatnya jalur
komunikasi antara
masyarakat dan
pemimpin (baik
formal maupun
informal)
Pola pemukiman
yang cenderung
atas dasar
pengelompokan
etnis, rias dan
golongan,
khususnya antara
warga Hindu-Bali
dan Muslim Sasak,
berkaitan dengan
akar sejarah yang
rivalitas
keagamaan yang
panjang.
keamanan (polisi)
terhadap premanisme,
tindak kekerasan, dan
pembunuhan yang
dilakukan oleh oknum
beretnis Madura.
Lambannya aparat
keamanan dan birokrasi
dalam menangani
konflik antaretnik.
Ketidakpastian penegak
hukum atau hukum tidak
ditegakkan sebagaimana
mestinya.
Politisasi etnik dalam
perebutan kekuasaan dan
borokrasi lokal.
Pemicu atau
Penyulut
Acara
perkabungan yang
berubah menjadi
anarki massa dan
kerusuhan
Isu pembakaran
gereja dan masjid
(Provokator)
Kerusuhan
ketapang yang
menyebar ke
Munculnya seorang
penceramah
berinisial IS yang
membuat suasana
Tabliq Akbar
menjadi panas dan
gaduh, karena isi
ceramahnya
cenderung
memprovokasi.
Tidak dimuatnya
Tindak kekerasan:
penganiayaan dan
pembunuhan etnik
Madura terhadap etnik
Melayu dan Dayak.
Kemungkinan adanya
provokasi.
Peranan media masa
dalam pemberitaan
kerusuhan yang
cenderung provokatif,
Kupang dengan
isu-isu yang
menyesatkan.
surat balasan pihak
gereja atas surat
ancaman terhadap
nasrani yang tidak
mendukung acara
tabliq akbar.
tidak imbang yang
memicu spirit atas
konflik lebih lanjut.
Penyebaran isu melalui
telepon genggam atas
perkembangan situasi
konflik dan berita-berita
yang menyesatkan.
Pengiriman bagian tubuh
yang dimutilasi.
Beberapa kondisi sosial-budaya primer dalam masyarakat, yang membuat
suatu masyarakat rawan terhadap perluasan skala dan akibat dari konflik dan
kerusuhan massal yang mungkin terjadi adalah: (1) terdesaknya akses kelompok
tertentu ke kuasaan dan sumber daya; (2) Keterdesakan terjadi melalui proses
yang dianggap tidak adil atau curang; (3) Penguasa baru atas akses dan sumber
daya adalah pendatang; (4) Para pendatang berbeda suku, agama, dan ras; (5)
Etnosentrisme dan aksklusivisme.
Kondisi-kondisi sosial-budaya sekunder ini dapat mengenai sistem politik
lokal dan nasional, kebijakan pembangunan, sistem budaya nasional, dan
sebagainya, yang sepintas lalu tidak tampak kaitannya dengan konflik dan
kerusuhan yang terjadi, tetapi sebenarnya memberikan sumbangan yang tidak
kecil terhadap terciptanya kondisi-kondisi primer yang ada. Kondisi-kondisi
sekunder tersebut antara lain: (1) Rasa keadilan masyarakat setempat tidak
terpenuhi; (2) Aparat pemerintahan yang tidak peka terhadap kondisi genting
masyarakat; (3) Aparat pemerintahan yang memihak / mengutamakan salah satu
kelompok; (4) Kesadaran kesatuan bangsa yang masih lemah; (5) Pengetahuan
budaya lokal yang masih kurang.
DAFTAR PUSTAKA
Tim ISBD Unesa. 2008. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Surabaya. Unesa
University Press.
Nolayuliani. 2012. Keragaman Manusia.
http://nolayuliani.blogspot.com/2012/11/makalah-isbd-keragaman-kemajemukan-
dan.html. Akses 11 September 2013.
Wulanhandika. 2013. Manusia Keragaman dan Kesetaraan.
http://wulanhandika09.blogspot.com/2013/03/isbd-manusakeragaman-dan-
kesetaraan_27.html. Akses 11 September 2013.
Anonim. 2013. Kerusuhan di Mataram.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Mataram. Akses 11 September 2013.
Anonim. 2013. Kerusuhan di Kupang NTT.
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/11/30/0022.html. Akses 11
September 2013