Makalah HAM

180
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan ketenagakerjaan 1 merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia hingga saat ini. Krisis ketenagakerjaan di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an hingga saat ini. Penyebab utama dan krusial dalam permasalahan ketenagakerjaan yaitu adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja yang membawa implikasi adanya kelangkaan kesempatan kerja yang menyebabkan angka pengangguran yang terus membengkak. Pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri merupakan salah satu cara yang diambil pemerintah dalam mengatasi permasalahan membengkaknya pengangguran, dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung, 1 Pengertian ketenagakerjaan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. 1

description

Hukum Asasi Manusia

Transcript of Makalah HAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan ketenagakerjaan merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia hingga saat ini. Krisis ketenagakerjaan di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an hingga saat ini. Penyebab utama dan krusial dalam permasalahan ketenagakerjaan yaitu adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja yang membawa implikasi adanya kelangkaan kesempatan kerja yang menyebabkan angka pengangguran yang terus membengkak.

Pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri merupakan salah satu cara yang diambil pemerintah dalam mengatasi permasalahan membengkaknya pengangguran, dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri telah menjadi secercah harapan baru bagi pencari kerja di dalam negeri, mengingat kesempatan kerja di luar negeri sangat terbuka lebar dan banyak menarik minat angkatan kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri dimana pada awalnya mobilitas buruh migran Indonesia terjadi dengan sendirinya.

Tangan-tangan buruh migran baik laki-laki maupun perempuan berada di balik pembangunan gedung-gedung tinggi, pertumbuhan produksi pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan, riuhnya pasar, serta kelangsungan pekerjaan domestik rumah tangga di kota-kota besar dunia. Kedatangan buruh migran pada suatu negara tidak dapat dipisahkan dari adanya permintaan atas buruh migran dari negara tersebut, seperti California di kawasan Amerika, Spanyol di benua Eropa, Arab Saudi untuk wilayah Timur Tengah, dan Malaysia di kawasan Asia.

Saat ini terdapat kurang lebih enam juta tenaga kerja Indonesia (selanjutnya disebut buruh migran) yang tersebar di lebih dari 140 (seratus empat puluh) negara. Buruh migran tersebut merupakan aset bangsa karena memiliki keinginan untuk mengubah nasib. Namun aset negara yang di dominasi oleh kaum perempuan ini sering kali menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia, baik sebelum menjadi buruh migran, pada saat menjadi buruh migran, hingga setelah kembali ke Indonesia. Beberapa kasus yang cukup banyak menyita perhatian dunia dialami oleh kaum perempuan, misalnya seperti kasus penyiksaan yang dialami Erwiana Sulistyaningsih di Hong Kong dan Sihatul Alfiah di Taiwan, atau seperti kasus Ruyanti binti Satubi yang harus mengalami hukuman penggal di Arab Saudi karena membunuh majikan, atau Siti Zaenab yang sedang menungggu hukuman penggal di Arab Saudi karena diduga membunuh majikannya, atau seperti yang dialami buruh migran perempuan yang berusia 25 (dua puluh lima) tahun yang telah diperkosa oleh 3 (tiga) orang oknum Kepolisian Malaysia.

Banyaknya pelanggaran hak asasi buruh migran tersebut sangat mengkhawatirkan. Hal ini sangat membutuhkan peranan Pemerintah dan seluruh pihak terkait untuk melakukan perlindungan. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah seharusnya negara mengatur dan melindungi warga negaranya. Tugas negara tersebut dapat dilihat pula dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Wacana mengenai hak asasi manusia bukanlah hal asing dalam diskursus politik dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran-pemikiran yang timbul pada masa pergerakan kemerdekaan yang menjadi sumber inspirasi dalam penyusunan konstitusi. Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi manusia, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Namun dalam periode-periode tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan dalam konstitusi. Akhirnya setelah melewati perjuangan yang cukup lama hingga datangnya periode Reformasi (tahun 1998-2000), hak asasi manusia menjadi salah satu materi yang dituangkan dalam konstitusi yang berekses dalam lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk menganalisis instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak asasi buruh migran khususnya buruh migran perempuan serta bentuk perlindungannya.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang penulisan di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini, yaitu:

1. Apakah instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak asasi buruh migran perempuan?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hak asasi buruh migran perempuan Indonesia?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh Penulis agar dapat menyajikan data akurat sehingga dapat memberi manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan obyektif dan tujuan subyektif sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak asasi buruh migran perempuan.

b. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hak asasi buruh migran perempuan Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan Penulis di bidang Hukum Tata Negara khususnya mengenai instrumen hukum dan bentuk perlindungan hak asasi buruh migran perempuan.

b. Memenuhi persyaratan akademis guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Asasi Manusia pada Peminatan Hukum Kenegaraan (Sore) Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

D. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1. Kerangka Teori

a. Hak Asasi Manusia

1) Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia yang merupakan terjemahan dari human rights, dipahami secara umum (universal) sebagai hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia (orang) sejak ia dilahirkan sebagai anugerah Tuhan. Karena itu, hak asasi manusia merupakan hak-hak yang melekat dengan kodrat orang sebagai manusia yang apabila hak-hak itu tidak ada akan mustahil orang dapat hidup sebagai manusia.

Berkaitan dengan pemahaman bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia antara lain menyatakan pemahaman hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:

a) Hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada pebedaan. Mengingat hak dasar merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka pengertian hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.

b) Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian atau perampasannya, mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh.

c) Bangsa Indonesia menyadari bahwa hak asasi manusia bersifat historis dan dinamis yang pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sejumlah ciri khusus dan utama hak asasi manusia adalah sebagai berikut:

d) Hakiki, yaitu hak asasi ada pada setiap diri manusia sebagai makhluk Tuhan;

e) Universal, yaitu hak asasi tersebut berlaku untuk semua orang;

f) Permanen, yaitu hak asasi melekat terus pada diri manusia seumur hidup dan tidak dapat dicabut oleh siapapun; dan

g) Tidak dapat dibagai, yaitu hak asasi utuh dalam diri setiap manusia.

Pada setiap hak melekat kewajiban. Oleh karena itu, selain ada hak asasi manusia, juga ada kewajiban asasi manusia yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksananya atau tegaknya hak asasi manusia. Dalam menggunakan hak asasi manusia, setiap orang wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.

2) Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Secara historis, keinginan untuk menegakkan hak dan persamaan sering diungkapkan sebagai salah satu aspek kemerdekaan. Paham kemerdekaan dan persamaan timbul dalam kehidupan kenegaraan sebagai reaksi terhadap paham absolutisme, yaitu paham dimana kekuasaan dalam negara secara mutlak berada dalam tangan seseorang atau satu badan.

Perjuangan untuk mengukuhkan gagasan hak asasi manusia dimulai segera setelah ditandatanganinya Magna Charta (Piagam Agung), yang memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kekuasaan raja, pada tanggal 15 Juni 1215 (abad XIII) oleh Raja John Lackbland (Inggris), namun sebenarnya peletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak-hak asasi manusia telah dilakukan oleh filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348) yang menganjurkan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Dalam perkembangan selanjutnya, Socrates (348-332 SM) secara lebih tegas mengajarkan bahwa pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.

Magna Charta merupakan dokumen resmi kenegaraan yang pertama kali diterbitkan di dunia yang atas dasar hak-hak asasi manusia dirumuskan (disepakati) pengaturan hubungan antara raja, kaum bangsawan dan warga negara. Dengan demikian, Inggris menjadi negara yang secara bertahap menginisiasi pengakuan dan pengaturan hak asasi manusia dalam dokumen-dokumen resmi kenegaraan, dan karena itu juga memberi pengaruh kepada penyelenggara dan penegakkan hak-hak asasi manusia secara umum di banyak negara lain.

Mengikuti Inggris, kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 1776 yang dinyatakan dalam Declaration of Independece of the United Sates, misalnya, menjadikan Amerika Serikat sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, selain juga terinspirasi oleh pemikiran filosof John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam (natural rights) seperti hak atas hidup, kebebasan dan milik, menempatkan secara tegas hak-hak asasi manusia karena mengandung pernyataan: bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama sederajat oleh Maha Pencipta; bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan dan kebebasan untuk menikmati kebahagiaan. Selanjutnya, perkembangan penyelenggaraan hak asasi manusia di Amerika Serikat diperjuangkan secara terus menerus oleh para pemimpin dan masyarakatnya. Dari Amerika Serikat ini, misalnya dikenal tokoh-tokoh pejuang dan penegak hak asasi manusia sperti Thomas Jefferson, Abarham Lincoln, Woodrow Wikso, Franklin D. Roosevelt dan Jimmy Carter.

Pada saat Revolusi Perancis (1789) dikumandangkan semboyan yaitu: liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Dalam sejarah mulai lahir naskah-naskah yang menetapkan bahwa terdapat beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia. Naskah tersebut bermula dari pemikiran yang diilhami Hugo Grotius, Thomas Hobbes, John Locke, dan JJ. Rouseau. Naskah-naskah tersebut antara lain Bill of Rights pada tahun 1689 di Inggris dan di Amerika Serikat Bill of Rights lahir pada tahun 1789. Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad XX Franklin D. Roosvelt mengemukakan The Four Freedeom yang terdiri dari freedom of speech, freedom of religion, freedom from fear, dan freedom from want. Setelah Perang Dunia II berakhir dengan segala akibatnya bagi peradaban dan kehidupan manusia dan yang menampilkan negara-negara nazi dan fasis maka oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam muktamarnya di Paris tahun 1948 ditetapkan naskah Universal Declaration of Human Rights.

Perkembangan penyelenggaran hak asasi manusia mengerucut pada pemahaman yang universal setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1946, organisasi kerjasama untuk sosial ekonomi (yang terdiri dari 18 (delapan belas) anggota negara) Perserikatan Bangsa-Bangsa (Perserikatan Bangsa-bangsa di bentuk pada tanggal 24 Oktober 1945) mulai menyusun rancangan piagam hak asasi manusia. Kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (Commission of Human Rights), yang memulai sidang pertamanya pada Januari 1947 yang dipimpin oleh Ny. Weleanor D. Roosevelt. Tetapi, baru 2 (dua) tahun kemudian, tepatnya tanggal 10 Desember 1948, sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris-Perancis, menerima hasil kerja Komisi tersebut, yang dinyatakan secara resmi dalam Universal Declaration of Human Rights yang terdiri dari 30 (tiga puluh) pasal. Beberapa pasal utama dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut menyatakan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut:

a) Hak untuk kebebasan dan persamaan merupakan hak yang diperoleh manusia sejak lahir dan tidak dapat dicabut darinya, dan karena manusia merupakan makhluk rasional dan bermoral, ia berbeda dengan makhluk lainnya di bumi, dan karenanya berhak untuk mendapatkan hak dan kebebasan tertentu yang tidak dinikmati makhluk lain.

b) Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan.

c) Setiap orang mempunyai hak:

(1) Hidup;

(2) Kemerdekaan dan keamanan badan;

(3) Diakuinya kepribadiannya;

(4) Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah;

(5) Masuk dan keluar wilayah suatu negara;

(6) Mendapatkan suaka (asylum);

(7) Mendapatkan suatu kebangsaan (kewarganegaraan);

(8) Mandapatkan hak milik atas benda;

(9) Bebas menyuarakan pikiran perasaan;

(10) Bebas memeluk agama;

(11) Mengeluarkan pendapat;

(12) Berapat dan berkumpul;

(13) Mendapat jaminan sosial;

(14) Mendapat pekerjaan;

(15) Berdagang;

(16) Mendapat pendidikan;

(17) Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat;

(18) Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan;

(19) Mendapat persamaan perlakuan di depan hukum;

(20) Memilih dan dipilih.

Berdasarkan hasil rumusan Kongres Athena tahun 1955 dari The Commision of Jurist tentang kondisi-kondisi minimum yang harus ada dalam suatu sistem hukum dimana hak asasi dan human dignity dihormati, yaitu:

a) kemampuan pribadi harus dijamin;

b) tidak ada hak-hak fundamental yang ditafsirkan dengan tujuan untuk membatasi dan meniadakan hak-hak fundamental itu;

c) setiap orang harus dijamin kebebasan menyatakan pendapatnya melalui semua media komunikasi, terutama pers;

d) kehidupan pribadi orang haruslah tidak dapat dilanggar, rahasia surat menyurat haruslah dijamin;

e) kebebasan beragama harus dijamin;

f) hak untuk mendapatkan pengajaran harus dijamin kepada semua orang tanpa adanya diskriminasi; dan

g) setiap orang berhak untuk kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai dan terutama untuk menjadi anggota dari suatu partai politik yang dipilihnya sendiri.

Perkembangan penyelenggaraan hak asasi manusia tidak berhenti pada Universal Decalaration of Human Rights tersebut, melainkan bergerak terus menerus dalam cakupan substansinya seiring dengan perkembangan masyarakat bangsa-bangsa pada umumnya. Karena itu sampai dengan saat ini dikenal pembabakan perkembangan hak asasi manusia di dunia internasional yang secara umum dibedakan dalam 3 (tiga) generasi perkembangan konsep hak asasi manusia, yaitu:

a) Generasi I

Generasi yang tergolong dalam hak-hak sipil dan politik, terutama yang berasal dari teori-teori kaum reformis yang dikemukakan pada abad ke-17 dan abad ke-18, yang berkaitan dengan revolusi-revolusi Inggris, Amerika, dan Perancis. Hak-hak yang termasuk dalam generasi I ini dirumuskan dalam Pasal 2 Pasal 21 Universal Declaration of Human Rights.

b) Generasi II

Generasi yang tergolong dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang berakar secara utama pada tradisi sosialis yang membayang-bayangi di antara Saint-Simonians pada awal abad ke-19 Perancis dan secara beragam diperkenalkan melalui perjuangan revolusioner gerakan-gerakan kesejahteraan setelah itu. Generasi ini merupakan suatu respon terhadap pelanggaran-pelanggaran dan penyelewengan-penyelewengan dari perkembangan kapitalis dan yang menggarisbawahinya, tanpa kritik yang esensial, konsepsi kebebasan individual yang mentoleransi bahkan melegitimasi, eksploitasi kelas pekerja dan masyarakat kolonial. Hak-hak yang termasuk dalam generasi II ini dirumuskan dalam Pasal 22 Pasal 27 Universal Declaration of Human Rights.

c) Generasi III

Generasi yang mencakup hak-hak solidaritas (solidarity rights) merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi hak asasi manusia sebelumnya. Generasi ini dapat dipahami dengan cara terbaik sebagai suatu produk sekalipun satu masih dalam pembentukan dari kebangkitan dan kejatuhan negara bangsa dalam paruh kedua dari abad ke-20. Hak-hak yang termasuk dalam generasi III ini dirumuskan dalam Pasal 28 Universal Declaration of Human Rights.

3) Pembagian Kelompok Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:

a) Hak-hak asasi negatif atau liberal

Hak asasi negatif atau liberal diperjuangkan oleh kaum liberalisme yang pada hakikatnya ingin melindungi kehidupan pribadi manusia terhadap campur tangan negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Hak-hak asasi itu berdasarkan kebebasan dan individu untuk mengurus diri sendiri dan karena itu disebut hak-hak kebebasan. Hak-hak yang termasuk pada hak asasi negatif atau liberal antara lain hak atas hidup, keutuhan jasmani, kebebasan bergerak, dan lain-lain. Dasar etis hak-hak asasi negatif adalah tuntutan agar otonomi setiap orang atas dirinya sendiri dihormati. Tidak ada orang atau lembaga yang begitu saja berhak untuk menentukan bagaimana orang lain harus mengurus diri.

b) Hak-hak asasi aktif atau demokratis

Kelompok hak-hak asasi aktif atau demokratis diperjuangkan oleh kaum liberal atau republikan. Dasar hak-hak tersebut adalah keyakinan akan kedaulatan rakyat yang menuntut agar rakyat memerintahi diri sendiri dan setiap pemerintah berada di bawah kekuasaan rakyat. Hak-hak itu disebut aktif karena merupakan hak atas suatu aktifitas manusia, yaitu hak untuk ikut menentukan arah perkembangan masyarakat.

c) Hak-hak asasi positif

Hak-hak asasi positif menuntut prestasi-prestasi tertentu dari negara. Ada pelayanan-pelayanan yang wajib diberikan oleh negara kepada masyarakat. Hak utama adalah hak atas perlindungan hukum. Hak-hak positif tidak diperjuangkan oleh salah satu aliran historis tertentu melainkan untuk sebagian sudah merupakan keyakinan tentang tugas dan kewajiban negara. Paham hak positif berdasarkan anggapan bahwa negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan merupakan lembaga yang diciptakan dan dipelihara oleh masyarakat untuk memberikan pelayanan-pelayanan tertentu. Menurut paham ini pelayanan negara terhadap masyarakat bukanlah suatu anugerah yang harus dimohonkan oleh masyarakat, melainkan masyarakat berhak untuk menuntut. Salah satu implikasi hak atas perlindungan hukum dan pelayanan oleh negara pada umumnya adalah bahwa tidak boleh ada masyarakat yang tidak mendapat pelayanan itu hanya karena dia terlalu miskin untuk membayar biaya.

d) Hak-hak asasi sosial

Hak asasi sosial merupakan perluasan paham tentang kewajiban negara yang merupakan hasil kesadaran yang tumbuh pada kaum buruh dalam perjuangan mereka melawan borjuasi untuk memperoleh hasil kerja yang wajar. Hak asasi sosial mencerminkan bahwa setiap anggota masyarakat berhak atas bagian yang adil dan harta benda material dan kultural bangsanya dan atas bagian yang wajar dari hasil nilai ekonomis yang terus menerus diciptakan oleh masyarakat sebagai keseluruhan melalui sistem-sistem pembagian kerja sosial.

4) Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia

Prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah menjiwai perjanjian internasional antara lain prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi, dan kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara yang digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu, dengan penjelasan sebagai berikut:

a) Prinsip kesetaraan

(1) Definisi dan pengujian kesetaraan

Hal yang sangat fundamental dari hak asasi manusia kontemporer adalah ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia.

(2) Tindakan afirmatif (diskriminasi positif)

Masalah muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama. Tindakan afirmatif mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili.

b) Prinsip diskriminasi

(1) Definisi dan pengujian diskriminasi

Diskriminasi adalah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama/setara.

(2) Diskriminasi langsung dan tidak langsung

Diskriminasi langsung adalah ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung diperlakukan dengan beda (less favourable) daripada lainnya. Diskriminasi tidak langsung muncul ketika dampak dari hukum atau dalam praktek hukum merupakan bentuk diskriminasi, walaupun hal itu tidak ditujukkan untuk tujuan diskriminasi.

(3) Alasan diskriminasi

Hukum hak asasi manusia internasional telah memperluas alasan diskriminasi. Universal Declaration of the Human Rights (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia) menyebutkan beberapa alasan diskriminasi antara lain ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasional atau kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda (property), kelahiran atau status lainnya. Semua hal itu merupakan alasan yang tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya orientasi seksual, umur, dan cacat tubuh.

c) Kewajiban positif untuk melindungi hak-hak tertentu

Menurut hukum hak asasi manusia internasional, suatu negara tidak boleh sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan.

Untuk kebebasan berekspresi, sebuah negara tidak boleh memberikan kebebasan dengan memberikan sedikit pembatasan. Satu-satunya pembatasan adalah suatu hal yang secara hukum disebut sebagai pembatasan-pembatasan. Untuk hak hidup, negara tidak boleh menerima pendekatan yang pasif. Negara wajib membuat aturan hukum dan mengambil langkah-langkah guna melindungi hak-hak dan kebebasan-kebebasan secara positif yang dapat diterima oleh negara. Karena alasan inilah, negara berkewajiban membuat aturan hukum yang melanggar pembunuhan untuk mencegah aktor non negara (non state actor) melanggar hak untuk hidup. Penekanannya adalah bahwa negara harus bersifat proaktif dalam menghormati hak untuk hidup dan bukan bersikap pasif.

b. Buruh Migran atau Tenaga Kerja Indonesia

1) Pengertian Tenaga Kerja

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja dapat ditempatkan di dalam negeri maupun di luar negeri.

Selain pengertian tersebut, terdapat beberapa definisi menurut ahli hukum diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Imam Soepomo yang memberikan pengertian tenaga kerja sangat luas yaitu tenaga kerja adalah meliputi semua orang yang mampu dan dibolehkan melakukan pekerjaan, baik yang sudah mempunyai pekerjaan, dalam hubungan kerja atau sebagai swa-pekerja maupun yang belum atau tidak mempunyai pekerjaan.

b) Payman Simanjuntak yang memberikan pengertian yaitu tenaga kerja (manpower) adalah penduduk yang sudah atau sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang meliputi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari golongan yang bekerja dan golongan yang menganggur atau sedang mencari pekerjaan. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari golongan yang bersekolah, yang mengurus rumah tangga dan golongan lain-lain atau penerima pendapatan.

2) Pengertian Buruh

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi mengenai buruh yaitu bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Berbeda dengan pendapat Soepomo, ia memisahkan antara definisi pekerja dengan buruh. Definisi pekerja menurutnya adalah tiap orang yang melakukan pekerjaan, baik dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja. Sedangkan definisi buruh adalah barang siapa yang bekerja pada majikan dan menerima upah.

3) Pengertian Tenaga Kerja Indonesia/buruh migran

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, memberikan definisi bahwa tenaga kerja Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

Perlindungan buruh migran menyangkut pemenuhan hak-hak dasar buruh atau jaminan untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak, kebebasan berorganiasi, hak menentukan upah, hak atas jaminan kesehatan, hak untuk memperoleh penyelesaian perselisihan yang adil dan demokratis. Tujuan perlindungan terhadap buruh migran/tenaga kerja Indonesia adalah menjamin dan melindungi buruh migran/tenaga kerja Indonesia sejak di dalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia serta meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja Indonesia dan keluarganya.

Hak buruh migran diatur dalam Konvensi Perlindungan Buruh Migran. Adapun hak-hak yang diatur di dalamnya, yaitu:

a) Pekerja migran dan anggota keluarganya harus bebas untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negara asal mereka. Hak ini tidak boleh dibatasi kecuali sebagaimana ditentukan oleh hukum, diperlukan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum (order public), kesehatan dan moral umum, atau hak dan kebebasan-kebebasan orang-orang lain, yang sesuai dengan hak yang lain yang diakui dalam konvenan ini.

b) Buruh migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk memasuki dan tinggal di negara asalnya setiap waktu.

c. Perlindungan Hukum

1) Pengertian Perlindungan Hukum

Secara gramatikal, perlindungan adalah tempat berlindung atau hal (perbuatan) memperlindungi. Memperlindungi adalah menyebabkan berlindung. Sedangkan arti berlindung meliputi: (1) menempatkan dirinya supaya tidak terlihat, (2) bersembunyi, atau (3) minta pertolongan. Sementara itu, pengertian melindungi meliputi (1) menutupi supaya tidak terlihat atau tampak, (2) menjaga, merawat, atau memelihara, (3) menyelamatkan atau memberikan pertolongan.

2) Bentuk Perlindungan Hukum

Secara teoritis, bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu perlindungan yang bersifat preventif dan perlindungan yang bersifat represif. Perlindungan hukum yang bersifat preventif adalah perlindungan hukum yang sifatnya pencegahan. Perlindungan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga, perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.

Perlindungan hukum yang bersifat represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara pasrial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 2 (dua) badan, yaitu pengadilan umum dalam lingkup peradilan umum dan instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.

Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Di dalam peraturan perundang-undangan telah ditentukan bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada masyarakat atas adanya kesewenang-wenangan dari pihak lainnya, baik itu penguasa, pengusahan, maupun orang yang mempunyai ekonomi lebih baik dari pihak korban. Pada prinsipnya, perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah selalu dikaitkan dengan perlindungan terhadap hak-hak pihak yang lemah atau korban. Peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat antara lain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2. Kerangka Konsep

Untuk memberikan gambaran hubungan antara konsep-konsep khusus yang diteliti dan agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian dari konsep-konsep tersebut, yaitu:

a. Calon Tenaga Kerja Indonesia

Calon Tenaga Kerja Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

b. Buruh Migran/Tenaga Kerja Indonesia

Buruh migran/Tenaga Kerja Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang memenudi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

c. Perlindungan Buruh Migran/Tenaga Kerja Indonesia

Perlindungan buruh migran/Tenaga Kerja Indonesia adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon Tenaga Kerja Indonesia atau buruh migran/Tenaga Kerja Indonesia dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian guna mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, juga akan mempermudah pengembangan data, sehingga penyusunan penulisan hukum ini sesuai dengan metode ilmiah. Metode dalam penulisan ini dapat diperinci sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti yaitu dalam hal instrumen hukum yang mengatur mengenai perlindungan hak asasi buruh migran perempuan serta bentuk perlindungannya.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di perpustakaan antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Perpustakaan Kementerian Sekretariat Negara dengan melakukan studi kepustakaan untuk memperoleh bahan-bahan yang dibutuhkan, hal ini sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini, yaitu jenis penelitian normatif.

3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Menurut Soerjono Soekanto, maksud penelitian bersifat deskriptif ini adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori atau dalam kerangka menyusun teori baru. Dalam penulisan hukum ini, khususnya akan dibahas mengenai instrumen hukum yang mengatur mengenai perlindungan hak asasi buruh migran perempuan serta bentuk perlindungannya.

4. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan histories (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang yang dimaksud adalah menelaah undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang diangkat, dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan buruh migran, antara lain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri oleh Pemerintah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.

5. Sumber Penelitian Hukum

Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hukum sekunder. Menurut Amirudin dan Zainal Asikin data sekunder terbagi menjadi:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer berupa:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen Kedua

2) Universal Declaration of Human Rights

3) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik

4) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

5) Convention of the Elimination of All Form of Discrimination Against Women

6) Declaration on the Elimination of Violance Againts Woman

7) Protokol Opsional terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

8) Konvensi-Konvensi International Labour Organization

9) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

10) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

11) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;

12) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;

13) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri oleh Pemerintah;

14) Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

15) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penilaian dan Penetapan Mitra Usaha dan Pengguna Perseorangan

16) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan penelitian hukum yang digunakan buku-buku yang terkait dengan materi/bahasan yang penulis gunakan yaitu buku yang membahas mengenai hukum perburuhan dan buruh migran.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini, penulis menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mencari istilah-istilah guna menjelaskan hal-hal yang tercantum dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

6. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Soerjono dan Abdurrahman, teknik pengolahan data adalah bagaimana caranya mengolah data yang berhasil dikumpulkan untuk memungkinkan penelitian bersangkutan melakukan analisa yang sebaik-baiknya. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data terkait dengan perlindungan hukum terhadap buruh migran wanita, dengan cara mengunjungi perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, literatur, artikel majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperjelas penggambaran permasalahan serta pembahasannya, maka penulis membuat dan menyusun penelitian ini menjadi 4 (empat) bab yang sistematikanya terdiri dari:

BAB IPENDAHULUAN

Bab I ini berisikan pengantar dari permasalahan dan pembahasan penulisan secara keseluruhan yang meliputi latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kerangka teoritis dan konsepsional, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 2INSTRUMEN HUKUM YANG MENGATUR PERLINDUNGAN HAK ASASI BURUH MIGRAN PEREMPUAN

Pada Bab II ini diuraikan mengenai instrumen hukum internasional maupun nasional yang mengatur perlindungan hak asasi buruh migran perempuan.

BAB 3BENTUK PERLINDUNGAN HAK ASASI BURUH MIGRAN PEREMPUAN INDONESIA

Bab III ini berisikan penjabaran mengenai bentuk-bentuk perlindungan hak asasi buruh migran perempuan baik yang dilakukan organisasi internasional maupun lembaga nasional.

BAB 4PENUTUP

Bab IV ini merupakan bab terakhir atau bab penutup dari penelitian ini, dan berisikan mengenai kesimpulan dari analisis yang dilakukan untuk menjawab pokok permasalahan dan juga saran-saran yang sekiranya dapat berguna dalam perkembangan hukum

BAB II

INSTRUMEN HUKUM PERLINDUNGAN HAK ASASI BURUH MIGRAN PEREMPUAN

Hak-hak buruh migran perempuan khususnya bekerja di sektor rumah tangga sering kali dilanggar dan tidak diakui. Pelanggaran terhadap hak-hak asasi buruh migran tersebut terus menerus terjadi karena banyak kalangan gagal melihat akar permasalahan kerentanan yang melekat pada keberadaan kondisi dan sifat kerja mereka.

Kerentanan yang dialami buruh migran perempuan bukanlah tercipta secara natural melainkan akibat dari proses sejarah yang panjang yang terjadi di negara asal maupun negara penerima. Kerentanan tersebut hadir dalam konteks sosial, ekonomi, dan hukum. Sebuah negara yang berdaulat memiliki hak untuk membedakan mana yang termasuk warga negaranya dan mana yang bukan, sebagaimana didefinisikan dalam konstitusi negara tersebut. Dikotomi ini selanjutnya menghasilkan konsekuensi serius dalam rupa kekuatan yang asimetris, yang kemudian membentuk kerentanan struktural dan budaya di pihak buruh migran dibandingkan mereka yang berstatus warga negara setempat. Kehadiran buruh migran di negara-negara penerima pada hakikatnya tidak semata-mata keinginan buruh migran untuk tinggal di luar negeri, melainkan juga karena ada permintaan pasar kerja di negara-negara penerima tersebut. Kehadiran buruh migran tidak dapat disangkal mendatangkan keuntungan bagi negara penerima, karena dengan mempekerjakan buruh migran maka ongkos yang harus dikeluarkan lebih murah.

Persaingan ekonomi di era globalisasi antarnegara pemasuk buruh migran juga memberikan kontribusi pada pelanggengan kondisi rentang terhadap buruh migran tersebut. Demi memenangkan pangsa pasar, negara-negara menjadi tidak peka terhadap isu-isu hak asasi manusia atau setidaknya berlomba untuk menurunkan standar-standar hak asasi manusia (racing to the bottom), termasuk perlindungan bagi buruh-buruh migrannya.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kebebasan kepada warga negara untuk bekerja. Jaminan ini dapat dilihat di dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Jaminan yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kemudian diterjemahkan lebih lanjut dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk:

a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.

b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.

c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.

d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Jaminan berupa perlindungan hukum terhadap tenaga kerja khususnya buruh migran merupakan salah satu hal mutlak yang diperlukan karena merupakan jaminan hak asasi manusia yang wajib dilindungi oleh negara. Hal tersebut dapat tergambar dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yang menyatakan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Sebagai negara hukum, untuk mencapai tujuan negara dalam melaksanakan perlindungan maka harus dituangkan dalam sebuah aturan tertulis yang dikenal dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini untuk membuktikan komitmen setiap orang yang mengetahuinya agar dapat melaksanakan ketentuan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Perlindungan hukum ditekankan pada fungsi hukum yaitu melindungi seseorang apabila kepentingan-kepentingan atau hak-haknya dilanggar oleh orang atau kelompok orang.

Instrumen hukum yang mengatur perlindungan buruh migran perempuan sudah ada baik yang bersifat internasional maupun yang nasional, yang akan dijelaskan sebagai berikut.

A. Instrumen Hukum Internasional

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right)

Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disetujui tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi universal tersebut merupakan Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia yang telah diakui sebagai perangkat internasional yang merupakan dasar bagi pelaksanaan hak-hak dan prinsip-prinsip tentang persamaan, keamanan, integritas dan martabat seluruh pribadi manusia tanpa diskriminasi, yang intinya adalah hak asasi manusia mempunyai arti penting bagi harkat dan martabat dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa, dan bernegara.

2. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights)

Pada intinya Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik memberikan dampak hukum kepada Pasal 3-21 Declaration Universal of Human Rights. Kebanyakan hak dalam konvenan tersebut dapat juga ditemukan dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Konvensi Inter Amerika. Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat mencakup hak-hak dan kewajiban-kewajiban tambahan. Semua hak dalam konvenan merupakan hak untuk semua orang. Namun demikian, ada beberapa batasan-batasan praktis, misalnya anak-anak yang masih belia, pada umumnya tidak dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan umum dan mereka mungkin mempunyai kebebasan yang terbatas dalam mengungkapkan pendapat dan beragama, karena masih berada di bawah pengendalian orang tua. Namun demikian, sebagaimana ditetapkan dalam kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak, yaitu anak-anak memiliki hak yang sama dengan orang dewasa.

Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Pertimbangan Indonesia menjadi pihak dalam konvenan ini yaitu Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya Declaration Universal of Human Rights, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang permohonan hak asasi manusia yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama pembukaan), hak atas kewarganegaraan (Pasal 26), persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)), hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)), hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)), hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28), kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamnya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu (Pasal 29 ayat (2)). Dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)).

Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia terus berlanjut meskipun Indonesia mengalami perubahan susunan negara dari negara kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15 Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat sebagian besar pokok-pokok hak asasi manusia yang tercantum dalam Declaration Universal of Human Rights dan kewajiban Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33). Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS RI Tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agutus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 juga memuat sebagian besar pokok-pokok hak asasi manusia yang tercantum dalam Declaration Universal of Human Rights, dan bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang bersangkutan yang tercantum dalam konstitusi RIS. Selanjutnya pengaturan mengenai hak asasi manusia diatur pada perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Adapun hak-hak yang diatur dalam konvenan yaitu:

a. Setiap manusia mempunyai hak hidup, hak dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.

b. Tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.

c. Tidak seorang pun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorang pun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib.

d. Tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.

e. Tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya.

f. Kebebasan setiap orang yang berada secara sah di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan memilih tempat tinggal di wilayah itu, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun dapat secara sewenang-wenang dirampas hanya untuk memasuki negaranya sendiri.

g. Pemberlakuan pengusiran bagi orang asing yang secara sah tinggal di negara pihak.

h. Persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan, hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan tidak berpihak, hak atas praduga tak bersalah bagi setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana, dan hak setiap orang yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh badan peradilan yang lebih tinggi.

i. Pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan perundang-undangan pidana.

j. Hak setiap orang untuk diakui secara pribadi di depan hukum.

k. Tidak boleh dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah privasi, keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang.

l. Hak setiap orang atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut.

m. Hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat.

n. Pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindakan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.

o. Pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai.

p. Hak setiap orang atas kebebasan berserikat.

q. Pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan.

r. Hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak di bawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan.

s. Hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya.

t. Persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.

u. Tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak.

3. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights)

Hak ekonomi, sosial, dan budaya diperlakukan berbeda dengan hak sipil dan politik. Dalam banyak hal perbedaan itu dibuat-buat karena semua hak bersifat saling tergantung dan tidak terbagi-bagi.

Indonesia telah meratifikasi kovenan ini dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

Adapun hak-hak yang diatur dalam kovenan ini yaitu:

a. Hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

b. Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan.

c. Hak untuk menikmati membentuk dan ikut serikat buruh.

d. Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial.

e. Hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda.

f. Hak atas standar kehidupan yang memadai.

g. Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai.

h. Hak atas pendidikan.

i. Hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.

4. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention of the Elimination of All Form of Discrimination Against Women)

Convention of the Elimination of All Form of Discrimination Against Women adalah salah satu perangkat hukum internasional yang bertujuan untuk melindungi hak asasi kaum perempuan, yang kenyataannya sifat kemanusiaan mereka belum menjamin akan pelaksanaan hak-haknya atau karena ia seorang perempuan.

Dalam Mukadimah Convention of the Elimination of All Form of Discrimination Against Women ini menyatakan bahwa walaupun ada perangkat-perangkat lain, perempuan tetap tidak memiliki hal yang sama seperti laki-laki. Diskiriminasi tetap berlangsung dalam masyarakat.

Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 24 Juli 1984 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Dalam konvensi ini antara lain mengatur mengenai:

a. Melakukan langkah tindak yang tepat untuk menghapus perlakuan diskriminasi terhadap wanita oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan;

b. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjamin perkembangan dan kemajuan wanita sepenuhnya;

c. Mengakselerasi persamaan de facto antara laki-laki dan perempuan dan apabila persamaan telah tercapai, maka tindakan tersebut dihapuskan (affirmative action);

d. Mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya pria dan wanita untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka dan kebiasaan-kebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi pria atau wanita;

e. Pembentukan peraturan perundang-undangan untuk memberantas segala bentuk perdagangan wanita dan eksploitasi pelacuran;

f. Meniadakan diskriminasi di bidang pekerjaan.

5. Konvensi Internasional Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of All Migrant Workers and Members of Their Family)

Konvensi ini dihasilkan dari proses diskusi dan perdebatan panjang selama 18 (delapan belas) tahun, berkaitan dengan keprihatinan atas adanya transportasi dan eksploitasi pekerja Afrika di Eropa yang menyerupai kondisi perbudakan. Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ke-45 pada tahun 1990 menyepakati konvensi ini. Pada tanggal 1 Juli 2003, konvensi ini mulai diberlakukan sebagai hukum internasional. Pada tahun 2004 sebuah badan untuk memonitor pelaksanaan konvensi ini dibentuk dengan nama Cometee on the Protection of All Migrant Workers and Members of Their Family (CMW), yang terdiri dari 10 (sepuluh) orang independen experts yang dipilih secara berkala dari dan oleh negara-negara pihak.

Konvensi ini merupakan standar minimum yang harus diterapkan oleh negara-negara pihak kepada para pekerja migran dan anggota keluarganya dalam keseluruhan siklus migrasi (mulai dari pra pemberangkatan, di perjalanan, di tempat kerja, dan saat kembali pulang) untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia secara menyeluruh.

Pada tahun 2012, Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dengan pertimbangan selain karena Indonesia merupakan salah satu negara pihak pada International Convention on the Protection of All Migrant Workers and Members of Their Family (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya), juga mempertimbangkan:

a. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Pancasila khususnya sila ke-2 yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebagai bangsa yang beradab, Indonesia bertekad memberikan perlindungan hak bagi tenaga kerja yang berasal dari dan bekerja di Indonesia beserta anggota keluarganya.

b. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, khususnya pada perubahan keempat BAB XA yang meletakkan hak asasi manusia sebagai salah satu pijakan bernegara. Bab XA khususnya Pasal 28 tentang hak asasi manusia memberi jaminan sebagai manusia yang secara hakiki hidup dan membutuhkan kehidupan, membentuk keluarga dan memilikin keturunan, peningkatan kualitas hidup, memiliki pekerjaan, jaminan dan persamaan hukum, berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, menajalankan keyakinan dan agama. Pekerja migran dan keluarganya berasal dari atau yang tinggal di Indonesia dicakupi oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga bagi mereka hak-hak tersebut dijamin. Hak-hak sebagaimana ada dalam International Convention on the Protection of All Migrant Workers and Members of Their Family (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) selaras dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai sumber dan landasan hukum negara Indonesia.

c. Harmonisasi berbagai politik dan kebijakan yang pro pada hak asasi manusia. Indonesia sudah meratifikasi berbagai konvensi internasional seperti Konvenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik (International Convenant of the Civil and Politics Rights), Konvenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, Konvensi Penghapusan Penyiksaan. Ratifikasi konvensi internasional akan memberi sinyal kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang berkomitmen dalam penegakkan hak asasi manusia. Konvensi migran adalah salah satu kesepakatan internasional yang menjamin penegakkan hak asasi manusia bagai pekerja migran dan keluarganya. Dengan meratifikasi konvensi ini Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap upaya penegakkan hak asasi manusia yang universal, dimana perlindungan tidak lagi didasarkan pada status kependudukan dan warga negara seseorang.

d. Perlu perbaikan sistem perlindungan terhadap pekerja migran dalam kondisi kasus yang sudah meningkat kualitas dan kuantitasnya. Seluruh proses migrasi sebelum keberangkatan, di tempat tujuan dan kembali ke daerah asal sarat dengan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Keberadaan hukum dan perundang-undangan saat ini tidak cukup kuat bahkan meligitimasi kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap pekerja migran, terlebih lagi pekerja perempuan migran yang bekerja di sektor rumah tangga.

Adapun hak-hak asasi pekerja migran dan anggota keluarganya yang diatur dalam 24 Pasal di konvensi ini, yaitu:

a. Hak untuk datang dan pergi dari negara tempat mereka bekerja juga negara asal mereka selama tidak melanggar hukum.

b. Hak untuk hidup yang dilindungi hukum.

c. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi sehingga bebas dari perlakuan yang menyiksa dan kejam.

d. Hak bebas dari pekerja atau perbudakan.

e. Hak untuk memilih dan menganut agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing.

f. Hak untuk mengeluarkan dan menerima pendapat dan berekspresi secara lisan dan tulisan dengan pembatasan-pembatasannya.

g. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari sasaran campur tangan orang lain terhadap kebebasan pribadinya.

h. Hak untuk mendapat perlindungan hukum terhadap hak milik secara individual maupun bersama dengan orang lain.

i. Hak untuk mendapat perlindungan dari negara terhadap kekerasan baik secara fisik maupun intimidasi dari individu, kelompok maupun institusi negara, yaitu:

1) Hak untuk mendapat informasi mengenai alasan penangkapan dengan bahasa yang mereka mengerti.

2) Hak untuk diadili secepatnya bila menjadi terdakwa dalam tuntutan kriminal.

3) Hak-hak yang dimiliki oleh pekerja migran bila dirinya ditahan, yaitu:

a) Hak untuk diwakili oleh konsuler atau pejabat diplomatik negara asalnya;

b) Hak untuk berkomunikasi dengan otoritas tersebut;

c) Hak untuk diberitahu mengenai hak-hak yang dimilikinya; dan

d) Hak untuk mendapatkan penerjemah.

4) Hak mendapatkan kompensasi bila penahanan dan penangkapan pekerja migran tersebut tidak sah.

j. Hak migran dalam tahanan di negara tempat dia bekerja, yaitu:

1) Hak mendapat perlakuan manusiawi dan dihormati martabat dan identitas budayanya selama penahanan;

2) Hak dipisahkan dari tahanan lain sesuai dengan umur dan jenis kelamin;

3) Hak untuk dipisahkan dengan tahanan lain bila menjadi terdakwa dalam masalah keimigrasian;

4) Hak untuk dipisahkan dari terdakwa dewasa dan diperlakukan sesuai umur mereka dengan terpidana yang masih muda usianya;

5) Hak unuk dikunjungi selama penahanan dan pemenjaraan;

6) Hak untuk diperhatikan masalah-masalah yang dapat menimpa keluarga mereka dalam tahanan oleh otoritas yang berwenang; dan

7) Hak untuk menerima hak yang sama dengan warga negara lain dalam tahanan.

k. Hak yang didapat di depan pengadilan, yaitu:

1) Hak mendapatkan hak yang sama dengan warga negara lain di hadapan pengadilan.

2) Hak untuk menyatakan diri tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum.

3) Hak-hak lain berkaitan dengan tuduhan kriminal terhadap pekerja migran, hak tersebut antara lain diadili, hak diberitahu dengan bahasa yang mereka mengerti, hak mendapat waktu, pembela dan fasilitas untuk persiapan pembelaan mereka di hadapan pengadilan, hak untuk membela diri, hak diperiksa dan mendapatkan pemeriksaan saksi-saksi, hak mendapatkan penerjemah, hak untuk menolak bersaksi untuk memberatkan diri atau mengaku salah.

4) Hak untuk meminta peninjauan kembali terhadap kasusnya.

5) Hak untuk tidak menjalani atau dikenai hukuman terhadap pelanggaran yang telah dia jalani hukumannya.

l. Hak untuk tidak dipenjarakan akibat kegagalan pemenuhan kontrak.

m. Hak-hak dalam proses pemulangan pekerja migran, yaitu:

1) Hak untuk tidak dipulangkan secara kolektif.

2) Hak diberitahukan mengenai pemulangan dengan bahasa yang dimengerti.

3) Hak mendapat kompensasi bilamana keputusan pengusiran yang telah dilakukan lalu dibatalkan.

4) Hak menuntut gaji atau hak-hak lain serta kewajibannya sebelum atau sesudah keberangkatan ke negara asal.

5) Hak untuk memasuki wilayah negara lain selain negara asalnya saat pelaksanaan pengusiran dengan catatan tidak merugikan pelaksanaan keputusan pengusiran.

6) Hak dibiayai dalam pengusiran.

n. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan konsuler atau otoritas diplomatik dari negara asal mereka atau negara yang mewakili kepentingan negara mereka.

o. Hak untuk diakui sebagai manusia di depan hukum.

p. Hak untuk mendapat perlakuan yang sama dengan warga negara dalam masalah pemberian upah.

q. Hak untuk ikut dalam suatu organisasi dan serikat buruh.

r. Hak menikmati perlakuan yang sama dengan warga negara berkenaan dengan jaminan sosial sepanjang memenuhi persyaratan yang diperlakukan oleh undang-undang di negara tersebut.

s. Hak menerima perawatan medis untuk kelangsungan hidup.

t. Hak anak untuk mendapat nama, pendaftaran kelahiran dan kebangsaan.

u. Hak pendidikan sama seperti warga negara lain untuk anak.

v. Hak mentransfer penghasilan atau tabungan mereka juga harta benda dan hak milik mereka saat masa penghentian izin tinggal mereka di negara pemberi kerja.

w. Hak untuk mendapatkan informasi tanpa biaya dengan bahasa yang mereka mengerti oleh negara asal, negara pemberi kerja atau negara transit mengenai hak mereka yang tercantum dalam konvensi ini, syarat izin, hak dan kewajiban di bawah hukum.

6. Konvensi yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (The United Nations Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)

Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987. Dalam konvensi ini antara lain diatur mengenai:

a. Kewajiban bagi negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya.

b. Kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam menetapkan kewenangan hukumnya (jurisdiction) atas tindakan penyiksaan dan suatu tindakan oleh siapa saja yang membantu atau turut serta dalam penyiksaan.

c. Kewajiban negara untuk menahan atau melakukan tindakan hukum lain bagi orang yang melakukan tindak pidana untuk menjamin kehadirannya penahanan atau hukum lain harus disesuaikan dengan hukum negara tersebut, tetapi dapat diperpanjang dalam jangka waktu tertentu yang diperlukan agar memungkinkan prosedur pidana atau ekstardisi dilaksanakan. Seseorang yang dipidana tersebut harus dibantu untuk berhubungan dengan perwakilan terdekat negara, tempat ia menjadi warga negara atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan maka disampaikan ke perwakilan negara tempat ia biasa menetap.

d. Kewajiban negara untuk menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah hukumnya mempunyai hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa dengan segara dan tidak memihak oleh pihak-pihak berwenang. Hal tersebut dilakukan untuk melindungi dan menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduannya atau setiap kesaksian yang diberikan.

e. Kewajiban negara untuk menjamin agar dalam sistem hukumnya, korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin.

7. Kovensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (Convention of the Elimination of All Forms of Rasial Discrimination)

Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 1969. Dalam konvensi ini diatur bahwa diskriminasi ras diartikan sebagai segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pengutamaan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau suku bangsa, yang mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau pelaksananaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan lainnya.

Pelarangan dan penghapusan segala bentuk diskriminasi ras serta menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal bangsa dan suku bangsa, untuk diperlakukan sama di depan hukum terutama untuk menikmati hak-hak antara lain:

a. Hak untuk diperlakukan dengan sama di depan pengadilan dan badan-badan pengadilan lain;

b. Hak untuk rasa aman dan hak atas perlindungan oleh negara dari kekerasan dan kerusakan tubuh, baik yang dilakukan aparat pemerintah maupun suatu kelompok atau lembaga;

c. Hak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri dan kembali ke nagaranya sendiri; dan

d. Hak untuk bekerja, memilih pekerjaan secara bebas, mendapatkan kondisi kerja yang adil dan nyaman, memperoleh perlindungan dari pengangguran, mendapat upah yang layak sesuai pekerjaanya, memperoleh gaji yang adil dan menguntungkan.

8. Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violance Againts Woman)

Deklarasi ini disetujui PBB dengan resolusi 48/104 tanggal 20 Desember 1993. Dalam deklarasi tersebut mendefiniskan tindakan kekerasan adalah kekerasan berbasis gender yang ditujukan kepada perempuan baik berupa fisik, sex, atau psikologi, tekanan mental, termasuk pengekangan kebebasan yang terjadi baik dalam kehidupan pribadi atau politik. Adapun hak-hak perempuan yang diatur dalam deklarasi ini antara lain hak untuk hidup, persamaan, hak untuk memperoleh persamaan atas perlindungan hukum di bawah undang-undang, hak atas kebebasan dan keamanan, hak memperoleh pelayanan secara layak/standar di bidang kesehatan fisik dan mental, hak memperoleh kesempatan kerja dan hak untuk tidak mengalami penganiayaan, kekejaman, hak untuk mendapatkan kesamaan dalam keluarga.

9. Protokol Palermo

Protokol Palermo ini adalah sebuah protokol yang dibuat untuk mencegah dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, melengkapi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang tindak pidana transnasional terorganisasi. Perdagangan orang adalah perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan, atau penerimaan orang-orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lain dari paksaan, penculikan, penipuan, penyesatan, penyalahgunaan kekuasaan atau keadaan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi sekurang-kurangnya eksploitasi dalam pelacuran seseorang atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ.

10. Protokol Opsional terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Optional Protocol of Convention of the Elimimination of All Form of Discrimination Againts Women)

Protokol ini mengatur mengenai komite penghapusan diskriminasi terhadap perempuan untuk menerima komunikasi-komunikasi yang boleh disampaikan oleh atau atas nama perorangan atau kelompok yang terdiri dari perorangan, dalam yurisdiksi negara peserta, yang menyatakan bahwa dirinya adalah korban dari pelanggaran atas hak-hak yang dimuat dalam konvensi.

Negara peserta wajib mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa orang-orang yang di dalam yurisdiksi negara itu tidak akan dikenakan perlakuan yang tidak baik atau mendapat intimidasi sebagai akibat dari komunikasi yang disampaikan kepada Komite sesuai protokol.

11. Konvensi International Labour Organization Nomor 189 tentang Pekerja Layak

Dalam Konvensi ini diatur bahwa pekerja rumah tangga memiliki hak atas kondisi kerja dan hidup yang layak, sebagaimana pekerja yang lainnya, karena sifat pekerjaan rumah tangga dan kondisi kerja dan kondisi tempat pekerjaan rumah tangga, termasuk fakta bahwa dalam kasus pekerjaan rumah tangga tempat kerja adalah bangunan rumah, maka dipandang perlu instrumen yang memungkinkan pekerja rumah tangga dapat menikmati hak-haknya.

Adapun materi yang diatur dalam konvensi ini adalah:

a. Kebebasan berserikat dan pengakuan efektif terhadap hak atas perundingan bersama

Negara harus melindungi hak pekerja rumah tangga dan majikan pekerja rumah tangga untuk membentuk dan bergabung dengan organisasi, federasi dan konfederasi yang mereka pilih sendiri.

b. Penghapusan semua bentuk kerja paksa atau kerja wajib

c. Penghapusan pekerja anak secara efektif

Negara harus menetapkan usia minimum bagi pekerja rumah tangga. Usia minimum harus sesuai dengan Konvensi Usia Minimum Nomor 138 Tahun 1973 dan Konvensi Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak Nomor 182 Tahun 1999. Usia tersebut tidak boleh rendah dari yang ditetapkan pada umumnya.

d. Penghapusan diskriminasi berkenaan dengan pekerjaan dan jabatan

Negara harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin pengupahan ditetapkan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.

e. Perlindungan dari penyalahgunaan, pelecehan, dan kekerasan

Negara harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin bahwa pekerja rumah tangga menikmati perlindungan efektif dari segala bentuk penyalahgunaan, pelecehan, dan kekerasan.

12. Konvensi-Konvensi International Labour Organization Lainnya

Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization dibentuk pada tahun 1919 berdasarkan perjanjian Versailes yang mengakhiri Perang Dunia I. Liga Bangsa-Bangsa menetapkan kewajiban pada negara anggota untuk memastikan dan mempertahankan kondisi kerja yang adil dan manusiawi bagi laki-laki, perempuan, dan anak.

Ada 8 (delapan) konvensi hak asasi manusia dasar yang dibentuk di bawah naungan Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization). Semua konvensi dasar tersebut telah disahkan oleh Indonesia yaitu:

a. Konvensi Nomor 29 Tahun 1930 mengenai Kerja Paksa atau Kerja Wajib.

b. Konvensi Nomor 105 Tahun 1957 mengenai Penghapusan Kerja Paksa.

c. Konvensi Nomor 87 Tahun 1948 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi.

d. Konvensi Nomor 98 Tahun 1949 mengenai Penerapan Asas-Asas Hak untuk Berorganisasi dan Tawar Menawar Kolektif.

e. Konvensi Nomor 100 Tahun 1951 mengenai Remunerasi Setara antara Laki-Laki dan Perempuan.

f. Konvensi Nomor 111 Tahun 1958 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.

g. Konvensi Nomor 138 Tahun 1973 mengenai Umur Minimum untuk Dipekerjakan.

h. Konvensi Nomor 182 Tahun 1999 mengenai Tindakan Segera untuk Menghapuskan dan Mengurangi Bentuk Terburuk dari Pekerja Anak.

B. Instrumen Hukum Nasional

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen Kedua

Indonesia telah berikar dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu:

bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Setelah era refromasi yang dimulai dengan krisis ekonomi pada tahun 1997-1998, maka sistem ketatanegaraan dan politik hukum Indonesia bergeser. Semula negara Indonesia adalah negara hukum, yang hanya masuk dalam penjelasan saja dan setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu pada perubahan Ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001, hal tersebut masuk dalam batang tubuh undang-undang (Pasal 1 ayat (3)). Mengenai hak asasi manusia, dimana Indonesia sejak reformasi menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan akuntabilitas bersepakat untuk memasukan pengaturan hak asasi manusia dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar.

Pengaturan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat dalam BAB XA tentang hak asasi manusia, yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada perubahan kedua tanggal 28 Agustus 2000, dari Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J.

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pengaturan dasar tentang hak asasi manusia oleh negara Indonesia telah diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini merupakan payung hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan nasional, yang dalam salah satu pertimbangan pembentukannya menyatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan tanggung jawab hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Komitmen negara untuk memberi perlindungan khusus pada perempuan dan anak yang rentan untuk mendapat perlakuan tidak diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia diatur dalam Bagian Kesembilan tentang Hak Wanita, yaitu dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang ini disusun dengan pertimbangan bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan peranan dan kedudukannya, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Perlindungan terhadap tenaga kerja tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Undang-Undang ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin pelaksanaannya. Buruh migran/tenaga kerja Indonesia sering kali dijadikan objek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Atas dasar tersebut, sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia.

Dalam Undang-Undang ini antara lain diatur mengenai:

a. Penempatan

Pelaksana penempatan buruh migran/tenaga kerja Indonesia di luar negeri dilakukan oleh Pemerintah atau pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta.

Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri oleh pemerintah hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara pengguna tenaga kerja Indonesia atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan. Sedangkan perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta wajib memiliki izin tertulis berupa Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dari Menteri Ketenagakerjaan.

b. Perlindungan

Perlindungan buruh migran/tenaga kerja Indonesia di luar negeri dilakukan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan. Perlindungan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta hukum dan kebiasaan internasional.

c. Pembinaan dan Pengawasan

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Dalam Peraturan Pemerintah diatur mengenai perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dari pra penempatan, masa penempatan sampai dengan purna penempatan, perlindungan Tenaga Kerja Indonesia melalui penghentian dan pelarangan penempatan Tenaga Kerja Indonesia, dan program pembinaan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Perlindungan tersebut diberikan kepada calon Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia yang ditempatkan oleh Badan nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta, perusahaan yang menempatkan Tenaga Kerja Indonesia untuk kepentingan sendiri, dan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja secara perseorangan.

Secara garis besar bentuk yang diberikan kepada calon Tenaga Kerja Indonesia pada pra penempatan yaitu perlindungan administrative dan perlindungan teknis. Perlindungan kepada tenaga Kerja Indonesia masa penempatan dimulai sejak Tenaga Kerja Indonesia tiba di bandara/pelabuhan negara tujuan penempatan, selama bekerja, sampai kembali ke bandara debarkasi Indonesia. Sedangkan perlindungan kepada Tenaga Kerja Indonesia pada purna penempatan dapat juga dilakukan dalam bentuk bantuan pemulangan oleh Perwakilan.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri oleh Pemerintah

Penempatan Tenaga Kerja Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan atas adasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan pemerintah negara pengguna atau antara Pemerintah dengan pengguna berbadan hukum di negara pengguna Tenaga Kerja Indonesia, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Peraturan pemerintah ini mengatur tata cara pelaksanaan penempatan Tenaga Kerja Indonesia yang dialkukan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang dimulai dari proses perekrutan, pemeriksaan psikologi dan kesehatan, perjanjian penempatan, pengurusan paspor, pengurusan visa, pembekalan akhir Pemberangkatan, penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri, dan pemberangkatan, termasuk perlindungan kepada Tenaga Kerja Indonesia.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penilaian dan Penetapan Mitra Usaha dan Pengguna Perseorangan

Pengguna Perseorangan merupakan orang perseorangan yang mempekerjakan Tenaga Kerja Indonesia pada pekerjaan antara lain sebagai penatalaksana rumah tangga, pengasuh bayi atau perawat orang lanjut usia, pengemudi, atau tukang kebun/taman. Pekerjaan-pekerjaan tersebut sangat rentan terhadap risiko yang dapat merugikan Tenaga Kerja Indonesia, antara lain risiko pelecehan seksual, kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. Oleh karena itu untuk pekerjaan pada pemberi kerja perseorangan diperlukan Mitra Usaha yang dapat memfasilitasi penyelesaian permasalahan Tenaga Kerja Indonesia dengan Pengguna Perseorangan.

Kemitraan yang dilakukan oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta dengan Mitra Usaha di negara tujuan penempatan didasarkan pada perjanjian kerja sama penempatan. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memberikan jaminan kepada Tenaga Kerja Indonesia dan mempermudah untuk merealisasikan pemenuhan hak Tenaga Kerja Indonesia sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Kerja dan memberikan perlindungan hukum apabila dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.

Tugas dan tanggung jawab Mitra Usaha ini sangat penting dalam pemenuhan hak Tenaga Kerja Indonesia dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia selama bekerja di negara tujuan penempatan, sehingga Mitra Usaha yang dapat bekerja sama dengan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta harus terlebih dahulu diseleksi sehingga dapat dihasilkan Mitra Usaha yang profesional. Karena Mitra Usaha ini berada di negara tujuan penempatan, maka Perwakilan Republik Indonesia mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan baik tidaknya Mitra Usaha, sebagai dasar bagi Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta melakukan kerja sama penempatan.

Pengaturan Mitra Usaha dan pengguna ini menjadi sangat penting karena diharapkan akan memberikan perlindungan bagi calon Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia yang akan menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral, maupun martabatnya.

8. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia merupakan lembaga nonkementerian yang berada dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia memiliki tugas:

a. Melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan pemerintah negara pengguna Tenaga Kerja Indonesia atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan.

b. Memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai:

1) Dokumen;

2) Pembekalan akhir pemberangkatan;

3) Penyelesaian masalah;

4) Sumber-sumber pembiayaan;

5) Pemberangkatan sampai pemulangan;

6) Peningkatan kualitas calon Tenaga Kerja Indonesia;

7) Informasi;

8) Kualitas pelaksanaan penempatan Tenaga Kerja Indonesia; dan

9) Peningkatan kesejahteraan Tenaga Kerja Indonesia dan Keluarganya.

Pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap buruh migran telah diatur dalam berbagai jenis peraturan baik yang bersifat internasional maupun nasional. Hanya saja beberapa peraturan nasional tidak sejalan dengan yang sudah ditetapkan dalam kebijakan internasional. Sehingga sering kali terjadi ketidaksinkronan dalam pelaksanaannya.

BAB III

PERLINDUNGAN HAK ASASI

BURUH MIGRAN PEREMPUAN INDONESIA

A. Dasar Pemikiran Perlindungan Hak Asasi Buruh Migran

Semakin lama semakin banyak perempuan meninggalkan negeri asalnya untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Hal ini menunjukkan pola migrasi yang disebut feminisasi migrasi, yang telah dialami Indonesia selama dekade terakhir ini. Negara-negara utama penerima migran perempuan dari Indonesia adalah Hong Kong, Malaysia, Singapura, Saudi Arabia dan Persatuan Emirat Arab (UEA). Di negara-negara tersebut, mereka umumnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga asal luar negeri. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara penerima dan kebijakan Pemerintah sebagai negara pengirim menjadi salah satu faktor penting untuk melihat sejauhmana perlindungan terhadap buruh migran perempuan dapat terlaksana.

Nasib pekerja migran merupakan isu politik besar di Indonesia. Sementara pengiriman uang yang dikirim oleh pekerja konstruksi dan pekerja rumah tangga dari luar negeri memiliki dampak penting pada peningkatan ratusan ribu keluarga keluar dari kemiskinan, pekerja migran sering menjadi korban pelecehan dan dalam banyak kasus harus menyerahkan paspor mereka baik agen atau majikan.

Seperti diketahui buruh migran memberikan jkontribusi penting terhadap pembangunan ekonomi lokal, namun perhatian terhadap perbaikan perlindungan baik di dalam negeri maupun di luar negeri masih belum memadai. Akibatnya. kerenatanan dan resiko dalam setiap siklus migrasi semakin tinggi karena lemahnya peran pemerintah, tanpa adanya mekanisme perlindungan bagi buruh migran di luar negeri. Kondisi buruh migran, terutama yang menjadi pekerja rumah tangga, menjadi semakin rentan karena kapasitas mereka yang terbatas dan sulit untuk dipantau.

Sistem perburuhan di Indonesia sangatlah rentan dari praktek perbudakan terselubung, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini terlihat dari Indek Global Perbudakan 2013. Aktivis Migrant menanggapi penelitian dari Walk Free Foundation, salah satu lembaga asal Australia, yang terangkum dalam Global Index Slavery. Dalam penelitian itu, Indonesia menempati peringkat ke-114 sebagai negara dengan praktek perburuhan modern. Jumlahnya mencapai 210 ribu orang Indonesia hidup dan bekerja sebagai budak. Perbudakan itu bisa menjadi acuan untuk memonitor apakah hak-hak pekerja sudah memenuhi kriteria yang layak atau belum. Sektor pekerjaan yang layak perbudakan, itu mencakup pekerja rumah tangga, buruh pabrik dan buruh perkebunan, serta perikanan.

Seperti halnya kasus yang menimpa, Satinah asal Ungaran, Jawa Tengah yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi. Perempuan asal Ungaran, Jawa Tengah ini hanya bisa diselamatkan oleh pembayaran Diyat yang besarannya masih dinegosiasikan, dengan alasan pemerintah Indonesia kesulitan menyediakan dana untuk pembayaran Diyat. Ini semua terjadi karena negara lamban mengadvokasi kasus Satinah yang dituduh membunuh dan mencuri. Menurut pengakuan Satinah, tak ada pembela hukum dan penterjemah yang mendampinginya selama lima kali persidangan sehingga pembelaan yang menjadi hak-nya tidak menjadi pertimbangan hukum yang memadai. Selain itu, Ruyati asal Bekasi, Jawa Barat yang dihukum pancung juga di Arab Saudi 2011 lalu. Tenaga Kerja Indonesia asal Nusa Tenggara Timur, Wilfrida Soik bekerja di Hongkong di vonis mati, Tenaga Kerja Indonesia Erwiana Sulistaningsih asal Ngawi, Jatim bekerja di Hongkong yang dianiaya majikannya hingga nyaris lumpuh diharapkan dijadikan momentum bagi pemerintah kedua negara untuk mencabut semua peraturan yang berpotensi melahirkan perbudakan terhadap buruh migran.

Gambaran kasus Satinah adalah gambaran utuh wajah kerentanan buruh migran Indonesia saat ini. Pada saat berhadapan dengan masalah, buruh migran dibiarkan sendirian dan tidak mendapatkan pembelaan dan perlindungan yang dibutuhkan. Dan kalaupun pemerintah terlibat dalam proses penanganan buruh migran, seringkali bertindak lamban, diskriminatif dan bahkan turut serta mengkriminalisasi buruh migran itu sendiri.

Bukan hanya dalam kasus Satinah, pemerintah terlihat lamban, tapi juga dalam kasus ancaman hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia yang terjadi di Malaysia. Kehadiran pemerintah seringkali juga terlambat sehingga sulit untuk bisa mendayagunakan sumberdaya diplomasi dalam advokasi pembebasan buruh migran yang terancam hukuman mati. Ketika tersudut dalam negosiasi besaran Diyat dalam kasus Satinah, pemerintah juga masih terlihat pelit untuk mengeluarkan biaya dalam pembebasan Satinah, dengan alasan dana yang dibutuhkan terlalu besar.

Padahal jika dikalkulasi, besaran Diyat masih lebih kecil dari anggaran Satuan Petugas Tenaga Kerja Indonesia sebesar Rp. 200 milyar yang sebagian besar habis untuk biaya perjalanan, atau penghambur-hamburan uang negara untuk perjalanan studi banding anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan perjalanan dinas Presiden RI untuk tujuan pencitraan. Pelitnya pemerintah juga ditunjukkan dalam keengganan mereka melakukan evakuasi terhadap puluhan ribu buruh migran Indonesia yang terperangkap perang saudara di Suriah.

Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau selama tahun 2012, Migrant CARE mencatat bahwa kasus hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia masih sangat tinggi. menurut pantauan Migrant CARE ada 420 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri, dengan perincian sebagai berikut: Malaysia (351), China (22), Singapura (1), Manila (1) dan Saudi Arabia (45). Dari angka tersebut, 99 orang diantaranya telah di vonis hukuman mati. Kasus ancaman hukuman mati tidak bisa diselesaikan hanya dengan pidato dan pembentukan lembaga adhoc, tetapi memerlukan langkah kongkrit dengan mengha