MAKALAH ANTROPOLOGI HUKUM ISLAM JADI.docx
-
Upload
sobat-gaul-nyari-ilmu -
Category
Documents
-
view
328 -
download
2
description
Transcript of MAKALAH ANTROPOLOGI HUKUM ISLAM JADI.docx
MAKALAH ANTROPOLOGI HUKUM ISLAM
“ PLURALISME HUKUM DALAM PERSPEKTIF GLOBAL “
DisusunOleh :
MufidaHerdani 103800
HendraHidayatullah 10380041
Sukma Hani Noor Kh 10380053
JURUSAN MUAMALLAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai suatu konsep akademik, pengertian pluralism hokum terus berkembang,
berubah dan dipertajam melalui berbagai perdebatan ilmiah dari para ahli dan pemerhati
dalam ranah hokum dan kemasyarakatan ( studisosialegal ). Pengertian pluralisme pada
masa awal sangat berbeda dengan masa sekarang. Pada masa awal pluralism hokum
diartikan sebagai ko-eksistensi antara berbagai sistem hukum dalam lapangan sosial
tertentu yang dikaji, dan sangat menonjolkan dikotomiantara hukum Negara di satusisi
dan berbagai macam hukum rakyat di sisi yang lain( Griffiths, 1986 ) dan dalam hal ini
paraahli hanya sekedar melakukan pemetaan terhadap keane karagaman hokum dalam
lapangan kajian tertentu( mapping of legal universe ).
Saat ini paradigma baru dalam pluralism hukum dikaitkan dengan“ hukum yang
bergerak “ dalam ranah globalisasi. Sepanjang sejarah kita dapat mengidentifikasi adanya
fenomena globalisasi melalui ekspansi yang hegemonil, penyebaran agama
danperdagangan.Olehkarenaitusangatpentinguntuk melihat globalisasi dalam konteks
sejarah. Narasi besar mengenai pluralisme hukum mengalami re-definisi, sama seperti
banyaknya pemikiran teoritis dan implikasi metodologisnya dalam banyak cabang ilmu
sosial lain yang memerlukan penjelasan baru karena adanya fenomena globalisasai.
Sehingga dalam definisi ulang ini, diperlihatkan bahwa hukum Dari berbagai arus
dan penjuru dunia bergerak memasuki wilayah-wilayah yang tanpa batas dan terjadi
persentuhan , interaksi, kontestasi dan saling adopsi yang kuat diantara hukum
internasional, nasionaldan local (dalam konteks sosiopolitik tertentu). Terciptalah hukum
transnational dan transnationalized law sebagi akibat dari terjadinya persentuhan dan
penyesuaian diri dan pemenuhan kepentingan akan kerjasama antar bangsa.
Oleh karena itu penting kiranya bagi kita untuk membahas sejauh mana pluralism hukum
dalam prespektif global saatini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PLURALISME HUKUM DALAM PRESPEKTIF GLOBAL
Berbagai perdebatan dan diskusi telah melahirkan pemikiran-pemikiran baru
tentang pluralisme hukum yang lebih tajam dan berarti dalam menganalisis fenomena
hukum dalam masyarakat diberbagai belahan ekonomi dunia. Dalam era perdagangan
bebas ini telah terjadi pertukaran uang, barang dan jasa melalui berbagai aktivitas bisnis
secara besar-besaran. Kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat telah
memungkinkan peristiwa tersebut. Aktivitas ini telah menyebabkan kita sebagai suatu
warga pasar dunia besar. Hampir semua barang dan jasa darimana pundapat ditemukan di
berbagai penjuru dunia. Hal ini tidak hanya berlaku pada korporasi multinasional yang
bisa melakukan bisnis transasional akan tetapi individu juga dapat melakukannya.
Seiring terjadinya pertukaran ekonomi, terjadi juga pertukaran dalam bidang
politik, melalu iberbagai aktivitas dan kerjasama politik bilateral maupun multirateral.
Secara singkat dapat dikatan bahwa hamper tidak ada lagi Negara yang dapatmen
jalankan politik tertutup secara absolut. Borderless menjadi salah satu atribut globalisasi.
B. GLOBALISASI HUKUM
Dapat dikatakan bahwa globalisasi merupakn persebaran nilai, konsep, dan hukum
dari berbagai penjuru dunia menuju berbagai penjuru dunia. Globalisasi juga diiringi oleh
proses di mananilai-nilai“ local “ ( seting politik dan konteks ) dibawa dari satu tempat
ketempat lain.
Bagaimana dengan globalisasi hukum?
Globalisasi tidak lagi dapat diartikan sebagai “perjalanan dari arah barat ke timur”
melalui penyebaran nilai dan konsep demokrasi, hak asasi manusia beserta instrumen
hukumnya. Namun globalisasi adalah persebaran nilai, konsep dan hukum dari berbagai
penjuru dunia menuju ke berbagai penjuru dunia sebaliknya. Globalisasi juga diiringi
oleh glokalisasi dimana nilai-nilai lokal (seting politik dan konteks) dibawa dari suatu
tempat ketempat yang lain.
Globalisasi tidak hanya diindikasikan pada borderless state, tapi juga borderless
law. Hukum dari wilayah tertentu dapat menembus ke wilayah-wilayah lain yang tanpa
batas. Hukum internasional dan transnasional dapat menembus kewilayah negara-negara
manapun, bahkan wilayah lokal sekalipun.
Ide-ide mengenai “keadilan” dari berbagai dunia maupun lokal dapat menjadi
instrimen hukum internasional yang dirumuskan bersama oleh banyak delegasi dari
negara dan mengikat bagi negara yang meratifikasinya.
Contoh lain adalah kebijakan dan progran internasional yang dikenal sebagai
MDG’s (Millenium Development Goals) dengan delapan tujuan yang ditargrtkan akan
tercapai pada tahun 2015, yaitu:
1. Mengurangi kemiskinan
2. Pendidikan untuk semua
3. Kesetaraan gender
4. Mengurangi kematia anak
5. Memperbaiki kesehatan ibu
6. Memberantas penyakit
7. Pelestarian lingkungan
8. Kerjasama global.
Negara-negara PBB terkait pada kebijakan bersama ini. globalisasi hukum tidak
hanya memunculkan persoalan-persoalan global, namun juga menyebabkan hukum
nternasional tidak hanya mengatur soal kenegaraan saja tetapi juga mengatur kerjasama
non kenegaraan yang berkaitan dengan intervensi humanitarian, promosi nilai-nilai
demokrasi “rulr of law” dan “transnasional accountabillity. (benda beckman, et al
2005:5)
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana ketika hukum dan kebijakan
internasional diimplementasikan dan berhadapan dengan entitas regional, etnik dan
keagamaan?
Sangat menarik ketika melihat bagaimana hukum dari luar ketika masuk kedalam
wilayah nasional. Tanggapan bisa beragam, bisa jadi hukum internasional akan
direproduksi, meskipun mungkin tetap dianggap sebagai hukum asing. Atau bisa juga
hukum asing itu menjadi hukum hibrida, terlebur dan terserap sebagai bagia yang tidak
terpisahkan dari struktur hukum nasional.
Gambaran mengenai hal ini banyak sekali ditemukan dalam hukum indonesia,
dalam bidang Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam UU No. 39/1999, pasal 45
menyebutkan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia. UU No. 23/2000 tentang
Perlindungan Anak, Per Pres No. 9/2000 tentang gender mainstreaming dalam
pembangunan nasional, UU No. 12/2003 tentang pemilu, Pasal 65 (1) mengatur kuota
politik perempuan dalam parlemen, dan UU Pemilu No. 10/2008, UU No 23/2004
tentang penghapusa n kekerasan dalam rumah tangga, UU No 3/1997 tentang
pelindungan anak, dan masih banyak lagi undang-undang yang mengatur terkakit hak
asasi manusia dan hak asasi perempuan dan anak.
Kemudian bagaimana tenggapan mesyarakat ditingkat lokal?
Dalam situasi ini latar belakang osial dan politik tingkat lokal sangat menentukan
bagaimana mereka menaggapi hukum ari luar. Dalam hal ini bisa terjadi kontestasi
(perlombaan/persaingan) (wiber, 2005) atau nilai-nilai lokal mengalami reframing,
revitalisasi, reproduksi dalam kerangka penyesuaian diri dari prinsip-prinsip hukum
internasional tersebut. di Indonesia sering kali kita jumpai penolakan dari kelompok
tertentu terhadap ide-ide hak asasi manusia yang bersifat universal, yang dianggap
merupakan ide-ide barat dan dipertentangkan dengan ide hak asasi ke timuran.
Siapa aktor yang menyebabkan hukum bergerak?
Dalam globalisasi hukum dapat dijumpai adanya mobilitas aktor dan organisasi
yang menjadi media bagi lalu lintas bergeaknya hukum. Contohnya dalah para (buruh)
migran yang “membawa” hukumnya sendiri ke negara tujuan, orang-orang yang sering
berada di berbagai negara (pedagang, ekspartiat), pegawai negri (yang bertugas mewakili
negara/diplomat). NGO internasional, multinational corporation, dan mereka yang yang
dapat berkomunikasi denga dunia luar. Aktor-aktor ini lah yang membuat hukum
bergerak. Mereka aktor yang penting dalam proses globalisasi dan glokalisasi hukum.
Dalam globalisasi hukum dampak sosial dan politik kewarganegaraan
berdasarkan hukum negara tentulah sangat pnting. Namun “kewrganegaraan” yang
didefinisikan secara lokal berdasarkan ikatan kepala desa asal dia berada mungkin lebih
penting dari negara. Itu sebabnya banyak warga negara yang lebih mengendepan kan
nilai-nilai kebudayaan dan agama. Dalam hal perkawianan sampuran dengan orang asing
dan tinggal dinegara lain, memiliki identitas baru. Dalam hal ini terlihat sekali bahwa
kewarganegaraan hanya dianggap sebagi persoalan administrasi belaka, mereka tetap
mengidentikan diri terhadap agama dan budaya dimana mereka berasal. Demikina juga
dengan migrasi antar negara, mereka lebih mengedepankan etnisitas dan keagamaan
daripada batas-batas sebuah negara.
Dalam hal ini ada suatu kelompok masyarakt yang asangat penting peranannya
dalam pergarakan hukum. Epistemic community adalah suatu entitas dimana akademisi ,
ahli, ilmuan atau perancang undang-undang (lega drafter) saling berinteraksi melewati
batas-batas negara untuk menghasilkan konsep norma-norma global yang digunakan
sebagai solusi atas suatu masalah.
Implikasi metodologis: Multispatial, multisited Ethnography
Berbagai tulisan dalam people mobile law memperlihatkan pentingnya meliht
mata rantai interaksi yang menghubungkan para actor transnasional, nasional dan local
yang melakukan negoisasi dalam arena multitised, dan didasarkan pada relasi-relasi
kekuasaan. Sangat penting untuk melihat bagaimana relasi kekuasaan itu menstrukturkan
interaksi, dan bagaimana interaksi diproduksi dan diubah oleh aktor-aktor tersebut. Hal
diatas sangat berkaitan dengan perspektif baru dalam metodologi antropologi, khususnya
etnografi, dalam mempelajari globalisasi, dimana pendekatan pluralisme hukum
mendapat perspektif yang “baru”.
Etnografi controversial yang didasarkan pada studi mikro local, yang hanya
berpusat pada kehidupan suatu desan, dibatasi oleh batas geografi dan teritorial dianggap
tidak relevan lagi, karena tidak dapat menjawab tantangan yang diajukan oleh globalisasi
hukum. Dengan demikian pengetahun masyarakat tidak dapat dibatasi lagi hanya sebatas
pengetahuan yang terjadi dalam relasi social yg face to face, tetapi juga harus dapat
dilihat bagaimana masyarakat dihubungkan oleh teknologi informasi, pola konsumsi
global, konfigurasi geopolitik yang terus berubah. Hal yang diperbincangkan adalah
dimensi spasial dan temporal dari globalisasi hukum dan penelusuran terhadap muncul,
mengalir dan dari hukum pengaruh dari hukum transnasional terhadap arena social yang
kecil.
Metodologi penelitian semacam ini pernah ditunjukan oleh para antropolog yang
muncul sebelumnya. Sangatlah signifikan untuk menunjukan hubungan antara peristiwa
pada skala yang lebih luas dengan peristiwa pada tingkat lokal.
Pluralisme hukum perspektif global: seperti apa?
Ciri pluralism hukum dalam perspektif global yang member perhatian pada
fenomena globalisasi hukum barangkali akan memunculkan pertanyaan, apakah
maksudnya bahwa system hukum yang berbeda itu saling berkontestasi atau sebaliknya
beradaptasi satu sama lain, sehingga suatu hukum tertentu tidak dapat dipandang sebagai
suatu entitas yang jelas batas-batasnya karena sudah berbaur satu sama lain?
Saya akan mengingatkan kembali mengenai konsepsi hukum yang banyak
disepakati dikalangan antropolog hukum, yaitu hukum adalah proposisi yang
mengandung konsepsi normatif dan konsepsi kognitif. Sebagai contoh dalam konsepsi
normatif, tindakan korupsi, perdagangan orang, pelangggaran HAM, dilarang oleh semua
system hukum baik Negara, agama, adat, maupun kebiasaan lain. Namun kognisi
mengenai apa yang disebut sebagai korupsi atau perdagangan orang atau HAM bisa
sangat berbeda diantara berbagai system hukum tersebut.
Pada masa sekarang konsep hukum yang mengacu pada konsepsi normatif dan
kognitif ini dapat digunakan untuk menguraikan kerumitan dalam menjelaskan kerangka
piker pluralisme hukum “baru”. Hukum dipandang terdiri atas komponen-komponen,
bagian-bagian atau cluster, yaitu konsepsi normatif, konsepsi kognitif dan para actor.
Hendaknya melihat bahwa kluster atau komponen dari inilah saling bersentuha,
berpengaruh, dan berinteraksi membentuk konfigurasi hukum “baru”.pembahasan
mengenai kompleksitas pluralism hukum dalam perspektif global, disebabkan oleh fakta
mengenai kostelasi pluralisme hukum yang dicirikan oleh besarnya keragaman dalam
karakter sistemik dari tiap-tiap kluster.
BAB III
Kesimpulan
Pendektan pluralisme hukum dalam perspektif global mengajak kita untuk
berhati-hati dalam menyikapi keragaman hukum. Kita tidak lagi dapat membuat mapping
of legal universe menarik garis batas yang tegas untuk membedakan suatu entitas hukum
tertentu dari yang lain. Kita sukar untuk menarik batas yang tegas antara hukum
internasional, transnasional, nasional, dan lokal, karena system system yang berasal dari
tataran yg berbede-beda itu saling bersentuhan,berkontestasi, saling berproduksi dan
mengadopsi satu sama lain secara luas. Pendekata pluralisme hukum dalam perspektif
global juga menunjukan kepda kita pentingnya untuk melihat para actor yang
menyababkan huum bergerak dan kontekstualisasi sejarah globalisasi hukum.
Secara metodologis,pendekatan pluralisme hukum perspektif global member
sumbangan yang sangat berharga karena masyarakat tidak lagi harus dipelajari dalam
ruang geografidan teritori yang terbatas. Masyarakat harus dilihat dalam arena yang
multisited, karena terhubung oleh relasi bisnis, politik,sosisal, dan dihubungkan oleh
enemuan teknologi komunikasi yang sangat menakjubkan.