Komunikasi Budaya-Sumadi

15
Peace Resolution for POSO by Sumadi (Pesantren Darussalam Ciamis) and B. Arnold Simangungson (Universitas Pelita Harapan Jakarta) Latar Belakang Konflik Poso Konflik di Indonesia sudah seperti dinamika yang tiada henti. Pemicu konflik mungkin persoalan yang sangat kecil tetapi rasa etnosentris, dominasi, dan kekuasaan telah membuat konflik menjadi besar. Kadangkala makin besarnya konflik bukan karena ketiadaan kesadaran masyarakat yang berkonflik untuk hidup harmonis, tetapi ada faktor-faktor kepentingan yang ikut bermain dalam rangka melanggengkan kekuasaan yang sudah dimilikinya. Di Indonesia, misalnya kita ambil contoh adalah konflik di Poso. Poso yang merupakan salah satu kota dari Sulawesi Tengah terdiri dari 8 wilayah yang kebanyakan adalah beragama Islam di Kota dan pesisir pantai dan Protestan di daerah dataran tinggi. Tapi semenjak tahun 1990-an, sektor ekonomi dikuasai oleh orang-orang pendatang, dimana etnis Cina dan pedagang Bugis mendominasi pedagangan kakao, cengkeh dan kopra yang merupakan sumber penghasilan terbesar bagi penduduk Poso. Karena dominasi inilah yang akhirnya menjadi pemicu, ketika seorang Pemuda Protestan membunuh pemua Islam karena persoalan jual beli hingga akhirnya konflik merambat menjadi konflik agama. Konflik Poso merupakan konflik horizontal antar agama, meskipun sebenarnya konflik tersebut tidaklah sesederhana itu, karena melibatkan juga persilangan antar etnik, baik lokal maupun pendatang dan kepentingan politik sipil maupun militer serta masuknya kekuatan luar, baik seperti laskar jihad maupun militer seperti satuan-satuan TNI dan Polri yang di-BKO-kan.

description

"Peace Resolution for POSO Pendekatan Budaya"Oleh : Sumadi and A.Benekdiktus.simangungsong

Transcript of Komunikasi Budaya-Sumadi

Page 1: Komunikasi Budaya-Sumadi

Peace Resolution for POSO

by Sumadi (Pesantren Darussalam Ciamis) and B. Arnold Simangungson (Universitas Pelita Harapan Jakarta)

Latar Belakang Konflik Poso

Konflik di Indonesia sudah seperti dinamika yang tiada henti. Pemicu konflik mungkin

persoalan yang sangat kecil tetapi rasa etnosentris, dominasi, dan kekuasaan telah membuat

konflik menjadi besar. Kadangkala makin besarnya konflik bukan karena ketiadaan kesadaran

masyarakat yang berkonflik untuk hidup harmonis, tetapi ada faktor-faktor kepentingan yang ikut

bermain dalam rangka melanggengkan kekuasaan yang sudah dimilikinya.

Di Indonesia, misalnya kita ambil contoh adalah konflik di Poso. Poso yang merupakan

salah satu kota dari Sulawesi Tengah terdiri dari 8 wilayah yang kebanyakan adalah beragama

Islam di Kota dan pesisir pantai dan Protestan di daerah dataran tinggi. Tapi semenjak tahun

1990-an, sektor ekonomi dikuasai oleh orang-orang pendatang, dimana etnis Cina dan pedagang

Bugis mendominasi pedagangan kakao, cengkeh dan kopra yang merupakan sumber

penghasilan terbesar bagi penduduk Poso. Karena dominasi inilah yang akhirnya menjadi

pemicu, ketika seorang Pemuda Protestan membunuh pemua Islam karena persoalan jual beli

hingga akhirnya konflik merambat menjadi konflik agama.

Konflik Poso merupakan konflik horizontal antar agama, meskipun sebenarnya konflik

tersebut tidaklah sesederhana itu, karena melibatkan juga persilangan antar etnik, baik lokal

maupun pendatang dan kepentingan politik sipil maupun militer serta masuknya kekuatan luar,

baik seperti laskar jihad maupun militer seperti satuan-satuan TNI dan Polri yang di-BKO-kan.

Konflik Poso dimulai pada tahun 1998 awalnya dipicu oleh tindakan-tindakan kriminal

yang tidak mendapatkan proses yang menindakan perilaku kriminal tersebut secara penuh oleh

aparat keamanan. Lalu konflik tersebut menyebar menjadi konflik horizontal antara komunitas

Muslim dan Kristen sehingga memicu para elit politik dan agama, dimana agama dibagi lagi

menjadi kelompok-kelompok etnis yang dibedakan oleh agama mereka, terjebak dalam

memandang konflik sebagai dikotomi konflik agama.

Berlanjutnya konflik ini akhirnya menuntut Pemerintah untuk turun tangan menangani

masalah ini dengan melakukan rencana rekonsialiasi untuk pihak-pihak yang bermusuhan

melalui 10 poin persetujuan yang dikenal sebagai Deklarasi Malino 1, yang ditandatangani pada

20 desember 2001. Tetapi dari persetujuan Deklarasi Malino 1, tidak mengalami penurunan

Page 2: Komunikasi Budaya-Sumadi

tingkat konflik, malah terus berlanjut hingga tahun 2004 masih terdapat 129 peristiwa kekerasaan

yang terjadi.

Kejadian kekerasaan ini pada tingkat akar rumput telah membentuk individu menjadi

lebih mudah ’terprovokasi’ oleh pernyataan-pernyataan elit yang memecah belah sehingga

membuat kondisi yang sudah aman menjadi bergejolak lagi. Kejadian ini memperlihatkan

bagaimana komunikasi tidak berjalan dengan baik sehingga membuat individu masyarakat

menjadi rentan terhadap isu-isu yang dapat memperbesar konflik sehingga aturan-aturan sosial

tidak mampu dibentuk dengan baik.

Kondisi lain yang memperlihatkan bahwa kekerasaan tidak menurun adalah

ketidakpercayaan masyarakat, dikedua belah pihak terhadap aparat keamanan. Kaum muslim

akhirnya lebih percaya dengan Laskar Jihad yang datang dari Jawa untuk menjaga rasa aman

mereka. Kejadian ini akhirnya membuat ’aturan sosial’ bukan dibuat oleh sistem yang ada, tetapi

menurut persepsi masing-masing pihak.

Penyebab Konflik Poso

Konflik poso dimulai bukan hanya dari sudut pandang agama, tetapi hal pertama yang

dilihat adalah konflik ini bermula dari kesenjangan sosial ekonomi, terutama mengenai

pergeseran pemegang tampuk kekuasaan, dari etnis asli (pamona) ke pendatang baru.

Pergeseran kesenjangan ini menyebabkan perubahan pola rekrutmen dan pusat perekonomian

yang pindah wilayah. Pola rekrutmen dan pusat perekonomian yang berubah telah menuntut

masyarakat asli lokal untuk berbagi peran dengan kaum pendatang. Berbagi peran mungkin tidak

akan membuat konflik berkepanjangan, tetapi yang terjadi adalah terbentuknya pola

pendominasian oleh kaum pendatang kepada kaum asli lokal, sehingga kaum asli lokal terjepit

dan bahkan termarginalisasi. Akibat dari marginalisasi, terutama berkurangnya pemasukan

pendapatan untuk kebutuhan sehari-hari mengakibatkan kaum asli lokal berusaha untuk

meraihnya kembali posisi sebelumnya. Ketika terjadi perebutan posisi secara sosial ekonomi

inilah terjadi perbenturan kepentingan antara kedua kelompok etnis.

Kondisi lain yang perlu kita ketahui mengenai konflik Poso yang melibatkan 2 kelompok

besar, yaitu asli lokal dengan pendatang dalam hal pembagian peran dan penerimaan sumber

daya sosial dan ekonomi, maka dapat terlihat bahwa "konflik" sebenarnya bukan hanya masalah

sosial ekonomi, tetapi karena 'keserakahan' manusia yang tidak mau masuk ke area untuk cukup

terhadap pendapatan atau pemasukannya. Kondisi konflik ini terjadi karena tidak adanya

pembagian yang seimbang, komunikasi untuk berbagi peran yang tidak seimbang, dan power

Page 3: Komunikasi Budaya-Sumadi

salah satu pihak yang terlalu besar sehingga keterlibatan masyarakat asli lokal tidak terjangkau

dengan baik.

Penyebab lain terjadinya konflik adalah adanya dominasi salah satu agama terhadap structural

Pemerintahan. Sebelumnya sudah ada konsesus antara tingkatan masyarakat di Poso bahwa

jabatan structural dibagi antara 2 kelompok, yaitu Islam dan Protestan. Karena jabatan paling

tinggi adalah Bupati dan Sekwilda, maka apabila Bupatinya adalah Muslim, maka Sekwildanya

adalah Protestan. Tetapi konsesus ini terputus ketika tahun 1999 kelompok Muslim menguasai

kedudukan structural ini.

Hipotetikal

Konflik adalah sebuah gabungan antara krisis ekonomi dan kesempatan karena

melibatkan perubahan-perubahan konfigurasi kekuaran dan alokasi sumber daya sebagai

tantangan dari suatu kepentingan, aspirasi, kesempatan dan persepsi yang ada. Jadi konflik bisa

dikatakan bukan hanya sebagai krisis tetapi juga sebagai kesempatan untuk perubahan (Barron,

2004) -- working paper social development paper : conflict prevention and reconstruction, paper

no.19/dec 2004).

Konflik di Poso sebenarnya memperlihatkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap orang lain

yang hidup berdampingan tidak berjalan baik. Mereka masih menilai diri mereka lebih berharga

dibandingkan orang lain dan selalu mengganggap bahwa dominasi mereka lebih kuat

dibandingkan orang lain terutama mereka yang pendatang dan minoritas. Peristiwa sebelum dan

setelah Perjanjian Malino 1 tidak membuat individu yang ada dalam masyarakat peduli dan

perhatian terhadap nilai, norma, dan kebiasaan hidup yang harmonis sebelum terjadi konflik.

Dalam mempelajari konflik apalagi konflik di Indonesia, maka kita tidak akan terlepas

atau saling kait mengkait dengan indikator budaya. Indikator untuk menganalisis konflik dengan

menggunakan pendekatan budaya dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, seperti yang

dikatakan oleh Martin dan Nakayama (2004, 47), yaitu : 1) pendekatan ilmu sosial atau

pendekatan fungsionalis; 2) pendekatan interpretif; 3) pendekatan kritis. Ketiga pendekatan ini

berbeda dalam cara memandang perilaku manusia, cara melakukan penelitiannya, metodologi,

serta pemikiran dalam melakukan konseptualisasi mengenai budaya dan komunikasi.

Pendekatan sosial atau fungsionalis

Pendekatan fungsionalis mengatakan bahwa perilaku manusia bisa diprediksi dan tujuan dari

peneliti adalah untuk menggambarkan dan memprediksi perilaku manusia. Karena itu peneliti

Page 4: Komunikasi Budaya-Sumadi

yang melakukan pendekatan ini seringkali menggunakan metode kuantitatif. Pendekatan ini

didasarkan pada area psikologi dan sosiologi.

Pada pendekatan yang berfokus pada metode kuantitatif, maka cara untuk mengetahui mengenai

konflik yang ada di Poso itu sendiri bisa dilakukan dengan menggunakan survai dengan

mengukur tingkat perhatian mereka terhadap konflik dan penyelesaiannya. Kemudian melalui

pendekatan ini kita juga dapat mengetahui bagaimana pengaruh konflik ini terhadap tingkat

ketakutan mereka terhadap individu yang berlainan, baik secara ideologis, posisi geografis, dan

gender maupun secara agama. Atau kita bisa melakukannya untuk mengetahui pengaruh

‘opinion leaders’ terhadap sikap dan perilaku masyarakat yang terlibat konflik.

Pendekatan Interpretive

Pendekatan ini didasarkan pada area sosiolinguistik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa realitas

bukan berada diluar diri manusia, tetapi realitas adalah sesuatu yang dikonstruksi oleh manusia

atau dengan perkataan lain manusia yang memberikan makna terhadap realitas. Pada

pendekatan ini metode yang bisa dilakukan untuk mempelajari mengenai konflik itu sendiri bisa

dilakukan dengan cara observasi partisipan maupun melakukan studi lapangan secara langsung.

Dengan melakukan metode studi lapangan dan observasi partisipan diharapkan kita dapat

mengetahui dengan jelas bagaimana individu, baik yang ‘terlibat’ secara langsung ataupun tidak

sama sekali dalam konflik mencoba menilai mengenai konflik Poso ini. Apa yang akan mereka

maknai dari konflik ini ? apakah konflik ini merupakan konflik agama, ekonomi, politis, atau

lainnya ?

Cara lainnya adalah dengan menggunakan metode etnografi. Metode ini berusaha untuk

menggambarkan pola-pola komunikasi yang terjadi diantara kelompok-kelompok yang bertikai.

Dalam kasus ini sebagai seorang peneliti kita bisa menemukan bagaimana cara berpikir,

bersikap dan berperilaku anggota dalam suatu kelompok mengenai budaya, mengenai konflik

yang terjadi dan mengenai rasa memilikinya. Pendekatan ini biasanya menggunakan metode

kualitatif yang diambil dari antropologi maupun sosiologi karena kita tidak hanya melihat budaya

saja tetapi juga system kemasyarakatannya.

Pendekatan Kritis

Pendekatan kritis berfokus pada pentingnya mempelajari konteks atau kondisi dimana

komunikasi terjadi – seperti situasi, latar belakang, atau lingkungan. Pendekatan ini juga bersifat

subjektif namun juga tertarik pada adanya suatu kekuataan dalam komunikasi. Jadi bisa

dikatakan bahwa pendekatan ini melihat manusia atau kelompok manusia mempunyai dominasi

Page 5: Komunikasi Budaya-Sumadi

satu terhadap lainnya dan pendekatan ini berusaha untuk mengeliminasi dominasi ini sehingga

kondisi masyarakat dapat berubah atau seperti dikatakan oleh Littlejohn (1996,17),” they are

especially concerned with inequality and oppression”.

Jadi pada pendekatan ini budaya memainkan peran penting untuk penyelesaiannya. Salah satu

metode yang bisa digunakan untuk menampilkan pendekatan ini adalah dengan menggunakan

analisis tekstual yang tersaji pada media. Sehingga bisa dikatakan bahwa pada konflik Poso ini

secara kasat mata tidak terlihat ada kondisi yang mendominasi, tetapi konflik dipicu karena rasa

aman dari aparatur pemerintahan tidak berjalan dengan baik sehingga akhirnya aturan dibuat

dengan persepsi masing-masing kelompok. Pada kondisi ini, pendekatan kritis digunakan untuk

mencoba menggali akar konflik serta mengkritisinya.

Dari ketiga pendekatan diatas, Sosial, interpretif dan kritis, maka Nakayama (2004, 62)

menawarkan pendekatan yang mengaitkannya dengan bidang budaya yaitu pendekatan

dialektikal. Nakayama mengatakan bahwa pendekatan dialektikal menekankan pada suatu

proses (dimana fenomena dianggap sebagai suatu yang terus berubah), hubungan (bahwa

diantara elemen-elemen budaya saling terkait satu dengan lainnya), dan kontradiksi yang biasa

terjadi pada komunikasi antar budaya, dimana mencakup segala jenis pengetahuan antar

budaya. Inilah yang coba kita bahas dalam menawarkan solusi penyelesaian konflik.

Konseptualisasi Konflik

Masalah konflik, terutama konflik di suatu daerah, selalu dimulai dengan adanya

perbedaan budaya diantara anggota kelompok maupun kelompok dalam masyarakat. Secara

terminologi konsep konflik dapat digabungkan dari 2 hal penting terutama dalam masyarakat,

yakni krisis ekonomi dan kesempatan. Kedua hal ini erat kaitannya dengan perubahan

konfigurasi kekuatan dan alokasi sumber daya sebagai tantangan dari suatu kepentingan,

aspirasi, kesempatan dan persepsi yang ada. Sehingga konflik itu sendiri menurut Barron (2004),

” bahwa konflik bisa dikatakan bukan hanya sebagai suatu krisis tetapi juga kesempatan untuk

perubahan”. working paper social development paper : conflict prevention and reconstruction,

paper no.19/dec 2004).

Sebagai suatu krisis, berarti konflik bisa dilihat sebagai suatu kondisi dimana terjadinya

disintegrasi dari kelompok masyarakat yang terlibat konflik, tetapi sebagai suatu kesempatan

berarti konflik bisa digunakan sebagai medium untuk membuat harmonisasi dalam masyarakat

menjadi semakin baik dan terikat. Apalagi konflik seringkali ”diekspose” oleh media untuk

kepentingan kelompok tertentu sehingga konflik yang seharusnya menjadi suatu medium

kesempatan menjadi lebih menjadi krisis yang lebih besar. Untuk awal ini kita akan memberikan

Page 6: Komunikasi Budaya-Sumadi

gambaran mengenai definisi konflik sehingga kita bisa mencapai pengertian, mengenai apa itu

konflik.

Konflik dapat diketahui dengan beberapa karakteristik yang mempengaruhinya. Menurut

Horowitz (2000), konflik dapat dibagi menjadi 4 (empat) perspektif besar, yaitu secara sosiologi

budaya, ekonomi politik, sosiologi politik, dan antropologi. Perspektif sosiologi budaya, atau biasa

disebut sebagai primodialisme, konflik terjadi akibat adanya perbedaan antara satu kelompok

etnis dengan kelompok etnis yang lain dengan memiliki ’akar’ budaya yang sudah kuat. Sehingga

perbedaan bukan menjadi harmonisasi, tetapi sebagai ’medium’ untuk saling mendominasi.

Perspektif ekonomi politik, menurut Galtung (1969),sebagai penyebab terjadinya konflik

adalah suatu kondisi dimana terdapat adanya dominasi dan ekploitasi dalam masyarakat, dan

Galtung juga menekankan bahwa suatu ’perdamaian yang abadi’ tidak akan pernah ada.

Pemikiran Galtung ini mengindikasikan bahwa konflik ada sejauh manusia dan kelompoknya

melakukan dominasi dan eksploitasi yang akhirnya merugikan pihak lain.

Sedangkan perspektif sosiologi politik konflik lebih ditekankan pada peran yang

dimainkan oleh kaum intelektual dan elit politik dalam menciptakan (dan mempertahankan)

konsepsi mengenai individu dan kelompok dengan menekankan pada pentingnya pemahaman

karakteristik dari lembaga masyarakat dimana konflik terjadi.

Pada perspektif antropologi memberikan suatu pengertian mengenai konflik yang

terfokus pada pemahaman tentang bagaimana suatu komunitas mencoba mempertahankan

tatanan dalam konteks dimana konflik antar manusia terus berlanjut. Konflik antar manusia itu

meliputi konflik mengenai status kepemilikan, batasan, sumber daya utama (air), kepemimpinan,

dan dinamika keluarga (hubungan kekerabatan, hubungan seksual),

Sedangkan satu lagi definisi mengenai konflik dari sisi persepsi manusia dikatakan oleh

Neuliep (2006, 5),”conflict stems from our inability to see another person’s point of view,

especially if that person is from different culture”. Ini berarti bahwa konflik bukan hanya karena

adanya pandangan secara ekonomi politik, sosiologi politik, antropologi dan sosiologi budaya,

tetapi juga dari faktor stereotype yang dipersepsi individu terhadap individu lainnya, karena

perbedaan ’frame of reference’ dan ’field of experience-nya’.

Menurut Stella Ting Toomey seperti dikutip oleh Gudykunst (2005, 72),” conflict of any

kind is an emotionally laden, face-threatening phenomenon”. Kemudian konflik itu sendiri dibagi

menurut 3 macam tujuan konflik, yaitu 1) content conflict. Suatu konflik yang terjadi mengenai

isu-isu eksternal diluar individu-individu yang terlibat; 2) Relational conflict. Bertujuan untuk

mengetahui bagaimana individu-individu mencoba untuk mendefinisikan mengenai suatu

Page 7: Komunikasi Budaya-Sumadi

hubungan dalam suatu tahapan-tahapan konflik; 3) identity-based goals. Berkaitan dengan isu-

isu yang berkaitan dengan sebuah identitas, konfirmasi-penolakan, hormat-tidak hormat,

persetujuan-ketidaksetujuan. Pada penulisan ini tujuan konflik terfokus pada identity based goals,

dimana konflik itu bukan hanya diselesaikan dengan negosiasi, tetapi juga merupakan suatu

dialektika.

Penekanan pada tulisan ini adalah bukan pada konflik itu sendiri tapi bagaimana konflik

yang bernuansa budaya coba diresolusi dengan baik. Kita coba mulai dengan fokus kepada

budaya sebagai medium resolusi konflik. Budaya secara gamblang dapat dikatakan sebagai hasil

karya manusia – manusia membentuk budaya berdasarkan interaksi dalam kehidupan

bermasyarakatnya. Oleh karena interaksi tersebutlah budaya tidak bisa terlepas dari komunikasi

dengan manusia lain.

Memahami antara budaya dan komunikasi seringkali mengalami suatu kesulitan

tersendiri. Karena komunikasi selalu fokus pada aktivitas yang prosesual, maka dari itu budaya

sebagai hasil interaksi manusia juga harusnya bersifat prosesual. Maksud dari prosesual disini,

seperti dikutip dari Martin dan Nakayama (2004, 62), adalah perubahan budaya yang terus

menerus atau bisa dikatakan sebagai dinamis. Perubahan budaya akhirnya terkait dengan

manusia yang membentuk budaya juga terus berubah.

Sedangkan Menurut Stella Ting Toomey dalam Gudykunst (2005, 71),” culture is learned

system of meanings that fosters a particular sense of shared identity and community among its

group member”. Bisa dikatakan bahwa suatu budaya bisa digambarkan sebagai sebuah sistem

yang memperlihatkan identitas yang sama, artinya bahwa identitas tersebut sudah diinteraksikan

dalam waktu yang cukup signifikan didalam sistem komunitasnya.

Seperti dikatakan oleh Stuart Hall bahwa ”culture affect communication, and

communication affect culture”. Ini berarti budaya tidak akan muncul dan terus diketahui tanpa

adanya saluran komunikasi yang mewadahinya. Kalau dikaitkan dengan konflik Poso, konflik ini

menjadi tereskalasi salah satunya karena budaya bukan digunakan sebagai alat harmoniasasi,

tetapi sebagai alat penguat etnosentris. Disini etnosentris dikatakan sebagai tendensi untuk

menempatkan kelompoknya sendiri (budaya, etnis atau keagamaan) dalam posisi yang lebih

penting dan lebih tinggi yang kemudian akan menciptakan sikap negatif dan perilaku terhadap

kelompok lainnya.

Budaya sebagai suatu saluran etnosentris telah membawa konflik sebagai bagian dari

suatu budaya. Kondisi seperti ini telah membuat konflik sebagai bagian dari aktivitas budaya

seperti dikatakan oleh John Paul Lederach, seperti dikutip oleh Avruch, Black, & Scimecca (1998,

Page 8: Komunikasi Budaya-Sumadi

11), ” conflict are in every sense of the word, ”cultural events” – such common sense includes

knowledge about what is right and wrong, how to proceed, whom to turn to, when, where, and

with what expectations”. Jadi bisa dikatakan bahwa konflik dasarnya bisa disamakan dengan

kegiatan kultural karena tiap individu mempersepsikan apa yang didapatnya dengan dikotomi

yang jelas yaitu siapa yang salah dan siapa yang benar.

Dikotomi yang salah dan benar merupakan suatu bentuk persepsi yang terbentuk karena

faktor identitas sosial mereka. Seperti dikatakan oleh Hect et.al dalam Gudykunst (2005, 259),”

identity formation as a product of social categorization – are parts of a structured society.

Individuals belong to various social categories and form identities based on membership social

categories”. Jadi bisa dikatakan bahwa sebenarnya anggota dalam kelompok masyarakat, baik

itu Muslim ataupun Protestan, sudah dibentuk oleh identitas sosial yang melekat sebelumnya

sejak mereka lahir.

Identitas sosial yang melekat inilah yang membuat persepsi mereka mengenai kehidupan

selalu terfokus pada etnosentris diri dan kelompok mereka. Sehingga tidak dapat dipungkiri

bahwa ketika ada satu individu atau kelompok ’merasa’ diri mereka atau harga diri mereka

ataupun kelompok didominasi akan keluar untuk mempertahankannya. Kondisi inilah yang

dikatakan oleh Lederach bahwa konflik adalah sebuah aktivitas budaya.

Sebagai aktivitas budaya konflik seperti dinyatakan oleh Lederach, membawa

konsekuensi bahwa konflik tidak akan pernah lepas dari dinamika yang melingkupinya. Karena

itu kalau Lederach, mengajukan suatu pemikiran bahwa konflik bisa disamakan dengan kegiatan

kultural, maka konflik itu terus mengalami dinamika atau perubahan-perubahan tingkatan konflik.

Resolusi Konflik

Perubahan-perubahan inilah yang telah membawa budaya dan manusia mencoba untuk

menyesuaikan pemikiran, kebiasaan, dan perilaku budayanya dengan budaya lain. Penyesuaian

inilah yang dalam komunikasi dikenal sebagai pendekatan dialektikal. Pendekatan ini tidak sama

dengan dialektikal pada pemikiran Marxis, tetapi pendekatan ini fokus kepada dialektikal yang

diajukan oleh Mikhael Bakhtin. Kalau pendekatannya adalah dialektikal Marxis maka akan ada

solusi dalam masalah, namun kalau pendekatannya dari pemikiran Bakhtin maka yang disebut

dengan penyelesaian tidak ada sama sekali. Seperti dikatakan oleh Griffin (1994, 207), ”unlike

the thesis-antithesis-synthesis stages of Marxis dialectical theory, Bakhtin Fusion-fission

opposites have no ultimate resolution -- Relationship is always in Flux”.

Jadi ketika Baxter menyatakan pemikiran mengenai dialektik, terutama relational

dialektik, seperti dikutip oleh Griffin (2006, 162), ” the term relational dialectics, not referring to

Page 9: Komunikasi Budaya-Sumadi

being of two minds – the cognitive dillemma within the head of an individual who is grappling with

conflicting desires – the contradictions that are ”located in the relationship between parties,

produced and reproduced through the parties’ joint communicative activity”. Pernyataan ini sesuai

dengan bagaimana resolusi konflik harus diselesaikan, bukan dengan cara menempatkan satu

pihak salah dan pihak lain benar; tetapi lebih memposisikan bagaimana kedua belah pihak

berusaha untuk menghasilkan secara terus-menerus suatu solusi melalui aktivitas komunikasi

bersama – atau intinya

Kenapa kelompok kami mengajukan penyelesaian konflik bukan dengan dialog untuk

mencari solusi, tetapi lebih fokus pada bagaimana konflik dinegosiasikan. Karena sifatnya

dinamis, pastilah konflik tidak mengalami stagnasi, dan dinamika tersebut bukan hanya

dipengaruhi oleh lingkungan tetapi juga individu dan kelompok bahkan kepentingan sesaat.

Karena dengan menggunakan dialektikal, maka kemungkinan menjadikannya medium untuk

dialog akan sangat besar. Karena pada diri tiap manusia selalu ada perbedaan yang melingkupi

dirinya, ada yang ingin bersatu, ada yang tidak. Perbedaan inilah yang dijadikan ’titik’ awal untuk

membentuk kondisi dialogis.

Perbedaan untuk mencapai pemahaman dalam membentuk kondisi dialogis seringkali

dipengaruhi oleh budaya. Oleh karena itu akan lebih baik lagi kalau kita mengetahui mengenai

sifat dasar dari budaya itu sendiri, dimana menurut Neuliep (2006, 21), ”culture is defined as an

accumulated pattern of values, beliefs, and behaviors, shared by an identifiable group of people

with a common history and verbal and non-verbal symbol systems”. Jadi budaya selain sebagai

hasil karya manusia, budaya juga sudah mengakar dalam suatu kelompok yang bisa

teridentifikasi sejak dahulu.

Budaya dan proses dialektikal menjadi 2 (dua) faktor penting keberhasilan suatu

penyelesaian konflik. Kegagalan penyelesaian masalah yang ada pada Malino 1 karena tidak

memperhatikan keberagaman dari budaya masyarakat. Keberagaman tersebut karena hasil

karya manusia atau ciptaan manusia, sangat mungkin akan terus berubah, karena

perkembangan teknologi dan informasi. Jadi harusnya pendekatan yang bisa dilakukan untuk

resolusi bukan mencari solusinya, tetapi membuat keberagaman menjadi suatu kondisi dialektis

dimana masing-masing pihak menghargai, menghormati, dan memahami keberagaman mereka.

Pendekatan dialektik adalah sebuah pendekatan yang fokus pada implikasi dalam suatu

hubungan. Hubungan disini bukan hanya secara antarpribadi, tapi bagaimana suatu kondisi

konflik. Kemudian Baxter mengatakan bahwa tanpa dialog tidak akan ada hubungan, walaupun

dialog itu bukan untuk mencari penyelesaian masalah, tetapi dialog dilakukan untuk membuat

konflik sebagai ’game’ yang bersifat dinamis.

Page 10: Komunikasi Budaya-Sumadi

Baxter seperti dikutip oleh Griffin (2006, 167-171) bahwa terdapat 5 pengertian dialog dalam

dialektika :1) dialog adalah proses membentuk sesuatu yang berfokus pada bagaimana cara kita

berkomunikasi atau membentuk dunia sosial kita, dalam hal ini adalah bagaimana konflik itu

dimaknai sebagai sesuatu berarti akibat pemaknaan yang kita lakukan. 2) dialog adalah suatu

dialektika yang terus berubah dan percaya bahwa dunia sosial adalah produk dari kesatuan yang

berisi kontradiksi; 3) dialog adalah suatu peristiwa seni, ini artinya bahwa dialog adalah perasaan

sesaat mengenai persatuan melalui penghargaan mengenai pendapat berbeda dalam sebuah

dialog; 4) dialog sebagai sebuah pernyataan ; 5) dialog adalah suatu kepekaan yang kritis,

artinya adalah kita harus melakukan kritik pada dominasi terhadap pernyataan yang

mendominasi suatu keadaan.

Sedangkan menurut Nakayama (2004, 64-67), untuk membahas dialektik terdapat 6 (enam)

karakteristik untuk menganalisisnya : 1) dialektik antara budaya –individu, jadi analisis ini fokus

pada bagaimana melihat budaya sebagai satu kesatuan dengan individunya; 2) dialektik antara

individu dengan konteksnya, bagaimana melibatkan peranan konteks dalam hubungan antar

budaya dan fokus pada individu dengan konteksnya; 3) dialektik antara perbedaan dan

persamaan, yang melihat bahwa dalam diri individu ada persamaan dan perbdaan; 4) dialektik

antara dinamis-statis; 5) dialektik mengenai waktu; 6) dialektik mengenai privasi dan

ketidakuntungan.

Pernyataan diatas memperlihatkan bagaimana sebenarnya resolusi konflik harus diselesaikan.

Karena proses dialektikal seharusnya tiap kelompok menyakini bahwa dalam suatu hubungan

atau resolusi pastilah terdapat perbedaan cara pandang antara kelompok yang bertikai. Jadi

resolusi itu adalah suatu kondisi yang harus dibentuk melalui pertukaran pikiran dan pendapat

dari masing-masing pihak berkonflik tanpa adanya tendensi untuk mendominasi. Pada peristiwa

Malino 1, yang terjadi adalah antar kelompok saling terlibat pemikiran dan perasaan dominasi

budaya (etnosentris) sehingga persetujuan itu akan semu sifatnya.

Daftar Pustaka

Avruch, Kevin, Peter W Black & Joseph A. Scimecca. 1998. Conflict Resolution : Cross-Cultural

Perspectives, Praeger, London

Griffin, EM. 1994. A First Look of Communication Theory, 2nd edition, McGraw Hill, USA.

----------------.2006. A First Look of Communication Theory, 6th edition, McGraw Hill, USA.

Gudykunst, William B. Theorizing about Intercultural Communication. 2005. Sage Publication,

California.

Page 11: Komunikasi Budaya-Sumadi

LittleJohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication 5th edition. Wadsworth

Publishing Company, USA.

Martin, Judith N & Thomas K. Nakayama. 2004. Intercultural Communication in Contexts 3 rd

edition, McGraw Hill, New York, USA.

Neuliep, James W. Intercultural Communication : A Contextual Approach 3rd edition. 2006. Sage

Publications, California.