KODE ETIK JURNALISTIK DI KALANGAN WARTAWAN MEDIA …
Transcript of KODE ETIK JURNALISTIK DI KALANGAN WARTAWAN MEDIA …
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
185
KODE ETIK JURNALISTIK DI KALANGAN WARTAWAN MEDIA MASSA CETAK ISLAM
Ilham Prisgunanto
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Email: [email protected]
Abstrak Kode etika jurnalistik berupaya memberikan kebebasan dan perlindungan kepada wartawan. Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui hubungan antara pemahaman wartawan akan kode etik jurnalistik dengan penerapan kerja di lapangan dilihat dari dimensi profesionalisme, dedikasi dan keahlian. Variabel independen adalah pemahaman kode etik jurnalistik dan variabel dependen adalah profesionalisme, dedikasi dan keahlian wartawan. Penelitian survei dilakukan kepada 100 orang wartawan yang bekerja di media massa cetak bergenre Islam di Jakarta. Analisis data dilakukan dengan uji korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman wartawan akan kode etik jurnalistik cukup tinggi dan dedikasi adalah dimensi terpenting dalam kinerja wartawan di lapangan. Akan tetapi, hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang lemah antara pemahaman kode etik jurnalistik dengan profesionalisme, dedikasi dan keahlian wartawan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa wartawan sudah menganggap penting etika jurnalistik dalam mendukung kerja mereka, namun penerapannya masih sangat minim. Kata Kunci: Kode Etik Jurnalistik, Media Cetak, Islam
Abstract The journalistic ethics code seeks to provide freedom and protection to journalists. This study aims to determine the relationship between journalists' understanding of journalistic ethics code with its application from the dimensions of professionalism, dedication, and expertise. The independent variable is the understanding of the journalistic code of ethics and the dependent variables are the professionalism, dedication, and expertise of journalists. The survey research was conducted on 100 journalists working in Islamic mass media in Jakarta. Data analysis used a correlation test. The results show that journalists' understanding of the journalistic code of ethics is high and dedication is the most important dimension in journalist performance in the field. However, the correlation test results indicate a weak relationship between the understanding of the journalistic code of ethics and the professionalism, dedication, and expertise of journalists. This study concludes that journalists have considered the importance of the journalistic ethics in support of their work, but it is lack of implementation. Keywords: Journalistic Code of Ethics, Print Media, Islam
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
186
Pendahuluan
Pemberitaan adalah cerminan kehidupan masyarakat. Media massa mampu
menjadi mata dan telinga masyarakat yang mampu membongkar segala kebobrokan dan
penyebab degradasi moral yang ada di masyarakat. Diakui bahwa media massa
merupakan corong suara rakyat dengan istilah yang dikenal Vox Populi Vox Dei yang
artinya suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam artian sesungguhnya media massa
mampu menampilkan ranah publik sesungguhnya di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini sejalan dengan konseptualisasi Habermas memaknai tentang ranah
atau ruang publik.
Media massa menyatakan diri mampu menghadirkan ranah itu yang bebas dari
pengaruh apapun yang ada di masyarakat. Media massa merasa „digjaya‟ memiliki
kekuasaan untuk mengatur dan mengarahkan apa yang hendak dibicarakan dan
dipergunjingkan orang di ranah publik yang ada. Media massa juga mampu
mencerdaskan dan menyebarkan informasi relevan dan obyektif ke masyarakat dengan
mengutamakan slogan “semua berhak tahu”. Dengan demikian, kehadiran media massa
sedemikian bernuansa demokratis dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat orang
dalam memaknai arti hakiki keberadaan manusia sebagai insan yang bebas, merdeka
dan memiliki hak yang sama di depan hukum dan pengadilan.
Satu yang diakui bahwa kemerdekaan Amerika Serikat disinyalir sedikit
banyaknya ada andil kerja pers di dalamnya, dengan terlebih dahulu diproklamirkan
kemerdekaan pers di sana. Alhasil yang muncul adalah gelombang besar free press
dengan kehadiran para muckraker-muckraker atau para pembongkar skandal dan
kebobrokan moral yang ada di tanah koloni Inggris tersebut. Kebebasan pers bukanlah
sesuatu yang sepele, karena dari situlah muncul terobosan besar dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa sesungguhnya menyoal kebebasan bersuara dan berpendapat
dalam artian yang sesungguhnya.
Pers yang bebas sebebas-bebasnya dalam mencari berita dan mewartakan sesuai
apa yang dilihat dan dikajinya kepada masyarakat melalui sidang pembacanya juga
bertanggungjawab adalah dambaan semua orang. Pers bukanlah “tukang kipas-kipas”
atau pengadu domba dan keonaran di masyarakat. Melainkan menjadi pihak penengah,
negosiator dan penyambung lidah rakyat dengan kejujuran dan kesadaran mereka akan
arti profesionalisme kewartawanan.
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
187
Profesionalisme di tiap profesi tergantung pada penerapan dan penjelmaan kode
etik profesi tersebut. Biasanya bila berbicara tentang etika profesi maka pembicaraan
akan mengarah kepada unsur profesionalitas dari profesi itu sendiri. Diakui bahwa
rambu-rambu kode etik dari kelompok atau profesi sedemikian perlu dan penting. Kode
etik muncul sebagai jawaban atas perlunya tata aturan dalam pelaksanaan kerja yang
mengikat pada tiap diri anggota. Banyak pelanggaran dalam pelaksaan tugas pers
merupakan bentuk kurangnya pemahaman mereka pada bidang kerja dan profesi yang
ada dikaitkan dengan etika jurnalistik. Pelanggaran pers dalam bidang kerja jurnalistik
terlihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 1. Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
Sumber: Dewan Pers, 2014
Dari hasil laporan Dewan Pers tersebut diketahui, bahwa aduan dari laporan
publik yang masuk terbanyak adalah menyoal pemberitaan yang tidak berimbang
(26,35%). Sejalan dengan itu menyoal pelanggaran dalam pemberitaan yang terbanyak
dikeluhkan oleh publik adalah pihak jurnalis tidak menguji kebenaran informasi yang
ada atau mengkonfirmasi dari informasi yang mereka buat (23,95%). Demikian juga
dengan kebiasaan jurnalis yang mencampuradukkan fakta dan opini yang cenderung
sifatnya menghakimi (22,75%). Total dari pengaduan dan keluhan ke Dewan Pers
No Jenis Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Frek %
1 Tidak Berimbang 44 26,35
2 Tidak Menguji Informasi/Konfirmasi 40 23,95
3 Mencampurkan Fakta dan Opini yang
Menghakimi 38 22,75
4 Tidak Akurat 20 11,98
5 Tidak Profesional dalam Mencari Berita 5 2,99
6 Melanggar Asas Praduga Tidak Bersalah 4 2,40
7 Tidak Menyembunyikan Identitas Korban
Kejahatan Susila 4 2,40
8 Tidak Jelas Narasumbernya 4 2,40
9 Tidak Berimbang Secara Proporsional 2 1,20
10 Tidak Menyembunyikan Identitas Pelaku
Kejahatan di Bawah Umur 1 0,60
11 Lain-lain 5 2,99
Total 167 100,00
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
188
terkait dengan kode etik jurnalistik ini mencapai 167 aduan selama tahun 2010 sampai
dengan 2013.
Bila dilihat bahwa masih saja ada aduan publik ke Dewan Pers mengenai
pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Dari beberapa tahun sebelumnya memang sudah
terjadi penurunan pelaporan keluhan publik kepada Dewan pers terkait dengan
pelanggaran kode etik jurnalistik. Diketahui ada 514 pelaporan selama tahun 2010 dan
pelaporan serupa ada 511 pelaporan di tahun 2011 sedangkan di tahun 2012 ada 470
pelaporan pengaduan. Bila dilihat dari kuantitas memang sudah terjadi penuruan dari
pelaporan akan pelanggaran dari kode etik bagi jurnalis, namun dari data dapat
diketahui bahwa di era keterbukaan informasi ini masih ada keluhan-keluhan yang
seharusnya tidak terjadi pada dunia pemberitaan dan jurnalistik yang ada.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah bagaimana tingkat pemahaman wartawan dalam memahami kode
etik jurnalistik pada penerapan kerja mereka? Dari survei ini akan terlihat bagaimana
pemahaman dan penafsiran para wartawan yang bekerja di media massa bergenre Islam
terhadap kode etik jurnalistik itu dikaitkan dengan faktor profesionalisme, dedikasi dan
keahlian yang dimiliki.
Tinjauan Pustaka
Kode Etik Jurnalistik
Kode etik adalah aturan yang berusaha melindungi profesi yang mengikatnya.
Etika profesi biasanya adalah bentuk dari keadilan untuk memberikan layanan
profesional kepada masyarakat, sesuai dengan tuntutan kewajiban dan amanah yang
diembannya. Kode etik adalah patokan moral yang keluar langsung dari hati nurani
setiap profesi yang ada (Keiser dalam Eriyanto & Anggara, 2007: 6-7).
Berbeda dengan itu perlu ditafsirkan bahwa profesi adalah pekerjaan yang
dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang
mengandalkan suatu keahlian khusus. Profesi pada hakikatnya adalah suatu pelayanan
pada manusia atau masyarakat. Artinya bahwa profesi berusaha memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Pada intinya etika profesi digunakan sebagai sarana kontrol sosial sehubungan
dengan pengakuan dari profesi itu di masyarakat, pencegahan akan pengawasan dan
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
189
campur tangan pihak luar yang kemungkinan akan menggerogoti dedikasi dan loyalitas
pemilik profesi tersebut dan terakhir adalah sebagai patokan, dan kehendak yang lebih
tinggi akan nilai yang diberikan pada profesi tersebut.
Dengan demikian maka kode Etik Jurnalistik selalu berkaitan dengan semangat
kebebasan pers itu sendiri. Kebebasan pers ada batasan-batasan yang didalamnya tidak
akan mengingkari dan keluar dari hati nurani. Pada dasarnya kebebasan pers tidak
dibatasi oleh Kode Etik Jurnalistik, melainkan kode etik tersebut yang melindungi
profesi. Pada prinsipnya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 menganggap bahwa
kegiatan kewartawanan merupakan kegiatan/usaha yang sah yang berhubungan dengan
pengumpulan, pengadaan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat atau ulasan,
gambar-gambar dan sebagainya, untuk perusahaan pers, radio, televisi dan film.
Bila dikaitkan dengan kinerja, maka keberadaan insan-insan pers profesional
tentu sangat dibutuhkan sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, seorang
wartawan yang cakap dan profesional harus memiliki syarat-syarat, yaitu: bersemangat
dan agresif; prakarsa; berkepribadian; mempunyai rasa ingin tahu; jujur; bertanggung
jawab; akurat dan tepat; pendidikan yang baik; bertanggungjawab pada berita; dan
mempunyai kemampuan menulis dan berbicara yang baik pula.
Di pembukaan kode etik jurnalistik telah dinyatakan kebebasan pers adalah
perwujudan kemerdekaan menyatakan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28
UUD 1945, yang sekaligus pula merupakan salah satu ciri negara hukum. Namun
kemerdekaan/kebebasan tersebut adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan
semestinya sejalan dengan kesejahteraan sosial yang dijiwai oleh landasan moral.
Karena itu PWI menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang salah satu landasannya adalah
untuk melestarikan kemerdekaan/kebebasan pers yang bertanggung jawab, di samping
merupakan landasan etika para jurnalis. Satu yang diketahui bahwa di masa kebebasan
dan keterbukaan informasi saat ini, seolah-olah pers melupakan kode etik jurnalistik
mereka sendiri. Padahal jelas etika jurnalistik berfungsi agar wartawan tidak terjebak
dalam perangkap aturan hukum yang menyoal delik pers. Kode etik dibentuk oleh
lembaga profesi dan asosiasi dalam keperluan memberikan arahan dan batasan yang
jelas terhadap profesi dan kerja insan pers.
Menurut Tebba (2005: 136), dalam menjalankan tugasnya wartawan selain
dibatasi ketentuan hukum seperti UU Pers nomor 40 tahun 1999, juga harus berpegang
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
190
kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah supaya wartawan bertanggung jawab
dalam menjalankan profesi. Etika yang berarti aturan atau kaidah-kaidah moral, tata
susila yang mengikat suatu masyarakat atau kelompok masyarakat, atau profesi. Etika
didasari oleh kejujuran dan integritas perorangan. Etika yang mengikat masyarakat
dalam sebuah profesi itulah yang disebut Kode Etik, maka lahirlah berbagai macam
Kode Etik, antara lain Kode Etik Wartawan atau Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik
Kedokteran, dan Kode Etik Pengacara dan lain-lain. Di Indonesia, Kode Etik Wartawan
tidak hanya merupakan ikatan kewajiban moral bagi anggotanya, melainkan sudah
menjadi bagian dari hukum positif, karena Pasal 7 (2) UU Pers dengan tegas
mengatakan bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik
Jurnalistik dimaksud, yaitu kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan
ditetapkan oleh Dewan Pers.
Menurut HM (2011: 67), “Kode Etik Jurnalistik merupakan landasan moral
profesi dan rambu-rambu atau kaidah penuntun sekaligus pemberi arah kepada
wartawan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya dihindari
dalam melaksanakan tugas jurnalistik.” Berbeda dengan itu, menurut Suryawati (2011:
93), “kode etik merupakan penduan etika kerja sekaligus panduan moral yang disusun
dan ditetapkan oleh organisasi profesi.” Kode Etik Jurnalistik ibarat belenggu suci,
disebut belenggu suci karena kode etik bersifat mengikat wartawan, menciptakan
kewajiban dalam profesi wartawan, jika mentaati justru yang mentaati bisa makin
berwibawa, bisa makin bertambah martabatnya (Muis, 1999: 55).
Wartawan di satu sisi memang perlu memperhatikan kode etik jurnalistik
sebagai pegangan mereka dalam membuat berita, agar kesalahan yang bersifat fatal di
lapangan bisa dihindari. Kode etik di satu sisi mengikat namun bisa memberikan rambu-
rambu pelaporan berita pada wartawan sehingga tidak melanggar pada ketentuan hukum
yang ada yaitu Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999.
Delik Pers
Dalam konteks hukum sudah dikenal istilah delik pers, yang dianggap sebagai
perbuatan yang dapat dipidanakan (stafbaarfeit) karena dilakukan dengan atau
menggunakan pers itu sendiri. Sebenarnya delik pers ini tidak hanya ditujukan pada
insan pers saja, namun segala tindakan yang berdekatan dengan upaya menyiarkan,
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
191
mempertunjukkan, memberitakan dan sebagainya Dengan jelas maka dapat disebutkan
bahwa delik pers adalah bila tindakan penghinaan dan membocorkan rahasia negara
lewat publikasi (Eriyanto & Anggara, 2007: 4). Biasanya hal ini akan menimbulkan
tindakan fitnah dan mencemarkan nama orang lain.
Satu yang diketahui, bahwa ada 36 pasal dalam KUHP delik pers ini yang
dihubungkan dengan publikasi pernyataan. KUHP ini banyak membicarakan pasal delik
pers berkaitan dengan penghinaan, penghasutan, pencemaran nama, permusuhan,
membuka rahasia. Pelanggaran delik pers seperti penghinaan terhadap presiden dan
wakil presiden, pencemaran nama baik orang yang sudah meninggal dengan cara
mempertontonkan dan atau menempelkan tulisan dan gambar.
Profesionalisme Wartawan
Tugas pers yang profesional harus memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan
hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan. Di samping itu, juga perlu
mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan
terpercaya dalam melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran
kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang
dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia PBB (Harymurti, 2011: 3).
Kemerdekaan pers memang merupakan sarana masyarakat untuk memperoleh
informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan
kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan
Indonesia juga perlu menyadari adanya kepentingan bangsa,tanggung jawab sosial,
keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers
dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin
kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar,
wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman
operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
192
profesionalisme. Atas dasar itulah, maka wartawan Indonesia harus menetapkan dan
menaati Kode Etik Jurnalistik.
Metode Penelitian
Penelitian model kuantitatif dengan jenis penelitian hubungan dua variabel ini
dengan jelas menggunakan pendekatan deduktif di mana kerangka analisis di mulai dari
persoalan-persoalan umum ke khusus (Bungin, 2006: 111). Penelitian ini ingin melihat
bagaimana praktik penerapan etika jurnalistik dalam kerja wartawan dikaitkan dengan
aspek profesionalisme, keahlian, dan dedikasi yang dimiliki. Dalam penelitian ini,
populasi yang digunakan adalah para wartawan yang bekerja di media bergenre Islam di
Jakarta. Sampel penelitian adalah 100 orang wartawan yang terjaring dengan teknik
accidental sampling.
Guna menjaga kualitas penelitian, maka penelitian ini juga melakukan
pengukuran obyektivitas penelitian dengan pengujian validitas dan reliabilitas terlebih
dahulu dari kuesioner yang berhasil dikumpulkan. Pengolahan data deskriptif dilakukan
dengan menggunakan distribusi frekuensi sederhana juga operasi nilai rata-rata (mean).
Pengujian hipotesis menggunakan analisis korelasi Spearman yang menguji hubungan
antara variabel independen (tingkat pemahaman dengan dimensi kognitif, afektif dan
konatif) dengan variabel dependen (profesionalisme, dedikasi dan keahlian).
Hasil dan Pembahasan
Uji Validitas dan Reliabilitas
Pada awal penelitian ini pengujian keabsahan untuk nilai reliabilitas dilakukan
hanya pada 30 responden. Semua pertanyaan berjumlah 28 pertanyaan yang terdiri dari
beberapa indikator, untuk variabel independen adalah Kognitif, Afektif dan Konatif dan
variabel dependen adalah Dedikasi, Profesionalisme dan Keahlian. Diperoleh nilai
reliabilitas sebesar 0,8849 yang berarti sudah baik karena berada di atas 0,6. Sedangkan
pada pengujian validitas penelitian ini semuanya berada di atas nilai 0,361 (r tabel
dengan df 30 adalah 0,361) yang berarti pengujian berada pada daerah Ha dengan
penolakan Ho. Sehingga dapat dikatakan, bahwa validitas penelitian sudah terpenuhi,
dan penelitian shahih selanjutnya dapat dilanjutkan karena memiliki nilai obyektivitas
yang tinggi.
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
193
Tingkat Pemahaman Wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik
Tabel 2. Pemahaman Wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik
No Dimensi Mean Keterangan
1 Kognitif 4,4133 Tinggi
2 Afektif 4,3550 Tinggi
3 Konatif 4,4400 Tinggi
Dari tabel di atas, terlihat bahwa pemahaman wartawan yang bekerja pada media
massa yang bergenre Islam telah mencapai taraf konatif (nilai mean 4,44) dalam
memahami etika kewartawanan. Dapat diartikan bahwa tidak ada keraguan pada
wartawan dalam upaya kesadaran dan penerapan etika kewartawanan pada bidang kerja
mereka. Demikian juga dengan aspek kognitif atau pemahaman di benak mereka akan
etika pers yang ada. Unsur kognitif juga tergolong tinggi (nilai mean 4,413). Dari hasil
survei ini jelas diketahui bahwa wartawan telah memahami benar dalam benak mereka
akan etika pers yang dianggap sedemikian berguna untuk keberlangsungan kerja mereka
di lapangan. Berbeda dengan itu unsur afektif yang merupakan rasa dan adanya
keterikatan hati wartawan dalam bekerja menjadi unsur yang paling lemah (nilai mean
4,3). Hal ini berarti bahwa wartawan kerap merasa tidak ada nilai rasa yang masuk
dalam penerapan etika. Maksudnya terkadang penerapan etika ini tidak sejalan dengan
jiwa dan keinginan mereka di lapangan.
Faktor Penting dalam Bidang Kerja Wartawan
Tabel 3. Faktor Penting dalam Bidang Kerja Wartawan
No Dimensi Mean Keterangan
1 Profesionalisme 3,8100 Sedang
2 Dedikasi 4,3067 Tinggi
3 Keahlian 4,1100 Tinggi
Dari tabel di atas jelas dipahami bahwa wartawan menganggap bahwa faktor
terpenting dalam upaya kerja di lapangan adalah dedikasi (nilai mean 4,3). Faktor kedua
yang menjadi penting dalam penerapan di lapangan kerja wartawan adalah keahlian
(nilai mean 4,11). Bagi wartawan, keahlian adalah unsur penting yang perlu dimiliki
para awak jurnalis untuk menunjang kerja mereka di lapangan. Tanpa keahlian tidak
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
194
mungkin wartawan bisa bekerja dan menghasilkan laporan pemberitaan yang baik. Dari
hasil survei diketahui juga ternyata unsur profesionalisme dianggap paling rendah dalam
penerapannya di bidang kerja wartawan dalam mencari berita. Faktor profesionalisme
(nilai mean 3,8) ini dianggap wartawan sebagai sesuatu yang sangat tidak bisa
diterapkan di bidang kerja mereka. Profesionalisme adalah sesuatu yang terlalu ideal
dan utopis dalam penerapan di lapangan. Pemahaman mereka bahwa profesionalisme
hanya ada dalam meja-meja seminar dan literatur perkuliahan saja dan sangat sulit
untuk diterapkan dalam dunia kerja sesungguhnya.
Pengujian Hipotesis
Penelitian ini menguji beberapa hipotesis, yaitu:
Hipotesis Pertama
Ha : Ada hubungan antara pemahaman wartawan akan etika jurnalistik dengan
profesionalisme kerja mereka di lapangan.
Ho : Tidak ada hubungan antara pemahaman wartawan akan etika jurnalistik
dengan profesionalisme kerja mereka di lapangan.
Hipotesis Kedua
Ha : Ada hubungan antara pemahaman wartawan akan etika jurnalistik dengan
dedikasi kerja mereka di lapangan.
Ho : Tidak ada hubungan antara pemahaman wartawan akan etika jurnalistik
dengan dedikasi kerja mereka di lapangan.
Hipotesis Ketiga
Ha : Ada hubungan antara pemahaman wartawan akan etika jurnalistik dengan
keahlian kerja mereka di lapangan.
Ho : Tidak ada hubungan antara pemahaman wartawan akan etika jurnalistik
dengan keahlian kerja mereka di lapangan.
Analisis Korelasi Spearman
Tabel 4. Hubungan Pemahaman Etika Jurnalis dengan Kinerja Wartawan
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
195
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa:
1. Hubungan antara pemahaman kode etik pada tataran afektif dan profesionalisme
menunjukkan nilai p value sebesar 0,005 dengan nilai r Spearman‟s rho sebesar
0,257. Nilai p value berada di bawah 0,05 dengan demikian Ha diterima dan Ho
ditolak yang berarti pemahaman wartawan akan etika jurnalistik hanya dalam
tataran afektif berhubungan dengan profesionalisme wartawan yang bekerja di
media massa bergenre Islam.
2. Hubungan antara pemahaman kode etik pada tataran kognitif dan dedikasi
menunjukkan nilai p value sebesar 0,006 dengan nilai r Spearman‟s rho sebesar
0,253. Nilai p value berada di bawah 0,05 dengan demikian Ha diterima dan Ho
ditolak yang berarti bahwa memang wartawan yang bekerja pada media
bergenre Islam menghubungkan pemahaman dedikasi mereka dalam tataran
kognitif saja dalam menafsirkan pemahaman etika jurnalistik yang ada.
3. Hubungan antara pemahaman kode etik pada tataran afektif dan keahlian
menunjukkan nilai p value sebesar 0,026 dengan nilai r Spearman‟s rho sebesar
0,195. Nilai p value berada di bawah 0,05 yang berarti Ha diterima dan Ho
ditolak. Dengan demikian jelas, bahwa pemahaman wartawan yang bekerja di
media massa bergenre Islam akan berhubungan dengan keahlian mereka hanya
dalam tataran afektif saja atau hanya di hati dan perasaan mereka bukan
penerapan langsung dalam kehidupan kerja.
Correlations
1,000 ,246** ,061 -,107 ,253** -,110
. ,007 ,272 ,145 ,006 ,137
100 100 100 100 100 100
,246** 1,000 ,410** -,062 ,160 ,079
,007 . ,000 ,269 ,056 ,216
100 100 100 100 100 100
,061 ,410** 1,000 ,257** ,084 ,195*
,272 ,000 . ,005 ,203 ,026
100 100 100 100 100 100
-,107 -,062 ,257** 1,000 ,170* ,521**
,145 ,269 ,005 . ,045 ,000
100 100 100 100 100 100
,253** ,160 ,084 ,170* 1,000 ,043
,006 ,056 ,203 ,045 . ,336
100 100 100 100 100 100
-,110 ,079 ,195* ,521** ,043 1,000
,137 ,216 ,026 ,000 ,336 .
100 100 100 100 100 100
Correlation Coef f icient
Sig. (1-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (1-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (1-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (1-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (1-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (1-tailed)
N
KOGNITIF
KONATIF
AFEKTIF
PROFESIO
DEDIKASI
KEAHLIAN
Spearman's rho
KOGNITIF KONATIF AFEKTIF PROFESIO DEDIKASI KEAHLIAN
Correlation is signif icant at the 0.01 level (1-tailed).**.
Correlation is signif icant at the 0.05 level (1-tailed).*.
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
196
Pembahasan
Dari hasil temuan di atas jelas bahwa ada kesadaran yang penuh dan
bertanggungjawab dari wartawan akan perlunya keberadaan kode etik dalam bidang
kerja mereka di lapangan. Ada keyakinan bahwa kode etik jurnalistik memang bisa
melindungi mereka dalam membuat berita dan pelaporan terhadap sebuah fenomena
yang ada. Dengan demikian memang bagi wartawan yang bekerja di media bergenre
Islam masalah kode etik jurnalistik sudah dipahami sepenuhnya perlu dalam kerja.
Dalam penelitian ini, terlihat jelas bahwa pemahaman wartawan ketika dilihat
dari sisi profesionalisme, masih dalam tataran afektif atau masih dalam hati untuk
dilakukan dalam tindakan dan perilaku nyata. Maksudnya memang sudah ada keinginan
yang kuat tapi masih dalam hati pada diri wartawan saja. Demikian juga dengan aspek
keahlian, wartawan juga masih menanggap penting hanya dalam taraf afektif saja.
Temuan ini menunjukkan bahwa memang unsur afektif ini yang paling diperhatikan
oleh wartawan dalam melakukan kerja di lapangan. Temuan menarik lain adalah
wartawan malah menganggap dedikasi jurnalistik di lapangan kerja hanya masuk dalam
tataran kognitif atau hanya ada dibenak saja, bukan hal yang mutlak perlu dalam
pengembangan diri. Pendidikan jurnalistik dan kewartawanan di era digital ini bagi
kebanyakan mereka dianggap sesuatu yang kurang diperlukan, apalagi dengan begitu
pesat perkembangan citizen journalism dalam ruang kerja wartawan.
Banyak wartawan menganggap bahwa isi atau konten dari pasal di dalam etika
jurnalistik masih dalam tataran yang sangat ideal dan masih sangat sulit untuk
diterapkan dalam kerja mereka di lapangan dengan kata lain masih terlalu muluk untuk
dilaksanakan. Oleh sebab itu temuan penelitian ini nyata bahwa etika jurnalistik masih
dalam tataran idealis tidak praktis. Demikian juga dengan penerapan Undang-Undang
No. 40 tahun 1999 mengenai pers yang sudah menjadi lex specialis dalam penerapan
hukumnya (Eriyanto & Anggara, 2007: 34). Bagi wartawan, keperluan memisahkan
opini pribadi dengan berita adalah sesuatu yang sangat sulit demikian juga dengan berita
berimbang yang tidak menimbulkan fitnah dan kerusakan yang lebih besar.
Satu yang diketahui dari temuan penelitian ini adalah yang diperlukan wartawan
bila dikaitkan dengan etika jurnalistik di lapangan adalah dedikasi mereka sebagai
profesi luhur, yakni:menjadi si pembawa pesan atau messenger kepada publik. Dedikasi
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
197
yang ditinggi pada diri wartawan diyakini akan mampu menimbulkan sikap
profesionalisme dan keahlian yang ada dalam unjuk kerja mereka.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang diperlukan dan dipahami dalam
konteks etika jurnalistik bagi wartawan adalah dedikasi kerja saja. Tidak menjamin
bahwa wartawan yang sudah memiliki keahlian tinggi dan profesionalisme yang
memadai sudah dengan suka rela dan kesadaran diri penuh dalam gerak hidupnya mau
dengan ikhlas menaati aturan etika jurnalistik yang ada dan sudah digariskan oleh
lembaga profesi mereka. Malah sebaliknya, ada kemungkinan upaya pelanggaran
dengan dalih berusaha hidup dan tetap terdepan dalam penyajian berita. Kebutuhan
mengejar rating dan pembaca yang banyak menjadi pilihan sulit wartawan ketika
berhadapan dengan manajemen yang memang berwajah industri.
Ketakutan wartawan adalah adanya delik pers yang diajukan oleh publik karena
memang melanggar kode etik jurnalistik yang ada (Wiryawan, 2007:133). Kesadaran
bahwa etika jurnalistik melindungi hal ini menghentak pemikiran bahwa memang etika
jurnalistik diperlukan dalam upaya menjaga kelangsungan hidup dan kredibilitas si
pembuat berita. Kode etik jurnalistik ini semakin dipahami sebagai aturan dari lembaga
profesi yang melindungi mereka, namun memang sangat berat dilaksanakan dalam
unjuk kerja di lapangan.
Penutup
Kesimpulan
Dari hasil analisis pada masing-masing variabel, diketahui bahwa tingkat
pemahaman wartawan yang bekerja di media massa bergenre Islam akan etika
jurnalistik sudah tinggi. Bagi wartawan ada rasa keharusan untuk menerapkan etika
jurnalistik di tempat kerja dan itu diakui sudah tidak bisa ditawar lagi. Dalam kerja di
lapangan bagi wartawan yang bekerja di media cetak bergenre Islam unsur dedikasi
adalah hal terpenting dalam bekerja di lapangan. Dedikasi untuk wartawan dianggap
sebagai pengakuan diri bahwa wartawan adalah si pembawa pesan yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan profesi ini sedemikian
penting dan berarti.
Dari hasil uji korelasi Spearman diperoleh kesimpulan sebagai berikur: (1) Ada
hubungan yang signifikan dalam tataran afektif antara pemahaman etika jurnalistik
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
198
wartawan dengan profesionalisme wartawan. Dapat diartikan bahwa sudah ada
penerapan etika jurnalistik pada wartawan hanya pada aspek afektif, yakni perasaan dan
keinginan saja, tidak pada taraf pelaksanaan (konatif) di tempat kerja. Dengan demikian
jelas bahwa masih sikap pesimistis dan keraguan bahwa penerapan etika jurnalistik
dapat diterapkan secara nyata dalam bidang kerja wartawan; (2) Adanya hubungan yang
signifikan antara aspek kognitif pemahaman etika jurnalistik wartawan dengan dedikasi
wartawan di tempat kerja. Dapat dipahami, bahwa selain menyoal profesionalisme,
unsur dedikasi menjadi unsur penting dalam pemahaman secara kognitif wartawan. Di
sini wartawan memahami bahwa dedikasi diperlukan dalam memahami etika jurnalistik;
(3) Ada hubungan yang signifikan antara aspek afektif pemahaman etika jurnalistik
wartawan bergenre Islam dengan keahlian mereka di bidang kerja. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa etika jurnalistik akan mempengaruhi keahlian mereka hanya ada
dalam tataran afektif atau keinginan saja, tidak berimbas langsung unsur tersebut
terhadap diri pencari berita.
Saran
Pemahaman yang tinggi pada wartawan akan etika jurnalistik seharusnya
dibarengi dengan aplikasi di lapangan oleh berbagai pihak lembaga profesi dan Dewan
Pers. Tidak adanya penghargaan dan hukuman yang jelas dalam pelanggaran etika ini
menyebabkan etika jurnalistik hanya ada dalam tataran kognitif dan afektif saja dalam
kerja wartawan. Perlu adanya upaya peningkatan dedikasi dan loyalitas insan pers
dalam bekerja karena unsur inilah yang paling menonjol dan diutamakan dalam unjuk
kerja wartawan. Lembaga profesi dan Dewan Pers agar berupaya menyoroti masalah
ini, karena bagi insan pers unsur inilah yang menjadi titik sentral pengembangan profesi
diri mereka dengan cara memupuk dan membina dedikasi dan loyalitas insan pers pada
lembaga-lembaga profesi yang akan mengikat mereka dengan aturan dan etika lembaga
profesi tersebut.
Minimnya keahlian bidang kerja dirasakan sepenuhnya oleh insan pers dan dapat
dikatakan bahwa etika jurnalistik bisa meningkatkan keahlian mereka, namun itu hanya
ada dalam tataran afektif atau perasaan saja. Oleh sebab itu, harapan insan pers yang
bekerja di media massa bergenre Islam, etika jurnalistik dapat mengawal hal ini dalam
persaingan profesi ke depan. Selain itu, perlunya ada keseragaman kode etik jurnalistik
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 2, 2017
199
pada tiap lembaga profesi sehingga tidak akan saling tumpang tindih antara satu dengan
lainnya yang hanya akan membingungkan wartawan dalam upaya menjalankan
profesinya.
Daftar Pustaka
Bungin, B. (2006). Metodologi Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan
Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group.
Dewan Pers. (2014). Laporan akhir Dewan Pers periode 2010-2013.
Eriyanto & Anggara. (2007). Kebebasan Pers Dalam Rancangan KUHP. Jakarta: AJI dan
Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Harymurti, B. (2011) Konsep Pers Profesional menurut Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.
Diakses dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact
=8&ved=0ahUKEwiez-
eOnrTYAhXIsY8KHZW2AD4QFggnMAA&url=https%3A%2F%2Fwww.ifc.org%2Fwps
%2Fwcm%2Fconnect%2Fe0e3240044501d1d97cd9fc66d9c728b%2FProfesionalisme%2B
Jurnalis%2Bdan%2BKode%2BEtik.pdf%3FMOD%3DAJPERES&usg=AOvVaw2DtSKl8
xbAfUlizQFabE2N.
HM, Zaenuddin. (2011). The Journalist. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Muis, A (1999). Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa: Menjangkau Era
Cybercommunication Milenium Ketiga. Jakarta: Dharu Anuttama.
Suryawati, I. (2011). Jurnalistik Suatu Pengantar, Teori dan Praktik. Bogor: Ghalia Indonesia.
Tebba, S. (2005). Jurnalistik Baru. Jakarta: Kalam Indonesia.
Wiryawan, H. (2007). Dasar-Dasar Hukum Media.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.