Ketamin Untuk Nyeri Kronik.docx
-
Upload
fitrianimappasere -
Category
Documents
-
view
39 -
download
5
Transcript of Ketamin Untuk Nyeri Kronik.docx
KETAMIN UNTUK NYERI KRONIK: RESIKO DAN
KEUNTUNGANNYA
Marieke Niesters, Christian Martini, & Albert Dahan
Anestesi ketamin digunakan untuk terapi berbagai sindrom nyerik ronik,
terutama nyeri-nyeri yang memiliki komponen neuropatik. Ketamin dosis rendah
menghasilkan anestesi yang kuat pada kondisi nyeri neuropatik, kemungkinan
dengan menghambat reseptor N-methyl-D-aspartate meskipun mekanisme lainnya
juga mungkin terlibat, termasuk peningkatan inhibisi desendens dan efek anti-
inflamatorik di pusat. Data terkini mengenai infuse jangka pendek menunjukkan
bahwa ketamin menghasilkan analgesia poten hanya selama pemberian, sementara
tiga penelitian mengenai pemberian jangka panjang (4-14 hari) menunjukkan efek
analgesia jangka panjang sampai dengan 3 bulan setelah infusan. Efek samping
yang ditemukan secara klinis antara lain sindrom psychedelic (halusinasi, defek
memori, serangan panik), mual/muntah, somnolen, stimulasi kardiovaskular, dan
pada minoritas pasien, hepatotoksisitas. Penggunaan rekreasional ketamin
semakin meningkat dan disertai dengan meningkatnya berbagai resiko tambahan
yang berkisar mulai dari komplikasi renal dan buli-buli sampai dengan
psikotipikal persisten behavior dan defek memori. Meramalkan resiko-resiko ini
pada pasien sulit dilakukan dikarenakan variabilitas, paparan pasien yang tinggi
dan rekuren terhadap ketamin pada penyalahgunaan ketamin dan tingginya
penyalahgunaan obat-obatan terlarang pada populasi ini. Di dalam kondisi klinis,
ketamin ditoleransi dengan baik terutama bila digunakan benzodiazepine untuk
menekan efek samping psikotropiknya. Pemantauan ketat yang baik pada pasien-
pasien yang mendapatkan ketamin sangatlah penting, tertutama dalam hal SSP,
hemodinamik, gejala-gejala renal dan hepatik, demikian pula dengan
penyalahgunaannya. Penelitian yang akan dating dibutuhkan untuk menilai
apakah keuntungan penggunaan ketamime lebih dari resiko dan biayanya. Sampai
bukti yang jelas didapatkan, penggunaan ketamin harus dibatasi hanya untuk nyeri
neuropatik berat yang resisten terhadap terapi.
Pendahuluan
Dalam dekade terakhir, terdapat peningkatan jumlah pasien yang
didiagnosis dengan beberapa bentuk nyeri kronik. Terapi nyeri kronik di dasarkan
atas pendekatan trial and error dengan menggunakan anti-depresan, anti-epileptik
dan opioid sebagai obat pilihan pertama. Tanpa memandang terapi, efisiensi
hanya terbatas pada 30-40% pasien yang menunjukkan respon hilangnya nyeri
yang adekuat sampai dengan yang baik. Populasi sisanya tidak menunjukkan
respon atau memberikan respon yang buruk. Ahli anestesi dan dokter ahli di
bidang nyeri lainnya mulai menggunakan anestesi ketamin, pada dosis
subanestesi, untuk terapi sindrom nyeri yang resisten terhadap terapi, seperti
sindrom nyeri regional komplekstipe 1 (CRPS-1), neuralgia post herpetic dan
nyeri neuropati akibat cedera nervus. Peningkatan penggunaan ketamin dosis
rendah akhir-akhir ini disebabkan oleh efek positif yang ditemukan selama terapi
dan kemungkinan oleh fakta bahwa dokter kini menambahkan
benzidiazepindan/atau agonis α2-adrenoreseptor untuk meminimalkan efek
samping psikotropik. Tulisan pertama yang menunjukkan kemampuan untuk
“menjinakkan” ketamin dengan menggunakan benzodiazepin diterbitkan pada
tahun 1973.
Ketamin pertama kali disintesis pada awal tahun 1960 an sebagai alternatif
phencyclidine yang lebih aman. Ketamin merupakan anestetik disosiatif yang
menghasilkan analgesia yang dalam dan amnesia. Penggunaannya dalam anestetik
kontemporer terbatas mengingat kejadian-kejadian berbagai efek samping,
utamanya induksi status psycheledic yang menyebabkan agitasi, halusinasi dan
serangan panik (gejala-gejala emergensi dan eksitasi). Meskipun efek-efek
sampingan ini dapat dicegah atau diterapi (lihat di atas), tetapi ketersediaan
alternatif telah membatasi penggunaan ketamin hanya untuk anestesidengan
indikasi spesifik (seperti pediatric dan anestetik trauma). Meskipun demikian,
sejak sintesisnya pertama kali, ketertarikan terhadap ketamin masih terus
bertumbuh, dalamtahun 2011 saja terdapat 588 publikasi di PubMed.
Dalam review singkat ini, kami akan memberikan tinjauan literature
relevan mengenai keuntungan dan resiko ketamin. Catat, bahwa ketamin, seperti
halnya opioid lainnya, merupakan obat yang disalahgunakan. Dengan demikian
review kami juga berkaitan dengan populasi penggunaan rekreasional ketamin.
Faktanya, banyakefek samping dan komplikasi dari penggunaan ketamin yang
pertama kali kami temukan pada penyalahgunaan ketamin.
Farmakologi
Ketamin merupakan derivat/turunan phenylpiperidine yang secara
struktural terkait (mirip) dengan phenylpiperidine (PCP, “angel dust”/bubuk
dewi) dengan 2(2-chlorophenyl)-2-(methylamino)-cyclohexanone yang
merupakan struktur kimianya. Pusat kiral pada atom C-2 cincin ketamin
sikloheksana menghasilkan dua stereo-isomer, S(+)- dan (+)-ketamin. Secara
komersial tersedia dua bentuk ketamin yang berbeda: campuran (ketalarR, Pfizer
Inc., tersedia di AS sejak 1966) dan enantiomer S(+) (S-ketamin atau Ketanest-SR,
Pfizer Inc., tersedia di beberapa komunitas negara bagian Eropa sejal 1994).
Setelah pemberian intravena dengan volume distribusi hampir mencapai 3 l/kg,
waktu paruh redistribusi 7-15 menit, bersihan 15 ml/kg menit dan waktu paruh
eliminasi 2-3 jam. Ketamin secara cepat melewati sawar darah otak (waktu paruh
kesetimbangan darah-lokasi efek, t1/2ke0, 1-10 menit). Sehubungan dengan terapi
jangka panjang ketamin untuk meredakan nyeri kronik, t1/2 (waktu
paruh)onset/offset analgesik ketamin melebihi waktu paruh ...
Ketamin merupakan obat yang bergantung sitokrom P450. Ketamin
dimetabolisme menjadi norketamin (melalui demetilasi-N) dengan metabolisme
norketamin berikutnya menjadi 4-, 5- dan 6-hidroksinorketamin (oleh CYP2A6
dan CYP2B6). Norketamin dihasilkan dalam hitungan menit setelah pemberian
ketamin secara intravena dan mungkin dapat melebihi konsentrasi ketamin
utamanya setelah infusan jangka panjang. Eliminasi norketamin dan
hidroksinorketamin terjadi setelah glukoronidasi di hepar, melalui ginjal dan
empedu. Inhibitor enzim-enzim CYP yang terlibat dalam metabolisme ketamin
meinngkatkan konsentrasi plasma ketamin. Sebaliknya, induksi sistem CYP
memiliki hanya efek yang terbatas pada konsentrasi plasma ketamin dikarenakan
bersihan ketamin oleh heparsebelum induksi, tinggi, dan hampir menyamai aliran
darah hepar. Setelah terminasi pemberian ketamin intravena, konsentrasi ketamin
menurun dengan cepat dan konsentrasi norketamin meningkat melebihi
konsentrasi ketamin. Pada manusia, efek analgesia norketamin belum diteliti
secara langsung. Namun, penelitian manusia terkini mengenai efek variasi
konsentrasi norketamin (diinduksi melalui manipulasi metabolismenya dengan
rifampisin) pada analgesia ketamin akut meramalkan bahwa hanya sedikit atau
bahkan tidak terdapat sama sekali kontriubusi norketamin terhadap peredaan nyeri
akut. Kemungkinan selama infus ketamin jangka panjang, metabolit ketamin
selanjutnya mungkin dapat memberikan kontribusi terhadap efeknya.
Nyeri Neuropatik Kronik dan Ketamin
Dalam serangkaian reviewterkini dibahas mengenai pekembangan dalam
bidang patofisiologi nyeri neuropatik kronis; lihat sebagai contoh, [23-28].
Sebagaimana diuraikan dan dinyatakan oleh Costigan dkk, nyeri neuropatik yang
ditimbulkan oleh lesi sistem saraf somatosensori menyebabkan perubahan dalam
struktur dan fungsi sehingga nyeri terjadi secara spontan dan tanggapan terhadap
rangsangan noksius dan inoksius teramplifikasi (berlipat ganda). Berbagai proses
neurokimia terletak pada dasar transisi yang kompleks dari saraf/kerusakan saraf
dari nyeri neuropatik kronis jyang menyebabkan sensitisasi perifer dan sentral
(yang bermanifestasikan sebagai allodynia, hyperalgesia, enhanced temporal
summation [perangsangan temporal yang meningkat] dan nyeri spontan).
Mekanisme penting benkembangnya nyeri (neuropatik) kronis termasuk
fosforilasi dan peningkatan dari reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDAR),
hilangnya inhibisi desendens, perubahan plastik di sumsum tulang belakang dan
aktivasi sel-sel imun di sumsum tulang belakang dengan pelepasan sitokin-sitokin
pro-inflamatorik.
Ketamine menghasilkan analgesia yang kuat pada kondisi-kondisi nyeri
neuropatik, kemungkinan melalui hambatan NMDAR. The NMDAR merupakan
reseptor eksitatorik glutamatergikyang terdapatpada spinal dan supraspinal dan
terlibat dalam transmisi sinyal aferen nosiseptif. Pada kondisi-kondisi nyeri
kronisstimulasi nociceptive yang berkepanjangan menyebabkan aktivasi dan
peningkatan regulasi dari NMDAR di sinapsis kornu dorsalis sehingga
meningkatkan danmemperkuat perjalanansinyal nyeri ke otak (sensitisasi sentral).
Fenomena ini merupakan faktor penting dalam proses menetapnya intensitas dan
kroniknya nyeri. Saat telah terdapat banyak bukti bahwa antagonis NMDAR yang
menghambat NMDAR seperti ketamin, mampu menghentikan rentetan input
nociceptive yang berlebihan ke otak dan oleh karena itu maka merupakan
alternatif yang potensial untuk pengobatan sindrom nyeri kronis. Efek lain dari
ketamine yang mungkin berperan dalam efek analgesiknya meliputi peningkatan
inhibisi desendens (lihat di bawah) dan efek anti-inflamatorik.
Sebagai tambahan terhadap efek NMDAR, ketamin berinteraksi pula
dengan sistem reseptor lain, termasuk opioidergik, reseptor muskarinik dan
monoaminergik. Secara relatif masih sedikit yang diketahui mengenai peranan
sistem-sistem reseptor terhadap berbagai efek ketamin. Penelitian terhadap mencit
yang kekurangan reseptor µ-opioid menunjukkan peran reseptor µ-opioid dalam
analgesia akut yang diinduksi oleh ketamin. Meskipun demikian redanya nyeri
juga dapat diinduksi oleh inhibisi presinaptik neuron-neuron kornu dorsalis spinal.
Aktivasi NMDAR pada lokasi-lokasi presinaptik ini menyebabkan peningkatan
pelepasan substansi-substansi eksitatorik termasuk glutamat dan substansi P.
Inhibisi Desendens dan Ketamin
Terdapat bukti baru bahwa ketamin dapat mempengaruhi jalur inhibisi
desendens. Pasien-pasien nyeri kronik seringkali memiliki defek dalam
kemampuan melepaskan inhibisi desendens nyeri. Hal ini mungkin merupakan
kausa tambahan krinifikasi nyeri (lihat di atas). Bukti-bukti bahwa ketamin dapat
mengaktifkan jalur inhibisi desendens yang dibangkitkan dari supraspinal dan
menghambat neuron nosiseptif kornu dorsalis berasal dari dua sumber: (i)
menggunakan teknik resting state fungsional MRI (RS-fMRI) diamati bahwa
ketamin dosis rendah mengaktivasi korteks cinguli anterior, korteks frontal
orbital, insula dan batang otak pada inividu normal. Area-area ini terlibat dalam
inhibisi desendens nyeri (lihat juga gambar 1) dan (ii) pada studi behavioural
pasien-pasien nyeri neuropatik akibat neuropati serabut saraf kecil, ketamin dosis
rendah meningkatkan re-aktivasi ekspresi eksperimental penting inhibibisi
desendens, yang ditimbulkan oleh modulasi nyeri (CMP, dahulu dikenal sebagai
kontrol inhibitorik nyeri noksius difus atau DNIC). CMP merupakan inhibisi
sentral stimulus fokal dengan memberikan stimulus noksius sekunder pada lokasi
jauh tertentu (nyeri menghambat nyeri). Tanpa ketamin tidak terdapat CMP yang
terdeteksi pada populasi pasien nyeri neuropatik ini, sementara setelah terapi
ketamin, respon CMP lebih besar dibanding dengan terapi plasebo dan morfin.
Dalam penelitian ini besarnya aktivasi CMP secara langsung berhubungan dengan
besarnya redanya nyeri spontan. Meskipun data CMP ini kontras/bertentangan
dengan temuan sebelumnya (di mana ketamin meningkatkan fasilitasi nyeri
ketimbang inhibisinya), tetapi data RS-fMRI dan CMP pasien secara kolektif
menunjukkan bahwa ketamin dapat mempengaruhi (re-aktivasi) sistem inhibitorik
desendens di bawah kondisi-kondisi tertentu (seperti di bawah kondisi-kondisi
nyeri neuropatik) dan sebagai akibatnya mampu mengembalikan keseimbangan
fisiologis inhibisi dan fasilitasi nyeri.
Ketamin untuk Nyeri Kronik
Perhatian terhadap ketamin terfokus pada kemampuannya meredakan
nyeri kronik, terutama bila nyeri kronik memiliki komponen neuropatik. Tabel 1
memberikan daftar kondisi-kondisi nyeri neuropatik di mana telah digunakan
ketamin sebagai pereda nyeri kronik. Meskipun demikian, tidak ada konsensus
mengenai protokol pemberiannya. Banyak penelitian yang menilai infus ketamin
jangka pendek yang menemukan bahwa ketamin memang berhubungan dengan
redanya nyeri selama infusan tetapi hanya beberapa penelitian yang menilai efek
jangka panjang ketamin setelah infusan. Mengingat efek samping dan biaya rawat
inap pasien yang tinggi, kami percaya bahwa penting untuk menginduksi
analgesia yang baik bukan hanya menginduksi analgesia saja selama infusan atau
beberapa jam setelah terapi. Terdapat bukti bahwa durasi infusan menentukan
durasi efek analgesi. Sebagai contoh, pada penelitian random terkontrol plasebo
aktif (midazolam) pada pasien-pasien fibromialgia dosis S-ketamin yang relatif
(0,5 mg/kg), diberikan selama 30 menit, menghasilkan analgesia yang tidak lebih
dari 45 menit. Sebaliknya, Sigtermans dkk menunjukkan bahwa terapi pasien-
pasien CRPS tipe 1 dengan infusan S-ketamin 100 jam (dosis titrasi sampai
dengan 20-30 mg/jam) menghasilkan redanya nyeri jangka panjang yang bertahan
sampai dengan 3 bulan setelah terapi. Temuan yang serupa juga didapatkan oleh
Schwartzman dkk setelah infusan 4 jam ketamin harian selama 10 hari pada
pasien-pasien CRPS. Dengan demikian, nampaknya bahwa infusan jangka
panjang dibutuhkan sebelum mendapatkan analgesia pada hari-hari setelah terapi.
Meskipun demikian, meskipun dengan hasil yang bersesuaian, tetapi jumlah uji
plasebo random terkontrol (RCTs) dalam terapi jangka panjang ketamin (4 sampai
14 hari) masih terbatas. Hanya tiga RCT yang menganalisa efek jangka panjang
infusan ketamin pada pasien-pasien CRPS tipe 1 (dua penelitian) dan cedera
korda spinalis (satu penelitian). Kami melakukan meta-analisis mengenai efek
analgetik penelitian-penelitian ini pada minggu 1 dan 4 setelah terapi ketamin dan
mendapatkan rata-rata besaran efek (perbedaan terstandar dalam mean) pada
minggu pertama setelah terapi adalah 1,22 (95% convidence interval 0.82 to 1.61,
P < 0.001) dan pada 4 minggu sebesar 0,39 (95% confidence interval 0.03 to 0.75,
P = 0.036). Walaupun besaran efek yang secara relatif besar, menunjukkan bahwa
efek terapi ketamin bertahan selama setidaknya 4 minggu, penelitian ini
menunjukkan penurunan penurunan efek yang cepat, suatu indikasi bahwa terapi
dibutuhkan dalam 4-6 minggu setelah periode terapi awal. Hal ini kemudian
menyebabkan dibutuhkan perawatan kembali di rumah sakit yang mana menguras
biaya dan menjadi beban tambahan bagi psien. Terlebih lagi, pemberian berulang
dapat menginduksi kerusakan/cedera organ internal (lihat di bawah). Catatan
terakhir mengenai penelitian ketamin jangka panjang ini adalah bahwa walaupun
didapatkan redanya nyeri selama beberapa minggu setelah terapi ketamin tetapi
hanya sedikit atau bahkan tidak ada perbaikan fungsi sama sekali yang ditemui.
Hal ini perlu dicatat karena hilangnya fungsi seringkali terkait dengan nyeri
spontan dan alodinia.
Kiranya penting untuk mempertimbangkan apakah ketamin dapat
mencegah munculnya kondisi nyeri kronik, seperti yang dapat terjadi setelah
operasi. Beberapa penelitian kualitatif yang baik telah berbicara mengenai hal ini.
Wilson dkk menilai efek ketamin untuk mengurangi perkembangan nyeri kronik
setelah amputasi tungkai bawah (diketahui insiden nyeri persisten sampai dengan
80%). Mereka membandingkan efek epidural racemic ketamin dan bupivacain vs
epidural salin dan bupivacain dan meskipun mereka mendapatkan analgesia post
operatif yang lebih superior secara langsung pada kelompok ketamin, tetapi tidak
terdapat perbedaan yang signifikan yang muncul dalam nyeri persisten (baik
untuk nyeri puntung [stump pain], dan phantom pain) dalam hal beratnya dan
insidennya, 1 tahun setelah operasi. Observasi yang serupa dilakukan untuk
pencegahan nyeri kronik post-torakotomi. Data-data menunjukkan tidak terdapat
efek pre-emptive ketamin dalam hal berkembangnya nyeri kronik post-operatif.
Hamun, sebelum kesimpulan definitif dapat ditarik, dibutuhkan uji kualitas
random tambahan yang baik atas efek pre-emptive ketamin untuk berbagai
indikasi dengan menggunakan teknik terstandar.
Terapi nyeri kronik yang paling efektif adalah dengan endekatan multi
modalitas. Ketamin seringkali diberikan bersama dengan analgesik opioid, secara
post-operatif dan dalam terapi nyeri kronik kanker. Review Cochrane tahun 2005
mengenai pemnggunaan ketamin peri-operatif menunjukkan bahwa ketamin
mengurangi konsumsi morfin dalam 27/37 penelitian dengan kurangnya nyeri dan
mual muntah secara bersamaan. Serupa dengan itu, ketamin meningkatkan
efisiensi terapi opioid pada nyeri kanker. Mekanisme ketamin dalam
meningkatkan efisiensi opioid adalah multipel: (i) kemampuan ketamin untuk
mengurangi nyeri lebih superior dibandingkan opioid dan dengan demikian
memperbaiki status nyeri kanker pasien-pasien dengan komponen nyeri
neuropatik; (ii) ketamin merupakan analgesi dalam golongan tersendiri dan
berinteraksi dengan opioid secara additive () dan secara sinergis, kemungkinan di
dalam jalur inhibitorik desendens. Data percobaan binatang menunjukkan bahwa
antagonis NMDAR mencegah berkembangnya hiperalgesia yang diinduksi opioid.
Hiperalgesia yang diinduksi opioid merupakan peningkatan paradoksikal
(berlawanan dengan seharusnya) persepsi nyeri yang dapat bermanifestasi selama
terapi opioid akut maupun kronik dan sebagai akibatnya menyebabkan terapi
nyeri yang adekuat menjadi lebih sulit dan terkadang bahkan mustahil.
Kemampuan ketamin mengurangi insiden (dan beratnya) efek samping opioid
kiranya penting karena efek samping akan mengurangi kebersediaan pasien.
Sebagai contoh, kebanyakan pasien lebih memilih merasakan nyeri ketimbang
mual. Data ini menunjukkan bahwa kombinasi opioid-ketamin dapat bermanfaat
dalam status nyeri non-neuropatik (kondisi paliatif) atau pada kondisi nyeri
campuran nosiseptif/neuropatik (nyeri kanker).
Bukti terkini menunjukkan bahwa ketamin memiliki kualitas antidepresan.
Faktanya, penelitian klinis menunjukkan bahwa satu dosis subanestetik ketamin
menghasilkan efek antidepresan segera (dalam 1 jam). Ketamin memiliki efek
positif terhadap gejala-gejala depresif pada pasien-pasien yang resisten terhadap
terapi. Pada tikus, Li dkk menunjukkan bahwa ketamin, dengan menghambat
NMDAR, mengaktifkan jalur rifampisin (mTOR) mamalia target, meningkatkan
ekspresi protein-protein sinaptik dan sinaps-sinaps dendritik, dan menyebabkan
respon antidepresi dalam 1 hari. Banyak pasien-pasien nyeri kronik yang disertai
depresi atau gejala-gejala menyerupai depresi, depresi dan nyeri kronik
mempunyai jalur mekanisme yang sama. Terapi nyeri kronik dapat memenuhi dua
tujuan, terapi nyeri dan meredakan gejala-gejala depresif. Apakah nyeri yang
disembuhkan dan depresi yang diturunkan merupakan konsekuensi ataukah
sebaliknya, hanya berhubungan kecil dengan pasien-pasien nyeri kronik. Namun,
meskipun dengan perdebatan akademik ini, tidak ada ditemukan bukti
peningkatan gejala depresi setelah pengobatan ketamin jangka panjang pada
pasien CRPS [4]. Kemungkinan, efek antidepresan ketamin pada pasien nyeri
kronis hanya bersifat sementara. Penelitian lebih lanjut mengenai masalah penting
ini masih diperlukan.
Akhirnya, ada laporan bahwa ketamin memiliki efek anti-inflamatorik,
neuroprotektif dan efek anti-tumor. Laporan-laporan ini (sebagian besar berasal
dari studi eksperimental) merupakan pnenelitian awal terbaik dan uji random
terkontrol yang besar pada pasien nyeri kronis diperlukan untuk menghubungkan
masalah ini
Ketamin – Resiko
Seperti yang disebutkan sebelumnya, sejumlah besar bukti mengenai
resiko ketamin berasal dari penelitian-penelitian mengenai pengguna rekreasional
dan penyalahagunaan kronik ketamin. Tetapi tetap saja, terdapat pula sejumlah
besar bukti dari penelitian terkontrol pada relawan dan pasien-pasien dalam
laporan-laporan kasus yang menggambarkan resiko dan efek samping penggunaan
ketamin.
Penggunaan klinis ketamin
Efek samping dari penggunaan klinis ketamin dapat dibagi menjadi
terkait-SSP, kardiovaskular dan hepatik.
Efek ketamin terkait-SSP. Efek terkait-SSP yang paling penting adalah
psikotropik atau psikogenik. Meskipun efek samping psikogenik terjadi dengan
bergantung pada besaran dosis tetapi efek-efek sampingan ini sudah mulai
bermanifestasi pada dosis yang relatif rendah, yang digunakan dalam pengobatan
nyeri kronis (20-30 mg/jam). Baik persepsi internal maupun eksternal terhadap
realitas dipengaruhi (Gambar 2), menyebabkan halusinasi pendengaran, ide-ide
paranoid, perasaan cemas (serangan panik) dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan pikiran (persepsi internal), dan derealization dalam ruang dan
waktu, halusinasi visual, peningkatan persepsi terhadap suara dan warna (persepsi
eksternal). Selain itu, perasaan intens seperti mabuk obat (fly) seringkali dirasakan
oleh beberapa pasien sebagai pengalaman yang sangat tidak menyenangkan,
sementara yang lain memiliki persepsi perasaan euforia intens. Efek samping SSP
lainnya termasuk pusing, penglihatan kabur, vertigo, mual/muntah, disfasia,
nystagmus, mimpi buruk atau vivid dream, gangguan fungsi motorik dan defisit
memori. Efek Psychedelic menurun dengan cepat setelah terminasi pemberian
ketamin, meskipun Bagrove dkk melaporkan bahwa dalam 3 malam setelah
pemberian ketamin kejadian mimpi yang tidak menyenangkan meningkat secara
signifikan dibandingkan dengan plasebo. Mengingat efek ini, ketamine digunakan
untuk menginduksi keadaan menyerupai skizofrenia untuk meneliti sindrom ini
pada relawan sehat. Seperti yang ditulis sebelumnya, pencegahan lengkap efek
psychedelic tidaklah memungkinkan tetapi menjinakkan efek tersebut dapat
dicapai dengan menggunakan benzodiazepin atau agonis reseptor a2-adrenergik
(misalnya clonidine). Penggunaan clonidine terutama, layak diteliti lebih lanjut
karena juga dapat melawan efek stimulasi kardiovaskular ketamin (lihat di bawah)
Suatu analisis kognisi dan fungsi memori selama administrasi ketamin
jangka pendek menunjukkan penurunan memori kerja dan berkurangnya
pengkodean informasi ke dalam memori episodik. Selain itu, berbeda dengan obat
amnestik lainnya, ketamin mengganggu memori semantik. Setelah terminasi infus
ketamin tunggal jangka pendek ini, fungsi memori kembali menjadi normal, yang
menunjukkan bahwa pada pengguna ketamin naif (pertama kali) kehilangan
memori yang diinduksi oleh ketaminbersifat self-terminating. Namun, efek dari
penggunaan jangka panjang ketamin dosis rendah untuk pengobatan nyeri kronis
terhadap fungsi memori masih kurang dipelajari dan akibatnya tidak diketahui
(lihat di bawah). Satu-satunya studi yang meneliti keamanan dari dosis tinggi
jangka panjang ketamin pada pasien CRPS (dosis anestesi selama 5 hari)
menunjukkan bahwa tidak ada cacat kognitif berat. Namun, tidak ada data fungsi
kognitif jangka panjang yang diberikan.
Untuk mengurangi kemungkinan efek samping terkait-SSP yang nyata,
semua pasien harus mendapatkan evaluasi psikiatri yang luas sebelum terapi
ketamine untuk menyingkirkan skizofrenia (dan gangguan terkait) dan depresi
manik (dan gangguan terkait). Juga, pasien dengan riwayat penyalahgunaan obat
harus dikeluarkan dari daftar pengobatan ketamin.
Efek kardiovaskular ketamin. Ketamin memiliki efek inotropik langsung
dan efek stimulatorik tidak langsung terhadap sistem kardiovaskular. Stimulasi
diakibatkan oleh aktivasi sistem simpatetik dan terkait dengan pelepasan
katekolamin sistemik, inhibisi nervus vagus, inhibisi re-uptake norepinefrin pada
saraf perifer dan jaringan non-saraf seperti miokardium, dan pelepasan
norepinefrin dari ganglia simpatik. Depresi miokard diamati setelah infusan dosis
tinggi ketamin atau selama dosis ulangan (dalam beberapa menit sampai beberapa
jam) ketamin. Stimulasi kardiovaskular sudah terjadi setelah infusan dosis rendah
ketamin dan ditandai oleh takikardia, hipertensi sistemik dan pulmonal, dan
peningkatan curah jantung dan konsumsi oksigen miokard.Oleh karena itu, data
ini menunjukkan bahwa pemantauan diperlukan ketika merawat pasien nyeri
kronis dengan penyakit jantung dengan terapi ketamine dosis rendah. Terapi
dengan clonidine ataupun penghambat β-adrenoreseptor yang meningkatkan
hemodinamik setelah terapi ketamin, tampak logis, tetapi belum diteliti sejauh ini.
Efek hepatik ketamin Ada beberapa laporan yang menunjukkan
peningkatan profil enzim hati setelah terapi ketamin anestesi dan subanaesthetic.
Sebagai contoh, dalam uji random terkontrol, Noppers dkk mengamati bahwa
paparan kedua terhadap S-ketamin hanya 3 minggu setelah pengobatan 100 jam
padapasien CRPS-1 menyebabkan peningkatan enzim hati yang besarannya
menyebabkanmenyebabkanuji dihentikan. Pada tiga dari enam pasien yang
diobati, transaminase alanin, alkaline phosphatase, aspartat transaminase dan g-
glutamil transferase semuanya meningkat tiga kali di atas batas normal. Setelah
penghentian infus ketamin enzim perlahan-lahan kembali normal (nilai normal
dicapai dalam waktu 3 bulan). Observasi serupa dibuat oleh peneliti lainnya,
menggunakan dosis rendah berulang atau infusan dosis tinggi kontinu ketamin
dengan peningkatan enzim hati pada sekitar 10% pasien yang kemudian kembali
normal dalam waktu 3 bulan. Mekanisme kerusakan hati yang diinduksi ketamin
tidak sepenuhnya dipahami. Faktor yang memungkinkan termasuk penurunan
hantaran oksigen hati, meningkatkan peroksidasi lipid dengan pembentukan
radikal bebas dan hepatitis alergi. Terlepas dari mekanisme ini, data menunjukkan
bahwa penggunaan infus ketamin berulang memerlukan follow up enzim hati
yang cermat dan terminasi pengobatan, jika terjadi kerusakan hati. Desain terapi
tunggal tampaknya kurang merusak hati. Misalnya dalam studi Sigtermans dkk,
tidak terdapat peningkatan enzim hati yang terdeteksi pada 50 pasien yang
menerima infus tunggal 100 jam ketamin.
Data klinis Dalam praktek klinis, ketamin dianggap aman, dan secara
umum, efek samping dapat ditoleransi dengan baik. Kami baru-baru ini dirawat
50 pasien CRPS-1 dengan terapi intravena ketamin dosis rendah 100 jam dan
menyimpulkan bahwa manfaat dari pemberian ketamin melebihi risikonya.
Cvrcek mengevaluasi efek samping dari pengobatan ketamin oral 3 bulan (30 mg
lima x sehari) pada pasien dengan polineuropati diabetes dan neuralgia post-
herpetik. Mengantuk dan pusing merupakan efek samping yang paling umum
terjadi pada masing-masing 25% dan 22% pasien, diikuti dengan sedasi (19%),
mulut kering (19%), mual dan muntah (9%) dan penurunan memori (9%). Selama
masa penelitian 16% menarik diri dari pengobatan karena kegagalan terapi dan
13% lainnya karena efek samping yang tidak dapat ditoleransi seperti pusing,
sedasi, mual dan muntah. Cvrcek menyimpulkan bahwa pengobatan ketamin,
meskipun tidak optimal, tetapi dapat diterima untuk terapi nyeri kronis.
Penggunaan rekreasional ketamin
Meskipun efek samping psychedelic membatasi penggunaan ketamine
dalam praktek klinis, tetapi hal inimerupakanpenyebab utama popularitas ketamin
dalam dunia narkoba. Ketamine lebih menyebabkan psikologis ketimbang
ketergantungan fisik karena tidak ditemukan statuswithdrawal(putus zat) fisik
setelah terhentinya penyalahgunaan jangka panjang. Di Inggris, ketamin
merupakan obat kelas C (sejak 2006). Di AS, ketamine ditempatkan dalam
Schedule IIIdalam Undang-Undang Pengendalian Zat AS. Ketamine ditelan,
dihirup atau disuntikkan pada dosis yang relatif tinggi dan efeknya (fly)
berlangsung selama tidak lebih dari 2 jam. Ketika efek disosiatif ketamin menjadi
beratkondisipengguna seringkali disebut sebagai K-hole di mana gejala
menyerupai skizofrenia mendominasi dengan persepsi yang dirasakan benar-benar
terpisah dari realitas (seperti pengalaman menjelang kematian). Pada dosis yang
lebih rendah, ketamin menginduksi kondisi disosiasi ringan dengan halusinasi
vivid (hidup) dan distorsi ruang dan waktu (seperti menyatu dengan lingkungan
dan perasaan keluar dari tubuh).
Pasien mungkin datang dengan berbagai gejala di unit gawat darurat (ED).
Sebagai contoh, sebuah penelitian di AS pada 20 pasien menunjukkan bahwa
sebagian besar penyalahguna ketamin mengunjungi ED dengan keluhan
kecemasan, nyeri dada, jantung berdebar, kebingungan dan hilangnya memori.
Gejala fisik yang ditemukan adalah hipertensi, takikardia, nystagmus, maka
halusinasi dan bicara cadel/gagu. Dalam sebuah studi ED di China (Hong Kong)
yang meninjau 233 kasus penyalahgunaan ketamin, gejala yang paling penting
termasuk gangguan kesadaran (45%), nyeri perut (21%), gejala saluran kemih
bawah (12%) dan pusing (12 %). Beberapa pasien gelisah, agresif dan
menunjukkan perilaku paranoid. Selain itu, karena depersonalisasi dan derealisasi
pasien lebih rentan terhadap automutilasi. Manajemen toksisitas akut ketamine
bersifat suportif dan gejala biasanya sembuh secara spontan dalam beberapa jam.
Hasil (luaran) yang fatal jarang dilaporkan dan jika terjadi, seringkali
berhubungan dengan aspirasi cairan lambung.
Sebuah temuan penting pada pengguna rekreasionalketamin yang tidak
dilaporkan oleh pasien-pasien klinis adalah terjadinya gejala-gejala urologis. Pada
pencandu frequent (yang sering), ketamine dapat menyebabkan sistitis ulseratif
yang muncul dengan gejala urgensi tinggi dan frekuensi urinasi, disuria,
inkontinensia dan hematuria. Mak dkk menunjukkan bahwa pengguna ketamine
yang menyalahgunakan ketamin lebih dari 2 tahun dengan setidaknya tiga kali
seminggu, telah mengubah fungsi kandung kemih dengan keluhan urologis yang
terkadang berat. Etiologi cystitis ulseratif yang diinduksi ketamin tidak jelas,
tetapi tampaknya terkait dengan frekuensipenyalahgunaan. Dalam tiga seri kasus
retrospektif yang meliputi 93 pasien dengan gejala urologis karena
penyalahgunaan ketamin, berkurangnya volume kandung kemih dilaporkan pada
33% dan hidronefrosis pada 50%. Berkurangnyavolume kandung kemih dikaitkan
dengan penebalan dinding kandung kemih, instabilitas detrusor dan
refluksvesikoureter. Gagal ginjal akut sekunder akibat masalah urologis ini telah
dilaporkan. Sebagian besar, gejala urologis membaik setelah terhentinya
penggunaan ketamine. Namun setelah penyalahgunaan jangka panjang gejala
dapatmuncul dalam jangka waktu yang lama setelah penghentian obat. Selain itu
juga, sistem organ lain tampaknya akan terpengaruh oleh penyalahgunaan ketamin
jangka panjang. Beberapa laporan mendapatkan dilatasi traktus bilier yang
diinduksi oleh ketamin dengan nilai enzim hati yang abnormal yang sesuai dengan
obstruksi post-hepatiktanpa disertai adanya suatu lesi yang obstruktif.
Selanjutnya, Poon dkk mengidentifikasi bahwa dari 37 penyalahguna ketamine
dengan keluhan urologis, 28 pasien juga mengalami gejala gastro-intestinal bagian
atas. 14 dari 28 pasien menjalani endoskopi saluran cerna atas yang menunjukkan
gastritis pada 12 pasien dan gastroduodenitis dalam satu pasien.
Bertantangan dengan penggunaan klinis ketamin, penyalahgunaan ketamin
berhubungan dengan defek fungsi memori yang menetap setelah terhentinya
penggunaan. Juga, adanya gejala-gejala menyerupai skizotipal seperti pikiran
delusional, kondisi takhayul, disosiasi dan depresi mungkin menetap atau rekuren
secara reguler (yaitu K-holeflash-back). Hal ini menunjukkan kerusakan yang
lebih permanen pada otak penyalahguna ketamin berulang. Bukti bahwa ketamin
adalah neurotoksik berasal dari studi hewan yang menunjukkan apoptosis
neurodegenerasi diinduksi oleh NMDAR antagonis dalam otak tikus yang sedang
berkembang. Cedera saraf disebabkan oleh hilangnya kemampuan hambatan jalur
inhibitorik yang menyebabkan peningkatan aktivitas neuronal eksitatorik. Obat-
obatan seperti benzodiazepin dan agonis α2-adrenoseptor telah menunjukkan efek
protektif dalam perkembangan kerusakan saraf. Pada orang dewasa, efek toksik
dari ketamin pada otak diamati oleh Liao dkk dalam dua penelitian. Mereka
membandingkan volume otak penyalahguna ketamin kronis dengan relawan sehat
dan menemukan berkurangnya volume substansia grisea dan alba di korteks
frontal bilateral dan degenerasi substansia alba di korteks temporoparietal kiri
pada pecandu ketamin. Perubahan-perubahan dalam otak ini dapat berhubungkan
dengan defek memori pada relawan sehat (efek terhadap pekerjaan, memori
episodik dan semantik) dan gejala-gejala schizotipikal.
Secara keseluruhan, data ini menunjukkan efek berbahaya dari ketamin
bila digunakan dalam kondisi yang tidak terkendali. Memperihtungkan efek buruk
dari ketamin untuk penggunaan dalam kondisi-kondisi klinis merupakan hal yang
sulit, karena efek yang diamati pada pengguna narkoba frequent(yang sering) juga
muncul setelah penggunaan ketamindosis tinggi. Kontaminasi dari obat dengan
bahan lain juga mungkin memainkan peranan. Selain itu, sulit untuk menentukan
apakah semua efek ini secara langsung terkait dengan penggunaan ketamine,
karena pengguna narkoba sering menyalahgunakan beberapa obat-obatan secara
bersamaan (misalnya XTC, kokain). Namun, kami juga harus mengingat bahwa
pasien nyeri kronis, yang diterapi dengan ketamine untuk waktu yang cukup lama,
mungkin mengalami efek samping yang serupa. Oleh karena itu, pasien harus
dimonitor dan terapi ketamine harus segera terminasi ketika efek samping yang
berat yang ditemui.
Kesimpulan
Terdapat bukti bahwa pengobatan jangka panjang nyeri kronis (terutama
nyeri dengan komponen neuropatik) dengan ketamine akan menyebabkan redanya
nyeri jangka panjang, meskipun bukti berasal hanya dari sejumlah RCT (n = 3).
Yang terpenting adalah bahwa tidak terdapat pengaruh terhadap fungsi atau gejala
depresi yang ditemui. Namun, walaupun pengobatan ketamin terkait dengan
berbagai efek samping (termasuk gejala terkait-SSP [berkembangnya kondisi
menyerupai-skizofrenia, mengantuk, pusing, teler/fly, defek memori], stimulasi
jantung dan pada sebagian kecil pasien, cedera hati), tetapi
merupakanpertimbangan dari dokter yang merawat (dan pada banyak kasus dari
pasien) apakah manfaat yang didapatkan lebih besar daripada risiko pada populasi
pasien tertentu. Untuk memperkuat pertimbangan tersebut, tambahan studi
terkontrol plasebo atau pembanding aktif diperlukan untuk mambuktikan bahwa
memang infusan ketamin berkepanjangan menghasilkan analgesia jangka panjang
dengan risiko yang dapat diterima: rasio manfaat (yang diukur dengan indeks
komposit yang memperhitungkan parameter hasil). Tambahan risiko ketamin
telah ditemui pada pengguna ketamin rekreasional: gejala urologis dan perilaku
skizotipikal dan defek memori persisten atau rekuren. Meskipun kami tidak dapat
memperkirakan temuan efek samping para pengguna ketamine rekuren- yang
seringkali dengandosis tinggi - inipada pasien kami, tetapi efek jangka panjang
ketamin yang mungkin terjadi pada pasien nyeri kronis berupa gangguan memori
dan kognisi perlu diteliti lebih lanjut. Sampai bukti yang pasti diperoleh bahwa
manfaat dari ketamine lebih besar dari risikonya, kami berpendapat bahwa
pemberian ketamin harus dibatasi untuk pasien dengan nyeri neuropatik berat dan
nyeri neuropatik yang resisten terhadap terapi, seperti dalam kasus nyeri CRPS
refrakter. Oleh karena itu, sampai bukti lebih lanjut dapat ditambahkan, ketamin
tidak boleh dianggap sebagai pilihan pertama atau kedua dalam terapikondisi
nyeri neuropatik, terlepas dari apapun penyebabnya.
Masalah terakhir adalah kenyataan bahwa pasien-pasien nyeri kronis
dirawat di bangsal. Hal ini menguras biaya dan terdapat pula kebutuhan mendesak
akanpreparat ketamin oral atau transmucosal dapat diandalkan. Namun,
penggunaan ketamine di luar rumah sakit harus dibayar dengan kurangnya
kemampuan untuk memonitor pasien selama pengobatan dan meningkatnya
probabilitas toksisitas dan penyalahgunaan. Rejimen dosis cerdas (smart dosing
regimen) , pelatihanpasien (dan dokter), kontak pasien-dokter yang sering dan
pemantauan ketat dari penyedia obat diperlukan untuk suksesnya pengobatan
ketamin di rumah sendiri (mandiri).
REFERENSI
1. Okie S. A flood of opioids, a rising tide of deaths. N Engl J Med 2010; 363:
1981–5.
2. Dworkin RH, O’Connor AB, Audette J, Baron R, Gourlay GK, Haanpää ML,
Kent JL, Krane EJ, Lebel AA, Levy RM,Mackey SC,Mayer J,Miaskowski C,
Raja SN, Rice AS, Schmader KE, Stacey B, Stanos S, Treede RD, Turk
DC,Walco GA,Wells CD. Recommendations for the pharmacological
management of neuropathic pain: an overview and literature update. Mayo
Clin Proc 2010; 85: S3–14.
3. Finnerup NB, Otto M,McQuay HJ, Jensen TS, Sindrup SH. Algorithm for
neuropathic pain treatment: an evidence based proposal. Pain 2005; 118:
289–305.
4. Sigtermans MJ, van Hilten JJ, Bauer MCR, Arbous MS, Marinus J, Sarton
EY, Dahan A. Ketamine produces effective and long-term pain relief in
patients with Complex Regional Pain Syndrome Type 1. Pain 2009; 145:
304–11.
5. Eide PK, Jorum E, Stubhaug A, Bremnes J, Breivik H. Relief of post-herpetic
neuralgia with the N-methyl-D-aspartic acid receptor antagonist ketamine: a
double-blind, cross-over comparison with morphine and placebo. Pain 1994;
58: 347–54.
6. Kvarnstrom A, Karlsten R, Quiding H, Emanuelsson BM, Gordh T. The
effectiveness of intravenous ketamine and lidocaine on peripheral neuropathic
pain. Acta Anaesthesiol Scand 2003; 47: 868–77.
7. Coppel DL, Bovill JG, Dundee JW. The taming of ketamine. Anaesthesia
1973; 28: 293–6.
8. Domino EF. Taming the ketamine tiger. Anesthesiology 2010; 113: 876–86.
9. Noppers I, Niesters M, Aarts L, Smith T, Sarton E, Dahan A. Ketamine for
the treatment of chronic non-cancer pain. Expert Opin Pharmacother 2010;
11: 2417–29.
10. Yanagihara Y, Ohtani M, Kariya S, Uchino K, Hiraishi T, Ashizawa N,
Aoyama T, Yamamura Y, Yamada Y, Iga T. Plasma concentration profiles of
ketamine and norketamine after administration of various ketamine
preparations to healthy Japanese volunteers. Biopharm Drug Dispos 2003; 24:
37–43.
11. Reves JG, Glass PSA, Lubarsky DA,McEvoy MD. Intravenous nonopioid
anesthetics. In:Miller’s Anesthesia, 6th edn, ed. Miller RD. Philadelphia, PA:
Elsevier, Churchill, Livingstone, 2005; 319.
12. Sigtermans M, Dahan A, Mooren R, Bauer M, Kest B, Sarton E, Olofsen E.
S(+)-ketamine effect on experimental pain and cardiac output: a population
pharmacokinetic-pharmacodynamic modeling study in healthy volunteers.
Anesthesiology 2009; 111: 892–903.
13. Schüttler J, Stanski DR, White PF, Trevor AJ, Horai Y, Verotta D, Sheiner
LB. Pharmacodynamic modeling of the EEG effects of ketamine and its
enantiomers in man. J Pharmacokinet Biopharm 1987; 15: 241–53.
14. Herd DW, Anderson BJ, Keene NA, Holford N. Investigating the
pharmacodynamics of ketamine in children. Ped Anesth 2008; 18: 36–42.
15. Dahan A, Olofsen E, Sigtermans M, Noppers I, Niesters M, Aarts L, Bauer
M, Sarton E. Population pharmacokinetic-pharmacodynamic modeling of
ketamine-induced pain relief of chronic pain. Eur J Pain 2011; 15: 258–67.
16. Hijazi Y, Boulieu R. Contribution of CYP3A4, CYP2B6, and CYP2C9
isoforms to N-demethylation of ketamine in human liver microsomes. Drug
Metab Dispos 2002; 30: 853–8.
17. Leung LY, Baillie TA. Comparative pharmacology in the rat of ketamine and
its two principal metabolites, norketamine and (Z)-6-hydroxynorketamine. J
Med Chem 1986; 29: 2396–9.
18. Woolf TF, Adams JD. Biotransformation of ketamine, (Z)-6-
hydroxyketamine, and (E)-6-hydroxyketamine by rat, rabbit, and human liver
microsomal preparations. Xenobiotica 1987; 17: 839–47.
19. Hagelberg NM, Peltoniemi MA, Saari TI, Kurkinen KJ, Laine K, Neuvonen
PJ, Olkkola KT. Clarithromycin, a potent inhibitor of CYP3A, greatly
increases exposure to oral S-ketamine. Eur J Pain 2010; 14: 625–29.
20. Noppers I, Olofsen E, Niesters M, Aarts L,Mooren R, Dahan A, Kharasch E,
Sarton E. Effect of rifampicin on S-ketamine and S-norketamine plasma
concentrations in healthy volunteers after intravenous S-ketamine
administration. Anesthesiology 2011; 114: 1435–45.
21. Olofsen Olofsen E, Noppers I, Niesters M, Kharasch E, Aarts L, Sarton E.
Estimation of the contribution of norketamine to ketamine-induced acute pain
relief and neurocognitive impairment in healthy volunteers. Anesthesiology
2012; 117: 353–64.
22. Goldberg ME, Torjman MC, Schwartzman RJ,Mager DE, Wainer IW.
Pharmacodynamic profiles of ketamine (R)- and (S)- with 5-day inpatient
infusion for the treatment of complex regional pain syndrome. Pain Physician
2010; 13: 379–87.
23. Petrenko AB, Yamakura T, Baba H, Shimoji K. The role of N-methyl-D-
aspartate (NMDA) receptors in pain: a review. Anesth Analg 2003; 97: 1108–
16.
24. Marchand F, Perretti M,McMahon SB. Role of immune system in chronic
pain. Nat Rev Neurosci 2005; 6: 521–32.
25. Watkins LR,Maier SF. Immune regulation of central nervous system
functions: from sickness responses to pathological pain. J Int Med 2005; 257:
139–55.
26. Costigan M, Scholz J,Woolf CJ. Neuropathic pain: a maladaptive response of
the nervous system to damage. Annu Rev Neurosci 2009; 32: 1–32.
27. Ossipov MH, Dussor GO, Porreca F. Central modulation of pain. J Clin
Invest 2010; 120: 3779–87.
28. Woolf CJ. Central sensitization: implications for the diagnosis and treatment
of pain. Pain 2011; 152: S2–15.
29. Niesters M, Khalili-Mahani N,Martini C, Aarts L, van Gerven J, van Buchem
MA, Dahan A, Rombouts S. Effect of subanesthetic ketamine on intrinsic
functional brain connectivity: a placebo controlled functional magnetic
resonance imaging study in healthy volunteers. Anesthesioloy 2012; 117:
868–77.
30. Niesters M, Aarts L, Sarton E, Dahan A. Influence of ketamine and morphine
on descending pain modulation in chronic pain patients: a randomized
placebo controlled cross-over study. Br J Anaesth 2013. [Epub ahead of
print].
31. Hirota K, Lambert DG. Ketamine: new uses for an old drug? Br J Anaesth
2011; 107: 123–6.
32. Wolff K, Winstock AR. Ketamine: from medicine to misuse. CNS drugs
2006; 20: 199–218.
33. Sarton E, Teppema LJ, Olievuer C, Nieuwenhuijs D,Matthes HWD, Kieffer
BL, Dahan A. The involvement of the m-opioid receptor in ketamine-induced
respiratory depression and antinociception. Anesth Analg 2001; 93: 1495–
500.
34. Boyce S,Wyatt A,Webb JK, O’Donnell R,Mason G, Rigby M, Sirinathsinghji
D, Hill RG, Rupniak NM. Selective NMDA NR2B Ketamine risks and
benefits Br J Clin Pharmacol / 77:2 / 365 antagonists induce antinociception
without motor dysfunction: correlation with restricted localisation of NR2B
subunits in dorsal horn. Neuropharmacology 1999; 38: 611–23.
35. Niesters M, Dahan A, Swartjes M, Noppers I, Fillingim RB, Aarts L, Sarton
EY. Effect of ketamine on endogenous pain modulation in healthy volunteers.
Pain 2011; 152: 656–63.
36. Noppers I, Niesters M, Swartjes M, Bauer M, Aarts L, Geleijnse N, Mooren
R, Dahan A, Sarton E. Absence of long-term analgesic effect from a short-
term S-ketamine infusion on fibromyalgia pain: a randomized, prospective,
double blind, active placebo-controlled trial. Eur J Pain 2011; 15: 942–9.
37. Schwartzman RJ, Alexander GM, Grothusen JR, Paylor T, Reichenberger E,
Perreault M. Outpatient intravenous ketamine for the treatment of complex
regional pain syndrome: a double-blind placebo controlled study. Pain 2009;
147: 107–15.
38. Amr YM. Multi-day low dose ketamine infusion as adjuvant to oral
gabapentin in spinal cord injury related chronic pain: a prospective,
randomized, double blind trial. Pain Physician 2010; 13: 245–9.
39. Wilson JA, Nimmo AF, Fleetwood-Walker SM, Colvin LA. A randomised
double blind trial of the effect of pre-emptive epidural ketamine on persistent
pain after lower limb amputation. Pain 2008; 135: 108–18.
40. Mendola C, Cammarota G, Netto R, Cecci G, Pisterna A, Ferrante D, Casadio
C, Della Corte F. S(+)-ketamine for control of perioperative pain and
prevention of Post Thoracotomy Pain Syndrome: a randomized, double blind
study.Minerva Anestesiol 2012; 78: 757–66.
41. Dualé C, Sibaud F, Guastella V, Vallet L, Gimbert YA, Taheri H, Filaire M,
Schoeffler P, Dubray C. Perioperative ketamine does not prevent chronic pain
after thoracotomy. Eur J Pain 2009; 13: 497–505.
42. Bell RF, Dahl JB, Moore RA, Kalso E. Perioperative ketamine for acute
postoperative pain. Cochrane Database Syst Rev 2006; (1): CD004603.
43. Bell RF, Eccleston C, Kalso E. Ketamine as adjuvant to opioids for cancer
pain. A qualitative systematic review. J Pain Symptom Manage 2003; 26:
867–75.
44. Juni A, Klein G, Kest B. Morphine hyperalgesia in mice is unrelated to opioid
activity, analgesia, or tolerance: evidence for multiple diverse hyperalgesic
systems. Brain Res 2006; 1070: 35–44. Juni A, Klein G, Pintar JE, Kest B.
Nociception increases during opioid infusion in opioid receptor triple knock-
out mice. Neuroscience 2007; 147: 439–44.
45. van Dorp E, Kest B, Kowalczyk WJ, Morariu AM,Waxman AR, Arout CA,
Dahan A, Sarton E. Morphine-6b-glucuronide rapidly increases pain
sensitivity independently of opioid receptor activity in mice and humans.
Anesthesiology 2009; 110: 1356–63.
46. Berman RM, Cappiello A, Anand A, Oren DA, Heninger GR, Charney DS,
Krystal JH. Antidepressant effects of ketamine in depressed patients. Biol
Psychiatry 2000; 47: 351–4.
47. Zarate CA, Singh JB, Carlson PJ, Brutsche NE, Ameli R, Luckenbaugh DA,
Charney DS,Manji HK. A randomized trial of an N-methyl-D-aspartate
antagonist in treatment-resistant major depression. Arch Gen Psychiatry
2006; 63: 856–64.
48. Li N, Lee B, Liu RJ, Banasr M, Dwyer JM, Iwata M, Li XY, Aghajanian G,
Duman RS. mTOR-dependent synapse formation underlies rapid
antidepressant effects of NMDA antagonists. Science 2010; 329: 959–64.
49. Bowdle AT, Radant AD, Cowley DS, Kharash ED, Strassman RJ, Ray-Byrne
PP. Psychedelic effects of ketamine in healthy volunteers. Anesthesiology
1998; 88: 82–8.
50. Pomarol-Clotet E, Honey GD, Murray GK, Corlett PR, Absalom AR, Lee
M,McKenna PJ, Bullmore ET, Fletcher PC. Psychological effects of
ketamine in healthy volunteers. Phenomenological study. Br J Psychiatry
2006; 189: 173–9.
51. Coull JT, Morgan H, Cambridge VC,Moore JW, Giorlando F, Adapa R,
Corlett PR, Fletcher PC. Ketamine perturbs perception of the flow of time in
healthy volunteers. Psychopharmacology 2011; 218: 543–56.
52. Morgan CJ, Curran VH. Acute and chronic effects of ketamine upon human
memory: a review. Psychopharmacology 2006;188: 408–24.
53. Cvrcˇek P. Side effects of ketamine in the long-term treatment of neuropathic
pain. Pain Med 2008; 9: 253–7.
54. Blagrove M,Morgan CJ, Curran VH, Bromley L, Brandner B. The incidence
of unpleasant dreams after sub-anaesthetic ketamine. Psychopharmacology
2009; 203: 109–20.
55. Stefanovic A, Brandner B, Klaassen E, Cregg R, Nagaratnam M, Bromley
LM, Das RK, Rossell SL, Morgan CJ, Curran HV. Acute and chronic effects
of ketamine on semantic priming: modeling schizophrenia? J Clin
Psychopharmacol 2009; 29:124–33.
56. Honey GD, O’Loughlin C, Turner DC, Pomarol-Clotet E, Corlett PR,
Fletcher P. The effects of a subpsychotic dose of ketamine on recognition and
source memory for agency: implications for pharmacological modeling of
core symptoms of schizophrenia. Neuropsychopharmacology 2006; 31: 413–
23.
57. Bergman SA. Ketamine: review of its pharmacology and its use in pediatric
anesthesia. Anesth Prog 1999; 46: 10–20.
58. Morgen CJ, Rossell S, Pepper F, Smart J, Blackburn J, Brandner B, Curran
HV. Semantic priming after ketamine acutely in healthy volunteers and
following chronic self-administration in substance users. Biol Psychiatry
2006; 59: 265–72.
59. Morgan CJ, Mofeez A, Brandner B, Bromley L, Curran VH. Acute effects of
ketamine on memory systems and psychotic symptoms in healthy volunteers
Neuropsychopharmacology 2004; 29: 208–18.
60. Adler CM, Goldberg TE,Malholtra AK, Pickar D, Breier A. Effects of
ketamine on thought disorder, working memory, and semantic memory in
healthy volunteers. Biol Psychiatry 1998; 43: 811–6.
61. Koffler SP, Hampstead BM, Irani F, Tinker KRT, Rohr P, Schwartzman RJ.
The neurocognitive effects of 5 day M. Niesters et al. 366 / 77:2 / Br J Clin
Pharmacol anesthetic ketamine for the treatment of refractory complex
regional pain syndrome. Arch Clin Neuropsychol 2007; 22: 919–29.
62. Timm C, Linstedt U,Weiss T, Zenz M,Maier C. Sympathicomimetische
Effekte auch bei niedriger Dosierung von Esketamin. Anaesthetist 2008; 57:
338–46.
63. Kalsi SS,Wood DM, Dargan PI. The epidemiology and patterns of acute and
chronic toxicity associated with recreational ketamine use. Emerg Health
Threats J 2011; 4: 7107. doi: 10.3402/ehtj.v4i0.7107.
64. Blunnie WP, Zacharias M, Dundee JW, Doggart JR, Moore J, McIlroy PD.
Liver enzymes with continuous intravenous anaesthesia. Anaesthesia 1981;
36: 152–6.
65. Dundee JW, Fee JP, Moore J,McIlroy PD, Wilson DB. Changes in serum
enzyme levels following ketamine infusions. Anaesthesia 1980; 35: 12–6.
66. Kiefer RT, Rohr P, Ploppa A, Dietrich HJ, Grothusen J, Koffler S, Altemeyer
KH, Unertl K, Schwartzman RJ. Efficacy of ketamine in anesthetic dosage
for the treatment of refractory complex regional pain syndrome: an open-label
phase II study. Pain Med 2008; 9: 1173–201.
67. Noppers IM, Niesters M, Aarts LP, Bauer MC, Drewes AM, Dahan A, Sarton
E. Drug-induced liver injury following a repeated course of ketamine
treatment for chronic pain in CRPS type 1 patients: a report of 3 cases. Pain
2011; 152: 2173–8.
68. Weiner AL, Vieira L,McKay CA Jr, Bayer MJ. Ketamine abusers presenting
to the emergency department: a case series. J Emerg Med 2000; 18: 447–51.
69. Ng SH, Tse ML, Ng HW, Lau FL. Emergency department presentation of
ketamine abusers in Hong Kong: a review of 233 cases. Hong Kong Med J
2010; 16: 6–11.
70. Morgan CJ, Curran VH. Ketamine use: a review. Addiction 2011; 107: 27–
38.
71. Middela S, Pearce I. Ketamine-induced vesicopathy: a literature review. Int J
Clin Pract 2011; 65: 27–30.
72. Mak SK, Chan MT, Bower WF, Yip SK, Hou SS,Wu BB,Man CY. Lower
urinary tract changes in young adults using ketamine. J Urol 2011; 186: 610–
4.
73. Chu PS,Ma WK,Wong SC, Chu RW, Cheng CH,Wong S, Tse JM, Lau FL,
Yiu MK,Man CW. The destruction of the lower urinary tract by ketamine
abuse: a new syndrome? BJU Int 2008; 102: 1616–22.
74. Mason K, Cottrell AM, Corrigan AG, Gillatt DA,Mitchelmore AE.
Ketamine-associated lower urinary tract destruction: a new radiological
challenge. Clin Radiol 2010; 65: 795–800.
75. Tsai TH, Cha TL, Lin CM, Tsao CW, Tang SH, Chuang FP,Wu ST, Sun GH,
Yu DS, Chang SY. Ketamine-associated bladder dysfunction. Int J Urol
2009; 16: 826–9.
76. Cheung RY, Chan SS, Lee JH, Pang AW, Choy KW, Chung TK. Urinary
symptoms and impaired quality of life in female ketamine users: persistence
after cessation of use. Hong Kong Med J 2011; 17: 267–73.
77. Lo RS, Krishnamoorthy R, Freeman JG, Austin AS. Cholestasis and biliary
dilatation associated with chronic ketamine abuse: a case series. Singapore
Med J 2011; 52: e52–5.
78. Wong SW, Lee KF,Wong J, Ng WW, Cheung YS, Lai PB. Dilated common
bile ducts mimicking choledochal cysts in ketamine abusers. Hong Kong Med
J 2009; 15: 53–6.
79. Poon TL,Wong KF, Chan MY, Fung KW, Chu SK,Man CW, Yiu MK, Leung
SK. Upper gastrointestinal problems in inhalational ketamine abusers. J Dig
Dis 2010; 11: 106–10.
80. Curran VH, Monaghan L. In and out of the K-hole: a comparison of the acute
and residual effects of ketamine infrequent and infrequent ketamine users.
Addiction 2001; 96: 749–60.
81. Morgan CJ, Riccelli M,Maitland CH, Curran VH. Long-term effects of
ketamine: evidence for a persisting impairment of source memory in
recreational users. Drug Alcohol Depend 2004; 75: 301–8.
82. Morgan CJ, Monaghan L, Curran VH. Beyond the K-hole: a 3-year
longitudinal investigation of the cognitive and subjective effects of ketamine
in recreational users who have substantially reduced their use of the drug.
Addiction 2004; 99: 1450–61.
83. Freeman TP, Morgan CJ, Klaassen E, Das RK, Stefanovic A, Brandner B,
Curran VH. Superstitious conditioning as a model of delusion formation
following chronic but not acute ketamine in humans. Psychopharmacology
2009; 206: 563–73.
84. Sikker W, Zou X, Hotchkins CE, Divine RL, Sadovova N, Twaddle NC,
Doerge DR, Scallet AC, Patterson TA, Hanig JP, Paule MG,Wang C.
Ketamine-induced neuronal cell death in perinatal rhesus monkey. Toxicol
Sci 2007; 98: 145–58.
85. Jevtovic-Todorovic V, Carter LB. The anesthetics nitrous oxide and ketamine
are more neurotoxic to old than to young rat brains. Neurobiol Aging 2005;
26: 947–56.
86. Liao Y, Tang J, Corlett PR,Wang X, Yang M, Chen H, Liu T, Chen X, Hao
W, Fletcher PC. Reduced dorsal frontal gray matter after chronic ketamine
use. Biol Psychiatry 2011; 69: 42–8.
87. Liao Y, Tang J,Ma M,Wu Z, Yang M,Wang X, Liu T, Chen X, Fletcher PC,
Hao W. Frontal white matter abnormalities following chronic ketamine use: a
diffusion tensor imaging study. Brain 2010; 133: 2115–22.