pemeliharaan status teranestesi dengan kombinasi xilasin-ketamin ...
Transcript of pemeliharaan status teranestesi dengan kombinasi xilasin-ketamin ...
TESIS
PEMELIHARAAN STATUS TERANESTESI DENGAN KOMBINASI XILASIN-KETAMIN
SECARA SUBKUTAN PADA ANJING
I MADE INDRAYADNYA SWARAYANA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2015
!
iii!
TESIS
PEMELIHARAAN STATUS TERANESTESI DENGAN KOMBINASI XILASIN-KETAMIN
SECARA SUBKUTAN PADA ANJING
I MADE INDRAYADNYA SWARAYANA NIM 1292361011
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2015
!
iv!!
PEMELIHARAAN STATUS TERANESTESI DENGAN KOMBINASI XILASIN-KETAMIN
SECARA SUBKUTAN PADA ANJING
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana
Universitas Udayana
I MADE INDRAYADNYA SWARAYANA
NIM 1292361011
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2015
ii!
iii!
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL, 20 APRIL 2015
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. drh I Gusti Ngurah Sudisma, M.Si Dr. drh. I Nyoman Suartha, M.Si NIP 19690130 199702 1 002 NIP 19680301 199403 1 002
Mengetahui,
Ketua Program Kedokteran Hewan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19621231 198903 1 315 NIP. 19590215 198510 2 001
iv!!
Tesis ini telah diuji pada tanggal : 20 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana,No. 1161a/UN.14.4/HK/2015, Tanggal 17 April 2015
Ketua : Dr. Drh. I Gusti Ngurah Sudisma, M.Si
Anggota :
1. Dr.drh. I Nyoman Suartha, M.Si 2. Dr.drh. I Ketut Anom Dada, MS 3. Prof. Dr.drh. Ida Bagus Komang Ardana, M.Kes 4. Prof. Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes
iii!
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : I Made Indrayadnya Swarayana
NIM : 1292361011
Program Studi : Kedokteran Hewan
Judul Tesis : Pemeliharaan Status Teranestesi dengan Kombinasi Xilasin-
Ketamin Secara Subkutan pada Anjing
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 20 April 2015
Yang membuat pernyataan,
I Made Indrayadnya Swarayana
v!
iv!!
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 26 Mei 1990 dan merupakan anak
kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Ir. I Gede Mandysastra, M.Si dan
Ibu Ir. Ni Luh Gde Seriani. Penulis berkewarganeragaraan Indonesia dan beragama
Hindu.
Pendidikan yang pernah ditempuh yaitu Taman Kanak-kanak di TK Dharma
Wanita Cakranegara pada tahun 1994 dan tamat tahun 1996. Kemudian melanjutkan
pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 8 Cakranegara pada tahun 1996 dan tamat pada
tahun 2002. Lalu melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2
Mataram pada tahun 2002 dan tamat pada tahun 2005. Pendidikan Menengah Atas
ditempuh di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Mataram pada tahun 2005 dan tamat
pada tahun 2008. Melalui jalur PMDK pada tahun 2008, penulis diterima di Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali. Menyelesaikan pendidikan Sarjana
Kedokteran Hewan (SKH) pada tahun 2012 dan pendidikan Profesi Dokter Hewan
pada tahun 2013. Pada tahun 2012 penulis menempuh Pendidikan Program Magister
Program Studi Kedokteran Hewan Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
vi!
iii!
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.
drh I Gusti Ngurah Sudisma, M.Si. selaku pembimbing I yang dengan penuh
perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis
mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih
yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. drh. I Nyoman Suartha,
M.Si. selaku Pembimbing II yang penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan
bimbingan dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr.
dr. I Ketut Suastika SpPD. (KEMD) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di
Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). Terima
kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes selaku Ketua
Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana
dan juga sebagai penguji tesis, atas kesempatan yang diberikan untuk belajar di
Program Studi yang dipimpinnya dan kesediaannya menjadi penguji. Ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada para penguji tesis
vii!
iv!!
lainnya, yaitu Bapak Dr.drh. I Ketut Anom Dada, MS dan Bapak Prof. Dr.drh. Ida
Bagus Komang Ardana, M.Kes yang telah memberikan masukan, saran dan
sanggahan sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih yang
tulus juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah membimbing penulis
dalam mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Studi Kedokteran
Hewan Program Pascasarjana Univesitas Udayana.
Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Kedua orang tua
tercinta, Bapak Ir. I Gede Mandysastra, M.Si dan Ibu Ir. Ni Luh Gede Seriani,
saudara penulis I Wayan Aditya Swardiana S.Kom, M.Kom dengan doa dan penuh
kesabaran telah memberikan semangat dan dorongan moral dan material sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan
Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Kepala Rumah Sakit Hewan Udayana Denpasar yang telah
mengijinkan untuk melaksanakan penelitian. Ratna Bayuningsih Permitosari, Rosni
Lumban Gaol dan Adrin Ma’ruf yang telah membantu dalam penelitian ini.
Terima kasih juga kepada Keluarga besar angkatan 2008 FKH Udayana yang
tidak dapat saya sebutkan namanya satu-persatu yang telah memberikan doa, telah
banyak membantu, memberikan semangat dan saran kepada penulis.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrah-Nya kepada semua
pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini, serta kepada
penulis dan keluarga.
viii!
iii!
ABSTRAK
PEMELIHARAAN STATUS TERANESTESI DENGAN KOMBINASI XILASIN-KETAMIN SECARA SUBKUTAN PADA ANJING
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode alternatif anestesi
inhalasi. Metode yang lebih murah, praktis dan memiliki waktu induksi cepat adalah dengan metode parenteral atau injeksi secara subkutan. Dua puluh lima ekor anjing lokal jantan dengan berat 10-15 kg dengan usia ± 1 tahun dibagi menjadi lima perlakuan dan masing-masing lima ekor sebagai ulangan.
Seluruh perlakuan menggunakan premedikasi atropin (0,03 mg/kgBB) disuntikan subkutan, 10 menit kemudian dilakukan induksi intramuscular dengan kombinasi xilasin (2mg/KgBB) dan ketamin (12,5mg/KgBB). Perlakuan 1 pemeliharaan status teranestesi menggunakan inhalasi isofluran, Perlakuan 2 pemeliharaan anestesi menggunakan kombinasi xilasin (2mg/KgBB) dan ketamin (12,5mg/KgBB) secara subkutan, Perlakuan 3 pemeliharaan status teranestesi menggunakan kombinasi xilasin (2mg/KgBB) dan ketamin (15mg/KgBB) secara subkutan, Perlakuan 4 pemeliharaan status teranestesi menggunakan xilasin (2mg/KgBB) dilanjutkan dengan ketamin (12,5mg/KgBB) secara subkutan , dan Perlakuan 5 pemeliharaan status teranestesi menggunakan xilasin (2mg/KgBB) dilanjutkan dengan ketamin(15mg/KgBB) secara subkutan. Dilakukan pencatatan waktu induksi, durasi dan waktu pemulihan, serta pengamatan menggunakan alat fisiograf yang diamati setiap 10 menit hingga anjing tersadar untuk merekam nilai respirasi, saturasi oksigen, suhu rektal, frekuensi denyut jantung dan elektrokardiogram.
Hasil penelitian dengan perlakuan 5 menghasilkan pemeliharaan status teranestesi yang baik, karena menghasilkan waktu induksi yang cepat 10.8 menit, dan durasi waktu anestesi yang panjang yaitu 145 menit. Perlakuan AXK-X-K15 menghasilkan pengaruh perubahan lebih rendah terhadap respirasi, nilai saturasi oksigen, suhu rektal, nilai frekuensi denyut jantung, dan nilai elektrokardiogram (EKG) pada bentangan stabil dibandingkan kelompok kombinasi yang lain, sehingga perlakuan 5, dapat menjadi alternatif pengganti anestesi inhalasi. Kata kunci: Anestesi, Xilasin, Ketamine HCl, Anjing !
ix!
iv!!
ABSTRACT
SUBCUTANEOUS INJECTION OF XYLZINE AND KETAMINE
COMBINATIONS FOR MAINTENANCE OF ANESTHESIA IN DOGS
The purpose of this research is to find out an alternative method for inhalational anesthesia. The research use twenty five local male dogs aged about ±1 year old and weigh 10-15 kgs each as research subjects. These twenty five dogs are divided into five groups consisting of five dogs each and each group is given different treatments.
The entire treatments are using premedicated atropin (0,03 mg/kgBB) injected subcutaneously, and after 10 minutes the subject is intramuscularly inducted with xylazine ( 2 mg/kgBB) and ketamine (12,5 mg/kbBB) combination. To maintain anestethia status, each dogs group is given different treatment. Group 1 is given isofluran inhalation, group 2 is given xylazine (2 mg/kgBB) and ketamine (12,5 mg/kgBB) combination by subcutaneous injection, group 3 is given xylazine (2 mg/kgBB) and ketamine (15 mg/kgBB) combination by subcutaneous injection, group 4 is given xylazine (2 mg/kgBB) and ketamine (12,5 mg/kgBB) consecutively by subcutaneous injection, and group 5 group is given xylazine (2 mg/kgBB) and ketamine (15 mg/kgBB) consecutively by subcutaneous injection. The induction time, duration, recovery time, and fisiograph, is being observed every 10 minutes until the subject is awakened which its respiration value, oxygen saturation, rectal temperature, heart beat frequency, and electrocardiogram will also recorded.
The result of 5th group treatment produced good anesthetized status maintenance. The dogs group given this treatment have rapid induction time (10,8 minutes) and long anesthetized status duration (145 minutes). Group 5 treatment also produce lower changes in respiration, oxygen saturation value, rectal temperature, heart beat frequency value, and electrocardiogram value if compared to other treatments. This result shows that 5th group treatment can be an alternative to replace inhalational anesthesia. Keywords: Anesthesia, Xilasin, Ketamine HCl, Dogs
x!
iii!
RINGKASAN
Pemeliharaan Status Teranestesi Dengan Kombinasi Xilasin-Ketamin
Secara Subkutan
Anestesi merupakan tahapan yang paling penting dalam tindakan
pembedahan, karena tindakan pembedahan belum dapat dilakukan bila anestesi belum diberikan. Anestesi umum inhalasi dipandang paling baik digunakan pada anjing saat ini. Anestesi umum inhalasi dipandang aman, namun memerlukan perangkat yang rumit, mahal, dan mempunyai waktu induksi yang relatif lambat serta tidak praktis untuk penanganan hewan di lapangan, mudah menguap, bersifat iritasi pada sistem respirasi, beberapa anestetikum bila dicampur dengan oksigen mudah terbakar dan meledak, efek samping lain yang ditimbulkan adalah delirium, mual, takikardia, aritmia jantung, depresi pernafasan dan menyebabkan polusi terhadap individu yang berada di ruangan operasi. Suatu metode alternatif yang aman dibandingkan efek samping anestesi inhalasi sangat diperlukan.
Metode yang lebih murah, praktis dan memiliki waktu induksi cepat adalah dengan metode parenteral atau injeksi. Penelitian ini bertujuan mendapatkan kombinasi anestesi Atropin-Xilasin-Ketamin dan pengulangan kombinasi Xilasin-ketamin secara subkutan sebagai alternatif pengganti anestesi umum inhalasi dengan dosis yang aman, nyaman, rasional, mudah dan praktis pada anjing serta mendapatkan data respon fisiologis anjing selama dalam kondisi teranestesi. Dua puluh lima ekor anjing lokal jantan dengan berat 10-15 kg dengan usia minimal 1 tahun dibagi menjadi lima kelompok perlakuan dan masing-masing lima ekor sebagai ulangan.
Lima kelompok perlakuan diberikan premedikasi atropin (0,03 mg/kgBB) secara subkutan, 10 menit kemudian dilakukan induksi intramuscular dengan kombinasi xilasin (2mg/KgBB)–ketamin (12,5mg/KgBB). Perlakuan 1 setelah induksi 10 menit kemudian dilakukan pemeliharaan status teranestesi menggunakan metode inhalasi dengan isofluran (1-2%). Perlakuan 2 10 menit setelah induksi dilakukan pemeliharaan status teranestesi secara subkutan dengan kombinasi Xilasin (2 mg/KgBB–Ketamin (12,5 mg/KgBB). Perlakuan 3 10 menit setelah induksi dilakukan pemeliharaan status teranestesi secara subkutan dengan kombinasi Xilasin(2 mg/KgBB)–Ketamin ( 15 mg/KgBB). Perlakuan 4 10 menit setelah induksi dilakukan pemeliharaan status teranestesi secara subkutan dengan Xilasin (2
xi!
iv!!
mg/KgBB), 10 menit kemudian dilanjutkan dengan Ketamin (12,5 mg/KgBB) secara subkutan. Perlakuan 5 10 menit setelah induksi dilakukan pemeliharaan status teranestesi secara subkutan degan Xilasin (2 mg/KgBB) 10 menit kemudian dilanjutkan dengan Ketamin (15mg/KgBB) subkutan. Dilakukan pengamatan menggunakan alat fisiograf yang diamati setiap 10 menit hingga anjing tersadar untuk merekam nilai respirasi, saturasi oksigen, suhu rektal, frekuensi denyut jantung dan elektrokardiogram.
Hasil penelitian menunjukan perlakuan perlakuan 5 menghasilkan status pemeliharaan anestesi secara subkutan yang baik, karena menghasilkan waktu induksi yang cepat, dan durasi waktu anestesi yang panjang yaitu 145 menit. Namun waktu pemulihan menghasilkan waktu yang lama. Serta menghasilkan pengaruh perubahan lebih rendah terhadap respirasi, nilai saturasi oksigen, suhu rectal, kestabilan nilai frekuensi denyut jantung, dan nilai elektrokardiogram (EKG) pada bentangan stabil dibandingkan kelompok kombinasi yang lain. Perlakuan 5 dapat digunakan sebagai pilihan alternatif pengganti anestesi inhalasi.
xii!
xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM!...............................................................................................!! i
PERSYARATAN GELAR!..................................................................................!! ii
LEMBAR PERSETUJUAN !...............................................................................!! iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .............................................................. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................... v
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... vii
ABSTRAK!.............................................................................................................!! ix
ABSTACT!.............................................................................................................!! x
RINGKASAN ............................................................................................... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................. 6
2.1 Anestesi ................................................................................ 6
2.1.1 Klasifikasi Anestesi ..................................................... 7
2.1.2 Anestesi Lokal ............................................................. 8
2.1.3 Anestesi Regional ......................................................... 9
2.1.4 Anestesi Umum ............................................................ 11
2.2 Ketamin HCl ........................................................................ 15
2.3 Xilasin .................................................................................. 17
xiv
2.4 Atropin ................................................................................. 18
2.5 Tahapan Anestesi Umum ..................................................... 19
2.6 Perubahan Aspek Fisiologi dalam Anestesi ......................... 22
2.6.1 Sistem Kardiovaskuler ................................................ 24
2.6.2 Suhu Rektal ................................................................. 27
2.7 Pemantauan Anestesi ........................................................... 39
BAB III KERANGKA BERPIKIR,KONSEP, DAN
HIPOTESIS PENELITIAN ....................................................... 32
3.1 Kerangka Berpikir ................................................................ 32
3.2 Konsep .................................................................................. 33
3.3 Hipotesis ............................................................................... 34
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................... 35
4.1 Rancangan Penelitian ........................................................... 35
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................ 38
4.3 Penentuan Sumber Data ....................................................... 38
4.4 Variabel Penelitian ............................................................... 38
4.5 Definisi operasional variabel ................................................. 38
4.6 Bahan Penelitian .................................................................... 39
4.7 Alat Penelitian ....................................................................... 39
4.8 Prosedur Penelitian ............................................................... 39
4.9.1 Parameter ............................................................................ 39
4.9.1.1 Pengukuran Waktu Anestesi .......................................... 40
4.9.1.2 Pengukuran Respirasi .................................................... 40
4.9.1.3 Pengukuran Elektrokardiogram (EKG) .......................... 40
4.9.1.4 Pengukuran Suhu Rektal ................................................... 41
4.9.2 Protokol dan Pelaksanaan Penelitian .................................... 41
4.10 Analisis Data ....................................................................... 42
BAB V HASIL ........................................................................................ 43
5.1 Waktu Anestesi .................................................................... 43
5.2 Respirasi ................................................................................ 45
xv
5.3 Saturasi Oksigen (O2) ............................................................ 47
5.4 Suhu Rektal ........................................................................... 48
4.5 Frekuensi Denyut Jantung ..................................................... 49
4.6 Elektrokardiogram ................................................................. 51
4.7.1.1 Amplitude gelombang P ............................................ 51
4.7.1.2 Amplitude gelombang R ........................................... 52
4.7.1.3 Interval PR .............................................................. 52
4.7.1.4 Komplek QRS .............................................................. 53
4.7.1.5 Interval QT ................................................................... 53
BAB VI PEMBAHASAN ......................................................................... 55
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 63
LAMPIRAN .................................................................................................. 67
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
2.6 Perubahan fisiologi yang diperiksa selama periode anestesi ................. 23
2.6.1 Kriteria elektrokardiogram (EKG) pada anjing ................................... 27
5.1 Nilai rata-rata ± simpangan baku waktu induksi, durasi dan waktu
pemulihan pemeliharaan status teranestesi dengan Xilasin-Ketamin
secara subkutan pada anjing................................................................. 44
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ....................................................... 33
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................. 37
5.2 Perubahan rata-rata respirasi selama pemberian induksi anestesi
dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing……….. 45
5.3 Perubahan rata-rata nilai saturasi oksigen selama pemberian induksi
anestesi dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing.. 47
5.4 Perubahan rata-rata suhu rektal selama pemberian induksi anestesi
dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing........... 48
5.5 Perubahan rata-rata denyut jantung selama pemberian induksi anestesi
dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing.......... 49
xvii
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) respirasi, saturasi oksigen, dan suhu rektal selama pemberian induksi dan pemeliharaan status teranastesi dengan Xilasin-Ketamin secara subkutan pada anjing. ………………………………... 67
Lampiran 2 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) denyut
jantung, elektrokardiogram gelombang P dan gelombang R selama pemberian induksi dan pemeliharaan status teranastesi dengan Xilasin-Ketamin secara subkutan pada anjing. ………………………………...……………………...... 68
Lampiran 3 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD)
elektrokardiogram interval PR, Kompleks QRS dan Interval QT selama pemberian induksi dan pemeliharaan status teranastesi dengan Xilasin-Ketamin secara subkutan pada anjing. ………………………………...………………………… 69
1"
"
"
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan dunia pembedahan di dunia kedokteran hewan tidak lepas dari
peran anestesi. Anestesi merupakan tahapan yang paling penting dalam tindakan
pembedahan, karena tindakan pembedahan belum dapat dilakukan bila anestesi
belum diberikan (Pretto, 2002). Pemilihan anestesi yang ideal untuk menghasilkan
analgesi, sedasi, relaksasi, unconsciousness, keamanan dan kenyamanan untuk sistem
vital, ekonomis dan mudah dalam aplikasi (Fossum 1997).
Anestesi umum yang digunakan pada hewan saat ini diperoleh melalui
penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi (McKelvey dan
Hollingshead 2003). Anestesi umum yang dipandang paling baik digunakan pada
anjing saat ini adalah anestesi umum inhalasi. Anestesi umum inhalasi dipandang
aman, namun memerlukan perangkat yang rumit, mahal, dan mempunyai waktu
induksi yang relatif lambat serta tidak praktis untuk penanganan hewan di lapangan.
Anestetikum inhalasi mudah menguap, bersifat iritasi pada sistem respirasi, beberapa
anestetikum bila dicampur dengan oksigen mudah terbakar dan meledak, efek
samping lain yang ditimbulkan adalah delirium, mual, takikardia, aritmia jantung,
depresi pernafasan dan menyebabkan polusi terhadap individu yang berada di
ruangan operasi. Individu yang terpapar anestesi inhalasi subklinis dapat mengalami
gangguan hati (Ernawati, 2006). Anestesi inhalasi, seperti gas nitrogen oksida dan
"
"
1"
2"
"
"
anestesi yang diuapkan dengan halogen mengakibatkan pencemaran lingkungan dan
penipisan lapisan ozon (Amadasun dan Edomwonyi, 2005).
Metode alternatif anestesi pada hewan terutama pada anjing diperlukan untuk
mengurangi efek samping yang timbul. Metode yang lebih murah, praktis dan
memiliki waktu induksi cepat adalah dengan metode parenteral atau injeksi. Metode
anestesi umum injeksi menghasilkan waktu induksi yang cepat namun durasi yang
singkat dan tidak stabil. Untuk tindakan pembedahan yang memerlukan waktu yang
lama, pemberian anestesi umum injeksi harus diulang-ulang karena tindakan
pembedahan belum selasai tetapi durasi anestesi tidak cukup untuk pemeliharaan
status teranestesi yang lebih lama. Metode alternatif anestesi umum yang paling
memungkinkan digunakan pada anjing adalah metode anestesi secara intramuscular
dan pemeliharaan status teranestesi secara subkutan. Induksi anestesi yang cepat
menggunakan induksi secara intramuscular (IM) dan pemeliharan status teranestesi
digunakan melalui subkutan. Pemberian injeksi secara subkutan memungkinkan
penyerapan obat lebih lama sehingga dapat memberikan status pemeliharaan
teranestesi dengan durasi yang lebih lama.
Pemberian anestesi secara Subkutan (SC) memiliki banyak kelebihan
diantaranya pengaplikasian obat ke tubuh anjing lebih aman karena pemberian secara
SC beresiko paling kecil membuat kondisi trauma pasien daripada injeksi melalui
intramuskular, pendistribusian obat anestesi kedalam tubuh melalui injeksi SC lebih
lambat daripada pemberian secara intramuskular ataupun intravena sehingga
3"
"
"
pengaruh anestesi lebih lama untuk pemeliharaan status teranestesi dan aman dalam
penanganan darurat apabila terjadi kesalahan pemberian dosis anestesi.
Anestesikum injeksi yang paling baik digunakan pada anjing adalah ketamin.
Keuntungan menggunakan ketamin yaitu ekonomis, mudah dalam pemberian,
induksinya cepat begitu juga pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi otot yang
baik dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Benson et al., 1985). Penggunaan
anestesi umum ketamin secara tunggal pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan
hipersalivasi serta kerja anestesi yang sangat pendek. Ketamin juga meningkatkan
temperatur tubuh, peningkatan denyut jantung, tekanan darah arteri dan peningkatan
tekanan intra ocular. Dengan kekurangan ketamin diperlukan agen premedikasi
kombinasi dengan golongan α2-adrenoceptor (xilasin). Penggunaan xilasin pada
anjing akan menyebabkan terjadinya muntah dan penurunan denyut jantung beberapa
menit setelah pemberian xilasin. Pemberian atropin secara bersamaan sebagai
premedikasi, dapat menurunkan pengaruh hipersalivasi dan bradikardi dari xilasin.
Diperlukan penelitian menggunakan kombinasi atropin-xilasin-ketamin pada
anjing untuk menghasilkan pemeliharaan status teranestesi yang lebih lama dengan
metode kombinasi injeksi secara Intramuskular (IM) dan Subkutan (SC). Induksi
anestesi yang lebih cepat dihasilkan melalui injeksi melalui Intramuskular (IM) dan
pemeliharaan status teranestesi dihasilkan melalui injeksi secara Subkutan (SC).
Penelitian ini diharapkan mendapat hasil sejauh mana keamanan kombinasi anestesi
atropin-xilasin-ketamin yang diinjeksi secara berulang melalui subkutan sehingga
dapat memperoleh kombinasi anestesi yang aman, nyaman, murah, mudah dan praktis
4"
"
"
digunakan untuk melakukan pembedahan dalam jangka waktu yang lebih lama serta
dalam penggunaan dilapangan dapat menjadi pertimbangan utama sebagai alternatif
anestesi inhalasi pada anjing.
1.2 Rumusan Masalah
1. Berapa dosis optimal penggunaan kombinasi atropin-xilasin-ketamin diberikan
secara subkutan untuk pemeliharaan status teranestesi?
2. Bagaimana pengaruh respon fisiologis tubuh anjing selama dalam kodisi
teranestesi dengan penggunaan kombinasi Atropin-Xilasin-Ketamin diberikan
secara subkutan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan kombinasi dan dosis anestesi Atropin-Xilasin-Ketamin dan
pengulangan kombinasi Xilasin-ketamin secara subkutan sebagai alternatif
pengganti anestesi umum inhalasi dengan dosis yang aman, nyaman, rasional,
mudah dan praktis pada anjing.
2. Mendapatkan data respon fisiologis anjing selama dalam kondisi teranestesi
dengan pemberian kombinasi Atropin-Xilasin-Ketamin dan pengulangan
kombinasi Xilasin-ketamin secara subkutan.
5"
"
"
1.4 Manfaat Penelitian
Penggunaan anestesi kombinasi Xilasin-Ketamin secara injeksi subkutan aman,
nyaman, praktis, efisien dan ekonomis untuk pemeliharaan status teranestesi terutama
bila digunakan di lapangan yang dapat menjadikan sebagai alternatif anestesi inhalasi
pada anjing.
6"
"
"
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anestesi
Anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).
Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi yang dapat dilakukan dengan
penyuntikan agen induksi secara intramuskular, intra nasal, intravena ataupun dengan
agen inhalasi. Idealnya induksi harus berjalan dengan lembut dan cepat, ditandai
dengan hilangnya kesadaran. Keadaan ini dinilai dengan tidak adanya respon suara
dan hilangnya reflek bulu mata dan hemodinamik tetap stabil (Morgan, Mikhail,
2002)
Anestesi umum yang ideal harus memenuhi tiga syarat mutlak, yaitu sedasi,
analgesi, dan relaksasi.
Guedel (1920) membagi anestesi umum dalam 4 stadium yaitu:
• Stadium I (Analgesia) adalah stadium induksi, Stadium ini dimulai dari saat
pemberian obat anestesi sampai hilangnya kesadaran."Stadium ini ditandai
dengan pola nafas yang lambat, teratur dari diafragma dan otot intercostal,
masih terdapat refleks bulu mata.
• Stadium II (Delinum) adalah stadium eksitasi, Stadium ini dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Stadium ini
"
"
6"
7"
"
"
ditandai dengan eksitasi, tidak sadar, pola nafas tidak teratur, pupil mulai
dilatasi, masih terdapat refleks bulu mata, terdapat resiko spasme laring,
muntah sampai aritmia.
• Stadium III (Pembedahan) adalah stadium anestesi, Stadium ini ditandai
dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang.
• Stadium IV (Paralisis medula oblongata) adalah stadium overdosis, Stadium
ini ditandai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding dengan stadium
III. Jika mengalami stadium ini maka harus segera memberikan antidota
pada hewan tersebut.
2.1.1 Klasifikasi Anestesi
Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan
secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obatan anestetika umumnya
diklasifikasikan berdasarkan rute penggunaannya, yaitu: 1). Topikal misalnya melalui
kutaneus atau membrana mukosa; 2). Injeksi seperti intravena, subkutan,
intramuskular, dan intraperitoneal; 3). Gastrointestinal secara oral atau rektal; dan 4).
Respirasi atau inhalasi melalui saluran nafas (Tranquilli et al. 2007).
Anestetetikum juga dapat diklasifikasikan berdasarkan daerah atau luasan
pada tubuh yang dipengaruhinya, yaitu : 1). Anestesi lokal, terbatas pada tempat
penggunaan dengan pemberian secara topikal, spray, salep atau tetes, dan infiltrasi.
2). Anestesi regional, mempengaruhi pada daerah atau regio tertentu dengan
8"
"
"
pemberian secara perineural, epidural, dan intratekal atau subaraknoid. 3). Anestesi
umum, mempengaruhi seluruh sistem tubuh secara umum dengan pemberian secara
injeksi, inhalasi, atau gabungan (balanced anaesthesia) (Adams 2001; McKelvey dan
Hollingshead 2003).
2.1.2 Anestesi Lokal
Anestetikum lokal adalah suatu bahan kimia yang mampu menghambat
konduksi syaraf perifer tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada syaraf tersebut.
Mekanisme kerja anestetikum lokal dengan cara menghambat (blok) saluran ion
sodium (Na) pada syaraf perifer, konduksi atau aksi potensial pada syaraf terhambat
sehingga respon nyeri secara lokal hilang. Anestetikum lokal mencegah proses
depolarisasi membran syaraf secara lokal melalui penghambatan saluran ion Na,
sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan neurotransmitter acetilkolin
dan membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel serta tidak terjadi perubahan
potensial. Keadaan tersebut menyebabkan aliran inpuls yang melewati syaraf
berhenti, sehingga semua rangsangan tidak sampai ke SSP. Sifat hambatan syaraf
umumnya bersifat lokal, selektif, dan tergantung pada dosis atau jumlah obat yang
diberikan (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010).
Sifat sifat yang harus dimiliki oleh obat anestetikum lokal adalah poten,
artinya efektif dalam dosis rendah, daya penetrasinya baik, mula kerjanya cepat, masa
kerjanya lama, toksisitas sistemik rendah, tidak mengiritasi jaringan, pengaruhnya
reversibel, dan mudah dikeluarkan dari tubuh (Adams 2001; Tranquilli et al. 2007).
9"
"
"
Penggunaan anestetikum lokal bisa dilakukan dengan meneteskan pada permukaan
daerah yang akan dianestesi (surface aflication), dengan melakukan injeksi secara
sub-kutan pada daerah yang akan dianestesi (subdermal, intradermal), serta dengan
melakukan pemblokiran pada daerah tertentu (field block anestesi). Anestetikum yang
sering digunakan sebagai anestetikum lokal adalah procaine HCI 2% - 4%, Lidocaine
0,5 - 2%, Lidocaine 4%, Tetracaine, bupivacaine 0,25% atau 0,5%, Dibucain,
Pehacaine, Lidonest, dan Chlor buthanol dengan dosis pemberian secukupnya
(Quantum statis, QS). Lidocaine dan bupivacaine dapat diencerkan dengan larutan
salin (bukan air) untuk menurunkan konsentrasinya. Bupivacaine mempunyai onset
lebih lambat (20 menit) dan durasi lebih panjang (6 jam) dibandingkan lidocaine
(onset lebih cepat dan durasi 1-2 jam) (Adams 2001; Sudisma 2006; Tranquilli et al.
2007).
2.1.3 Anestesi Regional
Anestesi regional adalah tindakan menghilangnya nyeri yang dilakukan
dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi
regio atau daerah tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi inpuls yang
reversibel. Anestetikum regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah
atau regio tertentu secera reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Mekanisme
kerja dan jenis anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal, tetapi
daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhi adalah daerah atau regio tertentu.
Anestesi regional dibedakan berdasarkan rute pemberiannya, yaitu secara epidural,
10"
"
"
spinal atau intrathekal atau subaraknoid, dan blok pleksus brakhialis (Adams 2001;
McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anestesi epidural dihasilkan dengan cara menginjeksikan anestetikum lokal
diantara duramater dan periosteum dari canalis spinalis (epidural space).
Anestetikum tidak langsung mengenai medula spinalis, sehingga efek anestesi terjadi
setelah 15-20 menit pemberian. Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol
motorik daerah abdominal, pelvis, ekor, dan kaki belakang. Anestesi ini biasanya
digunakan untuk laparotomi, amputasi ekor, urethrostomi, pembedahan cesar,
pembedahan daerah pelvis, dan amputasi daeran kaki belakang. Pada hewan kecil
dilakukan antara tulang lumbar terakhir dan tulang sakral 1. Sedangkan pada hewan
besar dilakukan antara tulang coccigia 1 dan 2. Anestetikum yang digunakan sama
dengan anestetikum lokal, seperti lidocaine 2%, bupivacain 0,5%, ropivacain 0,75%
atau mepivacaine 2% dengan dosis pemberian 1ml/5kg BB. Lidocain menghasilkan
durasi sekitar 1-2 jam dan bupivacain sekitar 6 jam (McKelvey dan Hollingshead
2003).
Spinal atau intrathekal atau subaraknoid anestesi sama dengan anestesi
epidural tetapi dilakukan melalui duramater dan subaraknoid dimana jarum
menembus duramater dan subaraknoid sehingga anestetikum masuk ke dalam dan
langsung mengenai syaraf spinal, menghasilkan anestesi yang segera dan lebih cepat.
Anestesi ini mengakibatkan resiko berontak dan rasa sakit yang memerlukan
kesembuhan lebih lama. Anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum
lokal. Sedangkan blok pleksus brakhialis adalah anestesi regional dengan cara
11"
"
"
menyuntikkan anestetikum lokal di daerah perjalanan fleksus brakhialis yang
menginervasi daerah kaki depan (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003;
Sudisma 2006; Tranquilli et al. 2007).
2.1.4 Anestesi Umum
Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan
hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan
sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan sensori
pada syaraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem syaraf pusat
(SSP) secara reversibel (Adams 2001). Anestesi umum merupakan kondisi yang
dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan
obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon
rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap
rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya
kesadaran (unconsciousness) (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Mekanisme kerja anestesi umum pada tingkat seluler belum diketahui secara
pasti, tetapi dapat dihipotetiskan mempengaruhi sistem otak karena hilangnya
kesadaran, mempengaruhi batang otak karena hilangnya kemampuan bergerak, dan
mempengaruhi kortek serebral karena terjadi perubahan listrik pada otak. Anestesi
umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut tergantung pada dosis
yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara ideal dimulai dari keadaan terjaga
atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon
nyeri (analgesia), tidak bergerak dan relaksasi (immobility), tidak sadar
12"
"
"
(unconsciousness), koma, dan kematian atau dosis berlebih (Tranquilli et al. 2007;
Miller 2010).
Anestesi umum yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria : tiga komponen
anestesi atau trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi), penekanan refleks,
ketidaksadaran, aman untuk sistem vital (sirkulasi dan respirasi), mudah
diaplikasikan dan ekonomis. Dengan demikian, tujuan utama dilakukan anestesi
umum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan
penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan prosedur
diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan gangguan hemodinamik,
respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam (Wolfensohn dan Lloyd 2000;
Adams 2001; Tranquilli et al. 2007; Miller 2010).
Agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi, inhalasi, atau melalui
gabungan secara injeksi dan inhalasi. Anestetikum dapat digabungkan atau
dikombinasikan antara beberapa anestetikum atau dengan zat lain sebagai
preanestetikum dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia untuk
mendapatkan efek anestesi yang diinginkan dengan efek samping minimal.
Anestetika umum inhalasi yang sering digunakan pada hewan adalah halotan,
isofluran, sevofluran, desfluran, dietil eter, nitrous oksida dan xenon. Anestetika
umum yang diberikan secara injeksi meliputi barbiturat (tiopental, metoheksital, dan
pentobarbital), cyclohexamin (ketamin, tiletamin), etomidat, dan propofol (McKelvey
dan Hollingshead 2003; Garcia et al. 2010).
13"
"
"
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang
dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme
kerja anestesi umum inhalasi sangat rumit dan sampai saat ini masih merupakan
misteri, karena pemberian anestetikum inhalasi melalui pernapasan menuju organ
sasaran yang jauh adalah suatu hal yang unik. Hiperventilasi akan menaikkan ambilan
anestetikum dalam alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus.
Kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam
menentukan induksi dan pemulihan anestesi inhalasi. Induksi dan pemulihan akan
berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada zat yang larut. Kadar
alveolus minimal atau minimum alveolar cencentration (MAC) adalah kadar minimal
zat anestesi dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir yang diperlukan untuk
mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan rangsangan insisi standar.
Immobilisasi tercapai pada 95% pasien apabila kadar anestetikum dinaikkan di atas
30% nilai MAC. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial anestetikum dalam alveoli
sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja anestetikum (Latief et al.
2007; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anestetika umum inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu pembedahan adalah N2O. Kemudian menyusul, eter, kloroform, etil
klorida, halotan, metoksifluran, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon.
Anestetika umum inhalasi yang umum digunakan saat ini adalah N2O, halotan,
14"
"
"
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Obat obat anestesi yang lain
ditinggalkan, karena efek sampingnya yang tidak dikehendaki. Misalnya, eter mudah
terbakar dan meledak, menyebabkan sekresi bronkus berlebihan, mual dan muntah,
kerusakan hati, dan baunya yang sangat merangsang. Kloroform menyebabkan
aritmia dan kerusakan hati. Metoksifluran menyebabkan kerusakan hati, toksik
terhadap ginjal, dan mudah terbakar (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead
2003; Tranquilli et al. 2007).
Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat mirip dengan
metoksifluran dan sevofluran. Rentang keamanan isofluran lebih lebar dibandingkan
halotan dan metoksifluran, sehingga sangat umum digunakan pada hewan terutama
anjing dan kuda walaupun dengan harga yang lebih mahal. Penggunaaan isofluran
pada dosis anestesi atau subanestesi menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi akan meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga
menjadi pilihan pada pembedahan otak. Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung
(cardiac output) sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan
kelainan jantung. Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan karena
mempunyai nilai MAC lebih tinggi dibandingkan halotan. Pemeliharaan anestesi
dengan isofluran biasanya digunakan konsentrasi 1,5 – 2,5 % isofluran dalam oksigen
(Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anestesi umum injeksi merupakan metode anestesi umum yang dilakukan
dengan cara menyuntikkan agen anestesi langsung melalui muskulus atau pembuluh
darah vena. Anestesi injeksi biasanya digunakan untuk induksi pada hewan kecil
15"
"
"
maupun pada hewan besar dan dapat juga digunakan untuk pemeliharaan anestesi.
Anestetika injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak
menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksikan, cepat diabsorsi, waktu induksi,
durasi, dan masa pulih dari anestesi berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki
indeks terapeutik tinggi, tidak bersifat toksik, mempunyai pengaruh minimal terhadap
organ tubuh terutama saluran pernapasan dan kardiovaskular, cepat dimetabolisme,
tidak bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan
otot, analgesik, dan sudah diketahui antidotanya. Beberapa anestetika injeksi yang
sering digunakan pada hewan adalah golongan barbiturat seperti thiopental sodium,
methoheksital, dan pentobarbital. Golongan lainnya yang juga sering digunakan pada
hewan adalah golongan cycloheksamin (ketamin dan tiletamin), etomidat, dan
propofol. (Brander et al. 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003).
2.2 Ketamin HCl
Ketamin HCl adalah anestetikum golongan phencyclidine (PCP) dengan
rumus 2-(0-chlorophenyl)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride, golongan
nonbarbiturat, dan termasuk dissosiatif anestesi, yaitu pada dosis rendah sebagai
preanestesi dan pada dosis lebih tinggi sebagai anestesi umum. Ketamin HCl
merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan mempunyai tingkat
keamanan lebar (Sulistia 1987; Adams 2001).
Ketamin HCl mempunyai sifat menghilangkan rasa sakit yang kuat serta
reaksi anestesinya tidak menyebabkan ngantuk (Pathak et al.1982; Kul et al. 2001).
16"
"
"
Ketamin menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada
reseptor N methyl D aspartate (NMDA). Ketamin diklasifikasikan sebagai antagonis
reseptor NMDA, pada daerah tempat kerja PCP. Afinitas ketamin sangat tinggi pada
reseptor NMDA, sehingga menghasilkan pengaruh analgesik yang sangat kuat
(Stawicki 2007). Sebagai antagonis NMDA, ketamin menghambat refleks nosiseptik
spinal, yaitu menghambat konduksi rasa nyeri ke talamus dan daerah kortek.
Penghambatan reseptor NMDA dengan dosis ketamin yang rendah akan
menghasilkan pengaruh analgesik yang baik (Intelisano et al. 2008).
Ketamin juga menyebabkan gangguan fungsi pada beberapa tempat di otak
seperti pada talamus dan kortek serebral menjadi tertekan. Ketamin juga
memperpanjang kerja GABA (gamma amino butyric acid), suatu neurotransmiter
penghambat di otak dengan cara menghambat pengikatannya di ujung syaraf (Cullen
1997). Reseptor GABA dapat merubah permiabilitas ion Cl-dan dapat menyebabkan
pelepasan norepineprin pada syaraf simpatik (Adams 2001; Rudolph dan Antkowiak
2004). Pengaruh klinis yang ditimbulkan ketamin sangat bervariasi seperti :
analgesia, anestesi, halusinasi, neurotoksisitas, hipertensi arterial, dan bronkodilatasi.
Ketamin juga menimbulkan agitasi (kehilangan orientasi, gelisah, dan
menangis) yang sering disebut penomena emergence delirium (Stawicki 2007).
Adams (2001) menyebutkan bahwa aktivitas ketamin dapat secara langsung
menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan
(uptake) catecholamine terutama norepineprin.
17"
"
"
2.3 Xilasin
Xilasin adalah salah satu golongan alpha2-adrenoceptor stimulant atau alpha-
2 adrenergic receptor agonist. Alpha-2 agonist seperti xilasin dan medetomidin adalah
preanestetikum yang sering digunakan pada anjing dan kucing untuk menghasilkan
sedasi, analgesi, dan pelemas otot. Golongan alpha-2 agonist yang lain seperti
romifidin sering digunakan pada kuda, tetapi tidak direkomendasikan untuk anjing
dan kucing (Lemke 2004). Xilasin HCl mempunyai rumus kimia 2(2,6-
dimethylphenylamino)-4H-5,6-dihydro 1,3-thiazine hydrochloride. (Booth et al.
1995; Brander et al. 1991; Bishop 1996).
Xilasin menyebabkan tertekannya sistem syaraf pusat, bermula dari sedasi,
kemudian dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hypnosis, tidak sadar dan
akhirnya keadaan teranestesi. Pada sistem pernafasan, xilasin menekan pusat
pernafasan. Xilasin juga menyebabkan relaksasi otot yang bagus melalui imbibisi
transmisi intraneural impuls pada SSP. Penggunaan xilasin pada anjing menghasilkan
efek samping merangsang muntah tetapi dapat mengosongkan lambung pada anjing
diberi makan sebelum dianestesi. Xilasin biasa digunakan pada kucing, anjing dan
kuda sebagai agen sedatif untuk keperluan pembedahan minor dan untuk menguasai
hewan atau handling. Penggunaaan xilasin dengan dosis yang lebih tinggi bukan saja
untuk sedasi dan analgesi, tetapi juga menghasilkan immobilisasi.
Xilasin bisa digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan obat lain seperti
benzodiazepin atau opioid untuk menghasilkan sedasi. Xilasin juga dapat
dikombinasikan dengan anestesi injeksi seperti ketamin, tiopental, dan propofol atau
18"
"
"
anestesi inhalasi seperti halotan dan isofluran untuk menghasilkan anestesi yang lebih
baik (Lemke 2004). Xilasin biasanya digunakan sebagai preanestesi, tetapi pada
anjing akan menyebabkan muntah sehingga bersifat kontra-indikasi untuk hewan
yang menderita obstruksi gastro-intestinal. Waktu induksi dari suatu agen anestesi
bisa dikurangi sampai 50-75% dengan pemberian preanestesi xilasin untuk
menghindari overdosis (Bishop 1996).
2.4 Atropin
Atropin adalah prototipe agen menghambat muskarinik atau antimuskarinik
dan merupakan ekstrak alkaloid dari tumbuhan belladona yang termasuk famili potato
(Adams 2001). Atropin dan derivat alamiahnya adalah ester alkaloid ammonium
tersier asam tropat (Katzung 1992). Secara kimia, molekul atropin terdiri dari dua
komponen yang berikatan melalui ikatan ester. Atropin merupakan antimuskarinik,
digunakan untuk mengurangi salivasi dan sekresi bronkial dan melindungi serta
mencegah kejadian aritmia disebabkan prosedur atau sifat obat-obat anestesi. Sebagai
preanestesi, atropin diindikasikan pada anjing untuk mencegah sejumlah saliva yang
dapat menghalangi jalan nafas. Atropin dan hyoscin tidak direkombinasikan untuk
preanestesi pada kuda karena dapat menyebabkan eksitasi dan medriasis. Atropin
mencegah efek samping muskarinik dari antikolinesterase, yang digunakan untuk
mengembalikan pengaruh non-depolarisasi obat-obat neuromuskular blok. Atropin
adalah obat yang paling umum untuk digunakan sebagai antimuskarinik untuk
19"
"
"
pengobatan bradikardia. Penggunaan atropin pada anjing adalah 30–100
mikrograms/Kg BB (Bishop 1996).
Dosis atropin sulfa sebagai preanestetikum 0,02-0,04 mg/kgBB intramuskular
atau subkutan (Plumb 1991). Atropin biasa digunakan sebagai preanestetik pada
anjing dengan dosis 0,02-0,04mg/kg secara subkutan, intramuskular, maupun secara
intravena (McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemakaian atropin sulfas dosis tinggi
berakibat peningkatan frekuensi jantung dan tonus vagal perifer dan sentral. Kejadian
disarithmia jantung dan takhikardi pada pemberian atropin sulfas pernah dilaporkan
pada anjing (Lumb dan Jones 1996).
2.5 Tahapan Anestesi Umum
Tahapan anestesi sangat penting untuk diketahui terutama dalam menentukan
tahapan terbaik untuk melakukan pembedahan, memelihara tahapan tersebut sampai
batas waktu tertentu, dan mencegah terjadinya kelebihan dosis anestetikum. Tahapan
anestesi dapat dibagi dalam beberapa langkah, yaitu: preanestesi, induksi,
pemeliharaan, dan pemulihan (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Tahap preanestesi merupakan tahapan yang dilakukan segera sebelum
dilakukan anestesi, dimana data tentang pasien dikumpulkan, pasien dipuasakan, serta
dilakukan pemberian preanestetikum. Induksi adalah proses dimana hewan akan
melewati tahap sadar yang normal atau conscious menuju tahap tidak sadar atau
unconscious. Agen induksi dapat diberikan secara injeksi atau inhalasi. Apabila agen
induksi diberikan secara injeksi maka akan diikuti dengan intubasi endotracheal tube
20"
"
"
untuk pemberian anestetikum inhalasi atau gas menggunakan mesin anestesi. Waktu
minimum periode induksi biasanya 10 menit apabila diberikan secara intramuskular
(IM) dan sekitar 20 menit apabila diberikan secara subkutan (SC). Tahap induksi
ditandai dengan gerakan tidak terkoordinasi, gelisah dan diikuti dengan relaksasi
yang cepat serta kehilangan kesadaran. Idealnya, keadaan gelisah dan tidak tenang
dihindarkan pada tahap induksi, karena menyebabkan terjadinya aritmia jantung.
Preanestesi dan induksi anestesi dapat diberikan secara bersamaan, seperti pemberian
acepromazin, atropin, dan ketamin dicampur dalam satu alat suntik dan diberikan
secara intravena (IV) pada anjing. (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003;
Tranquilli et al. 2007).
Selanjutnya hewan akan memasuki tahap pemeliharaan status teranestesi.
Pada tahap pemeliharaan ini, status teranestesi akan terjaga selama masa tertentu dan
pada tahap inilah pembedahan atau prosedur medis dapat dilakukan. Tahap
pemeliharaan dapat dilihat dari tanda-tanda hilangnya rasa sakit atau analgesia,
relaksasi otot rangka, berhenti bergerak, dilanjutkan dengan hilangnya refleks
palpebral, spingter ani longgar, serta respirasi dan kardiovaskuler tertekan secara
ringan. Begitu mulai memasuki tahap pemeliharaan, respirasi kembali teratur dan
gerakan tanpa sengaja anggota tubuh berhenti. Bola mata akan bergerak menuju
ventral, pupil mengalami konstriksi, dan respon pupil sangat ringan. Refleks menelan
sangat tertekan sehingga endotracheal tube sangat mudah dimasukkan, refleks
palpebral mulai hilang, dan kesadaran mulai hilang. Anestesi semakin dalam
sehingga sangat nyata menekan sirkulasi dan respirasi. Pada anjing dan kucing,
21"
"
"
kecepatan respirasi kurang dari 12 kali per menit dan respirasi semakin dangkal.
Denyut jantung sangan rendah dan pulsus sangat menurun karena terjadi penurunan
seluruh tekanan darah. Nilai CRT akan meningkat menjadi 2 atau 3 detik. Semua
refleks tertekan secara total dan terjadi relaksasi otot secara sempurna serta refleks
rahang bawah sangat kendor. Apabila anestesi dilanjutkan lebih dalam, pasien akan
menunjukkan respirasi dan kardiovaskuler lebih tertekan dan pada keadaan dosis
anestetikum berlebih akan menyebabkan respirasi dan jantung berhenti. Dengan
demikian, pada tahap pemeliharaan sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan
status teranestesi terhadap sistim kardiovaskuler dan respirasi (McKelvey dan
Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007 ).
Ketika tahap pemeliharaan berakhir, hewan memasuki tahap pemulihan yang
menunjukkan konsentrasi anestetikum di dalam otak mulai menurun. Metode atau
mekanisme bagaimana anestetikum dikeluarkan dari otak dan sistem sirkulasi adalah
bervariasi tergantung pada anestetikum yang digunakan. Sebagian besar anestetikum
injeksi dikeluarkan dari darah melalui hati dan dimetabolisme oleh enzim di hati dan
metabolitnya dikeluarkan melalui sistem urinari. Pada hewan kucing, ketamin tidak
mengalami metabolisme dan dikeluarkan langsung tanpa perubahan melalui ginjal.
Kadar anestetikum golongan tiobarbiturat di dalam otak dapat dengan cepat menurun
karena dengan cepat disebarkan ke jaringan terutama otot dan lemak, sehingga hewan
akan sadar dan terbangun dengan cepat mendahului ekskresi anestetikum dari dalam
tubuh hewan. Anestetikum golongan inhalasi akan dikeluarkan dari tubuh pasien
melalui sistem respirasi, molekul anestetikum akan keluar dari otak memasuki
22"
"
"
peredaran darah, alveoli paru-paru, dan akhirnya dikeluarkan melalui nafas. Tanda
tanda adanya aktivitas refleks, ketegangan otot, sensitivitas terhadap nyeri pada
periode pemulihan dinyatakan sebagai kesadaran kembali (McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Durasi atau lama waktu kerja anestetikum dan kualitas anestesi dapat dilihat
dari pengamatan perubahan fisiologis selama stadium teranestesi. Dikenal dua waktu
induksi pada durasi anestesi. Waktu induksi 1 adalah waktu antara anestetikum
diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak dapat berdiri. Waktu induksi 2 adalah
waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak ada refleks pedal
atau hewan sudah tidak merasakan sakit (stadium operasi). Durasi adalah waktu
ketika hewan memasuki stadium operasi sampai hewan sadar kembali dan merasakan
sakit jika daerah disekitar bantalan jari ditekan. Waktu siuman atau recovery adalah
waktu antara ketika hewan memiliki kemampuan merasakan nyeri bila syaraf
disekitar jari kaki ditekan atau mengeluarkan suara sampai hewan memiliki
kemampuan untuk duduk sternal, berdiri atau jalan (Moens dan Fargetton 1990;
Verstegen dan Petcho 1993; McKelvey dan Hollingshead 2003).
2.6 Perubahan Aspek Fisiologi dalam Anestesi
Pengamatan aspek fisiologi untuk pengawasan suatu anestesi dapat dikatakan
sempurna apabila seluruh perubahan aspek fisiologi dapat diamati, tetapi perubahan
aspek fisiologi pada sistem kardiovaskuler, respirasi dan suhu tubuh merupakan
parameter yang terpenting diamati selama periode anestesi (Adams 2001, Flecknell,
23"
"
"
1987). Kunci efektifitas anestesi dan tingkat keamanan selama periode anestesi
adalah dilakukannya pengawasan dan pemantauan (monitoring) anestesi yang baik.
Pemeriksaan cepat dan seksama selama periode anestesi dilakukan terhadap
kedalaman anestesi, kardiovaskuler dan respirasi, oksigenasi, dan variabel yang lain,
seperti disajikan pada Tabel 2.6
Tabel 2.6 Perubahan fisiologi yang diperiksa selama periode anestesi
• Respirasi : kecepatan, kedalaman, dan sifat (gerak kantong reservoir dan gerakan dada). • Warna membrana mukosa dan capillary refill time (CRT). • Denyut jantung • Pulsus : kecepatan dan kekuatan • Ketegangan rahang, posisi bola mata, dan aktivitas refleks palpebral. • Oksigenasi (kecepatan aliran dan tekanan) • Temperatur tubuh pasien Sumber: McKelvey dan Hollingshead 2003
Tanda-tanda vital dan refleks harus diperiksa selama hewan teranestesi. Tanda
vital menunjukkan variabel yang mengindikasikan mekanisme respon keseimbangan
(homeostasis) hewan terhadap anestesi, seperti denyut jantung, kecepatan respirasi,
capillary refill time (CRT), dan temperatur. Tanda vital bagi pasien menandakan
kemampuan pasien untuk mempertahankan fungsi respirasi dan sirkulasi selama
teranestesi. Tanda vital dapat diamati dengan indera (sentuhan, pendengaran, atau
penglihatan) atau menggunakan alat seperti mesin EKG atau oximeter. Tanda vital
yang harus diperiksa selama teranestesi adalah denyut dan ritme jantung, pulsus,
24"
"
"
CRT, warna membrana mukosa, kehilangan darah, kecepatan dan kedalaman
respirasi, dan temperatur. Tanda vital lain yang juga diperiksa adalah oksigenasi,
CO2, EKG, dan tekanan darah. Sedangkan refleks adalah reaksi tidak sengaja dari
hewan terhadap rangsangan seperti ditusuk atau dipukul. Refleks memberikan
informasi terhadap kedalaman anestesi tetapi tidak berhubungan dengan keamanan
anestesi atau mekanisme homeostasis pasien (McKelvey dan Hollingshead 2003).
2.6.1 Sistem Kardiovaskeler
Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari
jantung, pembuluh darah dan darah. Fungsi utama sistem kardiovaskuler adalah
sebagai sistem sirkulasi atau alat transport. Sirkulasi darah akan mengangkut
substansi penting untuk kesehatan dan kehidupan, seperti oksigen (O2) dan nutrisi
yang diperlukan oleh setiap sel dalam tubuh. Darah juga membawa karbondioksida
(CO2
) dan hasil sisa metabolisme tubuh dari tiap-tiap sel dan mengirimnya ke paru-
paru, hati, atau ginjal sebagai tempat untuk pengeluaran (Cunningham 2002). Jantung
berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk
menimbulkan tekanan yang diperlukan agar darah dapat mengalir ke jaringan.
Pembuluh darah berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan
darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikan ke jantung (Sherwood
2001, Cunningham 2002).
25"
"
"
Denyut jantung adalah hitungan berapa kali jantung berdenyut dalam satu
menit. Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat menggambarkan kualitas fungsi
kardiovaskuler yang bertugas mengangkut O 2 dan nutrien ke seluruh jaringan tubuh,
membawa limbah metabolisme dan mempertahankan homeostasis seluler.
Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat dihitung secara auskultasi dengan
mempergunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung di rongga dada
sebelah kiri, atau dapat pula dengan merasakan pulsus hewan pada pembuluh darah
arteri femoralis atau brachialis. Selain itu, pengukuran frekuensi denyut jantung 2,
EKG, dan tekanan darah. Sedangkan refleks adalah reaksi tidak sengaja dari hewan
terhadap rangsangan seperti ditusuk atau dipukul. Refleks memberikan informasi
terhadap kedalaman anestesi tetapi tidak berhubungan dengan keamanan anestesi atau
mekanisme homeostasis pasien (McKelvey dan Hollingshead 2003). dapat juga
dilakukan dengan elektrokardiogram (EKG) (Cunningham 2002, Nelson 2003).
Denyut jantung minimal yang masih aman pada anjing teranestesi adalah 60
kali/menit. Denyut jantung yang lebih rendah menandakan kedalaman anestesi yang
berlebihan atau ada gangguan. Denyut jantung yang umum pada hewan yang
teranestesi adalah 60-120 kali per menit (anjing sehat 60-180x/menit). Penurunan
denyut jantung pada kondisi teranestesi adalah normal, akibat adanya pengaruh
sebagian besar anestetikum yang dapat menekan denyut jantung dan fungsi
miokardiak. Hanya beberapa atestetika yang dapat meningkatkan denyut jantung
seperti atropine, ketamine, dan tiletamin (McKelvey dan Hollingshead 2003).
26"
"
"
Selama dalam keadaan teranestesi, jantung dapat diamati dengan
elektrokardiograf untuk melihat gambaran elektrokardiogram. Elektrokardiogram
(EKG) adalah suatu rekaman keadaan yang menggambarkan konduksi listrik jantung.
Rekaman konduksi listrik jantung sangat umum digunakan secara klinis untuk
mendiagnosa disfungsi listrik jantung. Depolarisasi atrial, depolarisasi ventrikel, dan
repolarisasi ventrikel akan menyebabkan depleksi voltase yang khas dalam bentuk
gelombang pada elektrokardiogram. Alat elektrokardiograf dapat digunakan untuk
melihat gambaran elektrokardiogram dan denyut jantung (Cunningham 2002).
Selain EKG, tekanan darah juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan
pada sistem kardiovaskuler. Tekanan darah arteri sangat dipengaruhi oleh cardiac
output dan tahanan total perifer, denyut jantung, serta stroke volume. Peningkatan
stroke volume atau cardiac output akan meningkatkan tekanan darah. Peningkatan
tahanan perifer juga akan mempengaruhi peningkatan tekanan darah. Jadi penurunan
denyut jantung, stroke volume atau tahanan perifer secara sendiri-sendiri atau
dikombinasikan akan menurunkan tekanan darah arteri (Muir et al. 2000;
Cunningham 2002 ). Nilai normal denyut jantung, elektrokardiogram, dan tekanan
darah arteri pada anjing disajikan pada Tabel 2.6.1
27"
"
"
Tabel 2.6.1 Kriteria elektrokardiogram (EKG) normal pada anjing
Parameter Kisaran Normal pada Anjing Denyut Jantung (denyut per menit) 70 – 160 Gelombang P (max)(detik dan mv) 0,04 dan 0,4 Interval PQ(detik) 0,06 – 0,13 Interval QRS(detik) 0,04 – 0,05 Gelombang R(mv) 3 Segmen ST(mv) 0,2 Gelombang T (maximum) 1/3 R Interval QT(detik) 0,15 – 0,25 Sumber : Nelson 2003
2.6.2 Suhu Rektal
Suhu rektal adalah variabel fisiologis yang paling sederhana dan mudah untuk
diamati selama anestesi. Suhu rektal adalah parameter paling sederhana untuk diamati
perubahannya dengan menggunakan alat fisiograf. Panas dalam tubuh berasal dari
hasil metabolisme di dalam tubuh dan dari luar tubuh. Pada saat energi makanan
dicerna, panas akan dihasilklan dari keseluruhan tahap proses metabolisme di dalam
tubuh. Energi yang terdapat didalam makanan dirubah dalam bentuk panas, yang
disebarkan ke lingkungan dan dipancarkan keseluruh permukaan.
Hewan akan melawan panas dari lingkungan bila suhu disekitarnya lebih
besar dari suhu tubuh dan bila terpapar oleh radiasi panas. Hal yang sama juga terjadi
jika hewan terpapar sinar matahari langsung atau berada dekat dengan benda padat
yang lebih hangat dari pada suhu tubuhnya. Panas tubuh akan hilang menuju
lingkungan sekitar melalui pemancaran dari permukaan tubuh menuju objek yang
lebih dingin. Pemancaran panas terjadi melalui pergerakan udara atau air yang
28"
"
"
menjadi lebih hangat oleh tubuh, melalui penguapan sekresi respirasi, keringat atau
saliva dan melalui penghantaran pada permukaan yang lebih dingin karena tubuh
hewan bersentuhan. Panas juga hilang melalui urin dan feses. Banyak sumber panas
dari metabolisme dalam tubuh, seperti hati, jantung, dan otot berada jauh dari kulit
sebagai tempat pelepasan atau kehilangan panas, sehingga diperlukan pemindahan
panas. Jaringan tubuh adalah penghantar panas yang tidak baik, sehingga panas
dipindahkan terutama oleh pergerakan di dalam sirkulasi. Jantung dan pembuluh
darah akan memegang peranan yang sangat penting untuk pemindahan panas di
dalam tubuh (Cunningham 2002).
Salah satu penyebab hilangnya panas tubuh pada hewan selama teranestesi
adalah penempatan hewan diatas meja operasi stainles steel dan ruangan operasi yang
menggunakan pendingin ruangan atau air-conditioning dengan pengaturan suhu yang
sangat rendah. Periode anestesi lama lebih dari 30 menit juga dapat menyebabkan
penurunan suhu tubuh (Warren 1983; Muir et al. 2000).
Abnormalitas termoregulasi yang menyebabkan penurunan suhu tubuh selama
hewan teranestesi disebabkan oleh kehilangan panas akibat produksi yang menurun,
penekanan pada susunan syaraf pusat, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas
oleh aktivitas otot, penyuntikan cairan dengan suhu rendah, dan kapasitas tubuh yang
terbuka terhadap kontak lingkungan (Muir et al. 2000). Perubahan suhu pada hewan
yang teranestesi masih diperkenankan apabila masih berada pada batas-batas nilai
normal. Suhu normal pada anjing adalah 37,5-39,2 oC (McKelvey dan Hollingshead
29"
"
"
2003). C menyebabkan tujuh kali lipat peningkatan pada peredaran darah di kulit,
penurunan temperatur pusat menyebabkan vasokonstriksi dan menggigil. Pengaruh
reseptor pusat adalah duapuluh kali lipat lebih besar dari pada pengaruh reseptor
perifer (Cunningham 2002; Nelson 2003).
2.7 Pemantauan Anestesi
Pemberian anestetikum yang kurang atau tidak mencukupi menyebabkan
pasien akan tetap merasakan nyeri, masih dalam keadaan sadar, masih adanya refleks
dan masih ada pergerakan. Apabila dosis anestetikum yang diberikan dalam keadaan
cukup atau berlebihan, mengancam terjadinya kematian. Guna mencegah dua
kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemantauan yang baik selama
teranestesi. Pemantauan dilakukan terhadap fungsi respirasi, fungsi sirkulasi, dan
temperatur tubuh serta tetap mempertahankan kedalaman anestesi (McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Kedalaman anestesi tidak dapat diberikan batasan yang tegas seperti terjaga,
tertidur, maupun meninggal. Tetapi secara umum berdasarkan pengalaman, dapat
digambarkan bahwa anestesi mempunyai empat tahap (4 stages) dimana tahap 3
(tahap anestesi untuk pembedahan) dibagi dalam 4 plane. Sedangkan pada binatang
mempunyai banyak spesies, biasanya digunakan balanced anesthetic dengan
kombinasi beberapa obat sehingga tahap-tahap anestesi tidak menjadi jelas. Anestesi
pada hewan memerlukan pengawasan yang lebih sering dan lebih teliti untuk
mengetahui tercapainya kedalaman anestesi, sehingga kedalaman anestesi tetap dapat
30"
"
"
diawasi serta dipertahankan, dan tidak berpengaruh buruk terhadap sistem vital.
Lebih dari satu tanda harus digunakan untuk mengetahui kedalaman anestesi, karena
kedalaman anestesi tidak dapat ditentukan hanya dari satu tanda saja. Selama
teranestesi harus tetap terjaga penyediaan oksigen yang cukup ke jaringan dan
terbuangnya karbondioksida hasil respirasi. Jumlah oksigen yang cukup menuju
jaringan sangat tergantung pada beberapa faktor seperti cardiac output, nilai saturasi
aoksigen, dan Hb (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).Pada
kondisi teranestesi, sistem fisiologi hewan akan mengalami penurunan terutama
cardiac output dan penurunan efisiensi paru-paru (saturasi arteri), sehingga akan
menyebabkan penurunan ketersediaaan O2
ke jaringan dan ditambah dengan kondisi
sakit dapat menyebabkan hipoksia serta kematian.
Penggunaaan anestesi harus tetap mempertahankan kedalaman anestesi tetapi
tetap juga menjaga agar tidak terjadi gangguan pada sistem kardiovaskuler dan
respirasinya. Dua hal tersebut dapat dijaga hanya dengan memperhatikan refleks dan
mengawasi tanda-tanda vital hewan. Refleks pedal, menjepit ekor dan telinga dapat
digunakan untuk melihat bahwa anestesi sudah dalam dan anestesi tahap pembedahan
sudah tercapai, tetapi tidak dapat digunakan untuk memantau bahwa anestesi terlalu
dalam dan sudah membahayakan. Pada keadaan tahap anestesi yang terlalu dalam,
hewan dapat dalam keadaan bahaya terhadap gagalnya respirasi dan kardiovaskuler.
Tanda-tanda vital pada aktivitas kardiovaskuler dan respirasi yang menunjukkan
kegagalan atau bahaya harus diamati dengan baik seperti mata terbuka, nafas sangat
31"
"
"
lambat dan dangkal, nafas sangat dalam, warna membrana mukosa membiru, dan
tekanan darah yang sangat menurun (Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan
Hollingshead 2003).
32"
"
"
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Anestesi merupakan tahapan yang paling penting dalam tindakan
pembedahan, karena tindakan pembedahan belum dapat dilakukan bila anestesi
belum diberikan (Pretto, 2002). Anestesi memiliki resiko yang jauh lebih besar dari
prosedur tindakan pembedahan karena nyawa pasien yang dianestesi dapat terancam.
Untuk pemilihan anestesi yang ideal dibutuhkan dalam menghasilkan sifat analgesi,
sedasi, relaksasi, unconsciousness, keamanan dan kenyamanan untuk sistem vital,
ekonomis dan mudah dalam aplikasi baik di lapangan ataupun di ruang operasi.
Sampai saat ini anestesi yang memenuhi kriteria yang ideal belum ada (Fossum
1997).
Anestetikum yang ideal harus memenuhi kriteria anestesi, yaitu sedasi, analgesi,
relaksasi, ketidak sadaran, aman untuk sistem vital tubuh, ekonomis, dan mudah
diaplikasikan. Anestesi umum secara parenteral merupakan anestesi yang lebih
ekonomis dan praktis untuk penanganan hewan di lapangan, tetapi menghasilkan
anestesi yang kurang stabil dan sering memerlukan penambahan dosis jika tindakan
medis memerlukan waktu yang lebih lama. Pemberian secara subkutan memiliki
waktu penyerapan obat yang agak lambat sehingga diharapkan untuk dalam
menambah waktu teranestesi, aman dan meliki kestabilan fisiologis tubuh pasien saat
teranestesi.
"
"
"
32"
33"
"
"
Berdasarkan hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian untuk
menemukan alternatif anestesi umum yang mendekati ideal untuk mengganti
pemelihara status teranestesi dari inhalasi menggunakan metode penyuntikan
ketamin-xilasin secara subkutan.
3.2 Konsep
Gambar : 3.2 Kerangka Konsep Penelitian
Anestesi"Umum"
Anestesi"Umum"Parenteral"(suntik)"
(+)"Murah,"mudah"dan"praktis"
(B)"Durasi"Singkat"Perlu"pengulangan"
Anestesi"Umum"Inhalasi"
(+)"Aman"
(B)"Alat"Mahal,"penggunaan"rumit,"induksi"
lambat,"keracunan,"polusi"dan"penipisan"ozon"
+"
Ketamin"dan"Xilasin"
(B)"ketamin":""
Kekejangan"otot,"hipersalivasi,"waktu"
anestesi"singkat"
(B)"Xilasin":"muntah,"hipersalivasi,"
penurunan"denyut"jantung"
(+)"xilasin":"Melemaskan"otot,"efek"
sedasi"kuat"
Atropin"
(+)":"mengurangi"muntah,"
meningkatkan"denyut"jantung"
Variabel"tergantung"
1. Waktu"induksi,"durasi"dan"
pemulihan"anesthesia"
2. Perubahan"fisiologi"sistem"
kardiovaskuler"dan"respirasi"
Variabel"Bebas"
Dosis"Anestesi"pemeliharaan"status"
anestesi"subkutan"menggunakan"
kombinasi"AtropinB"xilasinB"ketamin"
Alternatif"""
1. "Injeksi"IM"
2. Injeksi"SC"(+)"lebih"murah,"praktis"
Variabel"Kendali"
1. Umur"anjing"
2. Berat"badan"3. Jenis"kelamin"
34"
"
"
3.3 Hipotesis
1. Pemberian anestesi injeksi Xilasin-Ketamin secara subkutan untuk
pemeliharaan status teranestesi pada anjing dapat menghasilkan durasi
anestesi yang lebih lama.
2. Kombinasi anestesi injeksi Xilasin-Ketamin secara Subkutan menghasilkan
pengaruh perubahan yang lebih rendah terhadap aspek fisiologis anjing (EKG,
Denyut jantung, frekuensi respirasi, tekanan gas O2 respirasi, dan suhu
rektal).
35"
"
"
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah experimental, dengan menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL). Telah dilakukan penelitian sebelumnya untuk mendapatkan
waktu injeksi pemeliharaan status teranestesi yaitu 10 menit. Dengan masing-masing
perlakuan dibagi acak menjadi lima kelompok dengan 5 kali ulangan. Untuk
kombinasi perlakuan jenis anestesi pemeliharaan yang akan dilakukan rancangan
penelitian :
1. Perlakuan 1 (Kontrol) : Pemberian perlakuan premedikasi dengan
menggunakan atropin (0,03 mg/kgBB) yang disuntikan secara subkutan dan
10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara intramuscular
menggunakan kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – ketamin (12,5 mg/KgBB), 10
menit kemudian dilakukan pemeliharaan status teranestesi menggunakan
metode inhalasi dengan isofluran (1-2%).
2. Perlakuan 2: Pemberian perlakuan premedikasi dengan menggunakan atropin
(0,03 mg/kgBB) yang disuntikan secara subkutan dan 10 menit kemudian
dilakukan induksi anestesi secara intramuscular menggunakan kombinasi
xilasin (2mg/KgBB) – ketamin (12,5 mg/KgBB), 10 menit kemudian
dilakukan pemeliharaan status teranestesi secara subkutan menggunakan
kombinasi Xilasin (2 mg/KgBB) – Ketamin ( 12,5 mg/KgBB).
"
"
35"
36"
"
"
3. Perlakuan 3: Pemberian perlakuan premedikasi dengan menggunakan atropin
(0,03 mg/kgBB) yang disuntikan secara subkutan dan 10 menit kemudian
dilakukan induksi anestesi secara intramuscular menggunakan kombinasi
xilasin (2mg/KgBB) – ketamin (12,5 mg/KgBB), 10 menit kemudian
dilakukan pemeliharaan status teranestesi secara subkutan menggunakan
kombinasi kombinasi Xilasin (2 mg/KgBB) – Ketamin ( 15 mg/KgBB).
4. Perlakuan 4: Pemberian perlakuan premedikasi dengan menggunakan atropin
(0,03 mg/kgBB) yang disuntikan secara subkutan dan 10 menit kemudian
dilakukan induksi anestesi secara intramuscular menggunakan kombinasi
xilasin (2mg/KgBB) – ketamin (12,5 mg/KgBB), 10 menit kemudian
dilakukan pemeliharaan status teranestesi menggunakan Xilasin (2 mg/KgBB)
secara subkutan 10 menit kemudian dilanjutkan dengan Ketamin (12,5
mg/KgBB).
5. Perlakuan 5 : Pemberian perlakuan premedikasi dengan menggunakan atropin
(0,03 mg/kgBB) yang disuntikan secara subkutan dan 10 menit kemudian
dilakukan induksi anestesi secara intramuscular menggunakan kombinasi
xilasin (2mg/KgBB) – ketamin (12,5 mg/KgBB), 10 menit kemudian
dilakukan pemeliharaan status teranestesi menggunakan Xilasin (2 mg/KgBB)
secara subkutan 10 menit kemudian dilanjutkan dengan Ketamin (15
mg/KgBB).
37"
"
"
Setelah 10 menit induksi
Setelah 10 menit pemeliharaan status teranestesi
Setelah 10 menit
Keterangan : X-K : kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – Ketamin (12,5 mg/KgBB), X: xilasin (2mg/KgBB), X-K12,5 : kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – Ketamin (12,5mg/KgBB), X-K15 : kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – Ketamin (15mg/KgBB), X : xilasin (2mg/KgBB), Keta12,5: Ketamin (12,5mg/KgBB), Keta15 : Ketamin (15mg/KgBB)
Gambar 4.1 Alur Penelitian
Anjing"lokal"
Sehat"dan"siap"dianestesia"
Perubahan"yang"diamati:"(variabel"tergantung)"
• Waktu"Induksi,"Durasi"dan"pemulihan"anesthesia"
• Perubahan"fisiologis"sistem"kardiovaskuler"dan"respirasi"
"
"
Premedikasi atropin (0,03 mg/kgBB) subkutan"
1"XBK"
IM"
"
2"XBK"
IM"
"
"
3"XBK"
IM"
"
4"XBK"
IM"
"
5"XBK"
IM"
"
Inhalasi"
"
X"
SC"
"
XBK12,5"
SC"
X"
SC"
"
XBK15"
SC"
Keta12,5"
SC"
"
Keta15"
SC"
"
38"
"
"
4.2 Lokasi dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Hewan Udayana. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Juni - Desember 2014
4.3 Penentuan Sumber Data
Dalam penelitian ini menggunakan 25 ekor anjing lokal dengan berat anjing
rata-rata 10-15 kg, dengan kisaran umur 1-2 tahun. Anjing dikarantina, diadaptasikan
selama 10 hari sebelum dilakukan perlakuan. Dilakukan perlakuan evaluasi status
pasien dan penentuan status pasien sebelum dilakukan anesthesia.
Sebelum dilakukan perlakuan, pasien dipuasakan 12 jam dan dipuasakan minum
3 jam sebelum perlakuan. Pasien masing-masing dibagi acak menjadi lima kelompok
dengan 5 kali ulangan.
Besar Sampel
Jumlah anjing (ulangan) untuk setiap kelompok (perlakuan) ditentukan
berdasarkan rumus Federer. Yaitu: (t-1) (n-1) ≥15, dimana t adalah jumlah perlakuan
(t=5), sedangkan n adalah ulangan. Sehingga didapatkan ulangan sebanyak 5 kali
pada setiap kelompok. Dengan jumlah anjing sebanyak 25 ekor.
4.4 Variabel Penelitian
Variabel Tergantung : Parameter yang diukur (Waktu Induksi, Durasi dan
pemulihan anesthesia, Perubahan fisiologis sistem
kardiovaskuler dan respirasi)
39"
"
"
Variabel Bebas : Dosis dan kombinasi
Variabel Kendali : Prosedur yang ditetapkan, umur, berat badan, Jenis Kelamin
4.5 Definisi operasional variabel
Waktu induksi adalah waktu yang diukur dari awal penyuntikan sampai awal
terjadinya anestesia. Durasi anestesi adalah waktu yang diukur dari mulai kejadian
anesthesia sampai hewan mulai sadar (ada gerakan), ada respon rasa sakit, dan ada
suara dari hewan, ada reflek. Waktu pemulihan adalah waktu yang diukur dari hewan
mulai sadar sampai hewan bisa berdiri.
Dosis adalah takaran obat yang menimbulkan efek farmakologi yang tepat
dan aman bila diberikan kepada pasien. Dosis aman ketamin untuk anjing adalah 10-
15mg/KgBB, dosis aman xilasin untuk anjing adalah 1-3 mg/KgBB. Kombinasi
xilasin diperlukan untuk mengurangi efek dari ketamin. Kombinasi ini menghasilkan
relaksasi muskulus yang baik tanpa konfulsi.
4.6 Bahan Penelitian
Ketamin, Xilasin, atropin sulfat, alkohol, spuite, gel, kapas, glove, masker, dan
kertas monitor.
4.7 Alat Penelitian
Mesin Fisiograf, thermometer, dan stetoskop
4.8 Prosedur Penelitian
Kegiatan utama dalam penelitian ini adalah persiapan dan pengadaan hewan
coba yaitu anjing ras lokal dengan berat 10-15 kg dengan usia minimal 1 tahun,
perekaman elektrokardiogram,dan pengukuran suhu rektal.
40"
"
"
4.9.1 Parameter
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Parameter Waktu Anestesi:
1.1 Waktu Induksi
1.2 Waktu anestesi
1.3 Waktu pemulihan
2. Parameter Respirasi:
2.1 Frekuensi Respirasi
2.2 Nilai Saturasi Oksigen
3. Parameter Suhu Rektal (Rectal Temperatur)
4. Parameter Kardiovaskular :
4.1 Frekuensi Denyut Jantung
4.2 Elektrokardiogram (EKG, Lead II) yaitu :
4.2.1 Amplitudo Gelombang P
4.2.2 Amplitudo gelombang R
4.2.3 Durasi Interval PR
4.2.4 Durasi Interval QRS
4.2.5 Durasi Interval QT
4.9.1.1 Pengukuran Waktu Anestesi
Waktu induksi adalah waktu yang diukur dari awal penyuntikan sampai awal
terjadinya anestesia, yaitu hilangnya rasa sakit (dijepit pada telinga,ekor, dan
interdigitti), hilang reflek (palperbral, pupil dan pedal), dan bola mata menuju
ventrocantus). Durasi anestesi adalah waktu yang diukur dari mulai kejadian
anesthesia sampai hewan mulai sadar (ada gerakan (ekor,kaki, telinga atau kepala),
ada respon rasa sakit (dijepit dengan pinset pada telinga, ekor dan interdigitti), ada
41"
"
"
suara dari hewan, ada reflek(palpebral, pupil, dan pedal). Waktu pemulihan adalah
waktu yang diukur dari hewan mulai sadar sampai hewan bisa berdiri.
4.9.1.2 Pengukuran Respirasi
Frekuensi respirasi adalah faktor penting dalam ventilasi pulmonum, udara
alveolar diperbaharui oleh udara atmosfir. Pengamatan frekuensi respirasi dilakukan
dengan menghitung jumlah ekspirasi atau inspirasi yang terjadi dalam satu menit
dengan mempergunakan alat fisiograf.
4.9.1.3 Pengukuran Elektrokardiogram (EKG)
Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu rekam keadaan yang mengambarkan
konduksi listrik jantung (Cunningham 2002). Dari hasil perekam elektrokardiogram,
diamati terhadap gelombang P, QRS dan gelombang T, P-R interval, QRS interval,
QT interval dan frekuensi jantung.
Setiap anjing yang telah diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat,
dilakukan persiapan untuk pemasangan alat dengan mencukur rambut di daerah
pemasangan elektroda. Setelah itu dibersihkan dengan kapas beralkohol pada daerah
pemasangan elektroda sebelum dipasangkan elektroda.
4.9.1.4 Pengukuran Suhu Rektal
Suhu tubuh adalah variable fisiologis yang paling sederhana dan mudah untuk
diamati selama anesthesia menggunakan alat fisiograf.
4.9.2 Protokol dan Pelaksanaan Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan alat fisiograf yang merupakan alat
pemantuan (monitoring) Pemeriksaan seluruh parameter fisiologis dilakukan
42"
"
"
sebelum perlakuan (menit ke-0) kemudian selama dilakukan perlakuan mulai
dilaksanakan pencatatan setiap 10 menit dihitung mulai dari penyuntikan anestikum
pertama sampai pasien telah memasuki masa pemulihan anestesi. Hewan dinyatakan
teranestesi apabila telah memenuhi tiga syarat yaitu analgesi, sedasi dan relaksasi.
Hewan dinyatakan sadar ditandai dengan adanya gerakan, suara hewan, munculnya
respon hewan dapat berdiri.
4.10 Analisis data
Data hasil penelitian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA)
menggunakan program SPSS ver.17 for window dan bila terdapat perbedaan
dilanjutkan dengan uji Duncan (Heath,2000).
43##
#
BAB V
HASIL
5.1 Waktu anestesi
Waktu induksi pada kelompok perlakuan pemeliharaan status anestesi inhalasi
dengan pemeliharaan status teranestesi menggunakan metode inhalasi dengan
isofluran (1-2%) perlakuan 1 menunjukan sekitar 10 ± 0.83 menit, durasi 123.4 ±
1.14 menit, dan waktu pemulihan 9 ± 1.58 menit. Waktu induksi pada kelompok
perlakuan 2 pemeliharaan status teranestesi secara subkutan adalah 10.6 ± 1.34 menit,
durasi anestesi 111.4 ± 1.94 menit, dan waktu pemulihan 62 ± 4.47 menit. Perlakuan
3 pemeliharaan status teranestesi secara subkutan menunjukan waktu induksi
10.8±1.09 Menit, durasi anestesi 140.2 ± 2.28 menit, dan waktu pemulihan 74.6 ±
4.56 menit. Perlakuan 4 menunjukan waktu induksi sekitar 10.4 ± 1.51 menit, durasi
anestesi 113.8 ± 5.4 menit, dan waktu pemulihan 54.8 ± 3.96 menit. Waktu induksi
perlakuan 5 adalah 10.8 ± 1.48 Menit, durasi anestesi 145 ± 3.60 menit, dan waktu
pemulihan 82.2 ± 4.08 menit. Data setiap Kelompok ditunjukan pada Tabel 5.1
#
43#
44##
#
Tabel 5.1 Nilai rata-rata ± simpangan baku waktu induksi, durasi dan waktu pemulihan pemeliharaan status teranestesi dengan Xilasin-Ketamin secara subkutan pada anjing.
Perlakuan Anestesi
Waktu (menit) Induksi Durasi Pemulihan
Perlakuan 1 10.0 ± 0.83 123.4 ± 1.14 b,β 9.0 ± 1.58 a, α, Perlakuan 2 10.6 ± 1.34 111.4 ± 1.94 a,α 62.0 ± 4.47 b, β Perlakuan 3 10.8 ± 1.09 140.2 ± 2.28 c,γ 74.6 ± 4.56 c, γ Perlakuan 4 10.4 ± 1.51 113.8 ± 5.40 a,α 54.8 ± 3.96 d, δ Perlakuan 5 10.8 ± 1.48 145.0 ± 3.60 c,γ 82.2 ± 4.08 e, ε
Keterangan : huruf (a,b,c,d,e) yang berlainan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05), huruf (α, β, γ, δ, ε) yang berlainan menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01). Perlakuan 1 : Penggunaan pemeliharaan status teranestesi inhalasi, Perlakuan 2 : penggunaan pemeliharaan status teranestesi dosis ketamin 12,5 mg/KgBB, Perlakuan 3: penggunaan pemeliharaan status teranestesi dosis ketamin 15 mg/KgBB, Perlakuan 4: penggunaan pemeliharaan status anestesi xilasin kemudian dilanjutkan dengan ketamin dosis 12,5 mg/KgBB, Perlakuan 5: penggunaan pemeliharaan status anestesi xilasin kemudian dilanjutkan dengan ketamin dosis 15 mg/KgBB.
Perlakuan 1 merupakan perlakuan pemeliharaan status teranestesi dengan
menggunakan anestesi inhalasi dengan isofluran dan juga sebagai kontrol. Perlakuan
2, perlakuan 3, perlakuan 4, dan perlakuan 5 menunjukan waktu induksi yang tidak
berbeda nyata dengan Kelompok perlakuan 1 sebagai kontrol karena induksi seluruh
perlakuan sama.
Durasi perlakuan 1 sekitar 123.4 ± 1.14 menit karena pada menit ke 130
dilakukan pencabutan selang endothakheal tube. Perlakuan 2 menunjukan waktu
durasi sekitar 111.4 ± 1.94 menit. Perlakuan 3 waktu durasi sekitar 140.2 ± 2.28
menit. Perlakuan 4 waktu durasi sekitar 113.8 ± 5.4 menit. Perlakuan 5 waktu durasi
sekitar 145 ± 3.60 menit. Durasi anestesi perlakuan 3 dan perlakuan 5, berbeda nyata
(P<0,05) lebih lama dibandingkan Perlakuan 1, bahkan berbeda sangat nyata
(P<0,01) lebih lama dibandingkan durasi anestesi kelompok Perlakuan 2 dan
perlakuan 4.
45##
#
Waktu (menit)
Pemulihan Perlakuan 1 sekitar 9 ± 1.58 menit. Perlakuan 2 menunjukan waktu
pemulihan sekitar 62 ± 4.47 menit. Perlakuan 3 waktu pemulihan sekitar 74.6 ± 4.56
menit. Perlakuan 4 waktu pemulihan sekitar 54.8 ± 3.96 menit. perlakuan 5 waktu
pemulihan sekitar 82.2 ± 4.08 menit. Waktu pemulihan anestesi perlakuan 3 dan
perlakuan 5, sangat nyata (P<0,01) lebih lama dibandingkan kelompok Perlakuan 1,
Perlakuan 2 dan perlakuan 4.
5.2 Respirasi
Perlakuan 1 nilai respirasi pada menit ke-0 sebelum dilakukan induksi
anestesi adalah 23.6 ± 0.5 x/menit kemudian terjadi penurunan respirasi dari menit
ke-10 dan semakin menurun sampai menit ke-80 dan pada menit ke-60 mendapatkan
hasil terendah yaitu 13 ± 2 x/menit, dari hasil statistik penurunan respirasi pada menit
ke-30 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal, namun pada menit ke-40,50 dan 60
berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal, seperti pada gambar 5.2
Gambar 5.2 Perubahan rata-rata respirasi selama pemberian induksi anestesi dan
pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing.
Res
pira
si (x
/men
it)
!
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100110120130140150160
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
Perlakuan 4
Perlakuan 5
46##
#
Gambar 5.2 juga memperlihatkan bahwa nilai respirasi perlakuan 2 menit ke-
0 adalah 23.6 ± 0.8 x/menit, penurunan nilai respirasi terjadi dari menit ke-10 hingga
menit ke-80 dan kembali meningkat pada menit ke-90 sampai pasien tersadar pada
menit ke-120 dengan nilai 24±1.2 x/menit, dari hasil statistik penurunan respirasi
pada menit ke-20,30,40, 50, 60, 70, 80 dan 90 berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan
nilai awal.
Perlakuan 3 nilai awal respirasi menit ke-0 sebelum induksi anestesi adalah
24.8±1.3x/menit, terjadi penurunan nilai respirasi dari menit ke-10 hingga akhir
pasien tersadar pada menit ke-150 dengan nilai 21.6±2 x/menit, dari hasil statistik
penurunan respirasi pada menit ke-10, ke-30 dan ke-150 berbeda nyata (P<0.05)
dengan nilai awal, sedangkan pada menit yang lain berbeda sangat nyata (P<0.01)
dengan nilai awal.
Perlakuan 4 nilai respirasi pada menit ke-0 adalah 22.2 ± 1.4 x/menit,
penurunan nilai respirasi terjadi dari menit ke-10 hingga menit ke-100. Hasil statistik
penurunan respirasi pada menit ke-40, 50, 60, 70, dan 80 berbeda nyata (P<0.05)
dengan nilai awal.
Perlakuan 5 pada menit ke-0 nilai respirasi adalah 24.8 ± 2.1x/menit,
penurunan nilai respirasi terjadi dari menit ke-10 hingga menit ke-120 dari hasil
statistik penurunan respirasi pada menit ke-30 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai
awal, sedangkan pada menit ke-40 sampai menit ke-120 berbeda sangat nyata
(P<0.01) dengan nilai awal. Data masing-masing Kelompok disajikan pada lampiran
1.
47##
#
Satu
rasi
O2
(%)
5.3 Saturasi Oksigen (O2)
Nilai saturasi oksigen perlakuan 1 menit ke-0 sebelum dilakukan induksi
anestesi 79.8 ± 1.4 %, setelah dilakukan induksi terjadi peningkatan saturasi oksigen
mulai dari menit ke-10 sampai menit ke-50 dengan nilai 91.6 ± 4% dan mengalami
penurunan menit ke-60 sampai menit ke-130, hasil statistik menunjukan nilai saturasi
oksigen pada menit ke-20 dan menit ke-110 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai
awal, sedangkan pada menit ke-30 sampai pada menit ke-100 berbeda sangat nyata
(P<0.01). Seperti pada gambar 5.3
Gambar 5.3 Perubahan rata-rata nilai saturasi oksigen selama pemberian induksi
anestesi dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing
Perlakuan 2 nilai saturasi oksigen pada menit ke-0 82.6 ± 3.4 %, pada menit
ke-50, menit ke-100, 110 dan 120 terjadi penurunan nilai saturasi oksigen yang
berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal.
Waktu (menit)
!
70
75
80
85
90
95
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100110120130140150160
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
Perlakuan 4
Perlakuan 5
48##
#
Perlakuan 3 dan Perlakuan 4 tidak terdapat perbedaan nyata penurunan dan
peningkatan nilai saturasi oksigen dari nilai awal sampai akhir pasien kembali
tersadar. Pada perlakuan 5 terjadi penurunan berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai
awal pada menit ke-150, dan pada menit ke-130 berbeda sangat nyata (P<0.01)
dengan nilai awal. Data masing-masing Kelompok disajikan pada lampiran 1.
5.4 Suhu Rektal
Nilai suhu rektal perlakuan 1 menit ke-0 sebelum dilakukan induksi anestesi
38.8 ± 0.1oC setelah dilakukan induksi terjadi penurunan nilai suhu rektal secara
bertahap sampai pasien tersadar, hasil statistik menyatakan nilai suhu rektal tidak
berbeda nyata (P>0.05) dengan nilai awal. Seperti pada gambar 5.4
Gambar 5.4 Perubahan rata-rata suhu rektal selama pemberian induksi anestesi dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing
Waktu (menit)
Suhu
(o C)
!
37
38
39
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100110120130140150160
Perlakuan!1
Perlakuan!2
Perlakuan!3
Perlakuan!4
Perlakuan!5
49##
#
Perlakuan 2 nilai suhu rektal menit ke-0 adalah 38.5 ± 0.08 oC. Terjadi
penurunan nilai suhu rektal, namun nilai tersebut tidak berbeda nyata (P>0.05)
dengan nilai awal. Perlakuan 3, Perlakuan 4 dan Perlakuan 5 nilai suhu rektal
kelompok tidak adanya perbedaan nyata penurunan dan peningkatan suhu rektal
dengan nilai awal. Data masing-masing Kelompok disajikan pada lampiran 1.
5.5 Frekuensi Denyut Jantung
Perlakuan 1 nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-0 sebelum dilakukan
induksi anestesi adalah 102.4 ± 5 x/menit kemudian terjadi peningkatan denyut
jantung yang tinggi dari menit ke-10 dan semakin meningkat sampai menit ke-40
dengan nilai 126.6 ± 22 x/menit, pada menit ke-50 nilai frekuansi denyut jantung
mengalami penurunan sampai menit ke-130, dari hasil statistik peningkatan frekuensi
denyut jantung pada menit ke-20, 30, 40 dan 130 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai
awal. Seperti pada gambar 5.5
Gambar 5.5 Perubahan rata-rata denyut jantung selama pemberian induksi anestesi
dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing
!
75
85
95
105
115
125
135
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100110120130140150160
Perlakuan!1
Perlakuan!2
Perlakuan!3
Perlakuan!4
Perlakuan!5
Den
yut J
antu
ng (x
/men
it)
Waktu (menit)
50##
#
Frekuensi denyut jantung Perlakuan 2 menit ke-0 sebelum induksi anestesi
adalah 97.2 ± 8.2 x/menit, setelah di induksi terjadi peningkatan denyut jantung dari
menit ke-10 sampai menit ke-20 dengan nilai 103.6 ± 8.6 x/menit, setelah menit ke-
30 nilai frekuansi denyut jantung mengalami penurunan bertahap sampai menit ke-
120, dari hasil statistik penurunan nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-70
berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal dan pada menit ke-80 sampai menit ke-120
berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal.
Nilai frekuensi denyut jantung menit ke-0 Perlakuan 2 sebelum induksi
anestesi adalah 96.8 ± 2.3 x/menit terjadi peningkatan setelah dilakukan induksi
anestesi pada menit ke-10 sampai menit ke-30 dengan nilai 103.6 ± 12.5 x/menit,
setelah menit ke-40 nilai frekuansi denyut jantung mengalami penurunan bertahap
sampai menit ke-150 dengan nilai 85.6 ± 6.8 x/menit, dari hasil statistik penurunan
nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-120, ke-140 dan ke-150 berbeda nyata
(P<0.05) dengan nilai awal, sedangkan pada menit ke-100, 110 dan 130 berbeda
sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal.
Frekuensi denyut jantung Perlakuan 4 menit ke-0 sebelum induksi anestesi
adalah 96.2 ± 5.9 x/menit, setelah di induksi terjadi penurunan frekuensi denyut
jantung dari menit ke-10 sampai menit ke-120 dengan nilai 82.8 ± 6.8 x/menit. Hasil
statistik penurunan nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-80 dan ke-90
berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal. Sedangkan pada menit ke-100 sampai
menit ke-120 berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal.
51##
#
Perlakuan 5 nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-0 sebelum
dilakukan induksi anestesi adalah 97.8 ± 4.9 x/menit, setelah di induksi terjadi
penurunan frekuensi denyut jantung dari menit ke-10 sampai menit ke-150 dengan
nilai akhir 88.8 ± 3.4 x/menit. Hasil statistik penurunan nilai frekuensi denyut jantung
pada menit ke-60, 70, 140 dan 150 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal.
Sedangkan pada menit ke-80 sampai menit ke-130 berbeda sangat nyata (P<0.01)
dengan nilai awal. Data hasil nilai frekuensi denyut jantung ditunjukan pada lampiran
2.
5.6 Elektrokardiogram
5.6.1 Amplitude gelombang P
Perlakuan 1 selama teranestesi menunjukan perubahan nilai gelombang P
tidak berbeda nyata dengan nilai sebelum dilakukan anestesi dengan nilai awal
gelombang P adalah 0.15± 0.01 mV, nilai tertinggi pada kelompok satu terjadi pada
menit ke-70 dengan nilai 0.21±0.02mV namun nilai ini tidak berbeda nyata (P>0.05)
dari nilai awal. Perubahan gelombang P juga tidak berbeda sebelum dan sesudah
dilakukan anestesi pada Perlakuan 2, Perlakuan 3, Perlakuan 4 dan Perlakuan 5
dengan nilai awal berurutan 0.14±0.02 mV, 0.16±0.02 mV, 0.14±0.04 mV, dan
0.13±0.02mV. Hasil statistik menunjukan semua nilai tidak berbeda nyata dari nilai
awal seluruh gelombang P. Nilai Gelombang P tiap kelompok dengan penyajian
pada lampiran 2.
52##
#
5.6.2 Amplitude gelombang R
Perubahan Amplitude pada perlakuan 1 selama teranestesi menunjukan
perubahan nilai gelombang R tidak berbeda nyata dengan nilai sebelum dilakukan
anestesi dengan nilai awal gelombang P adalah 1.62±0.08 mV. Perubahan Amplitude
gelombang R juga tidak berbeda sebelum dan sesudah dilakukan anestesi pada
Perlakuan 2, Perlakuan 3, Perlakuan 4 dan Perlakuan 5 dengan nilai berurutan
1.16±0.44 mV# 1.28±0.53 mV, 1.04±0.55 mV, dan 1.32±0.52 mV. Hasil statistik
menunjukan semua nilai tidak berbeda nyata dari nilai awal seluruh gelombang R.
Semua Kelompok menunjukan perubahan Amplitude gelombang R selama
teranestesi berbeda dengan nilai awal, ini menggambarkan depolarisasi yang terjadi
pada ventrikel jantung tidak dipengaruhi oleh semua kombinasi anestesi yang
diberikan. Nilai Amplitude Gelombang R tiap kelompok disajikan dalam lampiran
2.
5.6.3 Interval PR
Interval PR merupakan rekaman hantaran impuls listrik jantung melalui
atrium saat mengalami depolarisasi kemudian menjalar ke nodus AV sehingga terjadi
garis isoelektrik pada hasil rekaman. Perlakuan 1 selama teranestesi menunjukan
perubahan nilai Interval PR tidak berbeda dengan nilai sebelum dilakukan anestesi
dengan nilai awal Interval PR adalah 0.15 ± 0.00 detik. Perubahan Interval PR juga
tidak berbeda sebelum dan sesudah dilakukan anestesi pada Perlakuan 2, Perlakuan 3,
Perlakuan 4 dan Perlakuan 5 dengan nilai awal berurutan 0.1 ± 0.01 detik, 0.09 ± 0.00
detik, 0.09 ± 0.01 detik, dan 0.08 ± 0.01 detik.
53##
#
Nilai durasi interval PR selama teranestesi ditunjukan oleh semua kelompok
tidak berbeda nyata dengan nilai awalnya yang menunjukan perlakuan kombinasi
seluruh perlakuan anestesi belum menyebabkan perubahan terhadap waktu
depolarisasi atrium dan perlambatan atrio-ventrikel sehingga tidak menunjukan
perubahan yang berbeda nyata. Hasil statistik menunjukan semua nilai tidak berbeda
nyata dari nilai awal seluruh nilai durasi interval PR. Nilai interval PR tiap kelompok
disajikan dalam lampiran 3.
5.6.4 Komplek QRS
Pengukuran pada nilai durasi QRS dilakukan karena kompleks QRS
mengintepretasikan aktivitas listrik pada ventrikel jantung pada saat depolarisasi.
Nilai kompleks QRS normal pada anjing adalah 0,04-0,05 detik. Perlakuan 1 selama
teranestesi menunjukan perubahan nilai kompleks QRS tidak berbeda dengan nilai
sebelum dilakukan anestesi dengan nilai awal kompleks QRS adalah 0.04±0.00
detik. Perubahan kompleks QRS juga tidak berbeda sebelum dan sesudah dilakukan
anestesi pada Perlakuan 2, Perlakuan 3, Perlakuan 4 dan Perlakuan 5 dengan nilai
berurutan 0.04 ± 0.00 detik, 0.04 ± 0.00 detik, 0.04 ± 0.00 detik, dan 0.04± 0.00
detik, Hasil statistik menunjukan semua nilai tidak berbeda nyata dari nilai awal
seluruh nilai kompleks QRS. Nilai kompleks QRS tiap kelompok disajikan dalam
lampiran 3.
5.6.5 Interval QT
Interval QT merupakan rentang waktu ventrikel jantung padaa saat awal
melakukan depolarisasi hingga ke akhir dari repolarisasi ventrikel jantung. Hasil
54##
#
pengamatan terhadap interval QT pada tabel kemudian dibandingkan dengan keadaan
rentang interval QT normal pada anjing yaitu 0,15-0,25 detik (Nelson, 2003 dan
Tilley et al., 2008).
Perlakuan 1, Perlakuan 2, Perlakuan 3, Perlakuan 4 dan Perlakuan 5 selama
teranestesi menunjukan perubahan nilai Interval QT tidak berbeda dengan nilai
sebelum dilakukan anestesi dengan nilai awal Interval QT dengan nilai berurutan
adalah 0.18± 0.01 detik, 0.18 ± 0.01 detik, 0.17 ± 0.03 detik, 0.16 ± 0.04 detik, dan
0.15 ± 0.04 detik. Nilai interval QT tiap kelompok disajikan dalam lampiran 3.
55##
#
BAB VI
PEMBAHASAN
Waktu induksi seluruh perlakuan tidak berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya, hal ini menunjukkan bahwa absorbsi obat berlangsung cepat sekitar 10
menit. Induksi dengan menggunakan Atropin-Xilasin-Ketamin memiliki sifat kerja
yang berbeda terhadap sistim saraf otonom. Ketamin merupakan obat yang bersifat
simpatomimetik yang bekerja menghambat saraf parasimpatis pada sistim saraf pusat
dengan neurotransmitter noradrenalin. Xylazin merupakan obat parasimpatomimetik
yang bekerja menghambat saraf simpatis dengan reseptor muskarinik (Katzung,
2002). Reseptor muskarinik xylazin akan menekan sistim saraf pusat, sehingga
menimbulkan efek sedatif hipnotik (Ko et al., 1995).
Pemeliharaan status teranestesi dengan injeksi Xilasin-Ketamin secara
subkutan menggunakan dosis Xilasin 2 mg/KgBB kemudian setelah 10 menit
dinjeksikan Ketamin 15 mg/KgBB menunjukan waktu durasi yang paling lama yaitu
145 ± 3.60 menit. Perlakuan pemeliharaan anestesi dengan gabungan xilasin-ketamin
dosis masing-masing 2-15 menghasilkan durasi sekitar 140 ± 2.28 menit tidak
berbeda dengan perlakuan dengan cara dipisahkan, sedangkan perlakuan dengan
dosis rendah menghasilkan 111.4 ± 1.94 menit. Anestesi Ketamine menghambat
transmisi preganglionik pada ganglia simpatetik sehingga terjadi hambatan beberapa
neurotransmiter seperti antikolinergik dan norepinephnn (Wright, 1982). Sedasi
terjadi karena xilasin menghambat reseptor oksigen di lokus ceruleus sel non
#
55#
56##
#
adrenergik pada sistem saraf pusat. Analgesia terjadi karena xilasin mengurangi
konsentrasi norepinephrine dan epinephrin (Doherty, 1988).
Waktu pemulihan menggunakan kombinasi injeksi Xilasin-Ketamin secara
subkutan untuk pemeliharaan status teranestesi menghasilkan waktu pemulihan yang
lama. Semakin tinggi dosis xilasin dan ketamin yang digunakan menghasilkan waktu
pemulihan yang sangat nyata lebih lama. Perlakuan 5 mendapatkan hasil pemulihan
yang paling lama yaitu 74.6 ± 4.56 menit. Waktu pemulihan yang panjang terjadi
karena pengembalian konsentrasi norepinephnn lambat. Eliminasi kombinasi
ketamine-xilasin dua kali lebih lama jika dibandingkan dengan ketamine tanpa
xilasin. Xilasin juga menyebabkan penurunan tekanan arteri dan aliran darah. Akibat
penurunan ini mengurangi kecepatan metabolisme ketamine menjadi norketamine
sehingga terjadi pemeliharaan konsentrasi ketamine pada plasma dan otak
(Waterman, 1983).
Pemeliharaan status teranestesi melalui injeksi subkutan memiliki kualitas
hasil yang tidak berbeda jauh dari anestesi inhalasi isofluran. Perlakuan 2 dan
perlakuan 5 menggunakan dosis Ketamin (15 mg/KgBB) menunjukan durasi yang
panjang sekitar 140.2 ± 2.28 menit dan 145 ± 3.60 menit, dengan didapat durasi yang
panjang dan waktu pemulihan sangat lama untuk kombinasi penggunaan status
pemeliharaan anestesi.
Nilai respirasi semua perlakuan mengalami penurunan paa menit ke-20 dan
mulai mengalami peningkatan respirasi secara perlahan sampai pasien tersadar.
Namun untuk perlakuan 2 dengan kombinasi Xilasin (2 mg/KgBB) – Ketamin ( 12,5
57##
#
mg/KgBB), perlakuan 3 menunjukan nilai respirasi yang lebih stabil dari awal sampai
pasien tersadar dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Nilai respirasi pada Perlakuan 1 penggunaan isofluran sebagai pemeliharaan
status teranestesi mengalami penurunan yang sangat tajam saat dimasukannya
endotrackeal tube pada menit ke-10. Pada menit ke-60 menghasilkan nilai terendah
13 ± 2 x/menit. Kemudian meningkat secara tajam sampai menit ke-120 dan menit
ke-130 kembali mengalami penurunan nilai respirasi. Pada semua Kelompok
mengalami penurunan respirasi pada menit ke-20 sampai menit ke-80, kembali
mengalami peningkatan secara perlahan sampai pasien tersadar.
Perubahan kedalaman anestetik juga dapat dicapai lebih cepat dengan
isofluran, namun ketidak stabilan nilai respirasi pada perlakuan 1 terjadi akibat
penggunaan isofluran bekerja menekan pernapasan, induksi dengan isofluran relatif
cepat tetapi isofluran dapat mengiritasi jalan nafas bila digunakan pada awal induksi
namun obat ini kurang mempunyai pengaruh menekan jantung dan tidak
mencetuskan disritmia tetapi menimbulkan hipotensi melalui vasodilatasi (White,
2004). Pada anestesi per-injeksi jumlah oksigen yang masuk tergantung pada
kemampuan sistem respirasi untuk menghirup oksigen. Siswandono dan Soekardjo
(1995) menambahkan bahwa pemberian ketamin-xilasin dapat menekan kerja pons
dan medulla oblongata sebagai pusat pengatur sistem pernafasan.
Penurunan dan Peningkatan nilai respirasi juga diakibatkan oleh reaksi
xilasin yang dapat menekan metabolisme dan kerja jantung sehingga dapat
menurunkan frekuensi respirasi dan denyut jantung (Flecknell 2000). Penurunan
58##
#
respirasi masih dalam batas normal respirasi pada anjing, sehingga penggunaan
anestesi injeksi secara subcutan sebagai pemelihara status teranestesi menghasilkan
nilai respirasi yang stabil.
Nilai saturasi oksigen perlakuan 2 dan perlakuan 5 paling stabil dari
kelompok lain, hal ini ditunjukan dengan tidak adanya kenaikan dan penurunan nilai
saturasi oksigen yang terlalu tajam dan kestabilan nilai lebih baik dari perlakuan
lainnya. Perlakuan 1 mengalami kenaikan yang sangat tajam nilai saturasi oksigen
dimulai saat status teranestesi di lakukan, nilai saturasi juga tidak stabil dari awal
sampai pasien kembali sadar, seperti pada gambar 6.2. Penurunan saturasi oksigen
pada hewan yang teranestesi disebabkan karena obat-obat anestesi menyebabkan
relaksasi otot bronkhial dan penurunan tingkat oksigenasi darah (Ismail et al. 2010).
Preanestesi xilasin HCl juga menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Ketidakstabilan nilai saturasi oksigen juga dari efek ketamin yang peningkatan
tekanan darah arteri paru dan sistemik, laju jantung dan kebutuhan oksigen jantung.
(Stoelting, Hiller)
Atropin juga memungkinkan terjadinya dilatasi bronkhus pada anjing yang
mengalami sedasi (Ko et al, 2001), sehingga Penurunan saturasi oksigen juga
disebabkan karena obat-obat anestetik menyebabkan relaksasi otot bronkhus dan
penurunan tingkat oksigenasi darah (Ismail et al., 2010). Premedikasi xilazin juga
menyebabkan penurunan saturasi oksigen akibat menurunnya respirasi. Baniadam et
al., (2007) juga melaporkan bahwa xilasin menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
59##
#
Nilai suhu rektal untuk seluruh kelompok perlakuan tidak mengalami
penurunan dan peningkatan yang terlalu tajam dan tidak terlalu membahayakan.
Penurunan suhu rektal disebabkan oleh kehilangan panas akibat produksi yang
menurun, penekanan pada susunan syaraf pusat, terjadi vasodilatasi, penurunan
produksi panas oleh aktivitas otot, dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak
lingkungan (Muir et al. 2000). Pada seluruh Kelompok menunjukan pola penurunan
suhu rektal ringan kemudian perlahan meningkat hingga pasien tersadar penurunan
tidak berbeda nyata (P>0.05) dari nilai awal. Suhu tubuh yang teranestesi turun di
bawah normal karena pusat suhu tubuh di hipotalamus terdepres. Pada anestesi
umum, dan penurunan suhu tubuh juga disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah
perifer, pengurangan pembentukan panas oleh otot skelet, dan penurunan rata-rata
basal metabolisme tubuh karena tidak ada aktivitas tubuh selama anestesi (Lumb dan
Jones, 1996, Muir et ai. 2000).
Faktor lain yang dapat menyebabkan penurunan suhu rektal adalah periode
anestesi yang panjang dan pasien ditempatkan di atas meja operasi stainless steel dan
ruangan menggunakan pendingin ruangan dengan pengaturan suhu yang sangat
rendah 20O C (warren 1983, Muir et al. 2000).
Frekuensi denyut jantung perlakuan 1 terjadi kenaikan yang sangat tinggi
pada menit ke 20 sampai menit 60 sejak dimasukannya endotracheal tube dan di
berikan anestesi inhalasi dengan nilai paling tinggi pada menit ke-30 128x/menit,
kemudian menurun secara bertahap hingga dicabut pada menit ke-130. Kelompok
perlakuan 2, perlakuan 3, perlakuan 4, dan perlakuan 5 mengalami kenaikan pada
60##
#
menit ke-10 dan 20, setelah memasuki menit ke-30 mengalami penurunan secara
bertahap.
Penggunaan Isofluran sebagai status pemeliharaan anestesi umumnya
mengalami sedikit peningkatan frekuensi jantung dan perubahan konsentrasi
Isofluran yang cepat sehingga dapat menimbulkan takikardia dan hipertensi yang
singkat. Ini diakibatkan oleh stimulasi simpatik langsung yang diinduksi oleh
Isofluran. Hal ini menunjukan peningkatan stimulasi myocardial dalam pemompaan
jantung berhubungan dengan peningkatan kerja jantung dan suplai oksigen bagi
myocardial.
Penurunan frekuensi jantung disebabkan oleh pengurangan aktivitas
simpatetik oleh xilasin yang berakibat pada kontriksi pembuluh darah perifer
sehingga frekuensi jantung, curah jantung, dan tekanan darah perifer akan menurun
Lamanya bradikardi bergantung pada dosis xilasin (Doherty, 1988; Cullen, 1999)
Penurunan ini diimbangi oleh ketamine dan atropin sulfas sehingga penurunan tidak
mencapai batas ambang minimal. Kerja ketamine pada sistem saraf pusat akan
meningkatkan aliran darah otak dan pemakaian oksigen sehingga terjadi stimulasi
general dari pusat vasomotor dan perifer untuk melepaskan norepinephin yang
membuat frekuensi jantung lebih tinggi (Lumb dan Jones, 1996) Pemberian atropin
sulfat akan mencegah bradicardi dan disarrythmia berlebihan yang disebabkan xilasin
dengan mencegah stimulasi reseptor muskarimk akibat akumulasi asetikolin (Brock,
2001).
61##
#
Elektrokardiogram dilihat dari nilai amplitude gelombang P, nilai amplitude
gelombang R, Interval PR, Kompleks QRS dan interval QT selama teranestesi
ditunjukan oleh semua kelompok tidak berbeda nyata dengan nilai awalnya yang
menunjukan perlakuan kombinasi seluruh perlakuan anestesi belum menyebabkan
perubahan terhadap waktu depolarisasi atrium dan perlambatan atrio-ventrikel
sehingga tidak menunjukan perubahan yang berbeda nyata dari nilai awal dan
perlakuan anestesi.
62##
#
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
1. Perlakuan 5 dengan kombinasi atropin (0,03 mg/kgBB) xilasin (2mg/KgBB) –
ketamin (12,5 mg/KgBB) kemudian dilanjutkan Xilasin (2 mg/KgBB) dan 10
menit kemudian di berikan Ketamin (15 mg/KgBB) menghasilkan waktu
induksi yang cepat, dan durasi waktu anestesi yang panjang yaitu 145 menit.
2. Perlakuan 5 dengan kombinasi atropin (0,03 mg/kgBB) xilasin (2mg/KgBB) –
ketamin (12,5 mg/KgBB) kemudian dilanjutkan Xilasin (2 mg/KgBB) dan 10
menit kemudian di berikan Ketamin (15 mg/KgBB) menghasilkan pengaruh
perubahan lebih rendah terhadap respirasi, nilai saturasi oksigen, suhu rektal,
kestabilan nilai frekuensi denyut jantung, dan nilai elektrokardiogram (EKG)
pada bentangan stabil dibandingkan kelompok kombinasi yang lain.
7.2 Saran
1. Perlakuan 5 dapat digunakan sebagai alternatif pengganti anestesi inhalasi
pada tindakan bedah selama 145 menit.
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan anjing dengan
tindakan pembedahan, anjing sehat muda atau pediatrik dan pada anjing tua
atau geriatrik. 62#
#
63##
#
DAFTAR PUSTAKA
Adams HR. 2001. Veterinary Pharmacology and therapeutics. 8th edition. United
States of America : Lowa state press. 1201 hlm. Amadasun FE, Edomwonyi NP. 2005. Evaluation of the gravimetric method of
propofol infusion with intermittent ketamine injections for total intravenous anaesthesia. JMBR. 4:65-70.
Baniadam A, Afshar SF, Balani MRB. 2007. Cardiopulmonary effects of
acepromazineketamine administration in the sheep. Bull Vet Inst Pulawy 51: 93-96.
Benson, GJ., Thurman., W.J. Tranguilli., and C.W. Smit. 1985. Cardiopulmonary
Effects of an Intravenous Infusion of Quaifenesin, Ketamine, and Xylazin in Dogs. Am. J. Vet. Res. Vol 49 (9). (1986-1998).
Bishop YM. 1996. The Veterinary Formulary. 3rd edition. London : The
Pharmaceutical press. 513 hlm. Booth NH, Branson KR. 1995. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 7th
edition. United States of America : lowa state press. Brander GC, Pugh DM, Water RJB, Jenkins Wl. 1991. Veterinary Applied
Pharmacology and Therapaeutic. 5th edition. London: Bailliere Tindal. Brock, KA 2001. Preanesthetic use of atropine in small animals. Australian
Veterinary Journal 79(1).24-25. Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. 3rd edition. London: Saunders
Company. Doherty, TJ. 1988. Physiologic effects of a2-adrenergic receptors. Journal of The
American Veterinary Medical Association 192(11): 1612-1614. Ernawati MDW. 2006. Pengaruh paparan udara halotan dengan dosis subanestesi
terhadap gangguan hati mencit. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 11: 71-75.
Flecknell, P. 2000. Manual of Rabbit Medicine and Surgery. British Small Animal
Veterinary Association. England.
#
63#
64##
#
Fossum TW. 1997. Small Animal Surgery. United States of America: Mosby-Year Book.
Garcia PS, Kolesky SE, Jenkins A. 2010. General Anasthetic action on GABA
receptors. Current neuropharmacology. 8(1): 2-9. Guedel. 1920. Third stage ether anesthesia: a subclassification regarding the
significance of position and movements of the eyeball. Q Suppl Am J surg 34:53-57
Heath, D, 2000. An Introduction to Experimental Design and Statistics for
Biology.UCL Press. London. Intelisano TR, Kitahara FR, Otsuki DA, Fantoni DT, Auler JOC, Cortopassi SRG.
2008. Total intravenous anaesthesia with propofol-racemic ketamine and propofol-s-ketamine: a comparative study and haemodynamic evaluation in dogs undergoing ovariohysterctomy. Pesquisa Veterinaria Brasileira. 28:216-222.
Ismail ZB, Jawasreh K, Al-majali A. 2010. Effect of xylazine-ketamine-diazepam on
certain clinical and arterial blood gas parameter in sheep and goats. Comp Clin Pathol 19:11- 14.
Katzung BG. 1992. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 628 hlm. Katzung BG. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 8. Bagian Farmakologi
Kedokteran Universitas Airlangga, Jakarta. Ko, JC., B.L. Williams., E.R. Rogers., L.S. Pablo., W.C. McCaine dan C.J
McGrath.1995. Increasing xylazine dose-enhanced anesthetic properties of telazol-xylazine combination in Swine. Lab Animal Sci, USA. 45(3):4-290.
Kul M, Koe Y, Alkan F, Ogurtan Z. 2001. The effects of xylazine-ketamine and
diazepam-ketamine on arterial blood pressure and blood gases in dog. OJVR 4:124-132.
Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta : FKUI. Lemke KA. 2004. Perioperative use of selective alpha-2 agonists and antagonists in
small animals. Can Vet J. 45:475-480
65##
#
Lumb WV, Jones EW. 1996. Veterinary Anesthesia. 3rd edition . Philadelphia : Lea and Febriger.
McKelvey D, Hollingshead KW. 2003. Veterinary Anesthesia anda Analgesia. Third
editions. United States of America: Mosby. 448 hlm. Miller RD. 2010. Miller’s Anestheia. 7th editions. United States of America :
Churchill Living Elsevier. Moens Y, Fargetton X. 1990. A Comparative Study of Medetomidine/Ketamine and
Xylazine/Ketamine in Dogs. Vetrinary Record. 127: 567-578. Morgan GE, Mikhail MS 2002 : Airway Management. Clinical Anesthesiology
3nd ed, Lange Medical Books, New York, Muir WW, Hubbell JAE, Skarda RT, Bednarski RM. 2000. Veterinary Anesthesia.
3rd edition. United States of America: Mosby Nelson OL. 2003. The Practical Veterinarian Small Animal Cardiology. United States
of America : Elsevier Science. Pathak KS, Amaddio BS, Scoles PV et al: Effects of halothane, enflurane, and
isoflurane in nitrous oxide on multilevel somatosensory evoked potentials. Anesthesiology 70:207, 1989
Plumb DC. 1991. Veterinary Drug Handbook. Pharma Vet publishing. Minnesota.
Hlm 56-98. Pretto EA. 2002. Pursuing the holy grail of anesthesia. Anesthesiology News. 1:1-9 Rudolph U, Antkowiak B. 2004. Molecular and neuronal substrates for general
anaesthetics. Nature Reviews Neuroscience. 5:709-720 Siswandono dan Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Airlangga University Press,
Surabaya. Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke system. Ed ke-2. Jakarta: Penerbit
buku Kedokteran EGC. Sudisma IGN, Pemayun IGAGP, Warditha AAGJ, Gorda IW, Dada IKA. 2001. Uji
klinik premedikasi Xylazin dan diazepam terhadap anestesi umum ketamin ada anjing lokal. Jurnal Veteriner. 3:104-107
66##
#
Sulistia G, 1987. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-3. Jakarta: Bagian Farmakologi. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Stawicki SP. 2007. Common sedative agents. OPUS 12 Scientist 1:8-9. Stoelting, Hiller. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. 4th Ed.
Philadelpia: Williams and Wilkins; 2006: p141-54. Transquilli M, Farkas EA, Elefteriades JA. 2007. Straight deep hypothermic arrest:
experience in 394 patients supports its effectiveness as a sole means of brain preservation. Ann Thorac Surg 84:759–766.
Verstegen J, Petcho A. 1993. Medetomidine-butorphanol-midazolam for anesteshia
in dog and its reversal by atipamazole. Vet record. 132: 353-357. Warren RG.1983. Small Animal Anesthesia. St Louis: The C.V. Mosby Company. Waterman, A.E 1983. Influence of premedication with xylazine on the distribution
and metabolism of intramuscularly administered ketamine in cats. Research in Veterinary Science 35:285-290.
Wright, M. 1982. Pharmacologic effects of ketamine and its use in veterinary
medical. AVMA 180(12):1462-1471. White PF. 2004. Comparison of Recovery Profile After Ambulatory Anesthesia with
Propofol, Isoflurane, Sevoflurane and Desflurane. In : Ambulatory Anesthesia. Orebro : Society for Ambulatory Anesthesia. Pp :632- 41.
Wolfensohn S, Lloyd M. 2000. Handbook of Laboratory Animal Management and
Welfare. Second editions. London: Blackwell Science. 334 hlm.
LA
MPIR
AN
1 Nilai rata-rata ± sim
pangan baku (rata-rata ± SD) respirasi, saturasi oksigen, dan suhu rektal selam
a pem
berian induksi dan pemeliharaan status teranastesi dengan X
ilasin-Ketam
in secara subkutan pada anjing.
Keterangan : * = berbeda nyata (P<0,05), **= berbeda sangat nyata (P<0.01). Perlakuan 1 : Penggunaan pem
eliharaan status teranestesi inhalasi, Perlakuan 2: penggunaan
pemeliharaan status teranestesi dosis ketam
in 12,5 mg/K
gBB
, Perlakuan 2: penggunaan pemeliharaan status teranestesi dosis ketam
in 15 mg/K
gBB
, Perlakuan 4:
penggunaan pemeliharaan status anestesi xilasin kem
udian dilanjutkan dengan ketamin dosis 12,5 m
g/KgB
B, Perlakuan 5: penggunaan pem
eliharaan status anestesi
xilasin kemudian dilanjutkan dengan ketam
in dosis 15 mg/K
gBB
.
LA
MPIR
AN
2 Nilai rata-rata ± sim
pangan baku (rata-rata ± SD) denyut jantung, elektrokardiogram
gelombang P dan
gelombang R
selama pem
berian induksi dan pemeliharaan status teranastesi dengan X
ilasin-Ketam
in secara subkutan pada anjing.
Keterangan : * = berbeda nyata (P<0,05), **= berbeda sangat nyata (P<0.01). Perlakuan 1 : Penggunaan pem
eliharaan status teranestesi inhalasi, Perlakuan 2: penggunaan
pemeliharaan status teranestesi dosis ketam
in 12,5 mg/K
gBB
, Perlakuan 2: penggunaan pemeliharaan status teranestesi dosis ketam
in 15 mg/K
gBB
, Perlakuan 4:
penggunaan pemeliharaan status anestesi xilasin kem
udian dilanjutkan dengan ketamin dosis 12,5 m
g/KgB
B, Perlakuan 5: penggunaan pem
eliharaan status anestesi
xilasin kemudian dilanjutkan dengan ketam
in dosis 15 mg/K
gBB
.
.
LA
MPIR
AN
3 Nilai rata-rata ± sim
pangan baku (rata-rata ± SD) elektrokardiogram
interval PR, K
ompleks Q
RS dan
Interval QT
selama pem
berian induksi dan pemeliharaan status teranastesi dengan X
ilasin-Ketam
in secara subkutan pada anjing.
Keterangan : * = berbeda nyata (P<0,05), **= berbeda sangat nyata (P<0.01). Perlakuan 1 : Penggunaan pem
eliharaan status teranestesi inhalasi, Perlakuan 2: penggunaan
pemeliharaan status teranestesi dosis ketam
in 12,5 mg/K
gBB
, Perlakuan 2: penggunaan pemeliharaan status teranestesi dosis ketam
in 15 mg/K
gBB
, Perlakuan 4:
penggunaan pemeliharaan status anestesi xilasin kem
udian dilanjutkan dengan ketamin dosis 12,5 m
g/KgB
B, Perlakuan 5: penggunaan pem
eliharaan status anestesi
xilasin kemudian dilanjutkan dengan ketam
in dosis 15 mg/K
gBB
.