Kepemimpinan (Leadership) di Industri Media

12
Kepemimpinan (Leadership) di Industri Media Oleh Satrio Arismunandar Pengantar Dalam organisasi media, salah satu faktor penting yang mempengaruhi jalannya organisasi adalah kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan dan manajemen adalah dua istilah yang sering membingungkan, karena maknanya seolah-olah tumpang tindih. Menurut John Kotter dari Harvard Business School, manajemen adalah menangani kompleksitas. Manajemen yang baik membawa keteraturan dan konsistensi, dengan merancang rencana-rencana formal, mendesain struktur organisasi yang ketat, dan memantau hasil-hasilnya dibandingkan dengan rencana semula. Kepemimpinan sebaliknya adalah menangani perubahan. Para pemimpin menetapkan arah lewat pengembangan sebuah visi ke masa depan. Lalu mereka menggalang orang dengan mengkomunikasikan visi itu, dan memberi inspirasi pada orang untuk mengatasi berbagai hambatan. Para manajer menggunakan otoritas yang melekat pada jabatan hirarkis resmi mereka untuk memperoleh kepatuhan dari para anggota organisasi. Manajemen terdiri dari pengimplementasian visi dan strategi yang ditetapkan para pemimpin, mengkoordinasikan dan mengatur staf organisasi, dan menangani berbagai problem sehari-hari. Meski ada definisi yang berbeda antara manajemen dan kepemimpinan, para peneliti dan manajer sering tidak membedakan dua hal itu. Maka perlu merumuskan kepemimpinan itu sedemikian rupa, agar mencakup bagaimana ia digunakan dalam teori dan praktik. Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan-tujuan. Sumber pengaruh ini bisa bersifat formal, seperti kepemilikan jabatan manajerial di organisasi. Maka orang bisa saja memegang peran kepemimpinan karena posisi yang ia pegang di organisasi. Namun tidak semua pemimpin adalah manajer. Juga, tidak semua manajer adalah pemimpin. Meski seorang manajer memiliki hak-hak formal tertentu berkat jabatannya, belum tentu mereka bisa memimpin secara efektif. Ada juga kemampuan mempengaruhi yang berasal dari luar struktur formal organisasi, yang sama penting bahkan mungkin lebih penting daripada kepemimpinan formal.

description

Dalam organisasi media, salah satu faktor penting yang mempengaruhi jalannya organisasi adalah kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan dan manajemen adalah dua istilah yang sering membingungkan, karena maknanya seolah-olah tumpang tindih. Manajemen adalah menangani kompleksitas. Manajemen yang baik membawa keteraturan dan konsistensi, dengan merancang rencana-rencana formal, mendesain struktur organisasi yang ketat, dan memantau hasil-hasilnya dibandingkan dengan rencana semula. Kepemimpinan sebaliknya adalah menangani perubahan.

Transcript of Kepemimpinan (Leadership) di Industri Media

Kepemimpinan (Leadership) di

Industri Media

Oleh Satrio Arismunandar

Pengantar

Dalam organisasi media, salah satu faktor penting yang mempengaruhi jalannya

organisasi adalah kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan dan manajemen adalah

dua istilah yang sering membingungkan, karena maknanya seolah-olah tumpang tindih.

Menurut John Kotter dari Harvard Business School, manajemen adalah

menangani kompleksitas. Manajemen yang baik membawa keteraturan dan konsistensi,

dengan merancang rencana-rencana formal, mendesain struktur organisasi yang ketat,

dan memantau hasil-hasilnya dibandingkan dengan rencana semula.

Kepemimpinan sebaliknya adalah menangani perubahan. Para pemimpin

menetapkan arah lewat pengembangan sebuah visi ke masa depan. Lalu mereka

menggalang orang dengan mengkomunikasikan visi itu, dan memberi inspirasi pada

orang untuk mengatasi berbagai hambatan.

Para manajer menggunakan otoritas yang melekat pada jabatan hirarkis resmi

mereka untuk memperoleh kepatuhan dari para anggota organisasi. Manajemen terdiri

dari pengimplementasian visi dan strategi yang ditetapkan para pemimpin,

mengkoordinasikan dan mengatur staf organisasi, dan menangani berbagai problem

sehari-hari.

Meski ada definisi yang berbeda antara manajemen dan kepemimpinan, para

peneliti dan manajer sering tidak membedakan dua hal itu. Maka perlu merumuskan

kepemimpinan itu sedemikian rupa, agar mencakup bagaimana ia digunakan dalam teori

dan praktik.

Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok untuk

pencapaian tujuan-tujuan. Sumber pengaruh ini bisa bersifat formal, seperti kepemilikan

jabatan manajerial di organisasi. Maka orang bisa saja memegang peran kepemimpinan

karena posisi yang ia pegang di organisasi.

Namun tidak semua pemimpin adalah manajer. Juga, tidak semua manajer adalah

pemimpin. Meski seorang manajer memiliki hak-hak formal tertentu berkat jabatannya,

belum tentu mereka bisa memimpin secara efektif. Ada juga kemampuan mempengaruhi

yang berasal dari luar struktur formal organisasi, yang sama penting bahkan mungkin

lebih penting daripada kepemimpinan formal.

2

Organisasi membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan manajemen yang kuat

agar bisa mencapai keefektifan optimal. Dalam dunia yang dinamis sekarang, kita butuh

pemimpin-pemimpin yang bisa menantang status-quo, untuk menciptakan visi bagi masa

depan, dan untuk menginspirasi para anggota organisasi agar berhasrat mencapai visi itu.

Kita juga butuh para manajer untuk merumuskan rencana terinci, menciptakan struktur

organisasi yang efisien, dan mengawasi operasi sehari-hari.

Teori-teori Sifat (Trait Theories)

Teori-teori paling awal yang menonjol tentang kepemimpinan, yang sudah

muncul sejak peralihan zaman ke abad ke-20, adalah teori-teori sifat (trait theories).

Menurut teori ini, ada kualitas-kualitas dan ciri-ciri tertentu yang membedakan antara

―tokoh-tokoh besar dalam sejarah‖ (pemimpin) dan massa pengikutnya (bukan

pemimpin).

Misalnya, ciri-ciri apa yang membedakan tokoh seperti Mao Zedong, Adolf

Hitler, Winston Churchill, Stalin, Iskandar Agung, Jengiz Khan, Salahuddin al-Ayubi,

Bung Karno, dengan para pengikutnya? Ciri-ciri apa yang membedakan antara pemimpin

yang efektif dan pemimpin yang tidak efektif? Ciri-ciri pembeda itu bisa bersifat

kepribadian, fisik, sosial, atau intelektual.

Lewat pendekatan ini, untuk menjelaskan keberhasilan pemimpin seperti Steve

Jobs, pendiri Apple Computer, misalnya, dikatakan bahwa ia memiliki sifat kecerdasan,

kharismatik, dan entusiastik.

Untuk menjelaskan keberhasilan Jakob Oetama, dalam membesarkan Kelompok

Kompas Gramedia (KKG) --dari sebuah media penerbitan biasa menjadi sebuah

konglomerasi besar—mungkin bisa disebutkan bahwa Jakob Oetama memiliki sifat hati-

hati, cermat, tekun, menghindari risiko yang tidak perlu, dan sebagainya.

Dari sekian banyak temuan penelitian selama separuh abad tentang sifat-sifat

kepemimpinan, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa sifat yang meningkatkan

kemungkinan seseorang akan sukses sebagai pemimpin. Namun, tidak ada satupun dari

sifat-sifat itu yang menjamin kesuksesan sebagai pemimpin.

Pendekatan sifat-sifat ini memiliki keterbatasan. Misalnya, tidak ada sifat-sifat

yang bersifat universal, yang bisa memprediksi keefektifan kepemimpinan di semua

situasi. Oleh karena itu para peneliti mencoba ke pendekatan lain, yaitu teori-teori

perilaku.

Teori-teori Perilaku (Behavioral Theories)

Teori-teori perilaku (behavioral theories) tentang kepemimpinan tidak lagi

berfokus pada sifat-sifat di dalam diri seorang pemimpin, tetapi lebih melihat ke aspek

luar berupa perilaku atau tindakan. Teori perilaku ini menyatakan, ada perilaku-perilaku

spesifik yang membedakan pemimpin dengan bukan pemimpin.

Menurut riset di Michigan State University pada akhir 1940-an, ada pola-pola

3

kepemimpinan tertentu yang menghasilkan kinerja efektif. Dari sekian banyak perilaku

yang diamati, diturunkan dua bentuk dasar perilaku pemimpin, yaitu: perilaku pemimpin

yang berpusat pada produksi (production-centred leaders), dan perilaku pemimpin yang

berpusat pada karyawan (employee-centred leaders).

Penyelia (supervisor) yang berpusat pada produksi cenderung lebih menekankan

pada penyelesaian tugas dan pekerjaan, ketimbang pada kesejahteraan karyawan.

Sedangkan penyelia yang berpusat pada karyawan lebih memperhatikan kesejahteraan

karyawannya. Secara umum, penyelia yang berpusat pada karyawan terlihat

menghasilkan kelompok kerja yang lebih produktif ketimbang penyelia yang berfokus

pada produksi.

Perilaku-perilaku ini bisa dipandang sebagai sebuah rentangan, di mana penyelia

yang berpusat pada karyawan berada di satu ujung, dan penyelia yang berpusat pada

produksi berada di ujung yang lain. Kadang-kadang istilah yang lebih umum, seperti

―berorientasi pada hubungan manusiawi‖ dan ―berorientasi pada tugas‖ digunakan untk

menjabarkan perilaku-perlaku alternatif para pemimpin.

Sedangkan menurut riset di Ohio State University, ada dua kategori utama yang

dilekatkan pada seorang pemimpin. Dua dimensi itu adalah memprakarsai struktur

(initiating structure) dan pertimbangan (consideration).

Pemimpin yang menunjukkan perilaku initiating structure yang tinggi, artinya ia

lebih menaruh perhatian terhadap penjabaran persyaratan dan tuntutan tugas, serta

penjelasan aspek-aspek lain yang terkait dengan agenda kerja. Pemimpin ini sangat mirip

dengan jenis pemimpin yang berpusat pada produksi (production-centred leaders).

Sedangkan pemimpin yang menunjukkan consideration yang tinggi, artinya ia

peka terhadap perasaan orang lain (karyawan). Pemimpin ini sangat mirip dengan jenis

pemimpin yang berpusat pada karyawan (employee-centred leaders).

Awalnya, para peneliti percaya bahwa pemimpin yang menunjukkan kehangatan

sosio-emosional akan menghasilkan kinerja yang lebih baik dari karyawan. Belakangan

disadari, baik memprakarsai struktur maupun pertimbangan sama-sama sangat

dibutuhkan.

Meskipun orientasi pada tugas/produksi dan orientasi pada karyawan ini sama-

sama diakui pentingnya di semua negara dalam menghasilkan kepemimpinan yang

efektif, cara penerapannya bisa berbeda di budaya yang berbeda. Para pemimpin di

Inggris, misalnya, dianggap penuh pertimbangan (berorientasi pada karyawan) jika

mereka menunjukkan pada karyawan tentang cara kerja sebuah peralatan. Sedangkan di

Jepang, manajer yang dianggap punya orientasi pada kayawan adalah yang membantu

memecahkan masalah-masalah pribadi karyawan.

Teori perilaku berimplikasi bahwa kepemimpinan itu bisa dilatih. Orang bisa

belajar bagaimana berperilaku seperti pemimpin. Sedangkan pada teori sifat, kita hanya

bisa menyeleksi orang yang dipandang punya sifat kepemimpinan.

4

Namun, teori perilaku juga punya keterbatasan. Para pemimpin dengan

kecenderungan perilaku yang sama bisa sukses di suatu situasi, namun bisa gagal di

situasi yang berbeda. Tidak ada jaminan bahwa perilaku yang sama akan menjamin

kesuksesan yang sama. Oleh karena itu, para peneliti menduga, faktor lingkungan dan

situasi mungkin punya peran kritis dalam menentukan keberhasilan seorang pemimpin.

Teori-teori atau Perspektif Contingency

Menambahkan ciri-ciri situasional menggarisbawahi fakta bahwa kepemimpinan

itu lebih rumit daripada sekadar mengisolasi sifat-sifat unik atau perilaku-perilaku

tertentu. Inilah yang memunculkan teori-teori contingency (kemungkinan, ketidaktentuan,

ketidakterdugaan, atau tergantung pada situasi).

Menurut perspektif contingency, gaya kepemimpinan yang paling cocok

tergantung pada situasi. Sebagian besar teori contingency mengasumsikan, pemimpin

yang efektif harus penuh wawasan dan luwes. Mereka harus mampu menyesuaikan

perilaku dan gayanya dengan situasi yang dihadapi.

Hal ini tentu tidak mudah karena setiap pemimpin biasanya memiliki gaya

kepemimpinan yang ia sukai. Diperlukan usaha cukup besar dari si pemimpin untuk

memilih dan menerapkan gaya-gaya kepemimpinan yang berbeda, agar cocok dengan

situasi. Pemimpin harus memiliki kecerdasan emosional sehingga mereka bisa membaca

lingkungan dan menyesuaikan perilakunya sesuai dengan situasi itu.

Dari beberapa teori contingency, teori kepemimpinan jalur-tujuan (path-goal

leadership theory) adalah yang relatif paling bertahan menghadapi kritik. Teori ini

berlandaskan pada teori pengharapan (expectancy) tentang motivasi, yang

menghubungkan beberapa gaya kepemimpinan ke contingency situasional dan karyawan

yang spesifik.

Path-Goal theory menyatakan, para pemimpin yang efektif memastikan agar

karyawan yang melakukan pekerjaan dengan baik akan menerima imbalan yang lebih

bernilai ketimbang mereka yang kinerjanya buruk. Pemimpin yang efektif juga

memberikan informasi, dukungan, dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan karyawan

untuk menuntaskan tugas-tugas mereka.

Dengan kata lain, path-goal theory menyarankan kepemimpinan pelayanan

(servant leadership). Pemimpin pelayan ini tidak memandang kepemimpinan sebagai

posisi kekuasaan, sebaliknya mereka memandang pemimpin lebih sebagai pembimbing

dan fasilitator.

Kepemimpinan adalah kewajiban untuk memahami kebutuhan karyawan dan

memfasilitasi kinerja pekerjaan mereka. Pemimpin lebih seperti melayani bawahan

ketimbang sebaliknya. Peran pemimpin adalah menciptakan lingkungan di mana orang

lain dapat melakukan kerja yang baik, dan kemudian menyingkir.

Ada empat gaya kepemimpinan path-goal dan beberapa faktor contingency, yang

menjurus ke tiga indikator keefektifan kepemimpinan. Empat gaya kepemimpinan itu

5

bisa dipilih oleh para pemimpin yang efektif, mana yang paling cocok dengan situasi.

Para pemimpin mungkin secara serempak menggunakan dua atau tiga gaya

kepemimpinan. Empat gaya itu adalah:

Directive: Perilaku pemimpin memberi struktur psikologis pada bawahan.

Pemimpin mengklarifikasi tujuan-tujuan kinerja, cara-cara untuk mencapai tujuan itu,

dan standar yang digunakan untuk menilai kinerja. Ia juga menggunakan iming-iming

imbalan dan langkah pendisiplinan. Ini sama dengan kepemimpinan yang berorientasi

tugas.

Supportive: Perilaku pemimpin memberi dukungan psikologis pada bawahan.

Pemimpin bersikap bersahabat dan bisa didekati, membuat pekerjaan lebih

menyenangkan, memperlakukan karyawan dengan rasa hormat yang sama, serta

menunjukkan perhatian pada keadaan, kebutuhan, dan kesejahteraan karyawan.

Participative: Perilaku pemimpin mendorong dan memfasilitasi keterlibatan

bawahan dalam keputusan-keputusan melampaui aktivitas kerja normal mereka.

Pemimpin berkonsultasi dengan karyawan, menanyakan saran mereka, dan mengambil

gagasan ini untuk dipertimbangkan secara serius sebelum mengambil keputusan.

Achievement-oriented: Pemimpin menekankan pada perilaku yang mendorong

karyawan untuk mencapai kinerja puncak mereka. Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan

yang menantang, mengharapkan karyawan untuk memberi kinerja tertinggi, dan terus-

menerus mengusahakan pengembangan dalam kinerja karyawan. Pemimpin

menunjukkan kepercayaan yang tinggi bahwa karyawan akan menerima tanggung jawab

dan mencapai tujuan-tujuan yang menantang.

6

Kepemimpinan dan Kekuasaan (Power)

Kepemimpinan yang efektif membutuhkan kekuasaan (power). Dalam tingkatan

dan bentuk yang berbeda-beda, setiap orang dalam organisasi baik atasan maupun

bawahan memiliki kekuasaan. Kekuasaan itu perlu digunakan secara tepat sedemikian

rupa, agar bisa mencapai tujuan-tujuan organisasi.

Menurut Colquitt, kekuasaan dapat dirumuskan sebagai "the ability to influence

the behavior of others and resist unwanted influence in return" atau kemampuan untuk

mempengaruhi perilaku pihak lain dan menolak pengaruh yang tidak diinginkan dari

pihak lain.

Definisi ini memberi kita beberapa hal yang patut dipikirkan:

(1) Bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain

tidaklah berarti bahwa mereka akan benar-benar memilih untuk memanfaatkan

pengaruhnya itu. Dalam banyak organisasi, karyawan yang paling banyak berpengaruh

justru tidak menyadari betapa besar pengaruh yang mereka miliki.

(2) Selain itu, kekuasaan juga dapat dipandang sebagai kemampuan untuk

menolak usaha mempengaruhi dari pihak lain. Penolakan ini dapat dilakukan dengan

sekadar menyatakan opini yang berbeda, menolak melakukan perilaku tertentu, atau

mengorganisasikan kelompok penentang dari kalangan sesama karyawan.

7

Kadang-kadang seorang pemimpin perlu menolak pengaruh dari pemimpin-

pemimpin lain atau pemimpin yang lebih tinggi, untuk melakukan apa yang terbaik bagi

unit kerjanya. Pada waktu lain, seorang pemimpin juga perlu menolak pengaruh dari para

karyawannya sendiri untuk menghindari menjadi orang yang dengan mudah dikontrol,

ketika para karyawan mencoba melakukan sesuatu semau mereka sendiri.

Sedangkan menurut De Janasz, Dowd, dan Schneider, "Power is the ability to get

someone to do something you want done or the ability to make things happen in the way

you want." Dengan kata lain, kekuasaan merupakan kemampuan untuk membuat

seseorang melakukan sesuatu yang Anda ingin itu dilakukan, atau kemampuan untuk

membuat hal-hal tertentu terjadi dengan cara yang Anda inginkan.

Sedangkan Robbins dan Judge mendefinisikan kekuasaan yaitu "A capacity that

A has to influence the behavior of B so that B acts in accordance with A's wishes."

Sebuah kapasitas yang dimiliki A untuk mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak

sesuai dengan keinginan-keinginan A. Definisi ini berimplikasi pada adanya suatu

potensi yang tidak perlu diaktualisasikan untuk menjadi efektif, dan adanya hubungan

ketergantungan antara A dan B. Kekuasaan itu mungkin ada, namun tidak dipergunakan.

Karena itulah, ia dinamakan kapasitas atau potensi. Seseorang bisa memiliki kekuasaan

tetapi tidak menggunakannya.

Aspek terpenting kekuasaan adalah fungsi ketergantungan, semakin besar

ketergantungan B pada A, semakin besar pula power A dalam hubungan tersebut.

Ketergantungan pada gilirannya dilandaskan pada adanya alternatif-alternatif, serta arti

penting dari alternatif-alternatif yang dikontrol A itu bagi B, menurut persepsi B.

Sedangkan DuBrin mendefinisikan kekuasaan sebagai "the potential or ability to

influence decisions and control resources." Kekuasaan dalam organisasi dapat diperoleh

dari banyak sumber. Bagaimana seseorang memperoleh kekuasaan tergantung pada

seberapa besar jenis kekuasaan yang ia cari. Karena itu, untuk memahami bagaimana

mekanisme perolehan kekuasaan, orang harus mengerti jenis-jenis kekuasaan yang ada,

dan sumber-sumber serta asal mula jenis-jenis kekuasaan tersebut.

Sedangkan menurut Achua and Lussier dalam bukunya Effective Leadership

mengatakan bahwa "Power is the leader's potential influence over followers. Because

power is the potential to influence, you do not actually have to use power to influence

other".

Dengan demikian, kekuasaan adalah pengaruh potensial dari seorang pemimpin

terhadap para pengikutnya. Karena kekuasaan itu adalah potensi untuk mempengaruhi,

maka seseorang tidak benar-benar harus menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi.

Seringkali adalah persepsi terhadap kekuasaan, ketimbang penggunaan aktual dari

kekuasaan itu sendiri, yang mempengaruhi orang-orang lain. Kekuasaan itu didasarkan

pada kualitas-kualitas atau kapabilitas tertentu, namun kekuasaan itu sendiri bersifat

transaksional dan mengalir keluar dari hubungan-hubungan, baik bersifat nyata ataupun

persepsi.

8

Jack Wood mendefinisikan kekuasaan sebagai: the potential ability to influence

behavior, to change the course of events, to overcome resistance, and to get people to do

things that they would not otherwise do. Politics and influence are the processes, the

actions, the behaviors through which this potential power is utilized and realized.

Kekuasaan merupakan kemampuan potensial untuk mempengaruhi perilaku,

mengubah jalannya peristiwa, untuk mengatasi penolakan, dan untuk membuat orang

mengerjakan hal-hal yang jika bukan karena adanya kemampuan ini tidak akan mereka

lakukan. Kemampuan potensial ini digunakan dan diwujudkan melalui politik dan

pengaruh, yang akan tampak pada berbagai proses, tindakan, dan perilaku.

Schermerhorn merumuskan kekuasaan sebagai "the ability to get someone else to

do something you want done or the ability to make things happen or get things done in

the way you want."

Kekuasaan merupakan kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu

yang Anda ingin itu dilakukan, atau kemampuan untuk membuat sesuatu terjadi atau

sesuatu dikerjakan dengan cara yang Anda inginkan. Jika kekuasaan atau kekuatan yang

digunakan untuk membuat hal-hal tertentu terjadi dengan cara yang diinginkan, influence

adalah yang dimiliki seseorang ketika dia mengerahkan kekuasaan.

McShane mendefinisikan kekuasaan sebagai "The capacity of a person, team or

organization to influence others". Kekuasaan merupakan kapasitas dari diri seseorang,

sebuah tim atau organisasi dalam mempengaruhi pihak-pihak lain. Jadi di sini dapat

dikatakan bahwa kekuasaan bukanlah tindakan mengubah sikap atau perilaku seseorang,

tetapi hanya sebuah potensi untuk melakukan hal tersebut.

Prasyarat dasar utama bagi kekuasaan adalah satu orang atau kelompok itu

percaya ia tergantung pada orang atau kelompok lain atas suatu sumberdaya yang

diperlukan. Walaupun ketergantungan adalah unsur kunci dalam hubungan kekuasaan,

adalah lebih akurat mengatakan pihak-pihak itu saling tergantung satu sama lain.

Pihak A mendominasi hubungan kekuasaan, namun pihak B juga memiliki

kekuasaan, yang cukup untuk membuat pihak A tetap memelihara hubungan pertukaran

ini dan menggunakan kekuatan dominannya secara tidak sewenang-wenang.

Menurut Greenberg, Jerald, dan Baron, kekuasaan didefinisikan sebagai "the

capacity to change the behavior or attitudes of others in a desired manner." Dapat

dikatakan bahwa kekuasaan merupakan kapasitas untuk mengubah perilaku atau sikap

orang lain dalam cara yang diinginkan. Ketika kita melakukan sesuatu yang memberi

dampak pada orang lain, apakah sesuai dengan dampak yang diinginkan ataupun tidak

sesuai, di sini kita mengerahkan pengaruh sosial terhadap orang tersebut.

Kapasitas kita untuk mengerahkan pengaruh terhadap orang lain itulah yang

dikenal sebagai kekuasaan. Penggunaan kekuasaan secara tidak resmi untuk

meningkatkan atau melindungi kepentingan pribadi, yang biasanya dapat merugikan

tujuan organisasi, disebut sebagai politik organisasi.

9

Sedangkan menurut Gibson, "Power is simply the ability to get other to do what

one wants them to do". Jadi, secara sederhana, kekuasaan adalah kemampuan untuk

membuat orang lain melakukan apa yang seseorang inginkan agar mereka lakukan.

Ditambahkan oleh Gibson, jika digunakan untuk kebaikan organisasi, kekuasaan

itu bisa menjadi kekuatan positif bagi keefektifan organisasi yang lebih tinggi.

Bagaimanapun, ketika kekuasaan digunakan dengan cara-cara yang merusak atau

mementingkan diri sendiri, hal itu secara dramatis dapat memerosotkan moral dan

produktivitas karyawan dalam sebuah organisasi.

Lima Tipe Kekuasaan

Secara khusus, terdapat lima tipe kekuasaan yang dapat dikelompokkan menjadi

dua kelompok: Kekuasaan organisasi (Organizational Power) dan kekuasaan pribadi

(Personal Power). Kekuasaan organisasi terbagi dalam tiga tipe: Legitimate Power,

Reward Power, dan Coercive Power. Sedangkan kekuasaan pribadi terbagi dalam dua

tipe: Expert Power dan Referent Power. Lihat gambar berikut:

Gambar: Tipe-tipe Kekuasaan Sumber : Colquitt, Jason A., Jefferey A. LePine, & Michael J. Wesson. 2013. Organizational Behavior:

Improving Performance and Commitment in the Workplace. Third Edition. New York: McGraw-Hill/Irwin.

Kekuasaan Organisasi (Organizational Power)

Tiga jenis kekuasaan organisasi terutama berasal dari posisi seseorang di dalam

organisasi. Ketiga jenis kekuasaan itu pada hakikatnya dianggap lebih bersifat formal,

yaitu:

Legitimate Power adalah kekuasaan yang berasal dari posisi otoritas di dalam

organisasi dan kadang-kadang disebut sebagai ―otoritas formal.‖ Orang dengan legitimate

power memiliki hak untuk meminta pihak lain untuk melakukan sesuatu, yang dianggap

berada dalam cakupan otoritasnya.

10

Ketika seorang Redaktur Pelaksana di sebuah media online meminta reporter

untuk bekerja lembur, mengerjakan suatu liputan dan bukan liputan yang lain, atau

bekerja lebih cepat, Redaktur Pelaksana itu telah mengerahkan legitimate power yang

dimilikinya. Makin tinggi posisi seseorang di dalam organisasi, makin besar legitimate

power yang dimilikinya. Legitimate power seorang Pemimpin Redaksi lebih tinggi

daripada Redaktur Pelaksana.

Reward Power ada ketika seseorang menguasai kontrol atas sumberdaya atau

imbalan, yang diinginkan orang lain. Misalnya, para manajer umumnya memiliki kontrol

terhadap kenaikan gaji, evaluasi kinerja, pemberian penghargaan, pemilihan tugas yang

disukai, dan sumberdaya yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan tugasnya secara

efektif. Mereka dengan reward power memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang

lain jika orang yang dipengaruhi tersebut percaya bahwa ia akan mendapat imbalan jika

berperilaku dengan cara tertentu.

Coercive Power ada ketika seseorang memiliki kontrol terhadap hukuman di

dalam organisasi. Coercive power beroperasi terutama dengan prinsip rasa takut.

Coercive power ini ada manakala seorang karyawan percaya bahwa orang lain atau

atasannya memiliki kemampuan untuk menghukumnya, dan ia berkehendak

menggunakan power tersebut.

Misalnya, seorang manajer mungkin memiliki hak untuk memecat, merumahkan,

atau mengurangi gaji seorang karyawan. Coercive power umumnya dianggap sebagai

bentuk kekuasaan yang kurang baik jika digunakan terus-menerus, karena cenderung

menimbulkan perasaan negatif pada mereka yang jadi sasarannya.

Kekuasaan Pribadi (Personal Power)

Kemampuan untuk mempengaruhi orang lain tidak cuma berasal dari posisi resmi

di dalam organisasi, tetapi juga bisa berasal dari sunber-sumber lain. Sumber-sumber lain

yang tercakup dalam kekuasaan pribadi, yaitu:

Expert Power adalah kekuasaan yang berasal dari keahlian, keterampilan, atau

pengetahuan yang dimiliki seseorang, di mana pihak lain tergantung pada kemampuan

yang dimiliki orang tersebut. Ketika seseorang dikenal memiliki prestasi kinerja yang

tinggi, kemampuan untuk memecahkan persoalan, atau pengetahuan spesifik yang

dibutuhkan untuk menuntaskan tugas-tugas, mereka akan mampu mempengaruhi orang

lain yang membutuhkan keterampilan tersebut.

Di media berita, misalnya, kita mengenal jurnalis yang sangat ahli dalam

melakukan liputan investigatif, atau fotografer yang sangat piawai dalam mengambil

gambar-gambar menawan untuk dimuat di halaman 1 suratkabarnya. Meski tidak punya

jabatan tinggi di medianya, mereka punya pengaruh yang muncul dari keahlian

khususnya.

Referent Power ada ketika orang-orang memiliki hasrat untuk

mengidentifikasikan dan diasosiasikan dengan seseorang. Hasrat ini umumnya muncul

11

dari afeksi, kekaguman, atau kesetiaan terhadap individu tertentu. Walaupun fokus kita

adalah pada individu di dalam organisasi, banyak contoh pemimpin politik, selebritis, dan

tokoh olahraga yang memiliki tingkatan referent power yang tinggi. Seperti Bung Karno,

Barack Obama, atau Nelson Mandela. Artis atau musisi seperti Iwan Fals, Agnes Monica,

Slank, juga memiliki tingkatan kekuasaan referent yang tinggi.

Hal yang sama berlaku pada para pemimpin di dalam organisasi yang memiliki

reputasi yang baik, kualitas pribadi yang atraktif, atau tingkatan kharisma tertentu.

Tokoh-tokoh media seperti Mochtar Lubis, pemimpin redaksi suratkabar Indonesia Raya

yang berprinsip teguh dalam memberitakan kasus-kasus korupsi, termasuk di antaranya.

Tentu saja, dimungkinkan bagi seseorang untuk memiliki seluruh bentuk kekuasaan itu

sekaligus pada waktu yang sama.

Dari sudut pandang bawahan atau pengikut, kadang-kadang sulit untuk meraba,

jenis kekuasaan mana yang paling penting. Seringkali kita tidak tahu persis apa jenis

kekuasaan yang dimiliki para pemimpin sampai mereka mengerahkan kekuasaan

tersebut.

Secara umum, bentuk-bentuk personal dari kekuasaan memiliki hubungan yang

lebih kuat terhadap komitmen organisasi dan kinerja pekerjaan dibandingkan bentuk-

bentuk kekuasaan yang bersifat organisasional. Jika kita membayangkan tentang atasan

kepada siapa karyawan mau bekerja paling keras, para atasan itu kemungkinan adalah

mereka yang memiliki sebentuk keterampilan atau kharisma, bukan sekadar kemampuan

untuk menghukum atau memberi imbalan.

Jakarta, 23 Desember 2013

Referensi:

Colquitt, Jason A., Jefferey A. LePine, & Michael J. Wesson. 2013. Organizational

Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. Third

Edition. New York: McGrfaw-Hill/Irwin.

Suzanne C. De Janasz, Karen O Dowd, Ph.D dan Beth Z.Schneider. 2012. Interpersonal

Skill in Organization. New York: McGraw-Hill.

John R. Schermerhorn, Et.al. 2012. Organizational Behavior, International Student

Version. Denvers: John Wiley & Sons.

McShane, Olekalns dan Travaglione. 2013. Organisational Behavior: Emerging

Knowledge, Global Insights. New York: McGraw-Hill.

Greenberg, Jerald, dan Robert A. Baron. 2000. Behavior in Organizations. Seventh

Edition. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

James L. Gibson et al. 2012. Organizations: Behavior, Structure, Processes. Fourteenth

Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc..

Robbins, Stephen P. & Timothy A. Judge. 2011. Organizational Behavior.14th

Edition.

Harlow: Pearson Education Limited.

12

DuBrin, Andrew J. 2010. Principles of Leadership. Sixth Edition. (South-Western:

Cencage Learning.

Achua, Christopher F., dan Robert N. Lussier. 2010. Effective Leadership. Fourth

Edition. Canada: South-Western Cencage Learning.

Wood, Jack, et al. 2013. Organisational Behavior. Core Concepts and Applications.

Milton: John Wiley and Sons Australia, Ltd.

Biodata Penulis:

* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994),

Sekjen AJI (1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP

Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-

88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret

2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior

Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan

Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:

E-mail: [email protected]; [email protected]

Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com

Mobile: 081286299061