Provider Training Leadership Pelatihan Kepemimpinan Di Jakarta Bandung
Kepemimpinan (Leadership) di Industri Media
-
Upload
satrio-arismunandar -
Category
Business
-
view
785 -
download
6
description
Transcript of Kepemimpinan (Leadership) di Industri Media
Kepemimpinan (Leadership) di
Industri Media
Oleh Satrio Arismunandar
Pengantar
Dalam organisasi media, salah satu faktor penting yang mempengaruhi jalannya
organisasi adalah kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan dan manajemen adalah
dua istilah yang sering membingungkan, karena maknanya seolah-olah tumpang tindih.
Menurut John Kotter dari Harvard Business School, manajemen adalah
menangani kompleksitas. Manajemen yang baik membawa keteraturan dan konsistensi,
dengan merancang rencana-rencana formal, mendesain struktur organisasi yang ketat,
dan memantau hasil-hasilnya dibandingkan dengan rencana semula.
Kepemimpinan sebaliknya adalah menangani perubahan. Para pemimpin
menetapkan arah lewat pengembangan sebuah visi ke masa depan. Lalu mereka
menggalang orang dengan mengkomunikasikan visi itu, dan memberi inspirasi pada
orang untuk mengatasi berbagai hambatan.
Para manajer menggunakan otoritas yang melekat pada jabatan hirarkis resmi
mereka untuk memperoleh kepatuhan dari para anggota organisasi. Manajemen terdiri
dari pengimplementasian visi dan strategi yang ditetapkan para pemimpin,
mengkoordinasikan dan mengatur staf organisasi, dan menangani berbagai problem
sehari-hari.
Meski ada definisi yang berbeda antara manajemen dan kepemimpinan, para
peneliti dan manajer sering tidak membedakan dua hal itu. Maka perlu merumuskan
kepemimpinan itu sedemikian rupa, agar mencakup bagaimana ia digunakan dalam teori
dan praktik.
Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok untuk
pencapaian tujuan-tujuan. Sumber pengaruh ini bisa bersifat formal, seperti kepemilikan
jabatan manajerial di organisasi. Maka orang bisa saja memegang peran kepemimpinan
karena posisi yang ia pegang di organisasi.
Namun tidak semua pemimpin adalah manajer. Juga, tidak semua manajer adalah
pemimpin. Meski seorang manajer memiliki hak-hak formal tertentu berkat jabatannya,
belum tentu mereka bisa memimpin secara efektif. Ada juga kemampuan mempengaruhi
yang berasal dari luar struktur formal organisasi, yang sama penting bahkan mungkin
lebih penting daripada kepemimpinan formal.
2
Organisasi membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan manajemen yang kuat
agar bisa mencapai keefektifan optimal. Dalam dunia yang dinamis sekarang, kita butuh
pemimpin-pemimpin yang bisa menantang status-quo, untuk menciptakan visi bagi masa
depan, dan untuk menginspirasi para anggota organisasi agar berhasrat mencapai visi itu.
Kita juga butuh para manajer untuk merumuskan rencana terinci, menciptakan struktur
organisasi yang efisien, dan mengawasi operasi sehari-hari.
Teori-teori Sifat (Trait Theories)
Teori-teori paling awal yang menonjol tentang kepemimpinan, yang sudah
muncul sejak peralihan zaman ke abad ke-20, adalah teori-teori sifat (trait theories).
Menurut teori ini, ada kualitas-kualitas dan ciri-ciri tertentu yang membedakan antara
―tokoh-tokoh besar dalam sejarah‖ (pemimpin) dan massa pengikutnya (bukan
pemimpin).
Misalnya, ciri-ciri apa yang membedakan tokoh seperti Mao Zedong, Adolf
Hitler, Winston Churchill, Stalin, Iskandar Agung, Jengiz Khan, Salahuddin al-Ayubi,
Bung Karno, dengan para pengikutnya? Ciri-ciri apa yang membedakan antara pemimpin
yang efektif dan pemimpin yang tidak efektif? Ciri-ciri pembeda itu bisa bersifat
kepribadian, fisik, sosial, atau intelektual.
Lewat pendekatan ini, untuk menjelaskan keberhasilan pemimpin seperti Steve
Jobs, pendiri Apple Computer, misalnya, dikatakan bahwa ia memiliki sifat kecerdasan,
kharismatik, dan entusiastik.
Untuk menjelaskan keberhasilan Jakob Oetama, dalam membesarkan Kelompok
Kompas Gramedia (KKG) --dari sebuah media penerbitan biasa menjadi sebuah
konglomerasi besar—mungkin bisa disebutkan bahwa Jakob Oetama memiliki sifat hati-
hati, cermat, tekun, menghindari risiko yang tidak perlu, dan sebagainya.
Dari sekian banyak temuan penelitian selama separuh abad tentang sifat-sifat
kepemimpinan, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa sifat yang meningkatkan
kemungkinan seseorang akan sukses sebagai pemimpin. Namun, tidak ada satupun dari
sifat-sifat itu yang menjamin kesuksesan sebagai pemimpin.
Pendekatan sifat-sifat ini memiliki keterbatasan. Misalnya, tidak ada sifat-sifat
yang bersifat universal, yang bisa memprediksi keefektifan kepemimpinan di semua
situasi. Oleh karena itu para peneliti mencoba ke pendekatan lain, yaitu teori-teori
perilaku.
Teori-teori Perilaku (Behavioral Theories)
Teori-teori perilaku (behavioral theories) tentang kepemimpinan tidak lagi
berfokus pada sifat-sifat di dalam diri seorang pemimpin, tetapi lebih melihat ke aspek
luar berupa perilaku atau tindakan. Teori perilaku ini menyatakan, ada perilaku-perilaku
spesifik yang membedakan pemimpin dengan bukan pemimpin.
Menurut riset di Michigan State University pada akhir 1940-an, ada pola-pola
3
kepemimpinan tertentu yang menghasilkan kinerja efektif. Dari sekian banyak perilaku
yang diamati, diturunkan dua bentuk dasar perilaku pemimpin, yaitu: perilaku pemimpin
yang berpusat pada produksi (production-centred leaders), dan perilaku pemimpin yang
berpusat pada karyawan (employee-centred leaders).
Penyelia (supervisor) yang berpusat pada produksi cenderung lebih menekankan
pada penyelesaian tugas dan pekerjaan, ketimbang pada kesejahteraan karyawan.
Sedangkan penyelia yang berpusat pada karyawan lebih memperhatikan kesejahteraan
karyawannya. Secara umum, penyelia yang berpusat pada karyawan terlihat
menghasilkan kelompok kerja yang lebih produktif ketimbang penyelia yang berfokus
pada produksi.
Perilaku-perilaku ini bisa dipandang sebagai sebuah rentangan, di mana penyelia
yang berpusat pada karyawan berada di satu ujung, dan penyelia yang berpusat pada
produksi berada di ujung yang lain. Kadang-kadang istilah yang lebih umum, seperti
―berorientasi pada hubungan manusiawi‖ dan ―berorientasi pada tugas‖ digunakan untk
menjabarkan perilaku-perlaku alternatif para pemimpin.
Sedangkan menurut riset di Ohio State University, ada dua kategori utama yang
dilekatkan pada seorang pemimpin. Dua dimensi itu adalah memprakarsai struktur
(initiating structure) dan pertimbangan (consideration).
Pemimpin yang menunjukkan perilaku initiating structure yang tinggi, artinya ia
lebih menaruh perhatian terhadap penjabaran persyaratan dan tuntutan tugas, serta
penjelasan aspek-aspek lain yang terkait dengan agenda kerja. Pemimpin ini sangat mirip
dengan jenis pemimpin yang berpusat pada produksi (production-centred leaders).
Sedangkan pemimpin yang menunjukkan consideration yang tinggi, artinya ia
peka terhadap perasaan orang lain (karyawan). Pemimpin ini sangat mirip dengan jenis
pemimpin yang berpusat pada karyawan (employee-centred leaders).
Awalnya, para peneliti percaya bahwa pemimpin yang menunjukkan kehangatan
sosio-emosional akan menghasilkan kinerja yang lebih baik dari karyawan. Belakangan
disadari, baik memprakarsai struktur maupun pertimbangan sama-sama sangat
dibutuhkan.
Meskipun orientasi pada tugas/produksi dan orientasi pada karyawan ini sama-
sama diakui pentingnya di semua negara dalam menghasilkan kepemimpinan yang
efektif, cara penerapannya bisa berbeda di budaya yang berbeda. Para pemimpin di
Inggris, misalnya, dianggap penuh pertimbangan (berorientasi pada karyawan) jika
mereka menunjukkan pada karyawan tentang cara kerja sebuah peralatan. Sedangkan di
Jepang, manajer yang dianggap punya orientasi pada kayawan adalah yang membantu
memecahkan masalah-masalah pribadi karyawan.
Teori perilaku berimplikasi bahwa kepemimpinan itu bisa dilatih. Orang bisa
belajar bagaimana berperilaku seperti pemimpin. Sedangkan pada teori sifat, kita hanya
bisa menyeleksi orang yang dipandang punya sifat kepemimpinan.
4
Namun, teori perilaku juga punya keterbatasan. Para pemimpin dengan
kecenderungan perilaku yang sama bisa sukses di suatu situasi, namun bisa gagal di
situasi yang berbeda. Tidak ada jaminan bahwa perilaku yang sama akan menjamin
kesuksesan yang sama. Oleh karena itu, para peneliti menduga, faktor lingkungan dan
situasi mungkin punya peran kritis dalam menentukan keberhasilan seorang pemimpin.
Teori-teori atau Perspektif Contingency
Menambahkan ciri-ciri situasional menggarisbawahi fakta bahwa kepemimpinan
itu lebih rumit daripada sekadar mengisolasi sifat-sifat unik atau perilaku-perilaku
tertentu. Inilah yang memunculkan teori-teori contingency (kemungkinan, ketidaktentuan,
ketidakterdugaan, atau tergantung pada situasi).
Menurut perspektif contingency, gaya kepemimpinan yang paling cocok
tergantung pada situasi. Sebagian besar teori contingency mengasumsikan, pemimpin
yang efektif harus penuh wawasan dan luwes. Mereka harus mampu menyesuaikan
perilaku dan gayanya dengan situasi yang dihadapi.
Hal ini tentu tidak mudah karena setiap pemimpin biasanya memiliki gaya
kepemimpinan yang ia sukai. Diperlukan usaha cukup besar dari si pemimpin untuk
memilih dan menerapkan gaya-gaya kepemimpinan yang berbeda, agar cocok dengan
situasi. Pemimpin harus memiliki kecerdasan emosional sehingga mereka bisa membaca
lingkungan dan menyesuaikan perilakunya sesuai dengan situasi itu.
Dari beberapa teori contingency, teori kepemimpinan jalur-tujuan (path-goal
leadership theory) adalah yang relatif paling bertahan menghadapi kritik. Teori ini
berlandaskan pada teori pengharapan (expectancy) tentang motivasi, yang
menghubungkan beberapa gaya kepemimpinan ke contingency situasional dan karyawan
yang spesifik.
Path-Goal theory menyatakan, para pemimpin yang efektif memastikan agar
karyawan yang melakukan pekerjaan dengan baik akan menerima imbalan yang lebih
bernilai ketimbang mereka yang kinerjanya buruk. Pemimpin yang efektif juga
memberikan informasi, dukungan, dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan karyawan
untuk menuntaskan tugas-tugas mereka.
Dengan kata lain, path-goal theory menyarankan kepemimpinan pelayanan
(servant leadership). Pemimpin pelayan ini tidak memandang kepemimpinan sebagai
posisi kekuasaan, sebaliknya mereka memandang pemimpin lebih sebagai pembimbing
dan fasilitator.
Kepemimpinan adalah kewajiban untuk memahami kebutuhan karyawan dan
memfasilitasi kinerja pekerjaan mereka. Pemimpin lebih seperti melayani bawahan
ketimbang sebaliknya. Peran pemimpin adalah menciptakan lingkungan di mana orang
lain dapat melakukan kerja yang baik, dan kemudian menyingkir.
Ada empat gaya kepemimpinan path-goal dan beberapa faktor contingency, yang
menjurus ke tiga indikator keefektifan kepemimpinan. Empat gaya kepemimpinan itu
5
bisa dipilih oleh para pemimpin yang efektif, mana yang paling cocok dengan situasi.
Para pemimpin mungkin secara serempak menggunakan dua atau tiga gaya
kepemimpinan. Empat gaya itu adalah:
Directive: Perilaku pemimpin memberi struktur psikologis pada bawahan.
Pemimpin mengklarifikasi tujuan-tujuan kinerja, cara-cara untuk mencapai tujuan itu,
dan standar yang digunakan untuk menilai kinerja. Ia juga menggunakan iming-iming
imbalan dan langkah pendisiplinan. Ini sama dengan kepemimpinan yang berorientasi
tugas.
Supportive: Perilaku pemimpin memberi dukungan psikologis pada bawahan.
Pemimpin bersikap bersahabat dan bisa didekati, membuat pekerjaan lebih
menyenangkan, memperlakukan karyawan dengan rasa hormat yang sama, serta
menunjukkan perhatian pada keadaan, kebutuhan, dan kesejahteraan karyawan.
Participative: Perilaku pemimpin mendorong dan memfasilitasi keterlibatan
bawahan dalam keputusan-keputusan melampaui aktivitas kerja normal mereka.
Pemimpin berkonsultasi dengan karyawan, menanyakan saran mereka, dan mengambil
gagasan ini untuk dipertimbangkan secara serius sebelum mengambil keputusan.
Achievement-oriented: Pemimpin menekankan pada perilaku yang mendorong
karyawan untuk mencapai kinerja puncak mereka. Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan
yang menantang, mengharapkan karyawan untuk memberi kinerja tertinggi, dan terus-
menerus mengusahakan pengembangan dalam kinerja karyawan. Pemimpin
menunjukkan kepercayaan yang tinggi bahwa karyawan akan menerima tanggung jawab
dan mencapai tujuan-tujuan yang menantang.
6
Kepemimpinan dan Kekuasaan (Power)
Kepemimpinan yang efektif membutuhkan kekuasaan (power). Dalam tingkatan
dan bentuk yang berbeda-beda, setiap orang dalam organisasi baik atasan maupun
bawahan memiliki kekuasaan. Kekuasaan itu perlu digunakan secara tepat sedemikian
rupa, agar bisa mencapai tujuan-tujuan organisasi.
Menurut Colquitt, kekuasaan dapat dirumuskan sebagai "the ability to influence
the behavior of others and resist unwanted influence in return" atau kemampuan untuk
mempengaruhi perilaku pihak lain dan menolak pengaruh yang tidak diinginkan dari
pihak lain.
Definisi ini memberi kita beberapa hal yang patut dipikirkan:
(1) Bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain
tidaklah berarti bahwa mereka akan benar-benar memilih untuk memanfaatkan
pengaruhnya itu. Dalam banyak organisasi, karyawan yang paling banyak berpengaruh
justru tidak menyadari betapa besar pengaruh yang mereka miliki.
(2) Selain itu, kekuasaan juga dapat dipandang sebagai kemampuan untuk
menolak usaha mempengaruhi dari pihak lain. Penolakan ini dapat dilakukan dengan
sekadar menyatakan opini yang berbeda, menolak melakukan perilaku tertentu, atau
mengorganisasikan kelompok penentang dari kalangan sesama karyawan.
7
Kadang-kadang seorang pemimpin perlu menolak pengaruh dari pemimpin-
pemimpin lain atau pemimpin yang lebih tinggi, untuk melakukan apa yang terbaik bagi
unit kerjanya. Pada waktu lain, seorang pemimpin juga perlu menolak pengaruh dari para
karyawannya sendiri untuk menghindari menjadi orang yang dengan mudah dikontrol,
ketika para karyawan mencoba melakukan sesuatu semau mereka sendiri.
Sedangkan menurut De Janasz, Dowd, dan Schneider, "Power is the ability to get
someone to do something you want done or the ability to make things happen in the way
you want." Dengan kata lain, kekuasaan merupakan kemampuan untuk membuat
seseorang melakukan sesuatu yang Anda ingin itu dilakukan, atau kemampuan untuk
membuat hal-hal tertentu terjadi dengan cara yang Anda inginkan.
Sedangkan Robbins dan Judge mendefinisikan kekuasaan yaitu "A capacity that
A has to influence the behavior of B so that B acts in accordance with A's wishes."
Sebuah kapasitas yang dimiliki A untuk mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak
sesuai dengan keinginan-keinginan A. Definisi ini berimplikasi pada adanya suatu
potensi yang tidak perlu diaktualisasikan untuk menjadi efektif, dan adanya hubungan
ketergantungan antara A dan B. Kekuasaan itu mungkin ada, namun tidak dipergunakan.
Karena itulah, ia dinamakan kapasitas atau potensi. Seseorang bisa memiliki kekuasaan
tetapi tidak menggunakannya.
Aspek terpenting kekuasaan adalah fungsi ketergantungan, semakin besar
ketergantungan B pada A, semakin besar pula power A dalam hubungan tersebut.
Ketergantungan pada gilirannya dilandaskan pada adanya alternatif-alternatif, serta arti
penting dari alternatif-alternatif yang dikontrol A itu bagi B, menurut persepsi B.
Sedangkan DuBrin mendefinisikan kekuasaan sebagai "the potential or ability to
influence decisions and control resources." Kekuasaan dalam organisasi dapat diperoleh
dari banyak sumber. Bagaimana seseorang memperoleh kekuasaan tergantung pada
seberapa besar jenis kekuasaan yang ia cari. Karena itu, untuk memahami bagaimana
mekanisme perolehan kekuasaan, orang harus mengerti jenis-jenis kekuasaan yang ada,
dan sumber-sumber serta asal mula jenis-jenis kekuasaan tersebut.
Sedangkan menurut Achua and Lussier dalam bukunya Effective Leadership
mengatakan bahwa "Power is the leader's potential influence over followers. Because
power is the potential to influence, you do not actually have to use power to influence
other".
Dengan demikian, kekuasaan adalah pengaruh potensial dari seorang pemimpin
terhadap para pengikutnya. Karena kekuasaan itu adalah potensi untuk mempengaruhi,
maka seseorang tidak benar-benar harus menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi.
Seringkali adalah persepsi terhadap kekuasaan, ketimbang penggunaan aktual dari
kekuasaan itu sendiri, yang mempengaruhi orang-orang lain. Kekuasaan itu didasarkan
pada kualitas-kualitas atau kapabilitas tertentu, namun kekuasaan itu sendiri bersifat
transaksional dan mengalir keluar dari hubungan-hubungan, baik bersifat nyata ataupun
persepsi.
8
Jack Wood mendefinisikan kekuasaan sebagai: the potential ability to influence
behavior, to change the course of events, to overcome resistance, and to get people to do
things that they would not otherwise do. Politics and influence are the processes, the
actions, the behaviors through which this potential power is utilized and realized.
Kekuasaan merupakan kemampuan potensial untuk mempengaruhi perilaku,
mengubah jalannya peristiwa, untuk mengatasi penolakan, dan untuk membuat orang
mengerjakan hal-hal yang jika bukan karena adanya kemampuan ini tidak akan mereka
lakukan. Kemampuan potensial ini digunakan dan diwujudkan melalui politik dan
pengaruh, yang akan tampak pada berbagai proses, tindakan, dan perilaku.
Schermerhorn merumuskan kekuasaan sebagai "the ability to get someone else to
do something you want done or the ability to make things happen or get things done in
the way you want."
Kekuasaan merupakan kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu
yang Anda ingin itu dilakukan, atau kemampuan untuk membuat sesuatu terjadi atau
sesuatu dikerjakan dengan cara yang Anda inginkan. Jika kekuasaan atau kekuatan yang
digunakan untuk membuat hal-hal tertentu terjadi dengan cara yang diinginkan, influence
adalah yang dimiliki seseorang ketika dia mengerahkan kekuasaan.
McShane mendefinisikan kekuasaan sebagai "The capacity of a person, team or
organization to influence others". Kekuasaan merupakan kapasitas dari diri seseorang,
sebuah tim atau organisasi dalam mempengaruhi pihak-pihak lain. Jadi di sini dapat
dikatakan bahwa kekuasaan bukanlah tindakan mengubah sikap atau perilaku seseorang,
tetapi hanya sebuah potensi untuk melakukan hal tersebut.
Prasyarat dasar utama bagi kekuasaan adalah satu orang atau kelompok itu
percaya ia tergantung pada orang atau kelompok lain atas suatu sumberdaya yang
diperlukan. Walaupun ketergantungan adalah unsur kunci dalam hubungan kekuasaan,
adalah lebih akurat mengatakan pihak-pihak itu saling tergantung satu sama lain.
Pihak A mendominasi hubungan kekuasaan, namun pihak B juga memiliki
kekuasaan, yang cukup untuk membuat pihak A tetap memelihara hubungan pertukaran
ini dan menggunakan kekuatan dominannya secara tidak sewenang-wenang.
Menurut Greenberg, Jerald, dan Baron, kekuasaan didefinisikan sebagai "the
capacity to change the behavior or attitudes of others in a desired manner." Dapat
dikatakan bahwa kekuasaan merupakan kapasitas untuk mengubah perilaku atau sikap
orang lain dalam cara yang diinginkan. Ketika kita melakukan sesuatu yang memberi
dampak pada orang lain, apakah sesuai dengan dampak yang diinginkan ataupun tidak
sesuai, di sini kita mengerahkan pengaruh sosial terhadap orang tersebut.
Kapasitas kita untuk mengerahkan pengaruh terhadap orang lain itulah yang
dikenal sebagai kekuasaan. Penggunaan kekuasaan secara tidak resmi untuk
meningkatkan atau melindungi kepentingan pribadi, yang biasanya dapat merugikan
tujuan organisasi, disebut sebagai politik organisasi.
9
Sedangkan menurut Gibson, "Power is simply the ability to get other to do what
one wants them to do". Jadi, secara sederhana, kekuasaan adalah kemampuan untuk
membuat orang lain melakukan apa yang seseorang inginkan agar mereka lakukan.
Ditambahkan oleh Gibson, jika digunakan untuk kebaikan organisasi, kekuasaan
itu bisa menjadi kekuatan positif bagi keefektifan organisasi yang lebih tinggi.
Bagaimanapun, ketika kekuasaan digunakan dengan cara-cara yang merusak atau
mementingkan diri sendiri, hal itu secara dramatis dapat memerosotkan moral dan
produktivitas karyawan dalam sebuah organisasi.
Lima Tipe Kekuasaan
Secara khusus, terdapat lima tipe kekuasaan yang dapat dikelompokkan menjadi
dua kelompok: Kekuasaan organisasi (Organizational Power) dan kekuasaan pribadi
(Personal Power). Kekuasaan organisasi terbagi dalam tiga tipe: Legitimate Power,
Reward Power, dan Coercive Power. Sedangkan kekuasaan pribadi terbagi dalam dua
tipe: Expert Power dan Referent Power. Lihat gambar berikut:
Gambar: Tipe-tipe Kekuasaan Sumber : Colquitt, Jason A., Jefferey A. LePine, & Michael J. Wesson. 2013. Organizational Behavior:
Improving Performance and Commitment in the Workplace. Third Edition. New York: McGraw-Hill/Irwin.
Kekuasaan Organisasi (Organizational Power)
Tiga jenis kekuasaan organisasi terutama berasal dari posisi seseorang di dalam
organisasi. Ketiga jenis kekuasaan itu pada hakikatnya dianggap lebih bersifat formal,
yaitu:
Legitimate Power adalah kekuasaan yang berasal dari posisi otoritas di dalam
organisasi dan kadang-kadang disebut sebagai ―otoritas formal.‖ Orang dengan legitimate
power memiliki hak untuk meminta pihak lain untuk melakukan sesuatu, yang dianggap
berada dalam cakupan otoritasnya.
10
Ketika seorang Redaktur Pelaksana di sebuah media online meminta reporter
untuk bekerja lembur, mengerjakan suatu liputan dan bukan liputan yang lain, atau
bekerja lebih cepat, Redaktur Pelaksana itu telah mengerahkan legitimate power yang
dimilikinya. Makin tinggi posisi seseorang di dalam organisasi, makin besar legitimate
power yang dimilikinya. Legitimate power seorang Pemimpin Redaksi lebih tinggi
daripada Redaktur Pelaksana.
Reward Power ada ketika seseorang menguasai kontrol atas sumberdaya atau
imbalan, yang diinginkan orang lain. Misalnya, para manajer umumnya memiliki kontrol
terhadap kenaikan gaji, evaluasi kinerja, pemberian penghargaan, pemilihan tugas yang
disukai, dan sumberdaya yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan tugasnya secara
efektif. Mereka dengan reward power memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain jika orang yang dipengaruhi tersebut percaya bahwa ia akan mendapat imbalan jika
berperilaku dengan cara tertentu.
Coercive Power ada ketika seseorang memiliki kontrol terhadap hukuman di
dalam organisasi. Coercive power beroperasi terutama dengan prinsip rasa takut.
Coercive power ini ada manakala seorang karyawan percaya bahwa orang lain atau
atasannya memiliki kemampuan untuk menghukumnya, dan ia berkehendak
menggunakan power tersebut.
Misalnya, seorang manajer mungkin memiliki hak untuk memecat, merumahkan,
atau mengurangi gaji seorang karyawan. Coercive power umumnya dianggap sebagai
bentuk kekuasaan yang kurang baik jika digunakan terus-menerus, karena cenderung
menimbulkan perasaan negatif pada mereka yang jadi sasarannya.
Kekuasaan Pribadi (Personal Power)
Kemampuan untuk mempengaruhi orang lain tidak cuma berasal dari posisi resmi
di dalam organisasi, tetapi juga bisa berasal dari sunber-sumber lain. Sumber-sumber lain
yang tercakup dalam kekuasaan pribadi, yaitu:
Expert Power adalah kekuasaan yang berasal dari keahlian, keterampilan, atau
pengetahuan yang dimiliki seseorang, di mana pihak lain tergantung pada kemampuan
yang dimiliki orang tersebut. Ketika seseorang dikenal memiliki prestasi kinerja yang
tinggi, kemampuan untuk memecahkan persoalan, atau pengetahuan spesifik yang
dibutuhkan untuk menuntaskan tugas-tugas, mereka akan mampu mempengaruhi orang
lain yang membutuhkan keterampilan tersebut.
Di media berita, misalnya, kita mengenal jurnalis yang sangat ahli dalam
melakukan liputan investigatif, atau fotografer yang sangat piawai dalam mengambil
gambar-gambar menawan untuk dimuat di halaman 1 suratkabarnya. Meski tidak punya
jabatan tinggi di medianya, mereka punya pengaruh yang muncul dari keahlian
khususnya.
Referent Power ada ketika orang-orang memiliki hasrat untuk
mengidentifikasikan dan diasosiasikan dengan seseorang. Hasrat ini umumnya muncul
11
dari afeksi, kekaguman, atau kesetiaan terhadap individu tertentu. Walaupun fokus kita
adalah pada individu di dalam organisasi, banyak contoh pemimpin politik, selebritis, dan
tokoh olahraga yang memiliki tingkatan referent power yang tinggi. Seperti Bung Karno,
Barack Obama, atau Nelson Mandela. Artis atau musisi seperti Iwan Fals, Agnes Monica,
Slank, juga memiliki tingkatan kekuasaan referent yang tinggi.
Hal yang sama berlaku pada para pemimpin di dalam organisasi yang memiliki
reputasi yang baik, kualitas pribadi yang atraktif, atau tingkatan kharisma tertentu.
Tokoh-tokoh media seperti Mochtar Lubis, pemimpin redaksi suratkabar Indonesia Raya
yang berprinsip teguh dalam memberitakan kasus-kasus korupsi, termasuk di antaranya.
Tentu saja, dimungkinkan bagi seseorang untuk memiliki seluruh bentuk kekuasaan itu
sekaligus pada waktu yang sama.
Dari sudut pandang bawahan atau pengikut, kadang-kadang sulit untuk meraba,
jenis kekuasaan mana yang paling penting. Seringkali kita tidak tahu persis apa jenis
kekuasaan yang dimiliki para pemimpin sampai mereka mengerahkan kekuasaan
tersebut.
Secara umum, bentuk-bentuk personal dari kekuasaan memiliki hubungan yang
lebih kuat terhadap komitmen organisasi dan kinerja pekerjaan dibandingkan bentuk-
bentuk kekuasaan yang bersifat organisasional. Jika kita membayangkan tentang atasan
kepada siapa karyawan mau bekerja paling keras, para atasan itu kemungkinan adalah
mereka yang memiliki sebentuk keterampilan atau kharisma, bukan sekadar kemampuan
untuk menghukum atau memberi imbalan.
Jakarta, 23 Desember 2013
Referensi:
Colquitt, Jason A., Jefferey A. LePine, & Michael J. Wesson. 2013. Organizational
Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. Third
Edition. New York: McGrfaw-Hill/Irwin.
Suzanne C. De Janasz, Karen O Dowd, Ph.D dan Beth Z.Schneider. 2012. Interpersonal
Skill in Organization. New York: McGraw-Hill.
John R. Schermerhorn, Et.al. 2012. Organizational Behavior, International Student
Version. Denvers: John Wiley & Sons.
McShane, Olekalns dan Travaglione. 2013. Organisational Behavior: Emerging
Knowledge, Global Insights. New York: McGraw-Hill.
Greenberg, Jerald, dan Robert A. Baron. 2000. Behavior in Organizations. Seventh
Edition. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
James L. Gibson et al. 2012. Organizations: Behavior, Structure, Processes. Fourteenth
Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc..
Robbins, Stephen P. & Timothy A. Judge. 2011. Organizational Behavior.14th
Edition.
Harlow: Pearson Education Limited.
12
DuBrin, Andrew J. 2010. Principles of Leadership. Sixth Edition. (South-Western:
Cencage Learning.
Achua, Christopher F., dan Robert N. Lussier. 2010. Effective Leadership. Fourth
Edition. Canada: South-Western Cencage Learning.
Wood, Jack, et al. 2013. Organisational Behavior. Core Concepts and Applications.
Milton: John Wiley and Sons Australia, Ltd.
Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994),
Sekjen AJI (1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-
88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret
2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior
Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan
Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.
Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: [email protected]; [email protected]
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061