KEPEMILIKAN DALAM ISLAM bagian 2
Transcript of KEPEMILIKAN DALAM ISLAM bagian 2
STANDAR KOMPETENSI
Memahami hukum Islam tentang kepemilikan
KOMPETENSI DASAR
Mengidentifikasi aturan Islam tentang kepemilikan
Menjelaskan ketentuan Islam tentang akad
Memperagakan aturan Islam tentang kepemilikan dan akad
BAB I
KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
A. Pengertian
Kepemilikan adalah hubungan manusia dengan harta yang ditentukan oleh syara
dalam bentuk perlakuan secara khusus terhadap harta tersebut yang memungkinkan untuk
mempergunakanya secara umum sampai ada larangan untuk mengguanakanya.
Konsep Dasar kepemilikan dalam islam ini terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 284 :
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu
atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang
dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS. Al-Baqarah : 284 )
Para Fuqaha (ahli fiqh) mendefinisikan kepemilikan sebagai ” kewenangan atas
sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan
keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan
alasan syariah”.
B. Faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki
a. Ikraj al mubahat, untuk harta yang mubah (belum dimiliki) oleh seseorang untuk
memiliki benda. Benda mubhat diperlukan dua syarat yaitu:
Benda mubhat belum diikhrazkan oleh orang lain. Contohnya: Seseorang
mengumpulkan air dalam suatu wadah, kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang
lain tidak berhak mengambil air tersebut sebab telah diikhrazkan orang lain.
Adanya niat (maksud) memiliki, maka seseorang mamperoleh harta mubhat tanpa
adanya niat, tidak termasuk ikhraz. Umpamanya seseorang pemburu meletakan
jaringnya di sawah, kemudian terjeratlah burung-burung, bila pemburu meletakan
jaringnya sekedar untuk mengeringkan jaringnya, ia tidak berhak memiliki burung-
burung tersebut.
b. Khalafiyah, yang di maksud dengan khalafiyah ialah,” Bertempatnya seseorang atau
sesuatu yang baru bertempat di tempat yang lama, yang telah hilang berbagai haknya”.
c.Tawallud min mamluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki, menjadi
hak bagi memiliki benda tersebut.
C. Klasifikasi kepemilikan
Milik yang di bahas fiqih muamalah secara garais besar dapat di bagi
menjjadi dua bagian yaitu:
Milik Tam, yaitu sesuatu pemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus,
artinya bentuk benda (zat benda) dan keguanaannya dapat di kuasai pemilikan tam biasa
di peroleh denagan banyak cara ,jual, beli.
Milik Naqisah , yaitu bila seseoarang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut,
memiliki benda tanpa manfaatnya atau memiliki manfaat (kegunaan) nya saja tanpa
memiliki zatnya.
Milik Naqisah yang berupa penguasaan terhadap zatnya barang (benda) di sebut
milik ragabah, sedang milik naqisah yang berupa penguasaannya terhadap
keguanaanya saja di sebut milik manfaat atau hak guna pakai.
BAB II
AKAD
1. Pengertian ‘Aqad
Menurur bahasa ‘Aqad mempunyai beberapa arti, antara lain.
a. Mengikat
Ialah mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain
sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda.
b. Sambungan
Ialah sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.
c. Janji, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran
Artinya :
Ya, siapa saja yang menepati janjinya dan takut kepada Allah, sesungguhnya
Allah mengasihi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Ali Imran :76)
Definisi akad menurut ulama syariah adalah ikatan `ijab dan`qabul yang
diselenggarakan menurut ketentuan syariah dimana terjadi konsekuensi hukum atas
sesuatu yang karenannya akad tersebut diselenggarakan.
Dari uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa kedudukan dan fungsi akad adalah
alat paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari
muamalah.
2. Rukun – rukun ‘Aqad
a.‘Aqid ialah orang yang berakad.
b. Ma’qud alaih ialah benda-benda yang diakadkan
c. Maudhu’al’aqad ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
d. Shighat al’aqd ialah ijab dan qabul.
3. Macam-macam ijab kabul
a. Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua ‘aqid berjauhan tempatnya.
b. Isyarat, bagi oarang-oarang tertentu akad atau ijab dan kabul tidak dapat
dilakasanakan dengan ucapan atau tulisan,
4. Macam –macam ‘Aqad
a. ‘aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya
akad.
b. ‘aqad Mu’alaq ialah yang di dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat yang
telah ditentukan dalam akad.
c. ‘aqad mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat
mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaanya
hingga waktu yang ditentukan.
STANDAR KOMPETENSI
Memahami konsep perekonomian dalam Islam dan hikmahnya
KOMPETENSI DASAR
Menjelaskan aturan Islam tentang jual beli dan hikmahnya
Menjelaskan aturan Islam tentang khiyaar
Menjelaskan aturan Islam tentang syirkah dan hikmahnya
Menjelaskan aturan Islam tentang muraabahah, mudhaarabah, dan salam
Menerapkan cara jual beli, khiyaar, musaaqah, muzaara’ah, mukhaabarah,
syirkah, muraabahah, mudhaarabah, dan salam
BAB I
Perdagangan (Jual Beli)
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al-bai ‘yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-ba’ dalam bahasa
Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira’ (beli).
Dengan demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga beli.
Allah berfirman dalam surat Al – Baqarah : 275
Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al –
Baqarah : 275)
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan ulama
fiqih. Walaupun pada dasarnya subtansi dan tujuan masing-masing definisi sama.
a. Ulama Hanafiyah mendefinisikan :
Jual beli ialah saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu, ulama
Hanafiyah lebih mengkhususkan cara jual beli dengan melalui ijab dan Kabul.
b. Malikiyah ,Syafi’iyah, dan Hanabilah mendefinisikan:
Jual beli ialah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik
dan pemilikan.
Dari beberapa definisi dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah sesuatu perjanjian tukar
menukar benda atau barang yang mempunnyai nilai secara sukarela diantara kedua belah
pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
2. Hukum jual beli
a. Mubah (boleh), merupakan asala hokum jual beli.
b. Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa.
c. Haram, sebagaimana yang telah diterangkan dalam Al- Quran.
d. Sunat, misalnya jual beli kepada sahabat atau keluarga yang dikasihi, dan kepada
orang yang sangat membutuhkan barang tersebut.
3. Uang dan benda yang dibeli
Syaratnya yaitu :
a. Suci.
b. Ada manfaatnya.
c. Barang itu dapat diserahkan.
d. Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual,kepunyaan yang diwakilinya,
atau yang mengushakan.
e. Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli (zat, bentuk, kadar, dan
sifat – sifatnya.
4. Syarat-Syarat Jual Beli
Dalam jual beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya akad (in’iqad),
syarat syahnya akad., syarat terlaksananya akad (nafadz),dan syarat lujum.
Jika jual beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal. Jika tidak
memenuhi syarat sah, menurut ulama Hanafiyah, akad tersebut fasid. Jika tidak memenuhi
syarat nafadz, akad tersebut mauquf yang cenderung boleh, bahkan menurut ulama
Malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak memenuhi syarat lujum, akad tersebut
mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar untuk menetapkan maupun membatalkan.
a. Menurut ulama Hanafiyah
Persyaratan yang ditetapakan oleh ulama Hanafiyah berkaiatan dengan syarat jual beli
adalah:
1. Syarat terjadinya akad (in’iqad)
Adalah syarat -syarat yang telah ditetapakan syara’. Jika persyaratan ini tidak
terpenuhi, jual beli batal. Ulama Hanafiyah menetapakan empat syarat, yaitu:
a. Syarat Aqid (orang yang akad)
b. Syarat dalam Akad
c. Tempat Akad
d. Ma’qud ‘alaih (Objek Akad)
2. Syarat pelaksanaan Akad (Nafadz
1. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad
2. Pada benda tidak terdapat milik orang lain
3. Syarat sah Akad
Syarat ini terbagi atas dua bagian, yaituumum dan khusus
a. Syarat umum
Adalah syarat syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang telah
ditetapkan syara’
b. Syarat Khusus
Adalah syarat yang hanya ada pada barang-barang tertentu.
4. Syarat Lujum (kemestian)
Syarat ini hanya ada satu, yaitu akad jual beli harus terlepas atau terbebas dari khiyar
(pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan akan menyebabkan
batalnya akad.
3. Jual Beli Yang Di Larang Dalam Islam
A. Terlarang sebab Ahliah (Ahli Akad)
Jual beli orang gila
Jual beli anak kecil
Jual beli orang buta
Jual beli fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizing pemiliknya,
Jual beli malja’
Jual beli melja adalah jual beli yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar
dari perbuatan zalim.
B. Terlarang sebab shighat
Jual beli mu’athah
Jual beli mu’athah adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak aqad, berkenaan
dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab –qabul.
Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Disepakati aqad dengan isyarat dan tulisan khususnya bagi yang uzur sebab sama
dengan ucapan.
Jual beli barang yang tidak ada ditempat aqad
Jual beli barang tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Jual beli munjiz
Jual beli munjiz adalah berkaitan dengan sesuatu syarat atau ditangguhkan pada
waktu yang akan datang. Jual beli ini, dipandang fasid menurut ulama Hanafiyah,
dan batal menurut jumhur ulama.
C. Terlarang sebaba Ma’qud Alaih (barang jualan)
Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jaul beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran.
Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis.
D. Terlarang sebab syara’
Jual beli riba
Jual beli waktu azan jum’at
Jual beli anggur untuk dijadiakn khamar
Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain.
4. Posisi Barter menurut prespektif Islam
Pada dasarnya barter merupakan jual beli yang batil, diantara jual beli yang batil
ialah jual beli yang mengandung unsur penipuan.yang termasuk kategori sebagai jual
beli yang mengandung unsur tipuan adalah jual beli Al-muza’banah (berter yang diduga
keras tidak sebanding ), misalnya memperjualbelikan anggur yang masih dipohonnya
dengan dua kilo cengkeh yang sudah kering, karena dikhawatirkan antara yang dijual
dan yang dibeli tidak sebanding. Hali ini dijumpai dalam sabda Rasullulah saw:
Rasullulah saw. Melarang jual beli Al-muza’banah.(HR.al-Bukhari dan Muslim)
BAB II
KHIYAR
a. Penertian Khiyar
Khiyar dalam jual beli adalah membolehkan memilih , meneruskan jual beli
atau membatalkannya.diadakanya khiyar dalam syara adalah bertujuan agar kedua
orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing – masing lebih jauh,
supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.
b. Macam-macam Khiyar
1. Khiyar Majelis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan
melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam
satu tempat (majelis), khiyar majelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli.
Sabda Rasulullah Saw.:
ن – لشيخا رواها ق ا ف ر� ت ي م� ل م ا ر� ا ي �خ� ل �ا ب ن� �ع ا ي �ب ل ا
“dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka
atau tidak) seelama keduanya belum bercerai dari tempat akad”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Khiyar Ta’yin, yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang
berbeda kualitas dalam jual beli. Contohnya dalam pembelian keramik ada yang
berkualitas super dan berkualitas sedang.
3. Khiyar Syarat, yaitu hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad
atau keduannya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual
beli, selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan. Misalnya pembeli
berkata “ saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih
meneruskan aqad atau membatalkannya selama I minggu.
4. Khiyar ‘Aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi
kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada objek yang
diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemilik ketika aqad berlangsung.
5. Khiyar Ru’yah, yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal
jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika aqad
berlangsung.
BAB IIIAL-MUSAQAH
1. Pengertian
Secara etimologi, al-musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk medinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara terminologis fiqh, al-musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqih dengan:
“penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”.
Ulama syafi’iyah mendefinisikan dengan:
“mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan petani penggarap”.
Dengan demikian akad al-musaqah adalah srebuah bentukkerjasama pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
ط� ر� �ش ب ر �ب ي خ ه�ل ا م ل ع ا �م ل س و �ه� ي ل ع� الله# ص ل�ى �ي� �ب الن ن� ا ع#م ر �ن� اب ع ن� — مسلم ه روا ع, ر� ز و�
أ م ر, ث م�ن� �ه ا م�ن ج# خ�ر# ي م ا
dari ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian. Mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah – buahan ataupun hasil pertahun (palawija)” (H.R.Muslim)
2. Hukum akad al-masaqah
Dalam menentukan keabsahan akad al-musaqah dari segi syara’, terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Imam abu hanifah dan zufar ibn huzail berpendirian bahwa bahwa akad al-musaqah dengan ketentuan petani penggarap mendapatkan sebagaian hasil kerjasama ini adala tidak sah, karena al-musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang denga timbalan sebagai hasil yang akan dipanen dari kebun itu. Hal ini menurutkan mereka termauk ke dalam larangan Rasul saw. dalam sabdanya yang berbunyi:
“siapa yang memiliki sebidang tanah, hendaklah ia jadikan dan oleh sebagai tanah
pertanian dan jangan diupahkan dengan imbalan sepertiga atau sperempat (dari hasil
yang akan dipanen) da jangan pula dengan imbalan sejumlah makanan tertntu. (HR al-
bukhari dan Muslim dari Rafi’I kudaij).
3. Rukun dan syarat-syarat al-musaqah
Ulama hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad al-musaqah adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.
Sedangkan jumhur ulama yang terdidri atas ulama malikiyah, syafi’iyah, dan hanabila
berpendirian bahwa transaksi al-musaqah harus memenuhi lima rukun, yaitu:
a. Dua orang/pihak yang melakukan transaksib. Tanah yang dijadikan obyek al-musaqahc. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarapd. Ketentua mengenai pembagian hasil al-musaqahe. Shigat (ungkapan) ijab dan qabul
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah:
a. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-musqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil balig) dan berakal
b. Obyek al-musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah. c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung
untk digarapi, tanpa campur tangan pemilik tanah.d. Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai
dengan kesepakatan yang mereka buet, baik dibagi dua tiga dan sbagainya.e. Lamanya perjanjia itu harus jelas, karena transaksi itu hamper sama dengan transaksi
sewa menyewa, agar terhindar dari ketakpastian.
4. Hukum-hukum yang terkait dengan al-musaqah
Akad al-musaqah, menurut para ulama fiqh adakalanya sahih, jika jika memenuhi rukun dan syaratnya, dan adakalanya juga fasid yaitu apabila salah satu syarat dari akd al-musaqah tidak terpenuhi.
Adapn hukum-hukum yang berkaitan dengan akad al-muaqah yang sahih adalah:
a. Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman, pengaira kebun, dan segala yang dibutuhkan untuk kebaikan tanaman itu, merupakan tanggung jawab petani penggarap.
b. Seluhur hasil panen dari tanaman itu menjadi milik kedua belah pihak (pemilik dan petani)
c. Jika kebun itu tidak menghasilkan apapun (gagal panen), maka masing-masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
d. Petani menggarap tiak boleh melakukan akad al-musaqah lain dengan pihak tiga, kecuali atas izinan dari pemilik perkebunan (pihak pertama).
Jika akad al-muasaqh fasid, maka akibat hukumnya adalah:
a. Petani penggarap tidak boleh dipaksa untuk bekerja dikebun itu;b. Hasil panen seluruhnya menjadi milik pemilik kebun, sedangkan petani penggarap
tidak menerima apapun dari hasil kebun itu, tetapi ia hanya berhak upah yang wajar yang berlaku di daerah itu.
5. Berakhirnya akad al-musaqah
Akad al-musaqah berakhir, menurut para ulama fiqh berakhir apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habisb. Salah satu oihak meninggal duniac. Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
BAB IVMUZARA’AH DAN MUKHABARAH
1. Pengertian.Secara etimologi, muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertain antara pemilik tanah
dengan petani penggarap.
Definisi umum muzara`ah sendiri yaitu paroan sawah atau lading, seperdua, sepertiga,
atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dar petani (orang yang menggarap). Sedangkan
pengertian mukhabarah adalah paroan sawah atau kebun , seperdua, sepertiga, atau lebih atau
kurang, sedangkan benihnya dari yang punya tanah.
Namun, dalam terminology fiqh terdapat beberapa definisi muzara’ah yang dikemukakan
ulama fiqh.
Ulama malikiyah mendefinisikannya dengan:
“Perserikatan dalam pertanian”.
Menurut ulama hanabilah al-muzara’ah adalah:
“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi
berdua”.
Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “paroan sawah” penduduk irak
menyebutkan “al-mukhabarah”, tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam berasal
dari pemilik tanah.
Dalam mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedang dalam
muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
2. Hukum akad al-muzara’ahDalam membahas hukum al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam abu
hanifa (80-150 H/699-767) dan zufar ibnu huzail (728-774 M), pakar fiqih hanafi,
berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah
dengan bagi hasil, seperti seperempat dan seperdua, hukumnya batal.
Alasan imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadits berikut:
Rafi` bin Khadij berkata, “diantara anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah
kami, maka kami persewakan, sebagaian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang
mengerjakannya. Kadang – kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak
berhasil. Oleh karena itu, Rasulallah Saw. Melarang paroan dengan cara demikian.”
(HR.Bukhari)
Al-mukhabarah dalam sabda rasulullah itu adalah al-muzara’ah sekalipun dalam
mukhabarah bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
3. Rukun al-muzara’ahJumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan syarat
yang harus dipenuhi, sehingga akad di anggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut mereka
adalah:
a. Pemilik tanah
b. Petani penggarap
c. Obyek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani,
d. Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul (pernyataan menerima tanah untuk digarap dari petani.
Contoh ijab qabul itu adalah ; “saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada engkau
untuk digarap, dan hasilnya kita bagi berdua”. Kemudian petani penggarap menjawb: saya
terima tanah pertanian ini untuk digarap dengan Imbalan hasilnya dibagi dua”. Jika hal ini
terlaksana, maka akad itu telah sah dan mengikat.
4. Syarat-syarat al-muzara’ahadapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut orang
yang berakad, benih yang akan ditanam, tanah yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan
yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.
Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang tela
balig dan berakal, karena kedua syarat inilah yang membuat seseorang dianggap telah cakap
bertindak hukum.
Aka tetapi, abu yusuf dan Muhammad ibn al hasan asy syaibani tidak menyetujui syarat
tambahan ini, karena, menurut mereka, akad al-muzara’ah boleh dilakukan antara muslim
dan non islam; termasuk orang murtad.
Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan
kebiasaan tanah itu benih yang ditanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan syarat
yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a. Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan dijadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengelola pertanian itu, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:
a. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas;
b. Hasil iu benar-benar milik bersama orang yang berfakad, tanpa ada boleh pengkhususan;
c. Pembagian hasil panen yaitu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, seahingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk pekerja, atau stu kurang; karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
Abu yusuf dan Muhammad ibn al-hasan asy-syaibani menyatakan bahwa dilihat dari segi
sah atau tidaknya akad al-muzara’ah, maka ada empat bentuk al-muzara’ah, yaitu:
a. Apabila tanah dan bibit dari pemiliktanah, kergja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka hukum nya sah.
b. Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah manfaat tanah, maka akad al-muzara’ah juga sah.
c. Apabila tanah, alat dan bibit dari pemilik tanah dan kerja petani, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka akad al-muzara’ah juga sah
d. Apabila tanah pertanian da alat disediakan pemilik tanah dan bibit beserta kerja dari petani, maka akad ini tidak sah.
5. Akibat akad al-muzara’ah
Menurut jumhur ulama ynag membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:
a. Petani bertanggung jawa mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian itu.
b. Biaya pertanian, seperti pupuk biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanah sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.
c. Hasil panen di bagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
6. Berakhirnya akad al-muzara’ah
Para ulama fiqh yang membolehkan akad al-muzara’ah mengatakan bahwa akad ini akan berakhir apabila:
a. Jangka waktu yang disepakati berakhir.b. Adanya uzur salah satu pihak. Uzur yang dimaksud antara lain adalah:Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual, karena tidak ada
harta lain yang dapat melunasi utang itu.
Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu perjalanan ke luar kota,
sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.
BAB V
Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il
mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau
serikat). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah.
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), yang dijelaskan oleh An-Nabhani syirkah
berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi
dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya, Adapun menurut makna syariat, syirkah
adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha
dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah)
melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan
(amal) dan/atau modal (mâl)
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan
melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2. Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak
bersama di antara para syarîk (mitra usaha)
Macam-Macam Syirkah
1. syirkah inân; adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh
berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat
2. syirkah abdan; adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi
kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun
kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan
sebagainya)
3. syirkah mudhârabah; adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan,
satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan
konstribusi modal. Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah
menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam
tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan
oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola
modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam
mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak
menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya
4. syirkah wujûh: Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan,
atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah
antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja
(‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl).
Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini
hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-
ketentuan syirkah mudhârabah padanya. Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang
dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan.
5. syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan
semua jenis syirkah di atas. yirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-
Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri,
maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya Keuntungan yang
diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai
dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal
(jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah
mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang
dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
BAB VII
MUDHARABAH ATAU QIRADH
A. Pengertian
Menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan), berjalan,
dan atau bepergian..
Menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:
1. Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling
menanggung, salah satau pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk
diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan.
2. Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua belah pihak yang
berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada
yang lain dan yang lain punya jasa menelola harta itu.
3. Menurut Malikiyah, mudharabah adalah akad perwakilan, di mana pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan (mas atau perak).
4. Menurut Syafi’iyah, mudharabah adalah akad yang menentukan seseorang
menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.
Dengan demikan dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ulama mengenai
pengertian mudharabah diatas, kiranya dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah
akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa
keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.
B. Dasar Hukum Mudharabah
Melakukan mudharabah atau qiardh adalah boleh (mubah) dasar hukumnya ialah sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaibi r.a. Rasulullah saw bersabda:
‘Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur
gandum dengan jelai untuk keluarga, buukan untuk di jual”
C. Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:
1. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya;
2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang;
3. Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang;
4. Mal, yaitu harta pokok atau modal;
5. Amal, yaitu pekerjaan pengelola harta sehingga menghasilkan laba;
6. Keuntungan.
D. Kedudukan Mudharabah
Ketika harta ditasharrufkan oleh pengelola, harta tersebut berada dibawah kekuasaan
pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya , sehingga harta tersebut berkedudukan
sebagai amanat (titipan). Apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak
wajib menggantinya. Bila kerusakan timbul karena kelalaian pengelola, ia wajib
menggantinya.
E. Biaya Pengelolaan Mudharabah
Pada dasarnya biaya pengelolaan mudharabah dibebankan kepada pengelola modal, namun tidak masalah biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan.
F. Tindakan Setelah Matinya Pemilik Modal
Jika pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh. Bila mudharabah telah fasikh pengelola modal tidak berhak menggunakan modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin para ahli warisnya, maka perbuatan seperti itu dianggap sebagai ghasab. Ia wajib mengembalikannya, kemudian jika modal itu menguntungkan, keuntungannya dibagi dua.
Jika mudharabah telah fasakh (batal), sedangkan modal berbentuk ‘urud (barang dagangan),
pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya karena yang demikian itu
adalah hak berdua.
G. Pembatalan Mudharabah
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:
1. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
2. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau
pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal