KEMENTERIAN KEUANGAN DAN · 2019. 11. 26. · Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 1...
Transcript of KEMENTERIAN KEUANGAN DAN · 2019. 11. 26. · Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 1...
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 1
DAN 18 s.d. 24 November 2019
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
I. Pasar Global
Pasar Saham. Bursa saham Wall Street pada perdagangan pekan lalu
ditutup melemah, dengan indeks Dow Jones turun 129,27 poin atau 0,46
persen ke level 27.875,62, indeks S&P 500 melemah 10,17 poin atau 0,33 persen
ke level 3.110,29, sedangkan indeks Nasdaq pada minggu lalu melemah 20,94
poin atau 0,25 persen ke level 8.519,89. Pergerakan bursa saham Wall Street
pada pekan lalu utamanya dipengaruhi oleh perkembangan perundingan
dagang AS dan Tiongkok, dan kinerja emiten di bursa saham AS.
Pasang surut hubungan dagang antara AS dan Tiongkok pada pekan lalu turut
mempengaruhi pergerakan bursa saham AS. Pada awal pekan, perselisihan
antara kedua negara kembali memanas setelah Presiden AS, Donald Trump,
mengancam akan menaikkan tarif barang impor dari Tiongkok jika kesepakatan
dagang antar kedua negara tak kunjung terealisasi. Pernyataan ini disambut
tegas oleh Tiongkok yang menyatakan tak segan untuk melakukan balasan
serupa apabila AS kembali menaikkan tarif impor. Selain itu, hubungan kedua
negara juga memanas setelah AS mengesahkan undang-undang yang
mendukung penegakan HAM dan demokrasi di Hong Kong. Namun, suasana
kembali sedikit cair setelah Pemerintah AS memperpanjang pemberian izin
usaha Huawei di AS setelah sebelumnya pada bulan Mei perusahaan tersebut
masuk daftar hitam Pemerintah AS.
Menjelang akhir pekan, investor kembali dibuat tenang setelah ada kabar bahwa
Pemerintah Tiongkok mengundang negosiator dagang AS datang ke Beijing
untuk melakukan perundingan lanjutan. Kabar tersebut diperkuat dengan
pernyataan Presiden Trump yang menyatakan bahwa kesepakatan kedua
negara berpotensi sangat dekat. Pernyataan tersebut direspon positif Presiden
Tiongkok, Xi Jinping, bahwa Tiongkok sedang menyusun perjanjian awal
perdagangan. Para investor memandang optimis bahwa kesepakatan dagang
kedua negara mungkin akan segera tercapai menyusul pernyataan kedua
pemimpin negara tersebut.
Indikator 22 November
2019
Perubahan (%)
WoW YoY Ytd
T1 ---- Nilai Tukar/USD ---- Euro 0.91 (0.28) (3.48) (4.04) Yen 108.66 0.13 3.80 0.94
GBP 0.78 (0.54) (0.33) 0.60 Real 4.20 (0.16) (10.30) (8.30)
Rubel 63.86 (0.16) 2.71 8.40 Rupiah 14,093.00 (0.11) 3.34 2.06 Rupee 71.72 0.10 (1.44) (2.79) Yuan 7.04 (0.43) (1.53) (2.32) KRW 1,178.95
1,178.95
1,178.95
1,178.95
(1.05) (4.42) (5.65) SGD 1.36 (0.27) 0.65 (0.10)
Ringgit 4.17 (0.45) 0.60 (0.91) Baht 30.19
30.19 0.09 8.49 7.24
Peso 50.80 (0.31) 3.09 3.39 T2 ----- Pasar Modal ------
DJIA 27,875.62 (0.46) 7.14 19.50 S&P500 3,110.29 (0.33) 11.16 24.07
FTSE 100 7,326.81 0.33 (4.86) 8.90 DAX 13,163.88 (0.59) (0.89) 24.67
KOSPI 2,101.96 (2.79) (16.45) 2.98 Brazil IBrX 867.56 0.21 (11.05) (0.54)
Nikkei 23,112.88 (0.82) (2.74) 15.48 SENSEX 40,359.41 0.01 14.46 11.90
JCI 6,100.24 (0.46) (5.75) (1.52) Hangseng 26,595.08 1.02 (17.21) 2.90 Shanghai 2,885.29 (0.21) (16.96) 15.69
STI 3,225.65 (0.41) (8.40) 5.11 FTSE KLCI 1,596.84 0.13 (12.34) (5.54)
SET 1,597.72 (0.28) (12.18) 2.16 PSEi 7,824.59 (1.37) (11.29) 4.80
T3 ------ Surat Berharga Negara ------ Yield 5 th, (FR 77) 6,49 3 n/a (140) Yield 10 th, (FR78) 7,06 7 n/a (90)
T4 ------ Komoditas ------ Brent Oil 63.39 0.14 1.78 14.73
CPO 2,642.00 3.20 7.18 31.84 Gold 1,461.93 (0.43) 10.17 13.99 Coal 67.90 1.12 (36.39) (33.46)
Nickel 14,635.00 (2.27) 17.36 36.90 T5 ------ Rilis Data ------
Building Permits AS Okt: 1,461 jt Sep: 1,391 jt Interest Rate Tiongkok Nov : 4,15 Okt : 4,20
Existing home sales AS Okt : 5,46 jt Nov : 5,36 jt GDP Jerman Q3 : 0,1 yoy Q2 : -0,2
Manufacturing PMI Jerman Nov : 43,8 Okt : 42,1 Inggris Nov : 48,3 Okt : 49,6
Service PMI Inggris Nov : 48,6 Okt : 50,0
Highlight Minggu Ini
Bursa saham Wall Street ditutup melemah pekan lalu dipengaruhi oleh masih tingginya ketidakpastian penyelesaian perundingan dagang AS - Tiongkok serta rilis laporan keuangan Q3 2019 beberapa emiten yang menunjukkan penurunan kinerja.
Indeks dolar AS tercatat menguat sebesar 0,28 persen pekan lalu ke level 98,27 sementara yield US Treasury tenor 10 tahun turun sekitar 6 bps ke level 1,77 persen dalam sepekan ditengah ketidakpastian kesepakatan perdagangan tahap pertama AS – Tiongkok serta membaiknya kinerja sektor manufaktur dan jasa AS pada bulan November 2019.
Dari pasar komoditas, harga minyak mentah jenis Brent kontrak berjangka terpantau menguat 0,14 persen dalam sepekan ke level US$63,39 per barel terutama didukung oleh sinyal pemangkasan produksi minyak oleh Rusia dan berlanjutnya kebijakan pemangkasan produksi oleh OPEC+ hingga pertengahan tahun 2020 serta penurunan cadangan minyak AS.
Dari pasar keuangan domestik, IHSG melemah sebesar 0,46 persen secara mingguan ke level 6.100,24 dengan investor nonresiden mencatatkan jual bersih Rp556,40 miliar dalam sepekan, imbal hasil SBN seri benchmark naik 3-7 bps pekan lalu, sementara nilai tukar rupiah melemah 0,11 persen terhadap dolar AS di level Rp14.093.
Bank Indonesia menahan suku bunga acuan di level 5 persen namun melonggarkan GWM dengan penurunan sebesar 50 bps. Langkah BI tersebut dapat dilihat sebagai upaya BI untuk seimbang dalam menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sekaligus tetap memberikan dukungan
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Gambar 1. Pasar Saham Global
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 2
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
tidak memberikan penjelasan yang memadai
Gambar 4. Slope US Yield curve dan Resesi
Gambar 2. Yield treasury AS tenor 10 tahun turun 6 bps
ke level 1,77 pada hari Jumat (22/11)
Namun demikian, sentimen negatif dari rilis kinerja keuangan emiten
memberikan tekanan terhadap pasar saham AS. Beberapa emiten lain
mengalami penurunan kinerja yang menekan Wall Street. Home Depot
mengalami penurunan penjualan di Q3-2019, disusul oleh Intel Corp yang
terkena dampak perang dagang. Begitupun dengan Kohl’s Corp, perusahaan
ritel, yang memangkas perkiraan laba tahunan setelah adanya penurunan
kinerja triwulanan. Sentimen positif datang dari kinerja positif Boeing yang
mendapatkan pesanan 50 unit 737 Max di pergelaran Dubai Air Show.
Dari kawasan Eropa, bursa saham FTSE 100 Inggris ditutup menguat
secara mingguan sedangkan bursa saham DAX Jerman justru melemah
dalam sepekan. Dari Jerman, rilis data perekonomian menunjukkan angka
yang menggembirakan. Sentimen positif dari rilis data PDB Q3 2019 Jerman
yang tumbuh sebesar 0,1 persen atau di atas pertumbuhan triwulan
sebelumnya tidak mampu mengangkat DAX. Pekan lalu Jerman juga merilis
data Manufacturing PMI bulan November yang sebesar 43,8. Angka tersebut di
atas perkiraan para analis yang sebesar 42,9 dan realisasi bulan Oktober yang
sebesar 42,1. Kabar positif tersebut membuat kekhawatiran sejumlah analis
akan terjadinya resesi ekonomi di Jerman mereda.
Dari sisi emiten, bursa saham Jerman pada pekan lalu diwarnai oleh positifnya
kinerja saham perusahaan pembuat mesin pesawat terbang, MTU Aero, yang
harga sahamnya sempat naik hingga 2,57 persen pada perdagangan. Emiten
blue chips lain yang mencatat kenaikan harga saham adalah maskapai
penerbangan Lufthansa dan perusahaan pos Deutsche Post yang masing-
masing meningkat sebesar 1,4 dan 0,9 persen.
Berbanding terbalik dengan bursa saham Jerman, bursa saham FTSE 100 Inggris
pada pekan lalu menguat sebesar 0,33 persen ke level 7.326,81. Penguatan
tersebut utamanya didorong oleh melonjaknya beberapa saham emiten papan
atas seperti Halma, Intertek Group, dan NMC Health. Pada pekan lalu, harga
saham perusahaan teknologi Halma sempat menguat sebesar 8,45 persen.
Selain Halma, emiten lain yang mendorong penguatan bursa saham Inggris
adalah Intertek Group dan NMC Health yang masing-masing harga sahamnya
menguat sebesar 3,69 persen dan 3,59 persen dalam sepekan.
Dari kawasan Asia, bursa saham di negara-negara utama bergerak
bervariasi dengan kecenderungan melemah. Pernyataan Presiden AS dan
Tiongkok yang menyebutkan bahwa kesepakan dagang kedua negara sudah
sangat dekat tidak mampu mengangkat bursa saham di kawasan Asia. Tercatat
bursa saham Indonesia, Shanghai Tiongkok, Nikkei Jepang, STI Singapura, SET
Thailand dan PSEi Filipina mencatatkan pelemahan secara mingguan. Dari
Hong Kong, kabar pengesahan undang-undang di AS yang mendukung
penegakan HAM dan demokrasi di Hong Kong membuat bursa saham
Hangseng menguat sebesar 1,02 persen ke level 26.595,08. Selain isu perang
dagang dan perkembangan unjuk rasa di Hong Kong, pergerakan bursa saham
di kawasan juga dipengaruhi oleh kinerja emiten pada Q3 2019 di masing-
masing bursa dan isu-isu domestik di masing-masing negara.
Pasar Uang. Indeks dolar AS naik ke level 98,27 pada akhir perdagangan
pekan lalu (22/11) atau menguat sebesar 0,28 persen dalam sepekan
terhadap enam mata uang utama dunia dari posisi 98,00 pada akhir pekan
sebelumnya (15/11). Menguatnya dolar AS didorong oleh data aktivitas
manufaktur dan jasa AS yang membaik pada bulan November sebagai sinyal
pulihnya aktivitas perekonomian AS. Indeks PMI manufaktur AS dilaporkan naik
ke level 52,2 pada November 2019 dari bulan sebelumnya sebesar 51,3.
Sementara itu, indeks PMI untuk sektor jasa juga mengalami kenaikan dari level
50,6 pada Oktober 2019 menjadi 51,6 di November 2019. Sentimen positif
lainnya datang dari kelanjutan perdagangan AS-Tiongkok dimana presiden dari
kedua negara tersebut sama-sama memberikan komentar bernada optimistis
akan tercapainya kesepakatan. The Wall Street Journal melaporkan bahwa
Tiongkok telah mengundang para petinggi bidang perdagangan AS termasuk
Wakil Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin
ke Beijing untuk membahas putaran baru perundingan secara langsung. Di sisi
lain, Greenback menguat di tengah melemahnya mata uang Poundsterling
Inggris setelah data PMI manufaktur dan Jasa menunjukkan aktivitas bisnis
Gambar 3. The Fed diprediksi tidak akan memangkas
suku bunga hingga akhir tahun
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 3
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
Gambar 6. Harga hard commodities: tembaga, minyak
WTI, dan minyak Brent menguat, sementara emas dan
nikel melemah secara mingguan
Gambar 5. Harga minyak mentah Brent, minyak WTI,
dan harga acuan batubara ICE Newcastle menguat
secara mingguan
Inggris mengalami penurunan paling dalam sejak pertengahan 2016 atau
masing-masing berada pada level 48,3 dan 48,6.
Pasar Obligasi. Yield US Treasury tenor 10 tahun pada akhir pekan lalu
(22/11) ditutup di level 1,77 persen atau turun sekitar 6 bps dibandingkan
penutupan pekan sebelumnya. Kekhawatiran terhadap kemungkinan tidak
tercapainya kesepakatan perdagangan tahap pertama antara AS dan Tiongkok
pada tahun ini mendorong peningkatan permintaan US Treasury. Dikutip dari
Reuters dari sumber yang dekat dengan Gedung Putih, negosiasi perdagangan
mungkin akan meluas hingga tahun depan seiring tekanan dari pihak Tiongkok
terhadap AS untuk melakukan penurunan tarif secara luas sementara pihak AS
juga mempunyai permintaan terhadap Tiongkok. Ketidakpastian perselisihan
perdagangan masih tinggi jelang berlakunya tarif bea masuk baru yang
dikenakan oleh AS atas US$156 miliar produk Tiongkok, termasuk diantaranya
barang-barang yang biasa menjadi hadiah seperti alat elektronik dan dekorasi
Natal. Pada hari Jumat (22/11) Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa
potensi kesepakatan perdagangan AS dan Tiongkok sudah sangat dekat.
Namun demikian, penurunan imbal hasil US Treasury lebih lanjut tertahan oleh
peningkatan kinerja sektor manufaktur dan jasa AS. Indikator US Markit
Manufacturing PMI untuk bulan November berada di level 52,2 atau naik dari
51,2 pada Oktober sekaligus merupakan level tertinggi sejak April. Sementara
itu, US Markit Services PMI naik ke level 51,6 dibandingkan 50,6 pada bulan
Oktober. Kenaikan indeks Manufacturing PMI didukung oleh kenaikan pesanan
baru yang terjadi sepanjang November sementara kenaikan indeks Services PMI
lebih didukung oleh banyaknya pembukaan bisnis baru pada bulan November.
Pasar Komoditas. Harga minyak Brent kontrak berjangka acuan global
pekan lalu masih melanjutkan penguatan yang terjadi pada dua pekan
sebelumnya. Pada penutupan hari Jumat (22/11), harga minyak Brent kontrak
berjangka acuan global tercatat di level US$63,39 per barel atau naik tipis 0,14
persen dalam sepekan dari posisi US$63,30 per barel pada Jumat (15/11). Harga
minyak berfluktuasi pekan lalu dengan kecenderungan melemah di awal pekan
seiring dengan pesimisme penyelesaian perang dagang antara AS dan Tiongkok
namun sedikit rebound jelang akhir pekan terutama didukung oleh sinyal
pemangkasan produksi oleh Rusia. Pekan lalu, Presiden Tiongkok Xi Jinping
menyatakan bahwa pihaknya ingin membuat kesepakatan perdagangan dengan
AS dan berusaha menghindari perang dagang, namun juga siap untuk
melakukan pembalasan terhadap aksi AS. Dikutip dari Reuters, pihak Tiongkok
mengundang negosiator perdagangan AS untuk melakukan perundangan
perdagangan di Beijing dalam rangka mencapai kesepakatan terbatas. Di sisi
lain, OPEC dan sekutunya Rusia dikabarkan akan memperpanjang kebijakan
pemangkasan produksi minyak selama tiga bulan hingga pertengahan 2020
setelah kebijakan yang tengah ditempuh saat ini akan berakhir pada Maret 2020.
Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa Rusia akan melanjutkan
kerjasama pemangkasan produksi dengan negara-negara OPEC. OPEC dan
sekutunya akan menggelar pertemuan di Wina, Austria pada 5-6 Desember
mendatang untuk membicarakan kebijakan produksi ke depan.
Dari sisi pasokan, menyusutnya cadangan minyak AS sebagaimana diumumkan
oleh Energy Information Administration (EIA) turut memberikan dukungan
untuk kenaikan harga minyak. Untuk pekan yang berakhir pada 15 November
2019, cadangan minyak AS di Cushing, Oklahoma turun 2,3 juta barel sekaligus
merupakan menurunan mingguan terbesar dalam tiga bulan terakhir. Selain itu,
jumlah rig minyak dan gas AS pekan lalu kembali turun untuk ketiga belas
kalinya dalam 14 pekan terakhir ke level 803 atau turun 3 unit dibandingkan
pekan lalu atau turun sebanyak 276 unit dibandingkan periode yang sama tahun
lalu. Khusus untuk rig minyak yang aktif turun sebanyak 3 unit ke level 671 pada
pekan yang berakhir Jumat (22/11) dibandingkan pekan sebelumnya.
Penurunan rig minyak AS yang terus terjadi membentuk ekspektasi bahwa
produksi minyak mentah AS akan terus turun sekaligus mematahkan proyeksi
bahwa produksi minyak AS akan tetap meningkat meskipun harga minyak di
level rendah seperti sekarang ini.
Harga komoditas batubara pekan lalu masih melanjutkan penguatan
secara mingguan yang terjadi pada pekan sebelumnya. Harga batubara ICE Newcastle pada pekan lalu ditutup menguat 1,12 persen ke level US$67,90 per
Gambar 7. Harga soft commodities: selain harga kedelai
dan kakao, harga soft commodities menguat secara
mingguan
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 4
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
metriks ton dibandingkan dengan penutupan pekan sebelumnya di level
US$67,15. Secara umum harga batubara masih mengalami pelemahan sebesar
33,46 persen secara ytd. Penguatan harga batubara terutama dipicu oleh faktor
musiman tibanya musim dingin di belahan bumi bagian utara yang
mendongkrak kebutuhan energi listrik untuk pemanas ruangan maupun
pemanas air. Namun demikian, fundamental permintaan batubara global tetap
lebih lemah setelah Tiongkok kembali menghentikan impor batubara karena
telah melebihi jumlah yang ditargetkan. Impor batubara Tiongkok pada periode
Januari-Oktober 2019 mencapai 276,24 juta ton atau naik 9,6 persen dibanding
periode yang sama tahun lalu. Apabila dibandingkan dengan total impor batu
bara Tiongkok sepanjang tahun 2018 yang mencapai 281,23 juta ton, impor
dalam 10 bulan tahun 2019 hanya terpaut 4,99 juta ton. Otoritas Tiongkok
menetapkan kebijakan jumlah impor batubara tahun ini sama dengan tahun
2019. Impor batubara negara-negara importir utama lainnya seperti Jepang,
Korea Selatan dan India juga terpantau melambat pada awal November. Sebagai
contoh, impor batubara India pada bulan Oktober turun menjadi 14,7 juta ton
atau turun 16,9 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Dari komoditas CPO, harga CPO berjangka kontrak acuan di Bursa Malaysia
Derivatives Exchange pekan lalu kembali menguat sebesar 3,20 persen
sekaligus merupakan penguatan dalam delapan pekan berturut-turut.
Harga CPO pekan lalu ditutup naik ke level 2.642 Ringgit/ton pada Jumat (22/11)
dari penutupan pekan sebelumnya di level 2.560 Ringgit/ton. Penguatan harga
CPO dipicu oleh musim dingin yang mulai berlangsung di negara importir, di
mana harga lemak dan minyak pada umumnya naik. Selain itu, penguatan CPO
juga disebabkan oleh turunnya stok karena produksi yang berkurang
disebabkan oleh kekeringan dan kabut yang melanda dua negara produsen
sawit terbesar di dunia yaitu Indonesia dan Malaysia. Di sisi lain pasar khawatir
akan berkurangnya ekspor minyak sawit Indonesia dan Malaysia karena
digunakan untuk energi B20 dan B30 pada 2020. Pelemahan Ringgit terhadap
dolar juga mendukung naiknya harga komoditas CPO. Ringgit yang melemah
terhadap dolar membuat harga CPO menjadi lebih murah bagi pemegang mata
uang asing. Hal ini berpotensi mendongkrak permintaan dan harga CPO. Rilis
data terbaru dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI),
menunjukkan ekspor minyak sawit, biodiesel dan oleochemical Indonesia bulan
September naik 13 persen menjadi 3,26 juta ton. Ekspor ke India naik tajam 51
persen pada September dibanding bulan sebelumnya. Sementara itu stok
minyka sawit Indonesia turun 2 persen menjadi 3,73 juta ton hingga akhir
September sejalan dengan penurunan produksi.
II. Pasar Keuangan Domestik
IHSG tercatat turun 0,46 persen atau 28,10 poin secara mingguan
ke level 6.100,24 dan diperdagangkan di kisaran 6.086,83 – 6.167,41 pekan
lalu. Investor nonresiden mencatatkan jual bersih pada tiga dari lima hari
perdagangan dengan total mencapai Rp566,40 miliar sepanjang pekan lalu dan
tercatat jual bersih sebesar Rp4,26 triliun mtd dan tercatat beli bersih sebesar
Rp43,88 triliun secara ytd. Nilai rata-rata transaksi perdagangan harian selama
sepekan terpantau turun ke ke level Rp6,24 triliun dari pekan sebelumnya yang
sebesar Rp6,48 triliun.
Dari pasar SBN, yield SUN seri benchmark pada Jumat (22/11) bergerak
naik dibandingkan posisi Jumat (15/11) dengan kenaikan antara 3 hingga
7 bps. Berdasarkan data setelmen BI tanggal 21 November 2019, kepemilikan
investor nonresiden turun Rp0,96 triliun (0,09 persen) dibandingkan posisi
Jumat (15/11) dari Rp1.068,76 triliun (38,99 persen) ke Rp1.067,79 triliun (38,63
persen). Kepemilikan nonresiden naik Rp174,54 triliun (19,54 persen) ytd dan
naik Rp9,32 triliun (0,88 persen) mtd.
Nilai tukar rupiah melemah sebesar 0,11 persen secara mingguan, secara
mtd rupiah melemah sebesar 0,36 persen dan namun masih tercatat menguat
sebesar 2,06 persen secara ytd, berada di level Rp14.093 per US$ pada akhir
perdagangan hari Jumat (22/11). Namun demikian, tekanan terhadap nilai tukar
rupiah relatif turun selama sepekan lalu, sebagaimana tercermin dari
perkembangan spread harian antara nilai spot dan non deliverable forward 1
bulan yang bergerak dalam rentang Rp41 sampai Rp58 per US$, lebih rendah
dibanding spread Rp34 sampai Rp94 per US$ pada pekan sebelumnya.
Gambar 9. Tekanan terhadap rupiah lebih tinggi dibanding
pekan sebelumnya
Gambar 8. Pasar Keuangan Indonesia sepekan: Rupiah
terdepresiasi, IHSG melemah, dan yield SBN seri
benchmark naik
Gambar 10. Selain Thailand dan India, mata uang Asia
mengalami depresiasi terhadap dolar AS secara mingguan
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 5
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
Gambar 12. Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman
tumbuh 0,1 qoq pada Q3 2019
Gambar 13. PDB Singapura tumbur sebesar 0,5 persen yoy
pada Q3 2019
Pekan lalu, rupiah diperdagangkan di kisaran 14.070 – 14.115 per US$.
Secara ytd, rata-rata penutupan harian rupiah berada di level Rp14.155 per
US$.
III. Perekonomian Internasional
Dari kawasan AS, aktivitas ekonomi di AS mulai menggeliat setelah versi
preliminary dari indikator US Markit Manufacturing PMI untuk bulan
November berada di level 52,2 atau naik dari 51,2 pada Oktober sekaligus
merupakan level tertinggi sejak April. Sementara itu, US Markit Services PMI
naik ke level 51,6 dibandingkan 50,6 pada bulan Oktober. Kenaikan indeks
Manufacturing PMI didukung oleh kenaikan pesanan baru yang terjadi
sepanjang November sementara kenaikan indeks Services PMI lebih
didukung oleh banyaknya pembukaan bisnis baru pada bulan November.
Dengan perkembangan ini, indikator US Markit Composite PMI untuk bulan
November sedikit meningkat ke level 51,9 dari 50,9 pada bulan Oktober. IHS
Markit akan merilis data final indikator PMI AS pada Rabu (4/12) mendatang.
Dari kawasan Eropa, PDB Jerman tercatat lebih tinggi dari ekspektasi
kontraksi -0,1 persen yang dibuat oleh para analis. Secara tahunan, ekonomi
negara tersebut tumbuh 0,5 persen pada Q3 2019. Sebelumnya, sejumlah
ekonom memperkirakan ekonomi Jerman akan tergelincir ke dalam resesi
teknis dengan perbaikan dalam pesanan manufaktur tetapi terdapat
pelemahan pada produksi industri. Ekspor tercatat naik 1,0 persen pada
kuartal tersebut, sementara impor tumbuh 0,1 persen. Pembentukan modal
tetap bruto naik 1,2 persen di sektor konstruksi dibandingkan dengan kuartal
sebelumnya, sementara penurunan mesin dan peralatan 2,6 persen.
Dari kawasan Asia Pasifik, Singapura berhasil keluar dari sinyal resesi
setelah perekonomiannya mencatatkan pertumbuhan 0,5 persen secara
tahunan di Q3 2019 lalu. Angka tersebut lebih tinggi dari perkiraan
pemerintah yang meramalkan ekonomi hanya tumbuh 0,1 persen. Secara
kuartalan, Ekonomi Singapura juga tumbuh 2,1 persen. Pertumbuhan ini
lebih tinggi dari perkiraan awal pemerintah sebesar 0,6 persen. Sektor
manufaktur mencatatkan kinerja yang lebih baik dari perkiraan pada Q3
2019. Solidnya kinerja manufaktur tersebut ditopang oleh solidnya ekspansi
di sektor manufaktur biomedik dan segmen kedirgantaraan pada sektor
teknik transportasi.
IV. Perekonomian Domestik
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 20-21 November 2019
memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)
sebesar 5,00 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 4,25 persen, dan
suku bunga Lending Facility sebesar 5,75 persen. Kebijakan moneter tetap
akomodatif dan konsisten dengan prakiraan inflasi yang terkendali dalam
kisaran target, stabilitas eksternal yang terjaga, serta upaya untuk menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian
global yang melambat. Bank Indonesia juga memutuskan untuk menurunkan
Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah untuk Bank Umum Konvensional dan
Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah sebesar 50 bps sehingga masing-
masing menjadi 5,5 persen dan 4,0 persen, dengan GWM rerata masing-
masing tetap sebesar 3,0 persen, dan berlaku efektif pada 2 Januari 2020.
Kebijakan ini ditempuh guna menambah ketersediaan likuiditas perbankan
dalam meningkatkan pembiayaan dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kembali memangkas suku bunga
penjaminan di perbankan sebesar 0,25 persen pada November 2019.
Penurunan tersebut karena likuiditas perbankan yang lebih longgar dan
kebutuhan stimulus untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Dari
rapat dewan komisioner periode November 2019 tersebut menghasilkan
penurunan suku bunga penjaminan rupiah di bank umum sebesar 0,25
persen menjadi 6,25 persen, suku bunga penjaminan valuta asing di bank
umum turun 0,25 persen menjadi 1,75 persen dan suku bunga penjaminan
simpanan rupiah di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) turun 0,25 persen menjadi
8,75 persen. Penurunan ini mempertimbangkan kondisi ekonomi dan
perbankan, di antaranya terjadi penurunan suku bunga simpanan setelah
Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya di tahun ini yang totalnya
100 basis poin menjadi lima persen. Selain itu, risiko dan prospek likuiditas
perbankan juga menurun di tengah seimbangnya pertumbuhan simpanan dan kredit.
Gambar 13. Inflasi Tiongkok bulan Maret 2019 tumbuh 2,3
persen yoy atau yang tertinggi dalam 5 bulan
Gambar 11. Penjualan ritel AS pada bulan Oktober
meningkat 0,3 persen mom
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 6
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
di kisaran 5-6 persen. Beberapa bank yang ditemui oleh Tim Surveillance BKF menyatakan bahwa demand kredit memang melambat dengan posisi mayoritas korporasi mengambil langkah untuk menunda ekspansi dan investasi seiring permintaan yang melambat. Hal ini dipengaruhi oleh perekonomian global yang melambat sehingga korporasi cenderung menunggu momentum pulihnya perekonomian global dan domestik. Hal ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh BI. Dalam sesi konferensi pers pasca RDG. Gubernur BI menyebutkan bahwa dari survei internal yang dilakukan BI menunjukkan bahwa 53 persen korporasi yang menjadi responden menyatakan bahwa pihaknya tidak merencanakan ekspansi dalam bentuk capital expenditure. Adapun dari 47 persen korporasi yang merencanakan ekspansi, 80 persennya menyatakan kebutuhan ekspansinya akan bersumber dari laba ditahan atau retained earning dan bukan berasal dari
kredit atau pembiayaan baru.
Sebagai penutup, bauran kebijakan yang diambil BI dalam RDG pekan lalu dapat dilihat dari perspektif respon terhadap kondisi saat ini sekaligus bersiap untuk berbagai kondisi di masa depan. Di tengah kondisi pasar keuangan yang stabil, BI mempertahankan suku bunga acuan agar pasar keuangan tetap menarik bagi investor sehingga memberikan dukungan untuk stabilitas Rupiah. Di saat bersamaan, BI menyiapkan ruang kebijakan yang memadai untuk pelonggaran moneter lebih lanjut apabila diperlukan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gubernur BI bahwa BI masih mempunyai ruang untuk kebijakan akomodatif berupa kebijakan moneter, makroprudensial, dan lainnya, namun BI akan mencermati kondisi ekonomi global dan domestik terlebih dulu sebelum memutuskan kebijakan yang diambil. Di sisi lain, penurunan GWM memberikan sinyal dukungan BI terhadap likuiditas perbankan. Dengan kondisi demand kredit yang masih lemah saat ini, kebijakan ini lebih bersifat antisipatif. Apabila nantinya demand kredit dari private sector kembali menguat seiring pulihnya aktivitas perekonomian, maka likuiditas di sistem
perbankan mencukupi untuk memacu penyaluran kredit.
Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Penyusun: Kindy Rinaldy Syahrir, Alfan Mansur, Pipin Prasetyono, Adya Asmara Muda, Nurul Fatimah, Indah Kurnia JE, Ari Nugroho Tajuk: Kindy Rinaldy Syahrir Sumber Data: Bloomberg, Reuters,
CNBC, The Street, Investing, WSJ, CNN Money, Channel News Asia, BBC, New York Times, BPS, Kontan,
IMF dan World Bank telah
menutup Spring Meeting
yang diselenggarakan
sepanjang minggu lalu. Para
pembuat kebijakan
menyampaikan pesan
mengenai kekhawatiran
yang bercampur dengan
optimisme prospek ekonomi
ke depan. Para Menteri
Keuangan dunia mengakhiri
pembicaraan di Washington
DC yang memadukan
kekhawatiran terhadap
keadaan ekonomi dunia
yang bergerak melambat
saat ini dengan keyakinan
akan segera pulih.
Pergeseran tren yang
menjauh dari pengetatan
kebijakan moneter oleh
bank sentral, kebijakan
stimulus baru-baru ini di
Tiongkok dan meredanya
ketegangan perdagangan
menjadi harapan bahwa
perlambatan ekonomi akan
berlangsung tidak terlalu
lama meskipun tidak ada
yang memperkirakan
momentum booming baru.
Rally pasar saham yang kini
terjadi cukup mengundang
optimisme tentang prospek
pertumbuhan untuk berbalik
"menguat." Direktur
Pelaksana IMF Christine
Lagarde tetap
memperingatkan dunia
berada pada "saat yang
Tajuk Minggu Ini:
Bank Indonesia Menahan Suku Bunga Acuan namun Memberikan Suntikan Likuditas
Seperti diperkirakan oleh mayoritas analis, Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan BI-7DRR di level 5 persen pada Rapat Dewan Gubernur pekan lalu (20-21/11). Keputusan tersebut diambil setelah sebelumnya dalam periode Juli – Oktober 2019 BI secara berturut-turut menurunkan suku bunga sebanyak 100 bps. Langkah pause dalam tren pelonggaran moneter yang ditempuh BI dapat dilihat sebagai hal yang wajar mengingat BI memerlukan waktu untuk melihat dampak kebijakan yang telah ditempuh sebelumnya. Selain itu, BI juga tetap memerlukan ruang atau amunisi kebijakan yang memadai apabila ke depan BI dihadapkan pada kondisi pelonggaran moneter lebih lanjut mengingat kondisi perekonomian dan pasar keuangan global yang masih diliputi ketidakpastian.
Dari kacamata stabilitas, keputusan BI tersebut didukung oleh stabilitas sistem keuangan yang terjaga. Secara year to date hingga akhir pekan lalu (22/11), Rupiah tercatat menguat 2,11 persen point to point, yield SBN seri benchmark tenor 10 tahun telah turun hingga 87 bps, dan total foreign inflow ke pasar SBN dan pasar saham masing-masing mencapai Rp174,54 triliun dan Rp43,88 triliun. Dengan mempertahankan suku bunga acuan, BI menjaga nilai tukar Rupiah tetap stabil sekaligus menjaga daya tarik pasar keuangan dalam negeri sehingga arus masuk modal asing diperkirakan akan terus berlanjut.
Di sisi lain, BI tetap menunjukkan komitmennya untuk memberikan dukungan pada perekonomian dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah untuk Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah sebesar 50 bps sehingga masing-masing menjadi 5,5 persen dan 4,0 persen dengan GWM rerata masing-masing tetap sebesar 3,0 persen dan berlaku efektif pada 2 Januari 2020. Melalui kebijakan ini diharapkan ketersediaan likuiditas di perbankan meningkat sehingga menambah ruang yang dimiliki oleh perbankan untuk menyalurkan kredit. Dengan demikian, BI tercatat telah dua kali menurunkan GWM dengan total sebesar 100 bps sejak Juni 2019. Apabila penurunan GWM yang berlaku mulai 1 Juli 2019 diperkirakan menambah likudiitas di sistem perbankan hingga Rp25 triliun, penurunan GWM terbaru diperkirakan menambah likuditas di perbankan hingga 26 triliun.
Langkah BI untuk menambahkan likuiditas di sistem perbankan dalam rangka mendukung penyaluran kredit dapat dilihat sebagai sikap BI dalam merespon perkembangan penyaluran kredit yang kian melemah. Sebagaimana dicatat oleh OJK, kredit perbankan tumbuh sebesar 7,89 persen yoy, didorong oleh kredit investasi yang tetap tumbuh DOUBLE DIGIT di level 12,84 persen yoy. Capaian ini dibawah realisasi pertumbuhan kredit bulan Agustus yang sebesar 8,59 persen yoy. Dari sisi penghimpunan dana, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan berada dalam tren meningkat sebesar 7,47 persen yoy, ditopang oleh pertumbuhan deposito sebesar 7,60 persen yoy. Perlambatan laju kredit menyebabkan rasio likuiditas perbankan (Loan to Deposit Ratio/LDR) turun dari 94,04 persen pada Agustus menjadi 93,76 persen pada September 2019.
Perkembangan kinerja kredit hingga September menyebabkan BI merevisi turun perkiraan pertumbuhan kredit untuk tahun 2019 menjadi sekitar 8 persen dengan pertumbuhan DPK juga sekitar 8 persen. Lebih optimis, OJK memperkirakan pertumbuhan kredit 2019 tetap double digit di kisaran 12 persen dengan didukung oleh tren penurunan lending rate perbankan dan margin bunga perbankan yang telah turun
Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Penyusun: Ronald Yusuf, Pipin Prasetyono, Adya Asmara Muda, Risyaf Fahreza , Nurul Fatimah, Indah Kurnia JE, Ari Nugroho, Soni Rita Br Purba. Sumber Data: Bloomberg, Reuters, CNBC, The Street, Investing, WSJ, CNN Money, Channel News Asia, BBC, New York Times, BPS, Kontan, Kompas, Media Indonesia, Tempo, Antara News Dokumen ini disusun hanya sebatas sebagai informasi. Semua hal yang relevan telah dipertimbangkan untuk memastikan informasi ini benar, tetapi tidak ada jaminan bahwa informasi tersebut akurat dan lengkap serta tidak ada
kewajiban yang timbul terhadap kerugian yang terjadi atas tindakan yang dilakukan dengan mendasarkan pada laporan ini. Hak cipta Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.
Gambar 14. Perkembangan Suku Bunga Kebijakan
Sumber: Bank Indonesia