KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan...
Transcript of KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: … · teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan...
STULOS 12/2 (September 2013) 211-244
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN
KEPUSTAKAAN: REFLEKSI SEMINARIAN INJILI
Togardo Siburian
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk meninjau ulang konsep keilmuan teologi
dan penelitian kepustakaan (library research) yang umum dalam
Skripsi dan Tesis studi teologi. Secara tertentu jenis metode ini sangat
unggul untuk mengembangkan keilmuan teologi, yang bekerja dalam
refleksi sistematis (logis). Keilmuan teologi secara konseptual terkategori
riset berpendekatan kualitatif yang bertugas memahami, menilai, dan
menafsirkan data. Hanya saja kurang melihat pentingnya proses kajian
pustaka dalam hal menggali informasi dari buku-buku perpustakaan
yang setara dengan penelitian kancah (lapangan) dalam meraih gelar
akademis. Prosedur baku, prinsipnya standar, bukan sekedar penulisan
yang menggunakan kutipan, yang cenderung jatuh dalam plagiatisme.
Dengan demikian teologi dapat juga terpandang dalam pengerjaan
keilmuannya, walau pada tataran konsep-konsep teoritis. Selama ini
skripsi dan tesis teologi terbilang hanya pada tahap bab 2 saja dari
proses ilmiah formal. Walaupun berdasar pada data dari tulisan-tulisan
yang sudah ada, teori yang dihasilkan harus tetap secara kreatif dan
inovatif dalam gagasan spekulatif. Tidak ada salahnya memakai riset
kepustakaan Tugas Akhir (TA) teologi Injili. Namun tetap perlu
pengerjaan lebih baku yang terlampir.
Kata kunci: Keilmuan teologi, penelitian kualitatif, metode kepustakaan,
proses-prosedural, skripsi/tesis, injili.
PENDAHULUAN
Studi Teologi biasanya bekerja dalam refleksi sistematis berdasarkan
studi pustaka. Dalam skripsi/tesis teologis, penelitian perpustakaan sering
kurang ditangani dengan baik, hanya merupakan prosedur baku dan
menitikberatkan pada penulisan. Jika ditanya, maka mahasiswa injili selalu
212 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
mengatakan “sedang menulis” dan melupakan bahwa inti TA dalam
skripsi adalah penelitian. Jadi tidak seperti menulis buku, yang tanpa
melibatkan prosedur formal akademis. Khusus lulusan S.Th./M.Th. selama
ini hanya menunjukkan hasil akhir tanpa memperlihatkan aktivitas riset
yang terlampir.
Akademisi Injili teologi harus melihat itu secara positif, dengan
meninjau kembali hal-hal dasar yang harus dipegang dalam tugas akhir,
yaitu: 1) “must always be objective” dalam arti 2) “is an act of discovery”
yang dalam riset perpustakaan termasuk 3) must be involves going to the
library, collecting information from books, jadi semua ini melibatkan
aktivitas mendalam 4) the process of research [isn’t] basically finding
facts that agree with my opinion only”, karena 5) “everythings you read
in the text books is true [facts]”, dengan mengingat juga 6) “a big
difference between facts of sciences and the facts in the humanities”.1
Singkatnya, yang utama dalam riset skripsi/tesis adalah tentang proses
dan bukanlah tentang hasil. Dengan demikian keterampilan mahasiswa
teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas
dalam penelitian perpustakaan formal dan lengkap dalam skripsi/tesis.
Menurut penulis, yang paling genting bagi seorang penulis skripsi/
tesis teologi, jenjang apapun, yang sekaligus terlupakan oleh dosen di
seminari adalah kegiatan “siluman” tanpa format penelitian baku. Bahkan
menulis skripsi S1 dan tesis S2, khususnya di seminari Injili, seringkali
dilakukan seperti menulis makalah (semesteran) 12-15 halaman yang
‘dipanjang-panjangkan’ menjadi 80-100 halaman. Kesannya aktivitas
penelitian tidak mementingkan ‘proses’, tetapi hanya menyerahkan
tulisan jadinya saja. Kelak skripsi dan tesis teologi tidak boleh lagi
dikerjakan seperti menulis makalah semesteran, tetapi harus ada langkah
prosedural secara formal.
Untuk itulah skripsi (dan tesis) pada penelitian perpustakaan (library
research) dalam studi teologi harus mulai menyadari keutamaan proses
1Lih juga dan bdk Bruce Ballenger, The Curious Researcher: A Guide to Writing
Papers (revsd prin, Boston, London, Etc: Allyn & Bacon. 1999), 2.
JURNAL TEOLOGI STULOS 213
baku penelitian yang terlampir secara formal, bukan hanya hasil cetak
akhir saja. Sehingga para akademisi injili tidak perlu tergopoh-gopoh
untuk langsung mengganti riset kepustakaan dengan riset kancah (baik
secara kuantitatif dan kualitatif). Namun begitu, jika ada murid yang
ingin turun ke lapangan, maka tidak boleh juga langsung ditolak dengan
anggapan terlalu berat. Faktanya riset lapangan lebih ringan energinya,
--tetapi hasilnya lebih maksimal dalam fakta-- dibandingkan berpikir
filosofis dalam riset kepustakaan.
Kondisi itu dapat kontra-produktif bagi bobot sang dosen juga,
karena mungkin akan dinilai oleh mahasiswa, “How much I get out of
school depends on the quality of my teachers.”2 Pernyataan itu tentu
terkait pada kualitas dosen akan pemahaman ragam-ragam riset akademis.
Disinilah idealisme tugas dosen untuk membimbing bukan menghakimi,
dengan mengatakan, “Anda tidak sanggup riset lapangan karena S1”;
karena itu bisa menjadi ‘senjata makan tuan’, “Kamu juga!” Disini
dibutuhkan kesadaran para dosen teologi -yang hanya biasa pada studi
kepustakaan-, untuk meningkatkan kemampuan riset lapangan.
Perguruan Tinggi Teologi harus mempelopori kebebasan akademis
bagi murid sebagai “... the breath of life of democratic society”3, sambil
tetap mengingat terus “the need is greatest in the fields of higher learning,
where the use of reason and the cultivation of the highest forms of human
expression are the basic method.”4 Itu adalah modal dasar dosen sebagai
pelopor perguruan tinggi yang dituntut komitmen akademis yang terkait
dengan riset. Sebab “without freedom to explore… and advocate
solutions to human problems, the faculty member and student cannot
perform their work…”; walau harus tetap diingat juga “but the purpose of
our liberty lie, in a democracy, in the common welfare…that the men
2Ibid. 3Louis Joghin, ed., Academic Freedom and Tenure: A Handbook of The American
Association of University Professors (Wisconsin: The University of Wisconsin Press, 1967), 47.
4Ibid., 48.
214 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
concerned speak their minds without fear of retribution.”5 Disini kelak,
seminari akan terpandang di dalam masyarakat (khususnya gereja), ketika
menyadari statusnya sebagai pencerah masa kini melalui riset yang
konkrit. Namun yang tetap perlu diingat bagi mahasiswa injili adalah,
kebebasan akademik bukanlah anarkhisme berpikir tanpa sistem pemikiran
teologis yang konsisten. Idealisme “pemikir bebas” bukanlah berarti
bebas dari aturan sebagai seorang calon sarjana-pelayan gerejawi.
Teologi sebagai Kegiatan Keilmuan Aplikatif
Kata “ilmiah” pada masa kini sering diperlawankan dengan kata
“alamiah” di dalam keilmuan. Hal ini dikarenakan oleh dasar paradigma
metodologi riset yang berbeda, bahkan berlawanan dan tidak bisa
disatukan penggunaannya. Artinya, yang satu dengan kajian positivistik
dan yang lain dengan kajian naturalistik. Itu antara pembuktian material
empiris, yang kedua pembuktian pengalaman natural: cara pertama
disebut “logika induktif” dan cara kedua disebut “logika deduktif.”
Keduanya adalah sama-sama bidang studi keilmuan dalam cabang-
cabang yang berbeda. Sedangkan teologi lebih bersifat deduktif dalam
cara berpikir spekulatif-konseptual. Sebenarnya studi teologi memakai
cara pikir yang komplit antara metode induktif dalam penafsiran Alkitab,
dan deduktif dalam analisis data untuk rumusan doktrinal. Singkatnya,
komprehensi pengetahuan hidup sehari-hari, tanpa harus mereduksi
kebenaran supranaturalisme Kristen menjadi naturalisme saja.
Teologi melakukan refleksi sistematis dengan pertimbangan unsur iman
supranatural berdasarkan wahyu Allah, sedang filsafat ilmu sebagai “ilmu
dari ilmu-ilmu” yang mengkaji bagaimana keberadaan disiplin ilmu-ilmu
itu dari dasar mengadanya (esensinya). Selanjutnya, studi teologi sebagai
layaknya disiplin ilmu Humaniora yang melakukan kajian interpretif,
penafsiran paham. Istilah yang membuat saintis empirik tidak ‘rela’
memasukan Humaniora sebagai studi keilmuan, karena hanya dianggap
5Ibid.
JURNAL TEOLOGI STULOS 215
“seperangkat sikap dan tingkah laku antar sesama” dan tanpa melibatkan
metode-metode keilmuan.6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan
oleh para ilmuwan sendiri dalam kategori: 1) ilmu murni (dasar) dan ilmu
terapan, 2) ilmu abstrak dan ilmu konkrit, 3) ilmu empiris dan ilmu rasional
(non empiris), 4) ilmu teoritis dan ilmu praktis dll.7 Disinilah teologi
sebagai ilmu pelayanan (terapan, praktis, rasional) harus melihat fungsi
perspektival, yang tugas refleksinya mencakup seluruh ciptaan. Inilah yang
dimaksudkan dengan “ilmu integral” berbeda dengan ilmu-ilmu khusus,
ditambahkan pada pengkategorian di atas.
Secara normal, teologi adalah suatu disiplin ilmu mengenai
kepercayaan Kristen berdasarkan wahyu Allah tidaklah irasional, karena
status pewahyuan yang supra-rasio, maka prinsip non-rasional harus
dimengerti sebagai “tidak selalu harus tunduk pada rasio” dalam kegiatan
ilmiahnya. Pada teologi injili, iman adalah syarat yang mendahului
pengertian teologis, dan tanpa iman tidak seorangpun berhak mengerti
teologi otentik di dalam keselamatan, tetapi hanya keagamaan saja. Artinya
dalam studi teologi, iman adalah akal yang diperluas jangkauannya
sampai pada wahyu Allah, sehingga akal harus ditundukan di bawah
kedaulatan Allah. Ini tentu tidak sama dengan “teologi natural” abad
pertengahan yang dirasionalisasikan secara teramati secara inderawi.
Karena prinsip ‘non-rasional’ dalam sistem teologi adalah tidak selalu
harus tunduk pada penghakiman rasio, namun bukan berarti irasional.
Disini dalam keilmuan teologi injili adalah teologi revelasional, bukan
label ‘teologi natural’ lebih berkegiatan filsafat saja daripada teologi.
Dalam teologi wahyu, iman adalah realitas praktis bukan metafisis.
Jadi rasionalitas dalam berteologi bukanlah hanya bukti-bukti
empirik seperti dalam keilmuan modern yang berparadigma positivistik
dan naturalistik semata. Memang benar teologi pernah direduksi ke dalam
6Lih. L. Willarjo, Ilmu dan Humaniora, “Ilmu dalam Perspektif”, Jujun S. Suriasumantri,
ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 237. 7The liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1999), 156-7. Dalam
bukunya, The Liang Gie kurang berhasil secara eksplisit melihat kategori “ilmu integral dan ilmu khusus”.
216 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
sosiologi, bahkan psikologi saja, yang dikerjakan dalam kajian agama-
keberagamaan saja, bukan dalam ranah keselamatan. Secara aksiomatik,
studi teologi bukanlah seperti studi agama, yang menekankan kajian
tingkah laku sosial-psikis manusia, tetapi iman dan wahyu. Inilah secara
sederhana teologi injili dapat menyebut diri sebagai “imanologi”,8 yang
terkait dengan penyataan Alkitab “iman adalah dasar dari segala sesuatu
yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”
(Ibr. 11:1), sekaligus “Tunjukkan iman dari perbuatan maka akan
menunjukan perbuatan dari iman (Yak. 1:15). Sehingga iman melampaui
tingkah-laku, sekaligus mengandung kelakuan keselamatan.
Untuk itulah asumsi awal kepercayaan di atas adalah sebagai premis
yang mengkover motif penelitian, misalnya, “segala tulisan Alkitab
pastilah benar dan penting bagi masa kini”. Jelas itu bukanlah alasan atau
pentingnya penelitian, seperti yang diduga orang yang menolak adanya
asumsi penelitian. Ternyata itu adalah asumsi penelitian yang akan
bertindak sebagai “premis mayor”. Jika masuk ke dalam skop lebih kecil
lagi dan khusus dalam konteks spesifik penelitian, misalnya “Bagaimana
pentingnya 2 Timotius pada kondisi ketidakbergerejaan mahasiswa
Kristen pada masa kini”. Maka itu akan bertindak sebagai “premis minor”
yang mengandung jawaban hipotesis juga. Biasanya fungsi premis minor
akan menjadi hipotesis formal dalam penelitian kuantitatif. Namun dalam
penelitian kualitatif tidak serta-merta harus menjadi hipotesis formal,
karena hanya ada satu fokus penelitian.
Maka penelitian perpustakaan selama ini, tidak ada variabel yang
formal, layaknya penelitian kualitatif. Namun ada dua subjek kajian
yang berfungsi sebagai fokus, yang secara dinamis berfungsi sebagai
“working hipothesis” di dalam pikiran pengkaji. Karena dalam
penelitian kualitatif tidak bisa disebut “variabel yang riil” karena tidak
ada hubungan korelasi pengujian antara variabel dipengaruhi dan yang
mempengaruhi. Namun tetap ada semacam, yang dianggap sebagai
8Lih. dalam “Iman dan Studi Teologi” Sola Fide dan Pergumulannya Masa Kini,
ed. Togardo Siburian (Bandung: Penerbit STT Bandung, 2008), 266.
JURNAL TEOLOGI STULOS 217
variabel penelitian yang disebut sebagai ‘faktor’ atau ‘subjek’ saja agar
tetap terfokus kajiannya.
Keilmuan teologi adalah suatu disiplin ilmu yang berkarakteristik
saintifik juga dalam prinsip-prinsip kegiatan ‘logia’ nya, yaitu rasional-
komprehensif. Meski tidak harus empirik, karena termasuk ilmu praktis
dalam penerapannya, karena penelitiannya diangkat dari persoalan-
persoalan faktual dan konkrit dari kehidupan iman Gereja. Kajian teologi
bersifat refleksi sistematis mengumpulkan fakta-fakta, menafsirkan,
menilai, dan memahaminya secara utuh, layaknya disiplin humaniora. Itu
dinamakan metode intepretif dari studi teologi lebih bersifat kualitatif
dalam penelitiannya. Dan itu sering berbeda dengan studi keagamaan
yang melihat tingkah laku beragama seseorang secara -sosial dan psikis-
sehingga dapat cocok memakai riset kuantitatif.
Secara teoritik dan praktik, penelitian kualitatif dan kuantitatif sangat
berbeda dalam desain sistemik dan paradigma keilmuannya. Namun secara
salah-kaprah beberapa teolog ingin menggabungkannya dalam satu
penelitian teologi.9 Ini adalah nafsu kreatifitas yang ‘kebacut’ ketika ingin
mengintegrasikan ilmu-ilmu yang berbeda konten, seperti menyatukan
Anjing dan Kucing dalam film kartun cat-dog. Faktanya, harus diingat
peneliti kuantitatif yang otentik tidak pernah berpikir keilmuan kualitatif,
sebaliknya peneliti kualitatif tidak pernah memikirkan data kuantitatif.
Bahkan, ilmuwan empiris tidak pernah memperbolehkan teologi masuk ke
dalam keilmuannya, sementara teolog ingin memasukan sains ke dalam
ilmu teologi secara sepihak. Disini prinsip integrasi ilmu dengan teologi
tidaklah sama dengan prinsip perspektivalisme pada kajian teologis.
Karakter Kualitatif dari Penelitian Kepustakaan
Era pasca-modern membawa angin segar bahwa yang dimaksudkan
dengan ilmiah bukan hanya positifvistik saja, tetapi juga pos-positivistik,
9Faktanya orang orang ini secara sepintas terpengaruh oleh buku Andreas Subagyo,
Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif: Termasuk untuk Studi Keagamaan dan Teologi (Bandung: Kalam Hidup, 2004).
218 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
dengan mencari realitas sesudah atau melampaui fenomena yang teramati.
Disinilah pintu masuk ilmuwan dapat mengerjakan ilmu paradigma
naturalistik berdasarkan pendekatan kualitatif. Di sini prinsip non-rasional
teologi pun tetap dipandang rasional dalam sistem logika yang lebih
komprehensif, yang dinamakan “logika saintifika”, bukan hanya logika
empiris-positivistik yang melakukan kuantifikasi.10
Thomas S. Kuhn
menilai pengetahuan berparadigma positivistik banyak anomalinya, serta
harus ditinjau secara kritis, dan yang secara historis sebagai paradigma
“normal science” yang melihat perkembangan ilmu secara akumulatif.
Kuhn melihat paradigma “revolutionary science” dalam perkembangan
yang silih mengganti.11
Hal itu dikerjakan dalam paradigma naturalistik,
yang sekarang disebut juga “paradigma konstruktif”12
yang perspektifnya
dikerjakan secara solid melibatkan kerangka konseptual, perangkat asumsi,
perangkat nilai dan perangkat gagasan yang mempengaruhi tindakan
riset.13
Pendekatan kualitatif tersebut bertolak belakang dari kuantitatif,
yang berparadigma positivistik. Keunikan karakter penelitian kualitatif
memang hasilnya dapat dirundingkan bersama dan lebih alamiah,
manusia sebagai alat, ada fokus, desain sementara, peneliti sebagai
instrumen.14
Hasil yang lebih komprehensif inilah yang membuat jenis
penelitian kualitatif ‘naik daun’ pada era yang sudah tidak percaya lagi
pada rekayasa angka statistik.
Disinilah teologi sebagai suatu ilmu aplikatif, secara terbatas dapat
mengambil manfaat untuk mengembangkan keilmuannya di lapangan,
melampui riset pustaka saja, khususnya pada TA akademisnya. Dengan
demikian latar belakang permasalahan dalam riset pustaka teologis harus
tetap konkrit pada kenyataan hidup sehari-hari. Karena prinsip studi
10Lih. W. Poespoprodjo, Logika Saintifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu Pengetahuan (Bandung: Pustaka Grafika, 1999).
11Lih. Thomas S Kuhn, Structures of Revolutionary Science. 12Agus Salim, Teori & Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006), 72. 13Ibid., 59, sumber asal dari Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma
Baru IImu Komunikasi dan Ilmu Sosial (Bandung: Rosdakarya, 2003), 8-12. 14Lih lengkapnya perbedaan metodologi kualitatif dan kuantitatif dalam Lexy
Moleong, Metodologi Kualitatif, edisi revisi (Bandung: Rosda Karya, 2005), 30-37.
JURNAL TEOLOGI STULOS 219
teologi adalah “tidak dapat berteologi dalam ruang kosong”. Teologi
perenial yang disukai kalangan injili adalah mengingkari hakekat
berteologi injili itu sendiri. Disinilah teolog injili harus melepaskan diri
parenialisme dalam kegiatan berteologi. Khususnya selama ini banyak
skripsi/tesis dikerjakan dengan bangga berdasarkan ide-ide abstrak dari
pemikiran impor barat saja, tanpa menimbang keniscayaan teologi
kontekstual (pada situasi-kondisi lokal).
Ini sejalan dengan visi perguruan tinggi, termasuk Seminari di
Indonesia, yang secara eksplisit harus mengkaitkan diri dengan dimensi
pengabdian masyarakat dalam penelitian teologisnya. Jadi tidak bisa
lagi hanya konsep teologis abstrak pada kutipan ayat yang secara
penyederhanaan. Sejak teologi injili mengakui kebenaran Alkitab penting
bagi segala zaman dan waktu, maka merupakan presuposisi untuk melihat
latar permasalahan secara konkrit. Teologi dapat mengambil manfaat
lebih besar lagi pada masa kini dalam kajian reflektifnya, namun tetap
konkrit dalam prinsip yang disebut “perspektivalisme” dan
“antiabstraksionisme”.15
Karena prinsip-prinsip kualitatif dapat dipakai
secara konstruktif di dalam pendekatan naturalistik daripada positivistik.
Teologi sebagai studi iman tidak mungkin melakukan kuantifikasi
pada pokok kepercayaan rohani. Karena masalah rohani tidak begitu saja
dapat diselidiki secara penghitungan atau pengukuran numerik, di dalam
tingkah laku sosio-psikis keberagamaan. Walau beberapa teolog mencoba
menggabungkan untuk menyeimbangkan kedua metodologi -kualitatif
dan kuantitatif-, ini harus mengingat karena asumsi dasar (aksioma) tidak
bisa digabungkan, antara positivisme dan naturalisme. Jadi hanya bisa
pilih satu, apakah kuantitatif atau kualitatif dalam satu penelitian. Jika
ingin dikerjakan keduanya, maka harus melakukan dua penelitian
sekaligus dengan hasil yang beda juga, namun bisa saling melengkapi.
15John Frame, Doktrin Pengetahuan Tentang Allah, ter.j, (Malang: Literatur SAAT,
2004).
220 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
Menerobos “No Entry, No Research” untuk Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan dari cara kerjanya termasuk kualitatif hanya
mengungkapkan ‘sedang menulis’ skripsi, dan bukan hakikat penelitian
dalam TA akademis, hanya mengungkapkan opini pribadi yang didukung
pendapat orang lain melalui buku, dan belum sebagai penelitian yang
sesungguhnya. Prinsip kualitatif yang terutama adalah “no entry no
research” atau “tidak ada penelitian kalau tidak masuk lapangan”. Di atas
telah ditemukan bahwa riset pustaka pada esensinya adalah studi
kualitatif juga. Maka peneliti kepustakaan harus masuk perpustakaan
sebagai lapangan penelitiannya untuk memperoleh informasi faktual. Jadi
bukan hanya opini pribadi.
Biasanya dalam penelitian lapangan itu menggunakan pertanyaan
wawancara pada ‘informan’ yang terpilih sebagai sampel bertujuan.
Dalam studi lapangan yang normal termasuk sebagai pengujian faktual.
Jadi bukannya tidak ada pengujian dalam penelitian perpustakaan, hanya
saja pengujiannya bersifat rasional di dalam argumentasi penalaran yang
runtut pada proposisi premis-premisnya. Jadi pengujian rasional tidak
selalu pembuktian empiris.
Sebagai perbandingan, riset kuantitatif dengan angket mengatasi
prinsip “no entry no research”, walaupun secara praktis, lapangannya
boleh saja dianggap dikatakan “semu” karena tidak riil turun ke lapangan.
Peneliti kuantitatif hanya mengunjungi dan menyebar angket pada
responden acak, lalu bisa pulang dan menunggu di rumah (atau di hotel).
Kemudian datang lagi untuk mengumpulkan isian untuk dianalisis secara
penghitungan statistik; menguji hipotesis berdasar fakta lapangan.
Format Riset Kepustakaan dalam Skripsi/Tesis Teologi
Dari bagan keseluruhan riset formal TA dibawah ini.16
Ini adalah bagan
16Dari Nana Sudjana, Tuntunan Menyusun Karyta Ilmiah: Makalah, Skripsi, Tesis
Disertasi (Bandung: Sinar Algensindo, 2001), 12.
JURNAL TEOLOGI STULOS 221
umum format skripsi/tesis penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Kalau melihat pola desain penelitian lengkap untuk tugas akhir
skripsi, tesis atau disertasi, jelas studi kepustakaan dalam teologi tidak
melakukan kegiatan riset lapangan secara formal. Tetapi secara tidak
sengaja sebenarnya telah melakukan penelitian di lapangan dengan
prinsip-prinsip penelitan lapangan. Ini karena secara khasat mata, skripsi
dan tesis teologis pustaka tersebut hanya dilakukan dalam level pertama,
yaitu kajian pustaka dalam rangka pembentukan teori yang sudah ada.
Namun peneliti kepustakaan yang jeli harus mencari gagasan baru dan
kreatif bagi dirinya sendiri dalam rangka merumuskan konsep teori baru.
Ini pun suatu teori baru juga, walau belum sempat diuji di lapangan.
222 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
Faktanya, terlihat bahwa penelitian perpustakaan dalam tugas akhir
studi teologi selama ini ‘hanya mengerjakan bab 2’ saja dari pola kegiatan
riset ilmiah yang umum. Namun demikian tinjauan literatur (pustaka)
adalah bagian penting karya ilmiah, yang jika dihapuskan akan
menjadikan tidak ilmiah sama sekali, karena tidak ada teori-teori yang
selama ini ada dan dipakai untuk kajian di dalam lapangan. Untuk itulah
beberapa orang melanjutkan tesis S2 dan menjadikannya Disertasi S3,
dalam survei kualitatif dengan melakukan wawancara di lapangan serta
menafsirkan kembali teorinya dulu. Tinjauan teoritis yang dihasilkan dari
kajian pustaka (bab 2) tersebut biasanya akan menyoroti: 1) teori topik, 2)
teori kerangka teologisnya, dan 3) kadang ditambah dengan teori
kerangka metodologi yang akan digunakan.
Selanjutnya sudah diketahui bahwa satu skripsi riset perpustakaan
teologis hanya mengerjakan kajian pustaka tersebut. Karena dalam skripsi
perpustakaan tetap mengandung sedikitnya dua tinjauan teoritis pada
topik yang muncul (bab 2), dan teori kerangka kerja untuk menyelesaikan
permasalahan (bab 3), dan Bab 4 temuan dalam penyelesaian masalah
secara khusus berdasarkan sorotan topik yang telah dijabarkan dari
perspektif kerangka teoritis yang dirumuskan di bab tiga, seperti:
kerangka etik, kerangka apologetis, kerangka pastoral, kerangka biblika
dll. Sorotan itulah akan menghasilkan prinsip-prinsip penyelesaian
masalah secara teoritis dalam bab empat, sebagai hasil penelitian skripsi.
Jadi bab satu, bab kedua, bab ketiga, dan keempat harus saling terkait
dalam aliran sistematis dan dibundel jadi satu skripsi/tesis. Akhrinya
format penelitian dapat diringkaskan dalam kajian pustaka langkah demi
langkah berikut.
Bab 1: Pendahuluan: latar belakang permasalahan, identifikasi topik
nya serta rumuskan dalan satu kalimat pertanyaan.
Bab 2: Kajian teoritis mengenai topik yang dipermasalahkan secara
komprehensif sejalan yang dikemukan pada bab 1.
Bab 3: (catatan: pengganti bab metodologi yang diturunkan dari
elemen kerangka pemikiran bab 2 umum): Kajian teoritis
JURNAL TEOLOGI STULOS 223
kerangka teologis yang akan digunakan sebagai landasan
berpikir untuk pemecahan masalah).
Bab 4: kajian teoritis untuk melihat temuan dan hasil pemecahan
masalah secara teoritis dengan cara menyoroti bab 2 (topik
yang sudah dijabarkan) berdasarkan bab 3 (kerangka kerja
yang sudah didirikan) untuk menjawab rumusan masalah
pada bab 1. Sehingga semuanya dapat dikatakan sebagai
hasil penelitian juga secara teoritis berdasarkan kajian
pustaka juga.17
(Namun pembimbing bisa juga melatih anak
bimbingannya untuk belajar penerapan dalam proyek
pelayanan, misalnya rancangan program pembinaan 6 bulan.
Bab 5: Kesimpulan (tak perlu pakai saran).
Ini dapat dibandingkan dengan skripsi S.Th. pada 20 sampai 30 tahun
lalu, yang dilakukan tanpa konteks riil dan faktual dalam permasalahannya.
Bahkan hanya konsep teologis abstrak atau prinsip teoritis semata-mata,
yang biasanya ada dua topik yang diuraikan secara deskriptif:
Bab 2: Latar belakang historis perikop dan surat (mis. Korintus
yang lepas dari konteks permasalahan yang dirumuskan
sekarang.
Bab 3: Penafsiran tertentu dalam eksegesis kata tertentu atau makna
eksposisi perikop Alkitab.
Bab 4: Aplikasi, yang kadang terlepas dari permasalahan yang telah
dirumuskan.
Bab 5: Kesimpulan dan [memberi] saran
Atau ada juga kajian pemikiran tertentu dari seorang teolog (barat)
yang tidak ada hubungan dengan pergumulan gereja di Indonesia lalu
17Bab 3: Metodologi (Bab ini tidak selalu terpakai dalam studi kepustakaan dalam
Alkitab dan teologis, namun penting untuk penelitian empiris dan historis dalam ilmu ilmu sosial (Lih Joseph Tong, “Methodology Research”, classnote. International theological seminary 1997). Pada riset lapangan bab 4 di atas dites sebagai hipotesis yang akan diuji pada bab 3 di lapangan dan mengarahkan pertanyaan-pertanyaan yang akan dimunculkan di lapangan riset nanti. Dan hasilnya di bab 4 sekaligus ada bahasan mengenai penafsiran hasil penelitian setara dengan penelitian kualitatif bab 4 tersebut.
224 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
mengembang penulisannya seperti ini:
Bab 2: latar biografis sang tokoh/pemikir
Bab 3: Pemikiran khususnya (satu pemikiran atau ajaran tertentu)
Bab 4: Kritik terhadap pemikirannya (sering juga implikasi ajaran)
Bab 5: Kesimpulan dan Saran
Semuanya dilakukan rata saja dan hampir tidak ada hubungan
sistemik dari problematika permasalahan pada bab 1. Hal ini karena tidak
ada perumusan masalah yang jelas. Faktanya, walau sudah ketinggalan
masih ada juga yang menyarankan hal ini sampai sekarang. Penulisan
skripsi seperti menulis bebas dalam penulisan buku selama ini. Padahal
penulisan buku tidak sama dengan penulisan skripsi/tesis. Penyederhanaan
riset akhir ini dalam kondisi homeletis harus ditinggalkan, jika ilmu
teologi mau menolong gereja dengan objektif.
Hanya saja pada akhir skripsinya, peneliti kepustakaan, tidak
selayaknya memberi saran pada pihak-pihak tertentu, karena tidak pernah
ke lapangan. Apalagi saran-saran yang salah-kaprah tersebut dilakukan
dengan memberi nasehat pribadi bahkan khotbah, seakan-akan skripsi/
tesisnya akan dibaca. Ini yang dikatakan tidak realistik, yang sebenarnya
itu bukanlah saran penelitian, tetapi hanya keinginan pribadi. Penelitian
dan pelayanan adalah dua arena yang berbeda. Saran penelitian dapat
dilakukan hanya sebatas membuka diri bagi orang lain yang ingin
melanjutkan penelitian. Karena itu, salah-kaprah pada akhir skripsi/tesis
itu perlu ditinjau-ulang oleh seminari, khususnya pembimbing.
Keutamaan Proses dalam Penelitian Kepustakaan
Selama ini mahasiswa teologi ‘enak-enakan’ menulis skripsi tanpa
melakuan riset sungguhan, tetapi langsung mengutip tanpa membaca
yang mendalam, atau membaca hanya untuk mencari kutipan dari tulisan
orang, tanpa berpikir sendiri dan menuliskan dari gagasannya sendiri.
Jadi hasilnya secara ideal bukan hasil penelitiannya sendiri, tetapi disetir
dan diarahkan oleh orang dari penulis buku lain yang ‘hebat’ dengan
JURNAL TEOLOGI STULOS 225
alasan pendukung, berdasarkan kutipan sepotong-sepotong. Apalagi
buku-buku yang dipakai sering kali hanya diambil frase atau kata secara
terpisah tanpa membuat kalimat peralihan untuk menghubungkan
propopsi dan bukti dan jaminan pengertian yang selayaknya.
Namun dalam studi teologis bukan berarti tidak ada kesamaan ciri
keilmiahannya. Sedikitnya, riset pustaka yang dipakai dalam studi akhir
teologi merumuskan problematika faktual, konkrit untuk ditindaklanjuti
dengan proses operasionalnya dalam kajian informasi yang relevan dalam
perpustakaan, yang dapat disetarakan dengan lapangan riset. Walau
lapangan yang dimaksudkan tidak teknis, sehingga sering membuat kesan
penelitiannya semu. Apalagi masalah penelitian tersebut adalah tidak ada
permasalahan jelas, karena mencoba menolak latar belakang masalah
yang konkrit dan faktual, yang memotivasi peneliti secara pribadi.
Biasanya sudah puas dengan menuliskan kata “masalahnya adalah...”
padahal kata “masalah” belum tentu teridentifikasi adanya masalah
penelitian yang konkrit. Lalu menunjukkan pentingnya penulisan, yang
sebenarnya di dalamnya ada asumsi penelitian bahkan praduga.
Perumusan masalah harus melihat latarbelakangnya secara konkrit,
di sekeliling kehidupan. Peneliti pemula dalam skripsi S1 selama ini
menyamakan antara permasalahan pribadi dengan permasalahan riset.
Kesalahan ini harus dihindari dalam permasalahan riset dengan
mengidentifikasi adanya “gap” atau “celah” antara kegiatan, konsep,
pendapat, kenyataan dan ideal, bahkan kemenduaan arti antar topik atau
kebingungan, kontroversi antar sesuatu dengan sesuatu.”18
Inilah yang
dinamakan permasalahan penelitian. Dan latar belakang penelitian ini
sangat penting karena akan dilanjutkan dalam fokus penulisan untuk bab
2 dan bab 3. Biasanya bab 1 tidak sekali jadi.
Terkait dengan permasalahan personal yang mendorong munculnya
topik atau subyek tertentu dalam penelitian, maka harus dibarengi dengan
riset awal atau mengumpukan informasi awal di lapangan dan membaca
18Moh Nazir, Metode Penelitian Ilmiah, 133 (dst.).
226 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
buku agar teridentifikasi celah masalah secara riil, baru menuju
kepermasalahan riset yang objektif dan formal. Di dalam bahasa lain,
Booth, Colomb, dan Williams membedakan secara fase antara “practical
problem” dan “research problem”.19
Walau sayangnya dalam siklus
pemecahan masalah diarahkan pada masalah praktis, dan bukan pada
masalah risetnya yang telah dirumuskan dengan pertanyaan riset, tetapi
masalah pribadi di lapangan pelayanan. Ini kesalahan umum dalam
skripsi/tesis teologi selama ini. Ini adalah loncatan berpikir dari persoalan
A lalu menyelesaikan C. Walau hasil riset dapat bermanfaat untuk
menyelesaikan problem pelayanan kelak, seperti terdapat dalam bab 1
‘manfaat penelitian’, tetapi itu bukanlah “tujuan penelitian”. Dengan
demikian prosesnya dapat diperbaiki seperti di bawah ini:20
Proses penelitian kepustakaan secara relatif ada juga lapangan
tempat penelitian dilakukan secara khusus. Rinciannya: Pertama,
lapangan penelitian teologi adalah perpustakaan. Untuk itu semua orang
yang riset pustaka harus masuk lapangan perpustakaan untuk mengamati
langsung dan mencari informasi dan mengumpulkan data. Jadi tidak
19Wayne C. Booth, Gregory G. Colomb, Joseph M Williams, The Craft of Research
(Chicago: University of Chicago Press, 1995), 48-54. 20Ibid., 49
JURNAL TEOLOGI STULOS 227
boleh tidak harus mengunjungi perpustakaan secara teratur dan formal.
Kedua, dalam perpustakaan sebagai lapangan penelitian harus
melakukan locating books21
secara khusus, yaitu menempatkan
buku-buku yang relevan dan menyimpannnya secara khusus dalam apa
yang disebut dengan “perpustakaan pribadi”, seperti perpustakaan dalam
perpustakaan. Jadi seharusnya diperbolehkan untuk melakukan apa yang
disebut “reserved book” sang peneliti. Fasilitas bayangan ini bersifat
sementara, lengkap dengan nama diri sang peneliti dengan menunjukan
surat izin meneliti dari akademik. Sehingga peneliti harus rajin berjalan
menelusuri lorong-lorong perpustakaan untuk melakukan skimming dan
scanning buku di rak-rak atau bisa juga di komputer.
Ketiga, kumpulan buku itu menjadi semacam ‘sampling’ jika dalam
studi lapangan. Tentunya yang dilakukan adalah sampling bertujuan
(kualitatif) dan relevan, bukan sampling acak (kuantitatif). Buku yang
dipilih memang dianggap informan untuk menggali informasi dari
dalamnya. Dalam skripsi/tesis riset pustaka, sampling ini juga tidak harus
di rak khusus saja, tetapi bisa juga kumpulkan di atas meja. Sebaiknya
harus diambil foto secara berkala agar proses aktivitas kelihatan dan
dilampirkan di dalam skripsi/tesis. Foto ini lebih hemat dibandingkan
dengan mengkopi setiap buku informasi yang dipakai, kemudian
dilampirkan juga.
Keempat, layaknya pendekatan kualitatif, penelitian kepustakaan
juga harus menggunakan instrumentasi sarana secara formal. Instrumen
utama adalah peneliti sendiri sebagai pelakunya dan juga ada instrumen
pengumpulan data yang disebut “kartu pencatatan data” untuk mencatat
informasi yang diperoleh dari hasil bacaan. Ini penting karena sejak
semula diakui tidak boleh langsung disalin (kecuali ada alasan yang
mengizinkanya, misalnya trianggulasi). Ini adalah teknik pengumpulan
data yang harus terpenuhi dalam proses riset ilmiah. Sebenarnya
lembar-lembar catatan ini sudah ada contohnya, tetapi tidak pernah
21Thomas Mann, A Guide Library Research Method (New York, Oxford: Oxford
University Press, 1987), 103.
228 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
menjadi perhatian serius pembimbing dan peneliti dalam penelitian
kepustakaan selama ini.22
Para penulis skripsi/tesis lupa, bahwa yang
terpenting adalah penelitian, dan penelitian adalah suatu proses dan
aktivitasnya yang dinilai, bukan hanya hasil jadi.
Contoh kartu pencatat data23
Subjek:______________ Bab:______ sub-bab:__________ Pengarang: Marga, nama. JUDUL BUKU, Kota: Penerbit, Tahun) Tempat : lokasi simpan Tanggal: (kapan baca) Halaman: (berapa) ================================================= Pemikiran utama/kutipan.............................................................................. ........................................................................................................................... Evaluasi/kritik(I)........................................................................................................................................................................................................................ Refleksi/koreksi(II)..................................................................................................................................................................................................................... Ulasan lanjut(III): (periksa silang) ................................................................. ......................................................................................................................................................................................................................................................
Kartu-kartu catatan harus diisi untuk pemikiran periset buku apa
yang dibaca, dikutip, dan pikiran apa yang dievaluasi, lengkap dengan
tanggal dan tempat buku itu berada. Hanya saja, di dalam riset teologi,
informasi dicari secara subjektif yang telah ditetapkan secara khusus.
Namun secara umum tidak apa-apa, boleh juga asal ada pencatatan data
resmi pada lembar catatan yang lain. Setelah selesai dengan buku tersebut,
langsung ditutup dan dikembalikan atau diletakan di atas meja dan ganti
membaca buku lain, dengan catatan yang baru tentunya. Hal pembacaan
buku ini adalah teknik pengumpulan data setara dengan wawancara pada
22Lihat saja dalam Moh. Nazir, Metode Penelitian Ilmiah (Jakarta: Ghalia,1989)
juga bahkan untuk tingkat paper semesteran pun seharusnya dilakukan seperti yang dicontohkan oleh Anthony C. Winkler, Jo Ray McCuen, Writing Research Paper: A Handbook (third ed. Sandiego dll: HBJ Pub,1989), 35-46.
23Kertas/Kartu putih ukuran 5x10 ini secara berkala harus dilaporkan kepada pembimbing dan pada akhirnya harus terlampirnya juga dalam lampiran penelitian di dalam Skripsi/Tesis.
JURNAL TEOLOGI STULOS 229
informan sebagai sampel bertujuan pada teknik pengumpulan data di
lapangan. Atau pada riset kuantitatif biasanya dengan menyebarkan
angket (questioner) untuk mencari data melalui responden sebagai sampel
acak pada suatu tempat yang sudah dipilih.
Jadi esensi penelitian tugas akhir teologis sama saja: ada sampling,
lapangan, skedul waktu penelitian, pengumpulan data secara teknis serta
analisis data. Hanya saja dalam studi kepustakaan teologi selama ini
dilakukan secara langsung, mungkin karena tidak tahu prinsipnya atau
membuatnya secara malas, seperti menulis paper semesteran. Adapun
lapangan adalah perpustakaannya, sampling di sini dipakai dengan
mengumpulkan buku-buku dan mereserved dalam perpustakaan khusus
sendiri. Lalu membaca adalah cara memperoleh informasi relevan pada
sampel terfokus dan bertujuan.24
Kerja itu setara dengan wawancara
dan angket di kancah lapangan. Jadi, layaknya riset kualitatif adalah
peneliti itu sendiri melakukan pengumpulan data dengan cara membaca
literatur secara komprehensif untuk memperoleh informasi yang relevan.
Lalu menganalisisnya dan menyusun dalam topik-topik yang sudah
tereksposisikan, bahkan kadang sudah ada kerangkanya.
Peneliti kepustakaan memakai kartu catatan lapangan, yang biasanya
hanya dibuat secara serampangan seperti membawa notes kecil. Kelak
catatan-catatan ini dimasukan dalam lampiran skripsi untuk menegaskan
bahwa penulis melakukan proses penelitian yang formal. Sejak
pendekatan kualitatif harus mendapat tempat yang baik dalam arena
skripsi teologi, maka kartu catatan lapangan yang formal harus menjadi
keniscayaan riset kepustakaan. Jadi peneliti terhindar dari kutip-mengutip
langsung dari buku-buku, tanpa mengumpulkan data secara formal lalu
menganalisisnya. Kelak juga peneliti kepustakaan harus melakukan uji
keabsahan data melalui bacaan yang lebih khusus atau lebih dalam, yang
dicatat juga dalam kolom ulasan lain pada kartu pencatat. Namun bisa
juga didiskusikan dengan pembimbing atau para pakar lainnya.
Ringkasnya, prosedur dan teknik pengumpulan data dalam penelitian
24Lih. lagi tabel jenis sampling Agus Salim, Ilmu Paradigma, 13.
230 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
kepustakaan, minimal dan melakukan pemeriksaan ulang (recheck) dan
pemeriksaan silang (crosscheck), yang setara dengan trianggulasi data
pada penelitian lapangan.
Disini juga perlu adanya jadwal waktu yang tertera secara formal,
misalnya 1 bulan bab 2, satu bulan bab 3, satu bulan perbaikan draft dan
menyelesaikan pernak-pernik untuk maju sidang. Bahkan biaya penelitian
pun direncanakan. Biasanya untuk menghemat waktu, maka waktu pagi
digunakan untuk mencari data, sedangkan pada siang dan malam bisa
menuliskannya. Harus ada waktu khusus dan formal mengumpulkan
informasi dengan membaca serius namun cepat dan tepat. Lalu
menuliskannya pada lain waktu; artinya tidak boleh selalu langsung
bersamaan, seperti tulis paper saja. Menulis paper berbeda dari menulis
skripsi/tesis dalam hal proses dan tuntutan kualitas riset bukunya. Dalam
paper sering kali tidak ada permasalahan yang nyata untuk diselesaikan;
mungkin hanya masalah pribadi saja. Namun dalam skripsi atau tesis
masalah pribadi harus ditransform ke dalam masalah penelitian lengkap
dengan latar belakang (faktual), lalu identifikasi permasalahan
(konseptual) serta perumusan permasalah, lengkap dengan pertanyaan-
pertanyaan risetnya.
Instrumentasi dan Pengumpulan Data dalam Riset Kepustakaan
Di dalam Bab 2 ini, peneliti meninjau kepustakaan untuk menurunkan teori
berdasarkan pendapat dan hasil-hasil penelitian yang sudah ada dalam
berbagai genre buku akademisi secara urutan riset: mulai dari 1) karya
umum (ensiklopedia, kamus), 2) literatur berkala (termasuk koran serta
majalah, 3) buku buku monografi, 4) material tidak terbit: diktat, skripsi,
dokumen lembaga atau pemerintah, 5) artikel jurnal teologi.25
Bahkan
tidak kalah penting informasi internet. Prinsipnya bagi peneliti teologis,
Ensiklopedia dan kamus adalah sebagai informasi umum dan tidak
25Lihat dalam Cyril Barber, Introduction to Theological Research, 17 dst.
JURNAL TEOLOGI STULOS 231
otoritatif dibandingkan dengan topik-topik khusus dalam jurnal akademik,
bahkan tulisan-tulisan kesarjanaan akademik yang tidak terbit seperti
skripsi atau tesis, yang merupakan hasil penelitian terakhir. Namun
sayangnya diabaikan secara sadar oleh dosen yang kurang akademis dan
murid yang salah pengertian tentang otoritas bacaan sumber informasi
tersebut. Bahkan majalah rohani bisa juga penting, karena menyajikan
fakta dan kadang juga mengandung dokumen pemerintah atau laporan
LSM. Lebih lagi adalah catatan kesarjanaan seperti diktat kelas tidak
kurang otoritasnya, dibandingkan buku monografi, ensiklopedia Alkitab/
kamus teologi. Jadi mengidentifikasi sumber sekunder atau primer adalah
prlu, tetapi nilai otoritas juga tidak boleh diabaikan apalagi salah
mengerti. Seperti pola yang diadopsi dari piramida terbalik Ballenger.26
Jadi sebagai dosen teologi tidak boleh dalam studi kepustakaan
mengabaikan dan membimbing kurang akademis. Teologi sebagai ilmu
khusus sangat maju dalam penelitian. Kiranya para murid menyadari
kekeliruan selama ini. Jurnal akademik membuat menjadi lebih
mendalam dalam pengetahuan secara khusus dan lebih otoritatif. Karena
kepentingan teologi, saya menegakkan piramida terbalik itu dengan
alasan teologi semakin meninggi pandangan, karena berani berbeda
dalam pengakuan, bukan saja mendalam atau meluas dalam fakta-fakta,
tetapi juga kebenaran akan meninggikan dalam sajian dan sekaligus
meninggikan pandangan intelektual.
Pembacaan mendalam pada literatur dalam level tingkat ini
menghindari kesalahan dalam riset akademis yang bukan hanya sekedar
pendapat pribadi saja. Tetapi setiap klaim ada dasarnya dan ada
jaminannya, dapat di eksplanasikan dan diargumentasikan secara persuasif
dengan bukti-bukti premis lain. Riset bukan hanya opini pribadi, kalau
ada klaim harus ada alasan pendukung sebagai bukti dan terjamin dalam
fakta-fakta yang terargumentasi secara persuasif.
Pentingnya mengidentifikasi genre-genre akademik ini untuk melihat
26Bruce Ballenger The Curious Researcher: A Guide ti Writing research Paper
(second revised ed. Toronto Alyn and Bacon,1999), 10.
232 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
relevansi dan otoritas dari tulisan skripsi. Disinilah Cyryl Barber sebagai
seorang pustakawan, mengetahui pentingnya tugas pustakawan untuk
menolong periset pustaka. Seorang yang ahli dalam bidang keilmuan
bukan hanya tahu cara mengatur rak, tetapi tahu juga tugas bagi
kemajuan ilmu pengetahuan, mencintai pengetahuan dan ahli dalam
menolong peneliti, seperti nyata dalam beberapa pertanyaan yang
diungkapnya.27
Jadi bukan sekedar job yang tidak ada panggilan keilmuan.
Hal yang mendasar sangat penting untuk mengantisipasi bobot riset
pustaka.
Pentingnya Ketrampilan Membaca dalam Penelitian Pustaka
Penelitian teologis sejak awal (asalinya) telah menggunakan riset
kepustakaan, yang sebenarnya adalah keunggulan studi teologi daripada
ilmu empirik lain, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi dalam
penelitiannya. Ilmuwan empirik kurang kuat dalam kajian teoritis pada
tinjauan literatur. Cenderung tidak argumentatif dan eksplanatif, hanya
deskriptif tulisan yang rata semata. Padahal survei lapangan atau
eksperimen laboratorium paling penting dari kegiatan penelitian yang
harus dilaporkan secara lengkap dari wawancara atau kuesioner. Dari
observasi sepintas lalu pada disertasi doktoral tersebut, kajian teoritis dalam
ilmu-ilmu non teologi sangat lemah dan jelek. Walaupun kelak akan
menelurkan teori baru dari temuan lapangan, namun pemikiran
teoritisnya kurang tajam, dalam dan jelas. Hal ini diakui oleh peneliti
sosial lapangan, “...tetapi karena kepustakaan tidak dapat mengganti apa
yang terjadi di lapangan dan kejadian aktual yang [teramati], maka
banyak peneliti cenderung [mengacuhkannya]”.28
Namun banyak mahasiswa dalam TA mengalami rasa takut, salah
berpikir, dan keraguan dalam menuangkan pemikiran, dan akhirnya
27Ibid. 13. 28James A Black., Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, terj.,
(Bandung: Penerbit Refika Aditama, 1999), 286.
JURNAL TEOLOGI STULOS 233
mandeg dalam menulis. Kaum injili mengalami hal takut kesesatan ajaran29
lalu membaca buku untuk mencari “dukungan”, dan kemudian tidak
berhasil menulis satu katapun sebelum mengambil langsung dari buku.
Kendala ini sebenarnya dapat diatasi dengan prinsip skripsi adalah
tentang meneliti bukan tentang menulis. Dalam penelitian adalah proses
pentingnya mengumpulkan informasi dari membaca untuk mendalami
topiknya, bukan untuk mencari kutipan. Dengan demikian penelitian
harus rajin ke perpustakaan untuk mencari informasi yang relevan dan
mengumpulkan data dalam catatan-catatan terpisah, bukan langsung
mengetik isi buku pada laptopnya.
Kebingungan selama ini jangan membuat mundur, tetapi disadari
bahwa sedang meriset, karena kalau bingung itu berarti sedang berpikir
dan lalu mencari informasi. Inilah prinsip penelitian kepustakaan yang
selama ini tidak disadari, “aku bermasalah maka aku meriset”. Bingung
adalah tanda berpikir dan meriset harus diasah terus menerus dalam
diskusi kelas dan pembacaan lanjutan. Keunikan studi teologi adalah
perdebatan, ibarat “makan sayur tanpa garam”. Disitulah mahasiswa
akhir dilatih untuk berpikir dengan leluasa untuk menjawab kebingungan
awal di dalam skripsi/tesis. Ketakutan untuk salah tidak mengurungkan
niat untuk menuliskan pemikirannya, sebab salah mungkin tanda original.
Jadi kutipan pada kajian pustaka dalam skripsi harus melalui
pembacaan kritis dalam apa yang disebut book review bahkan book
critique, baru akan menghasilkan suatu kutipan yang berpikir secara
eksplanatif dan persuasi berdasarkan mentalitas mengkaji buku dalam
“membaca sambil berpikir dan berpikir sambil membaca.” Kalau tidak
melalui cara resensi buku, maka kutipan menjadi tidak bermutu bahkan
tidak layak menjadi bahan referensi studi tingkat akhir. Seperti
pembacaan buta huruf intelektual masa kini, yang membaca tanpa proses
mengerti apa yang dibaca. Inilah kemungkinan besar para mahasiswa
teologis itu jatuh ke dalam “memberhalakan buku tanpa minat literatur”
29Lih tulisan saya khususnya melihat “Kemelekan Teologi dan Kepenulisan Injili”
dalam Jurnal Teologi dan Misi STTIAA Vol 1/No 1 (Agustus 2011): 133 dst
234 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
dan hanya pajangan buku untuk memamerkan nama-nama pengarang
atau judul-judul buku, yang mereka idolakan. Ini sama dengan buta-huruf
intelektual masa kini, bisa membaca kata saja tanpa bisa mengerti
maksud bacaan, dalam penilaian mendalam sampai mendapat pengertian
yang baik. Kondisi itu lebih parah daripada biblioholicism, -penyakit
kecanduan buku-, yang menurut saya sangat positif dan sikap intelektual.30
Jadi kutipan referensi akan bervariasi dalam debat, diskusi, menilai, bisa
dikritik, diperpanjang, diperpendek, bukan sekedar sebagai pendukung
melulu. Karena itu dalam tingkat pembacaan mendalam, suatu kutipan
tidak harus berupa dukungan, tapi bisa juga penilaian kritik dan pendapat
evaluatif tentang pendapat bahkan informatif data saja.
Sejauh ini kurang diperhatikan ada buku yang membimbing proses
riset pustaka secara operasional dan teknis prosesnya, yang ada sekarang
hanya menginformasikan sebatas survey apa-apa saja yang ada di dalam
perpustakaan, dan bagaimana mengidentifikasi buku-buku dalam indeks
buku, paling jauh hanyalah informasi untuk penggunaan buku secara umum
dan eksternalnya.31
Apalagi ada banyak pustakawan yang tidak berlatar
belakang teologi, hanya tahu urutan-urutan buku saja di raknya. Jadi tidak
banyak membantu seorang yang sedang melakukan riset. Memang harus
dipikirkan bagi banyak STT untuk menyekolahkan muridnya satu sampai
dua tahun mengambil S2 bidang perpustakaan dan informasi, lalu melayani
di perpustakaan seminarinya. Daripada menyewa orang yang tidak mengerti
buku teologi sama sekali, selain hanya bisa mengatur buku dan tidak
mencintai teologi, bahkan hanya sebatas job karena proyek akreditasi.
Pustakawan ‘sewaan’ akan melemahkan kualitas penelitian kepustakaan
di seminari. Khusus seminari injili harus belajar untuk mempunyai
30Lih. juga Toom Raade, Biblioholicsm: The Literary Addiction (Golden, CO:
Fulcrum Pub., 1991). 31Lih sedikit dalam Thomas Mann, A Guide Library Research Method (New York
Oxford: Oxford University Press, 1987) . juga Cyril Barber, Introduction To Theological Research (Chicago: Moody Press,1982). Yang paling baru juga menunjukkan bahwa penelitian teologis dalam skripsi didominasi oleh studi pustaka seperti dalam Nancy Jean Vyhmeister, Quality Research Paper: For Students of Religion and Theology (Grand Rapids: Zondervan Pub, 2008).
JURNAL TEOLOGI STULOS 235
pustakawan yang diasuh oleh seorang dosen dibidangnya dan punya minat.
Sebenarya peneliti kepustakaan masih dapat ditolong dalam proses
membaca yang baik dan maksimal dalam kajiannya. Walau sama saja
caranya sejak dulu, hanya pengertiannya perlu ditingkatkan sampai level
intelegen. Untuk menyasar target tersebut, ada satu buku How to Read A
Book yang menolong pengertian proses membaca yang efektif dan
efesien dalam ruang akademis. Pada dasarnya “reading” adalah suatu
aktivitas dan seni; untuk itu perlu membaca secara “active reading”32
yang peruntukannya ada dua fungsi: “reading for information and reading
for understanding.”33
Dari fungsi pertama hanya pembacaan pasif untuk
mencari informasi saja tanpa pengertian yang mendalam dan kritis. Tetapi
yang kedua “reading for understanding” harus dimengerti sebagai reading
as learning,” yaitu suatu proses pembelajaran ini harus seiring pada
peneliti akademis yang menekankan “learning by discovery” (bukan
“learning from instruction”)34
Di sini pembelajaran dari pengajaran yang
sudah ada di dalam kelas akan menjadi titik tolak untuk melanjutkan
pembelajaraan melalui penemuan sendiri di dalam pembacaan buku.
Selanjutnya penelitian pustaka harus memahami dan meningkatkan
proses yang selama ini dari level elementary reading menuju inspectional
reading yang disebutnya sebagai “the true level of reading”, khususnya
dalam level akademis dengan menggunakan teknik skimming. Pembacaan
awal (pre-reading) adalah “superficial reading” bersifat provocatif35
dan
yang ketiga adalah “analitical reading”,36
di mana tahap seorang akademis
harus mengarahkan seluruh kemampuan untuk menganalisis konten
bacaan dan menentukan pesan penulis secara tepat, lewat pembacaan
evaluatif dan kritis. Yang terakhir adalah level keempat yang dikatakan
“syntopical reading” yaitu suatu pembacaan yang luas dengan melihat
32Mortimer J Adler & Charles van Doren, How to Read the Book: A Classic Guide
to intellegent Reading (New York: Touchstone Book, 1972 [1940]), 4. 33Ibid., 7. 34Ibid 11. 35Ibid.31 dst. 36Ibd. 59 dst.
236 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
semua topik yang mungkin terkait relevan37
dalam pembacaan lintas
tema. Seorang penulis skripsi/tesis teologi diharapkan sudah dapat sampai
pada pencapaian tahap ini.
Namun demikian penelitian harus menyadari dari kejatuhan selama
ini, periset jatuh kedalam ‘compilation of quotation’38
yang tidak terkait
secara analisis konten dalam kaitannya dengan pembacaan pendalaman
pengertian. Padahal sebenarnya riset bukanlah sekedar kompilasi kutipan,
disinilah kelemahan mahasiswa teologi dalam menulis yang dikarenakan
tidak berani atau kurang berani mengungkapkan pendapat dan pemikiranya
dalam tulisan, meski sangat baik dalam berbicara. Itu suatu yang salah
dalam intetelektualitas teolog muda tersebut, nantinya. Seperti yang
disarankan olah James Sire dalam bukunya The Habit of Mind, tidak ada
kerangka pikir obyektif dan luas seperti intelektualitas versi fundamentalis,
yang sempit dan mengabaikan membaca sambil berpikir dan berpikir
sambil membaca. Pada bab 8, Sire mengungkap pentingnya “berpikir
dengan membaca” dengan dua prinsip dasar: “pembacaan mengarahkan
pikiran” dan “pemikiran mengarahkan pembacaan”39
Jadi yang harus
diperhatikan bukan hanya mencari dan menjejerkan kutipan, seperti pada
kesalahan “maniak kutipan” yang hanya senang dengan pencanggihan
nama orang untuk pamer dan cari dukungan saja. Hal ini dalam penelitian
tugas akhir menjadi tidak komprehensif, akhirnya keahliannya pada topik
tersebut bernilai kurang kreatif dan otoritatif juga.
Kesulitan penelitian pustaka di Indonesia adalah buku-buku yang
kualitas dalam pemikiran yang mendalam dan meninggi, yang biasanya
ada dalam textbook berbahasa Inggris. Kelak kalau sudah banyak buku
yang pemikirannya mendalam dalam bahasa sendiri, peneliti pustaka
tidak bergantung lagi pada yang berbahasa asing juga, seperti halnya
teologi Jerman, Prancis, Belanda dll. Namun kelemahan buku terjemahan
bagi penulis Indonesia karena indeks selalu dihilangkan. Ini kekeliruan
37Ibid. 337 dst. 38Vyhmeister, Quality Research Paper, 6. 39James Sire, The Habits of Mind, terj. (Surabaya: Momentum, 2007),
JURNAL TEOLOGI STULOS 237
besar dari penerbit dan penterjemah yang tidak mengindahkan kedalaman
riset pustaka. Faktanya peneliti memerlukan efesiensi dan efektifitas
dalam mencari informasi namun kurang sadar fungsi indeks: nama orang,
topik, atau teks Alkitab, yang ada bagian belakang buku, yang langsung
dapat menuntun pada informasi secara intensif pada halaman tertentu.
Jebakan Plagiarisme dalam Penelitian Kepustakaan
Di sinilah baru bahaya dikatakan paligiatisme muncul. Ini memang
‘jebakan’ serius yang harus dihindari bukan justru disombongkan oleh
periset pustaka teologis. Karena secara sadar dan bermaksud mengutip
langsung dari mata (melihat kiri) ke tangan (mengetik kanan), tanpa
menyebut sumber referensiyang memadai dan tetap. Ini baru namanya
plagiatisme. Karena secara sengaja bermaksud langsung mengutipnya
dari penulis asli, baik tertutup (gagasannya) dan terbuka (kata-katanya).
Inilah yang membuat para dosen dan penulis takut menulis karena
takut dituduh plagiat. Apalagi bulan ini, Dirjen Dikti Kemendiknas
menginfomasikan 80 % penelitian para dosen disinyalir plagiatisme.40
Tentu yang dimaksudkan belum tentu penelitian kepustakaan, bahkan
banyak yang langsung mengambil hasil penelitian orang lain untuk
mengumpulkan kredit untuk kenaikan pangkat akademik atau jabatan
fungsional pendidikan.41
Walau ada yang hanya mengkaitkan pada hal
“tindakan pengutipan referensi pada tulisan”42
namun ada juga yang
melihat lebih besar termasuk: 1) menggunakan naskah yang sudah pernah
dikumpulkan sebelumnya atau teks yang mirip untuk memenuhi tugas
kuliah yang lain, 2) mengambil karya sesama mahasiswa dan
menjadikannya karya sendiri, 3) membeli atau membayar orang lain
untuk membuatnya dan ditulis atas nama dirinya”.43
Tentu itu semua
40Pikiran Rakyat 3 Oktober 2013. 41Lih Henry Soelistyo, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta (Yogyakarta: Kanisius,
2011), 112. Disini berdasarkan Permendiknasno 17 tahun 2010. 42Ibid., 112. 43Seperti yang dkutip Sulityo dari tulisan Agus Wayudi tentang “Plagiarisme dan
Cara Menghindarinya” (internet) dalam ibid., 111.
238 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
menjadi plagiarisme, kalau bermaksud khusus dan langsung pakai.
Apakah yang dimaksudkan plagiarisme sudah ada dalam dasar
hukum bahkan dengan ancaman sangsi dalam Permen Diknas 17, 2010
tersebut, tanpa mengerti bagaimana proses teknis dalam menulis artikel
ilmiah. Mungkin karena tidak pernah menulis satukalipun, tetapi hanya
menggunakan program deteksi secara komputerisasi. Tentu cara dan
motif evaluasi yang salah ini juga dalam menggunakan instrumen yang
tidak berperasaan itu, karena belum tentu kalau keluar tanda merah,
berarti menjiplak. Semua dosen membaca buku lalu menginternalisasi
bacaan dalam pikiran bahkan hatinya. Kemudian keluar hasil pemikiran
lewat mulut dan tangan. Pembacaan mungkin sudah lama dan sudah lupa
membaca dari mana lagi, mungkin juga membaca dari tempat sampah
(belum tentu tidak berarti). Namun ketika penulis mengetik naskahnya
tanpa membuka buku lagi, dan langsung menuangkan pikirannya
sendiri yang mungkin terhubung dengan bacaan tersebut, namun tidak
ingat lagi siapa dan buku apa yang dibaca, lalu menuduh “plagiat” tanpa
pemeriksaan lanjutan. Itu akan menjadi fitnah akademis yang memandulkan
karya ilmiah, serta melanggar kebebasan akademis.
Memang secara sederhana dalam paper pustaka akademis teologi,
biasanya seperti usaha “becoming an authority by using Authorities”
dengan cara “using the ideas of others to shape ideas of their own.”44
Namun tidak selalu demikian. Sejak penulis skripsi adalah personal maka
tujuan utama serta gagasan asali skripsi lah yang dominan. Disini kita
menolak asal mengutip untuk cari dukungan dan menjejerkannya menjadi
suatu kompilasi tulisan sehingga lupa gagasan awal.
Dalam riset pustaka, dituduh plagiarisme kalau secara intens
mengambil kata atau ide secara langsung dan seketika ketika membaca
dan mengunakannya. Selanjutnya kalau tergunakan tanpa teringat atau
tanpa membuka lagi, mungkin karena lupa bahkan bukunya pun lupa,
maka bukanlah plagiatisme riil. Disini harus jujur dan adil. Saya sendiri
tidak takut dituduh plagiatis meskipun cara mengukur plagiatisme dengan
44Ibid. xxiii.
JURNAL TEOLOGI STULOS 239
sistem komputer. Riilnya tidak mau mencontek, apalagi kalau dikatakan
dosen itu terbiasa berpikir, namun tidak terbiasa menulis. Tetapi kalau
sudah menikmati kebiasaan menulis maka akan merasa nyaman. Yang
perlu diingat oleh periset pustaka adalah, “A reasercher must quote only
what he has him-self read (or heard)” beside the author rights in literary
property ‘make’ credit necessary”45
Prinsip ini harus dimengerti oleh
penulis skripsi teologi sekarang adalah, “quotations are illustrasions, not a
proofs” “two rules ...from the principles just state: “Quatation must be
kept short and (2) the must as far as possible be merged into the text”
sebagai maksud penulis tersebut bukan sekedar memberi contoh.46
Apakah mungkin justru orang yang mengkomplain bisa menelusuri
lewat penanggalan. Tetapi tidak fair juga kalau mendasarkan publikasi,
kalau memang dalam ruang-ruang kelasnya sudah pernah diucapkan dan
memang jelas tidak kenal bahkan lain arah dari dirinya. Terus-terang
contohnya sekarang ini penulis [saya] hampir menulis 2700 kata (sampai
titik ini) tanpa sedikitpun membaca buku langsung dan menyalinnya.
Memang ada beberapa nama ada di kepala yang masih teringat yang
harus diberi kredit, tetapi tulisan ini saya kerjakan sendiri tanpa mencari
kutipan secara aktif atau sengaja dan tanpa kesulitan sedikit pun dalam
menuliskan pemikiran. Pemikiran itu diesai dan refleksi serta diopinikan
tanpa pembacaan langsung, tetapi dengan mengingat banyak hal yang ada
dalam pikiran dan teringat secara otomatis lalu tergelontorkan lewat
jari-jari tangan secara langsung, dan hanya dalam setengah jam [paling
lama 45 menti saja]. Namun demikian mengapa bisa dituduh plagiat dan
ditakut-takuti para pejabat yang tidak menulis. Menurut pengalaman,
menulis itu adalah mudah, yang sulit justru mengedit dan mengurangi
jumlah halaman.
Plagiatisme yang diserangkan pada penulis akademis dan penelitian
tidak produktif, dan merupakan kekerdilan intelektual bahkan ketidakadilan
45Acques Barzum, Henry F. Graff, The Modern Research: The Classic Work and
Writing Completely Revised and Brought Up to Date (5th ed forthworth etc: Harcourt Brace Jovanovich College Pub. 1992).
46Ibid., 279.
240 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
akademis. Disinilah politik dan ekonomi masuk ke dalam dunia intelektual,
sehingga banyak intelektual akademisi menjual dirinya karena interes yang
tidak ada idealisme kesarjanaan, “pengaruh kedudukan” demi “bisnis
menjual pengetahuan”dan “cari uang di market place.”47
Jadi harus
hati-hati dengan penerapan plagiarisme tersebut. Memang di Indonesia,
banyak dosen yang tidak menulis, karena tidak baca dan tidak berpikir,
sehingga tidak ada yang dapat ditulis. Namun dalam teologi Dosen harus
menjadi figur berteologi di dalam penulisan.
Kalau informasi tersebut hanya digabungkan secara koheren dan
hanya melaporkan saja tanpa pendapat personal dari penulis, maka
disebut “Report”, tetapi kalau penulis menyajikan idenya pada bacaan
tersebut dan membuat penilaian serta posisi personalnya pada pokok isu
maka menjadi argumentasi, yang disebut theses. Yang terakhir inilah
“ type of paper that scholars published in journals, because it is type that
communicates advances in knowledge, new ideas and a new points of
view.”48
Sedangkan yang pertama adalah kompilasi seperti pada skripsi
teologi di Indonesia, yang dalam proses penelitiannya setara sebutan theses.
Untuk menghindari rasa bersalah karena plagiarisme, Manasche
mengingatkan, sbb: 1) use your own word and sentences structure, even
writing about the ideas of others 2) when paraphrasing (putting an idea
in your own word) avoiding using any words from the original.49 Dalam
bukunya ada 3 contoh, dimana sebagai “full paraphrase” dan “with
original word and structure of sentences changed; ini dapat diterima
karena berasal dari prinsip “an idea of common knowledge in the field of
education”.50
Karena hal itu sudah menjadi pengetahuan internal saya,
yang sama juga mungkin dengan orang lain, yang disebut “public
domain”. Oleh karena itu teolog harus terus membaca apa saja dari sudut
47Membaca buku, Pengkhianatan Kaum Cendikiawan, terj. (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama 1997), 29. 48 Lionel Menasche, Writing A Research Paper (Ann Arbor, Michigan: The
University of Michigan Press, 1996), 1. 49Ibid., 38. 50Ibid., 40 contoh no. 4 tentang bukan plagiarisme.
JURNAL TEOLOGI STULOS 241
pandang teologis, setelah itu berpikir hingga terinternalisasi di dalam
pikiran bahkan hati. Sehingga dapat dikeluarkan lain waktu tanpa melihat,
bahkan bukunya sudah lupa. Namun jika seseorang membaca buku
tertentu secara sengaja untuk mencari kutipan, maka pasti langsung
memakai kata dan ide dari bacaan, tentunya harus memakai tanda petik
(“ “) agar tidak dianggap plagiat.
Pengalaman memang diakui bahwa awalnya, banyak orang yang
tidak dapat menulis satu kata pun dari pikirannya, kecuali dengan
membaca dan mengutip buku orang dulu, termasuk dosen. Tetapi teologi
adalah ilmu integral dan mengutamakan pemahaman bacaan dan senang
berpendapat lalu menuliskannya. Sedangkan banyak ilmu lain yang
jarang menulis. Disinilah keunggulan studi kepustakaan dalam teologi
dibanding ilmu-ilmu lain. Pengalaman ini menunjukan fakta pada
mahasiswa seminari tingkat M.Div kesulitan dalam menuliskan makalah.
Mereka ‘takut’ menuliskan pendapatnya karena takut pendapatnya sesat,
sehingga banyak copy-paste atau menyalin langsung dari buku. Padahal
yang dinilai bukan hanya hasil jadi tulisan yang langsung, tetapi proses
penelitian. Sejak riset secara sederhana dimengerti sebagai ‘usaha
mencari dan mengumpulkan informasi dan menata menjadi pengetahuan.’51
Banyak yang membuat TA seperti menulis paper saja, baik cara dan
kualitas dan motifnya, dan tidak melakukan penelitian sendiri. Jadi
peneliti pustaka harus melakukan aksi riset, menetapkan sampling dalam
penelitian lapangan perpustakaan, khusus melokalisir buku-buku yang
relevan, lalu ditanyakan dalam wawancara atau kuesioner di lapangan.
Namun dalam riset pustaka dilakukan dengan cara membaca secara
mendalam dalam level 1-4 untuk memperoleh informasi yang akurat.
Selain itu, menulis yang konsisten dan koheren secara internal sangat
penting nilainya dalam riset pustaka. Tulisan itu berasal dari olahan
bacaan dengan tiga dimensi kerja dalam skripsi teologi: eksposisi:
menggambarkan prinsip-prinsip konseptual dengan hubungan-
hubungannya; eksplanasi: menjelaskan alasan dan secara, argumentasi;
51Ibid.
242 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
membuktikan secara lebih meyakinkan.52
Penulisan ini dengan menimbang
prinsip argumentasi ilmiah dengan tiga faktor yang berhubungan tiga arah
seperti yang digambarkan segitiga kajian pustaka dalam claim, evidence
dan warrant.53
Jadi dalam klaim selalu dihadirkan lewat kalimat proposisonal di
didukung oleh alasan-alasan yang menjelaskan dan bukan hanya kutipan-
kutipan dari buku lain. Lalu alasan-alasan itu diekplanasikan dengan cara
menurunkan kata-kata yang penting dalam proposisi di atas untuk
mendukung kejelasan proposisi di atas, sehingga jelas diterima
maksudnya. Lalu dipersuasikan secara bukti-bukti dalam argumentasi,
yang mungkin juga memakai fakta-fakta dan informasi lebih luas. Disana
ada tiga aspek mengolah informasi: cek, ricek dan kroscek bacaan yang
relevan dan lebih khusus, bukan sekedar cari kutipan tanpa pengertian
mendalam dalam analisis isi bacaan. Penulis harus berpikir sendiri dalam
aksi risetnya tidak sebagai corong orang lain. Disinilah tugas
pembimbing dan mentor sangat penting dalam penulisan skripsi, sehingga
termodifikasi dalam segitiga argumentasi ilmiah, seperti dibawah.
Misalnya seorang menulis, “seorang yang percaya Yesus pasti sehat,
sembuh dan selamat” dan frase ini dikutip harus dipikirkan mendalam
dan dianalisis kontennya, apa yang dimaksudkan dengan sembuh atau
sehat dan selamat? “Apakah hubungan sembuh dan percaya Yesus apakah
hubungan selamat karena Yesus dan sembuh karena Yesus”, dlsb.
52Bandingkan dengan bidang ilmu non teologi dari Emi Emilia, Menulis Tesis dan
Disertasi. (Bandung: UPI dan Alfabeta, 2009). 53Booth, Collomb, Wiliams, The Craft of Research, 21.
Persuasi/jaminan
Eksplanasi/alasan Proposisi/klaim
JURNAL TEOLOGI STULOS 243
Pertanyaan semuanya “diturunkan” (inferensi) dalam tulisan pada
alinea tersebut, bahkan mungkin boleh dilebarkan alinea lain jika ada
hubungan dengan fakta lain. Jadi dalam berteori penulis dan peneliti
membentuk teori tentang topik secara kritis dan avaluatif seturut
tujuan risetnya seperti yang telah terumuskan dalam problematika.
Penulis harus menjelaskan alasannya, memberikan bukti yang
persuasif dan mengeksposisikan dalam prinsip-prinsip saling terkait.
Disinilah pemikiran dinamis berjalan dalam ‘hipotesis kerja’, yang
adalah pertanyaan-pertanyaan yang terus-menerus dalam kepala peneliti.
PENUTUP
Keilmuan teologi adalah kajian praktis, aplikatif, bersifat integral
dalam skop kajian, dan bekerja secara refleksi sistematis berdasarkan
analisis data secara kualitatif pada kepercayaan iman yang didasarkan
pada wahyu Allah yang supranatural. Keilmuan teologi harus konkrit dan
bermanfaat bagi masyarakat terutama gereja. Dengan prinsip-prinsip
penelitian kualitatif yang dianggap paling cocok dengan kebenaran
teologis dalam penelitian kancah yang naturalistik.
Skripsi/tesis teologi bukan soal menulis tetapi meriset. Dalam riset
yang penting proses metodologinya dijalankan, dalam riset kepustakaan.
Selain itu penelitian teologis awal biasanya mengunakan metode
pembacaan literatur untuk mengumpulkan data. Artinya penelitiannya ada
lapangannya juga, yaitu perpustakaan. Maka mahasiswa yang menulis
skripsi/tesis harus masuk ke perpustakaan secara konsisten, bukan hanya
mencantum studi pustaka tanpa ada pencarian data secara formal dalam
pencatatan informasi. Akhirnya harus dilampirkan dalam skripsi sebagai
suatu yang menyatakan proses penalitian.
244 KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
DAFTAR PUSTAKA
Adler, Mortimer J & Charles van Doren, How to Read the Book: A
Classic Guide to Intellegent Reading. New York: Touchstone
Book, 1972 [1940].
Ballenger, Bruce. The Curious Researcher: A Guide to Writing Papers.
revsd prin, Boston, London etc: Allyn & Bacon. 1999.
Barber, Cyril. Introduction To Theological Research. Chicago: Moody
Press, 1982
Booth,Wayne C. Gregory G. Colomb, Joseph M Williams, The Craft of
Research. Chicago: The University of Chicago Press, 1995.
Mann, Thomas A Guide Library Research Method. New York Oxford:
Oxford University Press, 1987.
Menasche, Lionel. Writing a Research Paper. Ann Arbor: The University
of Michigan Press, 1996
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Banding
Rosda Karya, 2005.
Nazir, Moh Metode Penelitian Ilmiah. Jakarta: Ghalia, 1989
Salim, Agus. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006.
Soelisty, Henry, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta. Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
Sudjana, Nana Tuntunan Menyusun Karyta Ilmiah: Makalah, Skripsi,
Tesis Disertasi. Bandung: Sinar Algensindo, 2001.
Suriasumantri, Jujun S. Ed. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2009.
Vyhmeister, Nancy Jean. Quality Research Paper: For Students of
Religion and Theology. Grand rapids: Zondervan Pub, 2008.
Winkler, Anthony C. Jo Ray McCuen. Eds. Writing Research Paper: A
Handbook . Sandiego: HBJ Pub, 1989.