Kehamilan Postterm
Transcript of Kehamilan Postterm
BAB I
PENDAHULUAN
Sekitar 7 % dari 4 juta bayi yang lahir di Amerika Serikat selama 2001
diperkirakan telah dilahirkan pada 42 minggu atau lebih. Analisa dari 27.677
kelahiran wanita Norwegia, terjadi peningkatan dari 10% ke 27%, jika kelahiran
pertama postterm. Dan menjadi 39% jika dua kali kelahiran postterm.1
Definisi kehamilan diperpanjang yang telah direkomendasi secara standar
internasional, didukung oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (1997), adalah menggenapi 42 minggu (294 hari) atau lebih, dari
hari pertama periode menstruasi terakhir. Adalah penting untuk menegaskan kata-
kata “menggenapi 42 minggu.” 1
Masalah utama dalam kehamilan postterm adalah bahwa
mortalitas perinatal yang meningkat. Pada kehamilan postterm terjadi
perubahan keadaan plasenta, cairan amnion dan janin. Perubahan tersebut
meningkatkan risiko perinatal yang buruk. Beberapa keadaan yang penting untuk
diwaspadai adalah oligohidramnion, aspirasi mekonium, asfiksia janin dan
distosia bahu.1,2
Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, maka perlu memahami faktor
risiko dan mempersiapkan secara seksama pengelolaan sebelum dan selama
persalinan. Sehingga sejak dini dapat diwaspadai dan diantisipasi untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kehamilan Lewat Bulan, disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan
lewat waktu, prolonged pregnancy, postterm pregnancy, extended pregnancy,
postdate/ posdatisme atau postmaturitas adalah :
Definisi kehamilan postterm yang telah direkomendasi secara standar
internasional, didukung oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (1997), adalah menggenapi 42 minggu (294 hari) atau lebih, dari
hari pertama periode menstruasi terakhir. Adalah penting untuk menegaskan kata-
kata “menggenapi 42 minggu.” Kehamilan antara 41 minggu hari 1 hingga 41
minggu hari 6, meskipun pada minggu ke-42, tidak melengkapi 42 minggu hingga
hari ketujuh telah berlalu.1
Definisi dari kehamilan postterm sebagai kehamilan yang bertahan selama 42
minggu atau lebih sejak onset dari sebuah periode menstruasi memperkirakan
bahwa menstruasi terakhir diikuti oleh ovulasi dua minggu kemudian. Ini
dikatakan, beberapa kehamilan mungkin sebenarnya tidak postterm, tetapi
cenderung merupakan kesalahan estimasi usia kehamilan karena kesalahan
mengingat tanggal menstruasi atau ovulasi yang tertunda. Jadi, terdapat dua
kategori kehamilan yang mencapai 42 minggu lengkap:1
1. Kehamilan yang benar-benar 40 minggu pasca konsepsi.
2. Kehamilan yang gestasinya kurang lanjut karena ketidaktepatan perkiraan
usia kehamilan.
Blondel dkk. (2002) menganalisis angka kehamilan posterm menurut enam
algoritma untuk memperkirakan usia gestasional berdasarkan baik periode
menstruasi terakhir, ultrasound pada 16-18 minggu, atau keduanya. Penelitian
Kanada ini melibatkan 44.623 wanita yang melahirkan antara 1978 dan 1996 di
RS Royal Victoria di Montreal. Proporsi kelahiran pada 42 minggu atau lebih
2
adalah 6,4 persen bila berdasarkan hanya periode menstruasi terakhir dan 1,9
persen bila hanya berdasarkan ultrasound. Ini menaikkan kemungkinan bahwa
tanggal menstruasi seringkali tidak akurat dalam mempekirakan kehamilan
postterm. Penelitian belakakangan oleh Bennett dkk. (2004) mengkonfirmasi hal
ini. Karena sebagian kecil wanita berovulasi lebih awal dari yang diperkirakan,
adalah mungkin bahwa genap 40 minggu pascakonsepsi dicapai setelah 41
minggu amenore. 1
Oleh karena itu, kebanyakan kehamilan yang dipercaya genap 42 minggu
setelah menstruasi terakhir mungkin tidak secara biologis diperpanjang.
Sebaliknya, beberapa yang belum 42 minggu mungkin saja postterm. Variasi pada
siklus menstruasi ini telah menjelaskan, paling tidak sebagian, mengapa sejumlah
kecil proporsi janin yang dilahirkan postterm memiliki bukti postmaturitas.
Karena tidak ada metode untuk mengidentifikasi kehamilan yang benar-benar
diperpanjang, semua kehamilan yang dinilai telah genap 42 minggu harus
ditangani sebagai perpanjangan abnormal.1
2.2 Insidensi
Sekitar 7 % dari 4 juta bayi yang lahir di Amerika Serikat selama 2001
diperkirakan telah dilahirkan pada 42 minggu atau lebih. Sebagai perbandingan,
12 % dari kelahiran hidup adalah preterm, didefinisikan sebagai 36 minggu atau
kurang.
3
Gambar 2.1
Usia gestasi pada kelahiran 4 juta bayi hidup di Amerika Serikat selama
2001. ( Disadur dari Martin dkk, 2002)1
Hasil kontradiktif ditemukan bila mempertimbangkan pentingnya variasi
dari faktor-faktor demografik maternal, seperti paritas, kelahiran postterm
sebelumnya, kelas sosioekonomi, dan usia. Satu hal yang menarik -
kecenderungan beberapa ibu untuk mengulangi kelahiran postterm - menunjukkan
bahwa beberapa kehamilan diperpanjang telah ditentukan secara biologis. Pada
sebuah analisis dari 27.677 kelahiran dari wanita Norwegia, insidensi dari
kelahiran posterm berkelanjutan meningkat dari 10 hingga 27 persen jika
kelahiran pertama adalah postterm. Hal ini meningkat hingga 39 persen jika telah
ada dua kelahiran postterm berurutan sebelumnya (Bakketeig dan Bergsjø, 1991).
Mogren dkk. (1999) melaporkan bahwa kehamilan diperpanjang juga muncul
antar generasi pada wanita Swedia. Jika ibu dan anak perempuannya telah
memiliki kehamilan sebelumnya, risiko kehamilan anak perempuan untuk
berkelanjutan diperpanjang meningkat dua hingga tiga kali lipat. Pada penelitian
Swedia lain, Laursen dkk. (2004) menemukan bahwa gen maternal, bukan
paternal, mempengaruhi kehamilan diperpanjang. Faktor fetal-placental yang
telah dilaporkan sebagai predisposisi kehamilan diperpanjang meliputi anensefal,
hipoplasia adrenal, dan defisiensi terpaut X dari placental sulfatase (MacDonald
4
dan Siiteri, 1965; Naeye, 1978; Rabe dkk., 1983). Ini menyebabkan kekurangan
kadar estrogen yang biasanya tinggi pada kehamilan normal. Akhirnya,
pengurangan pelepasan cervical nitric oxide dapat menjadi sebuah faktor
(Vaisanen-Tommiska dkk., 2004)1.
2.3 Etiologi
Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan, sampai saat ini sebab
terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa teori diajukan, yang pada
umumnya menyatakan bahwa terjadinya kehamilan postterm sebagai akibat
gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa teori diajukan antara lain :3
1) Pengaruh progesterone : Penurunan hormon progesterone dalam kehamilan
dipercaya merupakan kejadian perubahan endokrin yang penting dalam
memacu proses biomolekuler pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas
uterus terhadap oksitosin, sehingga beberapa penulis menduga bahwa
terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh
progesterone.
2) Teori oksitosin : Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada
kehamilan postterm memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara
fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan
pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil yang kurang pada usia
kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan
postterm.
3) Teori Kortisol/ACTH janin : Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai
“pemberi tanda” untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat
peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin. Kortisol janin akan
mempengaruhi plasenta, sehingga produksi progesterone berkurang dan
memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap
meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti
anensefalus, hipoplasia adrenal janin dan tak adanya kelenjar hipofisis pada
5
janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga
kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.
4) Syaraf uterus : Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser
akan membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada
tekanan pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan
bagian bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya
kehamilan postterm.
5) Heriditer. Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami
kehamilan postterm, mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat
bulan pada kehamilan berikutnya. Mogren (1999) seperti dikutip Cunningham,
menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat
melahirkan anak perempuan maka besar kemungkinan anak perempuannya
akan mengalami kehamilan postterm.
Patogenesis terjadinya kehamilan lewat waktu belum
diketahui secara jelas. Pada persalinan terjadi tiga hal, yaitu
pertama terjadi pematangan serviks, kedua timbulnya reseptor
oksitosin, dan terakhir terbentuknya gap junction diantara sel-sel
miometrium. Prostalglandin E2 dan Prostalglandin F2 alfa diyakini
berperan dalam proses permulaan persalinan, hal ini dibuktikan
dengan meningkatnya kadar PGE2 dan PGF2 alfa, baik dalam
cairan amnion, plasma maupun urin selama persalinan
berlangsung.8,9
Meskipun demikian, peranan prostalglandin dalam kejadian
persalinan kurang bulan masih belum jelas. Ada berbagai teori
yang mencoba untuk menjelaskan terjadinya proses persalinan,
salah satunya adalah Progesteron Withdrawal yang
menerangkan terjadinya proses inisiasi persalinan tersebut. Pada
kebanyakan spesies mamalia terjadi penurunan kadar
progesteron sebelum terjadinya inisiasi persalinan. Pada
manusia, progesteron secara fungsional akan menurun
mengikuti penurunan ekspresi reseptor progesteron sebelum
6
dimulainya persalinan.10,11 Penurunan ini mengubah supresi dari
ekspresi reseptor estrogen dan memberikan jalan aktivasi
estrogen terhadap jalur kontraktil termasuk peningkatan ekspresi
dari contractility-associated genes ( seperti : cyclo-oxygenase
tipe 2, connexin-43 dan reseptor oksitosin) dan responsifitas dari
miometrial terhadap uterotonin. Bersama dengan estrogen,
relaxin juga berperan dalam terjadinya parturien dengan
peningkatan fleksibilitas dari simfisis pubis dan lingkar
pelvis .8,9,12
Progesteron diketahui berperan dalam menghambat
pembentukan dan pelepasan prostalglandin. Pada saat tertentu
bersamaan dengan matangnya janin, menyebabkan kelenjar
adrenal janin menjadi lebih peka terhadap ACTH, sehingga
terjadi peningkatan sekresi kortisol. Kortisol janin ini akan
merangsang 17 hidroksilase dalam jaringan trofoblas dengan
akibat menurunnya sekresi progesteron yang selanjutnya
meningkatkan pembentukan estrogen. Perubahan rasio
estrogen / progesteron menyebabkan peningkatan pembentukan
prostalglandin.8,9
2.4 Diagnosis
Tidak jarang seorang dokter mengalami kesulitan dalam menentukan
diagnosis kehamilan postterm. Karena diagnosis ini ditegakkan berdasarkan umur
kehamilan bukan terhadap kondisi dari kehamilan. Beberapa kasus yang
dinyatakan sebagai kehamilan postterm merupakan kesalahan dalam menentukan
umur kehamilan. Lipshutz menyatakan bahwa kasus kehamilan postterm yang
tidak dapat ditegakkan secara pasti sebesar 22 %.
Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm disamping dari riwayat
haid, sebaiknya dilihat pula dari hasil pemeriksaan antenatal.3
7
2.4.1 Riwayat haid
Diagnosis kehamilan postterm tidak sulit untuk ditegakkan bilamana hari
pertama haid terakhir (HPHT) diketahui dengan pasti. Untuk riwayat haid yang
dapat dipercaya, diperlukan beberapa kriteria antara lain :
o Penderita harus yakin betul dengan HPHT-nya
o Siklus 28 hari dan teratur
o Tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir
Selanjutnya diagnosis ditentukan dengan menghitung menurut rumus Naegele.
Berdasarkan riwayat haid, seorang penderita yang ditetapkan sebagai kehamilan
postterm kemungkinan adalah :
a. Terjadi kesalahan dalam menentukan tanggal haid terakhir atau akibat
menstruasi abnormal
b. Tanggal haid terakhir diketahui jelas namun terjadi kelambatan ovulasi
c. Tidak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan memang
berlangsung lewat bulan ( keadaan ini sekitar 20 – 30 % dari seluruh penderita
yang diduga kehamilan postterm).
2.4.2 Riwayat pemeriksaan antenatal
Test kehamilan : bila pasien melakukan pemeriksaan test imunologik
sesudah terlambat 2 minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan memang
telah berlangsung 6 minggu
Gerak janin : Gerak janin atau quickening pada umumnya dirasakan ibu
pada umur kehamilan 18 – 20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar
umur kehamilan 18 minggu sedang pada multigravida pada 16 minggu.
Petunjuk umum untuk menentukan persalinan adalah quickening ditambah
22 minggu pada primigravida atau ditambah 24 minggu pada multiparitas
Denyut jantung janin : Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar mulai
umur kehamilan 18 – 20 minggu sedangkan dengan Doppler dapat terdengar
pada usia kehamilan 10 - 12 minggu
8
Pernoll menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan
postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai
berikut:
a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
b. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
c. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan
stetoskop Laennec
2.4.3. Tinggi fundus uteri
Dalam trimester pertama, pemeriksaan tinggi fundus uteri dapat
bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang tiap bulan. Lebih dari 20
minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan umur kehamilan secara kasar.
Selanjutnya umur kehamilan dapat ditentukan secara klasik maupun memakai
rumus McDonald : TFU dalam cm X 8/7 menunjukkan umur kehamilan dalam
minggu
2.4.4 Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pada trimester pertama pemeriksaan panjang kepala-tungging ( crown-
rump length) memberikan ketepatan sekitar +/- 4 hari dari taksiran persalinan.
Pada umur kehamilan sekitar 16 – 26 minggu ukuran diameter biparietal dan
panjang femur memberikan ketepatan +/- 7 hari dari taksiran persalinan. Beberapa
parameter dalam pemeriksaan USG juga dapat dipakai seperti lingkar perut,
lingkar kepala dan beberapa rumus yang merupakan perhitungan dari beberapa
hasil pemeriksaan parameter seperti tersebut di atas. Taksiran persalinan tidak
dapat ditentukan secara akurat bilamana BPD > 9,5 cm dengan sekali saja
pemeriksaan USG ( tunggal )
2.4.5 Pemeriksaan radiologi
9
Umur kehamilan ditentukan dengan melihat pusat penulangan. Gambaran
epifisis femur bagian distal paling dini dapat dilihat pada kehamilan 32 minggu,
epifisis tibia proksimal terlihat setelah umur kehamilan 36 minggu, epifisis kuboid
pada kehamilan 40 minggu. Cara ini sekarang jarang dipakai selain karena dalam
pengenalan pusat penulangan sering kali sulit juga pengaruh tidak baik terhadap
janin.
2.4.6 Pemeriksaan cairan amnion
a. Kadar Lesitin/spingomielin
Bila kadar lesitin/spingomielin sama maka umur kehamilan sekitar 22–28
minggu, lesitin 1,2 kali kadar spingomielin: 28–32 minggu, pada kehamilan genap
bulan ratio menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan
KLB tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup umur /
matang untuk dilahirkan.
b. Aktivitas tromboplasti cairan amnion (ATCA)
Hastwell berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu
pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya umur
kehamilan. Yaffe menyatakan bahwa pada umur kehamilan 41-42 minggu ACTA
berkisar antara 45–65 detik, pada umur kehamilan lebih dari 42 minggu
didapatkan ACTA kurang dari 45 detik. Bila didapat ACTA antara 42–46 detik
menunjukkan bahwa kehaminan berlangsung lewat waktu
c. Sitologi cairan amniom
Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam cairan
amnion . Bila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10 % maka kehamilan
diperkirakan 36 minggu dan apabila 50% atau lebih maka umur kehamilan 39
minggu atau lebih
2.5 Perubahan pada Kehamilan Postterm
10
Terjadi beberapa perubahan cairan amnion, plasenta dan janin pada
kehamilan postterm. Dengan mengetahui perubahan tersebut sebagai dasar untuk
mengelola persalinan postterm.3
2.5.1 Perubahan cairan amnion
Terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan
amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan
menurun sekitar 800 ml pada 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, 160 ml pada usia kehamilan 41,
42 dan 43 minggu. Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin janin
yang berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin menurun pada kehamilan
postterm dan menyebabkan oligohidramnion.4
Selain perubahan volume terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion
menjadi kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan
komposisi phosphilipid. Dengan lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-paru
janin dan perbandingan Lechitin terhadap Spingomielin menjadi 4:1 atau lebih
besar. Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan amnion menjadi hijau
atau kuning.1,2
Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian
perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan
kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress intra partum pada
persalinan postterm.
Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat diukur dengan
pemeriksan ultrasonografi. Metode empat kuadran sangat populer. Dengan
mengukur diameter vertikal darikantung paling besar pada setiap kuadran. Hasil
penjumlahan empat kuadran disebut Amniotic Fluid Index (AFI). Bila AFI kurang
dari 5 cm indikasi oligohidramnion. AFI 5-10 cm indikasi penurunan volume
cairan amnion. AFI 10-15 cm adalah normal. AFI 15-20 cm terjadi peningkatan
volume cairanamnion. Afi lebih dari 25 cm indikasi polihidramnion.1,4,5,6
11
Tabel 2.1 Estimasi volume cairan amnion dengan USG
Seperti terlihat pada Gambar 2.2, semakin kecil kantung cairan amnion,
semakin besar kecenderungan terdapat oligohidramnion berat. Tetapi volume
cairan amnion yang normal juga tidak menyingkirkan hasil abnormal. Alfirevic
dkk. (1997) mengacak 500 wanita dengan kehamilan possterm- didefinisikan
sebagai gestasi 290 hari atau lebih- untuk dinilai volume cairan amnion dengan
amnionic fluid index (AFI) atau kantung vertikal terdalam. Mereka menyimpulkan
bahwa AFI berlebih dalam perkiraan jumlah hasil abnormal dalam kehamilan
postterm.1
Gambar 2.2
Perbandingan nilai diagnostik dari berbagai perkiraan ultrasound terhadap
volume cairan amnion pada kehamilan diperpanjang. Hasil abnormal
mencakup cesarean atau kelahiran vaginal operatif untuk bahaya janin, skor
Apgar pada menit ke-5 6 atau kurang, pH darah arteri umbilikalis, atau
dirawat di neonatal intensive care unit. (disadur dari Fischer dkk., 1993)1
12
Terlepas dari kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis
oligohidramnion pada kehamilan postterm, kebanyakan peneliti telah menemukan
peningkatan insidensi fetal distress selama persalinan. Jadi oligohidramnion oleh
kebanyakan pengertian merupakan penemuan klinis penting. Sebaliknya, jaminan
janin yang baik pada volume cairan amnion “normal” adalah kecil karena tidak
diketahui seberapa cepat oligohidramnion patologis berkembang. Clement dkk.
(1987) melaporkan enam kehamilan postterm dimana volume cairan amnion
berkurang mendadak dalam 24 jam dan satu janin meninggal.1
2.5.2 Perubahan pada plasenta
Plasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran
gas antara maternal dan fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka
terjadi pula perubahan struktur plasenta.
Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan diameter
dan panjang villi chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau didahului dengan
titik-titik penumpukan kalsium dan membentuk infark putih. Pada kehamilan
atterm terjadi infark 10%-25% sedangkan pada postterm terjadi 60%-80%.
Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai 10 g/100g
jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan aterm hanya 2-3g/100g jaringan
plasenta kering.4
Secara histologi plasenta pada kehamilan postterm meningkatkan infark
plasenta, kalsifikasi, trombosis intervilosus, deposit fibrin perivillosus, trombosis
arteial dan endarteritis arterial. Keadaan ini menurunkan fungsi plasenta sebagai
suplai makanan dan pertukaran gas. Hal ini dapat menyebabkan malnutrisi dan
asfiksia.6
Dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diketahui tingkat kematangan
plasenta. Pada kehamilan postterm terjadi perubahan sebagai berikut:
Piring korion: lekukan garis batas piring korion mencapai daerah basal. Jaringan
plasenta: berbentuk sirkuler, bebas gema di tengah, berasal dari satu kotiledon
(ada daerah dengan densitas gema tinggi dari proses kalsifikasi, mungkin
13
memberikan bayangan akustik). lapisan basal: daerah basal dengan gema kuat dan
memberikan gambaran bayangan akustik. Keadaan plasenta ini dikategorikan
tingkat tiga.5
Namun, konsep bahwa postmaturitas dikarenakan insufisiensi plasental
telah menetap meskipun tidak ada tanda morfologis atau penemuan kuantitatif
penting (Larsen dkk, 1995; Rushton, 1991). Smith dan Baker (1999) melaporkan
bahwa apoptosis plasental meningkat secara signifikan pada 41-42 minggu
lengkap dibandingkan dengan 36-39 minggu. Kepentingan klinis apoptosis masih
belum jelas saat ini.1
Jazayeri dkk. (1998) menyelidiki kadar erythropoietin tali pusat pada 124
newborns yang tumbuh dengan baik yang dilahirkan pada 37-43 minggu. Mereka
memeriksa apakah oksigenasi fetal berkurang karena penuaan plasenta pada
kehamilan postterm. Tekanan parsial oksigen yang berkurang adalah satu-satunya
stimulator erythropoetin yang diketahui. Setiap wanita yang dipelajari memiliki
persalinan tanpa komplikasi. Level erythropoetin tali pusat meningkat drastis pada
kehamilan yang mencapai 41 minggu atau lebih. Meskipun skor Apgar dan gas
darah tali pusat normal pada bayi-bayi ini, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat
pengurangan oksigenasi janin pada gestasi postterm.1
2.5.3 Perubahan pada janin
a. Berat janin
Sekitar 45% janin yang tidak dilahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus
berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta belum mengalami
insufisiensi. Dengan penambahan berat badan setiap minggu dapat terjadi berat
lebih dari 4000g. Keadaan ini sering disebut janin besar. Pada umur kehamilan
38-40 minggu insiden janin besar sekitar 10% dan 43 minggu sekitar 43%.
Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan risiko persalinan traumatik.1
Janin postterm dapat terus bertambah beratnya dan menjadi bayi besar
secara tak lazim dalam kelahiran. Ini paling tidak menunjukkan bahwa fungsi
plasenta tidak terganggu. Pertumbuhan fetal bekesinambungan, meskipun dengan
14
kecepatan rendah, merupakan karakteristik antara 38 dan 42 minggu (Gambar
2.3). Nahum dkk. (1995) mengkonfirmasi bahwa pertumbuhan janin berlanjut
hingga paling tidak 42 minggu. 1
Gambar 2.3
Rata-rata pertumbuhan harian janin selama minggu sebelum gestasi
(dari Jazayeri dkk., 1998, dengan izin.)1
Insidensi makrosomia (didefinisikan sebagai berat lahir lebih dari 4500 g)
meningkat dari 1,4 persen pada 37-41 minggu menjadi 2,2 persen pada 42 minggu
atau lebih (Martin dkk., 2002). Ini meningkatkan kemungkinan bahwa morbiditas
janin dan ibu terkait makrosomia dapat dihindari dengan induksi persalinan pada
waktu yang tepat untuk mencegah pertumbuhan lebih lanjut. The American
College of Obstetricians and Gynecologists (2000) telah menelaah intervensi
tersebut. Disimpulkan bahwa bukti saat ini tidak mendukung kebijakan induksi
persalinan awal pada usia cukup bulan yang dicurigai janin makrosomia. Terlebih
lagi, tanpa adanya diabetes pada ibu, persalinan vaginal bukan kontraindikasi pada
wanita dengan perkiraan berat janin mencapai 5000 g. Kelahiran cesarean
disarankan untuk perkiraan berat janin lebih dari 4500 g dalam keadaan kala dua
memanjang atau tidak maju pada kala dua.1
15
b. Sindroma postmaturitas:
Bayi postmatur memperlihatkan penampilan unik dan karakteristik
(Gambar 2.4). Tampilan meliputi kulit yang mengelupas, berkeriput, dan
berbercak (patchy); tubuh yang panjang, kurus mengindikasikan wasting; dan
maturitas lanjut karena bayi telah membuka mata, waspada yang tidak lazim, dan
terlihat tua dan terkesan cemas. Kulit berkeriput dan lebih nyata pada telapak
tangan dan kaki. Kuku secara khas cukup panjang. Kebanyakan bayi postmatur
seperti ini tidak terhalang pertumbuhannya karena berat badan mereka jarang
jatuh dibawah persentil ke 10 untuk usia kehamilan. Perhambatan pertumbuhan
yang berat, bagaimanapun juga, dimana secara logika pasti telah mendahului
penggenapan 42 minggu, dapat terjadi.1
GAMBAR 2.4
Bayi postprematur yang lahir pada minggu ke 43 kehamilan. Terdapat
mekonium yang kental mewarnai kulit yang mengalami deskuamasi.
Catatan: teradapat keriput pada telapak tangan.1
Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit
menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal ini menyebabkan kulit janin
16
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lain yaitu: rambut
panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar
mekonium. 4,6
. Tidak seluruh neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda
postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12 – 20 %
neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm. Tergantung
derajat insufisiensi plasenta yang terjadi tanda postmaturitas ini dapat dibagi
dalam 3 stadium, yaitu :3
Stadium I : Kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi
berupa kulit kering, rapuh dan mudah mengelupas
Stadium II : ditambah pewarnaan mekonium pada kulit
Stadium III : disertai pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat
Insidensi sindrom postmaturitas pada bayi pada 41, 42, 43 minggu, di sisi
lain, belum dapat ditentukan. Pada salah satu dari sedikit laporan sementara yang
mengurutkan postmaturitas, Shime dkk. (1984) menemukan sindrom ini pada
sekitar 10 persen kehamilan antara 41 dan 43 minggu. Insidensi meningkat
menjadi 33 persen pada 44 minggu. Oligohidramnion terkait erat dengan
meningkatnya kecenderungan postmaturitas. Trimmer dkk (1990) mendiagnosis
oligohidramnion ketika ultrasound vertikal maksimal dari kantong cairan amnion
berukuran 1 cm atau kurang pada 42 minggu dan 88 persen dari seluruh bayi
adalah postmatur.1
c. Gawat janin atau kematian perinatal
menunjukkan angka meningkat setelah kehamilan 42 minggu atau lebih, sebagian
besar terjadi intrapartum. Umumnya disebabkan karena :3
Makrosomia yang dapat menyebabkan terjadinya distosia pada persalinan
Insufisiensi plasenta yang berakibat :
o Pertumbuhan janin terhambat
o Oligohidramnion : terjadi kompresi tali pusat, keluar mekoneum
yang kental
o Hipoksia janin
17
o Aspirasi mekonium oleh janin
Cacat bawaan : terutama akibat hipoplasia adrenal dan anensefalus
Fetal Distress dan Oligohidramnion
Alasan utama meningkatnya risiko janin postterm digambarkan oleh
Leveno dkk. (1984). Mereka melaporkan bahwa baik bahaya janin antepartum dan
fetal distress adalah akibat penekanan tali pusat yang berhubungan dengan
oligohidramnion. Pada analisis dari 727 kehamilan postterm, fetal distress yang
terdeteksi dengan perangkat elektrik tidak berhubungan dengan gambaran
deselerasi akhir dari insufisiensi uteroplasental. Namun satu atau lebih deselerasi
seperti pada Gambar 2.5 mendahului tiga perempat kelahiran cesarean darurat
untuk bahaya janin. Kecuali pada dua kasus, seluruh kasus juga tampak deselerasi
variabel (Gambar 2.6 ). Pola awam denyut jantung janin, meskipun tidak terlalu
menyeramkan, adalah garis dasar yang terlihat pada Gambar 2.7. Penemuan ini
konsisten dengan oklusi tali pusat sebagai penyebab awal fetal distress. Korelasi
lain yang ditemukan adalah oligohidramnion dan mekonium kental.1
18
Gambar 2.5
Deselerasi denyut jantung janin memanjang akibat cesarean darurat pada
kehamilan postterm dengan oligohidramnions (Leveno dkk.,1984)
Gambar 2.6
Deselerasi variabel berat – denyut jantung kurang dari 70kali/menit atau
lebih lama pada kehamilan postterm dengan olygohydramnion dan kelahiran
cesarean pada bahaya janin (Leveno dkk.,1984)1
19
Gambar 2.7
Garis dasar denyut jantung janin menunjukkan osilasi melebihi 20 denyut
per menit dan dihubungkan dengan oligohidramnion pada kehamilan
postterm. (Leveno dkk.,1984)1
Pengurangan volume cairan amnion biasanya muncul seiring berlanjutnya
kehamilan diatas 42 minggu ( Gambar 2.8 ). Juga terdapat kecenderungan bahwa
pelepasan mekonium ke dalam cairan amnion yang telah berkurang menyebabkan
mekonium tebal dan kental yang tampak dalam sindrom aspirasi mekonium.1
Gambar 2.8
Volume cairan amnion selama minggu-minggu terakhir kehamilan (disadur
dari: Elliott dan Inman, 1961).1
Trimmer dkk. (1990) mengukur produksi urin janin setiap jam
menggunakan pengukuran volume kandung kemih melalui ultrasound secara
berkala pada 38 kehamilan pada 42 minggu atau lebih. Produksi urin yang
berkurang ditemukan berhubungan dengan oligohidramnion. Mereka membuat
hipotesis, bahwa pengurangan aliran urin janin cenderung disebabkan
oligohidramnion yang telah ada dan menyebabkan terbatasnya janin yang
menelan. Oz dkk. (2002), menggunakan gelombang Doppler, melaporkan bahwa
aliran darah ginjal janin berkurang pada kehamilan postterm dengan
oligohidramnion.1
20
Gambar 2.9
Pengaruh mekonium
Restriksi Pertumbuhan Janin
Hingga akhir-akhir ini, kepentingan klinis restriksi pertumbuhan janin
pada kehamilan tanpa komplikasi baru menerima sedikit perhatian. Divon dkk.
(1998) dan Clauson dkk. (1999) menganalisis kelahiran dari 700.000 wanita
diantara 1991-1995 menggunakan register National Swedish Medical Birth.
Seperti yang terlihat dalam tabel 2, stillbirth lebih umum ditemukan diantara bayi-
bayi growth-restricted yang lahir pada 42 minggu atau lebih. Sepertiga dari
stillbirth postterm adalah growth-restricted. Selama tahun-tahun tersebut di
Swedia, induksi pesalinan dan tes janin antenatal biasanya dilaksanakan pada 42
minggu. Alexander dkk (2000) mempelajari hasil bayi dari 355 bayi postterm 42
minggu atau lebih dimana berat badannya pada persentil ke-3 atau kurang.
Mereka membandingkan hasilnya dengan 14.520 bayi diatas persentil ke-3 yang
dilahirkan pada RS Parkland dan menemukan bahwa morbiditas dan mortalitas
21
meningkat drastis pada bayi growth-restricted. Sebagai catatan, seperempat dari
seluruh bayi hidup yang berhubungan dengan kehamilan diperpanjang termasuk
dalam sejumlah kecil dari bayi growth-restricted.1
Tabel 2.2 Efek restriksi pertumbuhan janin pada angka stillbirth pada kehamilan
42 minggu atau lebih, dibandingkan dengan 37-41 minggu di Swedia (1991-
1995).1
Lama kehamilan
Hasil 37–41 Minggu 42 Minggu
Kelahiran 469,056 40,973
Restriksi pertumbuhan janina (%)
10,312 (2) 1558 (4)
Stillbirths (per 1000)
Pertumbuhan normal 650 (1.4) 69 (1.8)
Restriksi pertumbuhan janin 116 (11) 23 (15)
a didefinisikan sebagai berat lahir dibawah dua standar deviasi dari rata-rata berat
lahir untuk jenis kelamin dan usia gestasi. Dari Clausson dkk. (1999, dengan izin).
Mortalitas Perinatal
Dasar historis untuk konsep batas atas durasi kehamilan manusia adalah
pengamatan bahwa mortalitas perinatal meningkat setelah tanggal yang
diharapkan terjadwal telah terlewat. Hal ini paling baik terlihat ketika mortalitas
perinatal dianalisis dari saat sebelum intervensi kehamilan melebihi 42 minggu
secara luas dipergunakan. Pada dua penelitian besar Swedia yang terlihat pada
Gambar 2.10, setelah mencapai titik terendah pada 39-40 minggu, mortalitas
perinatal meningkat ketika kehamilan melewati 41 minggu. Lucas dkk. (1965)
membandingkan hasil perinatal pada 6.624 kehamilan postterm dengan hampir
60.000 kehamilan tunggal yang dilahirkan antara 38-41 minggu. Seluruh
komponen mortalitas perinatal – kematian antepartum, intrapartum, dan neonatal
22
– meningkat pada kehamilan 42 minggu dan lebih. Peningkatan tertinggi timbul
pada intrapartum. Penyebab utama dari kematian meliputi hipertensi pada
kehamilan, partus lama dengan cephalopelvic disproportion, “anoksia yang tak
dapat dijelaskan”, dan malformasi. Hasil yang sama juga dilaporkan Olesen dkk.
(2003) pada analisis mereka terhadap 78.022 wanita dengan kehamilan postterm
yang melahirkan sebelum induksi kehamilan rutin digunakan di Denmark.1
Gambar 2.10
Mortalitas perinatal pada kehamilan lama berdasarkan usia gestasional di
Swedia pada seluruh kelahiran selama 1943-1952 dibandingkan selama 1977-
1978. Skala logaritma digunakan untuk kenyamanan gambar (disadur dari
Bakketeig dan Bergsjø, 1991, dan Lindell, 1956.)1
Alexander dkk. (2000) merekap 56.317 kehamilan tunggal berurutan yang
melahirkan pada 40 minggu atau lebih antara 1988 dan 1998 di RS Parkland.
Seperti yang terlihat pada tabel 2.2, kelahiran diinduksi terjadi pada 35 persen
kehamilan yang mencapai 42 minggu. Angka kelahiran cesarean untuk distosia
dan fetal distress meningkat drastis pada 42 minggu dibandingkan dengan
kelahiran lebih dini. Lebih banyak bayi yang dirawat di perawatan intensif pada
kehamilan postterm. Insidensi kejang neonatal dan kematian meningkat dua kali
23
pada 42 minggu. Caughey dan Musci (2004) melaporkan hasil yang mirip pada
45.673 kehamilan.1
Table 2.3. Hasil kehamilan pada 56.317 kehamilan tunggal berurutan yang
dilahirkan pada atau lebih dari 40 minggu dari 1988 hingga 1998 di RS Parkland
Usia kehamilan
Hasil 40 (n =
29,136)
41 (n =
16,386)
42 (n =
10,795)
P Value
Keluaran ibu (%)
Induksi lahir 2 7 35 <.001
Kelahiran Cesarean
Distozia 7 6 9 <.001
Fetal distress 2 3 4 <.001
Keluaran perinatal (per 1000)
Neonatal intensive care 4 5 6 <.001
Kejang neonatal 1 1 2 .12
Stillbirth 2 1 2 .84
Kematian neonatal 0.2 0.2 0.6 .17
Disadur dari Alexander dkk. (2000).1
Smith (2001) telah menentang analisis seperti ini karena populasi pada
risiko untuk mortalitas perinatal pada minggu yang diberikan meliputi seluruh
kehamilan yang berjalan daripada hanya kelahiran pada minggu yang diberikan.
Gambar 2.11 menunjukkan angka mortalitas perinatal yang dikalkulasi hanya
menggunakan kelahiran pada minggu yang diberikan dari gestasi dari genap 37-43
minggu dibandingkan kemungkinan kumulatif (indeks perinatal) dari kematian
ketika seluruh kehamilan yang sedang berjalan dimasukkan sebagai penyebut.
Smith menemukan bahwa kelahiran lebih dari 38 minggu dihubungkan dengan
risiko terendah dari kematian perinatal. 1
24
Gambar 2.11
Indeks risiko perinatal (o) dan angka mortalitas perinatal (●) yang
dihubungkan dengan gestasi antara 37 dan 43 minggu di Skotlandia, 1985
hingga 1996, dinyatakan sebagai kematian per 1000 kelahiran. Indeks risiko
perinatal adalah kemungkinan kumulatif dari kematian perinatal dikalikan
1000. Angka kematian perinatal adalah angka kematian perinatal dengan
kelahiran dalam minggu gestasi yang diberikan dibagi angka kelahiran total
pada minggu tersebut dikalikan 1000 (dimodifikasi dari Smith, 20001,
dengan izin.)1
2.5.4 Pengaruh pada ibu
a. Morbiditas / mortalitas ibu : dapat meningkat sebagai akibat dari
makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras yang
menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoordinate uterine action, partus
lama, meningkatkan tindakan obstetrik dan perdarahan postpartum.
b. Aspek emosi : ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana kehamilan terus
berlangsung melewati taksiran persalinan. Komentar tetangga atau teman
seperti ‘ belum lahir juga ?” akan menambah frustasi ibu.
25
Tabel 2.4 Resiko yang berhubungan dengan kehamilan postterm
2.6 Penatalaksanaan
Sudah diterima secara luas bahwa intervensi antepartum diindikasikan
pada kehamilan diperpanjang. Tipe-tipe intervensi dan kapan menggunakannya
masih kontroversial. Satu masalah besar adalah apakah mengintervensi pada 41
atau 42 minggu. Lainnya adalah apakah induksi persalinan terjamin dibandingkan
dengan penatalaksanaan ekspektatif menggunakan pemeriksaan janin antepartum.
Roussis dkk. (1993) mensurvei anggota dari Society for Maternal–Fetal Medicine
pada 1990 dan menemukan bahwa sekitar dua pertiga dari responden diinduksi
persalinan pada minggu 41 jika serviks mendukung. Pemeriksaan fetal antepartum
disarankan dimulai pada 41 minggu ketika serviks tidak menunjang. Pada 42
minggu, secara nyata seluruh responden diinduksi persalinan ketika serviks
menunjang, dan 58 persen melakukannya ketika serviks tidak mendukung.
Lainnya (42 persen) merekomendasi pemeriksaan antepartum ketika serviks tidak
menunjang pada 42 minggu. Secara jelas, kemampuan servikal berpengaruh besar
terhadap penatalaksanaan.1
26
2.6.1 Serviks Tidak Menunjang
Sulit untuk mendefinisikan “serviks tidak menunjang (unfavorable
cervix)” secara tepat pada kehamilan memanjang, karena para peneliti
menggunakan kriteria berbeda. Sebagai contoh, Harris dkk. (1983) melaporkan
bahwa 92 persen wanita pada 42 minggu memiliki serviks yang tidak menunjang
berdasarkan skor Bishop kurang dari 7. Hannah dkk (2000) memeriksa 800 wanita
yang diinduksi karena kehamilan postterm pada RS Parkland. Mereka melaporkan
bahwa wanita yang tidak memiliki dilatasi servikal dua kali lipat lebih risiko
kelahiran cesarean karena distosia. Yang dkk. (2004) memunculkan penemuan
awal bahwa panjang serviks 3 cm atau kurang yang ditentukan oleh USG
transvaginal merupakan perkiraan untuk induksi yang sukses.1
Sejumlah peneliti telah memeriksa prostaglandin E2 untuk pematangan
servikal pada wanita dengan kehamilan diperpanjang dan seviks yang tidak
menunjang. National Institute of Child Health and Development Network of
Maternal–Fetal Medicine Units (1994) memeriksa gel prostaglandin E2 dan
menemukan bahwa hal itu tidak lebih baik dari plasebo. Alexander dkk. (2000c)
mempelajari 393 wanita dengan kehamilan postterm yang telah diberikan
prostaglandin E2 untuk pematangan serviks. Mereka tetap diperlakukan sama
meskipun serviks menunjang. Peneliti melaporkan bahwa hampir separuh dari 84
wanita dengan dilatasi servikal 2 sampai 4 cm memasuki persalinan hanya dengan
terapi prostaglandin E2. The American College of Obstetricians and Gynecologists
(1997) telah menyimpulkan bahwa gel prostaglandin dapat digunakan dengan
aman pada kehamilan postterm. 1
Sweeping or stripping of the membranes, untuk menginduksi persalinan
dan menghindari kehamilan postterm telah dipelajari pada 15 percobaan secara
acak selama tahun 1990-an. Boulvain dkk. (1999) melakukan sebuah meta-
analisis pada mereka dan menemukan bahwa pelepasan membran pada 38-40
minggu mengurangi frekuensi dari kehamilan postterm. Pelepasan seperti ini,
tidak merubah risiko kelahiran cesarean, dan infeksi maternal dan neonatal tidak
berkurang. Penulis menegaskan bahwa pelepasan membran dapat menyebabkan
27
nyeri dan dapat memprovokasi perdarahan vaginal dan kontrasi ireguler. Wong
dkk. (2002) dalam percobaan acak terhadap 120 wanita menemukan bahwa
pelepasan membran tidak mengurangi kebutuhan untuk menginduksi persalinan.1
Station verteks juga penting dalam memperkirakan induksi postterm yang
sukses. Shin dkk. (2004) mempelajari 484 nulipara yang menjalani induksi setelah
41 minggu. Angka kelahiran cesarean berhubungan langsung dengan station, yaitu
6 persen pada -1, 20 persen pada -2, 43 persen pada -3, dan 77 persen pada -4.1
2.6.2 Induksi Versus Pemeriksaan Antenatal
Sebuah rencana yang masuk akal untuk mengurangi mortalitas dan
morbiditas perinatal yang berhubungan dengan kehamilan yang memanjang
adalah untuk menterminasi kehamilan sebelum hal seperti itu muncul. Terdapat
keraguan mengenai nilai induksi persalinan, terutama karena ditakutkan bahwa
induksi dapat menyebabkan pada intervensi yang lebih operatif tanpa menghindari
kematian perinatal. Sebagai hasilnya, banyak klinisi memilih menggunakan
pemeriksaan fetal untuk menghindari induksi. Penelitian besar yang bertujuan
memecahkan masalah ini telah dikerjakan di Kanada dan Amerika Serikat.1
Hannah dkk (1992) mengacak 3407 wanita Kanada dengan kehamilan 41
minggu atau lebih untuk imduksi persalinan atau pemeriksaan fetal. Wanita yang
menjalani pemeriksaan fetal diminta menghitung berapa kali mereka merasakan
gerak janin dalam waktu dua jam setiap hari, dan mereka juga menjalani nonstress
test tiga kali seminggu. Volume cairan amnion diperiksa 2-3 kali setiap minggu,
dan kantong-kantong kurang dari 3 cm dianggap abnormal. Induksi persalinan
menghasilkan angka cesarean yang secara signifikan lebih rendah (21 persen)
dibandingkan kehamilan yang dilakukan pemeriksaan antepartum (24 persen).
Terdapat dua stillbirth pada kelompok pemeriksaan fetal dan tidak ada pada
kelompok induksi. Angka cesarean yang lebih rendah pada grup induksi adalah
karena prosedur-prosedur yang lebih sedikit untuk fetal distress. Sebuah analisis
efektivitas haraga dari data penduduk Kanada kemudian dilaporkan oleh Goeree
dkk. (1995). Rata-rata biaya adalah $3132 per pasien yang ditangani dengan
28
pemeriksaan fetal dibandingkan dengan $2329 untuk yang menjalani induksi
persalinan. Jadi induksi persalinan untuk kehamilan postterm menghasilkan hasil
yang lebih baik dan lebih ekonomis dibanding pemeriksaan fetal.1
Menticoglou dan Hall (2002) dari Winnipeg telah terus-menerus prihatin
bahwa induksi persalinan pada 41 minggu telah menjadi standar penatalaksanaan
di Kanada. Mereka menyimpulkan bahwa “ritual induksi pada 41 minggu” telah
menjadi praktek sekarang. Mereka berpendapat bahwa praktek ini adalah
berdasarkan bukti yang benar-benar salah, dan bahwa itu membentuk
“penyalahgunaan norma biologis”. Mereka menyarankan agar konsensus tak
masuk akal ini dihentikan karena menyebabkan interferensi yang berpotensi untuk
lebih membahayakan daripada menguntungkan dan menggoyahkan implikasi
sumber daya.1
Percobaan induksi The Maternal–Fetal Medicine Network melawan
pemeriksaan janin telah dilaporkan oleh Gardner dkk. (1996). Nonstress test dan
perkiraan volume cairan amnion dengan ultrasound dilakukan dua kali seminggu
pada 175 wanita yang kehamilannya mencapai 41 minggu atau lebih. Hasil
perinatal pada mereka dibandingkan dengan hasil 265 wanita acak yang diinduksi
dengan atau tanpa pematangan servikal. Tidak ada kematian perinatal pada kedua
kelompok, dan angka kelahiran cesarean tidak berbeda diantara dua grup ini. Jadi,
studi ini medukung validitas kedua skema penatalaksanaan.1
Crowley (1997) menggunakan Oxford Database of Perinatal Trials untuk
melakukan sebuah meta-analisis dari 18 studi dimana semua penatalaksanaan
kehamilan postterm dinilai. Induksi rutin setelah 41 minggu menghasilkan
berkurangnya mortalitas perinatal tanpa peningkatan risiko kelahiran cesarean
atau instrumental. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Sanchez-Ramos dkk.
(2003) pada meta-analisis mereka dari 16 studi. Pada sebuah studi dari 540.116
kelahiran Roberts dkk. (1999) menyimpulkan bahwa meta-analisis Crowley
menyebabkan induksi rutin setelah 41 minggu menjadi digunakan secara luas di
New South Wales, Australia. Secara spesifik, dari 1990 hingga 1996, terdapat
pengurangan signifikan dalam kelahiran pada genap 42 minggu atau lebih- 4,6
dibanding 2,8 persen. Berkaitan dengan itu, terdapat peningkatan angka induksi
29
pada 41 minggu, dan angka kelahiran cesarean juga meningkat. Karena hasil bayi
belum dijelaskan dalam laporan ini, efek pada neonatal belum ditentukan.1
Alexander dkk (2001) memeriksa efek induksi persalinan pada 42 minggu
pada angka kelahiran cesarean di RS Parkland. Hasil kehamilan pada 638 wanita
yang melahirkan secara induksi dibandingkan dengan 687 wanita dengan
melahirkan spontan pada 42 minggu. Angka kelahiran cesarean meningkat tajam
pada grup induksi karena kegagalan kemajuan (19 banding 14 persen). Ketika
faktor risiko dikoreksi menggunakan regresi terperinci, peneliti menyimpulkan
bahwa faktor intrinsik pasien, daripada induksi persalinan itu sendiri, mengarah
pada peningkatan kelahiran cesarean. Faktor-faktor ini mencakup nulipara, serviks
yang tidak menunjang, dan analgesi epidural.1
Bukti untuk intervensi substansial – apakah induksi atau pemeriksaan
janin – dimulai pada minggu 41 atau 42 masih terbatas. Kebanyakan bukti yang
digunakan untuk mendukung intervensi pada minggu 41 berasal dari percobaan
acak Amerika Serikat dan Kanada sebelumnya. Tidak ada studi acak yang secara
spesifik menilai intervensi pada 41 minggu melawan intervensi identik yang
digunakan pada 42 minggu. Secara penting sebuah kebijakan nasional untuk
mengintervensi kehamilan diperpanjang pada 41 atau 42 minggu akan berarti
sekitar 500.000 wanita lagi akan menjalani intervensi yang belum terbukti perlu
atau tidak berbahaya. 1
Usher dkk. (1988) menganalisis beberapa hasil dari 7663 kehamilan
dengan usia gestasi 40, 41, 42 minggu yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan
ultrasound. Angka kematian perinatal, dikoreksi dari malformasi, adalah 1,5; 0,7;
dan 3,0 per 1000 untuk 40,41, dan 42 minggu. Hasil ini dapat digunakan untuk
menentang konsep intervensi rutin pada 41 minggu daripada 42 minggu.
Menariknya, Divon dkk. (1996) menemukan bahwa, meskipun hasil efek samping
bayi pada 41 minggu meningkat dibanding 40 minggu, mereka dihubungkan
dengan restriksi pertumbuhan. Mereka menyarankan agar strategi manajemen
harus difokuskan pada pertumbuhan janin daripada hanya usia gestasi dalam
kehamilan mencapai 41 minggu.1
30
Kehamilan postterm merupakan masalah yang banyak dijumpai dan
sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat. Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa setiap kehamilan
postterm dengan komplikasi spesifik seperti Diabetes Mellitus, kelainan faktor
Rhesus atau isoimunisasi, preeklampsia/eklampsia, hipertensi kronis dan lain
sebagainya yang meningkatkan risiko terhadap janin, kehamilan jangan dibiarkan
berlangsung lewat bulan. Demikian pula pada kehamilan dengan faktor risiko lain
seperti primitua, infertilitas, riwayat obstetrik yang jelek. Tidak ada ketentuan atau
hukum yang pasti dan perlu dipertimbangkan masing-masing kasus dalam
pengelolaan kehamilan postterm.3
Beberapa masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm
antara lain :3
1) Pada beberapa penderita, umur kehamilan tidak selalu dapat ditentukan dengan
tepat, sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan
2) Sukar menentukan apakah janin akan mati, berlangsung terus atau mengalami
morbiditas serius bila tetap dalam rahim
3) Sebagian besar janin tetap dalam keadaan baik dan tumbuh terus sesuai dengan
tambahnya umur kehamilan dan tumbuh semakin besar.
4) Pada saat kehamilan mencapai 42 minggu, pada beberapa penderita didapatkan
sekitar 70 % serviks belum matang / unfavourable / dengan nilai Bishop
rendah sehingga induksi tidak selalu berhasil
5) Persalinan yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur
6) Pada kehamilan postterm sering terjadi disproporsi kepala panggul dan distosia
bahu ( 8% pada kehamilan genap bulan, 14% pada kehamilan postterm)
7) Janin kehamilan postterm lebih peka terhadap obat penenang dan narkose
Bedah sesar akan menimbulkan cacat pada ibu sekarang maupun untuk
kehamilan berikut ( risiko Bedah sesar 0,7% pada genap bulan & 1,3 % pada
kehamilan postterm)
8) Pemecahan kulit ketuban harus dengan pertimbangan matang. Pada
oligohidramnion pemecahan kulit ketuban akan meningkatkan risiko kompresi
31
tali pusat tetapi sebaliknya dengan pemecahan kulit ketuban akan dapat
diketahui adanya mekoneum dalam cairan amnion.
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat dalam pengelolaan kehamilan
postterm.3
Beberapa kontroversi ini antara lain adalah :
a. Apakah kehamilan sebaiknya diakhiri pada usia kehamilan 41 atau 42 minggu
b. Apakah dilakukan pengelolaan secara aktif yaitu dilakukan induksi setelah
ditegakkan diagnosis kehamilan postterm ataukah sebaiknya dilakukan
pengelolaan secara ekspektatif yaitu menunggu dengan pemantauan terhadap
kesejahteraan janin.
Pengelolaan aktif: yaitu dengan melakukan persalinan anjuran pada usia
kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil risiko terhadap janin.
Pengelolaan pasif / menunggu / ekspektatif : didasarkan pandangan bahwa
persalinan anjuran yang dilakukan semata-mata atas dasar kehamilan postterm
mempunyai risiko/komplikasi cukup besar terutama risiko persalinan operatif
sehingga menganjurkan untuk dilakukan pengawasan terus menerus terhadap
kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan
berlangsung dengan sendirinya atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan.3
Sebelum mengambil langkah, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan kehamilan postterm adalah :3
a. Menentukan apakah kehamilan memang telah berlangsung lewat bulan atau
bukan. Dengan demikian penatalaksanaan ditujukan kepada dua variasi dari
kehamilan postterm ini.
b. Identifikasi kondisi janin dan keadaan yang membahayakan janin.
Pemeriksaan Kardiotokografi seperti nonstres test (NST) & contraction
stress test dapat mengetahui kesejahteraan janin sebagai reaksi terhadap
kontraksi uterus. Pemeriksaan ultrasonografi untuk menentukan besar janin,
denyut jantung janin, gangguan pertumbuhan janin, keadaan dan derajat
kematangan plasenta, jumlah dan kualitas air ketuban.
32
Tabel 2.5 Kriteria NST
c. Periksa kematangan serviks dengan skor Bishop. Kematangan serviks ini
memegang peranan penting dalam pengelolaan kehamilan postterm.
Sebagian besar kepustakaan sepakat bahwa induksi persalinan dapat segera
dilaksanakan baik pada usia 41 maupun 42 minggu bilamana serviks telah
matang. Pada umumnya penatalaksanaan sudah dimulai sejak umur
kehamilan mencapai 41 minggu dengan melihat kematangan serviks,
mengingat dengan bertambahnya umur kehamilan maka janin tumbuh besar,
terjadi kemunduran fungsi plasenta dan oligohidramnion. Kematian janin
neonatus meningkat 5 – 7 % pada persalinan 42 minggu atau lebih.
Tabel 2.6 Bishop Score
o Bila serviks telah matang ( dengan nilai Bishop > 5 ) dilakukan induksi
persalinan dan dilakukan pengawasan intrapartum terhadap jalannya persalinan
dan keadaan janin
33
o Bila serviks belum matang, perlu dinilai keadaan janin lebih lanjut apabila
kehamilan tidak diakhiri :
o NST dan penilaian volume kantong amnion. Bila keduanya normal,
kehamilan dibiarkan berlanjut dan penilaian janin dilanjutkan
seminggu dua kali.
o Bila ditemukan oligohidramnion (< 2 cm pada kantong yang
vertical atau indeks cairan amnion < 5 ) atau dijumpai deselerasi
variable pada NST maka dilakukan induksi persalinan.
o Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes
dengan kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila hasil CST positif,
janin perlu dilahirkan sedangkan bila CST negatif kehamilan
dibiarkan berlangsung dan penilaian janin dilakukan lagi 3 hari
kemudian.
o Keadaan serviks ( Skor Bishop ) harus dinilai ulang setiap
kunjungan pasien dan kehamilan harus diakhiri bila serviks
matang.
o Kehamilan lebih dari 42 minggu diupayakan diakhiri
Pengelolaan selama persalinan adalah :3
1) Pemantauan yang baik terhadap ibu ( aktivitas uterus ) dan kesejahteraan janin.
Pemakaian continous electronic fetal monitoring sangat bermanfaat
2) Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
3) Awasi jalannya persalinan
4) Persiapan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin
5) Cegah terjadinya aspirasi mekoneum dengan segera mengusap wajah neonatus
dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi
sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekoneum.
6) Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas Perlu
kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm
sehingga setiap persalinan kehamilan postterm harus dilakukan pengamatan
ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan pelayanan operatif
dan neonatal yang memadai.
34
POST TERM
Induksi
Serviks blm matang(skor bishop< 6
Pemantauan janinNST,OCT,USG
>41 Mgg
Serviks matang(skor bishop≥ 6
SC>4000gr
oligohidramnion Deselerasivariabel
V cairan amnion normalNST tdk reaktif
CSTUji dgn kontraksi
Induksi Induksi
(-)induksi
(+)Pemantauan janin diulangi
(2x/mgg)
Serviks matang 44mgg
Induksi Induksi
Gambar 2.12
Penatalaksanaan Kehamilan Postterm
35
2.6.3 Rekomendasi The American College of Obstetricians and Gynecologist
Rekomendasi berikut dirangkum pada tabel 2.7. Meskipun terdapat
fleksibilitas dalam evaluasi dan penatalaksanaan kehamilan genap 42 minggu,
direkomendasikan bahwa baik pemeriksaan antenatal atau induksi persalinan
harus dilakukan pada 42 minggu. Tak ada bukti kuat untuk menyarankan strategi
penatalaksanaan antara 40 dan genap 42 minggu. 1
Tabel 2.7. Evaluasi dan penatalaksanaan kehamilan postterm1
1. Kehamilan postterm didefinisikan sebagai kehamilan yang menggenapi
atau melebihi 42 minggu.
2. Wanita dengan gestasi postterm yang memiliki servikal yang tidak
menunjang dapat menjalani induksi persalinan atau penatalaksanaan
ekspetatif.
3. Prostaglandin dapat digunakan untuk pematangan servikal dan induksi
persalinan.
4. Persalinan harus berefek jika terdapat bukti kompromisasi janin atau
oligohidramnion
5. Adalah beralasan untuk memulai surveilans antenatal diantara 41 dan 42
minggu meskipun tidak cukup bukti bahwa monitoring meningkatkan
hasil.
6. Nonstress test dan pemeriksaan volume cairan amnion harus cukup,
meskipun tidak ada metode tunggal yang terbukti lebih baik.
7. Banyak rekomendasi untuk segera melahirkan pada wanita dengan
kehamilan postterm, serviks yang menunjang, dan tidak ada komplikasi
lainnya.
Dari American College of Obstetricians and Gynecologists (2004).
Kehamilan postterm telah diidentifikasi oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (1999) sebagai kondisi risiko tinggi dimana
pemeriksaan janin antepartum mungkin diindikasikan dua kali seminggu.
Velocimeter Doppler tidak disarankan. Oligohidramnion mendeteksi
36
menggunakan ultrasound, didefinisikan sebagai tidak ada kantung vertikal dari
cairan amnion lebih dari 2 cm atau AFI 5 cm atau kurang, dianggap indikasi untuk
persalinan atau suverlans janin ketat.1
Gambar 2.13
Algoritma manajemen kehamilan postterm
2.6.4 Pengelolaan Antepartum
Dalam pengelolan antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan.
Menentukan umur kehamilan dapat dengan menghitung dari tanggal menstruasi
terakhir, atau dari hasil pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 12-20
minggu. Pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan postterm tidak akurat untuk
menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk menentukan volume cairan amnion
(AFI), ukuran janin, malformasi janin dan tingkat kematangan plasenta.
37
Untuk menilai kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 40
minggu dengan pemeriksaan Non Stess Test (NST). Pemeriksaan ini untuk
menditeksi terjadinya insufisiensi plasenta tetapi tidak adekuat untuk
mendiagnosis oligohidramnion, atau memprediksi trauma janin.
Secara teori pemeriksaan profil biofisik janin lebih baik. Selain NST juga
menilai volume cairan amnion, gerakan nafas janin, tonus janin dan gerakan janin.
Pemeriksaan lain yaitu Oxytocin Challenge Test (OCT) menilai kesejahteraan
janin dengan serangkaian kejadian asidosis, hipoksia janin dan deselerasi lambat.
Penilaian ini dikerjakan pada umur kehamilan 40 dan 41 minggu. Setelah umur
kehamilan 41 minggu pemeriksaan dikerjakan 2 kali seminggu. Pemeriksaan
tersebut juga untuk menentukan pengelolaan.2,4 Penulis lain melaporkan bahwa
kematian janin secara bermakna meningkat mulai umur kehamilan 41 minggu.
Oleh karena itu pemeriksaan kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 41
minggu.6
Tabel 2.8.: Skoring biofisik menurut Manning
38
Tabel 2.9 Skoring Profil Biofisik : Protokol PenatalaksanaanAngka Interpretasi Anjuran
10 Janin normal, tidak asfiksia Tidak ada indikasi janin untuk intervensi, uji ulang setiap minggu
kecuali pada kehamilan diabetik dan lebih bulan, yang harus dilakukan
2x seminggu.8/10,
cairan normalJanin normal, tidak asfiksia Tidak ada indikasi janin untuk
intervensi, ulang pengujian seperti di atas
8/10,Cairan
berkurang
Tersangka asfiksia janin kronikKemungkinan asfiksia janin
LahirkanLahirkan kalau volume cairan
amnion abnormal4 Mungkin asfiksia janin Ulangi pengujian pada hari yang
sama, kalau angka < 6 à lahirkan0-2 Hampir pasti asfiksia janin Lahirkan
Pemeriksaan amniosintesis dapat dikerjakan untuk menentukan adanya
mekonium di dalam cairan amnion. Bila kental maka indikasi janin segera
dilahirkan dan memerlukan amnioinfusion untuk mengencerkan mekonium.
Dilaporkan 92% wanita hamil 42 minggu mempunyai serviks tidak
matang dengan Bishop score kurang dari 7. Ditemukan 40% dari 3047 wanita
dengan kehamilan 41 minggu mempunyai serviks tidak dilatasi. Sebanyak 800
wanita hamil postterm diinduksi dan dievaluasi di Rumah Sakit Parkland. Pada
wanita dengan serviks tidak dilatasi, dua kali meningkatkan seksio cesarea karena
distosia.4
2.6.5 Pengelolaan Intrapartum
Persalinan pada kehamilan postterm mempunyai risiko terjadi bahaya pada
janin. Sebelum menentukan jenis pengelolaan harus dipastikan adakah disporposi
kepala panggul, profil biofisik janin baik. Induksi kehamilan 42 minggu menjadi
satu putusan bila serviks belum matang dengan monitoring janin secara serial.
Pilihan persalinan tergantung dari tanda adanya fetal compromise. Bila tidak ada
kelainan kehamilan 41 minggu atau lebih dilakukan dua pengelolaan. Pengelolaan
tersebut adalah induksi persalinan dan monitoring janin. Dilakukan pemeriksaan
pola denyut jantung janin.6
39
Selama persalinan dapat terjadi fetal distress yang disebabkan kompresi
tali pusat oleh karena oligohidramnion. Fetal distress dimonitor dengan
memeriksa pola denyut jantung janin. Bila ditemukan variabel deselerasi, satu
atau lebih deselerasi yang panjang maka seksio cesarea segera dilakukan karena
janin dalam bahaya.1
Bila cairan amnion kental dan terdapat mekonium maka kemungkinan
terjadi aspirasi sangat besar. Aspirasi mekonium dapat menyebabkan disfungsi
paru berat dan kematian janin. Keadaan ini dapat dikurangi tetapi tidak dapat
menghilangkan dengan penghisapan yang efektif pada faring setelah kepala lahir
dan sebelum dada lahir. Jika didapatkan mekonium, trakea harus diaspirasi segera
mungkin setelah lahir. Selanjutnya janin memerlukan ventilasi.4
The American College of Obstetricians and Gynecologist
mempertimbangkan bahwa kehamilan postterm (42 minggu) adalah indikasi
induksi persalinan. Penelitian menyarankan induksi persalinan antara umur
kehamilan 41-42 minggu menurunkan angka kematian janin dan biaya monitoring
janin lebih rendah.
Tabel 2.10 Kontraindikasi Induksi Persalinan
40
BAB III
KESIMPULAN
Masalah utama dalam kehamilan postterm adalah bahwa
mortalitas perinatal yang meningkat
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan keadaan plasenta, cairan
amnion dan janin. Perubahan tersebut meningkatkan risiko perinatal yang
buruk. Beberapa keadaan yang penting untuk diwaspadai adalah
oligohidramnion, aspirasi mekonium, asfiksia janin dan distosia bahu
Dalam pengelolan antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan. dapat
dengan menghitung dari tanggal menstruasi terakhir, atau dari hasil
pemeriksaan USG pada kehamilan 12-20 minggu. Pemeriksaan USG pada
kehamilan postterm tidak akurat untuk menentukan umur kehamilan.
Tetapi untuk menentukan volume cairan amnion (AFI), ukuran janin,
malformasi janin dan tingkat kematangan plasenta.
Pemantauan kesejahteraan janin dikerjakan pada umur kehamilan 40 dan
41 minggu. Setelah umur kehamilan 41 minggu pemeriksaan dikerjakan 2
kali seminggu. Pemeriksaan tersebut juga untuk menentukan pengelolaan
Induksi kehamilan 42 minggu menjadi satu putusan bila serviks belum
matang dengan monitoring janin secara serial. Pilihan persalinan
tergantung dari tanda adanya fetal compromise. Bila tidak ada kelainan
kehamilan 41 minggu atau lebih dilakukan pengelolaan induksi persalinan
dan monitoring janin.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Cuningham FG., Leveno KJ., Bloom, SL., Hauth JC., Gilstrap LC., Wenstrom KD. 2007. Postterm Pregnancy. in:Williams Obstetric.22nd ed. Dallas: McGraw-Hill Companies, Inc.
2. Gordon C.S, Life table analysis of the risk of perinatal death atterm and postterm in singelton pregnancies, Am J Obstet Gynecol 2001;184;489-96
3. Mochtar AB, Kristianto H., Kehamilan Postterm. Dalam Wignyosastro H, Saifudin AB, Rachimhadhi T. eds. Ilmu Kebidanan. Edisi keempat. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo., 2008.
4. Arias F, Prolonged Pregnancy in Practical Guide to High Risk Pregnancy and Delivery, 2nd ed, Mosby Year book, Inc,1993; 150-160
5. Hidayat W, Firman F, Pemantauan Biofisik Janin; Bandung, 1997 6. Michael Y, et al, Fetal and neonatal mortality in postterm pregnancy: The
impact of gestational age and fetal growth restriction, Am J Obstet Gynecol 1998;178:726-31
7. P. Barbara, et al, Temporal changes in rates and reasons for medical induction of term labor, 1980-1996, Am J Obstet Gynecol 2001;184;611-9
8. Greene MF. Progesteron and preterm delivery. N Engl J
Med.2003 ;348:2453-5 Available at
http://content.nejm.org/cgi/content/full/348/24/2453
9. Charllis JRG, Matthews SG, Gibb W, Lye SJ. Endocrine and
paracrine regulation of birth at term and preterm. Endcr
Rev.2000; 21:514-50
10. Mesiano S, Chan EC, Fitter JT, et al. Progesterone
withdrawall and estrogen activation in human parturition are
coordinated by progesterone reseptor a expression in the
myometrium. J Clin Endcr & Met.2002; 87(6):2924-2930
11. Sherwood OD. Relaxin's physiological roles and other
diverse action. Endocr Rev.2004; 25:205-234
12. Keelan JA, Coleman M, Mitchell MD. The molecular
mechanisms of term and preterm labor: recent progress and
clinical implications. M J Reprod Med.1995; 40:375-379.
Available at:
42
http://www.biomedcentral.com/content/download/xml/1471-
2393-7-s1-s9.xml
13. Briscoe D, Nguyen H., Mencer M., Gautam N., Kalb D.B., Management of Pregnancy Beyond 40 Weeks’ Gestation. Am Fam Physician 2005;71:1935-41, 1942. American
43