Kebudayaan Tionghoa
Transcript of Kebudayaan Tionghoa
KELOMPOK 12
NAMA ANGGOTA:
1. BAYU ARDIANSYAH (13040112130075) 2. ANINDYA MUFTI FEBRI (13040112130106) 3. HENDRAWAN TRIYANTO (13040112130108) 4. SUNU VICKRI RAHARDJO (13040112130116)
SEJARAH
Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang
berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu.
Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan
kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang
berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan
perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke
Nusantara dan sebaliknya.
Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia berawal pada masa
kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai,
yang daerahnya kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan
sebagai pandai perhiasan (Emas). Karena kebutuhan akan pandai emas
semakin meningkat, maka didatangkan eamas dari cina daratan, disamping itu
ikut dalam kelompok tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan
perdagangan. Mereka bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai,
Sanggau Pontianak dan daerah sekitarnya.
Gelombang kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah
pada masa kerajaan Singasari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang.
Kedatangan mereka dibawah armada tentara laut Khubilaikan atau juga
sering disebut sebagai Jhengiskan. dalam rangka ekspansi wilayah
kekuasaannya. Namun utusan yang pertama ini tidaklah langsung menetap,
hal ini diakrenakan ditolaknya utusan tersebut oleh Raja.
Pada Ekspedisi yang kedua tentara laut Khubilaikan ke-tanah Jawa
dengan tujuan membalas perlakuan raja Singasari terhadap utusan mereka
terdahulu, namun mereka sudah tidak menjumpai lagi kerajaan tersebut, dan
akhirnya mendarat di sebuah pantai yang mereka beri nama Loa sam
(sekarang Lasem) sebagai armada mereka menyusuri pantai dan mendarat
disuatu tempat yang Sam Toa Lang Yang kemudian menjadi Semarang.
Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah (Kelenteng Sam Po
Kong) yang yang masih dapat dilihat sampai masa sekarang.
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Fatah, pendiri
Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit.
Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok,
meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan
kultur Tionghoa.
Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai
warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari
Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam prasasti-
prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika
disebut dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala
orang-orang Tionghoa
. Penyebaran Tionghoa di Indonesia.
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau
Jawa, Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok,
Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan & Sulawesi Utara.
• Hakka : Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan,
Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan
Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon
dan Jayapura.
• Hokkien : Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra
Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di
Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai,
Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari,
Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
• Kanton : Tersebar merata di indonesia terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, Kalimantan Selatan.
• Tiochiu :Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan
Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
DEMOGRAFI
• Jumlah penduduk pada tahun 1961diperkirakan berjumlah 2,45 juta
jiwa
• Pertengahan abad ke-19 sebagian besar orang tionghoa tinggal di
pulau jawa
• Pertengahan abad ke-19 sampai tahun 1920 sebagian besar orang
tionghoa tinggal di luar pulau
• Antara 1956-1961 banyak penduduk tionghoa yang pulang ke
negaranya
MATA PENCAHARIAN
• Sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia sekarang memang hidup dari perdagangan dan jasa.
• Terutama 50% dari orang Hokkien di Indonesia adalah pedagang.
• Tetapi di Jawa Barat dan di pantai Barat Sumatra ada banyak Orang Hokkien yang bekerja sebagai petani,sedangkan di Bagansiapi-api(Riau) umumnya menjadi nelayan.
PERKAMPUNGAN DAN RUMAH TIONGHOA
Perkampungan Tionghoa di kota-kota itu biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang berhadapan-hadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan. Deretan rumah-rumah itu, merupakan rumah-rumah petak di bawah satu atap, yang umumnya tidak mempunyai pekarangan. Sebagai ganti pekarangan, di tengah rumah biasanya ada bagian tanpa atap, untuk menanam tanaman, untuk tempat mencuci piring, dan menjemur pakaian.
Ruangan paling depan dari rumah selalu merupakan ruangan tamu dan tempat meja abu. Biasanya ruang ini dipakai sebagai toko, sehingga meja abu harus ditempatkan di ruangan di belakangnya. Sesudah itu ada lorong dengan di sebelah kanan-kirinya ada kamar-kamar tidur. Di bagian belakang ada dapur dan kamar mandi.
http://budayabangsaku.files.wordpress.com
http://1.bp.blogspot.com
Ciri khas dari rumah-rumah orang Tionghoa dengan tipe kuno adalah bentuk atapnya yang selalu melancip pada ujung-ujungnya, dan dengan ukir-ukiran
yang berbentuk naga. Pada orang berada, terdapat banyak ukir-ukiran pada tiang-tiang dari balok.
http://antarajatim.com
Dalam tiap-tiap perkampungan Tionghoa selalu ada satu atau dua kuil. Bangunan ini biasanya masih memiliki bentuk yang khas dan kaya dengan ukir-ukiran Tionghoa. Kuil-kuil ini bukanlah merupakan tempat beribadah, tetapi hanya merupakan tempat orang-orang meminta berkah, meminta anak dan tempat orang untuk mengucap syukur. Untuk itu ia membakar dupa kepada dewa yang melindunginya. Kuil terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: Kuil Budha, Kuil Tao, dan kuil yang dibangun untuk menghormati dan memperingati orang-orang yang telah berjasa bagi masyarakat semasa ia hidup.
http://www.1.bp.blogspot.com
http://www.aneh-unik.com
http://media-cdn.tripadvisor.com
SISTEM KEKERABATAN
Perkawinan itu menutup suatu masa tertentu di dalam kehidupan seseorang, yaitu masa bujang dan masa hidup tanpa beban keluarga. Orang Tionghoa dianggap dewasa atau “menjadi orang”, bila ia telah menikah. Karena itulah upacara perkawinan itu menjadi suatu kejadian yang penting dalam kehidupan seseorang. Upacara perkawinan orang Tionghoa di Indonesia adalag tergantung pada agama yang dianut. Karena itu upacara perkawinan orang Tionghoa di Indonesia amat berbwda satu dengan lainnya. Upacara perkawinan orang Tionghoa Totok berbeda pula dengan orang Tionghoa Peranakan.
http://2.bp.blogspot.com
Pantang Pemilihan Jodoh , Di dalam memilih jodoh orang Tionghoa Peranakan mempunyai pembatasan-pembatasannya. Perkawinan terlarang adalah antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga, Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan kekerabatan tetapi generasi yang leboh tua dilarang. Alasannya ialah bahwa seorang suami tidak boleh lebih muda atau rendah tingkatnya dari istrinya. Peraturan lain ialah seorang adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Peraturan ini berlaku juga bagi saudara-saudara sekandung laki-laki, tetapi adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya kawin. Apabila terjadi pelanggaran, maka si adik harus memberikan hadiah tertentu pada kakaknya yang didahului kawin itu.
Mas Kawin, Oleh orang tua pihak laki-laki lalu diantarkan angpao(bungkusan merah), yakni uang yang dibungkus dengan kertas merah. Uang ini dinamakan uang tetek. Maksudnya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan oleh orang tua gadis itu, yg telah mengasuh dan membesarkannya. Uang tetek ini biasanya ditolak, kecuali jikalau keluarga pihak perempuan berada dalam keadaan keuangan yang sangat buruk, karena dengan menerimanya, orang tua si gadis seolah-olah menjual anaknya. Menjelang perkawinan, keluarga pihal laki-laki biasanya mengirim utusan ke rumah keluarga si gadis untuk menyampaikan sebungkus angpao tersebut, beberapa potong pakaian dan perhiasan . Keluarga yang kaya biasanya akan menolak pemberian tersebut dengan halus, tetapi keluarga yang tidak mampu, biasanya akan menerima sebagian saja.
http://www.blog.my-weddingbelle.com
Adat Mentap Sesudah Nikah, Tempat tinggal setelah kawin bagi masyarakah Tionghoa adalah rumah orang tua si suami. Hal ini erat hubungannya dengan tradisi Tionghoa sendiri, bahwa hanya anak laki-laki tertualah yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya. Putra-putra selanjutnya tidak terikat lagi dengan ketentuan-ketentuan.
Perceraian, Bagi keluarga-keluarga yang masih memegang erat akan adat dan yang memilihkan calon suami bagi anak perempuannya, biasanya menasehatkan anak itu untuk berusaha menghidarkan perceraian. Perceraian dapat terjadi karena si istri tidak memberikan anak laki-laki pada keluarga si suami. Ada juga perceraian terjadi, karena sang istri tidak mau tinggal bersama-sama istri kedua dari suaminya dalam satu rumah.
Poligami, Memang di dalam adat Tionghoa, seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, tetapi ia dapat mengambil sejumlah wanita sebagai istri mudanya. Istri muda hanya berkedudukan sebagai pembantunya saja. Biasanya mereka berasal dari keluarga yang miskin dan perkawinan mereka tidak dirayakan.
Bentuk Rumah Tangganya adalah keluarga-luas yang terbagi menjadi dua bentuk, yaitu: 1) Bentuk keluarga-luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua beserta istri dan anak-anaknya dan saudaranya yang belum kawin. 2) Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan anak-anak laki-laki beserta keluarga-keluarga-batih mereka masing-masing.
Kedudukan wanita, pada orang Tionghoa dulu adalah sangat rendah. Pada
waktu masih anak-anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka
dengan baik, tetpi pada waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah.
Sesudah kawin, mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh
mertua mereka. Mereka tidak mendapat bagian di dalam kehidupan di luar
rumah. Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang sama dengan
anak laki-laki di dalam hal warisan, bahkan kadang-kadang mendapat tugas
untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di
rumah orang tuanya secara uxorilokal. virilokal adalah suatu adat yang
menentukan bahwa sepasang suami istri diharuskan menetap di sekitar pusat
kediaman kerabat suami. Adat ini juga digunakan oleh masyarakat yang
menganut sistem kekerabatan patrilineal. uxorilokal adalah suatu adat yang
menentukan bahwa sepasang suami istri harus tinggal di sekitar kediaman
kerabat istri. Adat menetap seperti ini biasanya digunakan oleh masyarakat
yang menganut sistem kekerabatan matrilineal.
Kelompok kekerabatan, Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga-batih, tetapi keluarga-luas yang virilokal. Karena itu hubungan dengan kaum kerabat pihak ayah adalah lebih erat, tetapi perkembangan sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga pihak ibu sama eratnya dengan pihak ayah.
SISTEM KEMASYARAKATAN ORANG TIONGHOA DI INDONESIA
Stratifikasi Sosial, Dalam masyarakat orang Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan orang kaya. Namun perbedaan ini tidaklah sangat menyolok karena golongan buruh ini tidak menyadari akan kedudukannya, demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena sering masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan. Tionghoa Peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari Tionghoa Totok karena mereka menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rending Tionghoa Peranakan karena mereka dianggap mempunyai daerah campuran.
Pimpinan Masyarakat Tionghoa, Bagi Masyarakat Tionghoa di suatu daerah, pemerintah Belanda dulu mengangkat seorang yang dipilih dari masyarakat itu sebagai pimpinan, Pemimpin-pemimpin yang diangkat Belanda itu memakai pangkat majoor (pangkat tertinggi), kapitein, luitenant, dan wijkmeester (ketua R.W. menurut istilah sekarang). Pemimpin-pemimpin ini mempunyai tugas sebagai perantara yang menghubungkan orang
Tionghoayang ingin mengurus sesuatu hal dengan pemerintah Belanda. Para pemimpin Tionghoa disebut kongkoan. Tugas utama para pemimpin adalah menjaga ketertiban dan keamanan dari masyarakat Tionghoa yang terdapat di suatu daeah atau kota, mengurus hal adat istiadat, kepercayaan, perkawinan, dan perceraian. Mereka mencatat kelahiran, perkawinan, dan kematian dan mengangkat sumpah. Kongkoan mempunyai hak mengadili segala perkara (baik perkelahian maupun penipuan, dsb) diantara orang Tionghoa. Mereka juga berfungsi sebagai pemberi nasihat pada pemerintah Belanda, terutama dalam masalah penarikan pajak, dan merupakan saluran dari peraturan-peraturan pemerintah terhadap masyarakat Tionghoa.
Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa, Pada mulanya orang Tionghoa di beberapa kota besar mendirikan perkumpulan “Kamar Dagang” yang disebut Sianghwee. “Kamar Dagang” ini merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Tionghoa yang bekerja untuk kepentingan anggota-anggotanya, terutama mengurus pajak. Pada tahun 1990 didirikan suatu perkumpulan yang bertujuan memajukan nasionalisme Cina berdasarkan Religi Kung Fu-Tse dan menyatukan orang Tionghoa yang masih provinsialistis. Pada tahun 1927 kaum cendekiawan Peranakan yang memperoleh pendidikan Belanda mendorikan suatu organisasi yang disebut Chung Hua Hui yang mewakilo orang Tionghoa di Volksraad. Kemudian setelah Indonesia merdeka organisasi-organisasi yang sebekumnya ada dibubarkan dan dilebur ke dalam satu organisasi tang mewakili orang-orang Tionghoa Peranakan dala Dewan Perwakilan Rakyat yaitu Baperki. Di samping itu ada perkumpulan-perkumpulan agama Kristen, Sam Kauw, dll.
RELIGI
Di indonesia umumnya melihat bahwa warga tionghoa beragama Budha, di
Cina sebagian besar penduduknya memang beragama Budha. Namun di
Indonesia warga Tionghoa menganut agama Budha, Kong Fu-tse, dan Tao
ketiganya dipuja bersama-sama oleh perkumpulan sam kauw
hwee(perkumpulan tiga agama). Sebenarnya kung fu-tse hanya merupakan
ajaran filsafat untuk hidup dengan baik. Dia pernah mengatakan bahwa
“Jikalau orang masih belum mengetahui hal hidup, bagaimanakah orang akan
mengetahui hal mati”. Dengan ucapanya itu dapat dilihat bahwa ajaranya
mengenai ajaran hidup di dunia fana ini, bukan hidup di alam baka. Kung fu-
tse merupakan guru filsafat yang besar. Di indonesia kung fu-tse juga tidak
dipandang agama melainkan hanya dihargai sebagai guru besar. Di Indonesia
terdapat perkumpulan atau organisasi khong koan hwee (perkumpulan
agama kung tse). Perkumpulan ini bertujuan menyebarkan ajaran kung fu-tse,
kekeluargaan dan ketatanegaraan. Intisari filsafatnya diambil dari kekuasaan-
kekuasaan, yang pada masyarakat saat itu sudah lazim. Kekuasaan-kekuasaan
itu oleh kung fu-tse diberi bentuk yang tetap. Sampai pada suatu batas-batas
konsepsi “kebaktian” orang cina bersatu padu dalam pemujaan leluhur.
Pemujaan leluhur dengan memelihara abu dalam rumah. Dengan ayah
sebagaipemuka upacara, kewajiban ayah ini nantinya diturunkan pada anak
laki-lakinya dan seterusnya seperti itu. Anak perempuan tidak dilibatkan
dalam pemujaan leluhur, oleh karena itu anak perempuan sesudah menikah
mengikuti suaminya dan dengan begitu yang turut di urusinya ialah pemujaan
leluhur pihak suaminya. Karena itu orang Cina, yang menafsirkan bakti (hao)
itu secara ortodoks, menganggap anak lelaki sebagai suatu hal yang sangat
perlu. Bukan hanya untuk meneruskan shenya (nama keluarganya),
melainkan yang terutama ialah untuk menggantikan ayahnya untuk kelak
merawat abu leluhur tentang kewajiban ini, kung fu-tse mengatakan “put hao
(tidak bakti) dan salah satu diantaranya yang terpenting adalah tidak
mempunyai anak.” Berbakti akan orang tua memang sesuatu hal yan g wajar
tetapi pada orang Cina berbakti itu mempunyai atau mendapatkan arti
keramat.
Anggota keluarga yang memelihara abu keluarga, melakukan upacara
pemujaan ruh leluhur ditempat abu leluhur diletakan. Tempat itu berupa
sebuah meja panjang tinggi dan dibawahnya ada pula sebuah meja lain yang
pendek. Meja-meja itu diletakan di bagian depan rumah dan pada umumnya
berwarna merah tua dihiasi ukiran beraneka ragam. Di atas meja terdapat
tempat untuk menancapkan dupa yang disebut hio lau. Disampingnya
terdapat sepasang pelita yang selalu dinyalakan pada tanggal satu dan lima
tiap bulanya menurut perhitungannya dan desertai dengan menyalakan dupa.
Di kedua sudut meja paling depan terdapat sepasang lilin merah yang
digunakan pada sembahyang tertentu.
Berikut contoh bentuk meja untuk
menaruh abu leluhur.
Dalam sembahyang orang Tionghoa biasanya tidak mengenal pemuka agama
yang melakukan upacara, kecuali dalam agama Budha yang ada pendeta-
pendeta Budha yang diminta pertolongan pada saat upacara kematian.
Kebanyakan pendeta itu wanita dan membacakan kitab suci sepanjang malam
sebelum dimakamkan. Gambar budha besar biasanya digantung pada dinding
tetarap yang didirikan di depan rumah. Dengan didiringi genderang yang
ditabuh lima sampai enam orang mengelilingi jenazah dan didikuti oleh
anggota keluarga. Seperti itulah kurang lebih prosesi pemakaman orang
tionghoa.
Hari-hari besar orang tionghoa antara lain:
Tahun Baru Imlek Chùn Jíé (mandarin) Disebut juga Festival Musim Semi, merupakan tanda dimulainya pergantian tahun china. Dirayakan dengan berkumpulnya keluarga dan perayaan besar selama 3 hari (secara tradisional selama 15 hari). Sembahyang tahun barudilakukan di kuil atau di muka meja abu. Sembahyang ini harus dilakukan dengan sebersih-bersihnya. Bukan saja bersih lahir, melainkan juga bersih batin. Di atas meja itu harus disediakan semacam kue di Indonesia dikenal dengan nama dodol keranjang. Pada tahun baru itu orang tidak boleh mengucapkan katakata kasar dan tidak boleh menyapu selama tiga hari. Larangan menyapu itu dipercaya agar rezeki tidak tersapu keluar rumah.
Bulan 1 Hari Ke-15
CAP GO MEH Yuán Xîao Jíè (mandarin) Merupakan perayaan hari ke-15 dan hari terakhir dari perayaan Imlek. Saat itu juga merupakan bulan penuh pertama dalam tahun tersebut. Perayaan ini dilakukan dengan jamuan besar dengan berbagai kegiatan. Di Taiwan dirayakan dengan fertival lampion. Di Asia Tenggara dikenal sebagai 'hari valentin'-nya tionghoa, dimana masa ketika wanita-wanita yang belum menikah berkumpul bersama dan melempar jeruk ke laut (adat dari Penang, Malaysia) supaya enteng jodoh.
Bulan ke-3 (sekitar tgl 4 atau 5 April)
Chíng Míng/Chéng Béng Qîng Mìngjíe (mandarin) Perayaan membersihkan makam leluhur, dilakukan dengan berziarah ke makam leluhur dengan membawa dupa (hio), lilin dan kertas sembahyang, sebagai bentuk penghormatan dan tidak melupakan leluhur.
Bulan 5 hari ke-5
Duáôw Jíè (Festifal Perahu Naga) Lomba perahu naga dan memakan zhóng jíè.
Bulan ke-8 tanggal 15
Cap Go Peh Gwee (Ba Yué) Zhóng Jîú Jíé (mandarin) Festival Pertengahan Musim Gugur. Di Indonesia dikenal sebagai Sembahyang Kueh Tióng Cîú Phía (zhóngjîú Yúê Bíng). Didaratan Tiongkok pada momen ini seluruh keluarga kumpul menjelang datangnya musim dingin. Di Indonesia ini juga diadaptasi, setidaknya untuk reunj keluarga dan sembahyang rembulan (pada saat perayaan, Bulan terlihat bersinar bulat terang). Menurut legenda cerita rakyat, saat itu adalah saat Pangeran Matahari Hóu Yí sedang mengunjungi istrinya, dewi Bulan, Chàng Erl setiap tahun sekali. Oleh karena itu pada perayaan ini selalu disediakan kue bulan (yué bîng) sebagai menu wajib.
Selain menganut agama Budha orang tionghoa di indonesia juga menganut agama lainya
PENDIDIKAN
Pada abads ke—19 pendidikan bagi orang tionghoa di indonesia tidak
mendapat perhatian pemerintah Belanda, karena undang-undang tahun 1854
tentang kesempatan pendidikan hanya berlaku bagi orang Indonesia, tapi
kemudian orang tionghoa mendapat kesempatan pendidikan dengan syarat
harus bisa bahasa Belanda bila ada lowongan dan dengan membayar biaya
sekolah yang tinggi. Pada tahun 1900 dengan dukungan pedagang-pedagang
tionghoa yang bergabung dalam organisasi siang hwee di jakarta berdiri
sekolah tionghoa kwee koan untuk memenuhi kebutuhan pendidiikan orang
tionghoa dan agar tionghoa peranakan berpandangan hidup seperti Cina,
dalam waktu 11 tahun yaitu tahun 1911 sudah ada 93 cabangnya.
Pendidikan yang bersifat nasionalisme ini membuat Belanda gusar dan
membangun hollands chinesse school (HCS) pada tahun 1908 di kota-kota
kecil maupun besar di Indonesia dan khusus bagi orang tionghoa saja dan dari
golongan lain harus mendapat persetujuan direktur pendidikan.
Kurikulumnya hanya setingkat SD. Pendirian sekolah-sekolah ini merupakan
tindakan Belanda untuk menjamin pendidikan bagi orang tionghoa, dan apa
bila orang tionghoa dapatmenyelesaikan pendidikan di tingkat atas maka
dapat melanjutkan ke negeri Belanda, dengan itu kebanyakan lebih
berorientasi pada masyarakat Belanda dari pada keindonesia tapi kesempatan
itu hanya terbatas.
Pada tahun 1936 dari 200.000 anak-anak tionghoa yang ada di Indonesia
antara enam sampai 19 tahun kira-kira 98.000 menerima pendidikan dari
beberapa macam sekolah. Dari 98.000 itu sekitar 45.000 mendapat
pendidikan di sekolah Cina (Tiong Hoa Hwee Koan), 23.000 menerima
pendidikan di Hollands Chinesse school, 3000 di sekolah Belanda dan sisanya
di sekolah-sekolah lain. Dari itu semua dapat dikatakan 50% anak-anak
tionghoa telah berpendidikan.
Pada zaman jepang tidak dibedakan antara peranakan dan totok keduanya
dipandang sebagai orang tionghoa. Namun pada masa perang jepang juga
berperang dengan Cina sehingga perlakuan jepang sangat kejam pada orang
tionghoa. Tionghoa seperti di anak tirikan, mereka (peranakan dan totok)
bersatu dengan semangat nasionalisme melawan jepang. Pada masa revolusi
dan peralihan kekuasaan indonesia perlakuan pemerintah pada mulanya
tidak melihat perbedaan antara peranakan dan totok, maka orang tionghoa
peranakan beralih ke nasionalisme Cina. Lima belas tahun lamanya 1942
sampai 1957 anak-anak peranakan yang mengikuti sekolah-sekolah Cina
makin bertambah karena perlakuan pemerintah sama buruknya pada warga
negara peranakan dan totok. Garis besar politik tahun 1957 mulai berubah
dan disadari bahwa ada perbedaan antara peranakan dan totok dan orang
tionghoa warga negara indonesia serta warga negara tionghoa asing. Setelah
G-30 S PKI semua sekolah Cinja di tutup dan diambil alih oleh pemerintah.
Dari semua tadi dapat kita lihat bahwa orang-orang tionghoa pada umumnya
berpendidikan, bagi mereka pendidikan lebih penting walaupun harus
membayar mahal, inilah yang harus disadari oleh penduduk indonesia bahwa
pendidikan itu penting. Bagi warga tionghoa yang ada di indonesia sudah
membuktikanya dan banyak diantara mereka yang sukses.
POTENSI ORANG TIONGHOA WNI DALAM PEMBANGUNAN
Dalam masa pembangunan ini kita perlu memikirkan untuk mengerahkan
segala sesuatu yang dimiliki oleh bangsa ini. Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara kita perlu mengerahkan suku-suku ataupun kaum minoritas dalam
melakukan pembangunan. Salah satunya yaitu dengan memaksimalkan
potensi warga tionghoa. Namun pertama kita harus menyelesaikan masalah
integrasi dari golongan itu, hal ini penting untuk menjalin adanya kerjasama.
Di Indonesia sendiri sebenarnya proses integrasi sudah berjalan namun
terbilang terlalu lambat, karena kurang pengetahuan dan toleransi terhadap
kebudayaandari suku bangsa atau golongan lain karena perasaan primordial
yang terlalu kuat. Warga Tionghoa dapat dimaksimalkan, kita sudah melihat
kehebatan mereka dalam berdagang, mereka juga pandai mengolah bahan-
baahan mentah. Tentu jikahal itu dapat dimaksimalkan kita mungkin dapat
membuka lapangan pekerjaan yang baru. Hal itu sangat bermanfaat dalam hal
pembangunan ekonomi nasional seperti sekarang ini. Keuletan dan
keteladanan dari warga Tionghoa inilah yang menjadikan mereka sukses, sifat
seperti ini yang perlu dicontoh penduduk indonesia.