KASUS NENEK ASYANI.docx

download KASUS NENEK ASYANI.docx

of 4

Transcript of KASUS NENEK ASYANI.docx

KASUS NENEK ASYANITinjauan Masalah :1. Adanya tuduhan bahwa nenek Asyani sebagai pencuri kayu aset negara2. Dari kasus nenek asyani tersebut merupakan hasil tebangan mendiang suami asyani pada 5 tahun lalu hingga di anggap sebagai penebangan ilegal3. Adanya kesimpang siuran dalam peradilan sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, pihaknya wajib melaporkan kepada penegak hukum atau kepolisian apabila terjadi gangguan keamanan hutan. Apabila tidak, merujuk dalam pasal 104, maka pejabat yang tidak melapor justru akan dapat dikenai sanksi pidana dengan ancaman penjara antara enam hingga 15 tahun dan denda uang sebesar satu miliar hingga Rp 7,5 miliar.Dalam kasus di Situbondo itu, Perum Perhutani hanya melaporkan kejadian pencurian kayu atau hilangnya pohon jati tanpa melaporkan siapa-siapa saja yang diduga sebagai pelakunya termasuk Asyani.Penetapan tersangka, lanjutnya, menjadi kewenangan penyidik dan bukan kewenangan Perhutani. Selain Asyani, penyidik telah menetapkan tersangka utamanya adalah Ruslan yang membantu mengangkut kayu, Abdus Salam sebagai pemilik kendaraan pengangkut kayu, dan Cipto, tukang kayu.hutan produksi milik negara itu berada di atas tanah yang tidak dibebani hak. Prosedur izin penebangannya harus melalui DPT (Daftar Penebangan Tahunan), crossing atau pengukuran bersama, penerbitan LHC (laporan hasil crossing), lalu diajukan ke Dinas Kehutanan Propinsi untuk mendapatkan rekomendasi.Hasil tebangannya juga harus ditimbun di TPK untuk dibuatkan faktur pengangkutan. Kalau dari tanah hak milik, lebih mudah. Izin pemotongannya cukup menunjukan sertifikat kepemilikan tanah untuk mendapatkan SKAU. Bisa ke kepala desa yang sudah ikut kualifikasi, atau langsung ke Dinas Pertanian

Tuduhan pencurian kayu jati kepada wanita tua itu oleh pihak Perhutani merupakan bentuk dari ketidakadilan yang menimpa rakyat kecil dan mencederai hakikat keadilan hukum di negeri ini.Peristiwa itu bermula saat nenek Asyani dan Ruslan, menantunya, yang tinggal di Dusun Secangan, Situbondo memindahkan kayu jati dari rumahnya ke rumah Cipto (tukang kayu) untuk dijadikan peralatan kursi. Akan tetapi, pihak Perhutani menganggap ketujuh batang kayu yang telah ditumpuk dinyatakan hasil illegal logging dan segera diproses secara hukum.Sesungguhnya, kayu-kayu tersebut merupakan hasil tebangan mendiang suami Asyani yang dilakukan lima tahun lalu di lahan tanah sendiri dan disimpan di rumahnya. Kepemilikan lahan itu dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang dimiliki Asyani.Perhutani memerkarakan nenek itu PN Situbondo menggunakan Pasal 12 d juncto Pasal 83 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberatasan dan Pencegahan Perusakan Hutan.Dirut Perum Perhutani Mustoha Iskandar mengatakan bahwa apa yang dilakukan Perum Perhutani hanya melaporkan tindakan pencurian aset milik negara tanpa menyebutkan orang per orang.Kalau m ereka tidak melaporkan pencurian tersebut, kami akan kena sanksi pidana dengan ancaman penjara 615 tahun dan denda uang sebesar Rp 1 miliar-7,5 miliar, katanya.Dalam kasus di Situbondo itu, Perum Perhutani hanya melaporkan kejadian pencurian kayu tanpa melaporkan siapa yang diduga sebagai pelakunya. Penetapan tersangka menjadi kewenangan penyidik, katanya.Selain Asyani, penyidik telah menetapkan tersangka utamanya adalah Ruslan yang membantu mengangkut kayu, Abdus Salam sebagai pemilik kendaraan pengangkut kayu, dan Cipto, tukang kayu

nilai kerugian dari kasus pencurian kedua pohon tersebut Rp4.323.000.dilatarbelakangi peristiwa hilangnya dua pohon jati dengan keliling 115 centimeter dan 105 centimeterbarang bukti yang diamankan sebanyak 38 batang kayu jati olahan (0,125 meter kubik) mempunyai ukuran beragam. Terbesar mencapai 200 x 2 x 15 centimeter dan terkecil 90 x 3 x 8 centimeter

kuasa hukum Nenek Asyani, kasus yang menjerat kliennya terkesan dipaksakan. Alasannya, ia ditahan pada 15 Desember 2014, beberapa bulan setelah kasus dilaporkan pada Juli 2014. Masih menurut Supriono, berhubung yang melapor adalah Perhutani maka harus ada tersangkanya. Kejanggalan lainnya, kayu jati milik Perhutani yang hilang berdiameter 100 sentimeter, sementara kayu milik Nenek Asyani hanya 10 sampai 15 sentimeter. Dia pun memastikan, kayu tersebut benar miliknya. Kayu itu ditebang oleh almarhum suaminya sekitar lima tahun silam dari lahan mereka sendiri. (http://news.okezone.com/read/2015/03/11/340/1116827/dituduh-curi-7-batang-kayu-Nenek-miskin-terancam-lima-tahun-bui)Saat ini Nenek Asyani telah menghirup udara bebas berkat dikabulkannya permohonan penagguhan penahanan pada 16 Maret 2015. Penangguhan dikabulkan dengan jaminan sejumlah pejabat dan politisi setempat. (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/602094-akhir-cerita-asianiNenek-yang-dituduh-curi-7-batang-kayu)Sulitnya Mendapat KeadilanKasus Nenek Asyani menguatkan bahwa sulit mendapat keadilan di tengah-tengah hukum yang diterapkan di Indonesia. Ia dituduh mencuri kayu yang diambilnya dari lahan milik sendiri.Selain itu juga, ia tidak mengetahui bahwa lahan miliknya sudah berpindah tangan sekalipun ada bukti sertifikat yang disimpannya. Apalagi dakwaan yang ditujukan untuknya begitu berat, tidak seimbang dengan perbuatan yang dituduhkan padanya.Kayu jati yang dipermasalahkan tersebut sebenarnya sudah diambil sejak lama dan disimpan. Sementara itu ukuran kayu yang diambil hanyalah kayu berukuran kecil, berbeda dengan ukuran kayu yang dimaksud oleh Perhutani. Apalagi dengan usia Nenek Asyani yang sudah tua, seharusnya aparat hukum memperhatikan keadaan ia saat ditahan.Bayangkan kasus tersebut dilaporkan pada bulan Juli 2014, dan ia ditahan mulai Desember 2014. Sementara persidangan baru dibuka 3 bulan kemudian.Sungguh upaya yang sangat lama dalam penanganan kasus tersebut, bahkan terkesan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Wajar bila ada anggapan bahwa ini adalah tindakan kriminalisasi. Terlebih lagi membiarkan perempuan tua dalam penjara selama itu dari sisi kemanusiaan tentu sulit untuk diterima.Kasus ini semakin menegaskan bahwa hukum di Indonesia tidak bisa menyentuh semua kalangan. Seharusnya semua warga negara tidak ada yang kebal hukum.Tapi lihatlah, hanya karena 7 batang kayu yang harganya tidak seberapa dan tidak memberikan kerugian untuk negara telah menyeret warga miskin ke dalam masalah hukum.

Bedanya dengan Islam Di negeri ini, sudah berkali-kali kita saksikan bagaimana penegakan hukum seringkali berjalan tidak sesuai alias gagal ditegakkan. Penegakan hukum di negeri ini sering kali hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.Sudah kesekian kali kita tunjukkan, hukum buatan manusia hanya hanya berpihak pada kaum yang berpunya, bukan milik fakir-miskin.Itulah yang membedakan dengan Islam. Islam sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak luput dari mengatur masalah hukum dan jaminan keadilan. Kunci utama dari diperolehnya keadilan yaitu dengan penerapan syariat Islam. Allah Subhanahu Wataala berfirman:Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?(QS: Al-Maidah [5]: 50).Hanya syariat Islam yang mampu memberikan jaminan keadilan bagi setiap warga negara, tanpa memandang apakah ia Muslim atau kafir, kaya atau miskin, warna kulit, status sosial, atau pun profesi yang dimilikinya.Khalifah Umar ra pernah membebaskan seorang miskin yang mengambil buah yang jatuh di jalan. Sebaliknya Umar ra menghukum orang kaya yang melaporkan hal itu karena tidak berperikemanusiaan dengan membiarkan tetangganya yang miskin kelaparan.Rasulullah sendiri tidak pernah tebang pilih dalam menegakkan hukum dan keadilan, sekalipun kepada anak kandungnya sendiri.Amma badu. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tidak dihukum), tetapi jika yang mencuri seorang yang miskin maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya. Apabila Fatimah anak Muhammad mencuri maka aku pun akan memotong tangannya.(HR. Bukhari)