Jurnal Sahriani F
-
Upload
riyafebrina -
Category
Documents
-
view
11 -
download
2
Transcript of Jurnal Sahriani F
Kelebihan Azitromisin dibanding dengan Eritromisin dalam Meningkatan
Waktu-Paruh Pengosongan Lambung pada Pasien Dewasa dengan
Gastroparesis
Latar Belakang / Tujuan
Terapi dengan agen prokinetik yang saat ini digunakan pada gastroparesis dibatasi
oleh efek samping dan pilihan. Salah satu macrolide, yaitu Eritromisin (ERY),
terkait dengan kematian jantung mendadak terlihat dari perpanjangan gelombang
QT dikarenakan inhibisi pada isoenzim P450. Obat alternatif lainnya, yaitu
Azitromisin (AZI), mengurangi inhibisi isoenzim P450. Kami membandingkan
efek pada waktu paruh pengosongan lambung antara AZI dan ERY pada pasien
yang didiagnosis dengan gastroparesis oleh Gastric Emptying Scintigraphy.
Metode
Pasien menghentikan konsumsi obat yang diketahui dapat mempengaruhi
pengosongan lambung, dan kemudian mengkonsumsi 1 telur dadar yang diberi
label dengan 18,5-37 MBq dari koloid sulfur technetium-99m diikuti dengan
pencitraan terus menerus selama 120 menit, pada 1 menit per frame. Sebuah garis
sederhana diaplikasikan pada laju pengosongan lambung, dan waktu paruh (t½)
pengosongan lambung dihitung dengan normalnya = 45-90 menit. Pada menit 75-
80, jika telah dipastikan lambung tidak kosong, pasien diberikan salah satu antara
ERY (n = 60) atau AZI (n =60) 250 mg IV dan t½ pengosongan lambung pasca
pengobatan baru dihitung.
1
Hasil
Perbandingan t½ pengosongan lambung menunjukkan efek positif yang sama
(rata-rata t½ pengosongan lambung pada AZI = 10,4 ± 7,2 menit; rata-rata t½
pengosongan lambung pada ERY = 11,9 ± 8,4 menit; p = 0,30).
Kesimpulan
AZI setara dengan ERY dalam percepatan pengosongan lambung pada pasien
dewasa dengan gastroparesis. Memberikan duration of action lebih lama, efek
samping lebih baik dan mengurangi interaksi isoenzim P450 dibandingkan dengan
ERY. Penelitian lebih lanjut harus mengevaluasi efektivitas jangka panjang dan
keamanan AZI sebagai pengobatan gastroparesis.
(J Neurogastroenterol Motil 2010, 16:407-413)
Kata Kunci
Azitromisin, pengosongan lambung, gastroparesis
2
Pendahuluan
Gastroparesis (GP) atau "penundaan pengosongan lambung" adalah
gangguan motilitas gastrointestinal kronis yang akhir-akhir ini prevalensi serta
biaya pengobatannya meningkat. GP merupakan hasil dari gangguan transit isi
intraluminal dari lambung ke duodenum, tanpa adanya obstruksi mekanik
lambung. Etiologi GP adalah diabetes, pasca-bedah, drug-induced, idiopatik atau
infeksi pasca-virus yang menyebabkan dispepsia fungsional. Kondisi ini adalah
bagian dari spektrum kondisi klinis, yang berkisar dari keterlambatan minimal
pengosongan lambung pada dispepsia fungsional dan keterlambatan besar yang
disebabkan oleh disfungsi neurologis terkait dengan diabetes lama. Gejala pada
GP bervariasi yaitu cepat kenyang, mual dan muntah, sakit perut, kembung dan
gastroesophageal refluks. Selain itu, pasien GP berada pada risiko mengalami
malnutrisi akibat penurunan berat badan yang parah dari mual dan muntah kronis.
Hal ini mengakibatkan biaya kesehatan meningkat hingga harus rawat inap untuk
manajemen gejala. Dibandingkan dengan pasien rawat inap akibat gangguan
pencernaan atas lainnya, pasien GP biasanya memiliki co-morbidities yang lebih,
menjalani prosedur rawat inap yang lebih, waktu rawat inap yang lebih lama
dengan biaya total yang lebih tinggi, dan peningkatan angka kematian. Mengingat
tren ini, pengobatan yang efektif untuk GP menjadi semakin penting.
Saat ini, Eritromisin (ERY) adalah yang paling banyak diterima dan
ampuh untuk pengobatan GP. ERY adalah antibiotik macrolide yang
mempercepat pengosongan lambung. Efek prokinetic dari ERY didokumentasikan
dengan baik dan sebagian dihubungkan dengan efek agonis pada reseptor motilin
3
otot polos. ERY adalah prokinetic paling ampuh untuk pengobatan gejala GP
seperti mual, muntah dan nyeri perut. Faktanya, ERY 30% -60% lebih efektif
dalam pengosongan lambung dibanding agen prokinetic lainnya seperti
metoclopramide, cisapride dan domperidone.
Meskipun manfaat ERY telah diketahui, masalah utama adalah pengaruh
obat ini dalam meningkatkan resiko aritmia jantung. Pertama, baik IV dan oral
ERY menyebabkan peningkatan QT interval mencerminkan perpanjangan
repolarisasi jantung, predisposisi pasien untuk terjadinya torsades de pointes dan
kematian jantung mendadak. Kedua, ERY berinteraksi dengan obat lain untuk
meningkatkan resiko aritmia jantung. Dalam sebuah penelitian, pasien yang
mengkonsumsi ERY menunjukkan peningkatan 2 kali lipat dalam angka kejadian
kematian akibat serangan jantung mendadak bila dibandingkan dengan pasien
yang tidak mengkonsumsi ERY. Angka kematian akibat serangan jantung
mendadak meningkat 5 kali lipat dengan adanya inhibitor sitokrom P450 3A
(CYP3A) isozim, seperti calcium channel blocker, statin dan serotonin reuptake
selektif inhibitor. Mekanisme obat ini adalah plasma ERY, substrat diketahui
isozim CYP3A, meningkat secara signifikan pada inhibisi CYP3A,
mengakibatkan peningkatkan risiko aritmia jantung yang serius. Tidak seperti
ERY, Azitromisin (AZI) tidak berinteraksi dengan isoenzim CYP3A dan tidak
terlibat dalam interaksi obat-obat. Temuan pada ERY ini membuatnya menjadi
pilihan yang kurang menarik untuk pasien-pasien GP.
Baru-baru ini kelompok kami menggunakan manometry antroduodenal
untuk menunjukkan bahwa AZI lebih menjanjikan sebagai alternatif dibanding
ERY untuk mengobati GP. Di sini, kami menyampaikan temuan ini dengan
4
menggunakan pengujian provokatif dengan Gastric Emptying Scintigraphy,
pemeriksaan gold standard untuk diagnosis GP. Hipotesis bahwa baik AZI dan
ERY setara dalam meningkatkan t½ pengosongan lambung pada pasien selama
fase provokatif Gastric Emptying Scintigraphy (GES) berdasarkan fakta bahwa
kedua obat tersebut agonis motilin dan bertindak sama dalam meningkatkan
pengosongan lambung.
Metode dan Bahan
1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analisis case-control
terhadap 120 pasien yang menjalani GES dengan pengujian provokatif di
University of Florida Departemen of Nuclear Medicine dari bulan Juli
sampai November 2009. Pasien dievaluasi dengan nyeri perut kronis atau
suspek GP. Protokol penelitian disetujui oleh University of Florida Health
Science Center Intstitutional Review Board.
2. Data
Berturut-turut pasien dengan nyeri perut kronis atau suspek GP (n = 120)
mengalami GES. Semua pasien menjalani pemeriksaan fisik sebelum GES
untuk menyingkirkan adanya pasien dengan obstruksi mekanis. Tidak ada
pasien yang mengkonsumsi analgesik narkotika selama 48 jam sebelum
pemeriksaan. Kriteria eksklusi yaitu pasien dengan riwayat obstruksi,
gangguan jiwa atau gangguan makan, alergi macrolide atau keganasan.
Selain itu, pasien dengan penyakit sistemik lainnya selain diabetes atau
5
penyakit kolagen vaskuler juga dieksklusikan. Setelah didiagnosis dengan
GP oleh GES, pasien menerima baik IV ERY atau IV AZI tergantung pada
ketersediaan obat di apotek untuk fase pengujian provokatif dari GES.
3. Teknik Gastric Emptying Scintigraphy (GES)
Pasien menghentikan semua konsumsi obat yang diketahui dapat
mempengaruhi pengosongan lambung 48 jam sebelum pemeriksaan
dilakukan. Pasien kemudian menjalani GES dengan mengkonsumsi satu
telur orak-arik (85 kalori) dengan 2 buah roti putih (133 kalori) / 1 olesan
mentega (36 kalori) dan 50-100 cm3 air untuk hitungan kalori total 254
kalori. Makanan tersebut diberi label dengan 18,5-37 MBq dari teknesium-
99m sulfur koloid. Pencitraan dilakukan baik dengan menggunakan
single-headed gamma camera, dilengkapi dengan energi rendah tinggi
resolusi kolimator atau dual-headed camera. Kedua kamera diposisikan
pada posisi miring kiri anterior untuk meminimalkan efek atenuasi
lambung yang bervariasi pada kuantisasi dari pengosongan lambung.
Pengosongan lambung diamati dengan pencitraan secara terus-menerus
selama 120 menit pada 1 menit per frame. Kami menetapkan laju linier
pengosongan dengan data 0-75 menit dan memperoleh
waktu paruh pengosongan (t½ normal = 45-90 menit). Normal nilai untuk
metodologi ini diperoleh dari salah satu penulis menggunakan 60
sukarelawan yang normal (rentang usia: 26-60 tahun) pada 1981-1982 di
Henry Ford Hospital. Semua pasien dalam penelitian ini diberikan salah
satu 250 mg IV ERY (n = 60) atau IV AZI (n = 60) diberikan lebih dari 20
menit pada menit 75-80 dengan 15 menit selanjutnya dilakukan pencitraan
6
untuk menentukan waktu paruh pengosongan lambung pasca pengobatan.
AZI ini digunakan untuk pengujian provokatif karena potensi efek
prokinetic nya telah diketahui, dan secara nasional didapatkan kekurangan
IV ERY sehingga IV ERY menjadi sesuatu yang langka. Hal ini
menyebabkan pengobatan beralih ke AZI untuk beberapa bulan ketika IV
ERY tak bisa diperoleh.
4. Metode Statistik
Data pengosongan lambung yang diperoleh selama pengujian provokatif
dibandingkan dengan menggunakan uji 2 tailed t test dengan SPSS 18.
Semua nilai dinyatakan sebagai rata-rata ± SD. Hipotesis null dibangun
dengan asumsi bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara IV ERY
dan IV AZI pada pasien selama fase provokatif GES.
Hasil
Pasien dalam kelompok ERY dan AZI dikelompokkan berdasarkan umur,
jenis kelamin, gejala pada presentasi dan diagnosis sebelum studi (Tabel 1). Pada
kelompok ERY, usia rata-rata adalah 47 ± 17 tahun dengan rentang usia 21-71
tahun. Pada kelompok AZI, usia rata-rata adalah 48 ± 15 tahun dengan rentang
usia 14-80 tahun. Gejala pada kelompok ini juga sesuai dengan kelompok ERY
(Tabel 1). Operasi pada kedua kelompok ini termasuk orthoptic transplantasi hati,
cholecystectomy, umbilical hernia repair, Nissen fundoplication, gastric bypass,
appendectomy, repair of liver laseration dan splenectomy. Analisis statistik
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan pengecualian pada
7
pasien sirosis didapatkan jumlah yang lebih tinggi pada kelompok ERY
dibandingkan dengan AZI. t½ pengosongan lambung serupa untuk kedua
kelompok dengan rata-rata t½ pengosongan lambung untuk ERY = 166 ± 68
menit dan rata-rata t½ pengosongan lambung untuk AZI = 178 ± 77 menit. t½
pengosongan lambung pada pasien yang menerima baik ERY maupun AZI
menunjukkan efek positif yang sama dengan rata-rata t½ pengosongan lambung
untuk AZI = 10.4 ± 7.2 menit dan rata-rata t½ pengosongan lambung untuk ERY
= 11.9 ± 8.4 menit. Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara
kelompok IV AZI dan IV ERY dengan p = 0,30 (Gbr. 2). Tidak ada efek samping
yang dilaporkan oleh kedua kelompok selama fase provokatif pengosongan
lambung yang kami lakukan.
Pembahasan
Tingginya prevalensi dan biaya GP, serta meningkatnya angka kejadian
aritmia jantung dan interaksi obat-obat terkait ERY telah mendorong minat dalam
mengembangkan pengobatan baru untuk GP. Selain itu, peringatan FDA baru-
baru ini terhadap kejadian tardive dyskinesia pada penggunaan metoclopramide
membuat kebutuhan akan alternatif baru dalam pengobatan GP menjadi penting.
Sebagai hasilnya, kami berusaha mengembangkan sebuah studi macrolide
alternatif, AZI untuk pengobatan pasien dengan GP. Kami menemukan bahwa
ERY dan AZI memiliki efek positif yang sama pada t½ pengosongan lambung
selama fase pengujian provokatif dari Gastric Emptying Scintigraphy (GES).
Hasil ini mendukung penggunaan AZI sebagai alternatif ERY untuk mengobati
GP, serta temuan dari studi sebelumnya dan laporan kasus menunjukkan peran
8
AZI dalam pengobatan GP. AZI juga dapat digunakan selama pengujian
provokatif dengan GES untuk mengevaluasi respon pada novel prokinetic yang
sebelumnya belum pernah digunakan dalam literatur untuk tujuan serupa.
Selain itu, penelitian kami lebih lanjut memperluas temuan baru-baru ini
dari lembaga kami dengan manometry antroduodenal yang menunjukkan bahwa
AZI merangsang motilitas antral dengan cara yang mirip dengan ERY, tetapi
dengan duration of action yang lebih lama pada pasien-pasien dengan nyeri perut
kronis dan GP. Selanjutnya, hasi penelitian kami memiliki signifikansi klinis bagi
pasien GP karena efek samping yang merugikan pada ERY, dan bukti baru-baru
ini menunjukkan bahwa interaksi obat antara ERY dan inhibitor CYP3A
menyebabkan peningkatan risiko aritmia jantung dan kematian jantung mendadak.
Dibandingkan dengan macrolides ERY dan lainnya yang tersedia saat ini, AZI
terdiri dari 15 macrolide semi-sintetik yang dikenal memiliki efek samping pada
gastrointestinal yang lebih sedikit, kepatuhan yang lebih baik dan memiliki risiko
gangguan pada jantung lebih rendah dibandingkan dengan ERY. Rendahnya
resiko gangguan pada jantung ini disebabkan oleh kurangnya penghambatan oleh
AZI pada isozim CYP3A, dan interaksi minimal dengan inhibitor CYP3A lainnya
sehingga menghindari terjadinya interaksi obat yang signifikan
terkait dengan ERY. Selanjutnya, dalam sebuah penelitian membandingkan ERY,
klaritromisin dan AZI, baik ERY dan klaritromisin dikaitkan dengan torsades de
pointes pada konsentrasi K+ yang rendah, tetapi berbeda dengan AZI tidak
menunjukkan hal yang sama. Selain itu, AZI memiliki potensi pro-arrhythmic
terendah jika dibandingkan dengan 3 macrolides. Namun demikian, AZI diketahui
terlibat dalam perpanjangan QT dan torsades de pointes dalam laporan kasus
9
pasien usia lanjut. Dengan adanya laporan ini dilakukan penelitian prospektif acak
di mana pasien menerima baik AZI atau plasebo. Dari hasil penelitian
disimpulkan bahwa meskipun AZI tidak efektif untuk pencegahan sekunder dari
kejadian koroner, tidak ada peningkatan risiko jantung pada pasien yang diberi
AZI.
Selain efek samping yang lebih baik pada jantung dan lebih sedikit
kemungkinan untuk terjadinya interaksi obat, keuntungan lain dengan
menggunakan AZI dibanding ERY adalah frekuensi kejadian efek samping yang
lebih rendah yang dilaporkan oleh pasien AZI. Pasien yang mengkonsumsi ERY
sering melaporkan adanya mual, muntah dan diare. Efek samping tersebut kurang
sering dilaporkan pada pasien yang mengkonsumsi AZI, meningkatkan
kemungkinan terapi jangka panjang dengan AZI. Selain insiden terjadinya efek
samping yang lebih rendah, AZI juga memiliki duration of action yang lebih
lama, diserap dengan baik, dan memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi.
Dengan bioavailabilitas yang lebih tinggi ini menyebabkan pemberian AZI yang
hanya sekali dalam sehari, karena waktu paruh AZI lebih panjang yaitu 68 jam,
sementara ERY empat kali sehari. Jadi, dengan dosis pemberian sekali sehari ini
membuat AZI memiliki kemungkinan interaksi dengan obat-obat lain lebih kecil,
dan efek samping yang lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
pasien dalam mengkonsumsi obat.
Meskipun diketahui beberapa manfaat AZI yang potensial tersebut,
penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini adalah
analisis retrospektif yang dilakukan disatu pusat perawatan tersier dan tidak dapat
memperhitungkan potensial bias. Kedua, dalam penelitian ini subjek hanya
10
diberikan obat satu kali dan tidak mencakup penilaian respon gejala. Ketiga,
walaupun penelitian ini menggunakan GES yang dianggap sebagai gold standard,
waktu pengosongan lambung memiliki batasan variabilitas yang tinggi sehari-hari
pada pengujian 2 obat oral yang terpisah. Akhirnya, karena penelitian kami hanya
mengukur respon waktu pengosongan lambung setelah satu dosis pemberian IV
ERY atau IV AZI, penelitian ini tidak dapat menjelaskan kemungkinan terjadinya
tachyphylaxis yang telah diamati baik pada pasien dengan pemberian ERY yang
lama dan pada pasien yang diobati dengan IV ERY jangka pendek.
Akhirnya, penelitian kami memiliki beberapa keutamaan. Penelitian ini
menggunakan GES, yang merupakan gold standard untuk mengkonfirmasikan
diagnosis GP, dan untuk membandingkan respon IV ERY dan IV AZI pada waktu
pengosongan lambung. Selain itu, dengan menunjukkan kesetaraan dari AZI dan
ERY dalam mempercepat pengosongan lambung, penelitian kami mendukung
kemungkinan bahwa AZI mungkin lebih layak dibandingkan ERY untuk
pengobatan GP. Hal ini juga penting bahwa ERY tidak diproduksi dalam
formulasi cair dimana aman digunakan pada pasien anak, sehingga ini
menyebabkan keterbatasan dalam penggunaan ERY. Selain itu, berdasarkan
pengalaman klinis dengan AZI, kami telah menemukan AZI sangat efektif untuk
pengobatan pasien dengan gejala GP, terutama pada mereka yang sebelumnya
telah gagal dengan pengobatan metoclopramide dan ERY. Pada umumnya hasil
penelitian kami membandingkan kontrol penelitian secara acak dengan kelompok
plasebo untuk mengevaluasi lebih lanjut efikasi dan keamanan AZI dalam
pengobatan GP dan untuk menilai respon pengosongan lambung pada IV AZI
selama fase provokatif dengan GES. Lebih lanjut penelitian ini dapat membantu
11
untuk menentukan apakah AZI benar terbukti efektif dan ditoleransi dengan baik
sebagai pengobatan GP.
12