Jurding Dr Putu Migrain
-
Upload
rabiatull-adawiyah -
Category
Documents
-
view
12 -
download
3
description
Transcript of Jurding Dr Putu Migrain
Hubungan Antara Migrain dan Patologi Obstruksi Nasal
Abstrak
Tujuan: Obstruksi hidung dapat menyebabkan sakit kepala yang terkait dengan:
sinusitis, titik kontak mukosa dan gejala penyerta seperti mendengkur. Meskipun migrain
adalah gangguan sakit kepala primer yang paling umum, banyak hal tentang penyebab
migrain tidak dipahami. Hubungan antara patologi obstruktif nasal dan migrain masih belum
jelas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hipotesis migrain yang berasal dari
sino-rhinogenik .
Metode: Sebuah studi klinis random prospektif dilakukan terhadap 130 pasien dengan
migrain dan 126 subyek kontrol yang sehat di sebuah pusat medis tersier. Kedua kelompok
dibandingkan dalam hal patologi obstruktif nasal dan analisis korelasi antara derajat dan
lokasi rasa nyeri dan patologi nasal dilakukan dalam kelompok migrain.
Hasil: Frekuensi (41/130, 17/126; p = 0.006) dan derajat (rerata 1,9 / 0,9; p = 0,002)
yang berasal dari deviasi septum nasi (NSD) secara signifikan lebih tinggi pada kelompok
migrain dibanding kontrol. Ada juga perbedaan yang signifikan antar kelompok, dalam hal
frekuensi dan derajat hipertrofi konka inferior (ITH) (49/130, 25/126; p = 0,01 dan 1,2 / 0,8; p
= 0,03). Ada hubungan yang signifikan antara derajat keparahan nyeri dan derajat NSD dan
ITH (p = 0,007; 0,004). Tidak ada korelasi yang signifikan antara lokasi patologi obstruktif
nasal dan lokasi rasa nyeri yang dominan (p = 0.889; p = 0567, masing-masing)
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan patologi
obstruktif nasal pada pasien dengan migrain. Pasien yang secara klinis dievaluasi terserang
migrain sebaiknya menerima pemeriksaan sino-rhinologik secara komprehensif.
Kata kunci: Migrain, obstruksi hidung, deviasi septum nasi, hipertrofi konka.
Pendahuluan
Ketidakseimbangan rongga nasi dengan deviasi septum nasi (NSD) dan hipertropi
konka inferior (ITH) dianggap sebagai penyebab umum dari obstruksi jalan napas nasal.
Meskipun prevalensi NSD sebesar 22,38%, hanya 2,8% dari populasi dengan NSD memiliki
obstruksi jalan napas nasal. Jika tidak, NSD dan ITH jumlahnya lebih dari separuh pasien
dengan obstruksi hidung1-3. Deformitas ini dapat menyebabkan iritasi mukosa kronis dan
penurunan aliran udara hidung dan dapat menyebabkan hipoksia dan pembengkakan sekunder
pada mukosa sinus paranasal. Sumbatan hidung mengakibatkan mendengkur, epistaksis,
sinusitis, dan berbagai infeksi saluran napas bagian atas4.
Patologi obstruktif nasal dapat mengakibatkan sakit kepala yang berhubungan dengan
sinusitis, titik kontak mukosa dan gejala mendengkur yang menyertai5. Migrain adalah
gangguan sakit kepala primer umum dengan prevalensi 18,2% di antara wanita dan 6,5%
antara laki-laki di Amerika Serikat6. Namun, hubungan antara patologi obstruktif nasal dan
migrain tidak jelas.
Peneliti menduga bahwa penurunan aliran udara hidung dan iritasi mukosa pada pasien
dengan patologi obstruktif nasal dapat mempengaruhi aktivitas sistem saraf otonom dan
tingkat nitrat oksida pada sinus paranasal. Untuk menguji hipotesis migrain terkait rhinogenik,
dilakukan analisis pemeriksaan endoskopi hidung dari pasien migrain.
Bahan dan Metode
Kelompok Penelitian
130 pasien berturut-turut (69 perempuan dan 61 laki-laki; usia rata-rata 33 ± 7 tahun)
dengan diagnosis berupa migrain jenis klasik (diagnosis pada pasien yang mengalami sakit
kepala minimal 15 hari per bulan, dimana sedikitnya 8 hari berkaitan dengan migrain) dan
126 subyek penelitian yang sehat (66 perempuan dan 60 laki-laki; usia rata-rata 32 ± 8 tahun)
tanpa migrain dimasukkan dalam dalam penelitian setelah mendapatkan persetujuan7.
Diagnosis migrain didasarkan pada kriteria yang digunakan oleh International Headache
Society dan juga didukung oleh hasil dan respon terhadap pengobatan setelah kurang lebih 6
bulan7. Tidak ada subjek yang memiliki penyakit sistemik. Mereka tidak merokok, minum
alkohol, dan mengkonsumsi obat-obatan. Adanya kemungkinan penyakit sistemik,
maksilofasial dan atau neurologis yang dapat menyebabkan migrain telah dieksklusi
(dikeluarkan) dari penelitian berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis dan THT
dengan saksama termasuk pemeriksaan nasoendoskopi, laboratorium, dan radiologi jika
diperlukan.
Intensitas nyeri pada pasien dengan migrain diklasifikasikan dari grade 1 sampai 3.
1: Ringan, pasien menyadari sakit kepala, tapi mampu melanjutkan rutinitas sehari-hari
dengan perubahan minimal.
2: Moderat/ sedang, sakit kepala menghambat aktivitas sehari-hari, tetapi tidak menghentikan
kegiatan tersebut.
3: Berat, sakit kepala ini menghentikan aktivitas sehari-hari7,8
Lokasi sakit kepala yang dirasakan oleh pasien juga dicatat. Pasien dengan penyakit
tambahan seperti rinitis alergi, polip hidung dan infeksi, dieksklusi (dikeluarkan) dari
penelitian. Tes tusuk kulit (skin prick tes) dilakukan untuk pasien rhinitis alergi. Kami juga
mengeksklusi pasien yang memiliki riwayat operasi hidung. Pemeriksaan nasoendoskopi
dilakukan dengan 0 ° endoskopi rigid. Deformitas septum nasi dievaluasi oleh
otolaryngologist menurut klasifikasi Dreher9.
Menurut klasifikasi ini, derajat septum deviasi diperkirakan dan diklasifikasikan
menjadi empat kategori:
0 tidak ada penyimpangan,
1 sedikit penyimpangan,
2 deviasi moderat,
3 penyimpangan yang berat
Para pasien dengan kategori deviasi septum ketiga (berat) memiliki kontak mukosa
kronis. Hipertrofi konka inferior diklasifikasikan dari derajat 0 sampai 2.
0: tidak ada hipertrofi;
1: sedikit hipertrofi;
2: hipertrofi berat9
Lokasi kelainan juga dicatat. Jika ada patologi pada konka, nasofaring dan hipertropi
adenoid juga dicatat.
Analisis statistik
Uji korelasi Pearson dan uji chisquare fisher digunakan dalam analisis
statistik.Distribusi variabel-variabel yang berkelanjutan (kontinu) ditentukan dengan uji
Kolmogorov-Smirnov. Variabel-variabel yang berkelanjutan dengan distribusi normal
dinyatakan sebagai rata-rata/mean ± SD; variabel dengan distribusi yang miring dinyatakan
sebagai median (minimum-maksimum). Semua tes dianggap signifikan untuk p <0,05.
Hasil
130 pasien dengan migrain dan 126 subyek kontrol subyek diperiksa. Data demografi dari
migrain [usia rata-rata: 33 ± 7; 69 (53%) perempuan] dan kelompok subyek kontrol [usia
rata-rata: 32 ± 8 tahun; 66 (52%)perempuan] adalah sama (P = NS). Tidak ada subjek yang
memiliki penyakit sistemik kronis.
Menurut temuan pada pemeriksaan endoskopi hidung, frekuensi (41/130, 17/126;
p = 0.006) dan derajat (rata-rata 1,9 / 0,9; p = 0,002) dari NSD secara signifikan lebih tinggi
pada kelompok migrain dari pada subjek kontrol. Ada juga perbedaan yang signifikan antar
kelompok dalam hal frekuensi dan derajat hipertrofi konka inferior(49/130, 25/126; p = 0,01
untuk frekuensi dan 1,2 / 0,8; p = 0,03 untuk rata-rata derajatnya). Distribusi ditunjukkan
pada Gambar 1.
Gambar 1: grafik Box-plot dari derajat NSD (a) dan ITH (b). Garis hitam dalam kotak
menunjukkan median, tepi kotak adalah persentil ke-25 dan ke-75, dan garis meluas ke nilai
maksimum dan minimum.
Terdapat korelasi yang signifikan antara skala keparahan nyeri dengan tingkat
perburukan NSD dan ITH. Namun tidak ada hubungan yang signifikan antara letak lokasi
patologi obstruktif hidung dan lokasi dominan rasa sakit yang dirasakan. Analisis korelasi
Pearson disajikan dalam tabel 1.
Analisis Korelasi Pearson pada kelompok migrain
n =130 Tingkat NSD Tingkat ITH
Intensitas NyeriKorelasi Pearson ,001 ,003
Sig. (2-tailed) ,007* ,004*
Lokasi NSD Lokasi ITH
Lokasi NyeriKorelasi Pearson ,557 ,613
Sig. (2-tailed) ,889 ,567
Tabel 1: Korelasi antara tingkat keparahan dengan lokasi nyeri dan tingkat keparahan dengan lokasi dari NSD dan dari ITH.
(Keterangan: NSD: Nasal Septum Deviation, ITH: Inferior Turbinate Hypertrophy, *p <0,05 = nilai signifikan secara statistik)
Diskusi
Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien dengan migraine mengalami peningkatan
kondisi patologi obstruksi hidung. Sejauh yang kita ketahui dengan baik, studi ini
merupakan penelitian pertama yang mengkaji hubungan antara patologi obstruksi hidung
dengan migrain. Deviasi septum nasal (NSD) adalah gangguan paling sering yang
menyebabkan sumbatan hidung. Etiologi NSD paling umum adalah karena trauma pada
hidung dan perkembangan kompleks nasomaxillary yang tidak normal (patologis).
Hipertrofi konka inferior (ITH) adalah gangguan patologi obstruksi hidung lain yang juga
sering dikeluhkan. Etiologi paling umum munculnya ITH adalah karena reaksi alergi dan
kompensasi hipertrofi disisi kontralateral dari NSD. Kedua kondisi patologi obstruktif ini
menyebabkan iritasi mukosa kronis, hipoksia di dalam sinus paranasal serta sinusitis3-11.
Dalam proses patologi obstruksi hidung, iritasi mukosa terjadi karena stimulasi dari neuron
aferen nervus trigeminus. Saraf sensorik yang menginervasi bagian superior hidung berasal
dari cabang-cabang saraf maksilar dan trigeminal. Serat simpatis dan parasimpatis memasuki
ganglion sphenopalatina dari nervus petrosus profundus. Proses patologi ini mungkin
digambarkan sebagai akibat langsung dari interaksi serabut saraf dengan berbagai substansi
kimia atau akibat tidak langsung dari berbagai mediator inflamasi lokal 11,13.
Migrain sendiri adalah gangguan sakit kepala primer yang sangat sering menimbulkan
gangguan. Tujuan dari pengobatan migraine sampai saat ini hanyalah untuk mengurangi
frekuensi sakit kepala, tingkat keparahan sakit kepala dan untuk menghindari penggunaan
obat secara berlebihan12. Meskipun banyak teori yang mendasari penyebab migraine masih
belum banyak dipahami, factor genetika dan factor lingkungan tampaknya memiliki peran
dalam etiologinya. Migrain mungkin disebabkan oleh perubahan fisiologis di batang otak
dan interaksinya dengan nervus trigeminus, jalur utama mekanisme nyeri. Rangsangan
sensorik seperti bau-bauan yang merangsang, termasuk parfum, thinner, asap rokok dan lain
sebagainya dapat memicu timbulnya migraine pada beberapa orang.
Dalam penelitian ini, kami mengajukan hipotesis bahwa penurunan aliran udara di
rongga nasal dan iritasi mukosa mengakibatkan stimulasi vagal pada pasien dengan riwayat
patologi obstruksi hidung, dimana hal ini juga dapat mempengaruhi aktivitas system saraf
otonom dan dapat mempengaruhi kadar nitrat oksida sinus paranasalis 13,14,15. Pada
penelitian Acar et al.,10 menunjukkan adanya suatu aktivitas parasimpatis yang berlebihan
pada pasien dengan NSD. Ketidakseimbangan sinyal kimiawi otak yang membantu
meregulasi persepsi nyeri dalam sistem saraf juga mungkin terlibat. Para peneliti sampai saat
ini terus mempelajari peran nitrat oksida dan serotonin terhadap kasus migraine13,14,15.
Suatu mekanisme penting penyebab bangkitan nyeri kepala yaitu melalui perantaraan suatu
neuropeptida, seperti substansi P. Substansi ini muncul akibat tekanan mekanik yang
diinduksi kontak area permukaan mukosa yang berlawanan, seperti septum nasal dan konka
inferior. Substansi P dapat dibebaskan baik dipusat dan diujung perifer neuron sensorik, dan
substansi ini memediasi tidak hanya refleks pusat nyeri melalui serat aferen C, tetapi pada
saat yang sama juga memediasi refleks lokal pada mukosa nasal, menghasilkan impuls
terbalik dan bermanifestasi munculnya vasodilatasi, ekstravasasi plasma, hipersekresi, dan
kontraksi otot polos17,18,19.
Stimulasi cabang nervus trigeminus akan menginduksi respon fisiologis kompleks yang
membawa serat yang menginervasi reseptor somatik, kemoreseptor, dan baroreseptor
5,14,16,19. Daudia et al20 melaporkan bahwa 12% pasien yang datang ke klinik Rhinology
memiliki keluhan nyeri wajah yang disertai migraine dan keluhan tertentu sebanyak 6% dari
pasien dengan nyeri wajah yang disertai migraine terbatas pada cabang dua nervus
trigeminus. Namun, mereka tidak menyelidiki hubungan antara proses patologi rhinologic
dan migrain.
Baru-baru ini, Bandara13 mengajukan hipotesis bahwa difusi nitrat oksida sinus
paranasal di dalam mukosa hidung dapat menjadi molekul primer yang menstimulasi migrain
dan disebut ‘Teori hipoksia nitrat oksida sinus’. Hipotesis ini menganggap aktivasi berulang
atau intermiten dari nervus sensorik trigeminus dan pembuluh darah di mukosa nasal.
Produksi nitrat oksida sinus paranasalis terutama diinduksi oleh hipoksia karena beberapa
factor independen dan difusi nitrat oksida sinus paranasal tergantung pada luas permukaan
yang rentan dalam rongga nasal. Terpisah dari impuls nosiseptif trigeminal yang telah
diketahui, dua serabut saraf perifer utama trigeminus mengaktivasi mekanisme yang dapat
menginduksi migrain. Pertama, akhiran serabut saraf pada mukosa cavum nasi yang secara
langsung distimulasi oleh nitrit oksida, yang terdifusi pada sinus paranasalis, secara tidak
langsung distimulasi oleh substansi vasoaktif yang dilepaskan oleh aktivasi antidromik saraf,
serabut efferens parasimpatis dan inflamasi neurogenik. Kedua, serabut saraf perivaskular
pasa mukosa cavum nasi dan pembuluh darah pada meninges secara langsung distimulasi oleh
nitrit oksida terdifusi pada sinus paranasalis atau oleh pengaruh mediasi stres. Impuls dari
serabut saraf sensorik trigeminus terproyeksi pada nucleus causalis trigemini ke sistem saraf
pusat (SSP), serta kadar magnesium plasma yang rendah akibat konsekuensi dari pengaruh
stres menyebabkan peningkatan gejala migrain. Terlebih, impuls sino-rhinogenik dapat
memediasi gangguan sensitisasi inhibitorik termodulasi dari masukan sensorik dan
menyebabkan hipereksitabilitas sensorik. Sebagai tambahan, stimulasi neuronal yang
disebabkan oleh beberapa hipotesis tentang migrain dapat pula memberikan peningkatan nyeri
kepala migrain ketika faktor risiko sino-rhinogenik menginduksi patofisiologi migrain 5, 13, 14,
16.
Temuan kami mengenai peningkatan insidensi patologi obstruksi nasal pada pasien
migrain mendukung inisiasi patofisiologik baru di antara efek nitrit oksida dan migrain
dalam memberikan langkah awal untuk menyamarkan atau mengabaikan jaras pembangkit
impuls neurovaskular yang penting secara etiologik. Barbara13 menyimpulkan bahwa pasien
dengan suspek memiliki nyeri kepala secara klinis perlu mendapatkan pemeriksaan dan
penilaian sino-rhinologik secara komprehensif tentang teori nitrit oksida hipoksik. Tindakan
bedah standar dan manajemen medik dari migrain yang berhubungan dengan teori nitrit
oksida hipoksik dapat mengembalikan keadaan hipoksik atau mengurangi bahkan
menghilangkan nitrit oksida yang terdifusi pada permukaan sinus paranasalis.
Penelitian kami merupakan uji klinis yang pertama terhadap hipotesis ini. Penelitian ini
menunjukkan bahwa derajat NSD dan ITH mempengaruhi intensitas nyeri pada pasien
migrain. Namun, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lokasi patologi obstruksi
nasal dan lokasi nyeri yang dominan. Stammberger dan Wolf18 melaporkan bahwa pusat
cortical tidak dapat membedakan sumber perifer asli dari impuls nyeri dan dapat salah
mengartikannya berasal dari daerah lain pada kulit, seperti pelipis, pipi, atau dahi. Rasa nyeri
dapat dirasakan pula dari end organ lain yang dipersarafi oleh sistem trigeminal, seperti
duramater, intracranial, pembuluh darah scalp, dan mata18, 20.
Patologi obstruksi nasal dapat berkembang menjadi mengorok dan/atau sindrom
obstruktif sleep apnea. Nyeri kepala di pagi hari umum terjadi pada pengorok dan
berhubungan dengan gangguan kesehatan pervasif yang memengaruhi kualitas hidup.
Gejala seputar migrain bersifat umum, tidak hanya OSAS, tetapi migrain, insomnia,
dan distres psikologik juga merupakan prediktor penting untuk nyeri kepala di pagi hari,
bahkan pada pasien yang mengorok. Chen dkk22 menyelidiki tentang nyeri kepala di pagi
hari pada pengorok dengan hasil sebanyak 19% pasien dengan nyeri kepala di pagi hari
memenuhi kriteria untuk serangan migrain.
Namun, penelitian Chen dkk tidak memperhitungkan hubungan antara derajat
obstruksi dan tingkat keparahan nyeri. Abu-Bakta dkk5 melaporkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara prevalensi kontak mukosa nasal pasien dengan nyeri wajah
dibandingkan dengan pasien tanpa nyeri wajah dalam penelitian tersebut dan disimpulkan
bahwa tindakan pembedahan untuk mengambil kontak mukosa untuk nyeri wajah biasanya
tidak diperlukan mengingat etiologi nyeri wajah ini nampaknya lebih merupakan proses
sentral. Perry dkk23 melaporkan bahwa migrain merupakan diagnosis neurologik tersering
(58%) pada pasien dengan nyeri kepala non-rhinologik di praktik rhinologi tersier. Perry dkk
tidak memberikan rasio diagnosis migrain untuk pasien dengan nyeri kepala rhinologik.
Penting untuk membedakan migrain dari nyeri kepala yang disebabkan oleh rhinosinusitis
akut maupun kronik, neuralgia, otalgia, penyakit articulatio temporomandibularis (TMJ),
atau gangguan vaskular, dan rasa tidak nyaman pada wajah tengah18.
Penelitian ini menunjukkan peningkatan patologi obstruksi nasal pada pasien dengan
migrain serta ditemukan sebuah hubungan yang signifikan antara tingkat keparahan nyeri
dan derajat obstruksi. Namun, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lokasi
obstruksi nasal dan lokasi nyeri yang dominan. Pasien yang secara klinis dievaluasi untuk
migrain sebaiknya mendapatkan pemeriksaan sinorhinologik secara komprehensif dan
evaluasi berdasarkan teori sinus hipoksik nitrit oksida.
Penelitian klinik lebih lanjut diperlukan untuk menilai perubahan dalam nyeri kepala
setelah terapi obstruksi nasal pada pasien migrain.