Isi Politik Hukum 3 Jadi - Copy
description
Transcript of Isi Politik Hukum 3 Jadi - Copy
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hukum juga dapat dipandang sebagai sebuah entitas yang kompleks, meliputi kenyataan
kemasyarakatan yang majemuk, prulalistik dan mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase.1
Yang bila diibaratkan benda ia bagaikan permata, yang tiap irisan dan sudutnya akan
memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yang melihat dan memandangnya. Hingga sekarang
belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai dengan kenyataan. Hal ini dikarenakan
hukum memiliki banyak segi dan bentuk, sebagaimana diungkapkan oleh Lemaire, bahwa
hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan
orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan kompleks.2
Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku
masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaaan yang telah ada, melainkan hukum telah
mengarah pada penggunaannya sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam
masyarakat (perubahan-perubahan sosial cermin asas kebinekaan atau kemajemukan hukum).
Berbagai pengertian hukum sebagai sistem hukum dikemukakan antara lain oleh Lawrence
M.Friedman, bahwa hukum itu terdiri dari komponen struktur, substansi dan kultur. Komponen
struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem.
1 ? Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum : Sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,1999, hlm.116.
2 ? Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta :1983, hal.13.1
Pemahaman mengenai hukum sebagai suatu sistem norma menjadi penting karena dalam
menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif, hukum
harus dilihat sebagai subsistem dari suatu sistem yang besar yakni masyarakat dan
lingkungannya. Selain itu pemahaman ini juga penting untuk menghindari terjadinya kontradiksi
atau pertentangan norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah
kedudukannya, apabila kita tetap berkeinginan agar keberadaan (eksistensi) hukum sebagai suatu
sistem norma mempunyai daya guna dalam menjalankan tugasnya dimasyarakat. Jika dipahami
sebagai suatu sistem norma maka setiap peraturan perundang-undangan yang paling tinggi
sampai yang paling rendah haruslah merupakan suatu jalinan sistem yang tidak saling
bertentangan satu dengan lainnya.
Berbagai tujuan yang hendak diwujudkan dalam masyarakat melalui hukum yang dibuat
itu, sekaligus menyebabkan tugas maupun fungsi hukumpun semakin beragam. Secara garis
besar tujuan-tujuan hukum tersebut meliputi pencapaian suatu masyarakat yang tertib dan damai,
mewujudkan keadilan, serta untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan atau
kesejahteraan. Selain itu hukum juga sengaja dibentuk untuk mempu mengakomodasi
kemajemukan (falsafah bhineka tunggal ika) yang dimiliki masyarakat Indonesia. Hukum hadir
sebagai wadah untuk memperjelas pengaturan mengenai hal-hal sensitif terkait masalah sosial
kemasyarakatan yang rentan menghasilkan konflik.
Pembentukan peraturan perundang-undangan bukanlah merupakan kegiatan yuridis
semata, melainkan suatu kegiatan yang bersifat interdisipliner. Metode pembentukan peraturan
perundang-undangan menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan dapat mencapai
2
sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Hukum adalah dasar dan pemberi petunjuk bagi
semua aspek kegiatan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam membedah lebih jauh mengenai hakekat hukum, maka kita harus memahami lebih
dalam mengenai Cita hukum sendiri, dimana cita hukum dapat dipahami sebagai kontruksi
pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan
masyarakat. Tanpa cita hukum, maka produk hukum yang dihasilkan itu akan kehilangan
maknanya. Cita hukum haruslah dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan. Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, dan
dalam proses perwujudan nilai-nilai yang terkadung dalam hukum ke dalam norma-norma
hukum, sangat tergantung pada tingkat kesadaran dan penghayatan dari para pembentuk
peraturan perundang-undangan tersebut.
Dengan memasukkan tahapan sosiologis dan politis sebagai bagian dari kegiatan
penyusunan produk hukum yang demokratis, sesungguhnya dapat memberikan pelajaran kepada
kita bahwa ternyata penyusunan produk hukum bukan sekedar suatu proses yuridis.
Hukum sebagai suatu kaidah sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam
suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan
kongkretisasi dari nilai-nilai yang ada pada suatu saat berlaku dalam masyarakat.3 Artinya,
hukum sedikit banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama
masyarakat tertentu dan berlaku efektif dalam mengatur kehidupan mereka. Hal ini sama terjadi
3 ? Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi I, Cet.IX, Jakarta: RajaGrafindo Persada,1999), hlm.14.
3
dengan politik hukum. Politik hukum satu negara berbeda dengan politik hukum negara yang
lain. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang kesejarahan, pandangan
dunia, sosio-kultural dan political will masing-masing pemerintah.
Menurut Jeremy Bentham bahwa hukum itu pada dasarnya bertujuan untuk memberikan
kebahagiaan terbesar bagi sebanyak-banyaknya orang. Dan Bagi Indonesia sendiri, tujuan hukum
adalah untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (UUD NRI 1945).
Bertolak dari kerangka pemahaman diatas, maka menurut para ahli filsafat pencerahaan,
tatanan hukum yang dibentuk minimal memenuhi kriteria. Pertama, hukum tidak boleh hanya
merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, akan tetapi hukum itu sendiri harus rasional.
Kedua, untuk menjamin agar karya hukum yang rasional dapat mewujudkan tujuannya, harus
didukung tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksana hukumnya. Ketiga, tentang pentingnya
memasukkan substansi ke dalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan pengaruh struktur
social masyarakat, karena hukum seharusnya mewujudkan tujuan-tujuannya.
Hakekatnya hukum mengandung idea tau konsep-konsep yang abstrak. Sekalipun
abstrak, tapi ia dibuat untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Penegakan
hukum adalah usaha untuk mewujudkan idea atau nilai selalu melibatkan lingkungan serta
berbagai pengaruh faktor lainnya. Penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang
4
berdiri sendiri, melainkan selalu berada di antara berbagai faktor (interchange). Hukum
hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat antara lain
melalui tingkah laku warga masyarakatnya.
Pada intinya titik perhatian harus ditujukan pada hubungan antara hukum dengan faktor-
faktor non hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang
selanjutnya disebut dengan kultur hukum. Kultur hukum itulah yang membuat adanya perbedaan
penegakan hukum antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain
Kultur hukum merupakan sikap-sikap, nilai-nilai, keyakinan yang dimiliki oleh
masyarakat yang berhubungan dengan hukum, dan lembaga-lembaganya baik yang bersifat
positif maupun negatif. Unsur kultur hukum inilah yang akan menentukan mengapa seseorang
patuh atau tidak terhadap peraturan yang ada sebagaimana apa yang disampaikan Friedman,
kultur hukum itu sesungguhnya berfungsi sebagai motor penggerak keadilan, yakni
menjembatani sistem hukum dengan sikap manusia dalam suatu masyarakat. Kultur hukum
inilah kemudian yang seringkali mampu mencerminkan bagaimana kompleksitas pluralism atau
kebinekaan yang terjadi di masyarakat.
Sejak beberapa dekade terakhir Indonesia semakin memasuki dan menjadi bagian dari
proses globalisasi, khususnya dalam proses restrukturisasi ekonomi global. Ini artinya Indonesia
harus segera melakukan penataan hukum. Dalam penataan hukum tersebut Indonesia tidak hanya
memperhatikan cita hukum dan politik hukum nasional serta karakteristik lokal, akan tetapi
hendaknya juga memperhatikan kecenderungan yang telah diakui negara yang telah mengikuti
5
global trend, yang tampak dalam instrument-instrumen internasional, seperti deklarasi, konvensi,
code of conduct dan sebagainya. Indonesia juga ditantang untuk mampu membangun suatu
sistem hukum yang mampu memberi ruang keberagaman atau pluralitas untuk hidup dan
diakomodasikan dalam suatu bentuk peraturan perundangan-undangan yang strategis.
Dimana bila dibahas secara mendalam, dalam kaitannya dengan politik hukum, Politik
hukum mengisyaratkan bahwa hukum sebagai suatu kaidah sosial tidak terlepas dari nilai-nilai
yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan
pencerminan dan kongkretisasi dari nilai-nilai yang ada pada suatu saat berlaku dalam
masyarakat.4 Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi
kesadaran bersama masyarakat tertentu dan berlaku efektif dalam mengatur kehidupan mereka.
Adapun hukum nasional didefinisikan sebagai hukum atau peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada landasan ideologi dan konstitusi negara, yaitu Pancasila dan UUD NRI 19455
atau hukum yang dibangun di atas kreatifitas atau aktifitas yang didasarkan atas cita bangsa dan
rekayasa bangsa sendiri.
Bila merujuk pada pemaparan diatas, kita dapat dinyatakan bahwa sistem hukum nasional
adalah sebuah sistem hukum (meliputi materiil dan formil, pokok dan sektoral) yang dibangun
berdasarkan ideologi negara Pancasila dan Undang-Undang NRI 1945, serta berlaku diseluruh
Indonesia yang didalamnya sangat kental akan nilai-nilai bhineka tunggal ika atau kaya akan
4 ? Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi I, Cet.IX, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, hal.14.
5 ? C.F.G Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni,1991, hal.64.
6
asas kemajemukan. Asas kemajemukan atau Bhineka Tunggal Ika merupakan salah satu dari
asas yang harus diperhatikan Legal Draffter dalam memproduksi hukum (diluar asas fasafah
pancasila, asas negara hukum, asas kedaulatan rakyat dan asas kepentingan umum) yang
merupakan bagian dari alternatif yang dapat dipilih dalam memproduksi hukum yang baik di
masyarakat. Asas kemajemukan ini seringkali bersinggungan antara ranah privat dan ranah
publik. Hal ini dapat diihat dari beberapa ketentuan peraturan perundangan-undangan yang
dibentuk untuk mewadahi segala bentuk prulalisme atau keberagaman dimasyarakat. Keadaan
demikian seolah-olah menggambarkan bahwa sesungguhnya fungsi hukum sekarang ini telah
mengalami pergeseran, yakni secara lebih aktif melakukan perubahan-perubahan yang
diinginkan. Dari sana kemudian menarik kemudian membahas mengenai aplikasi falsafah
bhineka tunggal ika atau asas kemajemukan dalam pengembangan hukum di Indonesia.
BAB II
PERMASALAHAN
7
2.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat dua buah
permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Dinamika Pembangunan Hukum di Indonesia…?
2. Bagaimanakah Aplikasi Falsafah Bhineka Tunggal Ika atau Asas Kemajemukan
dalam Pengembangan Hukum Indonesia…?
BAB III
PEMBAHASAN
8
3.1. Dinamika Pembangunan Hukum Indonesia
Suatu keadaan hukum tidak dapat dipahami terlepas dari konteks sosial dan konteks
politis. Mencari model penyusunan peraturan perundang-undangan yang demokratis, diharapkan
dapat menghasilkan kondisi hukum yang responsif sehingga dapat menjawab berbagai tuntutan
masyarakat.
Pembangunan yang menekankan pada bidang ekonomi dan paradigma pertumbuhan
dapat berhasil bila didukung oleh stabilitas politik. Dalam perjalanan sejarah, kondisi tersebut
menyebabkan terjadinya pergeseran beberapa hal mendasar dalam pembangunan. Pertama,
strategi dan implementasi pembangunan dengan model pertumbuhan, ternyata membawa
implikasi yang terlalu jauh, tidak berjalannya trickle down effects, melebarnya jurang pemisah
antara strata sosial dan antar daerah, kehancuran sektor-sektor usaha kecil termasuk sektor
industry rumah tangga dan informal dan Kedua, tumbuh dan berkembangnya rejim-rejim
impresif yang cenderung korup atau berkembangnya korupsi, kolusi, manipulasi dan nepotisme,
hapusnya partisipasi politik rakyat, terbatasnya kebebasan pers, sangat minimnya peran-peran
masyarakat dalam pengambilan keputusan, bahkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan
perampasan hak-hak rakyat yang mengemuka.
Kondisi ini semakin diperparah oleh adanya konstitusi maupun format politik waktu
ORBA yang telah menobatkan presiden sebagai pemegang kekuasaan politik terbesar.
Penguasaan sumber daya politik yang begitu besar menyebabkan stuktur politik di Indonesia
sangat ditentukan kemauan politik Presiden.
9
Dinamika pembangunan dengan karakteristik orba menyebabkan produk hukum lalu
dipandang sebagai produk politik, hukum hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-
tujuan politik. Tatanan hukum yang dikembangan menjadi sangat elitis dan konservatif, karena
proses pembentukkannya sangat sentralistik dan tidak partisipatif. Dengan demikian, apa yang
merupakan hukum adalah apa yang dikehendaki oleh kekuasaan politik dan penguasa demi
kepentingan yang diinginkan. Tipe hukumnya akhirnya bersifat represif, yang menghendaki
tingkat kepatuhan warga yang mendekati mutlak (Submissive Compliance).
Periode setelah itu, dipercayakan untuk memimpin negeri ini dengan setumpuk persoalan
bangsa yang rumit yang terasa sulit dihadapi. Langkah-langkah hukum dan penegakannya terasa
masih belum menunjukkan keberpihakkannya yang berarti kepada kepentingan masyarakat
banyak. Harus disadari bahwa suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat
membutuhkan adanya suatu tatanan yang dapat menuntun kita dalam penyelenggaraan suatu
negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Pengalaman di Indonesia
membuktikan bahwa produk hukum sangat diwarnai oleh konfigurasi politiknya.
Hukum yang dilandasi oleh paradigma kekuasaan menghadirkan hukum yang tidak
demokratis, yaitu sistem hukum yang totaliter. Tatanan hukum yang demikian itu juga
menunjukkan adanya hirarki, tetapi hirarki tersebut tidak didasarkan pada logika hukum
melainkan logika kekuasaan.
Bagi Indonesia sendiri, tujuan hukum adalah untuk membentuk suatu pemerintahan
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
10
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (UUD
NRI 1945).
Bertolak dari kerangka pemahaman diatas, maka menurut para ahli filsafat pencerahaan,
tatanan hukum yang dibentuk minimal memenuhi kriteria. Pertama, hukum tidak boleh hanya
merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, akan tetapi hukum itu sendiri harus rasional.
Kedua, untuk menjamin agar karya hukum yang rasional dapat mewujudkan tujuannya, harus
didukung tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksana hukumnya. Ketiga, tentang pentingnya
memasukkan substansi ke dalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan pengaruh struktur
social masyarakat, karena hukum seharusnya mewujudkan tujuan-tujuannya.
3.2 Aplikasi Falsafah Bhineka Tunggal Ika atau Asas Kemajemukan dalam
Pengembangan Hukum di Indonesia
Politik hukum nasional adalah kebijakan pembangunan hukum nasional. Untuk
mewujudkan satu kesatuan sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI
1945. Dengan kata lain politik hukum nasional disini adalah kebijakan penyelenggara negara
(Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah telah berlaku, yang
bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara.
Sistem pembentukan hukum merupakan subsistem hukum nasional. Pembentukan hukum
bukan sekedar menyangkut kewenangan dan tata cara pembentukan hukum tetapi menentukan
pula isi dan bentuk hukum nasional. Kemungkinan pembentukan hukum oleh suatu
11
pemerintahan tingkat lebih rendah, atau oleh hakim tergantung pada sistem pembentukan hukum,
yaitu sejauh mana sistem hukum nasional mengakui sistem hukum yang dibuat oleh satuan
pemerintah tingkat lebih rendah dan yurisprudensi.
Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai keadaaan masyarakat sebagaimana
dicita-citakan adalah suatu konsepsi yang modern. Perkembangan struktur sosial Indonesia tidak
atau kurang sesuai dengan hukum modern yang dikembangkan oleh elit penguasa. Struktur sosial
bangsa Indonesia belum seluruhnya diserap oleh hukum modern sebagai basis sosialnya.
Akibatnya banyak contoh yang menggambarkan kepincangan pelaksanaan hukum modern
buatan elit penguasa itu. Namun demikian, sebaik apapun hukum yang dibuat, pada akhirnya
sangat ditentukan oleh budaya hukum masyarakat yang bersangkutan. Semua komponen budaya
hukum itulah yang menentukan berhasil atau tidaknya kebijaksanaan yang telah dituangkan
dalam bentuk hukum itu. Disamping itu tidak kalah penting pula yaitu perkembangan
masyarakat, kenyataan-kenyataan masyarakat, susunan masyarakat dan termasuk pula
kecendrungan global ikut mempengaruhi
Hukum merupakan kongkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari kebudayaan suatu
masyarakat. Oleh karena itu masyarakat selalu menghasilkan kebudayaan, maka hukum pun
selalu ada di setiap masyarakat dan tampil dengan kekhasannya masing-masing. Sebagaimana
yang disampaikan Wolfgang Friedmann hukum tidak mempunyai kekuatan berlaku universal.
Setiap bangsa mengembangkannya sendiri kebiasaan hukumnya sebagaimana mereka
mempunyai bahasanya sendiri juga. Sebagaimana negara Indonesia memiliki asas Bhineka
12
Tunggal Ika atau Asas Kemajemukan sebagai salah satu tantangan pembangunan Hukum
Indonesia.
Terkait dengan aplikasi fasafah bhineka tunggal ika atau asas kemajemukan dalam
pembangunan hukum di Indonesia, maka dapat dijelaskan bahwasanya sebagai negara yang
terdiri dari beraneka ragam suku, agama, ras, adat, budaya dan lain sebagainya (majemuk).
Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam membangun suatu produk hukum yang mampu
mengakomodit sisi kemajemukan tersebut dalam pembentukan suatu produk hukum ataupun
putusan hukum dalam hubungannya dengan pembangunan hukum nasional.
Falsafah Bhineka Tunggal Ika atau asas kemajemukan adalah asas yang mencerminkan
suatu perbedaaan dalam satu kesatuan, termasuk di dalamnya asas ini dapat diaplikasikan
sebagai salah satu asas yang harus dipenuhi dalam upaya membentuk suatu aturan hukum atau
memproduksi hukum yang berkualitas baik. Asas ini merupakan bagian dari alternatif yang dapat
dipilih dalam memproduksi hukum yang tentunya berpihak kepada rakat yang merupakan salah
satu bagian dari unsur politik hukum.
Pluralisme atau kemajemukan merupakan ciri dari karakteristik masyarakat Indonesia yang
begitu beragama, dengan segala perbedaan yang dimiliki sangat memungkinkan terjadinya
perspektif yang berbeda dalam melihat hukum. Termasuk juga terkait suatu kebiasaan tertentu
yang berbeda satu dengan lainnya, yang secara adat maupun budaya hukum masing-masing
wajib kita hormati.
13
Aplikasi dari falsafah bhineka tunggal ika atau asas kemajemukan dalam pembangunan
hukum Indonesia dapat kita lihat dengan diadopsinya atau dimasukkannya nila-nilai
kemajemukan tersebut dalam berbagai produk perundang-undangan yang ada. Dimana
contohnya bisa kita lihat dalam UU mengenai perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang
mencerminkan pengaturan bentuk prulalitas atau kemajemukan yang ada dimasyakat khususnya
mengenai perkawinan. Dalam undang-undang ini diatur secara khusus mengenai beberapa
pokok-pokok utama berlansungnya perkawinan secara nasional yang harus dipatuhi masyarakat
dalam prulalistasnya, meskipun secara khusus juga undang-undang ini kemudian memberi ruang
aturan hukum-hukum adat untuk masuk dan mengatur lebih jauh perkawinan secara adat masing-
masing sesuai dengan identitas kesukuan, agama dan lain sebagainya.
Meskipun kemudian seringkali terjadi persinggungan antara ranah privat dan publik dalam
pengaturannya dalam bentuk suatu produk hukum, seperti halnya dalam Undang-undang
perkawinan dan Undang-Undang Pokok Agraria masih banyak adanya singgungan ketentuan
privat maupun publik yang ada di dalamnya, sehingga pembentuk peraturan perundang-
undangan harus mampu membedakan antara mana yang publik (negara mengatur) dan mana
yang bersifat privat (perseorangan) sehingga terbentuk suatu produk hukum yang kuat di
masyarakat.
Dengan demikan, hukum akan mampu berfungsi mengakomodir sisi kemajemukan yang
ada dimasyarakat, bukan mengarahkan perbedaan tersebut menjadi konflik melainkan
mengaplikasikan perbedaan atau kemajemukan tersebut dalam satu produk hukum yang baik,
14
yang mampu bermanfaat dan menjangkau keinginan atau kebutuhan masyarakat akan adanya
hukum.
3.3 Kesimpulan
- Suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat membutuhkan
adanya suatu tatanan yang dapat menuntun kita dalam penyelenggaraan suatu negara
hukum sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
- Aplikasi dari falsafah bhineka tunggal ika atau asas kemajemukan dalam
pembangunan hukum Indonesia adalah dengan diadopsinya atau
diinternalisasikannya nila-nilai kemajemukan atau kebhinekaan tersebut dalam
pembentukan berbagai produk perundang-undangan yang ada di Indonesia seperti :
UU Perkawinan.
3.4 Saran
- Pembentuk peraturan perundang-undangan harusnya mampu dan jeli membedakan
antara mana yang publik (negara mengatur) dan mana yang bersifat privat
(perseorangan) secara jelas, sehingga tidak terjadi suatu persinggungan dan terbentuk
produk hukum yang mampu mengakomodir kemajemukan dan diterima kuat di
masyarakat.
15