inventarisasi ikan
-
Upload
yohana-veronica -
Category
Documents
-
view
166 -
download
3
description
Transcript of inventarisasi ikan
ISBN: 979-3149-48-5
INVENTARISASI DATA DASAR SURVEI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT
SUMBERDAYA IKAN KARANG KEPULAUAN KANGEAN - SUMENEP MADURA
JAWA TIMUR
PUSAT SURVEI SUMBERDAYA ALAM LAUT BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL
(BAKOSURTANAL) 2003
Jl. Raya Jakarta � Bogor Km.46 Cibinong, Jawa Barat 16911 Telp. (021) 8752063, 8759481. Fax. (021) 8759481. Telex : 48305 BAKOST IA � Box 46 � CBI CIBINONG
TIM PENYUSUN INVENTARISASI DATA DASAR
SURVEI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT
SUMBERDAYA IKAN KARANG KEP. KANGEAN - MADURA JAWA TIMUR
TIM PENGARAH DAN NARASUMBER Ketua : Dr. Aris Poniman (Deputi Survei Dasar dan Sumberdaya Alam) Anggota : Drs. Suwahyuono, MSc (Kepala Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut) Ir. Badrudin, MSc., APU. (BRPL, Departemen Kelautan dan Perikaan) Drs. Suprajaka, MTP (Pemimpinn Proyek INEV-SDAL) TIM TEKNIS:
Drs. A.B Suriadi M.A, MSc (KaBid. Inventarisasi Sumberdaya Alam Laut) Drs. Yudi Siswantoro, MSi ( PJTU Inventarisasi Data Dasar SDA Pesisir
dan Laut) TIM PELAKSANA ;
Ketua (merangkap anggota ) : Drs. Yudi Siswantoro, MSi (PJTU Inventarisasi Data Dasar SDA Pesisir
dan Laut) Anggota : 1. Drs. Isa Nagib Edrus, M.Sc (Analis Ikan Karang) 2. Imam Suprihanto, S.Si (Analis Terumbu Karang) 3. Ir. Hari Suryanto (Analis Tanah) 4. Drs. Turmudi, MSi (Analis Geomorfologi) 5. Yusuf Effendi (Analis, Operator SIG) 6. Masduki (Analis, Operator SIG) 7. Dedy Mukhtar (Analis, Operator SIG) 8. Abdul Jamil (Analis, Operator SIG) 9. Aswelly (Administrasi, Operator SIG)
PENULIS :
! Drs. Yudi Siswantoro, M.Si ! Drs. Isa Nagib Edrus, M.Sc ! Imam Suprihanto, SSi
PENYUNTING :
! Drs. Suwahyuono, M.Sc ! Drs. A.B Suriadi M.A, M.Sc
Desain Sampul : Yudi Siswantoro
KATA PENGANTAR
Ucapan terima kasih dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dengan telah dilaksanakannya Penyusunan Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut untuk tema Sumberdaya Ikan Karang.
Kegiatan Inventarisasi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut untuk Sumberdaya Ikan Karang di Kepulauan Kangean merupakan sebagian dari Kegiatan Pusat Survei Sumberdaya Alam di wilayah ALKI II. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan survei terintegrasi dari tiga bidang untuk kegiatan Sumberdaya Pesisir dan Laut yaitu; Bidang Inventarisasi, Bidang Neraca Sumberdaya Alam, serta Bidang Basisdata yang merupakan uji aplikasi �Pedoman� dari Norma Pedoman Prosedur Standard dan Spesifikasi (NPPSS).
Dari hasil Inventarisasi Sumberdaya Ikan Karang ini diharapkan diperoleh pengkayaan untuk penyusunan Spesifikasi Teknis khususnya spesifikasi teknis sumberdaya ikan karang, yang merupakan bagian dari NPPSS.
Buku ini disusun atas dukungan penuh dari Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Laut (INEV-SNML) BAKOSURTANAL pada tahun anggaran 2003.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada beberapa pihak, yang telah turut membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan ini yaitu :
1. Pimpinan BAKOSURTANAL, yang telah mempercayakan pelaksanaan serta mendukung kegiatan ini.
2. Pimpinan beserta staf Proyek INEV-SNML BAKOSURTANAL, yang membantu dan mendukung seluruh pembiayaan dari kegiatan ini
3. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur, atas kerjasama dan bantuannya demi kelancaran kegiatan.
4. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, atas kerjasama dan bantuannya untuk koordinasi dengan instansi di daerah sehingga kegiatan ini dapat berjalan lancar.
5. Instansi sektoral, Tim Penyusun Sektoral, dan Narasumber, atas kerjasama dan bantuannya sehingga pelaksanaan kegiatan ini dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan
6. Seluruh tim pelaksana di BAKOSURTANAL, atas kerjasama dan dukungan penuh sehingga peyusunan kegiatan ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan ini.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang i
Penyusun menyadari bahwa pelaksanaan kegiatan dan penyusunan buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu masukan dan kritikan serta saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Cibinong, Desember 2003
Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Kepala,
Drs. Suwahyuono, M.Sc. 370 000 135
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang ii
ABSTRAK
Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut merupakan kegiatan yang sangat diperlukan, dan dibutuhkan guna ketersediaan data bagi perencanaan daerah, terutama wilayah yag sangat komplek, beragam dan saling berkaitan seperti wilayah pesisir dengan laut.
Ikan Karang merupakan jenis ikan yang spesifik dan hidup di wilayah sekitar terumbu karang. Meningkatnya eksploitasi terumbu karang dan penangkapan ikan karang yang tidak ramah lingkungan, menyebabkan kerusakan yang semakin meluas, terutama lingkungani wilayah dimana ikan karang hidup, yaitu terumbu karang. Dikhawatirkan perubahan dan perusakan ekosistem ini akan mempengaruhi ekologi wilayah terumbu karang, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dan menurunkan asset daerah di bidang perikanan tangkap dan ikan hias. Ketersediaan data yang akurat dan up to date, terutama di wilayah habitat ikan karang yang tersebar luas di wilayah timur Jawa Timur ini sangat diperlukan, guna perencanaan pengembangan wilayah, terutama wilayah yang memiliki potensi sumberdaya ikan karang agar dapat dipantau dan diawasi perkembangannya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah melaksanakan inventarisasi data dasar sumberdaya alam wilayah pesisir dan laut, terutama sumberdaya Ikan Karang, yang akan digunakan sebagai data dasar bagi berbagai kepentingan di wilayah pesisir dan laut agar sesuai dengan potensi yang dimiliki. Metodologi yang diterapkan dalam penelitian ini berdasarkan aplikasi inderaja dan SIG, yang
akan menghasilkan peta digital skala 1:250.000 dan skala 1:50.000 dengan tema Ikan Karang.
Jenis citra yang digunakan yaitu Citra Landsat TM7, dengan dibantu berbagai peta dari
BAKOSURTANAL seperti peta Rupabumi, LPI, LLN dan RePProT dari berbagai skala, serta
survei lapang berupa penyelaman di beberapa titik sampel guna membantu dalam pembuatan
petanya.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i ABSTRAK iii DAFTAR ISI iv DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi
I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Maksud dan Tujuan 3
1.3. Sasaran 3 1.4. Peralatan 4 1.5. Tahapan Kegiatan 5
1.6. Outline Penulisan Hasil Kegiatan 6 II GAMBARAN UMUM TERUMBU KARANG DAN
IKAN KARANG 8 2.1. Gambaran Umum Terum,bu Karang dan Lingkungannya 8 2.2. Status Terumbu Karang Secara Umum 12 2.3. Satus Terumbu Karang di Indonesia 13 2.4. Pemulihan Terumbu Karang dan Rehabilitasinya 15 2.5. Pemulihan Organisma Indikator dalam Monitoring
Terumbu Karang 16 2.6. Ekologi Ikan Karang 18 2.6.1. Jaringan Makanan dan Cara makan 18 2.6.2. Keanekaragaman Ikan Karang 22 2.6.3. Interaksi Sosial 26 2.6.4. Simbiosis Mutualisme 27
2.6.5. Penyerupaan dan Mimicry 28 III METODOLOGI 31 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 31 3.2. Metoda 32 3.3. Alat dan Bahan 32 3.4. Analisa Data 33
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang iv
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 36 4.1. Kondisi Komunitas Ikan Karang 36 4.1.1. Keanekaragaman Ikan karang 36 4.1.2. Pengelompokan Ikan Karang 40 4.1.3. Ikan Indikator dan Indeks IRDI 42 4.1.4. Ikan Sebagai Sumberdaya yang Bernilai Ekonomis 44
4.2 Pemetaan Ikan Karang 46 V KESIMPULAN DAN SARAN 53 DAFTAR PUSTAKA 55 LAMPIRAN 60
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah jenis ikan di berbagai terumbu karang
Tabel 2. Gambaran umum lokasi transek pada setiap stasiun
Tabel 3 Kondisi ikan karang di Pulau-Pulau Kangean, Sumenep Madura, menurut
stasiun penelitian
Tabel 4. Kebiasaan makan Chaetodontidae
Tabel 5. Sebaran dan LuasTerumbu Karang Skala 1:50.000
Tabel 6. Daftar Titik Sampel Penelitian Ikan karang dan Terumbu Karang di
Kepulauan Kengean
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hubungan tropik pada ikan-ikan terumbu karang
Gambar 2. Wilayah penelitian inventarisasi sumberdaya ikan karang
Gambar 3 Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1708-07
Gambar 4. Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1709-01
Gambar 5. Titik Sampel Wilayah Penelitian Skala 1:50.000 sheet 1808-01.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang vi
INVENTARISASI SUMBERDAYA IKAN KARANG
DI PULAU MADURA � KEP. KANGEAN
SUMENEP MADURA
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Pulau-pulau Kangean yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Sumenep,
Madura, menyimpan aneka potensi pesisir dan kelautan yang dapat diekploitasi dari tiga
ekosistem utama, seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Sumberdaya
terumbu karang Pulau-pulau di Kangean memberikan kontribusi yang cukup besar bagi
sektor perikanan di Jawa Timur, sama halnya dengan kontribusi Kepulauan Seribu pada
perikanan di Jawa Barat./ DKI Jakarta. Komoditas yang menarik dari terumbu karang di
Madura antara lain adalah ikan kerapu, lobster, teripang, rumput laut, ikan hias, kekerangan,
kerang mutiara, dan kepiting. Usaha perikanan yang meningkat dalam beberapa tahun
terakhir ditambah managemen lingkungan yang buruk, seperti penangkapan ikan dengan
racun dan bahan peledak, menyebabkan tekanan yang besar atas terumbu karang di Kangen
(Effendi 2003). Karena ikan karang mempunyai afinitas yang kuat atas habitatnya di area
terumbu karang, kegiatan penangkapan yang ilegal ini akan menjadi ancaman pada
eksistensi ikan karang di Kangean. Sebagaimana telah terbukti di perairan lain bahwa
kerusakan terumbu karang telah membawa dampak negatif atas sumberdaya karang.
Kerusakan terumbu karang di Bali menyebabkan penurunan produksi lobster, dari 78,3 ton
pada 1978 menjadi 21 ton pada tahun 1985, dan juga menyebabkan penurunan hasil
tangkapan muroami di pulau-pulau Seribu Teluk Jakarta, dari 68,1 ton pada tahun 1970
menjadi 35,2 ton pada tahun 1981 (Subani, 1987).
Selain tingkat produktivitas atau hasil tangkapan ikan tersebut, indikator yang lebih
spesifik digunakan dalam menilai kerusakan terumbu karang adalah persen tutupan karang
batu. Namum demikian karena ikan karang selalu memberikan respon yang baik dan cepat
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
1
terhadap perubahan-perubahan lingkungan, seorang evaluator sering pula menggunakan
jenis ikan karang tertentu sebagai indikator kerusakan perairan karang, walaupun dia bukan
tergolong specialist (Nash, 1989). Beberapa indikator ini sebenarnya merupakan pertanda
(warning) penting yang justru kurang mendapat respon posistif dari aparat terkait di daerah,
sehingga usaha-usaha inventarisasi sumberdaya selalu terlambat dilakukan setelah
kerusakan berat terjadi di suatu perairan karang. Dengan kata lain, usaha pengelolaan
sumberdaya perairan karang selalu tidak didukung oleh ketersediaan informasi yang cukup.
Adapun inventarisasi ikan-ikan karang bukan saja strategis dalam hubungannya
dengan monitoring kemunduran mutu lingkungan perairan terumbu karang, tetapi juga
strategis untuk mendukung usaha-usaha pengelolaan sumberdaya karang. Sebab kurangnya
informasi tentang kondisi perairan pulau-pulau kecil di setiap wilayah turut menambah
peningkatan masalah yang sudah ada, seperti tidak adanya pola pengelolaan yang spesifik
dan buruknya managemen lingkungan yang ditandai oleh lemahnya sistem hukum dan
kelembagaan kelautan serta lemahnya koordinasi antara unsur terkait.
Perhatian atas meningkatnya masalah lingkungan dan implikasi jangka panjangnya
sehubungan dengan hilangnya berbagai sumberdaya karang terus berkembang. Wilayah-
wilayah yang berpotensial mengalami degradasi terus dimonitoring dan dipetakan.
Beberapa ahli telah membagi berbagai pola pengelolaan berdasarkan teori ekologis, yang
hasil dari studi lapangannya seringkali merupakan langkah awal untuk mengelola wilayah
karang. Namun saat ini, cara-cara yang praktis untuk mewujudkan pola-pola pengelolaan
wilayah terumbu karang masih langka. Hanya sedikit sekali wilayah-wilayah terumbu
karang di dunia dan bahkan hampir tidak ada di Asia Tenggara secara efektif diproteksi dan
dimonitor secara berkala. Bahkan pada wilayah dengan proteksi resmi, dalam beberapa
kasus yang ada, managemen di lapangannya belum betul-betul efektif (White, 1987).
Dengan alasan yang sama, dapat kita duga bahwa mengapa sebagian besar wilayah karang
di banyak tempat telah mengalami degradasi sumberdaya.
Sejauh mana hal ini terjadi di perairan terumbu karang Kangean dapat diketahui
melalui usaha inventarisasi sumberdaya, dan yang terpenting dari itu semua adalah sifat
kondisional komunitas ikan karang selayaknya dapat tercermin melalui format desimanasi
yang representatif untuk berbagai kepentingan melalui analisa keruangan dengan
menggunakan Geographical Information System (GIS).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
2
Pada satu sisi, kerusakan area karang dapat mempengaruhi komunitas ikan karang.
Dalam hal ini timbul pertanyaan bahwa berapa besar jenis yang hadir dan jenis apa saja yang
hilang dari lingkungan karang di lokasi tersebut. Indeks-indeks ekologis keragaman,
kekayaan dan keseimbangan populasi ikan karang, yang dapat digunakan sebagai �bench
mark� bagi wilayah kajian yang lain atau sebagai atribut GIS, dapat memperbandingan satu
area karang dengan area karang yang lain. Pada sisi yang lain, jumlah jenis dan individu dari
populasi ikan tertentu, seperti ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), dapat menjadi petunjuk
kesehatan dan keragaman karang. Penelitian ini terfokus pada analisis ke dua masalah ini,
sementara pola penyajian hasilnya dimaksudkan untuk memberikan satu pembelajaran
dalam standarisasi format teknis survei kelautan dan pelaporan, yang dengannya usaha-
usaha pemetaan sumberdaya pesisir dalam kaitannya dengan GIS dapat diseragamkan secara
nasional dan dapat menjadi acuan bagi daerah-daerah yang memiliki tujuan yang sama.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud kegiatan ini adalah melakukan inventarisasi dan pemetaan ikan karang di P.
Madura - Kepulauan Kangean. Tujuan kegiatan ini secara umum adalah untuk menggali
potensi sumberdaya hayati ikan karang guna memenuhi kebutuhan informasi dan data yang
cukup berkualitas sesuai dengan prosedur guna penyusunan Norma, Prosedur, Pedoman,
Standar dan Spesifikasi (NPPSS), sedangkan tujuan utamanya adalah untuk menguji coba
penerapan Pedoman Inventarisasi dan pemetaan ikan karang.
1.3. Sasaran
Sasaran dari penelitian ini adalah :
- Interpretasi citra untuk mengetahui sebaran ikan karang
- Melakukan survei lapang untuk mengecek hasil interpretasi dan identifikasi
kondisi terumbu karang secara �in situ�
- Sebagai masukan perbaikan Pedoman inventarisasi
Sedangkan sasaran dari kegiatan ini secara lebih spesifik adalah untuk
menginvetarisasi ikan karang (coral fishes) dan mengetahui kondisi kesehatan karang yang
secara tidak langsung saling berkaitan dengan keberadaan ikan indikator.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
3
1.4. Peralatan
1.4.1. Peralatan Pemetaan Digital
Peralatan pemetaan digital untuk kegiatan ini berupa Software dan peralatan
hardware. Software yang digunakan untuk analisis citra yaitu :
1. Software ER Mapper 5.5 Software ini digunakan untuk menganalisa citra
Landsat ETM-7, untuk melihat kenampakan wilayah atau tutupan terumbu
karang yang ada.
2. Arc info, dan Arc View digunakan untuk proses digitasi, analisa sampai
pembuatan format kartografi guna plotting atau cetak ke hard copy.
Adapun peralatan hardware yang digunakan untuk pemetaan digital ini diantaraya :
1. Komputer untuk digitasi dan analis citra/digital, dan Komputer Administrasi
2. Printer dan Plotter
1.4.2. Peralatan Lapangan
Dalam mempersiapkan pengambilan data terumbu karang di perairan Kepulauan
Kangean diperlukan bahan dan peralatan pendukung yang antara lain :
a. Peralatan,
- SCUBA Equipment (Tabung selam, Bouyancy Conpensator Device/BCD,
Regulator, Fins, Booties, Masker dan snorkel, Wetsuits, Timah pemberat)
- High Pressure Compressor
- Kapal Motor berukuran sedang (7 ton)
- Underwater Camera photo dan Underwater Camera video
- Alat tulis bawah air
- Roll meter, untuk transek di bawah air
- Buku identifikasi karang dan ikan karang
- Tas sampel
- Sechi disk
- Water Checker
- Current meter
- GPS untuk pengukuran koordinat titik kontrol guna mengetahui posisi titik
sample atau posisi lokasi pembuatan training area di lapangan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
4
b. Bahan,
- Film negatif, video film, Alkohol, formalin, Gasoline/Bensin
Selain peralatan di atas, untuk kelancaran dan memudahkan kegiatan diperlukan alat
transportasi kendaraan darat seperti mobil dan motor
1.5. Tahapan Kegiatan
Kegiatan untuk penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilaksanakan,
tahapan tersebut diantaranya meliputi :
1.5.1. Persiapan
Sebelum pelaksanaan kegiatan diperlukan persiapan-persiapan agar kegiatan ini
dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan maksud/tujuan kegiatan. Pada tahap ini
dilakukan pra survei di wilayah yang akan diteliti, yang dilaksanakan oleh ketua tim disertai
oleh penanggung jawab kegiatan.
Adapun persiapan yang diperlukan diantaranya adalah persiapan administrasi
berupa perijinan untuk melakukan kegiatan dan pemetaan terumbu karang, rute dan jadwal
kapal, transportasi menuju wilayah kegiatan / penelitian, serta literatur pendukung. Pada
tahap ini ditentukan kapan waktu pelaksanaan kerja lapang yang sebaiknya dilaksanakan,
karena dalam pelaksanaan survei ini dilakukan di laut/perairan yang sangat tergantung oleh
cuaca.
1.5.2. Tahap Pra Lapangan
Pada tahap ini dilakukan interpretasi citra wilayah kegiatan, citra yang digunakan
yaitu citra Landsat ETM-7. Dengan diketahuinya habitat terumbu karang dapat diperoleh
gambaran sementara habitat ikan karang dan wilayah yang perlu di survei lapang atau
diambil sampelnya untuk acuan atau guidence bagi wilayah lainnya yang serupa sehingga
identifikasi data di lapangan tidak perlu dilakukan pada seluruh wilayah penelitian.
Selain interpretasi citra dilakukan pula penentuan rute atau jalan yang akan dilalui
guna kelancaran kegiatan, base camp, serta peralatan dan kendaraan yang akan digunakan.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
5
1.5.3. Tahap Kerja Lapang
Pelaksanaan kerja lapang dilakukan setelah semua kegiatan persiapan selesai
dilaksanakan. Pada tahap ini tiga bahan yang paling penting untuk kelengkapan survei
lapangan adalah:
! Peta tentative yang akan di cek (di lapangan)
! Peta Rupabumi untuk memandu perjalanan lapangan
! Citra Inderaja hasil interpretasi (hard-copy) yang akan digunakan untuk cek lapang.
Pada tahap kerja lapang yang perlu dilakukan diantaranya :
a. Pembuatan Titik Sampel Lapangan
b. Penentuan stasiun pengamatan (pengambilan contoh/pengamatan in situ)
c. Prosedur pengamatan (pengambilan contoh)
1.5.4. Tahap Paska Lapangan
Setelah melaksanakan survei lapang perlu tahap paska lapangan yang terdiri dari:
# re-interpretasi guna mengetahui dan memperbaiki kesalahan hasil interpretasi
awal, sehingga diperoleh hasil sesuai dengan kenyataan pada titik sample di
lapang.
# Digitasi peta tematik berdasarkan hasil re-interpretasi yang telah diperbaiki
# Analisa hasil
1.6. Outline Penulisan Hasil Kegiatan
Penulisan hasil kegiatan ini disusun menjadi lima bab, yaitu:
Bab 1. Pendahuluan.
Menjelaskan latar belakang kegiatan Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut untuk sumberdaya ikan karang di sebagian P. Madura dan kepulauan
Kangean, maksud dan tujuan, kerangka konseptual, sasaran daerah penelitian beserta ruang
lingkupnya. Tujuan dari Bab ini adalah agar dapat memahami latar belakang dan tujuan dari
kegiatan ini.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
6
Bab 2. Gambaran Umum Ikan Karang dan Terumbu karang
Berisi gambaran umum tentang ikan karang dan terumbu karang. Dengan
memberikan gambaran umum tentang hubungan antara ikan karang dan terumbu karang ini
diharapkan pembaca dapat memahami keterkaitan antara berbagai faktor fisik dengan
kondisi ikan karang di pesisir wilayah Madura � Kangean, Jawa Timur.
Bab 3. Metoda
Bab ini menerangkan data dan peralatan beserta metode yang digunakan untuk
kegiatan ini. Metode pemetaan ikan karang dijelaskan tahap demi tahap, beserta bagan
alirnya. Dengan memaparkan metodologi dari kegiatan ini, diharapkan pembaca dapat
memahami bagaimana peta ini dibuat, spesifikasi yang digunakan untuk pembatasan
pemetaan sumberdaya ikan karang serta sumber data yang digunakan.
Bab 4. Hasil dan Pembahasan
Bab ini menyajikan penjelasan tentang hasil akhir Peta Sumberdaya Ikan Karang
wilayah pesisir beserta analisanya. Analisa Peta Sumberdaya Ikan Karang mencakup
penyebaran ikan karang, jenis, kelimpahan serta dominansi dari ikan karang di wilayah
penelitian.
Bab 5. Kesimpulan dan Saran
Bab ini menyajikan pokok-pokok kesimpulan dari rangkaian pemetaan Ikan Karang
di wilayah pesisir Madura dan Kangean serta beberapa saran untuk penelitian dan
pengembangan lebih lanjut.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
7
BAB II
GAMBARAN UMUM TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG
2.1. Terumbu karang dan lingkungannya
Terumbu karang adalah suatu ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati laut
dan produktivias yang tinggi dan merupakan sumberdaya yang bernilai ekonomis bagi
orang-orang yang tinggal di sekitarnya dan sering pula sebagai sumber utama untuk ruang
hidup, makanan, dan pendapatan bagi mereka yang tinggal dekat terumbu karang
(Wilkinson and Buddemeier, 1994; Grassle et al. 1990).
Terumbu karang terbentuk dalam batasan-batasan yang terdifinisikan dengan baik
dari lingkungan fisik. Karang ditemukan di daerah tropis dan subtrofis pada kedalaman
kurang dari 100 meter. Batimetri, suhu, cahaya, sifat-sifat air, arus laut dan sejarah
perubahan-perubahan pada permukaan laut semuanya memberikan andil dalam menentukan
distribusi, komposisi dan keragaman dari ekosistem terumbu karang (Achituv and Dubinsky,
1990; Kleypas, 1997, as cited by Lough, 1998).
Komunitas terumbu karang hidup tumbuh secara kontinyu melampaui struktur
komposit kalsium karbonat dari karang sebelumnya dan membangun karang batu dan
ganggang coralline, seperti Halimeda (ganggang hijau) dan Lithothamnion (ganggang
merah). Coral dan ganggang ini membangun sejumlah besar unsur kalsium karbonat dalam
skeleton-skeletonnya (rangkanya), dan ini adalah bahan-bahan yang membentuk struktur
geologis dari terumbu karang. Penumpukkan yang kontinyu membuat suatu karang tumbuh
dan selalu mempertahankan posisi tumbuhnya terhadap kenaikan permukaan laut. Koral
pembangun karang semuanya bergabung dalam membentuk satu sifat penting. Sel-sel
ganggang mikroskopik (Zooxanthellae) yang bersimbiose dengan koral dapat hidup dalam
jaringan karang dan menyediakan dengan banyak sekali kebutuhan-kebutuhan makanan bagi
koral melalui kemampuannya dalam fotosintesa. Hubungan simbiotik ini dapat dibayangkan
sebagai suatu mikrokosmos dalam komunitas karang, di mana ganggang yang mampu
bersimbiotik menyediakan bahan orgaik yang membentuk basis dari rantai makanan dalam
komunitas (Wilkinson and Buddemeier, 1994).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
8
Terumbu karang adalah ekosistem yang dinamis dan terintegrasi dengan bahan
penyusun mineral yang disumbangkan oleh hewan dan tanaman. Karena adanya unsur-unsur
seperti ini terumbu karang menjadi suatu ekosistem dengan keragaman dan kompleksitas
yang tinggi. Kondisi seputar lingkungan yang ada juga dapat membuat terumbu karang
menjadi rapuh dan cepat rusak, karena karang tumbuh dengan baik didekat permukaan air
laut yang hangat dan dekat dengan batas-batas daratan. Karenanya perubahan-perubahan
dalam kondisi lingkungan di laut, udara atau daratan yang berinteraksi dengan laut adalah
memungkinkan untuk mempengaruhi kehidupan ekosistem karang. (Smith and Buddemeier,
1992; Wilkinson and Buddemeier, 1994).
Menurut Wilkinson and Buddemeier (1994), pertumbuhan dan fungsi terumbu
karang adalah terbaik di bawah kondisi umum seperti di bawah ini:
1 Suhu air dalam kisaran optimum antara 23 � 30 °C;
2 Iradiasi matahari konstan, laut yang jernih di lintang tropis.
3 Tingkat sedimentasi yang rendah;
4 Rendahnya konsentrasi unsur nutrien organik dan inorganik;
5 Kisaran salinits antara 25 sampai 40 ppt; dan
6 Terlindung dari tingkat radiasi UV-B yang berlebihan.
Sementara, faktor-faktor lingkungan kunci yang memainkan peranan dalam
mengontrol kesehatan terumbu karang didiskusikan di bawah ini.
# Cahaya
Cahaya adalah penting untuk perawatan dan pertumbuhan karang keras dan sebagian
besar jenis-jenis lain yang hidup dalam ekosistem terumbu karang, dan terutama sekali
untuk kepentingan produksi primer yang mendukung keseluruhan komponen ekosistem.
Tetapi, tidak semua cahaya/sinar menguntungkan. Pada umumnya, radiasi matahari yang tak
tampak seperti ultraviolet adalah merugikan bagi organisma hidup. Menurut panjang
gelombang dari radiasi matahari yang tak tampak, sinar tersebut dibagi menjadi tiga band
ultraviolet, yakni UV-C (200-280nm); UV-B (280-320nm) and UV-A (320-400nm). Sinar
UV-B dan sinar dengan panjang gelombang yang terpendek dari UV-A dapat merusak DNA
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
9
secara fisikologis. Sementara UV secara potensial memiliki daya perusak yang besar, tetapi
UV tidak dapat melewati lapisan atmosfir (Wilkinson and Buddemeier, 1994).
Komunitas karang terbatas keberadaannya pada perairan dangkal, karena ganggang
simbiotik membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesa. Kebutuhan dan adaptasi sinar
pada koral seperti untuk kepentingan memelihara laju maksimum dari pengkapuran dan
fotosintesa adalah dapat dipertahankan hingga di bawah kedalaman 20 meter dalam kondisi
perairan bersih (Falkowski et al., 1990).
Penetrasi cahaya matahari di badan air dapat dihambat oleh tingkat turbiditas,
sehingga laju sidementasi yang tinggi dapat berpengaruh buruk pada koral dan karang,
diantaranya adalah menurunnya kecepatan tumbuh dan menghambat pembentukan koloni-
koloni baru (Brown and Howard, 1985; Babcock and Davies, 1991; Wilkinson and
Buddemeier, 1994). Sebaliknya, perairan yang jernih dapat memberikan kesempatan untuk
penetrasi sinar ultraviolet (UV-B), sehingga terumbu karang lebih terbuka terhadap radiasi
yang mempunyai pengaruh buruk pada organisma karang (Jokiel and York, 1982). Tetapi,
koral dan kebanyakan dari fauna karang di perairan dangkal telah mengembangkan suatu
mekanisma baik untuk memblok atau menghindar dari radiasi UV yang merugikan dengan
cara menghasilkan bahan-bahan yang dapat menyerap UV, yang mungkin disintesa oleh
simbion-simbionnya atau akumulasi biologis melalui rantai makanan. Jadi, ganggang
simbiotik menolong untuk melindungi hewan hospes terhadap pengaruh-pengaruh yang
merugikan dari radiasi UV, seperti menyediakan makanan (Chalker et al., 1986; Dunlap and
Chalker, 1986). Gangguan potensial yang berhubungan dengan peningkatan radiasi UV
salah satunya disebabkan oleh penurunan lapisan ozon. Jika terjadi gangguan UV
menunjukkan perimbangan antara kerusakan DNA dan mekanisma perbaikan alami saling
bergantian menghadapi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki serta konsekuensi
pengurangan komunitas plankton dan pengurangan dalam kelangsungan hidup larva (Jokiel
and York, 1982).
# Gerakan Air
Gerakan air, termasuk ombak, adalah faktor penting yang menentukan zonasi karang,
morfologi karang, dan distribusi kedalaman terumbu karang, ganggang, dan fauna karang
yang lain (Wilkinson and Evans, 1989). Badai biasanya membentuk kendali tidak tetap dan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
10
terputus-putus dalam masa yang panjang terhadap struktur perkembangan komunitas karang
dengan jalan memangkas habis dan atau mengganti substrat sehingga akan tumbuh koloni
baru. Badai, ombak, dan arus adalah juga kekuatan-kekuatan yang menyebabkan
sedimentasi dan transpor nutrien, yang akan membentuk garis pantai dengan jalan
penumpukan dan erosi (Wilkinson and Buddemeier, 1994).
# Salinitas
Tingkat optimum salinitas untuk komunitas karang kira-kira 35 ppt, tetapi karang dapat
bertahan hidup di atas kisaran salinitas antara 25 sampai 42 ppt, di mana kehilangan
organisme akan terjadi dengan cepat pada tingkat salinitas yang lebih tinggi. Sebaliknya
salinitas dengan konsentrasi yang tetap di bawah 20 ppt untuk waktu lebih dari 24 jam
menyebabkan kematian pada koral dan sebagian besar fauna karang yang lain, sehingga
kejadian kematian lebih cepat dapat terjadi pada tingkat salinitas yang terendah (Smith and
Buddemeier, 1992).
# Nutrien
Hubungan antara tingkat nutrien inorganik (nitrat, fosfat) dan terumbu karang agak bersifat
paradox. Koral membutuhkan sangat sedikit suplay nutrien karena koral mempunyai
mekanisme internal yang efektif untuk mendaur ulang nutrien antara coral sebagai inang
(hewan) dan zooxantella (tanaman) sebagai simbion (Muscatine and Porter, 1977).
Organisme karang lainnya yang mempunyai kemampuan fotosintesis juga biasa hidup dan
tumbuh pada konsentrasi nutrien yang rendah. Komunitas terumbu karang dapat terpengaruh
secara buruk oleh tingkat nutrien yang tinggi dan akhirnya mengalami degradasi kehidupan.
Hal ini terjadi karena meningkatnya turbiditas perairan dari sebab plankton, meningkatnya
bioerosi, rekruitmen koral gangang filamen, briozoa, dan teritip. Jadi kelebihan nutrien
(eutrofikasi) tidak selalu membawa pengaruh yang baik untuk terumbu karang (Wilkinson
and Buddemeier, 1994).
# S u h u
Pertumbuhan terumbu karang yang intensif terbatas pada lingkungan perairan hangat
(tropis dan subtropis). Banyak ahli menemukan bahwa garis isotermal tahunan rata-rata
20°C atau garis isotermal pada wilayah dingin 18-°C yang bersamaan dengan garis lintang
yang tinggi membatasi pertumbuhan terumbu karang. Tetapi, pengertian dari respon koral
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
11
terhadap suhu sulit dijelaskan secara tepat karena adanya perbedaan antar jenis dan
perbedaan di dalam jenis sendiri serta kuatnya pengaruh dari adaptasi jenis lokal (Coles et
al., 1976; Smith and Buddemeier, 1992). Peningkatan suhu pada tempat yang terbatas yang
hanya sedikit di atas rata-rata suhu maksimum setempat dapat membawa kematian pada
banyak koral (Jokiel and Coles, 1990), dan bahkan kenaikkan yang terkecilpun dapat
menyebabkan pemutihan (bleaching) pada koral (Glynn, 1993). Ketika terumbu karang
berhadapan dengan perubahan suhu lingkungan yang terjadi dengan cepat, koral lebih peka
terhadap proses pemanasan dari pada pendinginan, dan banyak yang menampakan
kehidupan di dekat batas atas suhu yang mematikan (Jokiel and Coles, 1990).
# Kondisi Kejenuhan
Kondisi kejenuhan kalsium karbonat adalah satu variabel yang menampakan
pengaruh dari laju pembentukan kalsium pada sebagian kecil koral dan ganggang, tetapi
sedikit sekali diketahui hubungannya dengan efek keseluruhannya terhadap formasi karang.
Kondisi kejenuhan menghimpun semua pertimbangan tentang pengaruh-pengaruh suhu atas
biogeografi, karena ada suatu korelasi yang sangat kuat antara tingkat kejenuhan aragonida
yang tinggi dengan suhu air yang tinggi. Hal ini sekarang menjadi pokok perhatian para ahli
karena pengaruh penambahan karbon dioksida pada atmosfir akan mengurangi kejenuhan
kalsium karbonat dari permukaan laut, yang pada akhirnya dapat mengurangi terjadinya
kalsifikasi pada sebagian kecil organisme (Smith and Buddemeier, 1992; Wilkinson and
Buddemeier, 1994).
2.2. Status Terumbu Karang Secara Umum
Terumbu karang sangat sensitif pada gangguan-gangguan dan dapat mati oleh
tekanan dari kejadian-kejadian yang bersifat lokal atau global. Tanda-tanda dalam catatan
fosil, sebagai terlihat dalam suksesi karbonat lintas kontinen seperti menurunnya keragaman
hayati dan hilangnya taksa karang yang merupakan bagian penting dari terumbu karang, dsb,
adalah sama baik untuk tingkat kejadian-kejadian wilayah atau global (Cooper, 1994).
Sementara, dipandang dari keterbukaan pemanfaatan terumbu karang oleh umum, terumbu
karang mengalami ekploitasi secara intensif dan degradasi habitat yang disebabkan oleh
sebagian besar kegiatan manusia (McManus and Cabanban, 1992), khususnya kegiatan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
12
penangkapan ikan yang merusak seperti penangkapan dengan bahan peledak yang
membawa dampak buruk langsung pada ekosistem terumbu karang (Jennings and Polunin,
1996; Soede and Erdmann, 1998).
Pada awal tahun 1990an, peringatan dini telah diberikan di semua wilayah bahwa
terumbu karang di dunia dalam kondisi masalah yang serius, di mana degradasi skala besar
terjadi di Afrika Timur, Asia Selatan dan Tenggara, bagian wilayah Pasifik, dan lintas
Karibia (Wilkinson, 1998).
2.3. Status Terumbu Karang di Indonesia
Sejak tahun 1990an, kerusakan terumbu karang dan usaha-usaha pelestariannya telah
menjadi pokok bahasan dalam kebijakan lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun
internasional (Moosa, 1996). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan alam
dan manusia yang menyebabkan penurunan persentasi tutupan karang telah terjadi di
Indonesia. Badai tropis telah menimbulkan sedikit pengaruh buruh pada terumbu karang di
Indonesia, tetapi gejolak lautan dan aliran air tawar ke laut yang terjadi akibat pergantian
dua musim setiap tahun sangat menentukan pertumbuhan karang di beberapa lokasi.
Peristiwa El Niño pada tahun1983 menyebabkan peningkatan suhu air laut di laut
Jawa dan kematian koral sampai 90% sebagai akibat pemutihan (bleaching) di beberapa
lokasi perairan karang pulau-pulau Seribu Teluk Jakarta. Lima tahun kemudian hanya
separuhnya dari karang batu yang rusak dapat pulih kembali. Sementara, kira-kira 75 % -
100 % kasus pemutihan karang, di mana katagori 25 % tutupan karang batu pada saat itu,
terjadi di sekitar Taman Nasional Bali Barat, dan juga terlihat pada perairan karang
Tulamben (Bali bagian Timur), sehingga yang nampak hidup hanya karang lunak (soft
coral) yang terpisah-terpisah letaknya. Juga ada sedikit kasus pemutihan karang pada Nusa
Penida dan Nusa Lembongan, Bali. Banyak anemon sampai kedalaman 36 m di Tulamben
Bali terkena pemutihan, tetapi lainnya pada kedalaman 44 m kelihatan normal (Chou, 1998;
Wilkinson, 1998). Kecuali itu, umumnya karang di bagian Barat Indonesia telah mengalami
tekanan yang berlebih akibat kegiatan manusia dibanding karang yang ada di wilayah Timur
Indonesia. Pada tahun 1998, berdasarkan pada persentasi tutupan karang batu yang diukur
pada 190 lokasi transek menunjukkan bahwa 41,6 % adalah buruk, 31,6 % sedang, 24,3 %
baik dan 26 % sangat baik (Chou, 1998).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
13
Kesadaran yang meningkat akan pentingnya perlindungan ekosistem perairan telah
melahirkan program besar skala nasional, yakni Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan
Sumberdaya Terumbu Karang yang diimplementasikan di lima provinsi. Proyek ini
didukung oleh pinjaman lunak dari World Bank, JICA, AusAid and Global Environment
Facility. Proyek ini mengembangkan sistem rehabilitasi dan pengelolaan berbasis
masyarakat yang tujuannya antara lain adalah pemanfaatan sumberdaya karang yang
berkelanjutan dan menyelamatkan karang dari kerusakan dan kesehatan karang yang
menurun secara perlahan-lahan (Moosa, 1996 ; Chou, 1998). Pendekatan partisipasi penting
untuk laksanakan dengan berbagai strategi oleh daerah-daerah tertentu. Adalah sangat
penting suatu program rehabilitasi yang terdiri dari tehnik-tehnik yang tepat memiliki
kemampuan untuk memperbaiki secara efektif. Sistem yang mengalami penurunan mutu
menjadi beberapa kondisi yang diinginkan melalui percepatan perubahan biotik atau proses
suksesi (Luken, 1993, as cited by Hobbs and Norton, 1996).
Banyak cara pengelolaan karang yang berjalan baik di daerah dan beberapa Area
Perlindungan Laut (APL) telah dibangun di Asia Tenggara. Kira-kira 10 % dari 106 APL
yang dibentuk di beberapa negara ASEAN telah dikelola dengan efektif. Tetapi, selalu ada
koordinasi dan komunikasi yang buruk antara badan pemerintah yang mengatur bagian-
bagian wilayah pantai yang berbeda, dan konflik-konflik yang terjadi mempengaruhi usaha-
usaha konservasi dan perlindungan. Untuk alasan itu, ada suatu kebutuhan untuk
meningkatkan komitmen politik untuk memelihara sumberdaya terumbu karang di Asia
Tenggara. Akhir-akhir ini pengelolaan berbasis masyarakat telah menunjukkan wilayah-
wilayah keberhasilan, khususnya dalam penerapkan satu kisaran model yang berbeda,
contohnya adalah Filipina dan Thailand. Chou (1998) menekankan bahwa pengelolaan
masyarakat atas area-area setempat menyediakan motivasi yang terbaik untuk mengelola
sumberdaya yang banyak dibutuhkan masyarakat, dan juga menghasilkan kendali-kendali
yang efektif atas kegiatan-kegiatan yang merusak, sementara ko-manajemen antara badan
pemerintah, masyarakat setempat, dan organisasi non-pemerintah lebih efektif jika
diterapkan untuk area yang luas.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
14
2.4. Pemulihan Terumbu Karang dan Rehabilitasinya
Endean (1977, dalam Fucik et al, 1984) menyatakan bahwa pulihnya kondisi
ekosistem karang dengan sempurna dari kondisi rusak adalah tidak mudah didifinisikan atau
diukur, seperti mudahnya mengukur kerusakannya. Teori menyebutkan bahwa difinisi
pemulihan terumbu karang melibatkan kembalinya jenis-jenis tipikal yang selalu berasosiasi
dengan koral, terbentuknya komponen-komponen penting dari komunitas karang dalam
wilayah geografis tertentu, dan terbentuknya kembali hubungan-hubungan komplek yang
biasa ada di antara jenis-jenis biota karang. Dari sudut pandang yang praktis mengukur
pemulihan terumbu karang mungkin terlampau berdimensi luas. Karena di antara
kebanyakan ekosistem laut yang komplek dalam hubungannya dengan struktur komunitas
dan fungsi ekologis, monitoring semua aspek biologi karang untuk keperluan mencari bukti
pemulihan atau untuk mendifinisikan satu tingkat penyembuhan adalah sangat sukit.. Tetapi,
ada beberapa aspek dari struktur karang dan fungsi yang dapat digunakan secara logis
sebagai petunjuk (indikator) dari satu tingkat pemulihan. Secara spesifik terumbu karang
mempunyai komposisi jenis, kelimpahan, dominasi, reproduksi, pertambahan koloni,
pertumbuhan, dan kematian di antara organisma hermapitik (contohnya koral dan ganggang
koralin). Pemulihan mungkin dapat diukur dengan cara membandingkan hasil pengamatan
kualitatif dan pengukuran kuantitatif terhadap pola-pola penggunaan indikator ini atas
pemulihan karang dengan asumsi bahwa pemulihan biota koral adalah hasil yang terjadi dari
pemulihan seluruh komunitas karang.
Menurut Fucik et al. (1984), pengukuran kepulihan karang adalah rumit, karena
pemulihan terumbu karang cenderung menjadi proses yang membutuhkan periode waktu
yang panjang. Berdasarkan temuan-temuan Endean (1977), periode penyembuhan adalah
berhubungan dengan luasnya area kerusakan yang dapat dilihat dari tutupan karang keras
(hard corals). Pemulihan pada lokasi kerusakan skala sempit umumnya membutuhkan
waktu kurang dari 10 tahun, yang mana pemulihan terjadi pada bagian-bagian utama dari
sisa-sisa komunitas yang tidak mengalami kerusakan secara penuh dan wilayahnya
memungkinkan untuk pertumbuhan karang. Pemulihan secara penuh terumbu karang yang
mengalami kerusakkan berat membutuhkan 10 sampai 20 tahun, sementara yang mengalami
kerusakan paling buruk dalam skala luas membutuhkan beberapa dekade untuk kembali
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
15
seperti kondisi semula. Rinkevich and Loya (1977) menyatakan bahwa jika sumber-sumber
polusi yang menyebabkan kronisnya kesehatan karang hadir dalam daerah karang yang
mengalami kerusakan, maka pemulihan mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama lagi
atau bisa saja tidak terjadi pemulihan sama sekali.
Karena pemulihan terumbu karang yang rusak dapat menjadi satu proses yang
berkepanjangan, tujuan utama dari program rehabilitasi apa saja harus dapat mendukung
atau mempercepat pemulihan karang rusak. Proses-proses penting yang harus diperhatikan
untuk merancang suatu program rehabilitasi adalah antara lain:
1. Penempatan kembali larva koral untuk pertumbuhan yang kontinyu dan reproduksi dari
koral-koral yang tersisa dan membentuk koloni-koloni baru pada area yang rusak
(Endean, 1977, in Fucik et al. 1984);
2. Rekolonisasi (lebih dari sekedar regenerasi dari koral-koral yang bertahan hidup) untuk
tujuan pemulihan atas karang-karang yang berfungsi sebagai kontrol (Loya, 1976 in
Fucik et al. 1984);
3. Penempatan kembali larva-larva dari terumbu karang sekitar untuk tujuan pemulihan
area karang yang rusak (Shinn, 1976, in Fucik et al. 1984).
4. Transplantasi karang untuk tujuan rehabilitasi terumbu karang yang rusak dalam kondisi
lingkungan yang memungkinkan percepatan pertumbuhan karang (Maragos, 1974;
Shinn, 1976, in Fucik et al. 1984); dan
5. Persiapan substrat, ruang dan sumberdaya untuk rekolonisasi jenis-jenis yang bergerak
dan penempatan kembali larva karang, misalnya persiapan terumbu karang buatan atau
habitat buatan (Randall, 1963, in Fucik et al. 1984).
2.5.Pemilihan Organisma Indikator dalam Monitoring Terumbu Karang
Penggunaan suatu jenis sebagai indikator adalah diukur dari kemampuannya dalam
memperlihatkan tanda-tanda yang dapat diukur oleh pengamat pada waktu sedini mungkin.
Diasumsikan bahwa jika organisma yang dipilih untuk monitoring adalah merupakan satu
kesatuan dari sistem kehidupan karang, tanggapan-tanggapannya harus cukup
mencerminkan adanya proses-proses yang mengancam sistem tersebut secara keseluruhan,
di mana tentu saja juga mempengaruhi berbagai komponen lainnya. Karena pemulihan
terumbu karang yang rusak adalah suatu proses jangka panjang, indikator pertama yang
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
16
dapat digunakan untuk mengkaji perubahan-perubahan seiring waktu dalam tingkat populasi
adalah ikan. Kecuali itu, indikator kedua adalah makroalga yang hidup di dasar, tutupan
karang batu, dan keragaman jenis (Gomez and Yap, 1988).
Ikan adalah organisma yang relatif lebih kompleks, di mana banyak aspek biologinya
dan perilakunya dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesesuian habitatnya. Kehadiran
atau ketidakhadiran jenis-jenis tertentu adalah juga petunjuk yang akurat dalam kasus-kasus
tertentu, karena kemampuan ikan dapat berpindah-pindah, ikan dapat keluar dari wilayah
tetapnya untuk memilih habitat-habitat dengan keadaan yang lebih menyenangkan. Contoh
dari calon-calon yang mungkin dijadikan sebagai organisma indikator adalah jenis-jenis
tertentu dari ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), yang adalah ikan predator karang (Reese,
1981). Ikan-ikan dari suku ini dianggap sebagai ikan pemakan polyp karang yang berguna
untuk memantau pengaruhnya pada terumbu karang atau sebagai indikator yang sensitif
untuk menentukan kondisi kesehatan terumbu karang. Perubahan-perubahan dalam
distribusi dan kelimpahannya dapat menjadi suatu petunjuk bahwa komunitas karang telah
mengalami gangguan atau tekanan (Vivien and Navarro, 1983; Reese, 1977, 1981). Selain
itu, mereka dapat berguna dalam mendeteksi beberapa keadaan pada tingkat yang rendah,
dengan polusi yang kronis melampaui periode waktu yang panjang atau mereka dapat
berguna dalam mendeteksi keadaan-keadaan tanpa gangguan seperti hanya sekadar untuk
mengetahui struktur karang (Reese, 1981; Manthachitra et al., 1991).
Makroalga yang hidup di dasar perairan umumnya menjadi mata rantai pertama
dalam jaring-jaring makanan. Tanaman-tanaman besar yang hidup di dasar pada daerah
sublittoral (pasang surut) munkin dapat menjadi bukti dari rantai penghubung yang paling
sensitif pada kisaran luas faktor-faktor, seperti suhu, sehingga dapat digunakan sebagai
organisma indikator yang bernilai tinggi. Juga karena mereka mempunyai struktur dan
fisiologi yang sederhana, dan mereka cenderung bersifat oportunis, alga dapat diprogram
secara alami untuk merespon lebih cepat pada fluktuasi-fluktuasi yang terjadi dalam
lingkungannya. Beberapa respon ini, seperti pertumbuhan, kematian dan gejala-gejala
patologi tertentu, adalah tidak sulit untuk diukur (Gomez and Yap, 1988).
Suatu pengkajian kondisi karang harus melibatkan secara menyeluruh yang
sedikitnya beberapa catatan tentang koral itu sendiri. Respon karang adalah tidak mudah
dilihat, dan tidak sebagaimana hal-hal yang mudah diukur pada suatu skala yang signifikan,
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
17
sebagaimana hal itu menjadi signifikan bila mengukur ikan atau alga. Tetapi berbagai tehnik
telah dikembangkan yang menggunakan koral sebagai organisma indikator. Meluasnya
tutupan oleh karang dan jenis benthik lainnya pada dasar perairan karang yang tersedia di
tempat itu dan kisaran kehadiran jenis diterima sebagai indikator yang signifikan dari
kondisi kesehatan karang. Umumnya persentasi tutupan karang dan keragaman jenis yang
tinggi menunjukkan kesehatan karang (Gomez and Yap, 1988). Tehnik yang populer akhir-
akhir ini untuk memperkirakan tutupan atau kelimpahan karang dan fauna karang benthik
lainnya adalah menggunakan pendekatan struktur fisiognomik (benthic life-form). Penelitian
benthic lifeforms adalah suatu persyaratan untuk mengerti lebih baik variasi yang
membingungkan dari bentuk jenis-jenis dalam suatu terumbu karang (English et al., 1994).
Penggunaan �lifeform coding� dari biota karang yang hidup dalam terumbu karang dan
komunitas karang di daerah ASEAN (Tabel 1) telah membuka kemungkinan baru untuk
memperbandingkan struktur komunitas karang dalam wilayah masing-masing dan dengan
Great Barrier Reef di Australia (Licuanan and Montebon, 1991).
2.6. Ekologi Ikan Karang
Mengetahui sifat-sifat ekologi ikan karang adalah penting, karena akan
mempermudah proses pekerjaan dalam sensus visual. Pengetahuan ini akan menggiring
pengamat secara praktis dalam membedakan berbagai variasi ikan, baik yang terlihat serupa
maupun yang jelas-jelas berbeda satu sama lain. Satu jenis ikan bisa mudah dikenali melalui
kebiasaan, perilaku, habitat, warna, tempat makan, makanan dan teman sisbiosisnya. Di
bawah ini akan diuraikan sekelumit sifat-sifat ekologis ikan karang.
2.6.1. Jaring makanan dan cara makan
Menurut White (1987), empat puluh persen jenis ikan yang diketahui di dunia, atau
8.000 jenis, hidup di perairan hangat paparan kontinental pada kedalaman kurang dari 200
m. Perairan tropis di dekat dan di area karang, dibandingkan dengan area tempered,
mengandung lebih beragam jenis tetapi dengan sedikit individu dalam setiap jenis. Seorang
penyelam yang untuk pertama kalinya menyelam di area karang tentu saja merasa sulit
untuk membedakan beribu-ribu ikan yang hadir dan bergerak anggun di antara berbagai
jenis karang dan fauna lain yang selalu berasosiasi dengan karang. Karena jumlahnya
banyak dan hidup di antara ruang dan celah-celah terumbu karang, maka status ikan karang
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
18
merupakan penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang, terutama
sekali berperan dalam tingkat tropik rantai makanan di terumbu karang.
Hewan mungkin diklasifikasikan menurut tempatnya dalam rantai makanan. Dalam
bentuk yang paling sederhana, satu rantai makanan terdiri dari produser (tanaman),
konsumer (hewan), dan dekomposer (bakteri). Tiap deretan bertingkat mulai dari produser
sampai karnivore teratas disebut tingkat tropik (Gambar 1). Kebanyakan rantai makanan
adalah kompleks dengan sejumlah tingkat, subdivisi, dan alur-alur yang berganti-ganti,
sehingga istilah jaring makanan juga digunakan, yang mana ribuan celah karang yang yang
berliku-liku dan area permukaan terumbu karang menyokong keberagaman yang besar
sekali dari intevetebrata laut dan ganggang yang pada gilirannya menyediakan makanan
untuk berbagai jenis ikan dan non ikan. kakap, bambangan, swanggi dan ikan lainya yang
berdiam di celah karang sepanjang hari tetapi bergerak ke sembarang tempat untuk makan
pada malam hari adalah jenis ikan yang hanya sebagian waktunya bergantung pada
ekosistem karang. Mereka masuk ke dalam jaring-jaring makanan di karang ketika mereka
dimangsa oleh pemangsa ikan yang lebih besar seperti kerapu, dan membuang feses di situ.
Sementara itu feses-feses ini merupakan nutrien bagi jenis karang dan ikan yang lain.
Di antara konsumer, ada tiga tingkat tropik dasar: herbivora, omnivora, dan
karnivora. Untuk ikan, istilah planktivora digunakan untuk mengidentifikasi karnovora yang
memakan zooplankton (sangat sedikit sekali ikan yang memakan fitoplankton, seperti
mullet). Istilah coralivora digunakan untuk omnivora yang memakan karang, karena karang
mengandung 2 jaringan yang terdiri dari jaringan tanaman sekaligus hewan. Istilah
detritivora digunakan untuk ikan-ikan omnivora yang memakan bagian-bagian tanaman dan
hewan yang mengalami dekomposisi (membusuk). Istilah piscivora mengacu pada karnivora
yang terutama sekali memakan ikan.
Pada tingkat dasar dari jaring makanan di terumbu karang adalam tanaman laut,
termasuk ganggang diatom, dinoflagelata, fitoplankton, zooxantela, ganggang bentik, dan
rumput laut. Ada beberapa ikan yang memakan masing-masing tanaman laut ini. Sedikit
jenis ikan yang memakan fitoplankton: belanak dan bandeng memakan ganggang diatom
dan sampah-sampah detritus dari dasar perairan. Sejumlah ikan kepe-kepe dan coralivora
lain memakan zooxantella yang terkandung dalam jaringan karang. Sejumlah kecil ikan
kakatua dan sekartaji/butana memakan rumput laut, dan sejumlah besar ikan-ikan herbivora
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
19
memakan ganggang bentik yang berbentuk filamen. Ikan-ikan kakatua, sekartaji, dan
baronang adalah tergolong ikan-ikan yang suka berkeliling untuk merumput (grazers), mirip
ternak di laut. Perumput yang paling kecil seperti ikan blenid dan kebanyakan ikan betok
umumnya memiliki daerah teritorial sendiri sekitar area sempit yang mampu menghasilkan
pelindung (shelter) yang cukup. Beberapa ikan kakatua, sekartaji, baronang, dan
rudderfishes kesana-kemari memakan daun ganggang besar (Lieske dan Myers, 1997).
Zooplankton
PEMANGSA IKAN BESAR (Hiu, kerapu, kuwe, barakuda)
PEMANGSA IKAN KECIL (Bambangan, kakap, kerapu,
kuwe)
PEMANGSA IKAN PERAIRAN TENGAH
(Ikan kuwe)
PEMANGSA KARANG
(Kepe-kepe, Kakatua dan Buntal)
Karang
PEMANGSA INVERTEBRATA
PERAIRAN TENGAH (Ikan Betok dan Klupid)
PEMANGSA INVERTEBRATA BENTIK (Ikan Kepe-kepe dan Kerapu)
Invertebrata bentik
Fitoplankton Detritus Ganggang Bentik
PEMANGSA DETRITUS (Belanak dan Bandeng)
HERBIVORA (Ikan Pakol, sekartaji,
Blenid, Gobid, Bayeman, Keling)
Gambar 1. Hubungan tropik pada ikan-ikan terumbu karang (Sumber: Nybaken, 1988)
Pada rataan terumbu dan goba, komunitas ikan bentik hidup di sekitar kepala-kepala
karang dan area pasir di antaranya. Karang-karang massive yang umumnya tanpa lekukan
celah yang dalam seringkali dikunjungi oleh pemakan polyp karang seperti ikan kakatua,
ikan mendut, dan ikan kepe-kepe. Karang-karang bercabang menyediakan permukaan untuk
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
20
sejumlah besar ikan-ikan kecil seperti ikan gobi dan betok yang mungkin mengurumuni dan
memakan zooplankton dan debris makanan lainya yang ada di balik permukaan karang
tersebut.
Ikan kepe-kepe seperti juga ikan mendut dan buntal ayam adalah terutama sekali
tergolong omnivora. Banyak jenis kepe-kepe memakan berbagai invertebrata kecil dan
polyp karang. Beberapa ikan kepe-kepe dan kupas-kupas (Oxymonacanthus longirostris)
memiliki makanan khusus, yaitu polyp karang yang digunting dari skeleton karang oleh
moncong dan gigi yang khusus. Kakatua kepala besar (Bolbometapon muricatum) dan
beberapa ikan mendut, tato/kupas-kupas, dan buntal ayam memakan potongan-potongan
karang dan skeleton. Sejumlah ikan mendut, tato, dan buntal ayam juga memakan beragam
invertebrata seperti bulu babi, krustase, bintang laut dan ganggang berangka kapur yang
keras. Detritus masuk ke dalam rantai makanan ikan terutama sekali melalui invertebrata
bentik yang dimangsa oleh karnivora. Hanya sedikit sekali ikan-ikan yang memakan
langsung detritus, seperti ikan beberapa ikan gobid dan belanak (Lieske dan Myers, 1997).
Ganggang karang juga menyokong sebagian besar populasi ikan-ikan herbivora yang
termasuk jenis-jenis sekartaji/butana (surgionfish), betok (damselfish), mendut (triggerfish),
kepe-kepe (butterflyfish), baronang (rabbitfish) dan buntel (pufferfish). Sementara jenis-jenis
ikan herbivora yang biasa memindahkan substrat atau mencabit potongan-potongan struktur
karang termasuk blenid, gobi, ekartaji, kakatua (parrofish), dan sedikit dari jenis betok dan
mendut.
Semua jenis ikan pada terumbu karang menyesuaikan diri dengan jaring makanan
dalam beberapa cara sehingga ada suatu keseimbangan yang rumit dari banyak hubungan
mangsa memangsa. Beberapa kelompok ikan tentu saja penting untuk ekosistem terumbu
karang. Beberapa jenis ikan kepe-kepe sebagai contoh, memiliki makanan kegemarannya
sendiri seperti polyp karang. Jadi, ikan-ikan ini hanya ada di tempat mana karang tumbuh
dan mungkin dapat digunakan sebagai satu indikator yang sederhana bagi kondisi kesehatan
karang , yaitu dengan jalan memperhatikan jumlah individu dan keragaman jenisnya. Karena
ikan kakatua memakan karang dan batuan kalsium dan membuang butiran-butiran putih
yang telah dihaluskan oleh gilingan pharyngealnya, mereka secara signifikan menyebabkan
erosi karang dan pembentukan pasir. Satu individu dewasa kakatua dapat menumpuk 500 kg
pasir per tahun pada area karang (White, 1987).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
21
Menurut Nybaken (1988), tipe pemangsaan yang paling banyak terdapat di terumbu
karang adalah karnivora, mungkin sekitar 50 � 70 % dari jenis ikan. Banyak dari karnivora
ini tidak mengkhususkan makanannya pada suatu sumber makanan tertentu, tetapi
sebaliknya merupakan opportunistik, mengambil apa saja yang berguna bagi mereka. Selain
itu, mereka juga memakan mangsa yang berbeda pada setiap tingkatan tropik yang berbeda
menurut siklus kehidupan mereka. Dalam hubungannya dengan kebiasaan makan yang
umum dari kebanyakan ikan karnivora, jumlah ikan pemakan bangkai (scavenger) sangat
kecil, karena karnivora hanya mengkonsum setiap organisme yang baru mati (masih segar).
Selanjutnya, sekitar 15 % dari kelompok ikan karang merupakan herbivora dan
pemakan karang yang diwakili oleh ikan-ikan dalam suku kakatua (Scaridae) dan
Sekartaji/butana (Acanthuridae). Sisanya tergolong omnivora atau multivora (pemakan
segala), seperti diwakili oleh ikan-ikan penghuni sejati dalam terumbu karang, yaitu kepe-
kepe (Chaetodontidae), betok/giru (Pomacentridae), injel (Pomacantidae), ikan tato/kipas-
kipas (Monocanthidae), buntel kotak (Ostraciontidae), dan buntel ayam (Tetraodontidae).
Sementara yang tergolong pemakan plankton (plankton feeder) dijumpai hanya sedikit.
Mereka umumnya bertubuh kecil dan dijumpai dalam bentuk schooling (kawanan), seperti
ikan-ikan dalam suku Clupeidae (Klupid) dan Atherinidae (ikan berkulit perak).
2.6.2. Keanekaragaman ikan karang
Lebih jauh Nybaken menjelaskan bahwa daerah Indo-Pasifik bagian tengah
khususnya di wilayah perairan Filipina dan Indonesia memiliki jumlah jenis yang besar,
tetapi menjauhi wilayah ini jumlahnya berangsur-angsur berkurang (Tabel 1), seperti
terumbu atlantik mempunyai jenis yang relatif sedikit.
Tabel 1. Jumlah jenis ikan di berbagai terumbu karang
Daerah Geografis Jumlah Species Ikan
Kepulauan Filipina Nuigini Great Barrier Reef Kepulauan Seychelle Kepulauan Marshall dan Mariana Kepulauan Bahama Kepulauan Hawaii
2177 1700 1500
880 669 507 448
Sumber: Goldman dan Talbot, 1976, dalam Nybaken, 1988)
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
22
Terumbu karang menyediakan beragam habitat, yang masing-masing dengan
seperangkat sifat-sifat jenisnya sendiri. Perbedaan dalam tingkat kontak atau kepekaan
terhadap hempasan ombak, arus, cahaya, jumlah gangang, plankton dan makanan lain, dan
kelimpahan, bentuk, dan keragaman dari karang dan shelter lain menyatu untuk terciptanya
suatu keberagaman relung-relung (niche) yang cocok. Tidak hanya satu relung yang
mungkin dapat dihuni oleh satu jenis ikan, tetapi juga beberapa relung nampak didiami oleh
sekumpulan acak dari sejumlah jenis ikan-ikan (Lieske dan Myers, 1997)
Jumlah jenis ikan yang menghuni sebuah area terumbu karang tunggal adalah sangat
luar biasa banyaknya, yaitu mencapai 500 untuk satu terumbu dalam sistem Great Barrier
Reef. Dalam hal ini jelas bahwa besar jumlah spesies mempunyai hubungan yang signifikan
dengan sebaran dan keberagaman jenis karang. Tetapi bagaimana keragaman jenis yang
besar ini dapat terbentuk dan terpelihara eksistensinya ? Hanya sedikit asumsi yang dapat
ditelusuri oleh ahli biologi karang untuk menjawab pertanyaan yang rumit ini.
Asumsi yang umum adalah bahwa keragaman ikan karang dibentuk karena adanya
keanekaragaman habitat dalam ekosistem terumbu karang. Seperti disebutkan di atas, dalam
satu area karang kita biasa menemukan banyak ruang, celah, lekukan, liang tempat hidup
yang ada di badan karang sendiri, di substrat batuan, pasir, ganggang, lamun, dan
sebagainya. Habitat yang beragam ini ternyata mampu membawa pada suatu asumsi bahwa
semakin beragam habitat semakin beragam pula jenis-jenis ikan yang ditemukan. Namun
habitat yang banyak itu belum mampu menerangkan bagaimana tingginya keragaman
tersebut dapat dipertahankan? Teori yang timbul ternyata mengandung sedikit pertentangan
menyangkut keragaman ikan karang dan struktur komunitasnya. Pandangan yang dianggap
klasik saat ini adalah bahwa hidup berdampingan merupakan hasil dari tingkat spesialisasi
yang tinggi sehingga setiap jenis mempunyai tempat beradaptasi khusus yang diperoleh dari
persaingan pada suatu keadaan di karang atau spesialisasi dalam jenis makanan dan peran
dari jenis tersebut dalam ekosistem dan keberhasilan dalam membentuk interaksi positif
antara jenis. Jadi dapat dikatakan bahwa, ikan-ikan karang memiliki relung ekologi (ecology
niche) yang sempit dalam satu struktur terumbu karang yang luas, sehingga daerah itu dapat
menampung lebih banyak jenis. Asumsi ini berkembang dari teori �ecology niche�.
Sementara pandangan Sale (1977, dalam Nybaken, 1988) tentang uniknya keanekaragaman
ikan karang ini dituangkannya dalam hipotesis yang dia sebut �lottery�, yaitu bahwa ikan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
23
tidak mempunyai sifat khusus, di mana banyak jenis yang cenderung pada pada kebutuhan
yang sama, sehingga timbul persaingan aktif di antara jenis. Tempat yang baik dan
ketekunan tersedia karena kesempatan yang terbentuk bagi setiap jenis ikan untuk
menempati ruang yang kosong.
Jika diamati secara seksama, walaupun ikan-ikan karang ini dijumpai dalam jumlah
besar pada area yang relatif sempit dan dengan gerakan yang jelas, ternyata mobilitasnya
terbatas dan hampir tidak melakukan migrasi ke tempat yang jauh. Hal ini nampak sebagai
akibat dari pembagian habitat yang kemudian terlokalisasi dalam konsep relung ekologi.
Dari sini timbul asumsi bahwa ikan-ikan tertentu memiliki wilayah otorita dan perilaku
pertahanan otorita, contoh ini diperlihatkan oleh perilaku ikan belosoh, tempakul, giru, dan
betok.
Lebih jauh Nybaken (1988) menjelaskan bahwa fenomena menarik lainnya yang
digambarkan oleh perilaku ikan-ikan nokturnal dan diurnal juga memberikan dasar pada
asumsi tentang tingginya keberagaman ikan di area karang. Meskipun beberapa dari jenis
nokturnal ini secara ekologis sama dengan jenis diurnal tertentu (contohnya serinding malam
- Apogonidae menggantikan betok - Pomacentridae), ini merupakan cara lain yang
memungkinkan timbulnya sejumlah besar jenis di terumbu tanpa persaingan secara
langsung.
Menurut Lieske dan Myers (1997), pada terumbu karang, lebih dari 75 % ikan-ikan
merupakan jenis diurnal yang menghabiskan waktu siangnya pada permukaan karang atau
sedikit diatasnya. Banyak dari jenis-jenis diurnal adalah ikan-ikan berwarna-warni dan
menyolok mata yang paling sering berhubungan dengan terumbu karang, termasuk jenis-
jenis dari bayeman, nori, keling, lamboso, betok, baslet, kerapu, kepe-kepe, sekartaji,
kakatua, bambangan, injel, mendut, hawkfish dan beberapa bijinangka. Kira-kira 30 % ikan
karang bersifat kriptik (bersembunyi, meliang) dan jarang bisa terlihat oleh
pengamat/penyelam awam. Kebanyakan ikan-ikan ini bertubuh kecil dan merupakan
penyamar yang baik atau menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bersembunyi
dalam bangunan karang. Ikan-ikan yang tergolong kriptik termasuk belut laut, gobid, blenid,
tangkur, dan kebanyakan dari ikan lepu batu. Jenis-jenis ini ada yang termasuk diurnal
seperti juga nokturnal dan beberapa dari padanya mungkin aktif sepanjang waktunya.
Banyak belut laut dan lepu seperti juga bijinangka menjadi lebih aktif dan mengeluarkan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
24
sebagian besar waktunya di senja hari. Selebihnya kira-kira 10 % ikan karang adalah jenis
ikan nokturnal yang tetap bersembunyi dalam gua dan celah sepanjang siang tetapi muncul
kepermukaan untuk mencari makan pada malam hari. Contoh ikan-ikan ini adalah gelagah,
gete-gete, swanggi, gora swanggi, murjan, brajanata yang memakan makanan khusus seperti
elemen-elemen besar zooplankton dalam air di atas karang, sementara murjan, brajanata dan
banyak dari gete, gelagah memakan invertebrata motile pada permukaan karang. Yang
mengherankan kira-kira 10 % ikan karang hidup di atas atau menyelinap di bawah pasir,
lumpur, atau pecahan kecil karang (rubbles). Contohnya : belut laut, tempakul (Synodus
spp), ikan sebelah, percis pasir ( Parapercis spp.), penyelam pasir (Trichonotus spp.),
belenid, gobid dan bayeman, keling, koja, belodok (Wrasses). Kebanyakan dari ikan-ikan ini
adalah karnivora pemakan invertebrata kecil. Banyak juga ikan-ikan yang berlindung di
badan karang bepergian ke luar wilayah yang luas mencakup area pasir dan rubble. Ini
termasuk beberapa ikan sekartaji yang herbivora dan beberapa kelompok karnivora seperti
kerapu, kakap, bambangan, dan lentjam. Sejumlah besar ikan-ikan karang yang kecil selalu
berenang tidak pernah jauh dari rumah karangnya. Pada porsi yang relatif kecil, 8 %, fauna
ikan pantai dikelompokan dalam jenis ikan yang berpergian jauh (pelintas karang),
contohnya ekor kuning, barakuda, hiu, dan ikan kuwe. Kebanyakan ikan-ikan ini adalah
karnivora, tetapi hanya sedikit, terutama ekor kuning, yang termasuk planktivora.
Asumsi-asumsi di atas menjadi nampak kontroversial jika kita menelaah lebih jauh
tentang hubungan-hubungan dalam jaring makanan. Seperti telah disebutkan di atas,
kenyataannya mayoritas ikan karang adalah karnivora yang opportunistik, sehingga
bagaimana mungkin untuk menjelaskan adanya kekayaan jenis akibat dari relung-relung
ekologi yang sempit. Sementara jika kita mengabaikan konsep �ecology niche� tersebut
pada akhirnya akan menyulitkan kita dalam menjelaskan kekayaan jenis ikan pada area
karang. Tetapi dalam hal ini, bukan berarti bahwa tidak ada sama sekali karnivora yang
mengkhususkan makanannya pada organisme tertentu. Di samping itu konsep ekologi niche
bukan harga mati yang berhubungan dengan kebiasaan makan, tetapi juga menyangkut
peran satu organisme dalam habitat mikronya. Relung ekologi mempunyai pengertian yang
laus, meliputi ruang fisik yang dihuni satu organisme, peranan fungsionalnya dalam
komunitas dan posisinya dalam gradian berbagai parameter kimia-fisik. Tiga aspek relung
ekologi meliputi relung spasial dan ruang (habitat), relung tropik dalam rantai makanan, dan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
25
relung multidemensi atau relung hipervolume (Odum, 1975). Jadi relung ekologi suatu jenis
ikan tidak hanya menyangkut tempat hidupnya tetapi juga meliputi peran (kemampuan
mereka merubah energi, sikap dan prilaku, dan merespon terhadap lingkungan biotik dan
abiotik) serta bagaimana jenis lain yang merupakan tetangganya menjadi kendali baginya
(kompetisi intraspesifik).
2.6.3. Interaksi Sosial
Ikan-ikan memperlihatkan beragam kebiasaan atau gaya hidup untuk mengatasi
hidup bersama dalam dunia karang yang padat dan penuh persaingan. Beberapa jenis ikan
selalu ditemukan dalam kelompok sementara yang lain hidup berpasangan atau menyendiri
(soliter). Schooling (hidup bergerombol) adalah satu strategi yang diadopsi oleh banyak
jenis ikan yang tinggal atau berpergian dari tempat perlindungan karang ke lautan terbuka,
di mana maksudnya untuk mempertahan diri dari serangan predator dan juga pertahanan
teritorial.
Sejumlah besar ikan karang memiliki wilayah teritorial. Jenis teritorial menjaga
secara khusus satu area yang menutup satu atau lebih sumber makanan, rumah (shelter),
pasangan dan sarang. Mereka biasanya sangat agresif terhadap pendatang dari jenisnya
sendiri. Penguasa area yang dominan biasanya akan mengusir rivalnya seperti dewasa
lainnya dari jenis kelamin yang sama tetapi akan berbagi area yang dikuasai dengan lawan
jenisnya yang lebih kecil. Ikan-ikan teritorial ini secara berkala memiliki satu tempat
istirahat yang paling disenangi yang untuknya mereka kembali dan mempertahankannya
secara agresif pada akhir dari hari berselang. Banyak jenis memelihara satu area teritorial
untuk berkembangbiak. Tempat seperti ini mungkin memiliki batas sebagai area teritorial
untuk makanan atau menjadi porsi kecil rentang tempat kediaman.
Pandangan dan warna adalah yang terpenting dalam kehidupan sosial dari
kebanyakan ikan karang. Adanya pola-pola warna yang berbeda memungkinkan setiap jenis
untuk mengenal jenisnya sendiri. Perubahan-perubahan yang dikontrol perilaku dalam
pewarnaan dan dalam pengabilan sikap menyampaikan pesan di antara ikan-ikan sama
halnya ekspresi wajah yang diperlihatkan manusia. Dalam beberapa species suara dan bau-
bauan mungkin juga memainkan peranan dalam interaksi sosial. Operculae dan sirip yang
mengembang umumnya untuk memperlihatkan agresi. Betina-betina dari banyak jenis
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
26
memancarkan warna-warna yang kuat cemerlang selama masa bercumbu. Pada malam hari,
banyak jenis memperlihatkan pola-pola warna yang lemah, sering dengan benjolan-benjolan
atau batang-batang yang kontras yang dapat menolong mereka menyesuaikan dengan latar
belakangnya (kamuflase).
2.6.4. Simbiosis: Mutualisme
Kehidupan beberapa hewan karang berhubungan secara dekat dengan, dan sering
bergantung atas hidup jenis lainnya. Ini dikenal sebagai simbiosis. Ada tiga bentuk dasar
simbiosis: mutualisme, yaitu merupakan interaksi suatu jenis biota yang memberi
keuntungan bagi kedua jenis yang berasosiasi akan tetapi terdapat ketergantungan di antara
kedua jenis; komensalisme, suatu organisme bergantung kepada organisme yang lain tanpa
merugikannya; dan parasitisme, ketika satu organisme mendapat keuntungan dari organisme
yang lain. Semua bentuk ini ditemukan antara ikan-ikan karang Micronesia (Lieske dan
Myers, 1997).
Hubungan simbiotik di antara hewan laut mencakup spektrum yang luas. Hubungan
simbiotik komensialisme lebih banyak ditemukan di antara hewan laut dibandingkan
assosiasi mutualisme.
Assosiasi mutualistik antara ikan dengan species lain yang telah banyak dipelajari
yaitu antara ikan dengan cnidaria (Nybaken, 1988; Tandipayuk dan Hartati, t.t). Beberapa
contoh asosiasi yang unik disajikan di bawah ini. Di Wilayah Indo-Pasifik Barat di daerah
terumbu karang terdapat asosiasi mutualistik antara ikan-ikan kecil dan genera Amphiprion
(apace/giru), Premnas (giru belang) dan Dascyllus (dakocan/betok karang) dengan berbagai
jenis anemon besa. Ikan-ikan kecil tersebut dapat hidup di antara tentakel anemon dengan
mencegah lepasnya nematokis dari tentakel anemon, Ikan-ikan lain dengan ukuran yang
sama ternyata tidak mampu mencegah pelepasan nematokis anemon yang mematikan
dirinya yang selanjutnya menjadi mangsa dari anemon.
Asosiasi mutualistik juga terjadi antara Sifonofora yang berbahaya, yaitu ubur-ubur
serdadu portugis (Physalia) dengan ikan kecil Nomeus gronovii yang berenang di anatara
tentakel-tentakel dan menahan nematokis. Ikan-ikan muda sering berkumpul di bawah genta
ubur-ubur Shifozoa yang besar (Cyanea dan Crysaora) untuk berlindung dari pemangsaan.
Keadaan yang sama juga terjadi antara ikan-ikan dengan bulu babi berduri panjang,
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
27
Diadema spp. Bulu babi bersifat sirkumtropik dalam perairan yang dangkal dan memiliki
duri-duri yang panjang dan tipis yang dengan mudah dapat menembus daging. Terdapat dua
jenis ikan tropis yaitu Aeoliscus strigatus (ikan piso-piso - Shrimpfish) dan Diademichthys
deversor (keling garis - Striped clingfish) yang telah beradaptasi hidup di antara duri-duri
Diadema spp. sebagai tempat perlindungan. Ikan-ikan tersebut nampak seperti duri-duri
bulu babi sehingga aman dari gangguan predator.
Asosiasi antara ikan dengan ikan lain, umumnya antara ikan besar dengan ikan-ikan
kecil. Ikan pemandu (Neucrates ductor) dan remoras (Echeneis remora) selalu ditemukan
pada ikan-ikan yang lebih besar atau vertebrata laut yang lain seperti penyu.
Tipe asosiasi lain yang dikenal sebagai �tingkah laku membersihkan� terjadi antara
berbagai species ikan kecil (ikan dokter - Labroides spp.) dan udang yang secara aktif
menarik ikan-ikan besar dengan maksud membersihkan mereka dari berbagai ektoparasit.
Tingkah laku rnembersihkan tersebar luas dan nampaknya terdapat di semua terumbu. Pada
proses asosiasi ini ikan-ikan pembersih (atau udang-udang) sering membuat �stasiun
pembersihan�, yaitu tempat mereka mengumumkan kehadirannya dengan warna yang terang
dan menyolok. Selama proses pembersihan, ikan yang dibersihkan tetap tinggal diam saat
ikan pembersih bergerak di atas tubuhnya untuk membersihkan parasit-parasit yang
menempel. Setiap karnivora nampak menahan diri seperti gencatan senjata. Sehingga ikan
pembersih merasa aman. Para pembersih bahkan sering masuk ke dalam rongga mulut dan
celah-celah insang.
Asosiasi mutualistik antara ikan dan cumi-cumi dengan bakteri lumenesens umum
ditemukan di zona mesopelagik. Dari asosiasi ini bakteri memperoleh makanan dari hewan
yang lebih besar. Sebaliknya, ikan atau cumi-cumi menggunakan cahaya yang dihasilkan
bakteri untuk melakukan pertahanan dan atau penyerangan.
2.6.5. Penyerupaan dan Mimicry:
sebagai cara ikan memproteksi diri Di antara banyak gaya hidup ikan-ikan karang adalah sifat-sifatnya yang bergantung
pada warna tanaman dan hewan lain. Menurut Lieske dan Myers (1997), Penyerupaan dan
mimicry adalah cara-cara yang digunakan oleh sejumlah jenis ikan untuk menangkap
mangsa atau melepaskan diri dari predator. Banyak jenis ikan bergantung pada kamuflase
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
28
untuk memadukan penampilan diri dalam dan dengan lingkungan sekitarnya. Ikan-ikan
jenis lepu (Scorpionidae) dan ikan-ikan kodok (Antenariidae) memiliki jumbai yang dapat
mengembang atau kutil-kutil yang menyerupai daun ganggang, dan bahkan beberapa
membawa ganggang yang tumbuh pada permukaan tubuhnya. Banyak kerapu mempunyai
pola-pola warna yang tidak menyerupai latar belakang apapun, tetapi ketika memasuki
wilayah gelap, mereka mendadak tidak tanpak. Beberapa ikan tidak cocok dengan latar
belakangnya secara keseluruhannya tetapi menyerupai yang lain secara lebih dekat, sehingga
menjadi suatu yang tidak menarik bagi predator atau pemangsa. Juvenil ikan keling tanduk
(Novaculichthys taeniaorus) serupa menyerupai dan berenang seolah-olah dia adalah
serumpun rumput laut yang berayun-ayun.
Kemiripan sebagai suatu cara perlindungan diri dikenal sebagai mimicry. Ini terjadi
ketika suatu organisme menyerupai lainnya yang dilindungi dari predasi oleh sifat ketidak
sukaan, daya peracunan, atau beberapa sifat lainnya. Mimicry terjadi dalam dua bentuk
dasar. Pertama, batesian mimicry terjadi ketika satu hewan yang tidak terproteksi
menyerupai hewan lain yang terproteksi. Ke dua, mullirian mimicry terjadi ketika dua
hewan atau lebih terproteksi dengan menyerupai secara lebih dekat satu sama lain. Di antara
ikan-ikan karang, batesian mimicry adalah lebih umum dari yang kedua. Jenis-jenis ikan
yang terproteksi atau model, umumnya mempunyai pola warna yang jelas berbeda dan
sering menyolok sekali (disebut aposematic coloration) yang karena predator tertentu
belajar untuk menghindar setelah pengalaman pertama atau kedua, sehingga mimic yang
nampak serupa juga dihindari. Contoh tipikal batesian mimicry adalah termasuk ikan buntal
ayam berbisa, Canthigaster valentini dan ikan kupas-kupas yang bisa dimakan, Paraluterus
prionurus. Buntal ayam tidak disukai dan beracun kuat, dia perenang yang relatif lambat
yang membuat sedikit usaha untuk bersembunyi. Sementara kupas-kupas yang bisa dimakan
tidak hanya serupa dengan buntal ayam tetapi juga berenang seperti buntal.
Dalam mimicry yang agresif, mimic mengambila permainan tebak-tebakan � suatu
langkah lanjutan untuk maksud memperoleh suatu keuntungan lain daripada proteksi
terhadap pengorbanan hewan-hewan lainnya. Mimicry yang agresif kira-kira baik
dikembangkan di antara blenid yang memiliki mimic perawat (clener), contohnya blenid
Aspidontus taeniatus yang telah mengembangkan suatu pola warna yang identik dengan ikan
dokter (Labroides dimidiatus). Seperti diketahui ikan dokter ini mempunyai kebiasaan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
29
merawat ikan-ikan lain dengan cara membuang/membersihkan parasit-parasit dan potongan-
potongan jaringan rusak. Sementara jenis pemangsa ikan akan bersikap dengan membuka
mulutnya karena ikan pembersih ini berenang ke dalam untuk mencari makanan. Seolah-
olah ada gencatan senjata. Pemangsa tersebut mengenali pelayanan pembersihan ini dan
tidak akan berusaha memakannya. Sementara blenid tersebut menggunakan samarannya
untuk melakukan pendekatan lebih pada ikan-ikan lain yang mengharapkan perawatan.
Tetapi untuk mengganti perawatan yang sebenarnya, blenid tersebut berenang dengan cepat
untuk mendapatkan makanan dari kepingan sirip atau sisik. Penyamaran blenid tidak
sempurna : ikan-ikan yang lebih tua dan berpengalaman biasanya belajar untuk
membedakan mimic palsu ini dan menghindarinya.
Beberapa juvenil ikan raja bau atau bibir tebal, Plectorhinchus spp., adalah
memungkinkan untuk memiliki mullirian mimicry, tetapi itu belum sepenuhnya
dipertunjukan bahwa mereka beracun. Mereka secara khusus memiliki pola warna serupa
dari cahaya yang kontras dan tonjolan gelap, dan berenang atau melayang-layang di tempat
terbuka dengan gerakan badan dan sirip yang menyolok mata. Dengan cara menyerupai satu
sama lain, kefektifan dari aposematic coloration diperkuat karena predator dapat belajar
untuk menghindari mereka secara kolektif melalui satu pengalaman buruk yang hanya sekali
terjadi.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
30
BAB III METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan ini dilaksanakan tanggal 19 Juni s/d 02 Juli 2003 di wilayah perairan
karang Pulau-pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura, di mana secara geografis
terletak pada lintang 06° 50,00� - 07° 20,00� dan bujur 115° 10,00� - 116° 00,00� yang
terdiri dari lembar peta/sheet Kangean dan sheet Kayuwaru yaitu lembar/sheet 1708-06
(Kangean), sheet 1708-07 (Kangean), sheet 1709-01 (Kangean), sheet 1709-02 (Kayuwaru),
dan sheet 1808-01 (P. Sepanjang) yang diperoleh dari Peta Lingkungan Pantai Indonesia,
yang dikeluarkan oleh BAKOSURTANAL dan DISHIDROS (Gambar 2). Titik sampel
sebagai stasiun penelitian dipilih berdasarkan keberadaan terumbu karang yang berpotensial
adanya tekanan kegiatan manusia, tekanan alam, dan jauh dari gangguan atau wilayah
perlindungan (Tabel 2). Pengambilan data dilakukan antara tanggal 25 s/d 28 Juni 2003.
Sumber : Peta Lingkungan Laut Nasional skala 1:500.000 (BAKOSURTANAL � DISHIDROS)
Gambar 2. Wilayah penelitian inventarisasi sumberdaya ikan karang
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
31
3.2. Metoda
Survai ini dilakukan dengan pendekatan sensus visual pada garis transek (English et
al., 1994). Data ikan karang didapat melalui sensus visual yang dikerjakan oleh penyelam
sepanjang garis transek 70 meter, dengan luas area sensus (70 x 10) m2. Jenis dan perkiraan
jumlah ikan dicatat dalam data sheet kedap air. Identifikasi jenis ikan menggunakan buku
petunjuk bergambar (Kuiter, 1992 dan Lieske dan Myers, 1994). Penyelaman pendahuluan
dilakukan untuk membuat daftar species baku ikan setempat. Ikan karang dikelompokkan
menurut statusnya, seperti ikan indikator, ikan major, dan ikan target (English et al., 1994).
Ikan indikator kebanyakan dari suku Chaetodontidae yang kehadirannya dapat
merefleksikan kondisi kesehatan karang. Ikan major adalah golongan ikan hias dan non-ikan
hias yang selalu berasosiasi dengan karang, baik sebagai penetap maupun pelintas. Ikan
target adalah dari golongan ikan yang biasa dicari oleh nelayan untuk dimakan dan dijual.
3.3. Alat dan Bahan Dalam mempersiapkan pengambilan data ikan karang di perairan Kepulauan
Kangean diperlukan bahan dan peralatan pendukung yang antara lain :
a. Peralatan,
- SCUBA Equipment ( Tabung selam, Bouyancy Conpensator Device/BCD,
Regulator, Fins, Booties, Masker dan snorkel, Wetsuits, Timah pemberat)
- High Pressure Compressor
- Kapal Motor berukuran sedang ( sekitar 7 ton)
- Underwater Camera photo dan Underwater Camera video
- Alat tulis bawah air, Roll meter untuk transek di bawah air
- Buku identifikasi karang dan ikan karang
- Tas sample, untuk penyimpanan sampel
- Sechi disk, untuk mengukur kecerahan air laut
- Water Checker, untuk mengukur Ph, Salinitas, Suhu, kandungan oksigen, dsb
- Current meter, untuk mengukur arus laut
- GPS, untuk pengukuran koordinat titik kontrol guna mengetahui posisi titik
sample atau posisi lokasi pembuatan training area di lapangan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
32
b. Bahan,
- Film negatif, film video, Alkohol, formalin, Gasoline/Bensin
3.4. Analisa Data
Analisa keragaman hayati ikan karang menggunakan beberapa indek yang dianggap
penting sebagai �baseline data�. Indeks-indeks itu adalah Indeks Kekayaan Jenis (Richness
Indices), Indeks Keanekaragaman (Diversity indices) dan Indeks Keseimbangan (Evenness
Indices) (Ludwig dan Reynold, 1988).
Indeks Kekayaan Jenis (Richness Indices) mengacu pada
(1) Indeks Margalef [R1 = (S-1)/ln(n)], dan
(2) Indeks Menhinick [R2 = S / √n], di mana S = banyaknya jenis, n = jumlah
individu ikan untuk semua jenis. Indeks Keanekaragaman mengacu pada (1)
Indeks Simpson [ λ = ∑ {(ni(ni � 1) / (N(N �1)}] dan (2) Indeks Shannon [H =
Σ{(ni/N) ln(ni/N)} ], di mana ni = jumlah ikan jenis ke I, dan N = total individu
ikan untuk semua jenis.
Indeks Simpson adalah identik dengan Indeks Dominasi [D = (1 � H)], di mana nilai
kedua Indeks ini berbanding terbalik dengan Indeks Shannon. Semakin besar prediksi nilai
dominasi terhadap komunitas biota, berarti semakin kecil nilai prediksi terhadap
keanekaragaman komunitas tersebut. Dalam hal ini keanekaragaman komunitas dianggap
terbaik jika nilai λ atau D mendekati 0 dan terburuk jika nilainya mendekati 1 (misalnya
terjadi pada lingkungan hidup yang mengalami tekanan atau pencemaran). Berarti bahwa
kisaran nilai kedua Indeks (λ dan D) tersebut antara 0 dan 1. Semakin mendekati nilai 0,
menyebabkan nilai Indeks H akan semakin besar (keanekaragaman hayati dianggap tinggi).
Sebaliknya semakin mendekati 1, menyebabkan nilai Indeks H semakin kecil
(keanekaragaman hayati dianggap buruk). Dalam kondisi alamiah besarnya nilai Indeks H
untuk komunitas ikan karang berkisar diantara nilai 3 (sedang). Dalam ekosistem yang
matang seringkali nilai H menjadi > 3. Dalam kondisi lingkungan yang buruk menyebabkan
hanya sebagian kecil populasi biota yang bertahan dan menjadi berkembang mendominasi
komunitas biota setempat. Ini berarti nilai Indeks Dominasi atau nilai Indeks Simpson untuk
komunitas tersebut akan membesar dari 0 mendekati 1 dan akibatnya keanekaragaman (H)
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
33
mengecil dari 3 mendekati 1. Selain itu, unsur yang membentuk keanekaragaman hayati
juga ditinjau dari banyaknya populasi yang menonjol (melimpah atau paling melimpah).
Keragaman populasi ini mengacu pada besarnya diversity number dari Hill yaitu N1 dan N2,
di mana N1 ditafsirkan sebagai banyak populasi dari suatu species yang cukup melimpah,
sedangkan N2 adalah banyaknya populasi dari suatu species yang paling melimpah.
Rumusnya adalah N1 = eH , dan N2 = 1/ λ, di mana H adalah Indeks Shannon dan λ adalah
Indeks Sampson.
Karena dominasi suatu populasi dalam komunitas juga mempengaruhi keseimbangan
ekosistem, berarti besaran nilai Indeks Keanekaragaman (H) bukan hanya tergantung pada
nilai Indek Simpson atau Indeks Dominasi, tetapi juga sangat ditentukan oleh nilai Indek
Keseimbangan populasi dalam suatu komunitas. Karena itu analisis data ini juga
memperhitungkan Indeks-Indeks Keseimbangan. Pada beberapa tulisan Indeks ini juga
disebut Indeks Kemerataan. Indeks tersebut antara lain adalah Indeks Pielou [E1 = {H / ln
(S)}]; Sheldon [ E2 = (eH/ S) ] ; Heip [E3 = {(eH - 1 / (S - 1)}] ; Hill [E4 = {(1 / λ) / eH}] ;
Modifikasi dari Hill [E5 = {(1 / λ) - 1} / (eH � 1)], di mana S = banyaknya jenis, H = Indeks
Shannon, λ = Indeks Simpson, dan e = bilangan natural. Analisis hasil penelitian lebih
terfokus pada Indeks Shannon (H), Indeks Simpson (λ) atau Indeks Dominasi (D) dan
Indeks Keseimbangan (E1 ; Pielou). Sementara sisanya digunakan sebatas �bench mark�
bagi hasil kajian yang serupa. Sedangkan kepadatan ikan karang merupakan perhitungan
jumlah individu per satuan luas transek (10 m x 70 m). Semua prosedural untuk perhitungan
rumus-rumus di atas menggunakan prinsif-prinsif Microsoft Excel. Contoh aplikasinya
disajikan pada Lampiran A.
Untuk menganalisis kondisi kesehatan karang berdasarkan kehadiran ikan indicator
(Chaetodontidae) digunakan Irian Jaya Reef Diversity Index (IRDI), di mana persamaannya
IRDI = Cx/41 x 100 %. Cx adalah jumlah jenis ikan indicator yang terdapat di suatu lokasi.
Kondisi karang yang sehat memiliki nilai IRDI ≥ 75 %, sementara kondisi yang buruk
memiliki nilai IRDI ≤ 30 % (Nash, 1989).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
34
Tabel 2. Gambaran umum lokasi transek pada setiap stasiun
Stasiun (Station)
Posisi Geografis Transek
(Geographical Position of the
Transects)
Dasar Perairan dan Persentasi Tutupan
Karang (Sea Bottom &
Percent Cover of Corals)
Jarak Pandang
Horizontal (Body Water
Visibility)
Arus Air (Water
Current)
Nama Lokasi
(Study site)
1 S 6° 57� 27,2� E 115° 26� 09�
Reef slope, pasir, rubble 56.90 %
Baik (10 m) Sedang
P. Keriting Tanpa penduduk
Wilayah konservasi
2 S 7° 03� 06� E 115° 38� 14,4�
Reef slope, pasir, rubble 17.10 %
Baik (10 m) Sedang P. Sapangkur besar
Berpenduduk
3 S 7° 00� 41,7� E 115° 40� 23�
Reef slope, pasir, rubble 27.17 %
Baik (10 m) Sedang
P. Paliat Berpenduduk,
Wilayah budidaya mutiara
4 S 6° 57� 38,8� E 115° 42� 17,13�
Reef slope, pasir, rubble 18.07 %
baik (10 m) Sedang
P. Stabok Berpenduduk Area Wisata
5 S 6° 50� 03,6� E 115° 12� 38�
Fringing reef, pasir, rubble 22.47 %
Sangat baik (> 20 m) Sedang
P. Maburit Bependuduk
Area transportasi
6 S 6° 49� 55,7� E 115° 13� 41�
Fringing reef, pasir, rubble 11.40 %
baik (> 10 m) Sedang
P. Kangean Utara Berpenduduk Area berlabuh
Sumber : Hasil Survei Lapang INSDAL, Juni � Juli 2003
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Komunitas Ikan Karang
4.1.1. Keanekaragaman ikan karang
Survei secara detail untuk ikan karang adalah sulit. Beberapa tehnik pendataan
populasi ikan karang secara detail sering berhubungan dengan penggunaan racun ikan dan
bahan peledak untuk membunuh dan mengumpulkan sampel ikan. Oleh karena itu, sering
menimbulkan dampak negatif dan tidak sesuai digunakan untuk area perlindungan.
Sementara itu teknik visual sensus memiliki kelemahan-kelemahan tertentu dan sangat
bergantung pada keterampilan dan konsistensi pengamat yang harus memiliki kemampuan
untuk mengenal dan mengingat serta mencatat ratusan jenis-jenis ikan karang. Tetapi
dengan berbagai kelemahannya, tehnik ini lebih disetujui untuk pendataan ikan karang
dengan maksud-maksud yang praktis dan keamanan lingkungan (Kenchington, 1988).
Dalam kontek ini, hasil penelitian ini tentu saja tidak lepas dari kelemahan-
kelemahan metoda yang digunakan, seperti sensual visual. Survei ini telah berhasil
mengindentifikasi secara minimal jenis-jenis ikan karang, sejauh mereka dapat dilihat
(Lampiran B). Namun demikian peran pengamat (biologist) yang sabar, berpengalaman,
penyelam yang tangguh, dan waktu inventarisasi yang tepat diharapkan dapat memperkecil
kelemahan tersebut dan memperbesar hasil temuan. Penentuan waktu sensus dan
penyelaman pendahuluan untuk membuat daftar jenis-jenis baku ikan setempat adalah
sangat penting untuk mengurangi bias hasil sensus. Waktu sensus yang baik adalah ketika
puncak pasang dan atau sore hari menjelang petang. Pada saat ini ikan-ikan keluar untuk
makan dan ikan yang bersifat nokturnal biasanya sudah mulai keluar.
Keanekaragaman hayati (biodiversity) ikan karang di suatu area terumbu karang
perlu diekspos untuk kepentingan managemen penangkapan, terutama sekali untuk
pengaturan penangkapan dan atau proteksi bagi ikan-ikan yang memiliki kelimpahan rendah
sementara bernilai ekonomis tinggi dan rentan terhadap penangkapan yang berlebih. Untuk
alasan desiminasi keanekaragaman hayati, hasil sensus visual pada area transek yang berupa
sederet nama-nama ikan karang yang berhasil dikenali disajikan secara detail pada Lampiran
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
36
B. Dari Lampiran ini telah dihimpun berbagai aspek praktis dan indeks-indeks ekologis dari
populasi ikan karang sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Kondisi ikan karang di Pulau-Pulau Kangean, Sumenep Madura, menurut stasiun penelitian
S T A S I U N ( S T A T I O N ) No. K a t a g o r i ( C a t a g o r i e s ) 1 2 3 4 5 6
1 Kondisi Taksonomi Ikan : (Disciption of Fish Taxonomy) 1.1. Jumlah jenis (Species Number) 52 75 108 82 86 112 1.2 Jumlah marga (Genus Number) 32 43 63 46 47 63 1.3 Jumlah suku (Family Number) 18 18 28 23 18 24 2 Kondisi Populasi Ikan : (Fish Population State) 2.1. Richness Index, Margalef: R1 5.47 7.94 10.82 8.61 8.84 11.97 2.2. Menhinick Index: R2 0.49 0.71 0.77 0.74 0.70 1.08 2.3. Simpson Diversity Index: Lambda 0.08 0.09 0.04 0.07 0.07 0.07 2.4. Shannon Diversity Index: H 2.94 2.94 3.68 3.21 3.21 3.40 2.5. Hill's diversitry Number: N1 18.85 18.96 39.50 24.79 24.73 29.96 2.6. Hill's diversitry Number: N2 12.69 11.05 26.32 13.74 13.73 14.40 2.7. Evenness Index: E1 0.74 0.68 0.79 0.73 0.72 0.72 2.8. Evenness Index: E2 0.36 0.25 0.37 0.30 0.29 0.27 2.9. Evenness Index: E3 0.34 0.24 0.36 0.29 0.28 0.26 2.10 Evenness Index: E4 0.67 0.58 0.67 0.55 0.56 0.48 2.11. Evenness Index: E5 0.65 0.56 0.66 0.54 0.54 0.46 2.12 Jumlah Individu (Individual Number) 11148 11147 19793 12237 15068 10679 2.13 Kepadatan (individual/m2) 16 16 28 17 22 15 3 Pengelompokan Status ikan : (Fish Grouping) 3.1. Percentage of the major fishes (M ; % ) 61.5 74.7 63.9 58.5 60.5 56.3 3.2. Percentage of the target fishes ( T ; % ) 32.7 24.0 26.9 34.1 32.6 36.6 3.3. Percentage of indicator fishes ( I ; % ) 5.8 1.3 9.3 7.3 7.0 7.1 4. Ikan Indicator (Indicator Fishes) 4.1 IRDI Index (%) 7.32 2.44 24.39 14.63 14.63 19.51 4.2 Jumlah jenis (Species number) 3 1 10 6 6 8 5 Status Ekonomi Ikan : (Fish-economic valuing) 5.1. Low valuable fishes (%) 75.0 76.0 63.0 63.4 66.3 67.0 5.2. Fair valuable fishes (%) 13.5 13.3 20.4 20.7 16.3 14.3 5.3. High valuable fishes (%) 11.5 10.7 16.7 15.9 17.4 18.8 Sumber : Hasil Survei Lapang INSDAL, Juni � Juli 2003
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
37
Sederet nama yang ditabulasi terkadang hanya menyajikan nomenklatur dari
berbagai jenis ikan karang dan mungkin dapat membosankan bagi pembaca, kecuali
diberikan informasi penting bagi ikan-ikan tersebut. Status masing-masing ikan, apakah
tergolong ikan Target, Mayor, atau ikan Indikator akan menunjukan peran ikan-ikan karang
dalam komunitasnya dan ini mudah dikenali melalui petunjuk-petunjuk (simbol T, M, dan I)
yang disiapkan di bagian kolom tabel, sama seperti status ekonomi dari masing-masing ikan,
seperti (*) cukup mempunyai nilai, (**) bernilai ekonomis sedang, dan (***) bernilai
ekonomis tinggi. Nilai ekonomis ikan-ikan ini didasarkan pada a) Jika ia ikan pangan (ikan
target), maka permintaan pasar akan jenis itu apakah tinggi, sedang, atau rendah; b) jika ia
ikan hias (baik ikan mayor atau ikan indikator), nilainya sangat ditentukan dari sifat warna,
bentuk, gerakan-gerakan yang anggun dan unik, kelangkaan jumlahnya di terumbu karang,
adanya usaha dan tujuan pasarnya (apa untuk ekspor atau pasar domestik).
Tabel 4 menunjukkan bahwa stasiun yang memiliki jumlah jenis ikan karang yang
relatif tinggi adalah untuk lokasi pulau Kangean sebelah utara (stasiun 6), seperti juga
diperlihatkan oleh Indeks kekayaan jenis (R1=11,97 dan R2=1,08) yang relatif tinggi
dibanding nilainya pada stasiun lainnya, walaupun ditinjau dari Indeks keragamannya (H)
yang relatif lebih rendah dibanding nilai H pada Pulau Paliat sebelah selatan (stasiun 3).
Karena komunitas ikan pada stasiun 3 memiliki tingkat keseimbangan populasi yang relatif
tinggi dengan indeks dominasi yang rendah dibanding yang ditemukan pada stasiun 6.
Disamping itu stasiun 3 memiliki jumlah ikan-ikan berkoloni lebih banyak (N1=39,5 koloni
dan N2= 26,3 koloni) dan juga memiliki kelimpahan ikan yang tertinggi (dari kisaran 15
sampai 28 individual/m2 untuk semua stasiun).
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa kisaran jumlah jenis ikan karang menurut letak
stasiun berkisar antara 52 sampai 112 jenis, sementara Indeks keanekaragaman (H) berkisar
antara 2,94 sampai 3,68. Indeks kesimbangan berkisar antara 0,68 sampai 0,79 dan Indeks
dominasi berkisar antara 0,04 sampai 0,09. Ini berarti bahwa keanekaragaman komunitas
ikan di sini masuk dalam interval sedang sampai tinggi dengan keseimbangan populasi yang
cukup baik. Tetapi jika ini menjadi patokan, maka dibandingkan dengan area-area terumbu
karang yang sehat dengan keragaman yang tinggi, seperti di kepulauan Banda, Maluku,
kondisi keragaman ikan karang di Pulau-Pulau Kangean relatif masih lebih rendah. Variasi
indeks keanekaragaman ikan karang pada 6 lokasi di kepulauan Banda berkisar antara 3,57
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
38
sampai 4,27 dengan jumlah jenis berkisar antara 142 sampai 224 species. Variasi Indeks
Dominasi berkisar antara 0,0256 sampai 0,1148 dan variasi Indeks Keseimbangan 0,68
sampai 0,81 (Edrus et al., 1992). Alasan yang mungkin dapat diterima dari perbedaan ini
adalah telah rusaknya habitat ikan yang dijumpai pada setiap lokasi penelitian Pulau-pulau
Kangean disamping rendahnya persen tutupan karang (Tabel 2).
Secara tidak langsung, tingginya keanekaragaman ikan karang, khususnya ikan-ikan
mayor dan ikan indikator, dapat menjadi petunjuk sehatnya suatu perairan karang. Menurut
Odum (1975), keragamanan biota merupakan bukti yang digunakan untuk melihat ada
tidaknya tekanan terhadap lingkungan sebagai akibat ekploitasi atau pencemaran. Ekosistem
yang matang (dalam arti perkembangannya dan tidak ada komponen yang membuat tekanan
terhadap kesimbangan komunitas atau tidak ada kekuatan lain yang memutuskan fungsi dari
masing-masing komponen dalam ekosistem) biasanya ditandai oleh keragaman yang tinggi
dan kesimbangan populasi yang serasi. Kondisi pada saat itu disebut steady state, di mana
kisaran kesimbangan masih dianggap moderat dan berada pada skala 0,6 � 0,8. Secara
umum kiasaran keragaman dinyatakan dengan skala Simpson 0 � 1. Nilainya merupakan
selisih dari 1 � D (D= indeks dominasi). Keragaman maksimum, di mana proporsi jumlah
individu antar populasi sama besar, tercapai apabila nilainya = 1. Tetapi pada kenyataannya
secara alamiah keragaman maksimum jarang terjadi di alam. Jadi rendahnya keragaman ikan
yang disertai dengan ekstrimnya dominasi suatu jenis pada suatu area terumbu karang
merupakan petunjuk adanya tekanan-tekanan yang buruk pada area tersebut. Karena hanya
ikan-ikan tertentu yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup dan berkembang biak di area
yang mengalami tekanan. Tekanan ini bisa diartikan sebagai hasil dari pencemaran perairan
dan rusaknya habitat ikan. Menurut Gomez dan Yap (1984) ikan merupakan organisma yang
relatif kompleks, banyak aspek dari biologisnya dan perilakunya dapat digunakan untuk
ukuran atau tanda-tanda tentang tingkat kesesuaian (suitability) dari habitat-habitatnya. Oleh
karena itu disamping faktor musim, kerusakan habitat seringkali disinyalir sebagai faktor
penyebab tidak tanpaknya berbagai jenis ikan karang yang penting dan bernilai ekonomis
pada waktu tertentu.
Kecenderungan adanya keinginan untuk memperbandingkan potensi sumberdaya
dari lokasi yang satu dengan yang lain, baik berdekatan atau mungkin berjauhan, secara
umum semua indeks ekologis di atas (Tabel 3) perlu disajikan secara menyeluruh sebagai
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
39
suatu �baseline data� yang dapat dijadikan �bench mark� bagi hasil kajian lanjutan. Semua
indeks tersebut merupakan data yang baik dan refresentatif bagi usaha pemetaan
sumberdaya perikanan karang dalam konteks GIS. Sangat disarankan bahwa semua survei
perikanan karang dapat menyajikan indeks-indeks yang sama seperti di atas.
4.1.2. Pengelompokan ikan karang
Menurut Hutomo (1993), ikan-ikan karang sebagian besar tergolong ikan bertulang
keras (Teleostei) dari ordo Percifomes. Dalam sejarah evolusinya, ordo ini berkembang pada
zaman tersier. Kelompok yang �paling erat kaitannya� dengan lingkungan terumbu karang
meliputi delapan suku. Dari subordo Labridei, terdiri atas ikan cina-cina (Labridae), ikan
kakatua (Scaridae) dan ikan betok (Pomacentridae). Dari subordo Acanthuroidei terdiri atas
ikan butana (Acanthuridae), ikan baronang (Siganidae) dan ikan bendera (Zanclidae). Dari
subordo Chaetodontidei meliputi ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) dan kambing-kambing
(Pomacanthidae). Sementara suku-suku ikan yang lain dan biasa berasosiasi dengan terumbu
karang juga tercatat sebagai ikan karang, meskipun habitat aslinya adalah pasir, batuan, atau
lamun.
Untuk kepentingan yang lebih praktis dalam pengelolaannya, pengelompokan ikan
karang ini berkembang di luar taksonominya yang resmi ke arah penentuan status ikan
karang, di mana di dalamnya ikan karang digolongkan menjadi kelompok ikan Major, ikan
Target dan ikan Indikator.
Lampiran B dengan jelas menunjukkan jenis mana yang tergolong Major, Target dan
Indicator. Tetapi Lampiran B tidak menunjukan seluruh jenis yang biasa hadir atau
berasosiasi dengan terumbu karang. Tidak banyak jenis ikan Target ekonomis penting yang
teridentifikasi di area transek, seperti jenis yang berasal dari kelompok suku Holocentridae
(Murjan/Brajanata), Serranidae (Kerapu), Lutjanidae (Kakap, Bambangan), Haemullidae
(Bibir tebal), Scaridae (Kakatua), Siganidae (Baronang) dan Acanthuridae (Butana). Bahkan
jenis-jenis dari Lethrinidae (Lentjam) tidak muncul sama sekali. Sama seperti ikan Napoleon
(Cheilinus undulatus), satu jenis ekonomis penting tetapi kontropersial dalam
pemanfaatannya. Begitu juga untuk jenis-jenis ikan major atau ikan hias, banyak yang
absen. Apalagi untuk jenis jenis ikan indicator yang tergolong dalam suku Chaetodontidae.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
40
Ratio dari ketiga kelompok ikan Mayor, Target dan Indikator dalam kecenderungan
normal, yaitu masing-masing 60 %, 30 % dan 10 % khususnya untuk stasiun 1,3,4,5 dan 6.
Sementara stasiun 2 miskin akan ikan target dan hanya memiliki satu jenis ikan indikator.
Walaupun keberadaan ikan karang dapat digeneralisasi, artinya di mana ada terumbu
karang selalu dijumpai berbagai jenis ikang karang yang sama, tetapi sekali lagi hadirnya
jenis ikan karang tertentu sangat ditentukan oleh habitatnya atau relung ekologinya (ecology
niche) di mana ikan menunjukkan perannya di situ dalam tingkat yang lebih mikro atau
dapat pula kehadirannya untuk keperluan-keperluan reproduksi dan makanan yang spesifik.
Seperti diketahui bahwa sejumlah besar lubang dan celah pada karang menyediakan
tempat perlindungan yang melimpah untuk berbagai jenis ikan dan invertebrata dan ini
adalah penting untuk tempat asuhan ikan. Beberapa ikan-ikan yang biasa menetap di
terumbu karang memiliki tempat-tempat perlindungan, yang dihuni secara bergantian antara
ikan-ikan diurnal dan nokturnal. Selama siang hari banyak ikan nokturnal menempati
lubang-lubang dan celah-celah ini sementara ikan-ikan diurnal keluar mencari makan dan
jenis-jenis ikan lain menunggu di sekitarnya. Sebaliknya malam hari peran-peran mereka
digantikan. Lebih jauh Salm dan Kenchington (1988) menjelaskan bahwa untuk startegi
interaksi antar jenis, jenis yang tinggal dalam kondisi yang padat pada terumbu karang dapat
mengembangkan berbagai macam interaksi, baik itu berupa antibiosis (mengeluarkan bahan
kimia yang berbahaya bagi organisma lain) atau simbiosis (hubungan yang saling
menguntungkan).
Ikan-ikan yang hidup di area terumbu karang memiliki tempat spesifik untuk
berproduksi dan berkembang biak. Ada yang memiliki sarang sementara selama masa kawin
dan reproduktif, dan ada pula ikan-ikan yang menetap dan menguasai wilayahnya. Sebagai
contoh adalah jenis-jenis ikan anemon (Amphiprion spp.; Premnas spp.) dan ikan sersan
mayor (Abudefduf spp.). Ikan giru pasir (anemon) merupakan ikan yang hidup bersimbiosis
dengan anemon, sebagai tempat untuk menetap dan berkembang biak. Sementara ikan-ikan
sersan mayor selama musim kawin bergerak keluar batas area karang mencari celah atau gua
untuk menetap sampai selesai masa musim kawin (Fahmi, 2001). Dapat diasumsikan bahwa
dengan absennya anemon tersebut di area terumbu karang, berarti juga hilangnya jenis ikan
giru pasir di tempat itu.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
41
Contoh yang lain adalah berkenaan dengan assosiasi ikan kepe-kepe
(chaetodontidae) dengan jenis karang tertentu. Seperti misalnya jenis Chaetodon trifascialis,
distribusi dan kelimpahannya tergantung dari adanya jenis karang Acropora confertus dan
Acropora hyacinthus (Rees, 1977). Kehadiran Chaetodon baronessa dan Chaetodon
trifasciatus di suatu perairan biasanya merupakan suatu pertanda bahwa di lokasi tersebut
banyak terdapat karang keras akropora tabular dan bercabang, karena makanan pokoknya
adalah polyp karang dari marga acropora (Mackay, 1994). Menurut Nybakken (1988) dan
Mackay (1994, dalam Edrus dan Syam, 1998) bahwa ketertarikan ikan kepe-kepe terhadap
terumbu karang kuat sekali dan ini disinyalir karena alasan jenis makanan. Ikan ini
meskipun bersifat omnivora, ada sebagian besar yang hanya senang dengan makanan
tertentu saja. Makanan kegemarannya adalah polyp karang, sedangkan jenis-jenis makanan
yang lain dapat dilihat pada Tabel 4. Untuk alasan ini mungkin saja jenis-jenis dari
Chaetodont tidak tampak hadir pada suatu lokasi.
Untuk alasan yang sama, yaitu makanan, dalam 24 jam sering dijumpai ikan-ikan
pelintas yang keluar masuk area terumbu karang berulang-ulang dalam sehari. Ikan ini
kebanyakan mencari mangsa di terumbu karang, sehingga digolongkan juga dalam
kelompok ikan target yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Contoh ikan ikan ini adalah
kebanyakan dari golongan ikan ekor kuning (Caesio spp.; Paracaesio spp.) ; ikan kuwe
(Caranx spp. ; Carangoides spp.), dan ikan barakuda (Sphyraena barracuda). Karena ikan-
ikan ini termasuk dalam golongan ikan pelagis yang memiliki mobilitas tinggi, jarang dapat
disensus di area transek karang yang dangkal. Walaupun sering ditemukan di luar batas
wilayah transek. Ikan kuwe sering terlihat melintas di area pelabuhan atau di area karang
yang dalam dan terjal (slope atau drop off).
4.1.3. Ikan indikator dan Indeks IRDI
Sensus ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) sangat mudah dilakukan bagi tehnisi (non-
specialist), khususnya baik untuk kepentingan monitoring kondisi karang secara periodik.
Ikan ini paling kentara di antara ichthyfauna karang. Jenis-jenisnya mudah dikenali dan
taksonominya telah ditentukan. Jenis-jenis ikan ini sering dijumpai berpasangan dan
memiliki daerah teritorial, karennya mudah dihitung secara individual.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
42
Tabel 4. Kebiasaan makan Chaetodontidae
Chaetodontidae Makanan (Food) Catatan (Remark) Chaetodon auriga a ; b ; c ; y A : Karang polips (Coral polyps) Chaetodon baronessa A B : Anemon laut (Sea anemones) Chaetodon citrinelus a ; d ; e C : Polychaetes Chaetocion ephippium a ; d ; f ; g Chaetodon punctatofasciatus a ; d ; e ; h
d : Benthos kecil (Small benthic invertebrates)
Chaetodon kleinii I ; y ; k E : Ganggang filamenta (Filamentous Chaetodon melannotus a** algae) Chaetodon meyeri a F : Spons (Sponges) Chaetodon oceilicaudus l** G : Telur ikan (Fish eggs) Chaetodon octofasciatus u H : Karang (Corals) Chaetodon ornatissimus m I : Soft coral polyps Chaetodon rafflesi a* ; b ; c y : Ganggang (Algae) Chaetodon speculum a ; d K : Zooplankton Chaetodon trifascialis a ; n L : Karang lunak (Soft corals) Chaelodon trifasciatus a Chaetodon unimaculatus c ; e ; h ; l ; o Chaetodon vagabundus a ; b ; c ; y
m : Coral tissue, particularity damaged areas that exude large quantities of mucous
Chaetodon xanthurus u n : Mucous of acropora coral Chelmon rostratus c ; o O : Krustase kecil (Small crustaceans) Coradion melanoppus u p : Hydroids Forcipiger flavissiimus c ; g ; o ; q ; r ; s ; t Q : Echinoderma (Echinoderms) Hemitaurichthys polylepis t R : Pediceria of sea urchins Heniochus chrysozonus a S : Kepiting kecil (Small crabs) Heniochus varius u T : Planktons U : Tidak ada data (No information)
* : Primarily on octocolallian and scleractinian coral polyps
** : Litophyton viridis, and species of the genera Sarcophyton, Nepthia and Clavularia
Sumber : Mackay, 1994
Keunikan ikan kepe-kepe adalah kelimpahan dan jumlah jenisnya pada suatu
perairan dapat memberikan gambaran mengenai kualitas terumbu karang setempat. Para ahli
telah sepakat dalam menempatkan jenis-jenis dari Chaetodontide sebagai species indicator
kondisi terumbu karang, terutama hal yang berhubungan dengan perilaku dan makannya.
Jenis makanan merupakan alasan yang utama dari keberadaan ikan kepe-kepe di area
terumbu karang. Mackay, 1994 telah mengamati kebiasaan makan Chaetodontidae (Tabel
4).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
43
Untuk terumbu karang di Wilayah Timur Indonesia, seperti Irian, di mana kondisi
karang masih dalam katagori sehat, ikan kepe-kepe hampir selalu dijumpai dalam jumlah
jenis dan individu yang tinggi. Dengan alasan ini, Nash (1989) telah mengembangkan tolok
ukur kesehatan dan keragaman terumbu karang yang dikenal sebagai Irian Diversity Index
(IRDI). Melalui indeks ini satu lokasi terumbu karang dengan lokasi lainya dapat
diperbandingkan. Indeks ini juga data refrensentatif untuk kepentingan GIS.
Dalam kontek studi ini, ikan kepe-kepe yang merupakan kelompok ikan indicator
kesehatan karang hadir dalam jumlah yang sangat kecil di beberapa lokasi penelitian Pulau-
Pulau Kangean, yaitu antara 1 sampai 10 jenis. Dari jumlah ini diperoleh Indeks IRDI di
bawah 30 % (Table 4). Ini berarti kondisi kesehatan karang batu di semua stasiun masuk
dalam katagori buruk. Buruk dalam arti keragaman karang batu yang rendah dan atau
persentasi tutupan karang batu yang rendah.
4.1.4. Ikan sebagai sumberdaya yang bernilai ekonomis
Tujuan penilaian sumberdaya selalu melibatkan identifikasi perubahan-perubahan
dalam kontek ongkos dan keuntungan karena perubahan-perubahan berkenaan dengan
dampak lingkungan. Penilaian sumberdaya adalah suatu pengembangan dari analisis �cost &
benefit�. Ini berhubungan dengan konsep nilai yang berhubungan dengan apa yang
seseorang ingin bayar untuk barang dan jasa. Dalam kontek lingkungan alam, pertanyaan
yang paling relevan untuk penilaian sumberdaya adalah bagaimana perubahan-perubahan
dalam kepuasan masyarakat atau kesejahteraan yang disebabkan dari perubahan-perubahan
dalam kualitas lingkungan. Pertanyaan mendasar yang paling umum digunakan dalam
pendekatan penilaian sumberdaya adalah �keuntungan ekonomis dan kehilangan apa saja
yang disebabkan dari perubahan-perubahan kualitas lingkungan?� (Briones, 1999).
Dalam interaksi perdagangan ternyata banyak pengalaman yang dapat diperoleh
bahwa sekecil apapun atau seburuk apapun rupa ikan ternyata memiliki nilai ekonomis, baik
itu ikan pangan maupun ikan hias. Dalam kontek interaksi manusia dengan alam,
keuntungan hakiki yang didapat dari ikan sebagai sumberdaya perairan karang bukan
terletak pada ketersediaan protein hewani dan tingginya harga jual tetapi lebih menjurus
pada bagaimana pengelolaan sumberdaya itu dapat memelihara atau mempertahankan
tingginya persentasi dari ikan-ikan yang bernilai ekonomis dalam suatu perairan karang. Ini
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
44
hanya akan didapat jika pengguna-pengguna mau sedikit menghargai dan memelihara
dengan baik habitat-habitat ikan tersebut.
Data tentang status ekonomi ikan-ikan karang sangat berarti bagi pengelolaannya,
setidaknya dapat menimbulkan rangsangan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penetapan
regulasinya. Ratio dari berbagai tingkat penilaian ekonomi (Tabel 4) juga dapat menjadi
petunjuk tentang nilai dan kualitas dari ekosistem karang. Ini juga merupakan atribut yang
baik untuk GIS.
Dalam hubungannya dengan sumberdaya ikan karang, hasil temuan survei ini
menunjukkan bahwa seluruh lokasi perairan karang Pulau-Pulau Kangean didominasi oleh
ikan-ikan yang bernilai ekonomis rendah (berkisar antara 63 % sampai 75 %). Sementara
ratio penilaian yang relatif bisa dikatakan normal untuk komunitas ikan karang adalah
seperti yang diperlihatkan pada stasiun 3 (bernilai ekonomis rendah 63 %, bernilai ekonomis
sedang 20,4 % dan bernilai ekonomis tinggi 16,7 %). Seperti telah disebutkan di atas,
banyak jenis ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi dan sedang absen dari pengamatan di
wilayah transek. Diasumsikan bahwa hal ini disebabkan oleh rusaknya habitat ikan. Jadi
kemunduran mutu lingkungan sangat berpengaruh pada nilai sumberdaya ikan karang.
Sebagaimana hal ini juga diakui oleh beberapa pengusaha perikanan setempat. Nampak
bahwa mereka tidak merasa puas dengan kondisi mutu lingkungan saat ini.
Keuntungan jangka pendek yang diperoleh saat ini dari perairan karang tidak berarti
apa-apa jika �return cost�nya diikuti oleh kerusakan terumbu karang. Sebagai contoh,
analisis ekonomi oleh Soede dan Pet (2000) menunjukkan besarnya kerugian bersih
penangkapan ikan dengan peledak setelah 20 tahun sebesar US$ 306.800 per km2 untuk
terumbu karang yang memiliki potensi wisata tinggi, dan perlindungan pantai sebesar US$
33.900 per km2 terumbu karang untuk daerah yang potensinya rendah.
Saat ini, pengelolaan terumbu karang dan mangrove cenderung untuk keuntungan
yang berfihak pada kepentingan manusia dan bukan pada ekosistem karang dan mangrove
itu sendiri, walaupun efek dari pengelolaan atas sumberdaya tersebut tidak dapat dianggap
untuk memperoleh keuntungan semata-mata. Pengelolaan seperti ini lebih terarah pada
pendekatan yang lebih terorganisir pada masalah-masalah produksi dari pada penurunan
mutu lingkungan dan konservasi. Pengelolaan ini terfokus pada kuantitas dari produk
sumberdaya, dimana pada kenyataannya bahwa tujuan dari perikanan komersil dan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
45
kehutanan adalah untuk memperoleh produksi yang sebesar-besarnya tanpa
memperhitungkan input dari faktor lain, seperti environmental cost. Keseimbangan yang
serasi antara pemanfaatan dan proktesi diharapkan dapat memperkecil beban lingkungan
tersebut, sehingga pada akhirnya akan dicapai kesinambungan pemanfaatan.
4.2. Pemetaan Ikan Karang
Sebenarnya sangat sulit untuk memetakan sebaran dari ikan karang yang ada di
perairan. Tetapi dengan korelasi antara tutupan karang dengan jenis dan kelimpahan ikan
dapat diprediksi area sebaran ikan karang di Kepulauan Kangean dan Madura.
Ikan karang merupakan ikan yang menetap, dalam arti kata tidak seperti ikan pelagis
yang mencari makan sampai ke tempat jauh dan selalu bergerak sesuai dengan musim, arus,
dan suhu air laut. Dengan adanya sifat ikan karang yang mancari makan dan hidup hanya
disekitar terumbu karang tersebut, maka sebaran dari ikan karang dapat diprediksi
keberadaannya. Hanya sulitnya, untuk mengetahui jenis maupun kelimpahan ikan karang
tersebut tetap harus melakukan survei lapang langsung di dalam air atau melakukan
penyelaman. Titik sampel yang diperlukan dengan penyelaman, untuk mengetahui jenis dan
polulasi ikan karang di seluruh wilayah Madura dan kangean cukup banyak. Hal ini cukup
sulit dilakukan, sehubungan dengan waktu yang diperlukan untuk melakukan penyelaman
cukup memakan waktu dan tenaga, sehingga dengan waktu yang terbatas maka wilayah
yang di teliti atau digunakan sebagai titik sampel sangat sedikit.
Terbatasnya titik sampel yang diteliti menyebabkan kondisi ikan karang yang ada di
seluruh perairan Madura dan Kangean hanya dapat diprediksi secara umum saja. Hanya
pada wilayah penelitian/titik sampel saja yang dapat secara rinci diketahui jenis dan
populasinya, sedangkan pada wilayah lainnya berdasarkan prediksi dan kemungkinan saja,
sesuai dengan citra Landsat yang digunakan untuk membantu mendekteksi sebaran terumbu
karang di Kangean dan Madura.
Jika melihat korelasi antara kelimpahan ikan karang, jumlah ikan major, ikan target
dan ikan indikator dengan kondisi perairan kurang begitu berkorelasi karena kondisi air di
perairan Kangean tersebut termasuk baik. Sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa
perbedaan jumlah dan kelimpahan ikan di Kangean tersebut dipengaruhi oleh campur tangan
manusia, yaitu dengan cara merusak habitat (terumbu karang) tempat ikan karang tersebut
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
46
hidup, serta penangkapan ikan karang dengan cara yang kurang ramah lingkungan. Beberapa
kerusakan karang di wilayah Kangean diantaranya diakibatkan oleh adanya pengeboman
terumbu karang dan peracunan perairan, yang menyebabkan ikan menjadi mabuk dan
mudah untuk diambil, tetapi pengambilan dengan cara ini menyebabkan rusaknya terumbu
karang, tempat dimana ikan karang tersebut hidup dan berkembang biak. Dari 23 lembar
pemetaan terumbu karang dan ikan karang tersebut, maka wilayah yang memiliki terumbu
karang terdiri dari 11 lembar (NLP) yang dapat dilihat pada tabel 5. Adapun wilayah
penelitian atau pengambilan sampel dapat dilihat pada peta survei lapang di belakang. Pada
peta ini dapat dilihat lokasi titik pengambilan sampel yang disertai oleh data perairan, foto
dan video yang menggambarkan keadaan atau kondisi terumbu dan ikan karang tiap titik
sampel, dan dikemas dalam album terpisah.
Pada lampiran pemetaan sebaran ikan karang di belakang dapat dilihat hasil prediksi
yang dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa titik sampel di wilayah
Kangean.
Tabel 5. Sebaran dan LuasTerumbu Karang Skala 1:50.000 Nomor Lembar / NLP Luas (Ha) %
1 Tamberu (NLP 1609-22) 3639.48 6.85 2 Ambuten (NLP 1609-31) 64.78 0.12 3 Kwanyar (NLP 1608-02) 6689.75 12.59 4 Kalowang (NLP 1708-01) 10586.04 19.93 5 Pulau Guwaguwa (NLP 1708-05) 2864.74 5.39 6 Kangean (NLP 1708-06) 65.29 0.12 7 Kangean (NLP 1708-07) 6219.57 11.71 8 Kangean (NLP 1709-01) 176.60 0.33 9 Kayuwaru (NLP 1709-02) 704.88 1.33 10 Pulau Sepanjang (NLP 1808-01) 19287.50 36.31 11 Sampang (NLP 1608-04) 2827.62 5.32
Jumlah 53126.25 100.00 Sumber : Hasil interpretasi Citra Landsat ETM 7 tahun 2002 � 2003, dan digitasi tahun 2003
Pada tabel di bawah (tabel 6) dapat dilihat kondisi air di wilayah penelitian di
beberapa perairan yang berdekatan dengan pulau-pulau sekitar Kepulauan Kangean.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
47
Beberapa parameter yang di ukur dengan peralatan Water Checker dan Seechi disk
diantaranya yaitu : Kecerahan air laut, Ph (keasaman air), Conductivity (penghantar listrik),
Turbidity (kekeruhan), Disolve Oksigen (kelarutan oksigen dalam air), Temperatur, dan
Salinitas (kandungan garam dalam air).
Adapun Titik sampel wilayah penelitian, yang terdiri dari 3 sheet peta skala 1:50.000
dapat dilihat pada gambar/peta nomor 3, sampai nomor 5. di bawah ini.yaitu sheet 1708-07,
sheet 1709-01 dan 1808-01.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
48
Tab
el 6
. DA
FTA
R T
ITIK
SA
MPE
L PE
NEL
ITIA
N IK
AN
KA
RA
NG
DA
N T
ERU
MB
U K
AR
AN
G D
I KEP
. KA
NG
EAN
N
O.
STA
SIU
N
POSI
SI
AIR
W
AK
TU
K
ET
ER
AN
GA
N
K
ecer
ahan
Ph
C
ondu
ct
Tur
b.
DO
T
emp.
Sa
lin.
1.
P. K
eriti
ng
S 0
60 57�
27
,2��
E
1150 2
6� 0
9��
Seec
hi 7
m
4.54
52
.7
10
6.66
28
.9
3.48
25
Juni
200
3 Pk
. 12.
58
P. K
eriti
ng td
k ad
a pe
nghu
ni (m
onye
t) P.
Kan
gean
foto
22
, Tim
e 16
.40
P. S
abun
ten
Foto
23
, 24.
P. S
aur
Foto
25.
2.
P.
Sau
r �
P. S
epan
gkur
S
070 0
3� 0
1��
E 11
50 38�
13�
� K
edal
aman
± 3
m
5.71
53
.1
10
6.48
28
.2
1.51
26
Juni
200
3 Pk
. 09.
51
Air
Jern
ih, k
ondi
si
cuac
a ce
rah
P.
Sau
r �
P. S
epan
gkur
S
070 0
3� 0
3��
E 11
50 38�
22�
� Se
echi
11
m
26 Ju
ni 2
003
Pk. 1
2.53
3.
Pete
rnak
anm
utia
ra M
axim
a P.
Pal
iat
S
070 0
0�
41.7
��
E 11
50 40�
23�
�
6.
75
52.8
10
6.
58
28.8
5.
51
26 Ju
ni 2
003
Pk. 1
4.59
Fo
to 3
3 - 3
6
4 P.
Sita
bok
S 0
60 57�
38
.0��
E
1150 4
2�
17.8
��
Seec
hi 7
.5 m
6.
62
10
6.
56
28.2
3.
53
27 Ju
ni 2
003
Pk. 0
8.53
A
ntar
a P.
Pal
iat
dan
P.Sa
lera
ngan
S
060 5
7�
39.5
��
E 11
50 42�
17
.9��
27
Juni
200
3 Pk
. 10.
48
5.
P. M
ambu
rit
S 0
60 50�
03
.6��
E
1150 1
2�
38.0
��
Seec
hi 9
m (s
udah
sa
mpa
i das
ar)
8.94
53
.9
10
6.60
28
.0
3.57
28
Juni
200
3 Pk
. 08.
53
Kon
disi
cor
al
keru
saka
n <5
0%
6.
P.
Kan
gean
Sebe
lah
Uta
ra
pela
buha
n (a
ntar
a m
ercu
suar
�
pela
buha
n)
S 0
60 49�
55
.7��
E
1150 1
3�
41.0
��
7.
5 53
.0
10
6.70
28
.3
3.51
28
Juni
200
3 Pk
. 11.
33
Kon
disi
cor
al ru
sak
>80%
Pe
nguk
uran
Ph
dng
lakm
us
Sum
ber :
Has
il pe
nelit
ian
Tim
Inve
ntar
isas
i Sum
berd
aya
Alam
Lau
t BAK
OSU
RTAN
AL, 2
003
In
vent
aris
asi D
ata
Das
ar S
urve
i Sum
berd
aya
Alam
Pes
isir
dan
Lau
t � S
umbe
rday
a Ik
an K
aran
g
49
Gam
bar
3. T
itik
Sam
pel W
ilaya
h Pe
nelit
ian
Skal
a 1:
50.0
00 sh
eet 1
708-
07
Inve
ntar
isas
i Dat
a D
asar
Sur
vei S
umbe
rday
a Al
am P
esis
ir d
an L
aut �
Sum
berd
aya
Ikan
Kar
ang
50
Gam
bar
4.
Titi
k Sa
mpe
l Wila
yah
Pene
litia
n Sk
ala
1:50
.000
shee
t 170
9-01
In
vent
aris
asi D
ata
Das
ar S
urve
i Sum
berd
aya
Alam
Pes
isir
dan
Lau
t � S
umbe
rday
a Ik
an K
aran
g
51
Gam
bar
5.
Titi
k Sa
mpe
l Wila
yah
Pene
litia
n Sk
ala
1:50
.000
shee
t 180
8-01
Inve
ntar
isas
i Dat
a D
asar
Sur
vei S
umbe
rday
a Al
am P
esis
ir d
an L
aut �
Sum
berd
aya
Ikan
Kar
ang
52
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN • Kesimpulan : 1. Keanekaragaman jenis ikan karang di Pulau-pukau Kangean tergolong katagori sedang
dengan kisaran jenis antara 52 sampai 112. Indeks keanekaragaman terendah (2,94)
dijumpai di Pulau Keriting dan Pulau Sapangkur dan tertinggi (3,68) ditemukan di Pulau
Paliat bagian Selatan.
2. Keseimbangan populasi ikan karang dalam komunitasnya cukup stabil (E = 0,68 sampai
0,79) dan tidak ada tanda-tanda adanya ledakan satu atau lebih populasi atau dengan kata
lain tidak ada dominasi yang menonjol di antara populasi (D = 0,04 sampai 0,09).
3. Sumberdaya perikanan karang di wilayah ini masuk dalam kategori rendah jika
dibandingkan dengan Wilayah Timur Indonesia. Banyak jenis ikan karang yang
memiliki nilai ekonomis tinggi tidak ditemukan (absen), baik itu menyangkut ikan target
maupun ikan hias. Sementara potensi ikan hias tidak cukup menjanjikan pengembangan
usaha pemanfaatannya, karena disamping kurang jenisnya, habitatnya telah banyak yang
rusak.
4. Indek keanekaragaman ikan indikator (IRDI index) menunjukan bahwa kondisi
kesehatan dan keragaman karang adalah buruk pada semua lokasi transek.
5. Sebaran jenis ikan karang yang berkorelasi dengan sebaran terumbu karang masih sulit
dilakukan dengan citra. Perkiraan sebaran jenis ikan masih mengacu pada penelitian
survei langsung dengan penyelaman, dan hanya pada wilayah yang tidak terlalu besar.
• S a r a n :
1. Perlu adanya pencanangan dan pelembagaan sistem pengelolaan sumberdaya alam
laut berbasis masyarakat.
2. Pengawasan, proteksi, dan usaha-usaha konservasi sumberdaya alam laut hendaknya
menjadi bagian terpenting dari program partisipasi masyarakat di samping program
peningkatan pemanfaatannya.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
53
3. Zona pemanfaatan dan konservasi sumberdaya sudah semestinya ditata sejak dini.
4. Hentikan penangkapan ikan yang merusak
5. Kembangkan wisata laut yang berkelanjutan
6. Kembangkan pemetaan, pemantauan, dan jaringan kerja informasi terumbu karang
guna mendukung pengelolaan yang baik.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
54
DAFTAR PUSTAKA Achituv, Y. and Z. Dubinsky. 1990. Evolution and Zoogeography of Coral Reefs. In: Coral
Reefs. Ecosystem of the world 25. Z. Dubinsky (Ed.), Elsevier, Amsterdam, pp. 1 � 9.
Babcock, R. and P. Davis. 1991. Effects of sedimentation on settlement of Acropora
millepora. Coral Reefs 9:205-208. Barnes, R.S.K. 1974. Estuarine Biology. In : Studies in Biology. No. 49. Edward Arnold
Ltd. (pbl) London, 76 pp. Butler, M.J.A., M.C. Mouchot, V. Barole, C. LE Blanc. 1988. The Application of Remote
Sensing Technology to Marine Fisheries: An Introductory Manual. FAO Fisheries Technical Paper No.295. FAO. Rome.
Brown, B.E. and L.S. Howard. 1985. Assessing the effects of stress on reef corals. Adv.
Mar. Biol. 22:1-63. Briones, N.D. 1999. Economic valuation of environmental impacts. Lecture Notes for ENS
211. School of Environmental Science and Management, UPLB, Los Banos, Philippines.
Chalker, B.E., W.C. Dunlap and P.L. Jokiel. 1986. Ligh and coral. Oceanus 29:22-23. Coles, S.L., P.L. Jokiel and C.R. Lewis. 1976. Thermal tolerance in tropical versus
subtropical Pacific reef corals. Pacific Science 30: 159-166. Chou, L.M., 1998. Status of Southeast Asian Coral Reefs. In: Status of Coral Reefs of the
World: 1998. C. Wilkinson (Ed). Sida � Australian Institute of Marine Science � ICLARM Publ., Quensland, Australia.
Copper, P. 1994. Ancient reef ecosystem expansion and collapse. Coral Reefs 13: 3 � 11. Dartnal, A. J.. and M. Jones. 1986. A Manual of Survey Method for Living Resources in
Coastal Area. ASEAN-Australia Cooperative Program in Marine Science. Australian Institute of Marine Science.
Dollar, S.J. 1982, Wave stress and coral community structure in Hawaii. Coral Reefs 1:71-
81. Dunlap, W.C. and B.E. Chalker. 1986. Identification and quantitation of near-UV absorbing
compounds (S-320) in a hermatypic scleratinian. Coral Reefs 5: 155-160.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
55
Edrus, I.N., A.R. Syam dan La Sui. 1992. Potensi, Pemanfaatan dan Prospek Pengembangan Perikanan Karang di Kepulauan Banda, Maluku Tengah, dalam hubungannya dengan Kepariwisataan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 74: 32 � 39.
Edrus, I.N. dan A.R. Syam. 1998. Sebaran Ikan Hias Suku Chaetodontidae di Perairan
Karang Pulau Ambon dan Peranannya dalam Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Jurnal Penenlitian Perikanan Indonesia Vol. IV (3) : 1 � 10.
Effendy, M. 2003. Banyak potensi yang hilang sia-sia. Wawancara wartawan Harian Jawa
Post � Radar Madura, Senin 30 Juni 2003, dengan Ketua Pusat Studi Perikanan dan Kelautan Universitas Trunojoyo.
English, S., C. Wilkinson and V. Baker.1994. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia. Fahmi. 2001. Tingkah laku reproduksi pada ikan. Oseana, Vol. XXVI (1): 17 � 24. Falkowski, P.G., P.L. Jokiel and R.A. Kinzie III. 1990. Irradiance and Corals. In: Coral
Reefs: Ecosystem of the world 25. Z. Dubinski (Ed.). Ellsevier, Amsterdam. Pp. 89-107.
Folk, R.L., 1980. Petrology of Sedimentary Rocks. Hemphill Publishing Company, Austin,
Texas 78703. Fucik, K.W., T.J. Bright, and K.S. Goodman. 1984. Measurements of Damage, Recovery,
and Rehabilitation of Coral Reefs Exposed to Oil. In: Restoration of Habitats Impacted by Oil Spills. J. Cairns, Jr. and A.L. Buikema, Jr. (Eds). Butterworth Publishers, Boston.
Gomez, E.D. and H.T. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef Management
Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 171.
Glynn, P.W. 1993. Coral reef bleaching: ecological perspective. Coral reefs 12: 1-18. Grassle, J.F., P. Laserre, A.D. McIntyre and G.C. Ray. 1990. Marine Biodiversity and
Ecosystem Function. Biology International 23, 19 p.HEALD, E.J. and W.E ODUM. 1972. The Contribution of Mangrove Swamps to Florida Fisheries. Gulf and Carib. Fish Inst. Proc. 22nd. Ann. Sess : 130 -135.
Hutomo, M. 1986b. Methods of Samplings Coral Reef Fish. Training Course in Coral Reef
Research Methods and Management. SEAMEO � BIOTROP, No. 2. Bogor. Hal 37-53.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
56
. 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metoda Pengkajiannya. Dalam: Materi Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. P30-LIPI Jakarta.
. 1995. Pengantar Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya.
P3O-LIPI. Jakarta. Hobbs, R.J. and D.A. Norton. 1996. �Commentary: Towards a conceptual framework for
restoration Ecology�. Restoration Ecology 4 (2): 93 � 110. Jennings, S. and N.V.C. Polunin. 1996. �Impacts of fishing on tropical reef ecosystems�.
AMBIO 25 (1): 44-49. Jokiel, P.L. and R.H. York Jr. 1982. Solar ultraviolet photobiology of reef coral Pocillopora
damicornis and symbiotic zooxanthellae. Bull. Mar. Sci. 32:301-315. Jokiel, P.L. and S.J. Coles. 1990. Response of Hawaiian and other Indo-Pacific reef corals to
elevated temperature. Coral reefs 8: 155-162. Kenchington, R.A. 1984. Scientific investigations for planning. In: Coral Reef Management
Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta. P. 53.
Kleypas, J.A. 1007. Modeled estimates of global reef habitat and carbonate production since
the last glacial maximum. Paleoceanography 12: 533 � 545. Kuiter, R.H. 1992. Tropical Reef-Fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent
Waters. Gramedia, Jakarta. Lieske, E. and R. Myers. 1997. Reef Fishes of the World. Periplus Edition. Jakarta,
Indonesia. Licuanan, W.Y. and A.R.F. Montebon. 1991. An evaluation of minimum life-form transect
lengths for classification studies. In: Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Water Areas, A.C. Alcala (Ed), 30 January � 1 February 1989, Marine Science Institute, Univ. of the Philippines, Manila, Philippines.
Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra.
Terjemahan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Ludwig, J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and
Computing. Jhon Wiley & Son, New York. 337 p. Mackay, K.T. 1994. �Butterfly fishes of the family Chaetodontidae at Hila reef. Ambon,
Maluku, Indonesia�. Fakultas Perikanan Universitas Pattimura (Unpublished).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
57
Manthachitra, V., S. Sudara and S. Satumanapatpan. 1991. Chaetodon octofasciatus as indicator species for reef condition. In: Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Water Areas, A.C. Alcala (Ed), 30 January � 1 February 1989, Marine Science Institute, Univ. of the Philippines, Manila, Philippines
McManus, J.W. and A.S. Cabanban. 1992. Coral reef recruitment studies in Southeast Asia:
background and implications. Proc. Workshop on coral and fish recruitment, Report No. 7, ASEAN-Australian Living Coastal Resources Project, 1-8 June 1992, Bolinao Marine Lab. Bolinao, Pangasinan, Philippines. p 7-17.
Moosa, M.K., 1995. �Coral Reef Rehabilitation and Management Project (COREMAP)�. A
Paper presented in the Mataram Marine Communication Forum, Mataram, Indonesia, August 18 � 23, 1995 (in press).
Muscatine, L. and J.W. Porter. 1977. Reef corals : mutualistic symbioses adapted to
nutrient-poor enviroments. Bioscience 27: 454-459. Nash, S.V. 1989. Reef Diversity Index Survey Method for Non Sspecialist. Tropical Coastal
Area Management Vol. 4 (3): 14 � 17. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan Muhammad
Eidman, Koesoebiono, Dietriech G. B., Malikusworo Hutomo dan Sukristijono). Penerbit PT Gramedia. Jakarta.
Odum, E.P. 1975. Fundamental of Ecology. E.B. Sounders Co., Philadelphia, 574 pp. Reese, E. 1977. Coevolution of Coral and Coral Feeding Fishes of Family Chaetodontidae.
Proceeding of the third International Coral Reef Symposium 1:267-274. Reese, E. 1981. �Predation on corals by fishes of the family Chaetodontidae: implication
for conservation and management of coral reef ecosystem�. Bulletin of Marine Science 31 (3): 594-604.
Rinkevich, A.A. and Y. Loya. 1977. Harmful effects of chronic oil pollution on a Red Sea
scleractinian coral population. In: Proceeding of the Third International Coral Reef Symposium, Vol. II: Geology, D.L. Taylor (Ed), Miami: Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Science.
Salm, R.V. and R.A. Kenchington, 1988. The Need for Management. In: Coral Reef
Management Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 9.
Smith S.V. and R.W. Buddemeier. 1992. Global change and coral reef ecosystems. Ann Rev.
Ecol. Syst. 23:89-118.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
58
Soede, L.P. and M.V. Erdmann. 1998. �Blast fishing in Southwest Sulawesi, Indonesia�. Naga, the ICLARM Quarterly, April-June 1998: 4-9.
Soede, L.P. , H.S.J. Cesar, J.S. Pet. 2000. Economic issues related to blast fishing on
Indonesian coral reefs. Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol. 3 (2): 33 �40. Subani, W. 1987. Kerusakan ekosistem perairan pantai dan dampaknya terhadap
sumberdaya perikanan di pantai selatan Bali Barat, Timur Lobok dan Teluk Jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 42.
Tandipayuk, L.S. dan Hartati. t.t. Interaksi antara ikan dengan lingkungan biotik. Makalah
pada Pelatihan Ekologi Perikanan di Universitas Hasanudin Ujung Pandang. (Unpublished).
Vivien, H.M.L. and Y.B. Navarro. 1983. �Feeding diets and significance of coral feeding
among chaetodontidae fishes in Moorea (French Polynesia)�. Coral Reefs 2:119-127.
White, A.T. 1987. Coral Reefs, Valuable Resources of Southeast Asia. ICLARM Education
Series 1. Manila, Philippines. Wilkinson, C. 1998. Executive Summery. In: Status of Coral Reefs of the World: 1998. C.
Wilkinson (Ed). GCRMN Global Coral Reef Monitoring Network: SIDA-AIMS � ICLARM, Australian Institute of Marine Science, Cape Ferguson, Queensland, Australia.
Wilkinson, C.R. and R.W. Buddemeier. 1994. Global Climate Change and Coral Reefs:
Implications for People and Reefs. Report of the UNEP-IOC-ASPEI-IUCN Global Task Team on the Implication of Climate Change on Coral Reefs. IUCN Publications Service Unit, Cambridge, 124 pp.
Wilkinson, C.R. and E, Evans. 1989. Sponge distribution across Davies Reef, Great Barrier
Reef, relative to location, depth and water movement. Coral Reefs 8: 1-7.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
59
LAMPIRAN A
PETUNJUK PENGHITUNGAN INDEKS KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG BERDASARKAN APLIKASI MICROSOFT EXCEL
(Ludwig and Reynold, 1988) Tabel Simulasi lembar kerja/worksheet aktif dari Microsoft Excel : A B C D E F G H
1 Data ikan Stasiun 1 2 Luas area transek: 700 m2 3 Jenis-jenis ni ni*(ni-1) (ni/n)*Ln(ni/n) 4 5 Taeniura lymma 2 2 -0.00734292 6 Sargocentron rubrum 16 240 -0.04087491 7 Anyperodon leucogrammicus 4 12 -0.0131968 8 Scolopsis ciliata 100 9900 -0.15704813 9 Scolopsis margaritifer 100 9900 -0.15704813
10 Plectorhyncus chatodonnoides 2 2 -0.00734292 11 Plectorhyncus gaterinoides 2 2 -0.00734292 12 Apogon aureus 1000 999000 -0.33386207 13 Apogon compressus 50 2450 -0.09713704 14 Apogon fuscus 20 380 -0.04869682 15 Sphaeramia nematoptera 60 3540 -0.11068943 16 Lutjanus decussatus 60 3540 -0.11068943 17 Scarus bleekeri 60 3540 -0.11068943 18 Scarus dimidiatus 20 380 -0.04869682 19 Scarus ghoban 20 380 -0.04869682 20 Scarus rivulatus 250 62250 -0.26959527 21 Scarus tricolor 1 0 -0.00404372 22 Siganus puellus 30 870 -0.0665125 23 Siganus virgatus 20 380 -0.04869682 24 Siganus vulpinus 25 600 -0.05787501 25 Zebrasoma scopas 10 90 -0.02807101 26 Zanclus cornutus 10 90 -0.02807101 27 28 Total : 1862 1097548 -1.80221994 29 30 Jumlah jenis (S) : 22 (N*(N-1) = 3465182 31 Kepadatan (Ind./m2) : 2.66 32 1) Richness Index, Margalef: R1 = ( S - 1 ) / ln ( n ) = 2.789064466 33 2) Menhinick Index: R2 = S / V n = 0.509838752 34 3) Diversity: Simpson Index: λ = Σ ( ni ( ni-1 )) / (n ( n-1)) = 0.316736033 35 4) Shannon Index: H = - Σ [ ( ni / n ) ln ( ni / n ) ] = 1.802219939 36 5) Hill's diversitry Number: N1 = eH = 6.063092231 37 6) N2 = 1 / λ = 3.157203147 38 7) Evenness Index: E1 = (ln N1)/ln (No) = 0.583046 39 8) E2 = (N1 / No ) = 0.275595101 40 9) E3 = (N1 - 1) / (No - 1) = 0.230140556 41 10) E4 = (N2 / N1) = 0.520724909 42 11) E5 = (N2 - 1) / (N1 - 1) = 0.426064359 43
Prosedur:
1. Isi sel F5 s/d F26 dengan jumlah individu ikan sesuai dengan jenisnya (data hasil transek). 2. Ketik pada sel F28 : =SUM(F5:F26), selanjutnya akan didapat Total indivudu 1862. 3. Ketik pada sel G5 : =F5*(F5 � 1), selanjutnya akan diperoleh nilai 2. Kemudian copy sel G5 tsb
untuk semua sel dibawahnya sampai sel G26. Semua nilai hitungnya akan muncul secara otomatis. 4. Ketik pada sel G28 : =SUM(G5:G26), selanjutnya akan didapat Total ni*(ni-1) = 1097548.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
60
5. Ketik pada sel H5 : =F5($F$28)*LN(F5/$F$28), selanjutnya akan didapat nilai -0.00734292. Kemudian copy sel H5 tsb untuk semua sel dibawahnya sampai sel H26.
6. Ketik pada sel H28 : =SUM(H5:H26), selanjutnya akan didapat Total (ni/n)*Ln(ni/n) = -1.80221994 7. Ketik pada sel E30 :=COUNT(F5:F26), selanjutnya akan didapat jumlah jenis (S) = 22. 8. Ketik pada sel E31 : =F28/C2, selanjutnya akan didapat nilai kepadatan individual/m2 = 2,66. 9. Ketik pada sel H30 : =(F28)*(F28-1), selanjutnya akan didapat N*(N-1) = 3465182. 10. Ketik pada sel H32 : =((E30)-1)/LN(F28), selanjutnya akan didapat indeks R1 = 2.789064466. 11. Ketik pada sel H33 : =E30/SQRT(F28), selanjutnya akan didapat indeks R2 = 0.509838752. 12. Ketik pada sel H34 : =G28/H30, selanjutnya akan didapat indeks Simpson = 0.316736033. 13. Ketik pada sel H35 : =(H28)*-1, selanjutnya akan didapat indeks H = 1.802219939. 14. Ketik pada sel H36 : =EXP(H28), selanjutnya akan didapat N1 = 6.063092231. 15. Ketik pada sel H37 : =1/H34, selanjutnya akan didapat N2 = 3.157203147. 16. Ketik pada sel H38 : =LN(H36)/LN(E30), selanjutnya akan didapat E1 = 0.583046. 17. Ketik pada sel H39 : =H36/E30, selanjutnya akan didapat E2 = 0.275595101. 18. Ketik pada sel H40 : =(H36-1)/E30, selanjutnya akan didapat E3 = 0.230140556. 19. Ketik pada sel H41 : =H37/H36, selanjutnya akan didapat E4 = 0.520724909. 20. Ketik pada sel H42 : =(H37-1)/(H36-1), selanjutnya akan didapat E5 = 0.426064359.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
61
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
62
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
63
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
64
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
65
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
66
Lampiran C
DAFTAR PETA skala 1 : 50.000
NO NAMA LEMBAR NOMOR LEMBAR
1. Gresik 1608 � 01 2. Kwannyar 1608 - 02 3. Pasuruan 1608 � 03 4. Sampang 1608 � 04 5. Probolinggo 1608 � 05 6. Pamekasan 1608 - 06 7. Besuki 1608 � 07 8. Sumenep 1608 - 08 9. Panarukan 1608 - 09 10. Klampis 1609 - 12 11. Tanjung Bumi 1609 - 21 12. Tamberu 1609 - 22 13. Ambuten 1609 - 31 14. Gapura 1609 - 32 15. Kalowang 1708 - 01 16. Kangean 1708 - 02 17. Pulau Raas 1708 - 03 18. Pulau Guwa - Guma 1708 - 05 19. Kangean 1708 - 06 20. Kangean 1708 - 07 21. Dungkek 1709 - 11 22. Kangean 1709 - 02 23. Pulau Sepanjang 1808 - 01
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Ikan Karang
67