Inventarisasi biota kangean
-
Upload
linda-novitas -
Category
Documents
-
view
191 -
download
6
Transcript of Inventarisasi biota kangean
ISBN: 979-3149-47-7
INVENTARISASI DATA DASAR SURVEI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT
SUMBERDAYA TERUMBU KARANG KEPULAUAN KANGEAN - SUMENEP MADURA
JAWA TIMUR
PUSAT SURVEI SUMBERDAYA ALAM LAUT BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL
(BAKOSURTANAL) DESEMBER, 2003
Jl. Raya Jakarta � Bogor Km.46 Cibinong, Jawa Barat 16911 Telp. (021) 8752063, 8759481. Fax. (021) 8759481. Telex : 48305 BAKOST IA � Box 46 � CBI CIBINONG
TIM PENYUSUN INVENTARISASI DATA DASAR SURVEI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT
SUMBERDAYA TERUMBU KARANG KEP. KANGEAN - SUMENEP MADURA JAWA TIMUR
TIM PENGARAH DAN NARA SUMBER Ketua : Dr. Aris Poniman (Deputi Survei Dasar dan Sumberdaya Alam
BAKOSURTANAL)) Anggota : Drs. Suwahyuono, MSc (Kepala Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut
BAKOSURTANAL) Ir. Badrudin, MSc., APU. (BRPL, Departemen Kelautan dan Perikaan) Drs. Suprajaka, MTP (Pemimpinn Proyek INEV-SDAL
BAKOSURTANAL) TIM TEKNIS:
Drs. A.B Suriadi M.A, MSc (KaBid. Inventarisasi Sumberdaya Alam Laut) Drs. Yudi Siswantoro, MSi ( PJTU Inventarisasi Data Dasar SDA Pesisir
dan Laut) TIM PELAKSANA
Ketua (merangkap anggota ) : Drs. Yudi Siswantoro, MSi (PJTU Inventarisasi Data Dasar SDA Pesisir
dan Laut) Anggota : 1. Imam Suprihanto, SSi (Analis Terumbu Karang) 2. Drs. Isa Nagib Edrus, MSc (Analis Ikan Karang) 3. Ir. Hari Suryanto (Analis Tanah) 4. Drs. Turmudi, MSi (Analis Geomorfologi) 5. Yusuf Effendi (Analis, Operator SIG) 6. Masduki (Analis, Operator SIG) 7. Dedy Mukhtar (Analis, Operator SIG) 8. Abdul Jamil (Analis, Operator SIG) 9. Aswelly (Administrasi, Operator SIG)
PENULIS ! Drs. Yudi Siswantoro, M.Si ! Imam Suprihanto, SSi ! Drs. Isa Nagib Edrus, MSc
PENYUNTING ! Drs. Suwahyuono, M.Sc ! Drs. A.B Suriadi M.A, MSc
Desain Sampul : Yudi Siswantoro
KATA PENGANTAR
Ucapan terima kasih dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dengan telah dilaksanakannya Penyusunan Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut untuk tema Sumberdaya Terumbu Karang.
Kegiatan Inventarisasi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut di Sebagian P. Madura dan Kepulauan Kangean merupakan sebagian dari Kegiatan Pusat Survei Sumberdaya Alam di wilayah ALKI II. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan survei terintegrasi dari tiga bidang untuk kegiatan Sumberdaya Pesisir dan Laut yaitu ; Bidang Inventarisasi, Bidang Neraca Sumberdaya Alam, serta Bidang Basisdata yang merupakan uji aplikasi �Pedoman� dari Norma Pedoman Prosedur Standard dan Spesifikasi (NPPSS).
Dari hasil Inventarisasi Sumberdaya Terumbu Karang ini diharapkan diperoleh pengkayaan untuk penyusunan Spesifikasi Teknis, yang merupakan bagian dari NPPSS.
Buku ini disusun atas dukungan penuh dari Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Laut (INEV-SNML) BAKOSURTANAL pada tahun anggaran 2003.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada beberapa pihak, yang telah turut membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan ini yaitu :
1. Pimpinan BAKOSURTANAL, yang telah mempercayakan pelaksanaan serta mendukung kegiatan ini.
2. Pimpinan beserta staf Proyek INEV-SNML BAKOSURTANAL, yang membantu dan mendukung seluruh pembiayaan dari kegiatan ini
3. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur, atas kerjasamanya sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan lancar.
4. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, atas kerjasama dan bantuannya untuk koordinasi dengan instansi di daerah sehingga kegiatan ini dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
5. Instansi sektoral, Tim Penyusun Sektoral, dan Narasumber, atas kerjasama dan bantuannya sehingga pelaksanaan kegiatan ini dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan
6. Seluruh tim pelaksana di BAKOSURTANAL, atas kerjasama dan dukungan penuh sehingga peyusunan kegiatan ini dapat selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan ini.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang i
Penyusun menyadari bahwa pelaksanaan kegiatan dan penyusunan buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu masukan dan kritikan serta saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Cibinong, Desember 2003
Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Kepala,
Drs. Suwahyuono, M.Sc. 370 000 135
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang ii
ABSTRAK
Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut merupakan kegiatan yang sangat diperlukan, dan dibutuhkan guna ketersediaan data bagi perencanaan daerah, terutama wilayah yag sangat komplek, beragam dan saling berkaitan seperti wilayah pesisir dengan laut.
Terumbu Karang merupakan habitat karang yang hidup di suatu wilayah perairan yang spesifik dan memerlukan kondisi tertentu yang harus dipenuhi seperti arus, salinitas, suhu dan Ph serta kecerahan air laut. Dengan semakin meningkatnya eksploitasi terumbu karang dan penangkapan ikan karang, menyebabkan kerusakan lingkungan yang semakin meluas, terutama di wilayah dimana terumbu karang dan ikan karang hidup. Perusakan dan perubahan ekosistem terumbu karang ini dikhawatirkan akan mempengaruhi ekologi wilayah terumbu karang serta pertumbuhan ikan karang, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dan menurunkan asset daerah di bidang perikanan tangkap dan ikan hias, maupun di bidang pariwisata kelautan. Ketersediaan data yang akurat dan up to date, terutama di wilayah habitat terumbu karang yang tersebar luas di wilayah timur Jawa Timur ini sangat diperlukan, guna perencanaan pengembangan wilayah, terutama wilayah yang memiliki potensi sumberdaya terumbu karang agar dapat dipantau dan diawasi perkembangannya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah melaksanakan inventarisasi data dasar sumberdaya alam wilayah pesisir dan laut, terutama sumberdaya Terumbu Karang, yang akan digunakan sebagai data dasar bagi berbagai kepentingan di wilayah pesisir dan laut agar sesuai dengan potensi yang dimiliki. Metodologi yang diterapkan dalam penelitian ini berdasarkan aplikasi inderaja dan SIG, yang
akan menghasilkan peta digital skala 1:250.000 dan skala 1:50.000 dengan tema Terumbu
Karang. Jenis citra yang digunakan yaitu Citra Landsat TM7, dengan dibantu berbagai peta dari
BAKOSURTANAL seperti peta Rupabumi, LPI, LLN dan RePProT dari berbagai skala, serta
survei lapang berupa penyelaman di beberapa titik sampel guna membantu dalam pembuatan
petanya.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i ABSTRAK iii
DAFTAR ISI iv DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi
I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Maksud dan Tujuan 2
1.3. Sasaran 2
1.4. Peralatan 2 1.4.1. Peralatan Pemetaan Digital 3 1.4.2. Peralatan lapagan 3
1.5. Tahapan Kegiatan 4 1.5.1. Persiapan 4 1.5.2. Tahap Pra Lapangan 4 1.5.3. Tahap Kerja Lapang 4 1.5.4. Tahap paska lapangan 5 1.6. Outline Kegiatan 5
II GAMBARAN UMUM TERUMBU KARANG 7 2.1. Terumbu Karang dan Lingkungannya 7 2.2. Status Terumbu Karang Secara Umum 11 2.3. Satus Terumbu Karang di Indonesia 12 2.4. Pemulihan Terumbu karang dan Rehabilitasinya 14 2.5. Pemilihan Organisma Indikator dalam Monitoring Terumbu Karang 16 III METODOLOGI 19 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 19 3.2. Metoda 20 3.2.1. Pengamatan Lingkungan 20
3.2.2. Line Intercept Transect (LIT) 20 3.2.3. Teknik Penajaman Terumbu Karang Menggunakan Alogaritma Lyzenga 21 3.2.5. Pemisahan Daratan dan Perairan (Masking) 23
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang iv
3.3. Alat dan Bahan 25 3.4. Analisa Data 25 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4.1. Kondisi Terumbu Karang 27
4.2. Faktor yang Mempengaruhi Terumbu Karang 32 4.3. Pemetaan Terumbu Karang 34
V KESIMPULAN DAN SARAN 38 DAFTAR PUSTAKA 39 LAMPIRAN 43
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Daftar lifeform dan kodenya masing-masing (dimodifikasi dari Dartnall and Jones, 1986, dalam English et al., 1994).
Tabel 2. Gambaran umum lokasi transek pada setiap stasiun
Tabel 3. Rata-rata persen tutupan bentuk kehidupan bentik pada terumbu karang Pulau-Pulau Kangean, Sumenep Madura, menurut stasiun penelitian
Tabel 4. Jenis dan jumlah koloni karang yang ditemukan sepanjang Line Intercept Transects (LIT) menurut letak stasiun di perairan terumbu karang Pulau-pulau Kangean, Sumenep Madura.
Tabel 5. Faktor-faktor yang mungkin berpengaruh terhadap terumbu karang � kehidupan, pertumbuhan dan keberlangsungan hidup � baik pengaruh positif maupun negatif, menurut letak stasiun
Tabel 6. Sebaran dan LuasTerumbu Karang Skala 1:50.000
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Wilayah penelitian inventarisasi sumberdaya ikan karang
Gambar 2. Citra Hasil Algoritma Lyzenga
Gambar 3. Diagram Alir Pengolahan Citra dengan Algoritma Lyzenga Gambar 4. Bagan Alir Inventarisasi dan Pemetaan Terumbukarang
Gambar 5. Persentasi tutupan bentuk kehidupan bentik terumbu karang menurut letak stasiun
Gambar 6. Peta Sebaran Terumbu Karang Hasil Interpretasi Citra ETM 7
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang vi
INVENTARISASI SUMBERDAYA TERUMBU KARANG
DI KEPULAUAN KANGEAN,
SUMENEP MADURA � JAWA TIMUR
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Madura tercatat sebagai salah satu kawasan yang mempunyai potensi kelautan
cukup besar. Empat aspek potensi kelautan yang dimilikinya mencakup ekonomi, ekologi,
pertahanan keamanan, pendidikan dan riset. Namun demikian, selama ini potensi tersebut
nyaris tidak dikelola dengan baik. Hal ini sebagai akibat dari belum adanya pengelolaan
yang baik, terutama terhadap masalah makro struktural kelautan. Yakni lemahnya sistem
hukum dan kelembagaan kelautan dan ekonomi makro yang belum kondusif serta
lemahnya koordinasi antara unsur terkait. Menurut Effendy (2003), belum terkelolanya
potensi kelautan adalah akibat kurangnya informasi yang masuk ke pemerintah tentang
kelautan serta belum adanya kemampuan dan keinginan untuk menggali. Padahal, selama
ini banyak potensi yang hilang sia-sia. Bahkan lingkungan lautpun menjadi rusak sebagai
akibat dari upaya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, rusaknya terumbu
karang, penebangan mangrove, dan penambangan karang. Salah satu alternatif untuk
mendukung pemerintah dalam usaha pengelolaan potensi itu adalah berusaha untuk
menggali dan menyajikan informasi yang tepat mengenai potensi zona-zona pesisir dan
pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau Kangean yang terletak di wilayah administratif kabupaten Sumenep,
Madura, menyimpan aneka potensi pesisir dan kelautan. Tiga ekosistem utama, seperti
terumbu karang, padang lamun, dan mangrove, terdapat dan menghampar luas di wilayah
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 1
tersebut. Penelitian ini, sebagai bagian dari beberapa aspek, lebih terfokus pada ekosistem
terumbu karang.
Ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas primer dan keanekaragman
hayati yang tinggi dan sebanding dengan hutan hujan tropis (McAllister, 1988). Tetapi
karang (reefs) sangat sensitif terhadap berbagai gangguan fisik dan kimia serta dapat mati
akibat tekanan alam dan manusia dari kejadian baik lokal maupun global (Cooper, 1994).
Telah diakui bahwa tidak sedikit masyarakat yang hidup di sekitar perairan karang
menaruh harapan dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya hayati
yang dikandung ekosistem ini. Karena itu ekosistem terumbu karang sangat rentan
terhadap gangguan dan sekaligus mempunyai arti penting bagi kehidupan sosial, ekonomi,
budaya yang di dalamnya juga termasuk arti penting dalam hal proteksi. Kecuali itu,
ekosistem ini memberikan akses ruang usaha, estetika, makanan, dan pendapatan.
Terumbu karang ini juga menyumbangkan 20 � 30 % produksi perikanan (MacManus dan
Cabanban, 1992; Wilkinson dan Buddemeier, 1994; Russ dan Alcala, 1996).
1.2. Maksud danTujuan
Maksud kegiatan ini adalah melakukan inventarisasi dan pemetaan terumbu karang
di P. Madura - Kepulauan Kangean, sedangkan tujuan utamanya adalah untuk menguji
coba penerapan Pedoman Inventarisasi dan pemetaan terumbu karang yang telah disusun.
Tujuan lain dari kegiatan ini yaitu menyediakan data dasar sumberdaya alam pesisir dan
laut.
1.3. Sasaran
Sasaran dari penelitian ini adalah :
- Diketahuinya sebaran terumbu karang melalui Interpretasi citra
- Survei lapang terinegrasi untuk mengecek hasil interpretasi dan identifikasi
kondisi terumbu karang secara �in situ�
- Sebagai masukan perbaikan Pedoman inventarisasi
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 2
1.4. Peralatan
1.4.1. Peralatan Pemetaan Digital
Peralatan pemetaan digital untuk kegiatan ini berupa Software dan peralatan
hardware. Software yang digunakan untuk analisis citra yaitu :
1. Software ER Mapper 5.5, digunakan untuk menganalisa citra Landsat ETM-7,
untuk melihat kenampakan wilayah atau tutupan terumbu karang yang ada.
2. Arc info dan Arc View, digunakan untuk proses digitasi sampai pembuatan
format kartografi guna plotting atau cetak ke hard copy.
1.4.2. Peralatan Lapangan
Dalam mempersiapkan pengambilan data terumbu karang di perairan Kepulauan
Kangean diperlukan bahan dan peralatan pendukung yang antara lain :
a. Peralatan,
- SCUBA Equipment (Tabung selam, Bouyancy Conpensator Device/BCD,
Regulator, Fins, Booties, Masker dan snorkel, Wetsuits, Timah pemberat)
- High Pressure Compressor
- Kapal Motor berukuran sedang (7 ton)
- Underwater Camera photo dan Underwater Camera video
- Alat tulis bawah air
- Roll meter, untuk transek di bawah air
- Buku identifikasi karang dan ikan karang
- Tas sampel
- Sechi disk
- Water Checker
- Current meter
b. Bahan,
- Film negatif, video film, Alkohol, formalin, Gasoline/Bensin
Selain peralatan di atas, untuk kelancaran dan memudahkan kegiatan diperlukan
alat transportasi kendaraan darat seperti mobil dan motor
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 3
1.5. Tahapan Kegiatan
Kegiatan untuk penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus
dilaksanakan, tahapan tersebut diantaranya meliputi :
1.5.1. Persiapan
Sebelum pelaksanaan kegiatan diperlukan persiapan-persiapan agar kegiatan ini
dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan maksud/tujuan kegiatan. Pada tahap ini
dilakukan pra survei di wilayah yang akan diteliti, yang dilaksanakan oleh ketua tim
disertai oleh penanggung jawab kegiatan.
Adapun persiapan yang diperlukan diantaranya adalah persiapan administrasi
berupa perijinan untuk melakukan kegiatan dan pemetaan terumbu karang, rute dan jadwal
kapal, transportasi menuju wilayah kegiatan / penelitian, serta literatur pendukung. Pada
tahap ini ditentukan kapan waktu pelaksanaan kerja lapang yang sebaiknya dilaksanakan,
karena dalam pelaksanaan survei ini dilakukan di laut/perairan yang sangat tergantung
oleh cuaca.
1.5.2. Tahap Pra Lapangan
Pada tahap ini dilakukan interpretasi citra wilayah penelitian, citra yang digunakan
yaitu citra Landsat ETM-7. Dengan diketahuinya habitat terumbu karang dapat diperoleh
gambaran sementara wilayah penelitian dan daerah mana yang perlu di survei lapang atau
diambil sampelnya untuk acuan atau guidence bagi wilayah lainnya yang serupa, sehingga
untuk identifikasi data di lapangan tidak perlu dilakukan pada seluruh wilayah penelitian.
Selain interpretasi citra dilakukan pula penentuan rute atau jalan yang akan dilalui
guna kelancaran kegiatan, base camp, serta peralatan dan kendaraan yang akan digunakan.
1.5.3. Tahap Kerja Lapang
Pelaksanaan kerja lapang dilakukan setelah semua kegiatan persiapan selesai
dilaksanakan. Pada tahap ini tiga bahan yang paling penting untuk kelengkapan survei
lapangan adalah:
! Peta tentative yang akan di cek (di lapangan)
! Peta Rupabumi untuk memandu perjalanan lapangan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 4
! Citra Inderaja hasil interpretasi (hard-copy) yang akan digunakan untuk cek
lapang.
Pada tahap kerja lapang yang perlu dilakukan diantaranya :
a. Pembuatan Titik Sampel Lapangan
b. Penentuan stasiun pengamatan (pengambilan contoh/pengamatan in situ)
c. Prosedur pengamatan (pengambilan contoh)
1.5.4. Tahap Paska Lapangan
Setelah melaksanakan survei lapang perlu tahap paska lapangan yang terdiri dari:
# re-interpretasi guna mengetahui dan memperbaiki kesalahan hasil interpretasi
awal, sehingga diperoleh hasil sesuai dengan kenyataan pada titik sample di
lapang.
# Digitasi peta tematik berdasarkan hasil re-interpretasi yang telah diperbaiki
# Analisa hasil
1.6. Outline Penulisan Hasil Kegiatan
Hasil kegiatan ini disusun menjadi lima bab, yaitu:
Bab 1. Pendahuluan
Menjelaskan latar belakang kegiatan Inventarisasi Data Dasar Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut untuk sumberdaya terumbu karang di sebagian P. Madura dan kepulauan
Kangean, maksud dan tujuan, kerangka konseptual, sasaran daerah penelitian beserta
ruang lingkupnya. Tujuan dari Bab ini adalah agar dapat memahami latar belakang dan
tujuan dari kegiatan ini.
Bab 2. Gambaran Umum Terumbu karang dan Ikan Karang
Berisi gambaran umum tentang terumbu karang dan ikan karang yang saling
berkaitan. Dengan memberikan gambaran umum tentang hubungan antara ikan karang dan
terumbu karang ini diharapkan pembaca dapat memahami keterkaitan antara berbagai
faktor fisik dengan kondisi terumbu karang di pesisir wilayah Madura � Kangean, Jawa
Timur.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 5
Bab 3. Metoda
Bab ini menerangkan data dan peralatan beserta metode yang digunakan untuk
kegiatan ini. Metode pemetaan terumbu karang dijelaskan tahap demi tahap, beserta bagan
alirnya. Dengan memaparkan metodologi dari kegiatan ini, diharapkan pembaca dapat
memahami bagaimana peta ini dibuat, spesifikasi yang digunakan untuk pembatasan
pemetaan sumberdaya terumbu karang serta sumber data yang digunakan.
Bab 4. Hasil dan Pembahasan
Bab ini menyajikan penjelasan tentang hasil akhir Peta Sumberdaya Terumbu
Karang wilayah pesisir beserta analisanya. Analisa Peta Sumberdaya Terumbu Karang
mencakup penyebaran terumbu karang, jenis, dan jumlah koloni karang di wilayah
penelitian.
Bab 5. Kesimpulan dan Saran
Bab ini menyajikan pokok-pokok kesimpulan dari rangkaian pemetaan Terumbu
Karang di wilayah pesisir Madura dan Kangean serta beberapa saran untuk penelitian dan
pengembangan lebih lanjut.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 6
BAB II
GAMBARAN UMUM TERUMBU KARANG
2.1. Terumbu karang dan lingkungannya
Terumbu karang adalah suatu ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati
laut dan produktivias yang tinggi dan merupakan sumberdaya yang bernilai ekonomis bagi
orang-orang yang tinggal di sekitarnya dan sering pula sebagai sumber utama untuk ruang
hidup, makanan, dan pendapatan bagi mereka yang tinggal dekat terumbu karang
(Wilkinson and Buddemeier, 1994; Grassle et al. 1990).
Terumbu karang terbentuk dalam batasan-batasan yang terdifinisikan dengan baik
dari lingkungan fisik. Karang ditemukan di daerah tropis dan subtrofis pada kedalaman
kurang dari 100 meter. Batimetri, suhu, cahaya, sifat-sifat air, arus laut dan sejarah
perubahan-perubahan pada permukaan laut semuanya memberikan andil dalam
menentukan distribusi, komposisi dan keragaman dari ekosistem terumbu karang (Achituv
and Dubinsky, 1990; Kleypas, 1997, as cited by Lough, 1998).
Komunitas terumbu karang hidup tumbuh secara kontinyu melampaui struktur
komposit kalsium karbonat dari karang sebelumnya dan membangun karang batu serta
ganggang coralline, seperti seperti Halimeda (ganggang hijau) dan Lithothamnion
(ganggang merah). Coral dan ganggang ini membangun sejumlah besar unsur kalsium
karbonat dalam skeleton-skeletonnya (rangkanya), dan ini adalah bahan-bahan yang
membentuk struktur geologis dari terumbu karang. Penumpukkan yang kontinyu membuat
suatu karang tumbuh dan selalu mempertahankan posisi tumbuhnya terhadap kenaikan
permukaan laut. Koral pembangun karang semuanya bergabung dalam membentuk satu
sifat penting. Sel-sel ganggang mikroskopik (Zooxanthellae) yang bersimbiose dengan
koral dapat hidup dalam jaringan karang dan menyediakan dengan banyak sekali
kebutuhan-kebutuhan makanan bagi koral melalui kemampuannya dalam fotosintesa.
Hubungan simbiotik ini dapat dibayangkan sebagai suatu mikrokosmos dalam komunitas
karang, di mana ganggang yang mampu bersimbiotik menyediakan bahan orgaik yang
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 7
membentuk basis dari rantai makanan dalam komunitas (Wilkinson and Buddemeier,
1994).
Terumbu karang adalah ekosistem yang dinamis dan terintegrasi dengan bahan
penyusun mineral yang disumbangkan oleh hewan dan tanaman. Karena adanya unsur-
unsur seperti ini terumbu karang menjadi suatu ekosistem dengan keragaman dan
kompleksitas yang tinggi. Kondisi seputar lingkungan yang ada juga dapat membuat
terumbu karang menjadi rapuh dan cepat rusak, karena karang tumbuh dengan baik
didekat permukaan air laut yang hangat dan dekat dengan batas-batas daratan. Karenanya
perubahan-perubahan dalam kondisi lingkungan di laut, udara atau daratan yang
berinteraksi dengan laut memungkinkan untuk mempengaruhi kehidupan ekosistem
karang. (Smith and Buddemeier, 1992; Wilkinson and Buddemeier, 1994).
Menurut Wilkinson and Buddemeier (1994), pertumbuhan dan fungsi terumbu
karang adalah terbaik di bawah kondisi umum seperti di bawah ini:
1 Suhu air dalam kisaran optimum antara 23 � 30 °C;
2 Iradiasi matahari konstan, laut yang jernih di lintang tropis.
3 Tingkat sedimentasi yang rendah;
4 Rendahnya konsentrasi unsur nutrien organik dan inorganik;
5 Kisaran salinits antara 25 sampai 40 ppt; dan
6 Terlindung dari tingkat radiasi UV-B yang berlebihan.
Sementara, faktor-faktor lingkungan kunci yang memainkan peranan dalam
mengontrol kesehatan terumbu karang dapat dijelaskan sebagai berikut :
# Cahaya
Cahaya adalah penting untuk perawatan dan pertumbuhan karang keras dan
sebagian besar jenis-jenis lain yang hidup dalam ekosistem terumbu karang, dan terutama
sekali untuk kepentingan produksi primer yang mendukung keseluruhan komponen
ekosistem. Tetapi, tidak semua cahaya/sinar menguntungkan. Pada umumnya, radiasi
matahari yang tak tampak seperti ultraviolet adalah merugikan bagi organisma hidup.
Menurut panjang gelombang dari radiasi matahari yang tak tampak, sinar tersebut dibagi
menjadi tiga band ultraviolet, yakni UV-C (200-280nm); UV-B (280-320nm) and UV-A
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 8
(320-400nm). Sinar UV-B dan sinar dengan panjang gelombang yang terpendek dari UV-
A dapat merusak DNA secara fisikologis. Sementara UV secara potensial memiliki daya
perusak yang besar, tetapi UV tidak dapat melewati lapisan atmosfir (Wilkinson and
Buddemeier, 1994).
Komunitas karang terbatas keberadaannya pada perairan dangkal, karena ganggang
simbiotik membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesa. Kebutuhan dan adaptasi sinar
pada koral seperti untuk kepentingan memelihara laju maksimum dari pengkapuran dan
fotosintesa adalah dapat dipertahankan hingga di bawah kedalaman 20 meter dalam
kondisi perairan bersih (Falkowski et al., 1990).
Penetrasi cahaya matahari di badan air dapat dihambat oleh tingkat turbiditas,
sehingga laju sidementasi yang tinggi dapat berpengaruh buruk pada koral dan karang,
diantaranya adalah menurunnya kecepatan tumbuh dan menghambat pembentukan koloni-
koloni baru (Brown and Howard, 1985; Babcock and Davies, 1991; Wilkinson and
Buddemeier, 1994). Sebaliknya, perairan yang jernih dapat memberikan kesempatan
untuk penetrasi sinar ultraviolet (UV-B), sehingga terumbu karang lebih terbuka terhadap
radiasi yang mempunyai pengaruh buruk pada organisma karang (Jokiel and York, 1982).
Tetapi, koral dan kebanyakan dari fauna karang di perairan dangkal telah mengembangkan
suatu mekanisma baik untuk memblok atau menghindar dari radiasi UV yang merugikan
dengan cara menghasilkan bahan-bahan yang dapat menyerap UV, yang mungkin
disintesa oleh simbion-simbionnya atau akumulasi biologis melalui rantai makanan. Jadi,
ganggang simbiotik menolong untuk melindungi hewan hospes terhadap pengaruh-
pengaruh yang merugikan dari radiasi UV, seperti menyediakan makanan (Chalker et al.,
1986; Dunlap and Chalker, 1986). Gangguan potensial yang berhubungan dengan
peningkatan radiasi UV salah satunya disebabkan oleh penurunan lapisan ozon. Jika
terjadi gangguan UV menunjukkan perimbangan antara kerusakan DNA dan mekanisma
perbaikan alami saling bergantian menghadapi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki serta
konsekuensi pengurangan komunitas plankton dan pengurangan dalam kelangsungan
hidup larva (Jokiel and York, 1982).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 9
# Gerakan Air
Gerakan air, termasuk ombak, adalah faktor penting yang menentukan zonasi
karang, morfologi karang, dan distribusi kedalaman terumbu karang, ganggang, dan fauna
karang yang lain (Wilkinson and Evans, 1989). Badai biasanya membentuk kendali tidak
tetap dan terputus-putus dalam masa yang panjang terhadap struktur perkembangan
komunitas karang dengan jalan memangkas habis dan atau mengganti substrat sehingga
akan tumbuh koloni baru. Badai, ombak, dan arus adalah juga kekuatan-kekuatan yang
menyebabkan sedimentasi dan transpor nutrien, yang akan membentuk garis pantai
dengan jalan penumpukan dan erosi (Wilkinson and Buddemeier, 1994).
# Salinitas
Tingkat optimum salinitas untuk komunitas karang kira-kira 35 ppt, tetapi karang dapat
bertahan hidup di atas kisaran salinitas antara 25 sampai 42 ppt, di mana kehilangan
organisme akan terjadi dengan cepat pada tingkat salinitas yang lebih tinggi. Sebaliknya
salinitas dengan konsentrasi yang tetap di bawah 20 ppt untuk waktu lebih dari 24 jam
menyebabkan kematian pada koral dan sebagian besar fauna karang yang lain, sehingga
kejadian kematian lebih cepat dapat terjadi pada tingkat salinitas yang terendah (Smith
and Buddemeier, 1992).
# Nutrien
Hubungan antara tingkat nutrien inorganik (nitrat, fosfat) dan terumbu karang agak
bersifat paradox. Koral membutuhkan sangat sedikit suplay nutrien karena koral
mempunyai mekanisme internal yang efektif untuk mendaur ulang nutrien antara coral
sebagai inang (hewan) dan zooxantella (tanaman) sebagai simbion (Muscatine and Porter,
1977). Organisme karang lainnya yang mempunyai kemampuan fotosintesis juga biasa
hidup dan tumbuh pada konsentrasi nutrien yang rendah. Komunitas terumbu karang dapat
terpengaruh secara buruk oleh tingkat nutrien yang tinggi dan akhirnya mengalami
degradasi kehidupan. Hal ini terjadi karena meningkatnya turbiditas perairan dari sebab
plankton, meningkatnya bioerosi, rekruitmen koral gangang filamen, briozoa, dan teritip.
Jadi kelebihan nutrien (eutrofikasi) tidak selalu membawa pengaruh yang baik untuk
terumbu karang (Wilkinson and Buddemeier, 1994).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 10
# S u h u
Pertumbuhan terumbu karang yang intensif terbatas pada lingkungan perairan
hangat (tropis dan subtropis). Banyak ahli menemukan bahwa garis isotermal tahunan
rata-rata 20°C atau garis isotermal pada wilayah dingin 18-°C yang bersamaan dengan
garis lintang yang tinggi membatasi pertumbuhan terumbu karang. Tetapi, pengertian dari
respon koral terhadap suhu sulit dijelaskan secara tepat karena adanya perbedaan antar
jenis dan perbedaan di dalam jenis sendiri serta kuatnya pengaruh dari adaptasi jenis lokal
(Coles et al., 1976; Smith and Buddemeier, 1992). Peningkatan suhu pada tempat yang
terbatas yang hanya sedikit di atas rata-rata suhu maksimum setempat dapat membawa
kematian pada banyak koral (Jokiel and Coles, 1990), dan bahkan kenaikkan yang
terkecilpun dapat menyebabkan pemutihan (bleaching) pada koral (Glynn, 1993). Ketika
terumbu karang berhadapan dengan perubahan suhu lingkungan yang terjadi dengan cepat,
koral lebih peka terhadap proses pemanasan dari pada pendinginan, dan banyak yang
menampakan kehidupan di dekat batas atas suhu yang mematikan (Jokiel and Coles,
1990).
# Kondisi Kejenuhan
Kondisi kejenuhan kalsium karbonat adalah satu variabel yang menampakan
pengaruh dari laju pembentukan kalsium pada sebagian kecil koral dan ganggang, tetapi
sedikit sekali diketahui hubungannya dengan efek keseluruhannya terhadap formasi
karang. Kondisi kejenuhan menghimpun semua pertimbangan tentang pengaruh-pengaruh
suhu atas biogeografi, karena ada suatu korelasi yang sangat kuat antara tingkat kejenuhan
aragonida yang tinggi dengan suhu air yang tinggi. Hal ini sekarang menjadi pokok
perhatian para ahli karena pengaruh penambahan karbon dioksida pada atmosfir akan
mengurangi kejenuhan kalsium karbonat dari permukaan laut, yang pada akhirnya dapat
mengurangi terjadinya kalsifikasi pada sebagian kecil organisme (Smith and Buddemeier,
1992; Wilkinson and Buddemeier, 1994).
2.2. Status Terumbu karang secara umum
Terumbu karang sangat sensitif pada gangguan-gangguan dan dapat mati oleh
tekanan dari kejadian-kejadian yang bersifat lokal atau global. Tanda-tanda dalam catatan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 11
fosil, sebagai terlihat dalam suksesi karbonat lintas kontinen seperti menurunnya
keragaman hayati dan hilangnya taksa karang yang merupakan bagian penting dari
terumbu karang, dsb, adalah sama baik untuk tingkat kejadian-kejadian wilayah atau
global (Cooper, 1994). Sementara, dipandang dari keterbukaan pemanfaatan terumbu
karang oleh umum, terumbu karang mengalami ekploitasi secara intensif dan degradasi
habitat yang disebabkan oleh sebagian besar kegiatan manusia (McManus and Cabanban,
1992), khususnya kegiatan penangkapan ikan yang merusak seperti penangkapan dengan
bahan peledak yang membawa dampak buruk langsung pada ekosistem terumbu karang
(Jennings and Polunin, 1996; Soede and Erdmann, 1998).
Pada awal tahun 1990an, peringatan dini telah diberikan di semua wilayah bahwa
terumbu karang di dunia dalam kondisi masalah yang serius, di mana degradasi skala
besar terjadi di Afrika Timur, Asia Selatan dan Tenggara, bagian wilayah Pasifik, dan
lintas Karibia (Wilkinson, 1998).
2.3. Status Terumbu Karang di Indonesia
Sejak tahun 1990an, kerusakan terumbu karang dan usaha-usaha pelestariannya
telah menjadi pokok bahasan dalam kebijakan lingkungan hidup baik di tingkat nasional
maupun internasional (Moosa, 1996). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
tekanan alam dan manusia yang menyebabkan penurunan persentasi tutupan karang telah
terjadi di Indonesia. Badai tropis telah menimbulkan sedikit pengaruh buruh pada terumbu
karang di Indonesia, tetapi gejolak lautan dan aliran air tawar ke laut yang terjadi akibat
pergantian dua musim setiap tahun sangat menentukan pertumbuhan karang di beberapa
lokasi.
Peristiwa El Niño pada tahun1983 menyebabkan peningkatan suhu air laut di laut
Jawa dan kematian koral sampai 90% sebagai akibat pemutihan (bleaching) di beberapa
lokasi perairan karang pulau-pulau Seribu Teluk Jakarta. Lima tahun kemudian hanya
separuhnya dari karang batu yang rusak dapat pulih kembali. Sementara, kira-kira 75 % -
100 % kasus pemutihan karang, di mana katagori 25 % tutupan karang batu pada saat itu,
terjadi di sekitar Taman Nasional Bali Barat, dan juga terlihat pada perairan karang
Tulamben (Bali bagian Timur), sehingga yang nampak hidup hanya karang lunak (soft
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 12
coral) yang terpisah-terpisah letaknya. Juga ada sedikit kasus pemutihan karang pada
Nusa Penida dan Nusa Lembongan, Bali. Banyak anemon sampai kedalaman 36 m di
Tulamben Bali terkena pemutihan, tetapi lainnya pada kedalaman 44 m kelihatan normal
(Chou, 1998; Wilkinson, 1998). Kecuali itu, umumnya karang di bagian Barat Indonesia
telah mengalami tekanan yang berlebih akibat kegiatan manusia dibanding karang yang
ada di wilayah Timur Indonesia. Pada tahun 1998, berdasarkan pada persentasi tutupan
karang batu yang diukur pada 190 lokasi transek menunjukkan bahwa 41,6 % adalah
buruk, 31,6 % sedang, 24,3 % baik dan 26 % sangat baik (Chou, 1998).
Kesadaran yang meningkat akan pentingnya perlindungan ekosistem perairan telah
melahirkan program besar skala nasional, yakni Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan
Sumberdaya Terumbu Karang yang diimplementasikan di lima provinsi. Proyek ini
didukung oleh pinjaman lunak dari World Bank, JICA, AusAid and Global Environment
Facility. Proyek ini mengembangkan sistem rehabilitasi dan pengelolaan berbasis
masyarakat yang tujuannya antara lain adalah pemanfaatan sumberdaya karang yang
berkelanjutan dan menyelamatkan karang dari kerusakan dan kesehatan karang yang
menurun secara perlahan-lahan (Moosa, 1996 ; Chou, 1998). Pendekatan partisipasi
penting untuk laksanakan dengan berbagai strategi oleh daerah-daerah tertentu. Adalah
sangat penting suatu program rehabilitasi yang terdiri dari tehnik-tehnik yang tepat
memiliki kemampuan untuk memperbaiki secara efektif. Sistem yang mengalami
penurunan mutu menjadi beberapa kondisi yang diinginkan melalui percepatan perubahan
biotik atau proses suksesi (Luken, 1993, as cited by Hobbs and Norton, 1996).
Banyak cara pengelolaan karang yang berjalan baik di daerah dan beberapa Area
Perlindungan Laut (APL) telah dibangun di Asia Tenggara. Kira-kira 10 % dari 106 APL
yang dibentuk di beberapa negara ASEAN telah dikelola dengan efektif. Tetapi, selalu ada
koordinasi dan komunikasi yang buruk antara badan pemerintah yang mengatur bagian-
bagian wilayah pantai yang berbeda, dan konflik-konflik yang terjadi mempengaruhi
usaha-usaha konservasi dan perlindungan. Untuk alasan itu, ada suatu kebutuhan untuk
meningkatkan komitmen politik untuk memelihara sumberdaya terumbu karang di Asia
Tenggara. Akhir-akhir ini pengelolaan berbasis masyarakat telah menunjukkan wilayah-
wilayah keberhasilan, khususnya dalam penerapkan satu kisaran model yang berbeda,
contohnya adalah Filipina dan Thailand. Chou (1998) menekankan bahwa pengelolaan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 13
masyarakat atas area-area setempat menyediakan motivasi yang terbaik untuk mengelola
sumberdaya yang banyak dibutuhkan masyarakat, dan juga menghasilkan kendali-kendali
yang efektif atas kegiatan-kegiatan yang merusak, sementara ko-manajemen antara badan
pemerintah, masyarakat setempat, dan organisasi non-pemerintah lebih efektif jika
diterapkan untuk area yang luas.
2.4. Pemulihan Terumbu Karang dan Rehabilitasinya
Endean (1977, dalam Fucik et al, 1984) menyatakan bahwa pulihnya kondisi
ekosistem karang dengan sempurna dari kondisi rusak adalah tidak mudah didifinisikan
atau diukur, seperti mudahnya mengukur kerusakannya. Teori menyebutkan bahwa
difinisi pemulihan terumbu karang melibatkan kembalinya jenis-jenis tipikal yang selalu
berasosiasi dengan koral, terbentuknya komponen-komponen penting dari komunitas
karang dalam wilayah geografis tertentu, dan terbentuknya kembali hubungan-hubungan
komplek yang biasa ada di antara jenis-jenis biota karang. Dari sudut pandang yang
praktis mengukur pemulihan terumbu karang mungkin terlampau berdimensi luas. Karena
di antara kebanyakan ekosistem laut yang komplek dalam hubungannya dengan struktur
komunitas dan fungsi ekologis, monitoring semua aspek biologi karang untuk keperluan
mencari bukti pemulihan atau untuk mendifinisikan satu tingkat penyembuhan adalah
sangat sukit.. Tetapi, ada beberapa aspek dari struktur karang dan fungsi yang dapat
digunakan secara logis sebagai petunjuk (indikator) dari satu tingkat pemulihan. Secara
spesifik terumbu karang mempunyai komposisi jenis, kelimpahan, dominasi, reproduksi,
pertambahan koloni, pertumbuhan, dan kematian di antara organisma hermapitik
(contohnya koral dan ganggang koralin). Pemulihan mungkin dapat diukur dengan cara
membandingkan hasil pengamatan kualitatif dan pengukuran kuantitatif terhadap pola-
pola penggunaan indikator ini atas pemulihan karang dengan asumsi bahwa pemulihan
biota koral adalah hasil yang terjadi dari pemulihan seluruh komunitas karang.
Menurut Fucik et al. (1984), pengukuran kepulihan karang adalah rumit, karena
pemulihan terumbu karang cenderung menjadi proses yang membutuhkan periode waktu
yang panjang. Berdasarkan temuan-temuan Endean (1977), periode penyembuhan adalah
berhubungan dengan luasnya area kerusakan yang dapat dilihat dari tutupan karang keras
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 14
(hard corals). Pemulihan pada lokasi kerusakan skala sempit umumnya membutuhkan
waktu kurang dari 10 tahun, yang mana pemulihan terjadi pada bagian-bagian utama dari
sisa-sisa komunitas yang tidak mengalami kerusakan secara penuh dan wilayahnya
memungkinkan untuk pertumbuhan karang. Pemulihan secara penuh terumbu karang yang
mengalami kerusakkan berat membutuhkan 10 sampai 20 tahun, sementara yang
mengalami kerusakan paling buruk dalam skala luas membutuhkan beberapa dekade
untuk kembali seperti kondisi semula. Rinkevich and Loya (1977) menyatakan bahwa
jika sumber-sumber polusi yang menyebabkan kronisnya kesehatan karang hadir dalam
daerah karang yang mengalami kerusakan, maka pemulihan mungkin membutuhkan
waktu yang lebih lama lagi atau bisa saja tidak terjadi pemulihan sama sekali.
Karena pemulihan terumbu karang yang rusak dapat menjadi satu proses yang
berkepanjangan, tujuan utama dari program rehabilitasi apa saja harus dapat mendukung
atau mempercepat pemulihan karang rusak. Proses-proses penting yang harus diperhatikan
untuk merancang suatu program rehabilitasi adalah antara lain:
1. Penempatan kembali larva koral untuk pertumbuhan yang kontinyu dan reproduksi
dari koral-koral yang tersisa dan membentuk koloni-koloni baru pada area yang
rusak (Endean, 1977, in Fucik et al. 1984);
2. Rekolonisasi (lebih dari sekedar regenerasi dari koral-koral yang bertahan hidup)
untuk tujuan pemulihan atas karang-karang yang berfungsi sebagai kontrol (Loya,
1976 in Fucik et al. 1984);
3. Penempatan kembali larva-larva dari terumbu karang sekitar untuk tujuan
pemulihan area karang yang rusak (Shinn, 1976, in Fucik et al. 1984).
4. Transplantasi karang untuk tujuan rehabilitasi terumbu karang yang rusak dalam
kondisi lingkungan yang memungkinkan percepatan pertumbuhan karang
(Maragos, 1974; Shinn, 1976, in Fucik et al. 1984); dan
5. Persiapan substrat, ruang dan sumberdaya untuk rekolonisasi jenis-jenis yang
bergerak dan penempatan kembali larva karang, misalnya persiapan terumbu
karang buatan atau habitat buatan (Randall, 1963, in Fucik et al. 1984).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 15
2.5.Pemilihan Organisma Indikator dalam Monitoring Terumbu Karang
Penggunaan suatu jenis sebagai indikator adalah diukur dari kemampuannya dalam
memperlihatkan tanda-tanda yang dapat diukur oleh pengamat pada waktu sedini
mungkin. Diasumsikan bahwa jika organisma yang dipilih untuk monitoring adalah
merupakan satu kesatuan dari sistem kehidupan karang, tanggapan-tanggapannya harus
cukup mencerminkan adanya proses-proses yang mengancam sistem tersebut secara
keseluruhan, di mana tentu saja juga mempengaruhi berbagai komponen lainnya. Karena
pemulihan terumbu karang yang rusak adalah suatu proses jangka panjang, indikator
pertama yang dapat digunakan untuk mengkaji perubahan-perubahan seiring waktu dalam
tingkat populasi adalah ikan. Kecuali itu, indikator kedua adalah makroalga yang hidup di
dasar, tutupan karang batu, dan keragaman jenis (Gomez and Yap, 1988).
Ikan adalah organisma yang relatif lebih kompleks, di mana banyak aspek
biologinya dan perilakunya dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesesuian
habitatnya. Kehadiran atau ketidakhadiran jenis-jenis tertentu adalah juga petunjuk yang
akurat dalam kasus-kasus tertentu, karena kemampuan ikan dapat berpindah-pindah, ikan
dapat keluar dari wilayah tetapnya untuk memilih habitat-habitat dengan keadaan yang
lebih menyenangkan. Contoh dari calon-calon yang mungkin dijadikan sebagai organisma
indikator adalah jenis-jenis tertentu dari ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), yang adalah
ikan predator karang (Reese, 1981). Ikan-ikan dari suku ini dianggap sebagai ikan
pemakan polyp karang yang berguna untuk memantau pengaruhnya pada terumbu karang
atau sebagai indikator yang sensitif untuk menentukan kondisi kesehatan terumbu karang.
Perubahan-perubahan dalam distribusi dan kelimpahannya dapat menjadi suatu petunjuk
bahwa komunitas karang telah mengalami gangguan atau tekanan (Vivien and Navarro,
1983; Reese, 1977, 1981). Selain itu, mereka dapat berguna dalam mendeteksi beberapa
keadaan pada tingkat yang rendah, dengan polusi yang kronis melampaui periode waktu
yang panjang atau mereka dapat berguna dalam mendeteksi keadaan-keadaan tanpa
gangguan seperti hanya sekadar untuk mengetahui struktur karang (Reese, 1981;
Manthachitra et al., 1991).
Makroalga yang hidup di dasar perairan umumnya menjadi mata rantai pertama
dalam jaring-jaring makanan. Tanaman-tanaman besar yang hidup di dasar pada daerah
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 16
sublittoral (pasang surut) munkin dapat menjadi bukti dari rantai penghubung yang paling
sensitif pada kisaran luas faktor-faktor, seperti suhu, sehingga dapat digunakan sebagai
organisma indikator yang bernilai tinggi. Juga karena mereka mempunyai struktur dan
fisiologi yang sederhana, dan mereka cenderung bersifat oportunis, alga dapat diprogram
secara alami untuk merespon lebih cepat pada fluktuasi-fluktuasi yang terjadi dalam
lingkungannya. Beberapa respon ini, seperti pertumbuhan, kematian dan gejala-gejala
patologi tertentu, adalah tidak sulit untuk diukur (Gomez and Yap, 1988).
Suatu pengkajian kondisi karang harus melibatkan secara menyeluruh yang
sedikitnya beberapa catatan tentang koral itu sendiri. Respon karang adalah tidak mudah
dilihat, dan tidak sebagaimana hal-hal yang mudah diukur pada suatu skala yang
signifikan, sebagaimana hal itu menjadi signifikan bila mengukur ikan atau alga. Tetapi
berbagai tehnik telah dikembangkan yang menggunakan koral sebagai organisma
indikator. Meluasnya tutupan oleh karang dan jenis benthik lainnya pada dasar perairan
karang yang tersedia di tempat itu dan kisaran kehadiran jenis diterima sebagai indikator
yang signifikan dari kondisi kesehatan karang. Umumnya persentasi tutupan karang dan
keragaman jenis yang tinggi menunjukkan kesehatan karang (Gomez and Yap, 1988).
Tehnik yang populer akhir-akhir ini untuk memperkirakan tutupan atau kelimpahan
karang dan fauna karang benthik lainnya adalah menggunakan pendekatan struktur
fisiognomik (benthic life-form). Penelitian benthic lifeforms adalah suatu persyaratan
untuk mengerti lebih baik variasi yang membingungkan dari bentuk jenis-jenis dalam
suatu terumbu karang (English et al., 1994). Penggunaan �lifeform coding� dari biota
karang yang hidup dalam terumbu karang dan komunitas karang di daerah ASEAN (Tabel
1) telah membuka kemungkinan baru untuk memperbandingkan struktur komunitas
karang dalam wilayah masing-masing dan dengan Great Barrier Reef di Australia
(Licuanan and Montebon, 1991).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 17
Tabel 1. Daftar lifeform dan kodenya masing-masing (dimodifikasi dari Dartnall and Jones, 1986, dalam English et al., 1994).
KATEGORI CATEGORY
KODE CODE
KATEGORI CATEGORY
KODE CODE
Karang keras (Hard Corals) Golongan Acropora (Acropora) • Branching • Encrusting • Submassive (digitate) • Tabulate
Golongan bukan Acropora (Non-Acropora)
• Branching • Encrusting • Foliose • Massive • Submassive (digitate) • Musroom • Millepora (fire coral) • Heliopora (Blue coral)
Karang mati (Dead Scleractinia)
• Dead Coral • (with Algal Covering)
ACB ACE ACS ACT
CB CE CF CM CS
CMR CME CHL
DA DCA
Ganggang (Algae) • Macro • Turf • Coralline • Halimeda • Algal Assemblage
Fauna lain (Other Fauna)
• Soft Corals • Sponge • Zoanthids • Others
Golongan bukan hayati (Abiotic)
• Sand • Rubble • Silt • Water • Rock
MA TA CA HA AA
SC SP ZO OT
S R SI
WA RCK
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 18
BAB III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan survey lapang dilaksanakan tanggal 19 Juni s/d 02 Juli 2003 di wilayah
perairan karang Pulau-pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura, di mana secara
geografis terletak pada lintang 06° 50,00� - 07° 20,00� dan bujur 115° 10,00� - 116°
00,00� yang terdiri dari lembar peta/sheet Kangean dan sheet Kayuwaru yaitu
lembar/sheet 1708-06 (Kangean), sheet 1708-07 (Kangean), sheet 1709-01 (Kangean),
sheet 1709-02 (Kayuwaru), dan sheet 1808-01 (P. Sepanjang) yang diperoleh dari Peta
Lingkungan Pantai Indonesia, yang dikeluarkan oleh BAKOSURTANAL dan
DISHIDROS (Gambar 1). Stasiun penelitian dipilih berdasarkan keberadaan terumbu
karang yang berpotensial adanya tekanan kegiatan manusia, tekanan alam, dan jauh dari
gangguan atau wilayah perlindungan (Tabel 2). Pengambilan data dilakukan antara
tanggal 25 s/d 28 Juni 2003.
Sumber : Peta Lingkungan Laut Nasional skala 1:500.000 (BAKOSURTANAL � DISHIDROS)
Gambar 1. Wilayah penelitian inventarisasi sumberdaya terumbu karang
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 19
3.2. Metoda
Survai ini dilakukan dengan pendekatan Pengamatan Lingkungan (on the spot),
Line Intercept Transect (LIT) (English et al., 1994) dan pengamatan dengan metode
remote sensing atau interpretasi citra yang berasal dari citra Landsat ETM-7
3.2.1. Pengamatan Lingkungan
Catatan atau dokumetasi yang menyangkut lingkungan sekitar lokasi penelitian
sama pentingnya dengan data dan informasi kondisi terumbu karang itu sendiri.
Fenomena alam dan kegiatan manusia yang menyangkut kejadian-kejadian signifikan dan
mungkin dapat dihimpun dari masyarakat atau observasi langsung, seperti kejadian-
kejadian alam (El Nino, banjir besar, badai topan), dan serangan bintang laut (Acanthaster
plancii), atau kegiatan-kegiatan masyarakat yang menonjol (sektor pertanian, perikanan,
budidaya laut, transportasi, industri, dan lain-lain) dapat menjadi tanda-tanda dari adanya
tekanan alam dan manusia terhadap terumbu karang yang sedang menjadi objek
penelitian. Sementara catatan tentang jenis ekosistem sekitar dan kondisi kimia fisik
perairan juga menjadi bagian terpenting dari dokumentasi ini. Semua fenomena alam ini
tentu ada yang bersifat (faktor) negatif dan ada juga yang positif bagi keberadaan dan
kelestarian terumbu karang. Jika kerusakan terumbu karang terjadi, hal ini dapat diprediksi
sebagai kerja dari faktor-faktor tersebut, atau sebaliknya. Untuk mendokumentasi
lingkungan ini cukup disediakan daftar (checklist) untuk setiap faktor yang diduga. Jika
dianggap perlu lakukan wawancara semi-struktural dengan informan kunci dan dapat
dilakukan pengukuran-pengukuran on the spot, seperti untuk arus air, pH, salinitas, DO.
Pengambilan film dokumenter dan foto tentu saja akan penyempurnakan proses
dokumentasi tersebut.
3.2.2. Line Intercept Transect (LIT)
Posisi geografis lokasi LIT didokumentasi dengan GPS (Tabel 2). Setiap stasiun
ditaruh atau dipasang 1 LIT dengan posisi kedalaman 5 sampai 12 meter. Panjang LIT
adalah 70 meter. Metoda LIT digunakan untuk mengidentifikasi persentasi tutupan karang
batu dan kategori bentuk kehidupan bentik (Bentic Lifeform). Kategori ini menyediakan
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 20
diskripsi morfologi komunitas karang. Setiap kategori lifeform dicatat pada data sheets
oleh penyelam yang berenang sepanjang pita transek LIT (rol meter). Akurasi pengukuran
1 cm. Metoda tersebut memperkirakan tutupan dari objek atau group sesuai kategorinya
dalam suatu area tententu dengan cara menghitung panjang fraksi (cm) objek yang
dilewati oleh pita transek. Perhitungan fraksi tersebut dilakukan untuk menentukan persen
tutupan benthic lifeform, yang kemudian dikenal sebagai �coral cover� (English et al.,
1994).
3.2.4. Teknik Penajaman Terumbu Karang Menggunakan Algoritma
Lyzenga
Penajaman citra untuk idenifikasi terumbu karang yang merupakan indikator akan
keberadaan ikan karang digunakan untuk memperjelas penampakan obyek yang terdapat
pada citra sehingga dapat diperoleh citra yang lebih informatif. Dalam teknik penajaman
citra khususnya untuk pemetaan sebaran terumbu karang dapat dilakukan dengan metode
Lyzenga. Metode ini dikembangkan oleh Siregar (1995) dan didasarkan pada persamaan
Lyzenga (1978), yaitu �Standard Exponential Attenuation Model�.
Untuk lebih menonjolkan obyek dasar perairan dangkal, Siregar (1995)
mengemukakan bahwa dengan melakukan penggabungan secara logaritma natural dua
sinar tampak yaitu kanal 1 dan kanal 2, maka akan didapat citra baru yang menampakkan
dasar perairan dangkal yang lebih informatif. untuk kemudian dikombinasikan secara
logaritma natural sehingga menghasilkan kanal baru.
Citra yang telah dikenakan algoritma Lyzenga akan tampak seperti Gambar 2 di
bawah ini, dimana daratan akan menjadi hitam sedangkan perairan dangkal terbagi
menjadi beberapa kelas warna. Pembagian warna untuk perairan dangkal menurut
algortima Lyzenga adalah sebagai berikut :
1. Warna merah menunjukkan pasir halus.
2. Oranye menunjukkan lamun/rumput laut.
3. Kuning menunjukkan pasir kasar atau pecahan karang (rubble).
4. Hijau menunjukkan karang mati
5. Cyan menunjukkan karang hidup.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 21
C A
G
I
Gambar 2.
itra Hasil Algoritma Lyzenga
dapun diagram alir penajaman citra menggunakan metode Lyzenga dapat dilihat pada
ambar 3
Data Lapangan Validasi hasil
Interpretasi citra hasil klasifikasi
Klasifikasi nilai pixel
Pemrosesan citra dengan algoritma Y = ln TM-1 + ki/kj . ln TM-2
# Perhitungan nilai ragam TM-1 dan TM-2 # Perhitungan nilai peragaman TM-1 dan TM-2 # Perhitungan nilai a = var TM-1 - TM-2
2 covar TM-1 . TM-2 # Perhitungan ki/kj = a+ √(a2 + 1)
Overlay TM-1 + TM-7
Pemisahan darat dengan laut (masking) Citra Landsat TM-1 dan TM-2
Citra Landsat TM-1 dan TM-2 Citra Landsat TM- 7
Citra Landsat TM-1, TM-2 dan TM-7 Yang telah dikoreksi
Geometrik dan Radiometrik
Gambar 3. Diagram Alir Pengolahan Citra dengan Algoritma Lyzenga
nventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 22
3.2.5. Pemisahan Daratan dan Perairan (Masking)
Pembuatan citra yang memisahkan antara tubuh darat dari tubuh air (laut) atau
sebaliknya, selanjutnya kita namakan masking adalah tahap penting yang perlu
dilaksanakan pada proses pengolahan citra di wilayah pesisir. Pembuatan Masking ini
mempunyai tujuan untuk hanya memperhatikan tubuh air saja atau sebaliknya dari citra
satelit yang memiliki bagian air laut dan bagian daratan.
Pada kegiatan inventarisasi sumberdaya alam seperti terumbu karang atau
mangrove, masking citra dilakukan untuk membuat tubuh air mempunyai nilai pixel nol
sedangkan bagian daratan mempunyai nilai pixelnya sendiri. Pada proses klasifikasi
secara digital misal untuk inventarisasi mangrove, proses masking sangat perlu
dilaksanakan. Maksudnya agar pixel dari tubuh air tidak mempengaruhi proses
klasifikasi.
Tahapan proses masking adalah sebagai berikut:
! Pembuatan peta segmen dari citra tersebut dengan cara mendigitasi garis
pantainya. Untuk proses ini, dapat menggunakan single band misal band 3 atau
band 4 dari Landsat TM atau dengan multi band/ color composite band 542 untuk
mendigitasi garis pantai
! Proses vektorisasi yaitu merubah data segmen menjadi data polygon. Untuk
proses ini kadang diperlukan peta point
! Proses rasterisasi untuk mentransfer data polygon ke bentuk raster
! Proses kalkulasi pada software (map calculation), yaitu kita menandakan nilai
zero untuk bagian laut dan nilai pixel itu sendiri untuk bagian yang akan dianalisis
yaitu bagian daratan. Proses ini dilakukan untuk setiap band satu persatu.
Contoh map calculation untuk pembuatan masking, misal untuk band 4
Land4=iff((darat=1),band4,0)
Dimana,
• Darat adalah peta raster yang dihasilkan dari peta segmen setelah di vektorisasi dan di rasterisasi. Pada peta raster darat telah ditandai bagian darat dengan angka 1 dan bagian laut dengan angka 2.
• Band4 adalah band 4 dari citra yang telah terkoreksi • Land4 adalah citra hasil masking yang hanya menampilkan nilai pixel hanya bagian
darat untuk band 4
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 23
Adapun bagan alir inventarisasi dan pemetaan terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini
TERUMBU KARANG
EKSTRAKSI INFORMASI
TERUMBUKARANG
Scanning
Foto Udara/ Foto udara format kecil
CETAK KERTAS
LAY-OUT
PETA AKHIR SEBARAN
DIGITASI
LAY-OUT DAN CETAK KERTAS
EKSTRAKSI LAYER PETA KERJA
REINTERPRETASI
CEK LAPANGAN
LAY-OUT
INTERPRETASI VISUAL
TERUMBUKARANG
CITRA TERKOREKSI
Peta RBI (skala Kabupaten/Kota)
skala 1:25.000 - skala 1:10 000
Citra Satelit
BUAT COLOR COMPOSIT
SELEKSI KANAL(BAND)/mozaik
untuk FU
Koreksi Geometrik
Gambar 4. Bagan Alir Inventarisasi dan Pemetaan Terumbukarang
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 24
3.3. Alat dan Bahan Dalam mempersiapkan pengambilan data terumbu karang di perairan Kepulauan
Kangean diperlukan bahan dan peralatan pendukung yang antara lain :
c. Peralatan,
- SCUBA Equipment ( Tabung selam, Bouyancy Conpensator Device/BCD,
Regulator, Fins, Booties, Masker dan snorkel, Wetsuits, Timah pemberat)
- High Pressure Compressor
- Kapal Motor berukuran sedang ( sekitar 7 ton)
- Underwater Camera photo dan Underwater Camera video
- Alat tulis bawah air, Roll meter untuk transek di bawah air
- Buku identifikasi karang dan ikan karang
- Tas sample, untuk penyimpanan sampel
- Sechi disk, untuk mengukur kecerahan air laut
- Water Checker, untuk mengukur Ph, Salinitas, Suhu, kandungan oksigen,
dsb
- Current meter, untuk mengukur arus laut
- GPS, untuk pengukuran koordinat titik kontrol guna mengetahui posisi
titik sample atau posisi lokasi pembuatan training area di lapangan
d. Bahan,
- Film negatif, video film, Alkohol, formalin, Gasoline/Bensin
3.3. Analisa Data
Analisa persen tutupan benthic lifeform tersebut menggunakan Lifeform Software
Program berdasarkan standar UNEP yang berlaku untuk ASEAN-Australia. Contoh
aplikasi dapat dilihat pada Lampiran A (Rahmat dan Yosephine, 2001).
Kondisi karang batu (hard coral) mengacu pada kriteria kesehatan karang yang
diukur menurut kategori persentase tutupan karang seperti sangat baik (excellent) >75 %;
baik (good) <75% - >50%; Sedang (Fair) <50 - >25%; dan buruk (poor) <25% (Chou,
1998).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 25
Tabel 2. Gambaran umum lokasi transek pada setiap stasiun
Stasiun (Station)
Posisi Geografis Transek
(Geographical Position of the
Transects)
Dasar Perairan dan Persentasi Tutupan
Karang (Sea Bottom &
Percent Cover of Corals)
Jarak Pandang
Horizontal (Body Water
Visibility)
Arus Air (Water
Current)
Nama Lokasi
(Study site)
1 S 6° 57� 27,2� E 115° 26� 09�
Reef slope, pasir, rubble 56.90 %
Baik (10 m) Sedang
P. Keriting Tanpa penduduk
Wilayah konservasi
2 S 7° 03� 06� E 115° 38� 14,4�
Reef slope, pasir, rubble 17.10 %
Baik (10 m) Sedang P. Sapangkur besar
Berpenduduk
3 S 7° 00� 41,7� E 115° 40� 23�
Reef slope, pasir, rubble 27.17 %
Baik (10 m) Sedang
P. Paliat Berpenduduk,
Wilayah budidaya mutiara
4 S 6° 57� 38,8� E 115° 42� 17,13�
Reef slope, pasir, rubble 18.07 %
baik (10 m) Sedang
P. Stabok Berpenduduk Area Wisata
5 S 6° 50� 03,6� E 115° 12� 38�
Fringing reef, pasir, rubble 22.47 %
Sangat baik (> 20 m) Sedang
P. Maburit Bependuduk
Area transportasi
6 S 6° 49� 55,7� E 115° 13� 41�
Fringing reef, pasir, rubble 11.40 %
baik (> 10 m) Sedang
P. Kangean Utara Berpenduduk Area berlabuh
Sumber : Hasil Survei Lapang INSDAL, Juni-Juli 2003
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Terumbu Karang
Hasil identifikasi bentuk kehidupan benthic terumbu karang dengan metoda LIT
menurut letak stasiun dapat dilihat pada Tabel 3. Sementara jenis atau genus karang batu
(Hard coral) dapat dilihat pada Tabel 4. Secara umum hasil temuan ini menunjukkan
bahwa kondisi terumbu karang di beberapa lokasi perairan karang Pulau-Pulau Kangean
telah rusak (seperti pada stasiun 2,4,5,6), sedang (pada stasiun 3), dan hanya pada stasiun
1 dapat dikatagorikan sehat (Tabel 3). Katagori kesehatan karang ini berdasarkan pada
kriteria yang telah disepakati ahli-ahli karang, yakni persen tutupan karang (percent
cover) di atas 75 % adalah sehat/sangat baik; antara 75% dan 50% adalah baik; antara 50
dan 25% adalah sedang; dan kecil dari 25% adalah rusak (Gomez dan Yap, 1984 ; Chou,
1998). Kondisi kesehatan karang yang kurang baik ini sejalan dengan rendahnya genus
karang batu yang berhasil diidentifikasi sepanjang LIT. Jumlah genus menurut stasiun
berkisar antara 4 sampai 11 atau secara keseluruhan ditemukan 17 genus. Jumlah ini
relatif rendah jika dibandingkan dengan area karang yang sehat sebagaimana dijumpai di
Wilayah Timur Indonesia, di mana genus karang batu dijumpai berkisar antara 44 sampai
50 genus (Edrus, t.t.).
Luasnya tutupan karang batu dan jenis-jenis fauna bentik lainnya yang tumbuh
pada substrat karang yang tersedia serta banyaknya jenis yang hadir umumnya diterima
sebagai petunjuk yang berarti bagi kondisi karang. Secara umum tingginya tutupan
karang batu dan keragaman jenis merupakan petunjuk dari karang yang sehat. Kedua
indikator ini sering digunakan dalam keperluan pemantauan berkala kondisi terumbu
karang (Gomez dan Yap, 1984).
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa persentasi karang keras yang sudah cukup lama
mati dan diselimuti alga (Dead Coral with Algae-DCA) cukup tinggi dijumpai pada
stasiun 1, 5, dan 6. Sebaliknya persentasi tutupan DCA dijumpai relatif rendah pada
stasiun 2,3, dan 4. Banyak faktor yang mungkin menjadi penyebab matinya karang batu
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 27
ini dan kemudian terbentuk DCA atau Turf Alga - TA, antara lain adalah tingginya
sidementasi, bahan polutan atau kimia beracun (misalnya potassium sianida), suhu air
yang tinggi, atau karena penyebab serangan bintang laut � Acanthaster planci. Tetapi
selama penelitian tidak dijumpai adanya tanda-tanda serangan hewan laut ini, karena
karang mati akibat pemangsaan hewan ini (Dead Coral - DC) tidak teridentifikasi dalam
LIT. Begitu juga tidak dijumpai tanda-tanda pemutihan karang - �bleaching� dari adanya
peningkatan suhu yang ekstrim (misalnya akibat EL Niño). Berdasarkan informasi
penduduk lokal atau petugas setempat, justru kegiatan perikanan tangkap ikan hias,
kerapu, dan ikan Napoleon dengan cara merusak (sianid fishing) yang telah berlangsung
lama dapat disinyalir sebagai faktor penyebab kematian karang tersebut di samping
tingginya kekeruhan air (sidementasi) pada bulan-bulan tertentu secara periodik atau
mungkin peristiwa El Niño 1997, walaupun yang terakhir ini belum ada laporan
penelitian tentang itu.
Tabel 3. Rata-rata persen tutupan bentuk kehidupan bentik pada terumbu karang
Pulau-Pulau Kangean, Sumenep Madura, menurut stasiun penelitian
LIFEFORM PERSENTASI TUTUPAN
(Percent Cover) CATEGORY CODE Stasiun Penelitian (Study Site Areas)
1 2 3 4 5 6 Total of Hard Corals 56.90 17.10 27.17 18.07 22.47 11.40 HARD CORALS (Acropores) 6.43 0.13 5.13 3.00 3.83 3.07 Branching ACB 6.43 0.13 5.13 0.33 1.63 0.47 Tabulate ACT - - - 2.40 2.20 2.60 Encrusting ACE - - - - - - Submassive ACS - - - 0.27 - - Digitate ACD - - - - - - HARD CORALS (Non-Acropores) 50.47 16.97 22.03 15.07 18.63 8.33 Branching CB 15.97 4.13 6.37 1.40 - - Massive CM - 5.60 8.30 5.70 7.70 7.00 Encrusting CE - 1.00 0.43 5.03 1.63 1.33 Submassive CS 26.43 3.17 0.67 2.67 3.63 - Foliose CF 6.70 - - - - - Mushroom CMR 1.37 0.97 0.17 0.27 0.13 - Millepora CME - 1.53 6.10 - 5.53 - Heliopora CHL - 0.57 - - - - DEAD SCLERACTINIA 16.7 1.70 1.43 1.00 13.20 20.23 Dead Coral DC - - - - - - (With algal Covering) DCA 16.7 1.70 1.43 1.00 13.20 20.23
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 28
Lanjutan tabel 3 ALGAE 5.93 8.77 19.83 6.97 13.43 9.40 Macro MA 0.47 16.20 5.23 3.87 Turf TA 5.93 5.57 2.33 6.97 8.20 5.53 Coralline CA - - - - - - Halimeda HA - 2.73 1.30 - - - Algal Assemblage AA - - - - - - OTHER FAUNA 2.47 30.67 2.70 8.73 9.57 12.60 Soft Coral SC - 26.50 0.40 - 3.53 8.70 Sponge SP 0.83 1.63 1.87 5.70 5.67 2.83 Zoanthids ZO - - - - - - Others OT 1.67 2.53 0.43 3.03 0.37 1.07 ABIOTIC 18.53 41.77 48.87 65.23 41.33 46.37 Sand S 6.17 26.53 36.23 22.40 25.80 42.53 Rubble R 12.37 15.23 12.63 42.83 15.53 3.83 Silt SI - - - - - - Water WA - - - - - - Rock RCK - - - - - -
Sumber : Hasil Survei lapang INSDAL Juni � Juli 2003 Tabel 4. Jenis dan jumlah koloni karang yang ditemukan sepanjang Line Intercept
Transects (LIT) menurut letak stasiun di perairan terumbu karang Pulau-pulau Kangean, Sumenep Madura.
Stasiun (Station) No. Jenis Karang
(Kinds of Reefs) 1 2 3 4 5 6 1 Acropora spp. 3 1 6 4 6 3 2 Anacropora spp. 7 1 3 Favia spp. 1 4 5 2 4 Favites spp. 3 1 5 Fungia spp. 6 1 1 1 6 Goniastrea spp. 1 7 Goniopora spp. 1 8 Heliofungia spp. 5 9 Heliopora sp. 1 10 Merulina spp. 1 11 Millepora sp. 1 5 5 12 Montipora spp. 2 2 1 13 Pavona spp. 2 14 Pochillopora spp. 2 3 2 1 2 15 Porites spp. 23 8 8 6 15 9 16 Seriatopora histrix 1 7 1 17 Tubastrea spp. 1 Jumlah koloni (Colony Number) 46 31 24 21 36 15 Jumlah Marga (Genus number) 8 11 5 10 8 4
Sumber : Hasil Survei lapang INSDAL, Juni � Juli 2003
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 29
Jenis-jenis Macro Algae (MA), Turf Algae (TA), dan Halimeda (HA) dijumpai
tersebar pada semua stasiun, dengan persen tutupan tertinggi dijumpai pada stasiun 3
menyusul stasiun 5 dan 6. Untuk alasan ini mungkin keragaman ikan cukup tinggi
dijumpai pada stasiun tersebut. Bentik makroalgae secara umumnya menjadi mata rantai
pertama dalam jaring-jaring makanan (Gomez and Yab, 1984). Hamparan alga yang
kelihatan kurang menarik di atas karang mati adalah tempat ikan-ikan merumput, seperti
sering dilakukan oleh ikan kakatua (Scarus spp.) dan sekartaji (Acathurus spp.). Karena
ikan-ikan ini membuang kotoran (faeses) di area karang, terumbu karang menjadi kaya
akan kandungan nutrien. Jadi alga bukan saja turut membentuk keanekaragaman dan
keindahan di area karang, tetapi juga mereka mengintroduksi makanan berupa detritus
dan nitrogen bagi komunitas di terumbu karang (Salm dan Kenchington, 1988).
Karang lunak (Soft Coral � SC), sponge (SP) dengan berbagai warna, dan fauna
lain � OT (seperti misalnya lili laut, akar bahar, anemon), walaupun bukan penentu dalam
kriteria kesehatan karang, tetapi ini semua juga terlihat mendukung keindahan terumbu
karang. Karena itu pada pandangan pertama sebagian orang terkadang mengira bahwa
area perairan mereka memiliki terumbu karang yang sehat, meskipun sebenarnya miskin
akan karang keras (Hard Coral). Kondisi seperti ini dijumpai pada stasiun 2, kemudian
disusul berturut-turut oleh stasiun 6, 5, 4, di mana persentasi tutupan ketiga komponen
karang tersebut dijumpai relatif tinggi.
Jika fenomena di atas masih mendukung keindahan terumbu karang, sebaliknya
kondisi tutupan abiotik (sand dan rubble) yang tinggi pada suatu area terumbu karang
adalah pertanda buruknya tutupan biota karang. Persentasi tutupan pasir (S) yang tinggi
menunjukkan bahwa distribusi karang tidak merata. Di mana hamparan karang
membentuk gundukan-gundukan yang terpisah (patch reefs). Contoh kondisi seperti ini
terlihat pada stasiun 2,3,4,5, dan 6 (Table 3), di mana tutupan pasir yang tertinggi
terdapat pada stasiun 6. Sementara contoh kerusakan fisik karang hampir dijumpai pada
semua stasiun penelitian. Hal ini ditandai oleh tingginya persentasi tutupan serpihan
karang (Rubble � R). Rubble ini didentifikasi sebagai kerusakan fisik karang yang baru
saja terjadi. Jika rubble telah diselaputi oleh alga, ini digolongkan sebagai turf alga � TA.
Dengan petunjuk �rubble cover� ini, kerusakan yang tertinggi dijumpai pada stasiun 4
(42,83 %). Terjadinya serpihan-serpihan karang ini biasanya karena badai, gempa,
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 30
penempatan jangkar, pemasangan bubu, jaring, dan kegiatan merusak lainnya.
Penangkapan ikan dengan bahan peledak biasanya menghasilkan serpihan-serpihan kecil
karang dan terlihat melingkar. Tanda seperti ini dijumpai pada stasiun 1. Jadi hampir
tidak ada lokasi yang tidak menderita kerusakan. Pergantian koloni (recolonization) pasca
kerusakan akan selalu terjadi. Area karang yang mengalami kerusakan-kerusakan seperti
ini akan dipenuhi oleh bentuk kehidupan karang yang lain (replacement), seperti turf
alga, cnidarian, hewan-hewan penempel, dan soft coral.
Stasiun 5
22%
13%
13%10%
42%
Stasiun 4
18% 1%
7%
9%65%
Stasiun 3
27%
1%
20%3%
49%
Stasiun 2
17% 2%
9%
31%
41%
Stasiun 6
11%
20%
9%13%
47%
Stasiun 1
57%16%
6%
2% 19%
Lagenda /Keterangan :
KARANG BATU HIDUP (LIVING HARD CORAL) KARANG KERAS MATI (DEAD SCLERACTINIA) GANGGANG (A L G A E) BIOTA LAUT LAINNYA (OTHER FAUNA) KOMPONEN NON HAYATI (ABIOTIC)
Gambar 5. Persentasi tutupan bentuk kehidupan bentik terumbu karang menurut letak stasiun
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 31
Tingginya persentasi koloni-koloni pengganti tersebut sering dipakai juga sebagai
petunjuk bahwa karang di tempat itu telah rusak. Hal ini nantinya sangat berpengaruh
pada populasi ikan, khususnya ikan yang biasa memakan polyp karang atau yang biasa
bersembiose dengan karang keras jenis tertentu.
Kondisi terumbu karang secara umum dapat diilustrasikan denagn Gambar 5 di
atas. Dengan adanya ilustrasi secara umum ini dapat dilihat dan digambarkan setiap
informasi dari persentasi tutupan masing-masing kategori bentuk kehidupan bentik
karang yang merupakan status terumbu karang bagi setiap lokasi stasiun. Data untuk
diagram cakram ini diolah dari Tabel 3.
4.2. Faktor-Faktor Mempengaruhi Terumbu Karang
Checklist dari berbagai macam faktor (Tabel 5) yang diduga berpengaruh
terhadap perairan karang patut dipersiapkan ketika akan melakukan survei di perairan
karang. Ini merupakan informasi tambahan dan penting, karena informasi ini bukan saja
dapat mengklasifikasikan dan membedakan faktor-faktor penyebab kerusakan karang,
tetapi juga faktor-faktor pendukung terhadap kelestarian karang. Faktor tersebut dibagi
menjadi faktor alamiah (seperti arus air, badai, El Niño, dan banjir), faktor
biologis/ekologis (seperti dukungan lamun dan mangrove atau serangan bintang laut,
Acanthaster planci), dan faktor manusiawi (seperti berbagai aktivitas pada sektor
pertanian, perikanan, budidaya, pertambangan, industri, konstruksi, transportasi, dan lain-
lain). Selain itu ada pula faktor yang dikategorikan sebagai indikator, seperti kualitas
kimia dan fisik yang erat kaitannya dengan gejala-gejala yang mungkin ditimbulkan oleh
faktor alamiah dan atau faktor manusiawi. Contohnya adalah peningkatan suhu,
sedimentasi, atau penurunan tingkat kecerahan. Contoh yang lain adalah pengkayaan
nutrisi pada badan air (eutrofikasi). Kasus ini mungkin disebabkan oleh aktivitas pada
lahan pertanian, budidaya ikan laut, adanya musim hujan dan alur sungai yang bermuara
ke laut. Eutrofikasi bisa bermakna positif dan sekaligus negatif pada lingkungan. Pada
kasus yang bersifat positif terjadi penyediaan cukup nutrisi pada ekosistem terumbu
karang. Tetapi pada kondisi yang berlebihan, keadaan ini menjadi berbersifat negatif,
yaitu penyebab peledakan populasi hewan laut yang tidak dikehendaki, seperti jenis
plankton tertentu dan bintang laut (Acantahster planci).
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 32
Tabel 5. Faktor-faktor yang mungkin berpengaruh terhadap terumbu karang � kehidupan,
pertumbuhan dan keberlangsungan hidup � baik pengaruh positif maupun negatif, menurut letak stasiun
FAKTOR-FAKTOR YANG
BERPENGARUH (INFLUENCING FACTORS)
St. 1 St. 2 St. 3
St. 4 St. 5 St. 6 Keterangan
(Remarks) Suhu ekstrim (EL NINO) - - - - - - Penyebab kematian & bleaching karang
Arus + + + + + + Mencegah pengendapan sidemen
Sedimen ( - ) - - - - - - Penyebab kekeruhan & kamatian karang
Banjir besar secara periodik - - - - - - Penyebab sedimentasi
Penetrasi cahaya (Kecerahan) + + + + + + Jika buruk, penghambat penetrasi sinar
Muara sungai besar - - - - - - Penyebab oscillasi salintas, kekeruhan,
alur polusi/sampah & eutrifikasi (peningkatan unsur nutrisi dalam air)
Ledakan poulasi Bintang Laut (Acanthaster planci) Pemangsa karang/penyebab kematian
karang
Lamun (+) + + + - - + Pendudukung nutrien, penahan sedimen dan mempengaruhi (+) keragaman ikan
Mangrove (+) + + + - - + Pendudukung nutrien, penahan sedimen dan mempengaruhi (+) keragaman ikan
Aktivitas industri ringan/berat - - - - - - Sumber bahan pencemar
Aktivitas pertanian - - - - - - Penyebab eurifikasi pada badan air
Aktivitas pembangunan konstruksi - + + + + + Penambangan batu karang
Aktivitas perikanan yang merusak - + - + + + Penggunaan bahan beracun dan peledak
Aktivitas transportasi + + + + + + Pencemaran minyak & buang jangkar
Wilayah Industri Mutiara - - + - - - Meiliki dampak positif sekaligus negatif
Wilayah budidaya laut - - + - - - Pemantauan kualitas air & pengawasan keamanan laut
Aktivitas reklamasi pantai - - + - - - Pada phase kontruksi terjadi
penambangan pasir, batu karang dan penyebab sedimentasi
Penggundulan lahan (land clearing) - - - - - - Penyebab peningkatan sedimentasi
Aktivitas pertambangan - - - - - - Penyebab peningkatan sedimentasi
Pelabuhan dan dok kapal - - - - - - Sampah, polusi minyak , pembuangan jangkar
Note: ( - ) = tidak ada/absent ; ( + ) = ada / present
Untuk hal-hal yang berkenaan dengan unsur indikator, survei perlu didukung oleh
beberapa pengukuran di lapangan untuk mendapatkan data yang valid. Sementara untuk
informasi yang bukan tergolong indikator hanya perlu diobservasi atau dimintakan
keterangannya dengan warga setempat. Jika dipastikan terdapat suatu industri berat di
dekat area terumbu karang dan pada hasil survei ditemukan persentasi karang mati yang
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 33
tinggi, pengukuran kualitas air setempat dapat dilakukan kemudian hari atau dapat
dimintakan data sekunder tentang itu.
Dalam hubungannya dengan kegiatan inventarisasi sumberdaya terumbu karang
ini, Tabel 5 menunjukkan bahwa kerusakan habitat karang sebagian besar berhubungan
dengan faktor manusiawi (anthropogenic factors). Seperti kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan pembangunan konstruksi, di mana penambangan karang dilakukan
hampir di semua tempat. Selain itu adanya kegiatan perikanan dengan penggunaan bahan
peledak (blast fishing) dan bahan beracun (sianid fishing) yang sampai sekarang tidak
bisa dicegah dan dikendalikan. Faktor perusak yang lain adalah pembuangan jangkar dari
kapal/perahu di tempat berlabuh dan kapal mana-mana tempat berlabuh. Sementara itu
faktor positif yang dapat dikatakan sebagai pendukung ekosistem karang dan kelestarian
karang adalah masih ditemukannya padang lamun dan mangrove, seperti pada stasiun
1,2,3, dan 6. Kecuali itu pemegang otorita wilayah budidaya laut, dalam hal ini usaha
budidya mutiara pada stasiun 3, turut dalam usaha pelestarian lingkungan, yaitu dengan
jalan pengawasan laut secara ketat dan melakukan monitoring kualitas air secara
periodik, walaupun pada tahap konstruksi proyek usaha mutiara tersebut telah melakukan
reklamasi pantai dalam skala terbatas dan disinyalir juga menggunakan batu karang
sebagai bahan konstruksi.
4.3. Pemetaan Terumbu Karang
Pada gambar 6 dapat dilihat contoh sebaran dari terumbu karang di Pulau
Kangean dari citra ETM 7, yang menggunakan metode penajaman citra dengan Lyzenga.
Dari hasil penajaman tersebut dapat dilihat klasifikasi pemisahan wilayah terumbu karang
dengan daratan, pasir, dan lamun. Dengan adanya teknik atau metode tersebut maka
pemisahan terumbu karang dapat lebih mudah dilakukan, sehingga lebih memudahkan
deliniasi wilayah terumbu karang dan penghitungan luasan masing-masing lembar peta
(sheet).
Adapun pemetaan secara keseluruhan dari wilayah penelitian yang meliputi P.
Madura dan Kangean hasil interpretasi dan digitasi citra Landsat ETM 7, yang
dituangkan ke peta dasar Lingkungan Pantai Indonesia dan Peta Rupabumi Indonesia
dengan skala 1:50.000 dan skala 1:250.000. dapat dilihat di lampiran peta di belakang.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 34
Gam
bar
6. P
eta
Seba
ran
Ter
umbu
Kar
ang
Has
il In
terp
reta
si C
itra
ET
M 7
.
Inve
ntar
isas
i Dat
a D
asar
Sur
vei S
umbe
rday
a Al
am P
esis
ir d
an L
aut �
Sum
berd
aya
Teru
mbu
Kar
ang
35
Luas terumbu karang dari seluruh wilayah penelitian dapat dilihat di tabel 6. di
bawah. Dari hasil penelitian dan perhitungan luas terumbu karang tersebut dapat dilihat
bahwa wilayah Kangean memiliki terumbu karang dengan luasan sangat besar
dibandingakn dengan Pulau Madura. Hampir 50 % jumlah luasan terumbu karang di
Madura dan Kangean dimiliki oleh P. Kangean dan P. Sepanjang, yang masuk dalam
Kecamatan Kangean. Dengan besarnya sumberdaya terumbu karang yang dimiliki oleh
Kangean tersebut maka dapat diperkirakan besarnya nilai kekayaan alam sebagai dampak
dari sumberdaya terumbu karang seperti; Ikan karang yang dapat diambil hasilnya,
keindahan bawah laut (turisme), serta sumberdaya lain sebagai ikutan dari hasil turisme
sebagai contoh misalnya; sektor perhubungan atau transportasi, fasilitas penginapan
maupun fasilitas lain yang.dapat dikelola oleh pemerintah daerah.
Salah satu syarat agar wilayah tersebut dapat dikelola yaitu tidak rusaknya habitat
terumbu karang.
Tabel 6. Sebaran dan LuasTerumbu Karang Skala 1:50.000 Nomor Lembar / NLP Luas (Ha) %
1 Tamberu (NLP 1609-22) 3639.48 6.85 2 Ambuten (NLP 1609-31) 64.78 0.12 3 Kwanyar (NLP 1608-02) 6689.75 12.59 4 Kalowang (NLP 1708-01) 10586.04 19.93 5 Pulau Guwaguwa (NLP 1708-05) 2864.74 5.39 6 Kangean (NLP 1708-06) 65.29 0.12 7 Kangean (NLP 1708-07) 6219.57 11.71 8 Kangean (NLP 1709-01) 176.60 0.33 9 Kayuwaru (NLP 1709-02) 704.88 1.33
10 Pulau Sepanjang (NLP 1808-01) 19287.50 36.31 11 Sampang (NLP 1608-04) 2827.62 5.32
Jumlah 53126.25 100.00 Sumber : Hasil interpretasi Citra Landsat ETM 7 tahun 2002 � 2003, dan digitasi tahun 2003
Sedangkan titik sampel wilayah penelitian, yang terdiri dari 3 sheet dapat dilihat
pada gambar/peta nomor 4.1 sampai nomor 4.3. di bawah ini.yaitu sheet 1708-07, sheet
1709-01 dan 1808-01.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 36
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
• Kesimpulan :
1. Umumnya kondisi terumbu karang di beberapa lokasi perairan karang Pulau-
Pulau Kangean telah rusak (seperti pada stasiun 2,4,5,6), sedang (pada stasiun 3),
dan hanya pada stasiun 1 dapat dikatagorikan sehat. Variasi tutupan karang batu
pada 6 lokasi transek berkisar antara 11.4 % sampai 56,9 %.
2. Keanekaragaman jenis karang batu pada semua stasiun penelitian adalah rendah.
3. Penyebab kerusakan karang yang utama adalah penempatan jangkar, penangkapan
ikan dengan bahan peledak dan potasium sianida, dan pemanfaatan karang untuk
bahan bangunan.
4. Identifikasi area terumbu karang dengan pendekatan citra Landsat ETM-7 dapat
dilakukan hingga skala 1:50 000, jika penajaman citra tersebut dibantu dengan
metode Lyzenga akan lebih jelas hingga penampakan pasir dan lamun.
5. Identifikasi jenis-jenis karang pada skala 1:50.000 tetap harus melakukan survei
lapang langsung dengan penyelaman.
• S a r a n :
1. Perlu adanya pencanangan dan pelembagaan sistem pengelolaan sumberdaya alam
laut berbasis masyarakat.
2. Pengawasan, proteksi, dan usaha-usaha konservasi sumberdaya alam laut
hendaknya menjadi bagian terpenting dari program partisipasi masyarakat di
samping program peningkatan pemanfaatannya.
3. Zona pemanfaatan dan konservasi sumberdaya sudah semestinya ditata sejak dini.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 37
DAFTAR PUSTAKA Achituv, Y. and Z. Dubinsky. 1990. Evolution and Zoogeography of Coral Reefs. In:
Coral Reefs. Ecosystem of the world 25. Z. Dubinsky (Ed.), Elsevier, Amsterdam, pp. 1 � 9.
Babcock, R. and P. Davis. 1991. Effects of sedimentation on settlement of Acropora
millepora. Coral Reefs 9:205-208. Brown, B.E. and L.S. Howard. 1985. Assessing the effects of stress on reef corals. Adv.
Mar. Biol. 22:1-63. Chalker, B.E., W.C. Dunlap and P.L. Jokiel. 1986. Ligh and coral. Oceanus 29:22-23. Coles, S.L., P.L. Jokiel and C.R. Lewis. 1976. Thermal tolerance in tropical versus
subtropical Pacific reef corals. Pacific Science 30: 159-166. Chou, L.M., 1998. Status of Southeast Asian Coral Reefs. In: Status of Coral Reefs of the
World: 1998. C. Wilkinson (Ed). Sida � Australian Institute of Marine Science � ICLARM Publ., Quensland, Australia.
Copper, P. 1994. Ancient reef ecosystem expansion and collapse. Coral Reefs 13: 3 � 11. Dollar, S.J. 1982, Wave stress and coral community structure in Hawaii. Coral Reefs
1:71-81. Dunlap, W.C. and B.E. Chalker. 1986. Identification and quantitation of near-UV
absorbing compounds (S-320) in a hermatypic scleratinian. Coral Reefs 5: 155-160.
Edrus. I.N. t.t. A study on coral reefs and coral fish in Watubela Islands, East Ceram,
Moluccas. Internal Report for P3O-LIPI Ambon (Unpublished). Falkowski, P.G., P.L. Jokiel and R.A. Kinzie III. 1990. Irradiance and Corals. In: Coral
Reefs: Ecosystem of the world 25. Z. Dubinski (Ed.). Ellsevier, Amsterdam. Pp. 89-107.
Fucik, K.W., T.J. Bright, and K.S. Goodman. 1984. Measurements of Damage, Recovery, and Rehabilitation of Coral Reefs Exposed to Oil. In: Restoration of Habitats Impacted by Oil Spills. J. Cairns, Jr. and A.L. Buikema, Jr. (Eds). Butterworth Publishers, Boston.
Effendy, M. 2003. Banyak potensi yang hilang sia-sia. Wawancara wartawan Harian
Jawa Post � Radar Madura, Senin 30 Juni 2003, dengan Ketua Pusat Studi Perikanan dan Kelautan Universitas Trunojoyo.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 38
English, S., C. Wilkinson and V. Baker.1994. Survey manual for Tropical marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia.
Glynn, P.W. 1993. Coral reef bleaching: ecological perspective. Coral reefs 12: 1-18. Gomez, E.D. and H.T. Yap. 1984. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef
Management Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 171.
Grassle, J.F., P. Laserre, A.D. McIntyre and G.C. Ray. 1990. Marine Biodiversity and
Ecosystem Function. Biology International 23, 19 p. Hobbs, R.J. and D.A. Norton. 1996. �Commentary: Towards a conceptual framework for
restoration Ecology�. Restoration Ecology 4 (2): 93 � 110. Jennings, S. and N.V.C. Polunin. 1996. �Impacts of fishing on tropical reef ecosystems�.
AMBIO 25 (1): 44-49. Jokiel, P.L. and R.H. York Jr. 1982. Solar ultraviolet photobiology of reef coral
Pocillopora damicornis and symbiotic zooxanthellae. Bull. Mar. Sci. 32:301-315. Jokiel, P.L. and S.J. Coles. 1990. Response of Hawaiian and other Indo-Pacific reef
corals to elevated temperature. Coral reefs 8: 155-162. Kenchington, R.A. 1984. Scientific investigations for planning. In: Coral Reef
Management Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta. P. 53.
Kleypas, J.A. 1997. Modeled estimates of global reef habitat and carbonate production
since the last glacial maximum. Paleoceanography 12: 533 � 545. Licuanan, W.Y. and A.R.F. Montebon. 1991. An evaluation of minimum life-form
transect lengths for classification studies. In: Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Water Areas, A.C. Alcala (Ed), 30 January � 1 February 1989, Marine Science Institute, Univ. of the Philippines, Manila, Philippines.
Lyzenga, R.D. Shallow Water Bathymetri Using Combined Lidar and Passive
Multispectral Scanner Data. Int. Journal Remote Sensing, Vol. 6 No. 1. Manthachitra, V., S. Sudara and S. Satumanapatpan. 1991. Chaetodon octofasciatus as
indicator species for reef condition. In: Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Water Areas, A.C. Alcala (Ed), 30 January � 1 February 1989, Marine Science Institute, Univ. of the Philippines, Manila, Philippines
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 39
Moosa, M.K., 1995. �Coral Reef Rehabilitation and Management Project (COREMAP)�. A Paper presented in the Mataram Marine Communication Forum, Mataram, Indonesia, August 18 � 23, 1995 (in press).
McAllister, D. E. 1988. Environmental, Economic and Social Costs of Coral Reef
Destruction in the Philippines. In: Galaxea, 7: 161-178. McManus, J.W. and A.S. Cabanban. 1992. Coral reef recruitment studies in Southeast
Asia: background and implications. Proc. Workshop on coral and fish recruitment, Report No. 7, ASEAN-Australian Living Coastal Resources Project, 1-8 June 1992, Bolinao Marine Lab. Bolinao, Pangasinan, Philippines. p 7-17.
Muscatine, L. and J.W. Porter. 1977. Reef corals:mutualistic symbioses adapted to
nutrient-poor enviroments. Bioscience 27: 454-459. Rahmat dan Yosephine 2001. Software Percent Cover Benthic Lifeform versi 5.1. Pusat
Penelitiaan dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. Rinkevich, A.A. and Y. Loya. 1977. Harmful effects of chronic oil pollution on a Red
Sea scleractinian coral population. In: Proceeding of the Third International Coral Reef Symposium, Vol. II: Geology, D.L. Taylor (Ed), Miami: Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Science.
Reese, E. 1977. �Coevolution of coral and coral feeding fishes of family
Chaetodontidae�. Proceeding of the third International Coral Reef Symposium 1:267-274.
Reese, E. 1981. �Predation on corals by fishes of the family Chaetodontidae: implication
for conservation and management of coral reef ecosystem�. Bulletin of Marine Science 31 (3): 594-604.
Russ, G.R. and A.C. Alcala. 1996. Do marine reserves export adult fish biomass?
Evidence from Apo Island, central Philippines. Mar. Ecol. Prog. Ser. 132:1-9. Salm, R.V. and R.A. Kenchington, 1984. The need for management. In: Coral Reef
Management Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 9.
Smith S.V. and R.W. Buddemeier. 1992. Global change and coral reef ecosystems. Ann
Rev. Ecol. Syst. 23:89-118. Soede, L.P. and M.V. Erdmann. 1998. �Blast fishing in Southwest Sulawesi, Indonesia�.
Naga, the ICLARM Quarterly, April-June 1998: 4-9. Soede, L.P. , H.S.J. Cesar, J.S. Pet. 2000. Economic issues related to blast fishing on
Indonesian coral reefs. Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol. 3 (2): 33 �40.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 40
Vivien, H.M.L. and Y.B. Navarro. 1983. �Feeding diets and significance of coral feeding among chaetodontid fishes in Moorea (French Polynesia)�. Coral Reefs 2:119-127.
Wilkinson, C. 1998. Executive Summery. In: Status of Coral Reefs of the World: 1998.
C. Wilkinson (Ed). GCRMN Global Coral Reef Monitoring Network: SIDA-AIMS � ICLARM, Australian Institute of Marine Science, Cape Ferguson, Queensland, Australia.
Wilkinson, C.R. and R.W. Buddemeier. 1994. Global Climate Change and Coral Reefs:
Implications for People and Reefs. Report of the UNEP-IOC-ASPEI-IUCN Global Task Team on the Implication of Climate Change on Coral Reefs. IUCN Publications Service Unit, Cambridge, 124 pp.
Wilkinson, C.R. and E, Evans. 1989. Sponge distribution across Davies Reef, Great
Barrier Reef, relative to location, depth and water movement. Coral Reefs 8: 1-7.
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 41
Lampiran A TAMPILAN MENU DALAM MEMPROSES ANALISA DATA TERUMBU KARANG
MENGGUNAKAN PROGRAM/SOFTWARE BENTHIC LIFEFORM 5.1
(Rahmat dan Yosephine, 2001).
# Tampilan menu utama
Program Lifeform 5.1
Tambah Data Cari/Edit Data 1. Masukkan data lokasi 3. Cari/Edit data lokasi 2. Masukkan data transek 4. Cari/Edit data transek Hapus Data Laporan 5. Hapus data lokasi 7. Proses Lifeform 6. Hapus data transek 8. Selesai
Pilih ( 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, atau 8 ) : 07/07/03 Oleh Rahmat & Yos, Mei 2001
# Untuk memproses data lokasi harus memasukkan data Sample ID, sebelum ke tampilan
menu data lokasi.
Masukkan Sample ID : TEST01 Tambah Data Lokasi Record Ke : 8
Sample ID : TEST01 Reef Name : Reef Code : 0 Latitude : Longitude : Date : � / � / � Depth : 0 Site Number : 0 Reef Zone : Collector : Remarks : :
Kosongkan Sample ID (tekan Enter) untuk selesai
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 42
Lanjutan lampiran
# Untuk memproses data transek harus memasukkan data Sample ID yang sama, sebelum ke tampilan menu data transek.
Masukkan Sample ID : TEST01 Tambah Data Lokasi Record Ke : 123
Transition : 0
Benthos :
Taxon :
# Untuk memulai proses analisa karang kembali ke menu tampilan utama pilih angka 7,
akan keluar tampilan menu Sample ID sebelum masuk proses analisa percent cover benthic lifeform.
Masukkan Sample ID : TEST01
(tekan [enter] untuk selesai)
Record 1/150
SAMP_ID BENTHOS TRANSITION LENGTH OCCURRENCE TAXON
TEST01 ACB 100 0 0
TEST01 TA 120 0 0
TEST01 ACB 125 0 0
TEST01 CM 135 0 0
TEST01 ACB 140 0 0
TEST01 CM 150 0 0
Cek kualitas data �
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 43
Lanjutan lampiran. # Kemudian mengisi panjang pertumbuhan karang (benthos) yang dilalui oleh garis
meteran (roll meter) pada kolom panjang (length) tampilan dibawah ini, kemudian tekan �esc�.
Record 1/150
SAMP_ID BENTHOS TRANSITION LENGTH OCCURRENCE TAXON
TEST01 ACB 100 100 0
TEST01 TA 120 20 0
TEST01 ACB 125 0 0
TEST01 CM 135 0 0
TEST01 ACB 140 0 0
TEST01 CM 150 0 0
Cek kualitas data � # Proses pencetakan hasil analisa �Percent Cover Benthic Lifeform� seperti tampilan
dibawah ini :
PENCETAKAN
1. Cetak Lifeform Report
2. Cetak Taxon Length
3. Selesai
Pilih [ 1, 2, atau 3 ]
Sumber : Rahmat & Yos´ 99
Cetak ke Printer, Layar, File [ P / L / F ] :
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 44
Lam
pir
an
B
PER
SEN
TA
SE T
UTU
PA
N K
AR
AN
G d
i K
ep
. K
an
gean
, S
um
en
ep
Jaw
a T
imu
r
P.
Keri
tin
g (
1)
P.
Sep
an
gku
r B
sr (
2)
P.
paliat
(3)
P.
Seta
bo
k (
4)
P.
Mab
uri
t (5
) P
. K
an
gean
(6
) B
en
thic
Lif
e F
orm
1
23
12
31
23
12
31
23
12
3
Har
d C
ora
l
-
Acr
opora
19
.3
0.4
2.6
3.2
9.6
2.6
1 5.
4 1.
6 7
2.9
0.8
8.4
-
Non-A
cropora
47
.6
51
.652
.217
.323
.99.
724
.721
.719
.723
.915
.75.
622
.519
.314
.12.
41.
621
Dea
d S
cler
actinia
1.
4 2.
8 44
.3
4.7
0.
4 3.
3 1
3
11.3
10
.1
18.2
21
.6
8.1
31
Alg
ae
7.8
10
10.6
14.5
1.2
8.9
36.1
14.5
26.
112
.819
.513
.47.
416
.13.
28.
9O
ther
Fau
na
4.9
2.
542
.125
.524
.44.
30.
43.
411
.11
14.1
13.1
2.3
13.3
19.5
126.
3Abio
tic
19
33
.13.
525
.336
.163
.956
.237
.652
.860
.473
.262
.132
47.9
44.1
39.6
66.7
32.8
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
R
ata
-rata
Pers
en
tase
Tu
tup
an
Kara
ng
d
i K
ep
ula
uan
Kan
gean
, S
um
en
ep
Java T
imu
r
Rata
-rata
Tu
tup
an
Kara
ng
dlm
Pers
en
Ke
tera
ngan
:B
en
thic
Lif
e F
orm
1
23
45
6
1 Pu
lau
Kerit
ing
H
ard C
ora
l 56
.9
17.1
27.1
718
.07
22.4
711
.42
Pula
u Se
pang
kur B
esar
Dea
d S
cler
actinia
16
.17
1.7
1.43
31
13.2
20.2
33
Pula
u Pa
liat S
elat
anAlg
ae
5.93
3
8.76
719
.83
6.96
713
.43
9.4
4Pu
lau
Seta
bok
Oth
er F
auna
2.46
7
30.6
72.
78.
733
9.56
712
.65
Pula
u M
abur
itAbio
tic
18.5
3
41
.77
48.8
765
.23
41.3
346
.37
6Pu
lau
Kang
ean
Uta
ra
To
tals
10
0
100
100
100
100
100
Rus
ak
R
usak
Rus
akR
usak
Cate
go
ry
Bagu
s Be
rat
Rus
ak
Bera
t
Be
rat
Bera
t
Inve
ntar
isas
i Dat
a D
asar
Sur
vei S
umbe
rday
a Al
am P
esis
ir d
an L
aut �
Sum
berd
aya
Teru
mbu
Kar
ang
45
PER
SEN
TA
SI T
UT
UPA
N K
AR
AN
G D
I DI S
ET
ASI
UN
PE
NE
LIT
IAN
- K
AN
GE
AN
SU
ME
NE
P JA
WA
TIM
UR
0
10
20
30
40
50
60
70
12
34
56
Site Research
Hard
Cora
lD
ead S
clera
ctin
iaA
lgae
Oth
er
Fauna
Abio
tic
K
ON
DIS
I TU
TU
PAN
KA
RA
NG
DI D
I SE
TA
SIU
N P
EN
EL
ITIA
N -
KA
NG
EA
N S
UM
EN
EP
JAW
A T
IMU
R
0
10
20
30
40
50
60
Hard Coral Percent Cover (%)
12
34
56
Sta
siun
Baik
Sangat
Rusa
kRusa
k
Sangat
Rusa
k
Sangat
Rusa
k
Sangat
Rusa
k
Inve
ntar
isas
i Dat
a D
asar
Sur
vei S
umbe
rday
a Al
am P
esis
ir d
an L
aut �
Sum
berd
aya
Teru
mbu
Kar
ang
46
Lampiran C
DAFTAR PETA skala 1 : 50.000
NO NAMA LEMBAR NOMOR LEMBAR
1. Gresik 1608 � 01 2. Kwannyar 1608 - 02 3. Pasuruan 1608 � 03 4. Sampang 1608 � 04 5. Probolinggo 1608 � 05 6. Pamekasan 1608 - 06 7. Besuki 1608 � 07 8. Sumenep 1608 - 08 9. Panarukan 1608 - 09 10. Klampis 1609 - 12 11. Tanjung Bumi 1609 - 21 12. Tamberu 1609 - 22 13. Ambuten 1609 - 31 14. Gapura 1609 - 32 15. Kalowang 1708 - 01 16. Kangean 1708 - 02 17. Pulau Raas 1708 - 03 18. Pulau Guwa - Guma 1708 - 05 19. Kangean 1708 - 06 20. Kangean 1708 - 07 21. Dungkek 1709 - 11 22. Kangean 1709 - 02 23. Pulau Sepanjang 1808 - 01
Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut � Sumberdaya Terumbu Karang 47