ikp pci.pdf
description
Transcript of ikp pci.pdf
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Intervensi Koroner Perkutan (IKP)
IKP adalah suatu teknik untuk menghilangkan trombus dan melebarkan
pembuluh darah koroner yang menyempit dengan memakai kateter balon dan
seringkali dilakukan pemasangan stent. Tindakan ini dapat menghilangkan
penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali,
sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari (Majid, 2007).
Prosedur intervensi koroner diukur dari keberhasilan dan komplikasi yang
dihubungkan dengan mekanisme alat-alat yang digunakan dan juga
memperhatikan klinis dan faktor anatomi pasien (AHA, 2007).
Adapun prosedur melakukan tindakan IKP terdiri dari beberapa langkah.
Pertama melakukan akses perkutan. Dalam proses ini arteri femoralis harus
diidentifikasi lebih dahulu (atau yang lebih jarang bisa menggunakan arteri
radialis atau arteri brachialis pada lengan) dengan menggunakan suatu alat yang
disebut jarum pembuka. (Eileen, 2007)
Setelah jarum sudah masuk, sheath introducer diletakkan pada jalan
pembuka untuk mempertahankan arteri tetap terbuka dan mengontrol perdarahan.
Melalui sheath introducer ini, guiding catheter dimasukkan. Ujung guiding
catheter ditempatkan pada ujung arteri koroner. Dengan guiding catheter,
penanda radiopak diinjeksikan ke arteri koroner, hingga kondisi dan lokasi
kelainan dapat diketahui.
Selama visualisasi sinar X , ahli jantung memperkirakan ukuran arteri
koroner dan memilih ukuran balon kateter serta guide wire coronary yang sesuai.
Guiding wire coronary adalah sebuah selang yang sangat tipis dengan ujung radio
opak yang fleksibel yang kemudian dimasukkan melalui guiding cathether
Universitas Sumatera Utara
mencapai arteri koroner. Dengan visualisasi langsung, ahli jantung memandu
kabel mencapai tempat terjadinya blokade . Ujung kabel kemudian dilewatkan
menembus blokade.
Setelah kabel berhasil melewati stenosis, balon kateter dilekatkan
dibelakang kabel. Angioplasti kateter kemudian didorong kedepan sampai balon
berada di dalam blokade. Kemudian baru balon balon dikembangkan dan balon
akan mengkompresi atheromatous plak dan menekan arteri sehingga
mengembang. Jika stent ada pada balon, maka stent diimplantkan atau
ditinggalkan pada tubuh untuk mendukung arteri dari dalam agar tetap
mengembang.
IKP seharusnya dilakukan oleh orang berpengalaman, dari operator dan
institusi tinggi. Dalam melaksanakan tindakan ini tidak diperlukan anastesi,
walaupun pasien dikasi obat pereda nyeri/sedatif. Pasien biasanya boleh bergerak
beberapa jam selepas tindakan, dan pulang pada hari yang sama atau besoknya.
(AHA, 2001).
Setelah tindakan IKP dilakukan, pasien diberi obat antitrombolisis. Semua
pasien harus mengambil aspirin tanpa batas waktu (sebagai pencegahan sekunder
dari CVD). Dual terapi antitrombosis diperlukan untuk pasien dengan stent
koroner untuk mengurangi risiko trombosis stent: Hal ini biasanya terjadi aspirin
dan clopidogrel. Lamanya pengobatan clopidogrel tergantung pada penetapan
klinik (Grossman,2008).
Jika operasi diperlukan, maka harus dipertimbangkan apakah
antitrombolisis boleh diteruskan. Setelah itu diperlukan konsul dengan ahli
kardiologi berhubungan dengan risiko penghentian obat-obatan dan segala yang
diperlukan. Penggunaan proton-pump inhibitor bersamaan dengan clopidogrel
(untuk mencegah pendarahan gastrik) adalah kontroversial, setelah bukti-bukti
menunjukkan bahwa PPI dapat memperburuk hasil dan bahwa dua obat dapat
berinteraksi.
Dalam melakukan tindakan IKP dapat dilakukan pemasangan stent
bersalut obat atau sering disebut Drug-Eluting Stent (DES). Pada prinsipnya DES
Universitas Sumatera Utara
merupakan stent bersalut obat. Obat yang dipakai harus mempunyai efek
antiploriferatif dan antiinflamasi sehingga dapat menekan hiperflasia neointima.
Dengan demikian secara teoritis, obat yang potensial toksik bila diberikan secara
sistemik dapat diberi secara lokal dalam konsentrasi yang amat kecil, tetapi efektif
dan lebih aman. Supaya obat dapat menempel pada stent diperlukan polimer.
Polimer berfungsi sebagai pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan
mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding pembuluh (Sudoyo, 2007).
Stent koroner merupakan benda asing bagi tubuh yang dapat menimbulkan
adhesi platelet dan mengaktivasi kaskade koagulasi. Implantasi dengan tekanan
tinggi dapat menimbulkan trauma pada pembuluh darah (Hasse, 2010)
Hasil jangka panjang tergantung dari reaksi tubuh terhadap polimer dan
obat dan juga terhadap stent itu sendiri. Penyelidikan-penyelidikan terdahulu
dengan stent bersalut emas, juga dengan QuaDS stent, aktinomisin, dan
batimastat, ternyata gagal karena DES ini lebih menyebabkan reaksi ploriferasi,
peradangan atau lebih trombogenik daripada stent biasa.
Selain DES, cutting balloon juga merupakan tindakan pada intervensi
coroner. Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4 pisau
pemotong yang ditempel secara longitudinal pada balon. Dengan demikian bila
dikembangkan, maka plak akan mengalami insisi longitudinal dan diharapkan
akan terjadi redistribusi plak yang lebih baik pada dilatasi dengan tekanan yang
lebih rendah dibandingkan angioplasti balon biasa. Pada beberapa penelitian
menyebutkan bahwa penggunaan cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk
terapi instent restenosis (Sudoyo, 2007)
Saat melakukan tindakan IKP, Intravascular Ultrasound merupakan
bagian yang terpisahkan dari penelitian-penelitian mengenai Drug Eluting Stent.
Penggunaan IVUS dapat menentukan lokasi yang tepat serta ekspansi stent yang
optimal terhadap seluruh pembuluh endotel pada waktu IKP (Jeremias, 2009).
Indikasi pemeriksaan IVUS sewaktu DES adalah pada kelompok pasien
berisiko tinggi yaitu : gagal ginjal, tidak dapat menggunakan pengobatan
Universitas Sumatera Utara
antiplatelet ganda, diabetes mellitus, fungsi ventrikel kiri jelek dan kelompok lesi
risiko tinggi yakni, penyakit cabang utama kiri (left main), percabangan
(bifurkasi), lesi ostial , pembuluh darah.
Meskipun intervensi ini bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah
yang menyempit, dalam kenyataannnya juga memiliki komplikasi. Komplikasi
dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu yang secara umum berkaitan dengan
kateterisasi arteri dan yang berhubungan dengan teknologi yang spesifik yang
digunakan untuk prosedur pada koroner (AHA, 2001).
1. Trombolisis stent
Walaupun angka kejadian hanya 1-2%, kejadian trombolisis stent
masih berisiko sehingga stent harus itu dilapisi oleh endothelium dan hal
tersebut biasanya muncul sebagai MI akut, dengan tingkat kematian tinggi.
Trombolisis stent sering sewaktu bulan pertama pemasangan, tapi bisa
muncul berbulan dan bertahun setelah pemasangan PCI.
2. Stenosis stent
Hal ini berhubungan dengan proses „penyembuhan‟ yang
berlebihan dari dinding pembuluh darah yang bertimbun pada lumen stent.
Stenosis biasanya terbentuk dalam 3-6 bulan dan tidak jarang angina
muncul kembali, tetapi jarang menyebabkan MI. Stenosis stent terjadi
dalam 4-20% dari stent.
3. Komplikasi mayor
Komplikasi mayor lain termasuk kejadian yang jarang, tetapi bisa
mengakibatkan kematian (0,2% dalam kasus berisiko tinggi), MI akut
(1%) yang mungkin memerlukan CABG darurat, stroke (0,5%),
termponade jantung (0,5%) dan perdarahan sistemik (0,5%). Kematian
terjadi saat proses di rumah sakit. Stroke terjadi saat otak kehilangan
fungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemik 24 jam setelah onset.
Universitas Sumatera Utara
4. Komplikasi minor
Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras,
nefropati dan komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan
dan hematoma. Gagal ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum
kreatinin lebih 2 mg/dl.(Butman, 2005)
Prediktor keberhasilan atau terjadinya komplikasi adalah sebagai berikut :
1. Faktor anatomi
Morfologi lesi dan keparahan stenosis diidentifikasikan sebagai predictor
keberhasilan IKP.
2. Faktor klinis
Kondisi klinis dapat mempengaruhi tingkat keparahan. Misalnya, terjadi
komplikasi 15,4% pada pasien dengan diabetes mellitus dan hanya 5,8%
pada pasien yang tidak terkena diabetes mellitus. Faktor-faktor ini meliputi
usia, jenis kelamin, angina yang tidak stabil, gagal jantung kongestif dan
diabetes.
3. Risiko kematian
Kematian pasien yang mendapat tindakan IKP berhubungan dengan oklusi
orkelamin wanita, diabetes, dan infark miokardium.
4. Wanita
Dibandingkan dengan laki-laki, wanita yang mendapat tindakan IKP
memiliki insiden lebih tinggi mendapatkan hipertensi dan
hiperkolestrolemia.
5. Usia lanjut
Usia diatas 75 tahun merupakan kondisi klinis yang cukup besar
dihubungkan dengan peningkatan risiko mendapatkan komplikasi.
6. Diebetes mellitus
Dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami diabetes mellitus,
pasien diabetes mellitus memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
7. Coronary Angioplasty setelah pembedahan CABG
IKP direkomendasikan sebagai prosedur paliatif yang bias menunda
CABG berulang.
8. Konsiderasi teknik yang spesifik
Perforasi arteri coroner dapat sering terjadi saat melakukan intervensi
menggunakan teknologi. Kejadian ini dapat terjadi meliputi terjadinya
rotasi ataupun ekstraksi atherectomy.
9. Faktor hemodinamik
Perubahan tekanan darah dapat dihubungkan dengan LV ejection fraction
dan risiko rusaknya miokardium (AHA, 2001)
2.2 Faktor risiko
Penyempitan pembuluh darah dapat terjadi karena beberapa penyebab.
Penyempitan ini bias dipicu oleh adanya atheroma. Atheroma merupakan plak
ateromatosa yang terdiri atas lesi fokal yang meninggi yang berawal di dalam
intima, memiliki inti lemak ( terutama kolesterol dan ester kolesterol) yang lunak,
kuning dan grumosa serta dilapisi oleh selaput fibrosa putih yang padat. Ukuran
plak bervariasi dari garis tengah 0,3 sampai 1,5 cm, tetapi kadang-kadang
menyatu membentuk massa sebagian lingkaran dinding arteri dan membentuk
bercak-bercak yang tersebar di sepanjang pembuluh. Lesi aterosklerotik awalnya
bersifat fokal dan tersebar jarang, namun seiring dengan perkembangan penyakit
lesi bertambah banyak dan difus (Robbins, 2007).
Aterosklerosis terutama mengenai arteri elastik. Di arteri kecil, atheroma
dapat menyumbat lumen, mengganggu aliran darah ke organ distal dan
menyebabkan jejas iskemik. Selain plak aterosklerotik dapat menyebabkan jejas
iskemik. Selain itu, plak aterosklerosis dapat mengalami kerusakan dan memicu
terbentuknya thrombus yang semakin menghambat aliran. Di arteri besar, plak
bersifat destruktif, menggerogoti tunika media di dekatnya dan memperlemah
dinidng pembuluh yang terkena menyebabkan aneurisma yang dapat pecah. Selain
itu atheroma luas bersifat rapuh, sering menghasilkan embolus ke sirkulasi distal.
Universitas Sumatera Utara
Plak aterosklerotik memiliki tiga komponen utama yaitu sel,termasuk sel
otot polos, makrofag dan leukosit lain ; matriks ekstrasel, termasuk kolagen, serat
elastik dan proteoglikan serta ; lemak intrasel. Komponen tersebut dapat dalam
proporsi dan konfigurasi yang berbeda-beda di setiap lesi. Biasanya lapisan
fibrosa superfisial terdiri atas sel otot polos dan kolagen yang relatif padat. Di
bawah dan sisi lapisan penutup ini terdapat daerah seluler yang terdiri atas
makrofag, sel otot polos dan limfosit T (Robbins, 2007).
Jauh di sebelah dalam dari lapisan fibrosa terdapat inti nekrotik yang
mengandung massa lemak yang tersusun acak, celah yang mengandung kolesterol,
debris sel yang mati, sel busa, fibrin,thrombus dan protein plasma lainnya. Sel
busa adalah sel besar penuh lemak yang terutama berasal dari monosit darah,
tetapi sel otot polos juga dapat memakan lemak untuk menjadi sel busa. Akhirnya,
terutama di sekitar bagian tepi lesi, biasanya terdapat tanda- tanda
neovaskularisasi (pembuluh darah halus yang berpoliferasi). Atheroma tipikal
mengandung lemak yang relatif banyak, tetapi banyak dari apa yan disebut
sebagai plak fibrosa mengandung terutama sel otot polos dan jaringan fibrosa.
Faktor-faktor yang turut berperan dalam penyempitan pembuluh darah
tersebut mempengaruhi penyempitan pembuluh darah pada pasien. Faktor risiko
tersebut ada yang dapat diintervensi dan ada juga yang tidak dapat diintervensi.
Faktor risiko tidak dapat diintervensi meliputi :
1. Usia
Usia memiliki pengaruh dominan, angka kematian akibat penyakit
jantung iskemik meningkat setiap dekade bahkan sampai lanjut usia.
Penyempitan biasanya belum nyata secara klinis sampai usia pertengahan
atau lebih, saat lesi di arteri mulai mencederai organ. Antara usia 40 dan
60 tahun, insiden infark miokardium meningkat lima kali lipat.
2. Jenis kelamin
Bila faktor lain setara, laki-laki jauh lebih rentan terkena
penyempitan pembuluh darah dan akibatnya dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
perempuan. Infark miokardium dan penyulit lain aterosklerosis jarang
pada perempuan pramenopause, kecuali mereka memiliki predisposisi
diabetes, hiperlipidemia atau hipertensi berat.
Namun, setelah menopause insiden penyakit terkait aterosklerosis
meningkat, mungkin akibat menurunnya kadar estrogen alami, memang
frekuensi infark miokardium pada kedua jenis kelamin setara pada usia 70
sampai 80-an tahun. Terapi sulih hormon pascamenopause sedikit banyak
memberi perlindungan terhadap serangan aterosklerosis.
3. Riwayat keluarga
Predisposisi familial terhadap aterosklerosis dan penyakit jantung
iskemik kemungkinan besar bersifat poligenik. Pada sebagian kasus,
predisposisi tersebut berkaitan dengan berkumpulnya sekelompok faktor
risiko lain, misalnya hipertensi atau diabetes, sedangkan pada yang lain,
predisposisi tersebut berkaitan dengan kelainan genetik dalam
metabolisme lipoprotein yang menyebabkan kadar lemak darah sangat
tinggi, seperti hiperkolesterolemia familial (Robbins, 2007).
Faktor risiko yang dapat diintervensi :
1. Merokok
Merokok adalah faktor risiko yang sudah terbukti pada laki-laki
dan diperkirakan merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan
aterosklerosis pada perempuan. Merokok satu bungkus atau lebih per hari
selama beberapa tahun dapat meningkatkan angka kematian akibat
penyakit jantung iskemik sampai 200%. Berhenti merokok mengurangi
risiko secara bermakna.
2. Hipertensi
Hipertensi adalah faktor utama untuk aterosklerosis pada semua
usia. Laki-laki berusia 45 sampai 62 tahun yang tekanan darahnya lebih
dari 169/95 mmHg memperlihatkan peningkatan risiko penyakit jantung
iskemik lebih dari 5 kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tekanan
Universitas Sumatera Utara
darahnya 140/90 mmHg atau kurang. Baik tingkat sistol maupun diastol,
sama pentingnya dalam meningkatkan risiko. Terapi antihipertensi
mengurangi insiden penyakit terkait aterosklerosis, terutama stroke dan
penyakit jantung iskemik (Robbins, 2007).
3. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus memicu hiperkolesterolemia dan peningkatan
mencolok predisposisi terjangkit aterosklerosis. Bila faktor lain setara,
insiden infark miokardium setara , insiden infark mikardium dua kali lebih
besar pada pengidap diabetes daripada yang tidak mengidap. Juga terjadi
pengingkatan risiko terkena stroke dan, bahkan yang lebih mencolok
mungkin peningkatan seratus kali lipat risiko ganggren akibat
ateroskelrosis di ekstremitas bawah.
4. Hiperkolesterolemia
Hiperlipidemia adalah fakor risiko utama untuk aterosklerosis.
Sebagian besar bukti secara spesifik menunjukkan hiperkolesterolemia.
Komponen utama serum total yang menyebabkan peningkatan risiko
adalah kolesterol lipoprotein densitas rendah (LDL). Sebaliknya
peningkatan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL) menurunkan risiko.
HDL diperkirakan berperan memobilisasi kolesterol dan atheroma yang
sudah ada memindahkan ke hati untuk diekskresikan ke empedu, sehingga
molekul ini disebut „kolesterol baik‟.
Oleh karena itu, perhatian banyak dicurahkan pada metode
farmakologik, dietetik dan perilaku yang menurunkan LDL, dan
meningkatkan HDL serum. Olahraga dan konsumsi etanol dalam jumlah
moderate meningkatkan kadar HDL, sedangkan obesitas dan merokok
menurunkannya. (Robbins, 2007)
Universitas Sumatera Utara
2.3 Indikasi IKP
ACC/AHA mengklasifikasikan indikasi untuk dilakukannya tindakan PCI
sebagai berikut :
Kelas I : kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa tindakan tersebut bermanfaat dan efektif dilakukan.
Kelas II : kondisi dimana terdapat perbedaan pendapat tentang kegunaan dan
efikasi tindakan tersebut.
Kelas IIa: bukti atau pendapat mengatakan bahwa penelitian ini bermanfaat
Kelas IIb: manfaat tersebut kurang didukung oleh bukti ataupun pendapat.
Kelas III: kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa prosedur tersebut tidak bermanfaat dan tidak efektif, serta pada beberapa
kasus bias menjadi sangat berbahaya (AHA, 2001).
Adapun indikasi dlakukannya IKP adalah sebagai berikut
1. Sindroma koroner akut tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI)
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai
dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI
beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T
yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi.
Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥
0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai
elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah
dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm
semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Jeremias, 2009) .
Pada NSTEMI dan angina pectoris stabil tindakan PCI bertujuan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas coroner.
Universitas Sumatera Utara
Kriteria pasien berisiko tinggi adalah :
- Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat
- Perubahan segmen ST yang dinamis ( depresi segmen > 0,1mv atau
elevasi segmen ST sementara <30 <0,1mv)
- Peningkatan nilat troponin I, troponin II, atau CKMB
- Pada observasi hemodinamis pasien tidak stabil
- Adanya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel
- Angina tidak stabil pada pasca infark dini
- Diabetes mellitus
Pasien yang tergolong pada kelompok berisiko tinggi mempunyai manfaat
yang lebih besar bila dilakukan IKP daripada kelompok risiko rendah. (Hassan,
2007)
2. Sindroma koroner akut dengan elevai segmen ST (STEMI)
Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat
ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan
EKG. Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi
segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis
kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usi a≥40 tahun, STEMI
ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm
bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam
beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu.
IKP yang berpengalaman yang terdiri dari kardiologis intervensi yang
terampil. Stategi reperfusi IKP telah menjadi modalitas pengobatan yang sangat
penting dari STEMI dengan banyak mengalami pada tahun-tahun terakhir ini.
Sedangkan terapi trombolitik dimana dapat digunakan secara luas, mudah
diberikan, dan tidak mahal tetap merupakan pilihan alernatif. IKP telah terbukti
lebih superior disbanding trombolitik dalam pencapaian TIMI 3 flow (perfusi
komplit), iskemik berlang sistemik, mortalitas 30 hari lebih baik dan insiden
stroke pendarahan lebih rendah (AHA, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Berikut adalah algoritme indikasi dilakukannya IKP pada pasien sindroma
koroner akut dengan NSTEMI maupun STEMI (Sudoyo, 2007).
Gambar 1. Algoritme IKP pada NSTEMI
Risiko tinggi
Rx angio segera (2,5 jam) :
inhibitor GPIIb/IIA tunda
Risiko rendah
Rx strategi konservatif Rx strategi invasif
PCI + tirofiban atau
eptifibatid diteruskan
Rx tes stress nonivasif Rx angio dini(48 jam):
inhibitor GPIIb/III3a beri
tirofiban atau eptofibatide
Terapi medik PCI + abciximab atau
eptifibatid
PCI provisional
abciximab atau
eptifibatid
Pasien dengan NSTEMI-
sindroma koroner akut
ASA/klopidogrel/heparin
Nitrat, beta bloker
Universitas Sumatera Utara
Di bawah ini adalah algoritme pelaksanaan indikasi pasien dengan STEMI.
Gambar 2. Algoritme IKP pada STEMI
≥ 3-12 hours
STEMI within 12 hours after onset of symptoms
< 3 hours
Patients presenting in a
hospital with PCI
Patients presenting in a
hospital without PCI
PCI ≤ 24
hours not
available
Immediated transfer
PCI ≤ 24 hours available
succesful failed
thrombolysis
Post
thrombolysis
PCI
Ischemic guided
PCI
Predischarg
e Ischemic
Rescue PCI Primary PCI
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut AHA indikasi IKP adalah sebagai berikut
1. Asimptomatik dan angina ringan
2. Angina kelas II hingga IV atau angina tidak stabil.
Banyak pasien dengan angina stable yng moderate dan severe atau
unstable angina tidak memberi respon yang adekuat terhadap pemberian
terapi obat-obatan dan lebh sering memberikan efek yang signifikan
dengan revaskularisasi Percutaneus Coronary Intervention.
3. Infark miokardiak Percutaneus Coronary Intervention merupakan
tindakan yang efektif untuk memperbaiki perfusi coroner dan cocok
dilakukan untuk lebih dari 90% pasien.
4. Percutaneus Coronary Intervention pada pasien dengan prior coronary
bypass surgery
5. Penggunaan teknologi (AHA, 2001)
Indikasi primer PCI dilakukan pada pasien dengan STEMI kurang dari 12 jam,
dengan Left Bundle Branch Block (LBBB), dan juga STEMI dengan komplikasi
gagal jantung yang severe (Griff, 2008).
Meskipun intervensi perkutan dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat dapat
meningkatkan risiko, revaskulerisasi dapat mengurangi iskemik dan
meningkatkan prognosis jangka panjang (Ellis, 2006).
Pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas dengan fungsi ventrikel kiri
yang lebih buruk mempunyai survival yang lebih lama setelah operasi pintas
koroner meskipun pasien asimptomatis. Pada pasien PJK stabil tindakan
intervensi koroner perkutan dilakukan hanya pada pasien dengan adanya keluhan
dan tanda-tanda iskemik akibat penyempitan pembuluh darah. Pada penelitian
awal dijumpai manfaat yang lebih kecil terhadap survival pasien yang dilakukan
IKP tanpa stent dibandingkan dengan operasi pintas koroner. Tetapi dengan
adanya stent dan stent bersalut obat dan tersedianya obat-obat ajuvan, tindakan
IKP ini menghasilkan manfaat yang lebih besar dibandingkan operasi pintas
koroner ( Hasan, 2007)
Universitas Sumatera Utara
2.4 Lokasi penyempitan
Dalam tindakan IKP ini harus diketahui anatomi dari pembuluh darah
yang mengalami penyempitan. Sesuai dengan pengertiannya, tindakan IKP ini
dilakukan untuk melebarkan daerah yang menyempit pada pembuluh darah.
Selain itu, faktor anatomi ini mempengaruhi keberhasilan ataupun komplikasi
IKP.
Klasifikasi baru membedakan penyempitan berdasarkan tingkat keparahan
yaitu mild, moderate dan severe. Perbedaan tingkatan ini dibedakan berdasarkan
ada tidaknya thrombus da nada tidaknya oklusi (Grech, 2011).
2.4.1 Anatomi kasar
Jantung adalah organ berongga dan memiliki empat ruang yang terletak
diantara kedua paru-paru di bagian tengah toraks. Dua per tiga jantung terletak di
sebelah kiri garis midsternal. Jantung dilindungi oleh mediastinum, jantung
memiliki ukuran kurang lebih segenggaman kepalan tangan pemiliknya. Ujung
atas yang lebar mengarah bahu kanan dan ujung bawah yang mengerucut
mengarah panggul kiri. Pelapis terdiri dari perikardium dan rongga perikardial.
Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu epikardium di bagian luar
yang terdiri atas lapisan mesotelium yang berada di atas jaringan ikat.
Miokardium di bagian tengah terdiri atas otot jantung yang berkontraksi untuk
memompa darah. Yang terakhir adalah endothelial yang terletak di atas jaringan
ikat (Slonane, 2000).
2.4.2 Ruang Jantung
Jantung terdiri atas empat ruang yaitu atrium kanan dan atrium kiri yang
dipisahkan oleh septum intratial, ventrikel kanan dan ventrikel kiri yang
dipisahkan oleh septum interventrikular. Dinding atrium relatif tipis. Atrium
membawa darah dari vena yang membawa darah kembali ke jantung. Atrium
kanan terletak di bagian superior kanan jantung, menerima darah dari seluruh
Universitas Sumatera Utara
tubuh kecuali paru-paru. Vena kave superior dan inferior membawa darah yang
tidak mengandung oksigen.
Arteri koroner terdiri atas Left Coronary Artery (LCA), Left Marginal Artery
(LMA), Right Coronary Artery (RCA), Left Anterior Descending (LAD), Right
Marginal Artery (RMA), Circumflex Artery dan Posterior Descending Artery.
Gambar 3. Anatomi arteri koroner.
2.4.3 Sirkulasi koroner memperdarahi jantung
Arteri koroner kanan dan kiri merupakan cabang aorta tepat di atas katup
semilunar aorta. Arteri ini terletak di atas sulkus koroner. Cabang utama dari arteri
koroner kiri adalah sebagai berikut :
1. Arteri interventrikuler arterior (desenden) yang mensuplai darah ke
bagian anteriorventrikel kanan dan kiri serta membentuk suatu
cabang, arteri marginalis kiri, yang mensuplai darah ke ventrikel kiri.
Universitas Sumatera Utara
2. Arteri sirkumpleksa menyuplai darah ke atrium kiri dan ventrikel kiri.
Di sisi anterior, arteri sirkumfleksa beranastomosis dengan arteri
koroner kanan.
Cabang utama dari arteri koroner kanan adalah sebagai berikut:
1. Arteri intraventrikular posterior (desenden) yang mensuplai darah
untuk kedua dinding ventrikel.
2. Arteri marginalis kanan yang mensuplai darah untuk atrium kanan
dan ventrikel kanan.
Vena jantung (besar,kecil,oblik) mengalirkan darah dari miokardium ke
sinus koroner yang kemudian bermuara di atrium kanan. Darah mengalir melalui
arteri koroner terutama saat otoo-otot jantung berelaksasi karena arteri koroner
juga tertekan pada saat kontraksi berlangsung.
Ada beragam anatomi sirkulasi pada manusia. Sebagian besar orang
memiliki sirkulasi koroner yang seimbang, tetapi ada orang tertentu yang
memiliki dominan koroner kanan atau dominan koroner kiri (Slonane,2000).
Pada pengklasifikasian lesi dikenal istilah deskripsi lesi risiko tinggi atau
lesi C yaitu sebagai berikut :
1. Adanya difusi lebih dari 2 cm
2. Excessive tortuosity dari segmen proksimal
3. Segmen terakumulasi lebih dari 900
4. Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral
5. Ketidakmampuan untuk melindungi cabang yang lebih besar
6. Vena yang terdegenerasi
Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral dan
vena yang terdegenerasi adalah untuk kegagalan teknik dan peningkatan
restenosis dan tidak untuk komplikasi akut (AHA, 2005).
Adapun klasifikasi lesi berdasarkan SCAI, lesi dibagi menjadi 4 tipe lesi
sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tipe I ( angka keberhasilan tertinggi, risiko terendah)
1. Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C
2. Patent
Tipe II
1. Ada beberapa kriteria lesi C
Difusi ( lebih dari 2 cm)
Excessive Turtuosity dari segmen proksimal
Segmen terakumulasi >900
Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar
Vena yang terdegenerasi
2. Patent
Tipe III
1. Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C
2. Oklusi
Tipe IV
1. Ada kriteria lesi C
Difusi lebih dari 2 cm
Excessive tortuosity dari segmen proksimal.
Segmen terangulasi >900
Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar
Vena yang terdegenerasi
Oklusi lebih dari 3 bulan
2. Oklusi (AHA, 2005)
Universitas Sumatera Utara
2.5 Derajat penyempitan
Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual
oleh operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif
untuk mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan (Gray dkk,
2005). Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis ≥
50 % pada LMCA atau ≥ 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun
1997 dalam Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan
dibagi menjadi :
- Grade 0 : penyempitan < 25%
- Grade 1 : penyempitan 25-49 %
- Grade 2 : penyempitan 50-74%
- Grade 3 : penyempitan 75-94 %
- Grade 4 : penyempitan ≥ 95%
Universitas Sumatera Utara