II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · laut sebagai salah satu daerah tujuan wisata paling...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · laut sebagai salah satu daerah tujuan wisata paling...
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Wilayah Pesisir dan Laut
Sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku, namun
demikian terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah
suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis
pantai (shoreline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu:
batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus
terhadap garis pantai (crosshore).
Menurut Rais et al. (2004). batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara
ke negara yang lain, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan,
sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri. Dalam menentukan batas ke
arah darat dan kearah laut dari suatu wilayah pesisir terdapat beberapa alternatif
(pilihan). Salah satu pendapat menyatakan bahwa wilayah pesisir dapat meliputi
suatu kawasan yang sangat luas mulai dari batas lautan (terluar) ZEE sampai
daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim laut. Pendapat lainnya menyatakan
bahwa suatu wilayah pesisir hanya meliputi kawasan peralihan antara ekosistem
laut dan daratan yang sangat sempit, yaitu dari garis rata-rata pasang tertinggi
sampai 200 m kearah darat dan ke arah laut meliputi garis pantai pada saat rata-
rata pasang terendah.
Menurut Rais et al. (2004). batas wilayah pesisir ke arah darat pada
umumnya adalah jarak secara arbitrer dari rata-rata pasut tinggi (mean high tide)
dan batas ke arah laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurisdiksi propinsi.
Bahwa untuk kepentingan pengelolaan, batas kearah darat dari suatu wilayah
pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah
perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation
zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management). Wilayah
perencanaan biasanya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat
kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata
terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Oleh karena itu, batas wilayah
pesisir kearah darat untuk kepentingan perencanaan (planning zone) dapat sangat
jauh ke arah hulu. Wilayah pesisir dan laut ditetapkan sesuai dengan wilayah
14
kewenangan yang disepakati bersama diantara otoritas pengelola, dimana
wilayah pengaturan selalu lebih kecil dan berada didalam wilayah perencanaan.
Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat berubah yang tergantung
pada isu pengelolaannya. Menurut kesepakatan internasional, wilayah pesisir
didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, kearah darat
mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang
surut, dan kearah laut meliputi daerah paparan benua (Beatley et al., 1994).
Definisi wilayah pesisir diatas memberikan suatu pengertian bahwa
ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan
habitat beragam, merupakan sistem yang kompleks, di dalamnya terjadi interaksi
berbagai proses alami (hidrologi dan geomorfologi), sosial, budaya, ekonomi,
administrasi dan pemerintahan (French, 2004). Dalam perspektif ekonomi-
ekologi, wilayah pesisir dan laut merupakan sistem yang dicirikan oleh adanya
saling hubungan secara fisik, biokimia dan sosial-ekonomi (Turner, et al., 1998).
Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem
yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
Berbagai aktivitas ekonomi penting penduduk dunia seperti permukiman,
industri, pertanian dan pariwisata yang terkonsentrasi di wilayah pesisir telah
memberikan dampak pada terjadinya peningkatan kepadatan penduduk secara
signifikan (Joseph dan Balchand.2000). Pariwisata sebagai salah satu sektor
penting penyangga ekonomi dunia, bahkan menempatkan wilayah pesisir dan
laut sebagai salah satu daerah tujuan wisata paling dominan. Aktivitas industri
dan permukiman yang intensif telah mendorong wilayah pesisir dan laut
berkembang menjadi wilayah dengan dinamika yang semakin besar dimasa yang
akan datang. Wilayah pesisir dan laut memiliki tingkat kelimpahan sumberdaya
yang tinggi namun sarat dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Kondisi ini
cenderung menyimpan potensi konflik yang besar, yang apabila tidak dikelola
dengan baik (mismanagement), akan membawa kerugian baik secara ekonomi
maupun ekologi.
Pengelolan wilayah laut berkaitan erat dengan kebijakan nasional
masing-masing negara, dimana lautan merupakan kesatuan dari permukaan,
kolom air, sampai ke dasar dan bawah dasar laut. Dasar hukum yang digunakan
15
oleh negara-negara pantai dalam menentukan batas wilayah laut adalah Konvensi
Hukum Laut PBB, 1982 (UNCLOS, 1982). Menurut konvensi ini, sebuah negara
memiliki kewenangan untuk mengeksploitasi sumberdaya (minyak dan gas bumi,
perikanan dan berbagai bahan tambang lainnya) yang berada di dalam zone yang
diatur pada konvensi tersebut, diantaranya adalah memanfaatkan Zona Ekonomi
Eksklusif dengan batas terluar dari ZEE ini sejauh 200 mil dari garis pangkal
pada surut rendah (low water line). Dalam rangka pelaksanaan otononmi daerah
(Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999) tentang
Pemerintahan Daerah dan tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah tercantum batas kewenangan daerah di wilayah laut propinsi
adalah sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, dan kewenangan daerah
kabupaten sejauh sepertiga dari kewenangan daerah propinsi.
2.2. Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir dan Laut
Potensi pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara
garis besar terdiri dari 3 (tiga) kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih
(renewable resources), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable
resources), dan (3) jasa-jasa pelindungan lingkungan (environmental services)
pesisir. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Tim CIDA/Bappenas (1988),
pada tahun 1987 nilai ekonomi total yang dihasilkan oleh sebelas kegiatan
pembangunan (pemanfaatan) sumberdaya pesisir dan lautan (minyak dan gas,
industri, transportasi dan komunikasi, pelayaran dan pelabuhan, pertanian,
perikanan tangkap, pariwisata, kehutanan, perikanan budidaya, kegiatan
masyarakat pesisir, dan pertambangan) sebesar kira-kira Rp. 150 trilyun, atau
hampir setara dengan total produk domestik bruto. Berbagai kegiatan
pembangunan tersebut merupakan sumber mata pencaharian dan kesejahteraan
bagi sekitar 13,6 juta orang, dan secara tidak langsung mendukung kegiatan
ekonomi bagi sekitar 60% dari total penduduk Indonesia yang bermukim di
kawasan pesisir. Kemudian pada tahun 1990, kontribusi ekonomi kegiatan sektor
kelautan tersebut meningkat menjadi Rp. 43,3 trilyun atau sekitar 24% dari total
produk domestik bruto, dan menyediakan kesempatan kerja bagi sekitar 16 juta
16
jiwa (Robertson Group dan PT Agriconsult, 1992). Kenaikan kontribusi ini
terutama disebabkan oleh kegiatan minyak dan gas, perikanan, dan pariwisata.
2.2.1 Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable resources)
Wilayah pesisir dan laut memiliki ekosistem alami yang perlu dijaga
kelestariannya, diantaranya adalah mangrove, terumbu karang (coral reefs),
padang lamun (seagrass beds) dan estuaria. Sumberdaya pesisir dan laut
merupakan penghasil beragam produk dan jasa bernilai ekonomi tinggi, baik bagi
generasi sekarang maupun yang akan datang (Turner et al., 1998). Pengalaman
selama ini menunjukkan, bahwa konservasi terhadap berbagai ekosistem alami
yang dilakukan secara terpadu bukan saja menguntungkan secara ekologi tapi
juga secara ekonomi dan sosial (Clark, 1998).
Menurut Supriharyono, ekosistem pesisir dan laut di daerah tropis
mempunyai potensi besar dalam menunjang produksi perikanan. Tingginya
produktivitas perairan pada ekosistem ini mengakibatkan ekosistem seperti
mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuari merupakan habitat penting
bagi berbagai jenis ikan. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat pemijahan
(spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan sebagai tempat mencari
makan atau pembesaran (feeding ground).
Sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi, ekosistem
mangrove berlokasi didaerah antara level pasang-naik tertinggi sampai level di
sekitar atau di atas permukaan air laut. Bell dan Cruz-Trinidad (1996)
mengatakan, bahwa mangrove memiliki peranan penting baik secara ekonomi
maupun ekologi. Ekosistem mangrove menghasilkan produk dan jasa yang bisa
dieksploitasi secara ekonomis. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi
ekologi penting, yakni dalam hal penyediaan material organik sebagai bahan
nutrisi bagi udang/ikan yang masih muda, retensi sedimen oleh sistem perakaran
mangrove, pencegahan erosi, perlindungan garis pantai dan penyedia habitat bagi
banyak spesies akuatik di dataran lumpur dan perakarannya.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang unik, dijumpai di
daerah tropik, diperairan yang cukup dangkal (kedalaman kurang dari 30 m) dan
suhu diatas 20oC. Menurut Widiati (2000), ekosistem terumbu karang berperan
17
penting sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan dan biota laut yang bernilai
ekonomi tinggi; juga sebagai pelindung pantai dari hantaman gelombang,
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya abrasi. Agar bisa tumbuh dengan
baik, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, suhu perairan yang
hangat, gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar dan terbebas dari proses
sedimentasi (Rais et al., 2004).
Ekosistem padang lamun juga hanya dijumpai di laut dangkal, dinilai
unik karena perakarannya yang ekstensif dengan sistem rhizome. Daunnya yang
tumbuh lebat bermanfaat untuk mendukung tingginya produktivitas ekosistem
(Supriharyono, 2002). Ekosistem padang lamun berperan penting dalam
memerangkap (trapped) sedimen, menstabilkan substrat dasar dan menjernihkan
air. Pola distribusi padang lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan
aktivitas manusia (Cunha et al., 2005). Ekosistem padang lamun menyediakan
habitat penting bagi berbagai jenis biota laut, sekaligus merupakan sumber
makanan langsung bagi kebanyakan hewan.
Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan
laut, sehingga air laut dengan kadar garam tinggi dapat bercampur dengan air
tawar. Kombinasi pengaruh air laut dengan air tawar di daerah estuaria
menghasilkan komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang beragam
(Supriharyono, 2002). Karakteristik kadar garam, suhu dan sedimen di daerah
estuaria memberikan konsekuensi pada karakteristik spesies organisme yang
hidup di daerah itu. Karena fluktuasi salinitas yang tinggi, organisme yang dapat
hidup di estuaria terdiri dari jenis: hewan laut yang mempunyai kemampuan
mentolerir perubahan kadar garam tinggi, hewan air tawar yang mempunyai
kemampuan mentolerir perubahan kadar garam, dan hewan air payau yang tidak
ditemukan hidup di air laut maupun air tawar (Widiati, 2000).
Tingginya produktivitas primer di wilayah pesisir dan laut seperti pada
ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria
memungkinkan tingginya produktivitas sekunder (produksi perikanan) di
wilayah tersebut. Sampai saat ini, perikanan tangkap berskala kecil yang
diusahakan mendominasi jenis perikanan tangkap di Indonesia. Tingginya
aktivitas penangkapan ikan di lokasi-lokasi tersebut telah menyebabkan
18
terjadinya overfishing beberapa jenis ikan demersal yang berlanjut dengan
terjadinya permasalahan sosial.
2.2.2 Sumberdaya Tak Dapat Pulih (Non-renewable Resources)
Sumberdaya tak dapat pulih di wilayah pesisir dan laut terdiri dari
sumberdaya mineral dan geologi. Sumberdaya mineral terdiri dari tiga kelas,
yaitu kelas A (mineral strategis; misalnya minyak, gas dan batu bara), kelas B
(mineral vital; misalnya emas, timah dan nikel) dan kelas C (mineral industri;
misalnya granit dan pasir). Indonesia mempunyai potensi sumberdaya mineral di
wilayah pesisir dan laut yang merupakan devisa utama dalam beberapa
dasawarsa terakhir.
Cadangan petroleum (minyak dan gas) Indonesia tersebar di 60 cekungan
(basins) yang sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan laut seperti
Kepulauan Natuna, Selat Malaka, pantai selatan Jawa, Selat Makasar dan Celah
Timor (Rais et al., 2004). Logam mulia (emas) sekunder diperkirakan terdapat di
daerah Selat Sunda (sekitar perairan Lampung), perairan Kalimantan Selatan dan
di daerah perairan Maluku Utara serta Sulawesi Utara.
Sumberdaya geologi yang telah dieksploitasi adalah bahan baku industri
dan bahan bangunan; antara lain pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu
pondasi. Pemanfaatan sumberdaya geologi di wilayah pesisir dan laut
diupayakan agar tetap memperhatikan konsep keberlanjutan sehingga bisa
menjamin ketersediaan sumberdaya tersebut selama mungkin.
2.2.3 Sarana dan Struktur Pelindung Pantai
a) Sarana Pelindung Pantai menggunakan strategi proteksi bersifat
lunak (beach nourishment) menggunakan mangrove. Ekosistem mangrove
mempunyai daya lenting (resilience) yang mampu membuat lingkungan pesisir
dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi (diantaranya kenaikan muka air
laut). Selain itu ekosistem mangrove dapat melindungi pantai dari abrasi, erosi
dan intrusi air laut kedalam air tanah.
Meningkatnya kebutuhan soft enginering sebagai alternatif teknologi
pelindung pantai dengan pendekatan lunak, mendorong berkembangnya studi
19
mengenai efektivitas mangrove sebagai greenbelt pantai. Untuk itu optimasi
teknologi yang menghasilkan pemanfaatan struktur lunak yang tepat sangat
dibutuhkan sebagai upaya mengembangkan teknologi konservasi dan rehabilitasi
pantai yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan.
Kemampuan akar mangrove untuk meningkatkan elevasi dari permukaan
tanah mangrove, yaitu dengan menjebak transport sedimen dari daratan
(sediment trap), dapat dimanfaatkan untuk mengurangi tingginya tingkat
genangan air di daratan. Sehingga dapat mengurangi dampak banjir bagi
masyarakat.
Gambar 2.1. Rod surface elevation tables (RSETs), Daftar Tuas pengukur Elevasi Permukaan digunakan untuk mengukur perubahan elevasi melalui ketinggian
pohon/gradien produktivitas (Duvail and Hamerlynck, 2003; Mc. Kee et al. 2007)
20
Menurut Parnette (1993), McKee (2007) dan McLeod et al. (2006), hutan
mangrove mempunyai kemampuan sebagai penahan abrasi, amukan angin taufan
& tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, mampu menghadapi
perubahan cuaca dan kenaikan muka laut sehingga sangat dianjurkan untuk
dilestarikan. Guna pengelolaan reboisasi di Semarang perlu dilakukan kajian
analisis kelayakan ke-ekonomian pengelolaannya sebagai masukan dalam
penentuan kebijakan.
Kajian analisis tingkat keberlanjutan adalah bertujuan untuk menjamin bahwa
pengelolaan Semarang”water front city” akan terkelola secara berkelanjutan.
Ada beberapa metode analisis keberlanjutan “water front city” dari disiplin ke
ilmuan Arsitektur dan Civil Engineering yang menggunakan pendekatan infra
struktur dan urban/hunian (Gilmour et al. 2007). Berdasar latar belakang penulis
di bidang Program Studi Lingkungan (PSL), pendekatan yang digunakan dalam
disertasi ini adalah pengelolaan pesisir secara berkelanjutan dengan mengadopsi
soft-ware Rap-Fish yang dimodifikasi menjadi Rap-WITEPA. Kedua metoda
tersebut meskipun menggunakan dimensi yang hampir serupa, tetapi atribut yang
digunakan akan banyak berbeda.
Sistem perlindungan pesisir dari ancaman banjir rob, dengan
menggunakan hutan mangrove, saat ini belum dilaksanakan di Kota Semarang.
Namun berdasarkan kajian penelitian sebelumnya di tempat-tempat lain (Duvail
and Hamerlynck 2003; McKee et al. 2007) bahwa masing-masing metode
tersebut mempunyai kemampuan dalam menghadapi ancaman banjir akibat
kenaikan muka air laut walaupun dengan beberapa kekurangan, maka dirasakan
perlu adanya suatu kajian terhadap kemungkinan dilakukannya metode sistem
perlindungan tersebut bagi Kota Semarang. Selain itu juga perlu dilakukan
analisis dampak dari penerapan metode perlindungan tersebut agar dapat dicapai
upaya perlindungan yang berkelanjutan dan aman bagi lingkungan
b) Sumberdaya Pantai (Beache resources), berupa pasir, batu karang,
reef, gravel. Pantai (beach) secara ekologis didefinisakan sebagai gabungan
antara daerah pasang rendah, menengah , pasang tinggi, mencapai daerah
pencucian. Sumberdaya pantai disini berupa perlindungan pantai dan turisme
21
pantai yang secara tidak langsung pantai akan dilindungi oleh pembangunan
hotel, sarana turisme, budidaya penyu, dan lain lainnya.
c). Menggunakan strategi proteksi keras berupa struktur bangunan
pelindung pantai.
Menurut Burchartch dan Hughes (2001) : Struktur pelindung pantai
pesisir bertujuan untuk melindungi/mencegah bahaya erosi pantai dan terjadinya
banjir di pedalaman, termasuk melindungi lembah pelabuhan dan daerah
pemasukan pelabuhan terhadap arus gelombang, menstabilkan saluran navigasi
dan melindungi masuk dan keluarnya air. Adapun jenis-jenis struktur pelindung
yang sering digunakan adalah :
Sea dikes; Sea wall; Revetments; Bulkheads; Groins; Detached breakwaters;
Reef breakwaters; Submerged sills; Beach drain; Beach nourishment and dune
construction; Breakwaters; Floating breakwaters; Jetties; Training walls;
Storm surge barriers; Pipelines; Pile structures; Scour protection
c.1. Revetment
Revetment atau biasa disebut dengan “slope protection”adalah merupakan
bangunan pelindung tebing pantai terhadap gelombang yang relatif kecil,
misalnya pada kolam pelabuhan, reservoir/bendungan, jalan air (water-
way) ataupun pantai dengan gelombang kecil. Ada dua kelompok
revetment yaitu “permeable revetment” (open filter material- rip-rap,
stone pitching dan concrete block revetment) dan “ impermeable
revetment”(aspalt revetment dan bitument grouted stone concrete block)
c.2 Sea Wall
Sea Wall (dinding laut) merupakan pelindung tebing pantai terhadap
gelombang yang cukup besar. Kelemahan dari revetment maupun seawall
adalah kemungkinan terjadinya penggerusan yang cukup dalam di kaki
bangunan, sehingga dapat mengganggu stabilitas bangunan. Oleh karena
itu pada bagian kaki bangunan ini harus dibuatkan suatu pelindung erosi
yang cukup baik.
22
c.3 Bulkheads
Fungsi utama adalah untuk menahan terjadinya sliding tanah, selain
melindungi tanah dari kerusakan akibat gelombang.
c.4 Training Jetty
Merupakan bangunan pelindung yang digunakan untuk stabilisasi muara
sungai. Apabila tebing sungai relatif rendah, maka training jettty ini harus
dikombinasikan dengan tanggul sungai.
c.5 Groin (Groyne)
Groin adalah merupakan bangunan pelindung pantai yang direncanakan
untuk menahan/menangkap angkutan pasir (longshore transport) atau
untuk mengurangi angkutan pasir. Groin juga merupakan bangunan
(tipis, kecil) yang memotong pantai biasanya secara tegak lurus.
Groin hanya dapat dipergunakan untuk melindungi erosi pantai yang
disebabkan karena “longshore transport” dan bukan karena “offshore
transport”. Pembangunan groin pada suatu pantai yang tererosi akibat
“onshore transport” ataupun “offshore transport” dapat berakibat
mempercepat proses erosi.
c.6 Breakwater
Breakwater adalah merupakan pelindung pantai yang bertujuan untuk
mengurangi besarnya energi gelombang yang akan merusak daerah
tertentu. Bangunan ini biasanya dibuat untuk melindungi pelabuhan atau
daerah wisata bahari, disamping itu bangunan ini juga dapat digunakan
untuk menstabilkan muara sungai (Jetty). Bangunan ini dapat terbuat dari
tumpukan batu baik batu alam maupun batu buatan (lebih dikenal dengan
nama “rubble mound”
Ada 2 (dua) tipe tumpukan batu pemecah gelombang: Overtapping
breakwater dan Nonovertopping breakwater.
c.7 Offshore Dam
Menurut Ecolmantech (2006), konsep dasar pemasangan OSD adalah
untuk menghilangkan pengaruh langsung pasang air laut terhadap daratan
dan garis pantai. Air permukaan dapat mengalir secara alami ke dalam
23
danau yang terbentuk diantara OSD dan daratan, dengan jalan
merendahkan permukaan air.
Bila tinggi permukaan air didalam danau mencapai permukaan kritis, air di
dalam danau bisa dipompakan kedalam laut.
OSD dipasang dengan jarak tertentu dari garis pantai ke arah laut.
Design dan konstruksi dam tersebut berdasarkan tehnologi yang telah di
patentkan baru-baru ini (e.g. No. P0000037). Pembangunan dam dimulai dari
kota Kendal, di tarik ke timur dan berakhir di Jepara. Panjang dam diperkirakan
139 km, lebar 40 m, dan posisi terjauh OSD mencapai kurang lebih 15 km dari
garis pantai yang ada. Pada titik terjauh tersebut laut mempunyai kedalaman
kurang lebih 20 m. Daerah/areal yang berdekatan dengan OSD dan garis pantai
yang ada adalah sekitar 45.000 hektar, atau lebih luas dari kota Semarang
(37.000 hektar). OSD itu sendiri harus dilengkapi dengan area tanah baru (new
land area) untuk linear water front city (LWFC) mendekati 15,000 hektar,
termasuk area yang dibutuhkan untuk pelabuhan baru.
Pada pembangunannya akan diperoleh dua buah danau retensi (retention
lake) yang kemudian diubah menjadi danau air tawar (D1 dan D2) seluas lebih
dari 21.000 hektar (Gambar 2.2).
23
Gambar 2.2. Rencana Pembangunan Off Shore Dam (OSD) di Pesisir Kota Semarang
(sumber: Echolmantech 2006)
24
25
Mekanisme pengendalian rob dan banjir adalah sebagai berikut: puncak
ketinggian OSD harus 2,00 m diatas laut; ketinggian air didalam danau retensi
harus 3,00 m dibawah ketinggian permukaan laut dan, pada saat yang sama 2,00
m dibawah ketinggian estuari-estuari sungai yang ada. Danau-danau harus bisa
mengakomodasikan aliran air masuk dari sungai-sungai sampai ke kenaikan
maksimum 1,5 m. Diluar dari jumlah ini, bila ketinggian maksimum air telah
dicapai, maka sistem pemompaan air harus diaktifkan untuk membuang
kelebihan air danau ke laut bebas.
Dengan mekanisme ini, sistem alternatif water management level air
dengan penggunaan OSD akan secara terpusat bisa mengatasi masalah rob dan
intrusi air laut di sekeliling daerah pantai Semarang.
Namun menurut (Duvail and Hamerlynck 2003), laporan dari World Commision
on Dams’2000 menyatakan assesmen yang didasarkan pada studi kasus di
banyak tempat menunjukkan bahwa banyak dam tidak melakukan fungsi yang
sesuai dengan manfaat atau jasa pelayanan yang diharapkan. Juga, dampak
negatif sosial dan lingkungan dari dam sering kurang diantisipasi atau kurang
diperkirakan (under-estimate) sebelumnya. Sehingga gagasan pembuatan Dam
Lepas Pantai (Off Shore Dam/OSD) untuk penanggulangan banjir rob di pesisir
Kota Semarang juga perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya dari segi sosial,
ekonomi, maupun ekologi/lingkungan, untuk menjamin keberlanjutan dari sistem
perlindungan pesisir tersebut.
2.3. Pengembangan dan Pengelolaan Pesisir dan Laut
Banyak teori pengembangan dan pengelolaan wilayah yang dapat
dijadikan acuan dalam konteks pengelolaan lingkungan wilayah tepian pantai.
Teori-teori tersebut dibangun atas dasar dan tujuan yang berbeda-beda.
Kelompok pertama adalah teori-teori yang memberi penekanan pada
kesejahteraan wilayah (regional prosperity). Kelompok kedua memberi
penekanan pada sumberdaya alam dan lingkungan yang dinilai mempengaruhi
keberlanjutan sistem produksi (sustainable production). Kelompok ini sering
disebut sebagai kelompok yang peduli pada pembangunan berkelanjutan.
Kelompok ketiga memberi penekanan pada institusi (kelembagaan) dan proses
26
pengambilan keputusan (decision making) di tingkat lokal sehingga kajian
terfokus pada pemerintahan yang bertanggung jawab dan berkinerja baik.
Ketiga kelompok teori ini memberikan implikasi yang berbeda dalam
fokus pengembangan wilayah. Menurut Akil (2001), penerapan teori ini
didasarkan pada perhatian terhadap masalah utama yang dihadapi
masyarakat/wilayah dengan sasaran pada 3 aspek, yaitu perekonomian yang baik
(good economy), masyarakat yang baik (good society) dan proses politik yang
baik (good political process). Sejalan dengan sasaran tersebut, Haeruman (2001)
mengatakan bahwa dalam perkembangannya, konsep pengembangan wilayah
sejalan dengan penetapan priorits pembangunan ekonomi. Pada mulanya,
pembangunan dilakukan untuk tujuan efisiensi (efficiency objective).
Pengalaman kemudian membawa pada berkembangnya pemikiran untuk juga
memberikan prioritas bagi tujuan pemerataan (equity objective). Dengan adanya
pergeseran orientasi tersebut, kebijakan pembangunan tidak dapat hanya
memaksimalkan efisiensi saja, tetapi harus ada keseimbangan tawar-manawar
(trade-off) antara keduanya.
Aktualisasi konsep pengelolaan secara terpadu dapat diwujudkan melalui
strategi pengelolaan potensi ekonomi wilayah. Dalam kaitan ini Haeruman
(2001), melihat adanya pergeseran paradigma pembangunan ekonomi yang
dipengaruhi oleh perkembangan demokrasi dan kecenderungan global yang pada
dasarnya mencakup hal-hal berikut :
a. Pergeseran dari integrasi fungsi (functional integration) yang
memberi tekanan pada pendekatan sektoral menuju integrasi
kedaerahan (territorial integration) yang memberi tekanan pada
pemberdayaan masyarakat lokal.
b. Pergeseran dari pengembangan nasional (national development)
menuju pengembangan lokal (local development). Pembangunan
nasional di masa datang merupakan kerangka tindakan dari
pembangunan masyarakat lokal yang bercirikan karakteristik wilayah.
c. Pergeseran dari dikotomi desa dan kota (rural and urban dichotomy)
menuju keterkaitan desa-kota (rural-urban linkages). Pengembangan
pengelolaan dimasa datang harus melihat keterkaitan antara desa dan
27
kota sebagai suatu mata rantai pengelolaan ekonomi wilayah yang
saling mempengaruhi.
d. Pergeseran dari orientasi daratan menuju ke orientasi pesisir dan
kepulauan. Pengembangan pengelolaan wilayah di masa datang perlu
mempertimbangkan akses dari simpul ke simpul, sumberdaya alam di
laut yang bersifat dinamis, serta keterkaitan antara pemanfaatan
sumberdaya alam dan kewenangan masyarakat lokal.
2.4. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi,
sosial-budaya yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United
Nation’s conference on the human environment di Stockholm tahun 1972.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi
mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Komisi
Brundland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu
kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses
perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi
perkembangan teknologi, dan perubahan situasi dibuat konsisten dengan masa
depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Pada tingkat yang minimum,
pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang
mendukung semua kehidupan di muka bumi.
Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial-budaya, dan
politik. Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu
masyarakat. Tujuan tersebut menjadi atribut dari apa yang ingin dicapai atau di
maksimalkan oleh masyarakat, yang dapat mencakup kenaikan pendapatan
perkapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses terhadap
sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya sehingga
konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana karakter
vektor pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce and
Tannis, 1999).
28
Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global
mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan
sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi.
Kesepakatan ini jelas menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekologi, ekonomi dan sosial-
budaya. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi
yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya
perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat
peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang.
Sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development COMHAR, 1999 Concept), terdapat 7(tujuh) tema :
Kepuasan (satisfaction) kebutuhan manusia dalam penggunaan
sumberdaya secara efisien
Equiti/kekayaan, keadilan antar generasi
Menghormati integritas keragaman hayati dan ekologi
Pemerataan kekayaan (equity), keadilan antar negara dan wilayah
Pemerataan kekayaan (equity), keadilan antar generasi
Keadilan sosial
Menghormati harta peninggalan/warisan dan keaneka ragaman
Membuat keputusan terbaik
Pengelolaan sumberdaya/fasilitas infra struktur, pembangunan peralatan
perlindungan pantai (Coastal Zone Protection), guna memfasilitasi kota tepian
air tersebut diatas harus dilaksanakan sesuai dengan kewajiban minimum
memenuhi 2 (dua) aspek dari ke tujuh aspek diatas
Membuat suatu keputusan terbaik (Good decision making) dalam
pemilihan alternative konsep pengelolaan kota tepian air dimana,
secara ekologis meningkatkan kualitas ekosistem, secara ekonomi
dengan valuasi ke-ekonomian terbaik dan mendorong peningkatan
pendapatan/peningkatan ke-ekonomian PEMDA dan masyarakat
terkait, dan secara sosial budaya meningkatkan kesempatan/lowongan
pekerjaan bagi masyarakat dan pendidikan.
29
Pemerataan dan keadilan sosial (Social Equity), keikut sertaan
keterlibatan/peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan.
2.5 Daya Dukung Lingkungan, Eksternalitas dan Kesesuaian Lahan
2.5.1 Daya Dukung Lingkungan
Menurut Rais et al. dalam Bohari R. (2009), permasalahan yang
berhubungan dengan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir seperti
pencemaran, kelebihan tangkap, erosi, sedimentasi, kepunahan jenis dan konflik
penggunaan ruang merupakan akibat dari terlampauinya tekanan lingkungan
yang ditimbulkan oleh penduduk serta segenap aktifitas pembangunan terhadap
lingkungannya dimana memiliki kemampuan terbatas.
Daya dukung lingkungan pesisir diartikan sebagai kemampuan suatu
ekosistem untuk menerima jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi
terjadinya kerusakan lingkungan (Krom, 1998). Daya dukung lingkungan sangat
erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan
jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan
polusi (UNEP, 1993)
Menurut Odum, Daya dukung lingkungan adalah jumlah populasi
organisme yang kehidupannya dapat didukung oleh suatu kawasan/ekosistem
Menurut Scones (1993) didalam Bohari R. 2009. Daya dukung
lingkungan dibagi dalam 2 hal, yaitu: (1) daya dukung ekologis adalah jumlah
maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa
mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan
lingkungan secara permanen. (2) daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi
(skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh
tujuan usaha secara ekonomi. Menurut Poernomo (1997) daya dukung untuk
lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktifitas
lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan itu sebagai nilai mutu
lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen
(kimia, fisika dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem.
Daya dukung lingkungan dipengaruhi oleh variabel-variabel populasi,
lahan/area dan waktu yang dapat dirumuskan sebagai: dN/dt = k.L.A ( L – N)
30
dimana N = banyaknya populasi, L = kapasitas maksimum lingkungan yang
dapat mendukung pertumbuhan, k = koefisien pertumbuhan, t = waktu, A = area
Menurut Inglis et.al, jenis daya dukung: daya dukung fisik (ukuran, jumlah,
area), daya dukung produksi (kelimpahan stock), daya dukung ekologi (pengaruh
kelimpahan stock terhadap ekosistem), dan daya dukung sosial. Menurut
Widigdo (2004), penentu daya dukung suatu wilayah adalah: 1) kondisi biofisik
wilayah, 2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan lingkungan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan paradigma ini, metode
penghitungan daya dukung kawasan pesisir dilakukan dengan menganalisis:
1) Kondisi (variabel) biogeofisik ( iklim, Geologi dan tanah, Geomorfologi,
Physiography, Hidrologi & Oceanografi, Flora dan Fauna) yang
menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan
SDA dan JASLING.
2) Variabel Sosekbud yang menentukan demand/kebutuhan (kependudukan,
standard hidup, pembangunan: target pertumbuhan ekonomi, social
equity)
Variabel Biofisik wilayah pesisir akan menentukan kemampuan wilayah pesisir
dalam menyediakan SDA & Jasling ( ruang, SDA pulih dan tak pulih, asimilasi
limbah, amenities and life support system ). Variabel Biofisik bisa dimanipulasi
atau diperbaiki oleh sentuhan teknologi, manajemen, ekspor-import.
Variabel Sosekbud yang menentukan demand, akan menentukan permintaan
manusia terhadap SDA & Jasling ( bahan pangan, bahan sandang, ruang dan
bahan pemukiman, bahan dan jasa kesehatan, bahan dan jasa pendidikan,
kebutuhan sekunder, tersier, dsb. Pembangunan/pengelolaan akan berkelanjutan
bila: Permintaan manusia terhadap SDA & Jasling lebih kecil dari kemampuan
wilayah dalam menyediakan SDA & Jasling.
Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi bervariasi sesuai
dengan kondisi biogeofisik wilayah dan kebutuhan manusia akan sumberdaya
alam dan jasa-jasa lingkungan (goods and services) di wilayah tersebut. Oleh
karena itu daya dukung suatu wilayah dapat ditentukan atau diperkirakan secara:
Kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam
memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada di
31
wilayah pesisir (Rais, 2000). Dengan demikian, tahapan untuk menetapkan atau
menentukan daya dukung wilayah pesisir untuk mewujudkan pembangunan
secara berkelanjutan adalah:
1. Menetapkan batas-batas vertikal, horisontal terhadap garis pantai,
wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan.
2. Menghitung luasan wilayah pesisir yang di kelola
3. Mengalokasikan (zonasi) wilayah pesisir tersebut menjadi tiga (3) zona
utama yaitu: zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan..
4. Menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona
pemanfaatan.
Selain tahapan tersebut diatas juga dilakukan penghitungan tentang
potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia,
misalnya stock assessment sumberdaya perikanan, potensi hutan mangrove,
pengkajian ketersediaan air tawar , pengkajian tentang kapasitas asimilasi dan
pengkajian tentang permintaan internal terhadap sumberdaya alam dan jasa
lingkungan. Analisis tentang konsep daya dukung untuk pembangunan wilayah
pesisir yang lestari harus memperhatikan keseimbangan kawasan.
Untuk kegiatan yang bernilai ekonomi, Rais (2000) membagi menjadi 3
kawasan yaitu:
a) Kawasan preservasi yaitu kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi
seperti tempat berbagai hewan untuk melakukan kegiatan reproduksinya,
dan sifat-sifat alami yang dimiliki seperti green belt, kegiatan yang boleh
dilakukan di kawasan ini adalah untuk yang bersifat penelitian dan
pendidikan, rekreasi alam yang tidak merusak, kawasan ini paling tidak
meliputi 20% dari total area.
b) Kawasan konservasi yaitu kawasan yang dapat dikembangkan namun
tetap dikontrol, seperti perumahan, perikanan rakyat, dan kawasan ini
meliputi tidak kurang dari 30% dari total area.
c) Kawasan pengembangan intensif termasuk didalamnya kegiatan budidaya
secara intensif. Limbah yang dibuang dari kegiatan ini tidak boleh
melewati batas kapasitas asimilasi kawasan perairan. Zona ini mencakup
50% dari total area.
32
2.5.2 Eksternalitas
Dalam ilmu ekonomi, konsep eksternalitas telah lama dikenal. Istilah ini
mengandung pengertian bahwa suatu proses produksi dapat menimbulkan
adanya manfaat atau biaya yang masih belum termasuk dalam perhitungan biaya
proses produksi. Dalam pengertian ekonomi, diketahui bahwa pemilikan atau
pemanfaatan atau produksi suatu barang oleh seseorang akan menimbulkan
manfaat menghasilkan produk yang bernilai guna pada pemiliknya atau pada
orang lain. Hal sebaliknya bisa juga terjadi, yaitu menghasilkan dampak atau
barang yang merugikan. Keadaan seperti ini, yaitu adanya output suatu proses
yang menimbulkan manfaat maupun dampak negatif pada orang lain disebut
eksternalitas. Bila manfaat yang dirasakan oleh orang lain, maka disebut
eksternalitas positif dan bila kerugian disebut eksternalitas negatif karena
mekanisme pasar sistem perekonomian yang berlangsung saat ini pada umumnya
tidak memasukkan biaya eksternalitas dalam biaya produksi (WWF, 2004).
Dampak lingkungan atau eksternal negatif timbul ketika satu variabel
yang dikontrol oleh suatu agen ekonomi tertentu mengganggu fungsi utilitas
(kegunaan) agen ekonomi yang lain. Dalam pengertian lain, efek samping atau
eksternalitas terjadi ketika kegiatan konsumsi atau produksi dari suatu individu
atau kelompok atau perusahaan mempunyai dampak yang tidak diinginkan
terhadap utilitas atau fungsi produksi individu, kelompok atau perusahaan lain
(Fauzi, 2004).
2.5.3 Kesesuaian Lahan
Menurut Sugiarti et al..(2000). Sjafi’i et al. (2001). di dalam Rofiko
(2005), parameter kesesuaian penggunaan lahan adalah sebagai berikut:
a). Kriteria kawasan pariwisata pesisir:
Ketersediaan air tawar terletak pada air permukaan dan daerah resapan.
Tingkat rawan bencana : sangat rendah sampai ringan
Drainase: tidak tergenang
Penggunaan lahan: alang-alang, semak, hutan, kebun campuran,reklamasi
Tipe tanah: pasir, pasir berlempung
Sempadan pantai dan sungai
33
b) Kriteria kawasan perikanan:
Kekeruhan 2-30 NTU
Salinitas 27-33%
Oksigen terlarut mimimal 3 ppm
Suhu 27-32oC
Arus perairan 5-15 cm/detik
Kecerahan > 3 meter
Kadar padatan tersuspensi 5-25 ppm
Derajat keasaman 6,5 – 9,0
c) Kriteria kawasan industri
Ketinggian: pedataran sampai perbukitan sedang
Kemiringan lereng: 0 – 8%
Ketersediaan air tawar terletak pada air permukan dan daerah resapan
Rawan bencana: sangat rendah sampai ringan
Drainase: tidak tergenang
Penggunaan lahan: alang-alang, semak, hutan, kebun campuran,reklamas
d) Kriteria kawasan pelabuhan
Ketersediaan air tawar terletak pada air permukaan dan daerah resapan
Rawan bencana: sangat rendah sampai ringan
Drainase: tidak tergenang
Penggunaan lahan: alang-alang, semak, hutan, kebun campuran,
reklamasi.
Ketinggian: pedataran sampai perbukitan sedang
Kedalaman: > 13 meter
Pasang surut: < 2 meter
Gelombang laut: < 0,2 meter
Arus laut: < 0,5 knot
Angin: < 8,5 knot
34
2.6 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut bersifat unik dan sangat berbeda
dengan pengelolaan sumberdaya terrestrial atau perairan. Menurut Clark (1998),
Begum (1993) dan Klaus et all (2003) ,untuk itu diperlukan program pengelolaan
khusus yang disebut dengan ICZM (Integrated Coastal Zone Management) atau
IMCAM (Integrated Marine and Coastal Area Management). ICZM didisain
untuk membangun sistem pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pesisir dan
laut dalam rangka mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan
konservasi ekologi (Jorge, 1997).
Integrated Coastal Zone Management adalah sistm pengelolaan
sumberdaya yang dilakukan pada level lokal/regional (Holder, 2003; French,
2004) dengan bantuan pemerintah pusat (Clark,1998). Berkolaborasi dengan
berbagai stakeholder, mulai dari masyarakat pesisir, para pelaku dari berbagai
sektor ekonomi (perikanan, pertanian, perindustrian dan pariwisata), para
konservasionist dan pemerintah pusat (Jorge, 1997).
Fokus dari ICZM adalah pada pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan,
konservasi biodiversitas, perlindungan lingkungan dan penanggulangan bencana
alam diwilayah pesisir dan laut. Konsep diarahkan untuk mewarnai
pembangunan wilayah pesisir dan laut melalui pendidikan, pengelolaan
sumberdaya dan penilaian lingkungan. Di antara instrumen utama ICZM adalah
peraturan pemerintah tentang perlindungan biodiversitas dan pengendalian
pemanfaatan sumberdaya serta penilaian lingkungan yang dapat memprediksi
dampak dari berbagai kegiatan pembangunan (Clark, 1998).
Keluasan partisipasi publik, koordinasi antara pemerintah dengan sektor
swasta serta pengembangan keilmuan tentang konservasi wilayah pesisir dan laut
sangat ditekankan dalam konsep ICZM. Pada tataran perencanaan, melakukan
penilaian terhadap berbagai rencana kegiatan, menyiapkan rencana
penanggulangan dampak dan alternative kegiatan yang menjamin
berlangsungnya pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan. Pada tataran
pengelolaan, memberikan petunjuk (guidance) pada proses pembangunan
wilayah pesisir dan laut untuk meningkatkan konservasi sumberdaya dan
perlindungan biodiversitas dengan menggunakan berbagai pendekatan.
35
Diantara beberapa pendekatan dasar yang digunakan, adalah Joseph dan
Balchand (2000) menekankan pentingnya zoning sebagai pendekatan utama
ICZM. Dalam konteks zoning, wilayah pesisir dan laut mengenal beberapa zona
sub-devisi (subdivision zone), yaitu zona preservasi (preservation zone), zona
riset keilmuan (scientific research zone), zona satwa liar (wilderness zone), zona
taman nasional (national park zone), zona rekreasi (recreation zone) dan zona
pemanfaatan umum (general use zone). Pelaksanaan zonasi telah banyak
digunakan oleh negara-negara pantai untuk mengimplementasikan ketentuan
tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara efektif. Prosedur ini
meliputi perizinan, penguasaan lahan serta rehabilitasi dan revisi secara berkala
baik secara administratif maupun ilmiah.
Program konservasi wilayah pesisir dan laut yang kaya akan berbagai
sumberdaya dipandang penting seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang
semakin cepat. Wilayah pesisir sarat akan berbagai pemanfaatan, seperti
permukiman, perdagangan, rekreasi, militer dan industri. Di berbagai belahan
dunia, pertumbuhan ekonomi yang tidak berkelanjutan dan pertumbuhan
penduduk yang pesat merupakan faktor penekan utama wilayah pesisir dan laut
Konversi lahan di wilayah pesisir dan laut untuk berbagai kepentingan
berlangsung begitu dahsyat dan berdampak pada terjadinya degradasi dan deplesi
sumberdaya alam dan pencemaran.
Beberapa program ICZM yang penting diantaranya adalah meningkatkan
produktifitas perikanan dan pendapatan dari sektor swasta, mempertahankan
fungsi hutan mangrove, serta melindungi kehidupan dan sumberdaya lainnya dari
kerusakan. ICZM menjamin keberlanjutan ekonomi berbasis sumberdaya dalam
jangka panjang. Menurut Worm (1998), pengelolaan wilayah pesisir dan laut
harus didasarkan pada kesadaran tentang potensi sumberdaya yang unik yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masa depan dengan tanpa
meninggalkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan.
Berkaitan dengan berbagai persoalan yang dihadapi ICZM, Clark (1998)
mengemukakan beberapa persoalan penting sebagai berikut :
36
a. Degradasi sumberdaya.
Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sampai saat ini dinilai telah
melampaui kapasitas yang tersedia. ICZM menawarkan konsep
manajemen penggunaan secara berkelanjutan (sustainable use
management) yang menjamin ketersediaan sumberdaya terbarukan
(renewable) untuk saat ini dan masa depan.
b. Pencemaran.
Pencemaran industri, kegiatan minyak dan gas, erosi dan sedimentasi
menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung dan kualitas
sumberdaya. Pencemaran bersumber dari daratan dan terbawa ke laut
melalui sungai.
c. Penurunan nilai Biodiversitas / keanekaragaman hayati.
Konsekuensi dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi
adalah tekanan terhadap spesies yang memiliki nilai estetika dan
ekonomis tinggi. Pengaturan melalui kebijakan pemerintah diperlukan
untuk melindungi spesies yang terancam punah.
d. Bencana alam.
ICZM mengintegrasikan perlindungan kehidupan dan sumberdaya pesisir
dan laut dari bencana alam (misalnya banjir, siklon dan penurunan tanah)
ke dalam perencanaan pembangunan.
e. Kenaikan permukaan air laut (Giles, 2002)
Kenaikan permukaan air laut lebih dari 1 kaki (30 cm) dalam kurun
waktu 100 tahun terakhir disebabkan oleh tingginya konsentrasi gas
rumah kaca (GRK) di atmosfir berpotensi menimbulkan banjir yang
mengancam kehidupan masyarakat.
f. Abrasi pantai.
Abrasi merupakan masalah yang mengancam masyarakat yang tinggal di
dekat bibir pantai. ICZM merekomendasikan pendekatan non-struktural
seperti penataan kembali garis pantai dan pemeliharaan jarak aman dari
garis pantai untuk semua kegiatan pembangunan.
37
g. Penggunaan lahan.
Penggunaan lahan yang tidak terkendali seperti permukiman peduduk,
reklamasi pesisir tanpa AMDAL yang benar berpotensi menimbulkan
dampak negatif terhadap ekosistem pesisir (misalnya terjadinya
penurunan biodiversitas karena pencemaran). ICZM mengantisipasi hal
semacam itu dan merekomendasikan solusinya.
h. Pedalaman (Hinterland).
ICZM berperan dalam menyusun strategi untuk mengurangi dampak
negatif pemanfaatan lahan hinterlands terhadap sumberdaya pesisir dan
laut.
i. Bentang darat (Landscap).
Bentang darat dan pemandangan alam wilayah pesisir dan laut bersifat
unik, sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melindungi dan
menjamin akses masyarakat ke wilayah tersebut. Salah satu program
ICZM adalah melakukan preservasi keindahan pemandangan alam.
j. Konflik pemanfaatan sumberdaya.
Wilayah pesisir dan laut menyimpan potensi konflik diantara para
stakeholder. ICZM menyediakan platform metodologi resolusi konflik
secara formal.
2. 7. Kota Tepian Air (Waterfront City)
2.7.1. Pengertian Waterfront dan Waterfront City
Menurut Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 34, No. 2, Desember 2006,
pengertian waterfront dalam Bahasa Indonesia secara harafiah adalah daerah tepi
laut, bagian kota yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan (Echols, 2003).
Sedangkan, urban waterfront (kota tepian air) mempunyai arti suatu lingkungan
perkotaan yang berada di tepi atau dekat wilayah perairan, misalnya lokasi di
area pelabuhan besar di kota metropolitan (Wrenn, 1983).Dari kedua pengertian
tersebut maka definisi dari waterfront adalah suatu daerah atau area yang terletak
di dekat/berbatasan dengan kawasan perairan dimana terdapat satu atau beberapa
kegiatan dan aktivitas pada area pertemuan tersebut.
38
Berdasarkan tipe proyeknya, tepian air dapat dibedakan menjadi 3 jenis,
yaitu konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan
atau revitalisasi (development/revitalization). Konservasi adalah penataan tepian
air kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap
dinikmati masyarakat. Sebagai contoh, bila pada pesisir Semarang dilakukan
penanganan kebijakan seperti apa adanya (as usual), hanya dilakukan penjagaan
agar tetap dinikmati masyarakat.
Pembangunan kembali adalah upaya menghidupkan kembali fungsi-
fungsi tepian air lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan
masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang
ada. Sebagai contoh, bila pada pesisir Semarang dilakukan penanganan kebijakan
dimana disamping penjagaan agar tetap dinikmati masyarakat, juga dilakukan
usaha-usaha evaluasi, pembenahan, penataan dan menghidupkan kembali
potensi fungsi-fungsi tepian air (reboisasi mangrove, penanaman terumbu
karang, budidaya rumput laut, pembangunan struktur pelindung sederhana,
pengolahan limbah untuk menciptakan badan air yang bersih).
Pengembangan atau revitalisasi adalah usaha menciptakan tepian air yang
memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi
pantai. Sebagai contoh, bila pada pesisir Semarang dilakukan penanganan
kebijakan pemasangan dam lepas pantai yang membentang dari Kendal sampai
Demak, seperti yang diusulkan oleh Ecolmantech (2001).
Berdasarkan fungsinya, tepian air dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu
tepian air pemanfaatan terpadu (mixed-used waterfront), tepian air rekreasi
(recreational waterfront), tepian air tempat tinggal (residential waterfront), dan
tepian air untuk kerja (working waterfront). Tepian air pemanfaatan terpadu
adalah tepian air yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran,
restoran, pasar, rumah sakit, dan atau tempat-tempat kebudayaan. Tepian air
rekreasi adalah adalah semua kawasan tepian air yang menyediakan sarana-
sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain,
tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar. Tepian air tempat tinggal
adalah perumahan, apartemen dan resort yang dibangun di pinggir perairan.
39
Tepian air untuk kerja adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial,
galangan kapal, reparasi kapal pesiar, dan fungsi-fungsi pelabuhan.
4.7.2 Profil “water front city” secara ekologis
Sebagai wilayah peralihan, ekosistem waterfront memiliki struktur
komunitas dan tipologi yang berbeda dengan ekosistem lainnya ( wilayah
waterfront merupakan wilayah daratan kecamatan pesisir sampai pasang surut
terendah kearah laut).
Ekosistem alami dari waterfront adalah : hutan mangrove, padanglamun,
pantai ber pasir, pantai berbatu, formasi pescapare, formasi barringtonia, estuaria
laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: tambak, sawah
pasang-surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan kawasan pemukiman.
Menurut Salm (1984), ekosistem diklasifikasikan sebagai:
a. Ekosistem waterfront yang secara permanen atau berkala tergenangi air
adalah: 1) hutan mangrove (2) padang lamun (3) estuaria (4) pantai pasir
(5) pantai berbatu
b. Ekosistem waterfront yang tidak tergenangi air adalah: 1) Formasi
Pescarpae: Ekosistem ini umumnya terdapat di belakang pantai berpasir.
Formasi pescarpae didominasi oleh vegetasi pionir, khususnya Impomea
pescarpae (kangkung laut). 2) formasi baringtonia
Burbrige dan Maragor (1985) mengusulkan suatu sistem klasifikasi lebih
sederhana dan lebih fungsional terdiri dari hanya 10 tipe ekosistem, yaitu:
agroekosistem, tambak, rawa air tawar, pantai, estuaria, hutan rawa pasang –
surut, hutan mangrove, padang lamun (seagrass), terumbu karang, ekosistem
demersal, dan ekosistem pelagik. Keterkaitan (hubungan fungsional) antara 10
ekosistem tersebut digambarkan sebagai berikut.
4.7.3 Penggunaan lahan water front city
Adalah pada kawasan yang memiliki potensi untuk dikembangkan
sebagai kawasan terpadu dengan memanfaatkan kondisi pantai sebagai lokasi
pengembangan. Potensi dalam hal ini adalah kawasan yang memiliki embrio
pengembangan kearah pantai dan berpotensi sebagai kawasan terpadu dengan
40
pengembangan berbagai aktifitas . Dalam rencana penetapan penggunaan
kawasan strategis water front city perlu dipertimbangkan:
1. Pembangunan longstorage yang aman menjadi tanggung jawab
pengembangan
2. Harus membangun sistem pengaman pantai
3. Desain geometris kawasan harus aman terhadap dampak negatif (abrasi,
sedimentasi, backwater)
4. Ketinggian dan design bangunan mempertimbangkan KKOP dan
keselapatan penerbangan.
5. Kawasan terpisah dari bandara
6. Membangun akses tersendiri
7. Pengembangan untuk jasa, rekreasi, permukiman dan fasilitas. Tidak
dimungkinkan untuk pengembangan industri.
8. Kawasan sepanjang tepi pantai untuk ruang terbuka dan konservasi
9. Pemenuhan kebutuhan utilitas (air bersih, sampah, limbah lainnya) harus
mandiri
10. Pemanfaatan lahan reklamasi dapat dilaksanakan setelah terbentuk
kestabilan lahan.
Kriteria umum dari penataan dan pendesainan tepian air adalah
(Prabudiantoro, 1997) :
Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut,
danau, sungai, dan sebagainya )
Biasanya merupakan area pelabuhan, perdagangan, permukiman atau
pariwisata
Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukuman
industri, atau pelabuhan
Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan
Pembangunan dilakukan ke arah vertikal-horisontal.
41
Aspek- aspek yang Menjadi Dasar Perancangan Pengembangan Konsep
Waterfront
Pada perancangan kawasan tepian air, ada dua aspek penting yang mendasari
keputusan - keputusan rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek tersebut adalah
faktor geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree, 1989).
a. Faktor Geografis
Merupakan faktor yang menyangkut geografis kawasan dan akan
menentukan jenis serta pola penggunaannya. Termasuk di dalam hal ini adalah:
Kondisi perairan, yaitu dari segi jenis (laut, sungai, dst), dimensi dan
konfigurasi, pasang-surut, serta kualaitas airnya.
Kondisi lahan: ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta
kepemilikannya
Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah
hujan.
b. Konteks perkotaan (Urban Context)
Adalah merupakan faktor-faktor yang nantinya akan memberikan ciri
khas tersendiri bagi kota yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara
kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait.
Termasuk dalam aspek ini adalah:
Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di kawasan
waterfront, atau sekedar merasa "memiliki" kawasan tersebut sebagai
sarana publik.
Khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang
perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi
atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan.
Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta
pengaturan sirkulasi di dalamnya.
Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan
satu kawasan waterfront dengan lainnya.
42
Perencanaan Pengembangan Waterfront di Indonesia
Melihat topografi Indonesia sebagai negara kepulauan, konsep tersebut sangat
cocok dikembangkan di: Menado, Makasar, Jakarta (Pantai Indah Kapuk dan
Ancol), Pekanbaru dan Semarang.
Pengembangan Fungsi Kawasan Yang Dapat Diterapkan
Sebagai Kawasan Bisnis
Di dalam “Waterfront Development” dapat dikembangkan sebagai
kawasan bisnis sebagai contoh di Canary Wharf salah satu bagian kawasan
“London Docklands”. Di daerah tersebut terlihat di tepian air banyak gedung -
gedung perkantoran serta kondominum. Kawasan tersebut dapat menjadi pusat
bisnis.
Sebagai Kawasan Hunian
Harus diperhatikan kualitas air sesuai dengan persyaratan hunian. Dalam
pengembangan hunian di tepi air dapat di bangun produk rumah ataupun
kondominium. Penerapan kawasan huian di tepi air dapat dilihat di daerah Port
Grimoud - Prancis. Di sepanjang aliran sungainya banyak terbangun hunian
bertingkat.
Sebagai Kawasan Komersial dan Hiburan, Plaza, dsb. dengan kualitas air
sesuai dengan kebutuhan.
2.7.4. Kota Tepian Air Di Indonesia
Terdapat sekitar 216 kota tepian air (KTA), diantaranya adalah Jakarta,
Pontianak, Balikpapan, Semarang, Menado, Palembang, Banjarmasin, dsb.
Masing-masing kota tepian air ini umumnya mempunyai kelebihan, keunikan
dan daya tarik tersendiri. Kondisi ini bila dikelola dengan baik tentu akan
memberikan manfaat bagi pemerintah kota setempat dan warganya.
Kota atau kawasan tepian air di Indonesia pada umumnya memegang
peranan dan fungsi yang sangat penting, karena selain secara historis merupakan
titik awal pertumbuhan suatu kota, juga sebagai pintu gerbang aktivitas
kawasan/kota baik aktivitas ekonomi, sosial maupun budaya dari arah laut.
Tetapi hampir semua kota tepian air di Indonesia yang ada saat ini menunjukkan
43
bahwa secara fisik dan fungsi kota, kurang optimal pengembangannya dan
pemanfaatannya, baik dari aspek kota sebagai ruang publik maupun aset
ekonomi kota. Sementara pengembangan kawasan tepian pantai yang sudah ada
belum tentu berhasil menjadikan kawasan tepian pantai tersebut sebagai kawasan
pemanfaatan terpadu yang terangkai menerus dan saling menunjang baik
kepentingan ekonomi maupun kepentingan ruang untuk masyarakat luas,
sehingga pada umumnya keindahan pantai tidak dapat diakses dan dinikmati
secara langsung oleh masyarakat dan cenderung terkotak-kotak dalam
kepemilikan pribadi. Disamping itu aset-aset budaya dan ekonomi kawasan
kurang dimanfaatkan serta kurang terintegrasi dengan sistem kota.
1. Jakarta Kota Tepian Sungai
Kota Jakarta dengan Sungai Ciliwung dan kedua belas sungai yang
mengalirinya. Fenomena pemanasan global dan degradasi kualitas lingkungan
memaksa Jakarta harus membangun kota (sungai) ramah air untuk
menghidupkan kembali air dalam tata kotanya. Sebagai Kota Sungai, Pemerintah
Propinsi DKI harus merefungsi bantaran sungai bebas dari sampah dan
permukiman, menghijaukan kembali bantaran serta menjadikan halaman muka
bangunan dan wajah kota
2. Balikpapan Kota Tepian Pantai
Seperti Kota Tepian Air lainnya di Indonesia, aset-aset budaya dan
ekonomi kawasan kurang dimanfaatkan serta kurang terintegrasi dengan sistem
kota. Selain hal tersebut, terdapat isue-isue strategis sehubungan dengan
pengembangan kawasan tepian pantai Pusat Kota di Balikpapan, yaitu :
Pengembangan pantai Melawai sebagai area rekreasi pantai yang
merupakan kawasan khusus wisata dipusat kota
Ruang-ruang terbuka milik Pertamina akan dikembalikan kepada
Pemerintah Daerah pada tahun 2003
Pertamina akan menawarkan aset-aset non operasional
(entertainment center) kepada pihak swasta/investor
44
Pemerintah Daerah sampai saat ini belum mempunyai grand
scenario dan urban guideline secara khusus dalam pengembangan
kawasan tepian air di pusat kota.
Visi : Menjadi Pusat Kota Baru Yang bernuansa pantai di pusat kota Balikpapan
Misi :
Menciptakan Central Business District yang berorientasi pada
waterfront
Menciptakan Commercial dan culture Main Street atau Strip yang
manusiawi, dan ekologis
Menciptakan waterfront city yang menerus sepanjang pantai dan
pengamatan akses publik terhadap tepian pantai dan akses ke
pantai
Tahapan Pembangunan : Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL), Advisory,
Proses pembangunan: Ada dua pelaku yang melaksanakan proses pembangunan:
a) Pemerintah Kota, dengan diterbitkannya SK walikota diharapkan
Land Right Transfer/sale kepada investor dapat mulai dilakukan
sambil mulai dikeluarkannya peraturan daerah. Sebagai penyedia
pelayanan publik, pemerintah kota melakukan revitalisasi dan
konservasi bagi permukiman nelayan, civic center dan pengembangan
pantai Melawai melalui program upgrading, ressetlement, new
development dan site & service.
b) Swasta, seperti program Kasiba Lisiba, pembangunan prasarana
sekunder dilaksanakan oleh investor di Lisiba yang dikuasainya
setelah memperoleh tanah dengan melakukan pembangunan seawall,
riverwall, drainage, jalan dan landscape. Ada tiga jenis sumber
pembiayaan yang dapat digunakan oleh masing-masing pelaku:
offshore loans, National & Local Bank, dan APBN & APBD. Untuk
Pemerintah Kota dapat menggunakan ketiganya sedangkan untuk
investor/swasta hanya dapat menggunakan offshore loans, dan
National * Local Bank di samping modal mereka sendiri.
45
3. Semarang Kota Tepian Pantai (Waterfront City)
Merupakan kota yang dekat dengan pantai. Masyarakat lokal yang
berprofesi sebagai nelayan tradisional menambatkan kehidupannya pada laut.
Dengan meningkatnya kegiatan reklamasi yang menutupi view pemandangan ke
laut dengan bangunan, lambat laun pantai Semarang dengan wisata laut yang
indah tidak bisa lagi bisa diperoleh masyarakat secara cuma-cuma dan akan
dikuasai oleh perorangan dan swasta. Kini nelayan harus berhadapan dengan
penggusuran lahan kerja mereka, dan mengubah mata pencaharian mereka dari
“melaut” menjadi pekerja yang menempati sektor informal.
Menurut Kepres RI. No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung dan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kawasan pantai
masuk dalam kawasan lindung dimana sepanjang pantai 100 meter dari titik
pasang tertinggi kearah darat harus dilindungi atau bebas dari kawasan budidaya
(bangunan, lahan pertanian, dll) guna untuk melindungi fungsi ekosistem pantai.
Semarang memiliki garis wajah yang sebagian berada di sepanjang pantainya,
dengan demikian zona ini rentan terhadap pengrusakan alam.
Menurut Sukawi (2007), Semarang Waterfrontcity Jurnal Ilmiah,
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan tepian air adalah:
Menjaga siklus kehidupan masyarakat Kota Semarang dengan tetap
menyediakan aksesibilitas publik untuk dapat menikmati keindahan
alam Pantai Semarang,
Ruang-ruang publik harus tetap disediakan dalam rangka menjaga
interaksi sosial antar sesama umat manusia tanpa harus memberikan
beban tambahan, dengan dibuatkan ruang-ruang terbuka hijau yang
memberikan pandangan aktif masyarakat ke alam laut dan
memanfaatkannya untuk berbagai keperluan
Dibuatkan aturan khusus bagi masyarakat untuk penggunaan ruang-
ruang tersebut sehingga kegiatan tradisional nelayan dan masyarakat
bisa menyatu dengan kegiatan modern.
Konsep Kota Tepian Air dalam kaitannya dengan perumusan masalah di
pesisir Semarang : - Menurut Kondoatie (2008), Kota Semarang hampir seabad
bersahabat dengan banjir sehingga masyarakat telah mampu beradaptasi dengan
46
banjir yang telah merupakan rutinitas tahunan. Persoalan banjir di Kota
Semarang disebabkan 2 (dua) hal pokok :
a. Perubahan tata-guna lahan, khususnya di daerah aliran sungai (DAS)
semakin parah. Perubahan tata-guna lahan dari hutan menjadi
permukiman dapat menambah debit air sungai 5-29 kali lipat, sementara
pembersihan sedimentasi dan pelebaran sungai oleh Pemkot hanya
menampung 2-4 kali debit air.
b. Penurunan permukaan tanah yang tinggi.
Sebagai daerah banjir, Kota Semarang memiliki pilihan :
Menjauhkan air dari masyarakat
Menjauhkan masyarakat dari banjir
Masyarakat harus hidup harmonis dengan air
Dari ketiga pilihan tersebut, alternatif pertama dan kedua membutuhkan
biaya sangat tinggi, sementara pilihan ketiga merupakan hal paling masuk akal,
yaitu masyarakat harus hidup harmonis dengan air, merupakan konsep kota
tepian air yang menghendaki masyarakat membuat rumah panggung dengan
kondisi sekelilingnya air yang bersih.
Konsep kota tepian air dapat diterapkan untuk daerah yang tingkat
penurunan tanahnya tinggi seperti: Tanah Mas, Tawang, Tambak Lorok
Menurut Nirwono, 2009 , ada lima kriteria untuk pengelolaan kota tepian
air yaitu: kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam
membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara
berkelanjutan, pengelolaan air, dan limbah ramah lingkungan.
Kota memberikan kemudahan akses untuk memperoleh air bersih layak
minum. Di tempat-tempat publik disediakan keran air minum gratis. Saluran air
terhubung secara hierarkis tidak terputus, terawat baik bebas sampah, bersih dan
lancar. Partisipasi masyarakat membersihkan saluran air di depan rumah harus
terus di giatkan. Sumur resapan air diperbanyak dan situ-situ direvitalisasi untuk
memperbanyak serapan air kedalam tanah dan mengurangi air yang dibuang ke
sungai (eko-drainasi).
Pencemaran air sungai dikurangi dengan pembuatan instalasi pengolahan
air limbah menjadi air daur ulang untuk mandi, mencuci, dan menyiram.
47
Pemda Kota Semarang harus merefungsi bantaran sungai bebas dari
sampah dan permukiman, menghijaukan kembali bantaran, serta menjadikan
halaman muka dan bangunan dan wajah kota. Meskipun memakan waktu dan
daya tahan lama, upaya revitalisasi bantaran kali harus diikuti sosialisasi yang
mendorong warga untuk berpartisipasi pindah secara suka rela bergeser (bukan
tergusur) ke kawasan terpadu yang komprehensif.
Pemda, pengembang besar, dan perancang kota bersama membangun
kawasan terpadu yang terencana matang dan layak huni. Kawasan dilengkapi
fasilitas hunian vertikal sistem mager sari, perpaduan berimbang 1:3:6 (1 hotel, 3
apartemen, 6 rusunami), pendidikan (sekolah, kursus, pelatihan), ibadah,
perkantoran, dan pasar, serta dekat jalur transportasi publik. Penghuni cukup
berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan dalam kawasan, serta
mengandalkan transportasi publik ke luar kawasan.
Jika tidak, warga yang tergusur akan berpindah menghuni ruang hijau
kota lainnya (bantaran sungai, rel kereta api, bawah jalur tegangan tinggi, kolong
jalan layang, tepian situ) di lain lokasi. Bantaran sungai, bantaran rel kereta api,
jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang dapat dikembangkan sebagai taman
penghubung antar-ruang kota (urban park connector). Warga dapat berjalan kaki
atau bersepeda menyusuri sungai menuju ke berbagai tempat tujuan harian
dengan aman, nyaman, dan bebas kemacetan sambil menikmati keindahan
lanskap tepi sungai. Pengoperasian perahu air sebagai alat transportasi air kota
(waterway) dan taman penghubung (jalur sepeda) akan mendukung pola
transportasi makro terpadu Kota Semarang.
Untuk menjaga kebersihan dan mengendalikan pemanfaatan sungai,
Pemda harus mengoperasikan patroli perahu kecil pembersih sungai setiap hari
untuk mengangkut sampah tepi sungai sekaligus mengawasi pemanfaatan badan
sungai oleh masyarakat.
Pemukiman Di Atas Air
Menurut Budihardjo (1997), adalah sewajarnya bahwa bangunan-
bangunan di Indonesia tidak lagi dibangun secara tidur atau tengkurap menutupi
48
bumi, tetapi harus diberdirikan atau dibuat susun keatas agar tersisa ruang
terbuka yang cukup lega untuk bernafas, dan tidak memperparah banjir.
Berkaitan dengan pemukiman bagi kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah, perlu arif dan bijaksana, dimana para penentu kebijakan jangan hanya
terpukau oleh aspek reka-yasa daya, tetapi justru wajib lebih menghayati norma,
tata-nilai, dan perilaku masyarakat yang ditargetkan. Kualitas lingkungan
kehidupan yang mampu memberikan wadah dan peluang bagi penghuni guna
mengaktualisasikan diri dalam segenap kegiatan sosial-ekonomi-budaya–nya,
pantas masuk dalam perhitungan.
Kebanyakan penduduk perkampungan menganggap rumah mereka tidak
sekedar sebagai tempat hunian semata-mata, melainkan juga sebagai tempat
berusaha untuk menambah penghasilan (pola mixed-used)
Dengan adanya panduan penataan secara modern (berupa rumah
panggung atau rumah susun), maka bisa diperoleh suatu pemukiman yang
manusiawi, ramah lingkungan, dan harga yang terjangkau. Sebagai percontohan
Pemukiman Atas Air adalah Pemukiman Margasari, Kelurahan Margasari,
Kecamatan Balikpapan Barat, Tarakan, Kalimantan Timur. Digunakan konsep
modern dimana Tata-Ruang Pemukiman, Infrastruktur jalan dan bangunan
terbuat dari kayu. Bahan bangunan dari kayu ulin, Sanitasi baik sehingga tidak
kotor/kumuh. Akses jalan langsung penetrasi dengan pemukiman. Penyediaan
hydrant ditiap simpul pertemuan jalan mempercepat antisipasi terhadap
kebakaran. Penataan cantik, bertipe 21 dengan harga ± Rp. 12 Juta dan berbagai
alternative lainnya sesuai kebutuhan yang dibayar dengan sistem angsuran atau
sewa seumur hidup. Pemukiman dilengkapi dengan fasilitas: masjid, gazebo
(tempat pertemuan), Ipal sebagai penyaluran limbah, sampah ditangkap
menggunakan jaring dibawah pondasi kayu.
2.7.5. Kota Tepian Air Di Luar Negeri
Kota Tepian Air yang dapat dijadikan acuan/studi banding bagi Indonesia
adalah :
49
1. Kota Kuching, di Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur.
Kawasan pusat kota Internasional Kuching dilintasi sungai Serawak, dan
merupakan kota tepian air redevelopment dengan pemanfaatan terpadu. Visi
menjadi kota tepian air yang bertaraf internasional dengan misi yang memadukan
keseimbangan penataan komersial (perdagangan dan jasa) dengan kawasan
permukiman penduduk. Jalur pejalan kaki (pedestrian path) di tata rapi dan asri
dengan taman-taman bunga. Disepanjang kawasan terdapat hotel, pertokoan,
restoran dan tempat ibadah. Kesan sebagai kota modern bernuansa tradisional
tercermin dari pertokoan modern (shopping mall) yang berdampingan dengan
pasar tradisional. Meskipun air sungai Serawak tidak terlalu jernih, sungai yang
melintasi kawasan bersih dari sampah. Kebaikan atau kesesuaian Kota Kuching
tepian air dengan Kota Semarang adalah Iklim, suasana Asia dan kondisi
fisiknya mirip dengan kota Semarang sehingga dalam beberapa hal dapat
dijadikan sebagai pembanding
2. Kota San Antonio, Texas, Amerika.
Berhasil dikembangkan sebagai Kota Tepian Air modern yang dapat
mempertahankan konservasi bangunan bersejarah (La Villita), dan dapat
menonjolkan nuansa kesenian dan budaya setempat. Kawasan waterfront city di
pusat kota ini terkenal dengan sebutan Riverwalk (Paseo Del Rio) dilengkapi
teater alam terbuka di tepi sungai. Penataan kawasan pusat waterfront terbukti
menjadi daya tarik utama wisatawan, dengan menikmati 1 jam perjalanan wisata
menggunakan perahu (boat cruise) ber tarif terjangkau, dimana sepanjang
perjalanan terdapat rumah makan berbagai menu mancanegara, aneka
pertunjukan musik.
3. Amsterdam, Netherlands.
Suatu kota tepian pantai redevelopment yang dibangun diatas air yang
dikelilingi oleh suatu dam (Offshore Dam) yang memisahkan Amstel River dari
IJ River. Selama lebih dari 50 tahun berhasil mentransformasikan suatu kota
yang semula mengutamakan aktivitas ekonomi menjadi kombinasi antara fungsi
perdagangan, pelayanan, jasa produksi khusus, dan berhasil menselaraskan
50
antara keindahan dan kemanusiaan didalam efisiensi/efektif ke ekonomian,
secara signifikan berhasil meningkatkan suatu masyarakat sejahtera. Dalam hal
ini, konsep tepian air yang merupakan proyek kependudukan yang luas telah
berhasil mengembangkan daerah kumuh, seperti pusat-pusat sejarah, zona-zona
industri dan militer, tidak tersedianya jaringan kereta api dan bandara udara, dan
sistem penanganan perumahan yang buruk, telah di transformasikan menjadi
daerah pemukiman yang gemerlap yang berhasil membangkitkan perolehan
pajak, memperluas bidang kerja, dan banyak manfaat untuk sosial & masyarakat
dalam meningkatkan kualitas kehidupannya.
Pengembangan kota tepian air membangkitkan kesempatan yang luar
biasa besar untuk menyatukan pusat kota bersejarah dengan jalan/lalu lintas
airnya dan berhasil memfasilitasi pergerakan pertumbuhan keluar kota.
Negeri Belanda (Netherlands) mempunyai perencanaan dan
pengembangan nasional yang kuat. Keterbatasan ruang telah membangkitkan
komitmen kebijakan untuk memelihara penghijauan ruang pertanian antar kota,
menejemen air dan ruang terbuka pada level lokal dan nasional
Amsterdam mempunyai kebijakan pertanahan strategis untuk menunjang
redevelopment tepian air. Pada tahun 1896 Kota secara demokratis memutuskan
untuk menggunakan sistem sewa tanah untuk penggunaan masa depan dengan
bersubsidi, dimana korporasi pertanahan kota menyewakannya ke pengembang
swasta untuk perioda 49 atau 99 tahun. Penyewa membayar sewa secara bulanan
(dengan penyesuaian) berdasar penggunaan lahan, lokasi, luas pengembangan,
tipe penggunaan (perkantoran, retail, ruang terbuka, dsb.). Sistem pengaturan
subsidi dan penghapusannya telah berhasil memotivasi swasta untuk berkembang
dan berswasembada dalam sistem pendanaan masyarakat sehingga mampu
berkembang secara berkelanjutan.
4. Kota New York, Amerika
Kota New York mempunyai tepian air yang paling utama di dunia. Divisi
sumberdaya pantai mempunyai hubungan kerja sama yang panjang dengan Kota,
ke lima Biro, dan berbagai organisasi kemasyarakatan, bekerja bersama untuk
51
meningkatkan ases publik ke tepian air, revitalisasi ikatan bertetangga dan
peningkatan lingkungan.
The Federal Coastal Zone Management (CZM) Act didirikan pada tahun
1972 bertujuan untuk mendukung dan melindungi sifat-sifat khusus tepian air,
dan mengeluarkan kebijakan standar dalam mereview proposal projek
pengembangan sepanjang garis pantai yang telah di ajukan. Program ini sebagai
tanggapan atas keinginan dari: City, state dan federal untuk dapat mengelola
daerah garis pantai kota yang dalam keadaan kritis. Pada tahun 1982 New York
State mengadopsi Coastal Management Program ini, yang dirancang untuk
membuat seimbang kemajuan ekonomi dengan preservasi di daerah pesisir
dengan cara mendorong revitalisasi tepian air dan pemanfaatan ketergantungan
akan air sambil melindungi ikan dan margasatwa, ruang terbuka dan daerah
permai, ases publik ke garis pantai dan tanah pertanian, dan meminimalisasi
perubahan sistem ekologi yang merugikan seperti erosi dan bahaya banjir.
Program ini juga mendorong koordinasi diantara semua tingkat pemerintahan
untuk mempromosikan gema perencanaan tepian air dan dalam
mempertimbangkan keputusan penggunaan lahan pada arahan tujuan program
(program’s goal). The New York State Department of State (NYSDOS)
menjalankan administrasinya pada tingkatan state, sedangkan The New York
City Department of City Planning (DCP) menjalankan administrasinya pada
tingkat kota. Disebabkan proyek yang telah diajukan terletak dalam City’s
Coastal Zone, maka menjadi wewenang dari New York City Waterfront
Revitalization Program (WRP).
Didalam WRP tercantum kebijakan-kebijakan kota dalam pengembangan
dan penggunaan tepian air, dengan suatu kerangka kerja (framework) untuk
mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah di ajukan didalam Coastal Zone.
Terdapat 10 kebijakan gabungan yang dikeluarkan WRP Kota yang telah
dianut oleh dewan kota (Oktober 1999), dimana setiap kebijakan merupakan
gabungan dari sub kebijakan-kebijakan (Tabel 2.1).
52
Tabel 2.1. Kebijakan gabungan yang dikeluarkan WRP Kota New York
Kebijakan 01 Mendukung dan memfasilitasi pengembangan komersial dan pengembangan hunian di daerah yang sesuai dengan pengembangan tersebut
Kebijakan 02 Mendukung ketergantungan dengan air dan penggunaan air untuk industri di New York City coastal area yang memadai untuk beroperasi secara kontinyu
Kebijakan 03 Mempromosikan penggunan lalu-lintas air untuk komersial, perahu/kapal rekreasi dan pusat transportasi air
Kebijakan 04 Melindungi dan memperbaiki mutu dan fungsi sistem ekologi di dalam area pesisir kota New York.
Kebijakan 05 Melindungi dan meningkatkan mutu air di pesisir New York
Kebijakan 06 Minimalkan hilangnya kehidupan struktur dan sumberdaya alam yang disebabkan oleh banjir dan erosi
Kebijakan 07 Meminimalkan degradasi lingkungan dari limbah padat dan substansi yang berbahaya. Kebijakan 08 : Menyediakan ases publik ke sepanjang perairan kota New York
Kebijakan 08 Menyediakan ases publik ke sepanjang perairan kota New York
Kebijakan 09 Melindungi sumberdaya yang indah permai yang menyumbang kan kwalitas visual area pantai Kota New York.
Kebijakan 10 Melindungi, menjaga dan mengembangkan sumber - sumber signifikan terhadap riwayat, kepurbakalaan, dan harta pusaka kebudayaan daerah pesisir pantai Kota New York
Dari uraian mengenai tipikal kota tepian air di Indonesia dan di luar
negeri untuk kemudian diadakan studi banding dengan keadaan kota Semarang
tepian air, dengan mengevaluasi visi dan misi Kota Semarang tepian pantai,
diperoleh kesimpulan (State of the arts) sebagai berikut:
Pengelolaan Kota Semarang tepian pantai :
Aspek sosial dan budaya pada Kota Semarang tepian pantai lebih
menonjol dibandingkan dengan pengelolaan kota tepian air di luar negeri
yang lebih berorientasi ke-ekonomian dengan kemampuan pendanaan
yang besar, dan kultur budaya yang telah siap dan menunjang.
53
Keterbatasan dana Pemda Kota Semarang. Belum ada tanda-tanda
pelaku ekonomi, maupun pemerintah untuk mengantisipasi kondisi
pengrusakan lingkungan Kota Semarang masa sekarang dan kemudian.
Atas hal tersebut, maka dapat di usulkan kebijakan pengelolaan Kota
Semarang tepian pantai adalah sebagai berikut:
1. Visi Kota Semarang tepian pantai lebih mengarah: menjadi Kota Tepian
Air yang manusiawi dan meningkatkan kesejahteran masyarakat, dengan
misi: - menjaga siklus kehidupan masyarakat dengan tetap menyediakan
aksesibilitas publik untuk dapat menikmati keindahan alam pantai
Semarang, penyediaan ruang-ruang publik untuk interaksi sosial dan
aktifitas para nelayan tradisional, mencegah kerusakan ekosistem
perairan dengan pengolahan limbah cair dan kotor yang masuk kelaut.
2. Jenis waterfront: Dengan adanya keterbatasan pendanaan, maka jenis
waterfront untuk Kota Semarang dapat dilakukan secara bertahap,
dimulai dengan rencana jangka pendek berupa konservasi (penataan
waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan
menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat), yang di lanjutkan secara
bertahap pada rencana jangka panjang berupa redevelopment (upaya
menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat
ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah
atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada), dan rencana jangka
panjang berupa program revitalisasi setelah keadaan memungkinkan.
3. Kota Kuching, Serawak Malaysia mempunyai iklim, kondisi fisik, kultur
dan budaya sangat mirip dengan Indonesia sehingga secara parsial konsep
tepian air nya bisa dipakai sebagai contoh acuan.
Dalam penataan kawasan, Kota San Antonio dapat dipakai sebagai
contoh acuan dalam mempertahankan/konservasi bangunan bersejarah,
sarana transportasi/wisata air dan dapat menonjolkan nuansa kesenian
dan budaya setempat.
Berhubung belum adanya kebijakan yang pasti dalam pengelolaan Kota
Semarang tepian air dari Pemda Kota Semarang, maka bisa dilakukan
54
adopsi 10 kebijakan gabungan yang dikeluarkan oleh WRP Kota New
York dengan penyesuaian sesuai keperluan.
2.8. Response yang diperlukan terhadap konsekwensi kenaikan
permukaan air laut.
Berdasar sumber dari The Coastal Zone Management Subgroup yang
telah mempelajari baik strategi fisik maupun institusi untuk beradaptasi
terhadap konskwensi yang potensial dengan adanya kenaikan permukaan air
laut, dimana respons yang dibutuhkan untuk melindungi kehidupan manusia
dibagi dalam 3 (tiga) kategori alternative :
(1) Retreat, tanpa usaha melindungi daratan pesisir pantai dan
meninggalkan/tidak lagi menggunakan untuk pemukiman.
(2) Akomodasi/adaptasi: masyarakat pantai seterusnya menggunakan
daratan pantai tersebut dengan segala resikonya tanpa adanya
usaha pencegahan banjir dengan hidup secara harmonis dengan
air. Sebagai contoh: Konsep Kota Tepian Pantai (Waterfront
City)
(3) Proteksi, dimana melibatkan penggunaan struktur berat dan keras
menggunakan bangunan-bangunan (offshore dam, water breaker,
groyne dll. ), termasuk juga penyelesaian secara lunak dengan
rehabilitasi mangrove.
2.9. Teknik Dasar Yang Mendukung
2.9.1 Analisis Keberlanjutan Sumberdaya Pesisir
Menurut Pitcher dan Preikshot (2001), Multidimensional Scalling (MDS)
dapat menganalisis secara lengkap tentang gambaran keadaan sumberdaya
pesisir dan laut. Metode ini pada dasarnya adalah metode multivariate yang
dapat menangani data non-metric dan juga dikenal sebagai salah satu ordinasi
dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduced space).Ordinasi
sendiri merupakan proses yang berupa ”plotting” titik objek (posisi) disepanjang
sumbu-sumbu disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship).
Kelebihan lainnya dalam metode ini dapat dirangkum data yang multidisipliner
55
yang didapat di lapangan sehingga menghasilkan banyak informasi secara
kuantitatif. Dengan menggunakan Multidimensional Scaling (MDS) dalam
menganalisis sumberdaya pesisir dan laut, setiap atribut dilakukan skoring.
Atribut-atribut yang berkaitan pada aspek sumberdaya wilayah pesisir antara
lain: ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan hukum. Atribut-atribut
tersebut dinilai yaitu ”baik” dan ”buruk”. Kedua penilaian tersebut terdapat
perbedaan jumlah peringkat yang tergantung pada landasan teori yang dapat
digunakan terhadap jumlah peringkat. Contohnya dalam menentukan tingkat
pemanfaatan lahan pesisir dengan 3 peringkat yaitu kecil, besar, sangat besar.
Jika didalam menilai suatu atribut peringkatnya belum jelas maka ditentukan
dengan melakukan ”scientific judgement” dengan membuat skor: rendah,
sedang, tinggi, selebihnya penilaian mengacu pada ketentuan yang baku baik itu
dari RAPFISH yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan dan ketentuan dari
FAO. Kavanagh (2001) menyatakan penggunaan proses MDS menggunakan
perangkat lunak RAPFISH.
Kajian analisis tingkat keberlanjutan adalah bertujuan untuk menjamin bahwa
pengelolaan Semarang”water front city” akan terkelola secara berkelanjutan. Ada
beberapa metode analisis keberlanjutan “water front city” dari disiplin ke ilmuan
Arsitektur dan Civil Engineering yang menggunakan pendekatan infra struktur
dan urban/hunian (Gilmour et al. 2007). Berdasar latar belakang penulis di
bidang Program Studi Lingkungan (PSL), pendekatan yang digunakan dalam
disertasi ini adalah pengelolaan pesisir secara berkelanjutan dengan mengadopsi
soft-ware Rap-Fish yang dimodifikasi menjadi Rap-WITEPA. Kedua metoda
tersebut meskipun menggunakan dimensi yang hampir serupa, tetapi atribut yang
digunakan akan banyak berbeda.
2.9.2 Benefit Cost Ratio Analysis
Didalam kajian ini, Benefit cost ratio analysis digunakan untuk mengkaji
konservasi habitat (habitat conservation), menentukan pengelolaan sumberdaya
tiga habitat penting: mangrove, coral reef dan beach yang dimiliki di wilayah
pesisir laut secara lebih efisien, terutama digunakan untuk menentukan kebijakan
pengelolaan lingkungan pesisir di kawasan pesisir Kota Semarang. Dengan
56
menggunakan pendekatan benefit cost ratio analysis (BCR) ini, maka sebuah
proyek atau program dengan net present value (NPV) positif dapat
direkomendasikan sebagai sebuah investasi yang baik dalam arti bahwa proyek
tersebut akan menghasilkan pengembalian yang lebih besar dan merupakan hasil
pengelolaan sumberdaya yang baik di masa mendatang.
Dalam skenario menejemen, opsi/pemilihan habitat mangrove akan
dievaluasi keberlanjutannya dalam produktifitas pemanenan produk hutan
mangrove dan produk budidayanya, dipilih beberapa opsi/pilihan yaitu:
Sustainable Mangrove Forest Management.
Menurut Sumardjani (1993), manfaat/benefit dari opsi ini adalah:
standing stock forest, fisheries, wildlife, option value, physic dan
existence value. Adapun pembiayaan/cost meliputi: investment, standing
stock forest, fisheries, wildlife.
Sylvofisheries Management,
Dilakukan asumsi bahwa 20% sumberdaya
hutan mangrove dikonversikan kedalam usaha budidaya perikanan
(milkfish, campuran milkfish dan udang, dan udang). Manfaat/benefit dari
opsi ini adalah: sylvofishery, standing stock forest, fisheries, wildlife,
biodiversity, physic, existention. Adapun pembiayaan/cost meliputi:
investment, sylvofishery, standing stock forest, fisheries, wildlife dan
externality.
Dalam skenario menejemen sumberdaya pantai (beach resources), habitat
pantai yang dipilih untuk pelestarian adalah :
Set Back Zone, dimana manfaat (benefits) yang diperoleh adalah meliputi
hal-hal yang menyangkut turisme, hotel, souvenir, persewaan
kapal/perahu, konsultasi dan transportasi, shoreline protection. Adapun
pembiayaan/cost meliputi: investment (bungalows, restaurant),
maintenance (bungalow, restaurant).
Beach Protected Area, dimana manfaat (benefit) meliputi: turisme,
pemanenan telur penyu, bungalow, restaurant dan pencegahan abrasi.
Biaya/cost meliputi: investment, maintenance.
57
2.9.3. Sistem Dinamis
Menurut Hartrisari (2007), sistem adalah gugus atau kumpulan dari
komponen-komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka
mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu. Komponen sebuah sistem
dapat berupa objek fisik yang dapat disentuh (tangible) dengan indera (spare
parts yang menyusun sebuah mobil) dan dapat juga bersifat(intangible) yang
tidak dapat disentuh dengan indera (aliran informasi, kebijakan perusahaan,
interaksi personal, bahkan apa yang menjadi state of minds dalam diri seseorang
(feeling, values dan beliefs). Sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik;
bagian-bagian penyusunnya lengkap, utuh dan tersusun secara spesifik; mampu
memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; serta memiliki
mekanisme umpan balik (feedback mechanism)
Sistem dinamik memiliki mekanisme internal untuk selalu mengalami
perubahan sepanjang waktu. Sistem dinamik digunakan untuk mencari
penjelasan tentang berbagai permasalahan jangka panjang yang terjadi secara
berulang-ulang di dalam struktur internal. Mekanisme umpan balik merupakan
konsep inti yang digunakan untuk memahami struktur siatem.
Model-model sistem dinamik dibentuk oleh banyak lingkar simpal kausal
(causal loop diagram) yang saling berhubungan satu sama lain. Diagram simpal
kausal pada dasarnya merupakan representasi grafis dari pemahaman tentang
struktur yang sistemik. Diagram ini pada dasarnya menggambarkan sistem
tertutup dan sangat penting karena memberi panduan tentang bagaimana sistem
ini dibangun dan bagaimana sistem ini berberperilaku. Sebagian besar variabel
berhubungan melalui mekanisme umpan balik dan berupa variabel endogeneous.
Apabila ada beberapa faktor yang dipercaya mempengaruhi sistem dari luar
tanpa dipengaruhi oleh dirinya sendiri, faktor tersebut dipertimbangkan sebagai
variabel eksogeneous didalam model. Selama pengembangan model, diagram
simpal kausal dapat dijadikan sebagai preliminary sketches dari hipotesis kausal
yang dibangun. Selain itu, diagram simpal kausal juga dapat dianggap sebagai
simplifikasi model (Goodman, 1980). Diagram simpal kausal dan diagram alir
(flow diagram; stock and flow diagram) sangat penting untuk memahami struktur
sistem sebelum mengembangkannya ke dalam persamaan sistem. Diagram alir
58
tersusun dari elemen rate, level dan auxiliary (Kirkwood, 1998) yang
diorganisasikan dalam sebuah network. Level adalah akumulasi atau persediaan
(stock) material atau informasi. Elemen-elemen sistem yang menunjukkan
keputusan, tindakan atau perubahan di dalam suatu level disebut rate. Rate
adalah aliran material atau informasi ke atau dari level. Simpal kausal dibedakan
menjadi dua macam; yaitu simpal positif (reinforcing feedback loop)dan simpal
negatif (Bellinger, 2004). Simpal positif cenderung untuk memperkuat gangguan
dan menghasilkan pertumbuhan atau peluruhan eksponensial. Simpal negatif
cenderung meniadakan gangguan dan membawa sistem pada keadaan
kesetimbangan atau mencapai tujuan. Kombinasi dari kedua jenis simpal kausal
tersebut sering terjadi dan memungkinkan pengguna sistem dinamis untuk
merumuskan sejumlah generalisasi atau teorema yang berguna sehubungan
dengan struktur sistem pada kecenderungan perilaku dinamik.
2.9.4. Pemodelan Spasial Dinamik
Pemodelan spasial dinamik untuk perencanaan di wilayah pesisir
menggunakan jasa aplikasi Sistem Informasi Geografik (SIG), dengan pengertian
yang berorientasi teknologi komputer. Pada pengertian yang lebih luas SIG
mencakup juga pengertian sebagai prosedur yang dipakai untuk menyimpan dan
memanipulasi data yang berreferensi geografis secara manual. Borrough (1989)
mendefinisikan SIG sebagai suatu perangkat alat untuk mengoreksi, menyimpan,
menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial (keruangan)
dari aspek-aspek permukaan bumi. Pada prinsipnya, untuk menghasilkan suatu
SIG (Sistem Informasi Geografik) diperlukan beberapa tahapan proses yaitu: (1)
inventarisasi kawasan pesisir, (2) penyusunan basis data dan (3) penyusunan
basis model. Dalam inventarisasi kawasan pesisir digunakan berbagai sumber
data, antara lain: data citra, data potensi dan permasalahan maupun data landasan
hukum dan kebijakan pemerintah. Berdasarkan data primer maupun data
sekunder tersebut disusun basis data, yang selanjutnya data tersebut dipakai
untuk analisis-analisis SIG yang didalamnya termasuk pemodelan.
Pengembangan pemodelan spasial dinamik dilakukan dengan terlebih
dahulu mengkaji berbagai model yang telah ada, yaitu model ekonomi, model
59
ekologi, dan model sosial berdasarkan pembangunan berkelanjutan. Dimensi
ekonomi berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
mengurangi kemiskinan, dan mengubah pola produksi dan konsumsi kearah
yang seimbang. Dimensi sosial berkaitan dengan upaya pemecahan masalah
kependudukan, perbaikan kesejahteraan (pelayanan, kesehatan, dsb.),
pendidikan, dan lain-lain. Dimensi lingkungan berkaitan dengan upaya
pengurangan dan pencegahan polusi, pengelolaan limbah, usaha mengurangi
degradasi lahan (erosi, abrasi, intrusi), serta konservasi/preservasi sumberdaya
alam. Hubungan keterkaitan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan
disajikan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan
Pemodelan yang akan dibangun mempertimbangkan ketiga dimensi di
atas dalam satu kesatuan, sehingga akan ada suatu trade-off antara satu dimensi
dengan dimensi lainnya. Pemodelan ini nantinya dapat digunakan untuk
menyusun alternatif-alternatif skenario pembangunan yang mendukung
terwujudnya proses pembangunan berkelanjutan. Selain mempertimbangkan
Ekonomi Pertumbuhan Efisiensi Stabilitas
Sosial Pemberdayaan Inklusi Konsultasi
Lingkungan Keliatan/keanekaragaman Sumber daya alam Polusi
Penurunan Kemiskinan
Keberlanjutan Keadilan
Co-evolusi
60
ketiga dimensi tersebut dalam menyusun model juga di kaitkan dengan
peubahan-peubahan penatagunaan lahan (land use changes) akibat adanya
pembangunan tersebut., sehingga model yang digunakan bukan model statistik
tetapi merupakan model sistem dinamik yang akan digabungkan dengan model
dinamis spasial.
Selanjutnya, ketiga subsistem tersebut akan dilihat kinerjanya terhadap
perubahan lahan secara spasial. Pada umumnya perubahan penggunaan lahan
diartikan sebagai (secara kuantitatif) perubahan besaran (bertambah atau
berkurang) dari suatu jenis penggunaan atau tutupan lahan.
Model Spasial Dinamik
Dalam Model Spasial Dinamik, hasil analisis sistem dinamik yang berupa
data numerik dan grafik dijadikan input untuk analisis spasial dinamik. Hasil
analisis spasial dinamik adalah peta perubahan penggunaan lahan pada beberapa
tahun yang akan datang.
Pada kajian analisis system spatial dynamics, diperlukan dukungan: ke-
ilmuan Landscape Ecology untuk meningkatkan hubungan pola spasial
pembangunan perkotaan dengan proses ekologis dengan pendekatan secara
analitis dan mengintegrasikannya secara holistis ilmu alam dan sosial (Turner,
2005; Eisner dan Gallion, 1993); pendekatan ekologis terhadap bentang alam
(landscape) menggunakan sistem informasi geografis (Hendrix, 1988).
2.10 Analisis Kebijakan
Quandun yang diacu dalam Dunn (1998) menyebutkan bahwa analisis
kebijakan adalah setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan
informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam
menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang
paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan
pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam
pemecahan terhadap komponen - komponen tapi juga merencanakan dan mencari
sintesa atas alternatif alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk
61
memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau
mengevaluasi program yang sudah selesai.
Ada 3 (tiga) pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu: (1) pendekatan
empiris; (2) pendekatan evaluatif; dan (3) pendekatan normatif. Pendekatan
empiris, adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik.
Pertanyaan pokoknya adalah berapa nilai sesuatu. Pendekatan evaluatif, adalah
pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dari
beberapa kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah berapa nilai sesuatu.
Pendekatan normatif adalah pendekatan yang terutama berkaitan dengan
pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan.
Pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang harus dilakukan.
Beberapa teknik analisis yang sering dipakai dalam kebijakan publik dan
kebijakan lingkungan yang pada akhirnya menyediakan rekomendasi kebijakan
yaitu analisis AHP, CBA(Cost Benefit Analysis) dan variasi dari pendekatan
CBA yaitu CEA (Cost Effective Analysis), OCA (Opportunity Cost Analysis),
MDS (Multidemensional Scalling), Balanced Scorecard Analysis.