Dakwah: Priyayi dan Santrinisasi Muh. Sungaidi UIN Syarif ...
HEGEMONI FEODALISTIK DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA …repository.ub.ac.id/8390/1/Ninda...
Transcript of HEGEMONI FEODALISTIK DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA …repository.ub.ac.id/8390/1/Ninda...
HEGEMONI FEODALISTIK DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA
UMAR KAYAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Brawijaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
OLEH
NINDA HAYUNINGTYAS
NIM 125110701111007
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
DAFTAR ISI
Daftar Isi Halaman
SAMPUL DALAM ................................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ v
ABSTRAK (BAHASA INDONESIA) .............................................................. viii
ABSTRAK (BAHASA INGGRIS) ...................................................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................. 4
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 5
1.4.1 Manfaat teoritis ........................................................................................ 5
1.4.2 Manfaat praktisi ....................................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu ......................................................................................... 6
2.2 Landasan Teori .................................................................................................. 8
2.2.1 Teori Hegemoni Gramsci ......................................................................... 8
2.2.2 Feodalisme sebagai sebuah ideologi ...................................................... 11
2.2.3 Priyayi sebagai kaum feodal Jawa ......................................................... 12
BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian ................................................................................................ 16
3.2. Data dan Sumber Data .................................................................................... 16
3.3. Teknik Pengumpulan data ............................................................................... 16
3.4. Instrumen kajian .............................................................................................. 17
3.5. Keabsahan Data ............................................................................................... 19
3.6. Teknik Analisis Data ....................................................................................... 19
3.6.1 Reduksi Data..............….....................................................................20
3.6.2 Sajian Data.............. ….......................................................................20
3.6.3 Penarikan Kesimpulan............. …......................................................20
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Pencitraan sebagai alat untuk mempertahankan kelas .................................... 21
4.2. Pembangunan mitos untuk melegitimasi hak priyayi ..................................... 33
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ..................................................................................................... 37
5.2. Saran ............................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ .........39
LAMPIRAN ............................................................................................... .........41
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan rahmat-
Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik selama satu semester.
Penyusunan skripsi ini merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
mahasiswa sebagai syarat untuk mendapat gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Brawijaya. Skripsi dengan judul “Hegemoni Feodalistik dalam Novel
Para Priyayi Karya Umar Kayam”. Skripsi ini ditulis dengan harapan membawa
manfaat untuk Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia serta menambah
keragaman kajian analisis karya sastra.
Skripsi ini menguraikan adanya bentuk hegemoni feodalistik yang terdapat
dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Hegemoni yang terdapat dalam
novel ini melalui kepemimpinan intelektual dan moral, dan dilakukan dengan cara
pencitraan dan pembangunan mitos. Pencitraan dilkakukan sebagai alat untuk
mempertahankan kelas dan pembangunan mitos untuk melegitimasi hak priyayi.
Penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat waktu tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan sebesarnya kepada:
1. Nanang Bustanul Fauzi, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia serta dosen pembimbing yang sangat sabar,
cermat dan berdedikasi dengan mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran
dalam memberi bimbingan, saran, serta masukan yang baik selama proses
penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Muh. Fatoni Rohman, M.Pd., selaku dosen penguji yang sangat teliti
melihat kekurangan dalam penulisan skripsi ini serta bijak membimbing,
mengarahkan, dan memberikan saran dan masukan untuk perbaikan
penyusunan agar lebih baik dan lebih berkualitas.
3. Nia Budiana, M.Pd., selaku dosen pembimbing akademik mahasiswa telah
banyak memberikan dukungan, arahan, dan kemudahan bagi penulis selama
proses perkuliahan.
4. Ayah (Imam Djuma’in) dan Ibu (Istriani) serta Kakak (Bondan
Ekowicaksono) dan Adik (Rinda Indah Nirwana) yang tidak pernah berhenti
menyebut nama dalam doa, dengan tulus berharap kelancaran, kesuksesan,
keberhasilan, serta semangat dan kasih sayang yang tiada hentinya selalu
tercurah.
5. Suami (Arif Arifin Wali) dan Anak (Naura Raesha Almahyra Wali) yang
menjadi penyemangat dan memotivasi dalam kelancaran penulisan skripsi
ini.
6. Seluruh teman-teman di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya yang telah
meluangkan waktunya untuk bersedia berdiskusi serta memberikan kritik
dan saran terhadap penulisan skripsi.
Sahabat dan rekan seperjuangan Rabiatul Jannah, Yoga Firmansyah, Abdul Haqi,
Rizka Ani Hakim, Ade Riski I.S.Y.S, Rakhmat Mahendra
ABSTRACT
Hayuningtyas, Ninda. 2017. Hegemony of Feodalistic on Para Priyayi Novel by
Umar Kayam. Thesis. Indonesian Language and Literature Program, Faculty of
Cultural Studies, Universitas Brawijaya.
Supervisor: Nanang Bustanul Fauzi, M.Pd.
Keywords: hegemony, feodalistic, leadership intellectual and moral.
At the netherlands reign, there are two type of the stratification on Java. The
elite group called priyayi and the rabble called wong cilik. In java, priyayi have a
higher power than wong cilik. On their status, priyayi was be exalted by peasants
and regarded as the old and respected. So many farmers who wanted that position
then they try to be a priyayi.
This research is the kind of research qualitative and use of interaction
between the leaders. Which suggests hegemony priyayi as a subject. Priyayi as the
feudal recognised by the farmers. The research using the novel Para Priyayi by
Umar Kayam. This reasearch using the theory of hegemony gramsci to know form
of dominance priyayi. As the result of this reasearch showing the shape of
hegemony feodalistic be. Leadership intellectual and moral. This intellectual
leadership doing by imaging to keep the priyayi class and using the myth as a tool
legitimize thet right of priyayi. Both of them is a tool to show thw power of priyayi.
Based on this novel, hegemony as indicated by thw function and role of the priyayi
because his position.
ABSTRAK
Hayuningtyas, Ninda. 2017. Hegemoni Feodalistik dalam Novel Para Priyayi
Karya Umar Kayam. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.
Pembimbing: Nanang Bustanul Fauzi, M.Pd.
Kata kunci: hegemoni, feodalistik, kepemimpinan intelektual dan moral.
Pada masa pemerintahan Belanda, terdapat dua golongan dalam sistem
stratifikasi masyarakat yaitu golongan elit Jawa dan rakyat jelata. Golongan elit
Jawa adalah priyayi, sedangkan golongan menengah adalah wong cilik. Dalam
masyarakat Jawa, priyayi sebagai kaum feodal yang memiliki kekuasaan lebih
tinggi daripada petani. Atas kekuasaan jabatan tersebut, priyayi diagung-agungkan
oleh rakyat jelata dan dianggap sebagai kaum yang dihormati. Sehingga, banyak
para petani yang menginginkan posisi tersebut sehingga mereka berusaha keras
untuk menjadi priyayi.
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dan menggunakan interaksi
antar tokoh yang menunjukkan hegemoni priyayi sebagai subjek kajian. Priyayi
sebagai kaum feodal diakui keberadaannya oleh petani. Objek kajian menggunakan
Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam. Penelitian ini menggunakan Teori
hegemoni Gramsci untuk mengetahui bentuk dominasi priyayi terhadap petani.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa bentuk hegemoni
feodalistik berupa kepemimpinan intelektual dan moral. Kepemimpinan intelektual
ini dilakukan dengan cara pencitraan untuk menjaga kelas priyayi dan
pembangunan mitos sebagai alat untuk melegitimasi hak priyayi. Keduanya
merupakan alat untuk menunjukkan kekuasaan priyayi. Karena menurut novel ini,
hegemoni yang ditunjukkan dengan fungsi dan peran priyayi karena kedudukannya.
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Panduan Penjaringan dan Pemberian Kode Data Sajian ....................... .........17
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Tabel 1 Kodifikasi Data Pencitraan sebagai Alat untuk Mempertahankan Kelas
......................................................................................................... ..... 41
2. Tabel 2 Kodifikasi Data Pembangunan Mitos untuk Melegitimasi Hak Priyayi
...................................................................................................... ........ 50
3. Sinopsis Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam .............................. ... 52
4. Berita Acara Bimbingan Skripsi ............................................................... 54
5. Curiculum Vitae ........................................................................................ 56
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra yang baik adalah sastra yang merefleksikan dunia nyata. Hal
tersebut merupakan salah satu bagian dari segitga Abrams yang memandang sudut
pandang dari sebuah karya sastra. Menurut Teeuw (1988: 50) Abrams memberikan
kerangka tentang hubungan dari suatu karya sastra yang terkandunglah pendekatan kritis
utama yakni karya sastra (objektif), penulis (ekspresif), pembaca (pragmatik), dan semesta
(mimesis). Berdasarkan pendapat tersebut terdapat empat pendekatan kritis yang
terkandung dalam hubungan dari karya sastra. Empat pendekatan yang dibicarakan
dalam segitiga Abrams yakni (1) pendekatan yang menitikberatkan pada karya
sastra itu sendiri yakni bersifat objektif artinya bebas dari realitas, pengarang, dan
pembaca sehingga hanya berfokus dengan apa yang ada di dalam sebuah karya
sastra tersebut. Selanjutnya, (2) bersifat ekspresif yakni karya sastra hasil dari
ciptaan pengarang sehingga penulis menjadi sorotan dalam pembahasan karya
sastra sebagai pencipta yang kreatif. Selain itu, (3) sebuah karya sastra
mencerminkan realitas atau kenyataan yang ada berkaitan dengan sosial, budaya,
dan politik. Dan, (4) karya sastra mampu membuat pembaca dipengaruhi,
digerakkan untuk bertindak oleh karya seni yang baik.
Empat pendekatan dalam karya sastra tersebut, masing-masing memiliki
perhatian yang khas atau utama. Abrams memperlihatkan bahwa dalam kritik sastra
di dunia Barat pada masa-masa tertentu salah satu diantara empat pendekatan itu
seringkali menjadi dominan (Teeuw, 1988: 51). Maksudnya, empat pendekatan
tersebut menjadi dominan bergantung pada aliran sebuah karya sastra. Misalnya,
kritik sastra tentang hegemoni yang dominan adalah pendekatan mimetik, yaitu
hubungan karya sastra dengan kenyataan. Karya sastra memberikan informasi yang
detail kepada pembaca tentang realitas sosial, budaya, dan politik. Dalam
membicarakan ketiga realitas tersebut tentu akan berkaitan dengan latar belakang
dari sebuah karya sastra dibuat yakni baik dari latar belakang pengarang maupun
latar belakang dari situasi kala karya sastra tersebut dibuat. Oleh sebab itu, secara
tidak langsung pembaca akan menerima informasi tentang apa yang ada di dalam
karya sastra sekaligus pengetahuan tentang gambaran realitas atau peritiwa yang
dimunculkan.
Salah satu karya sastra yang merefleksikan dunia nyata adalah novel Para
Priyayi karya Umar Kayam. Novel tersebut dikatakan refleksi dunia nyata karena
isinya menceritakan kehidupan priyayi sebagai kaum yang dihormati dan memiliki
kekuasaan serta identitas yang membedakan dengan wong cilik mulai masa
pemerintahan Belanda hingga Orde Baru. Novel ini menjelaskan tentang perbedaan
kehidupan sehari-hari dari dua kelas yang berbeda dan memunculkan adanya
dominasi antar kelas yang satu dengan yang lainnya.
Dominasi kekuasan kelas antara priyayi dan wong cilik yang ditampilkan
oleh Umar Kayam dalam novel tersebut memang menceritakan realitas yang terjadi
pada masa pemerintahan Belanda hingga Orde Baru. Sedangkan, dalam
memperoleh dominasi kekuasaan harus melalui cara kepemimpinan intelektual dan
moral. Sehingga, melalui cara tersebut terciptalah dua kelas yang dikenal dalam
masyarakat Jawa yakni priyayi sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dan wong
cilik sebagai rakyat jelata.
“Konsep priyayi menunjuk kepada golongan sosio-kultural bahwa golongan itu
diidentifikasikan dengan kelas menengah dalam stratifikasi sosial masyarakat
tradisional dan masyarakat kolonial. Golongan itu adalah kaum elit yang
membedakan diri dari rakyat kebanyakan, jadi konsep pribumi menunjukkan
perbedaan antara priyayi dan wong cilik (Kartodirdjo, 1987:2)”.
Berdasarkan kutipan pendapat tersebut, terdapat stratifikasi sosial yang terbentuk
dalam lapisan masyarakat pribumi. Lapisan masyarakat pribumi dibedakan antara
kelas priyayi dan wong cilik yang terjadi pada masa kolonial Belanda. Adanya
stratifikasi sosial yang terbentuk secara tidak langsung memunculkan dominasi
kelas yakni priyayi sebagai kaum elit.
Selain itu, novel Para Priyayi ini merupakan refleksi dan gambaran sosio
kultural masyarakat Jawa. Kedudukan priyayi digolongkan dalam lapisan kelas
menengah dalam stratifikasi sosial masyarakat tradisional dan masyarakat kolonial.
Jadi, priyayi merupakan golongan elit yang terbentuk dan diakui oleh masyarakat
tradisional (wong cilik) dan masyarakat kolonial.
“Elit ini tidak harus berasal dari raja-raja pada masa yang lalu, namun berasal dari
petualangan yang berhasil baik, sehingga dapat menjalankan kekuasaan politik
atas sebagian Pulau Jawa dan memainkan peranan sebagai priyayi bagi
penduduk. Gelar yang menunjukkan martabat seseorang, seperti Raden atau
Raden Mas adalah gelar yang diperoleh atas kedudukan pada administrasi
pemerintahan bukan berdasarkan garis keturunan (Kartodirdjo, 1987:4)”.
Berdasarkan kutipan tersebut, sebutan priyayi bukan berasal dari garis keturunan
melainkan gelar yang didapatkan karena menduduki kekuasaan atau menjabat
posisi tertentu dalam bidang administrasi pemerintahan. Kedudukan yang diperoleh
merupakan hasil dari kerja keras pribumi untuk meningkatkan status sosial mereka
sehingga diakui dalam masyarakat pribumi dan kolonial serta mampu menjalankan
peranan mereka sebagai golongan elit pribumi.
Hubungan sosial masyarakat Jawa yang terdiri dari dua golongan yakni
golongan elit (priyayi) dan wong cilik membentuk sebuah dominasi. Priyayi
diagungkan oleh wong cilik karena dalam masyarakat tradisional Jawa menduduki
status sosial yang lebih tinggi. Dominasi priyayi yang terbentuk atas kekuasaannya
dibidang sosial, budaya, dan politik.
Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam novel ini karena Umar Kayam
merupakan sastrawan dari Jawa yang karyanya terdapat sentuhan-sentuhan unsur
Jawa dalam penceritaannya. Terbentuknya dua lapisan masyarakat itulah yang
memunculkan adanya dominasi kelas priyayi sebagai kaum feodal Jawa atas wong
cilik. Oleh sebab itu, penulis menentukan judul penelitian Hegemoni Feodalistik
dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.1.1 Bagaimana bentuk hegemoni feodalistik dalam novel Para Priyayi Karya
Umar Kayam?
1.2 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1.2.1 Mendeskrpsikan dan menjelaskan bentuk hegemoni feodalistik dalam novel
Para Priyayi Karya Umar Kayam.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai
berikut.
1.3.1 Manfaat teoritis
Manfaat teoritis penelitian ini antara lain:
1.3.1.1 Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang sastra.
1.3.1.2 Menambah khasanah pustaka sebagai penunjang kajian sastra bagi
penelitian yang sejenis.
1.3.1.3 Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan studi tentang
karya sastra.
1.3.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai
berikut.
1.3.2.1 Bagi mahasiswa
Bagi mahasiswa, diharapkan memperoleh pengetahuan tentang materi
pembelajaran kritik sastra karena dengan adanya penelitian ini mahasiswa
mengetahui tentang hegemoni atau dominasi kekuasaan.
1.42.3 Bagi peneliti lain
Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi
pembandng dan pertimbangan awal untuk penelitian selanjutnya mengenai
kritik sastra.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan hal penting yang menjadi kerangka
acuan, disusun berdasarkan kajian berbagai aspek dan melalui proses empiris.
Penelitian terdahulu dijadikan sebagai landasan peneliti agar nantinya tidak terjadi
duplikasi penelitian dengan penelitian sejenis. Penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan teori hegemoni sudah banyak dilakukan dalam kajian ilmu sastra, sehingga
dapat dijadikan pedoman dalam penelitian ini.
Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Agga Rames Wijakangka (2008) yang berjudul
Analisis Hegemoni Kekuasaan Dalam Novel Pabrik Karya Putu Wijaya. Hasil
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa (1) bentuk coercive power, berupa
pemaksaan jam kerja, mengintimidasi tokoh, mengancam buruh, peraturan tertulis,
penyalahgunaan hukum. Sedangkan, insentive power berupa imbalan tidak
seimbang yang dilakukan kaum buruh. (2) Fungsi coercive power berupa
menciptakan ketakutan, ancaman, ancaman pemecatan, penerapan disiplin,
mencegah tindak kekerasan, sedangkan fungsi insentive power berupa menciptakan
kepatuhan dan kesetiaan, mengendalikan para buruh agar disiplin, membujuk,
pemberian janji, mengalihkan perhatian. (3) Makna coercive power berupa menjaga
keamanan, kepatuhan, kedisiplinan, sedangkan insentive power berupa kedudukan,
kepatuhan, penepatan janji, imbalan, dan peningkatan imbalan, serta
tanggungjawab. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada
fokus penelitian berupa bentuk-bentuk hegemoni feodalistik yang terdapat dalam
novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
Penelitian selanjutnya yang menjadi acuan peneliti adalah penelitian
yang dilakukan oleh Halimah Hasanah Haikal (2014) yang berjudul Jalan
Menikung Karya Umar Kayam: Analisis Hegemoni Gramsci. Hasil dari penelitian
tersebut adalah (1) terdapat sembilan ideologi yang dimiliki tokoh-tokoh yakni
humanisme, kapitalisme, materialisme, tradisionalisme, teisme, rasialisme,
rasionalisme, nasionalisme, dan liberalisme. (2) Formasi ideologi yakni susunan
ideologi yang bersifat pertentangan, korelasi, dan subordinasi antar ideologi. (3)
konsensus yang ditemukan dalam novel adalah konsensus antar tokoh yang
menganut masing-masing ideologi. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian
ini terletak pada novel yang digunakan adalah Para Priyayi. Fokus penelitian ini
adalah bentuk-bentuk hegemoni feodalistik yang terdapat dalam novel.
Penelitian yang terkahir menjadi acuan peneliti adalah penelitian yang
dilakukan oleh Era Indriati, H. Martono, dan Sesilia Seli (2013) yang berjudul
Nilai-Nilai Budaya Dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan
Implementasi Di Sekolah. Hasil dari penelitian tersebut adalah (1) nilai-nilai budaya
yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai-nilai yang
menggambarkan berhubungan manusia dengan manusia, (3) nilai-nilai budaya
yang menggambarkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, (4) nilai-nilai
budaya yang menggambarkan hubungan manusia dengan alam, dan (5) nilai budaya
yang dikaitkan diimplementasikan dengan dunia pendidikan yakni berdoa,
bersyukur, berdzikir, tawakal, menolong orang lain, menyebar rahmat dan kasih
sayang, sabar, menuntut ilmu, kejujuran, alam menyediakan berbagai kebutuhan,
memilih bersahabat dan menyatu dengan alam. Perbedaannya dengan penelitian ini
adalah fokus penelitian yang digunakan berupa bentuk-bentuk hegemoni feodalistik
yang terdapat dalam novel.
Berdasarkan ketiga penelitian terdahulu tersebut terdapat persamaan dan
perbedaan. Perbedaan penelitian ini dengan ketiga penelitian terdahulu tersebut
terletak pada novel yang digunakan peneliti yakni novel Para Priyayi karya Umar
Kayam. Fokus penelitian ini juga berbeda yakni bentuk-bentuk hegemoni
feodalistik yang terdapat dalam novel.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Hegemoni Gramsci
Hegemoni berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu eugemonia
(hegemonia), yang berarti memimpin (Hasyim, 2016:31). Konsep dari hegemoni
sendiri identik dengan dominasi kekuasaan dalam suatu pemerintahan. Namun,
dominasi kekuasan tersebut dilakukan secara sadar dan terdapat persetujuan antara
pihak penguasa dengan pihak yang dikuasai.
Hegemoni berkaitan dengan dominasi kelas tertentu terhadap kelas lain
yang berada dibawahnya.
“Lewat pengalaman buruk itu kemudian ia mengangga sebuah
pandangan alternatif marxis terhadap Negara, yaitu “suatu kesatuan
kompleks dari kegiatan teori dan praktek, yang dengannya kelas yang
berkuasa tak cuma membenarkan dan memelihara dominasinya, tapi
mengatur untuk memenangkan konsensus aktif dari yang diatur (Patria,
2015:13).
Berdasarkan pendapat tersebut terlihat bagaimana Gramsci menjelaskan bahwa
hegemoni merupakan dominasi kekuasaan dari suatu kelas tertentu terhadap kelas
dibawahnya. Namun, dominasi kelas tertentu tersebut tidak hanya sekedar diakui
keberadaannya oleh kelas dibawahnya tetapi juga bertujuan untuk membuat kelas
dibawahnya mengikuti keinginan atau aturan dari kelas dominan. Konsensus
dipandang sebagai tindakan yang dikehendaki atau sekurang-kurangnya sukarela
secara individual (Patria, 2011:124). Jadi, hal ini dilakukan dengan tidak adanya
unsur paksaan ataupun kekerasan melainkan dengan kesepakatan yang secara tidak
sadar mempengaruhi kelas yang tidak dominan mengikuti aturan dari kelas
dominan.
Suatu kelas sosial dalam memperoleh keunggulan dari kelas yang
lainnya memerlukan beberapa cara. Cara tersebut dipaparkan oleh Gramsci sebagai
berikut.
“Bagi Gramsci, kelas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi)
melalui dua cara yaitu melalui cara dominasi (dominio) atau paksaan
(coercion) dan yang kedua adalah melalui kepemimpinan intelektual dan
moral. Cara yang terakhir inilah yang kemudian disebut oleh Gramsci
sebagai hegemoni (Patria, 2010: 119)”.
Berdasarkan kutipan tersebut, Gramsci memaparkan bahwa suatu kelas sosial
dalam memperoleh keunggulan atau diakui lebih tinggi keberadaannya dari kelas
lainnya melalui dua cara yaitu dominasi dan kepemimpinan intelektual moral.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dalam memperoleh keunggulan kelas, suatu
kelas tertentu memperolehnya dengan cara memaksa kelas lainnya untuk mengakui.
Pemaksaan tersebut dengan tujuan menghancurkan atau menundukkan kelas lain
dan mungkin menggunakan kekuatan bersenjata (Patria, 2010:117). Sedangkan,
cara yang kedua adalah melalui kepemimpinan intelektual dan moral yakni suatu
kelas untuk mendapatkan supremasi dari kelas lainnya harus menerapkan
kepemimpinan yakni dengan mampu memimpin kelas lainnya tanpa ada unsur
paksaan. Artinya, kepemimpinan yang diterapkan nantinya diakui secara sadar dan
dapat diterima bahwa kelas tersebut lebih unggul, tentunya dengan melakukan
pendekatan untuk meminimalisir gerak kelas lainnya sehingga menciptakan
ketaatan yang spontan dari yang dipimpin. Jadi, dari kedua cara tersebut cara yang
terakhirlah yang menurut Gramsci disebut hegemoni karena pengaruh
kepemimpinan kekuasaan merupakan salah satu syarat utama untuk memenangkan
kekuasaan dan ketika sudah memiliki kekuasaan pun tetap harus memimpin juga
untuk mempertahankan kekuasaan yang telah diperolehnya. Hal ini sesuai dengan
pengertian hegemoni menurut Gramsci bahwa hegemoni adalah sebuah rantai
kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui
penindasan terhadap klas sosial lainnya (Patria, 2011:120).
Dengan demikian, dari pendapat Gramsci, hegemoni berhubungan
dengan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik. Hal tersebut
tampak dari cara kelas dominan mampu mempengaruhi kelas bawah dengan
menggunakan sebuah strategi untuk mendapatkan kesepakatan. Selain itu,
Hegemoni bukan hanya sekedar kekuasaan sosial dan merupakan cara yang dipakai
untuk memperoleh serta mempertahankan kekuasaan dan digunakan untuk bertahan
dan pengembangan diri melalui kepatuhan para korbannya (Wijakangka,
2013:194).
2.2.2 Feodalisme sebagai sebuah ideologi
Istilah feodalisme dikenal pada abad pertengahan yang ditandai oleh
kekuasaan yang besar tuan tanah. Feodalisme berasal dari bahasa latin “feudum”
yang sama artinya dengan fief, ialah harta milik yang dapat berupa sebidang tanah
yang diserahkan untuk sementara oleh vassal kepada tuan feodal (Maulidatus,
2014:7). Sedangkan, menurut Sugono (2008:407) feodal artinya berhubungan
dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Berdasarkan
kedua kutipan tersebut dapat dipahami bahwa arti dari kata feodalisme berasal dari
kata feodal yang artinya kekuasaan yang dimiliki oleh kaum bangsawan. Sedangkan
feodalisme sendiri menurut Sugono (2008: 407) adalah sistem sosial atau politik
yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Sistem
sosial ini mengagung-agungkan jabatan atau pangkat bukan prestasi kerja. Dapat
dikatakan menurut sistem ini, semakin tinggi pangkat atau jabatan seseorang maka
semakin tinggi kelas mereka dan semakin dihormati oleh kaum dibawahnya.
Feodalisme sendiri mengelompokkan seseorang berdasarkan derajatnya.
Dapat dikatakan, terdapat pengkotak-kotakkan dalam fungsi dan derajat seseorang.
Hal tersebut dilihat dari jabatan yang dimiliki sehingga fungsi dan peranannya pun
juga berbeda. Feodalisme juga dikenal pada masa pemerintahan Belanda. Pada
zaman pemerintahan Belanda, masyarakat pribumi menganut sistem ini. Hal
tersebut ditandai dengan adanya perbedaan kekuasaan yang dimiliki antara kaum
bangsawan dengan rakyat jelata. Kaum bangsawan baik raja maupun kerabatnya
memiliki kekuasaan yang tinggi sehingga dihormati oleh rakyat jelata. Selain itu,
pada masa kolonial Belanda juga membentuk pola pikir masyarakat bahwa
seseorang dipandang kelas atas apabila bekerja dalam pemerintah Belanda. Salah
satu gelar yang diagung-agungkan oleh masyarakat bawah adalah priyayi.
Seseorang yang memiliki gelar priyayi maka akan sangat dihormati atas jabatan di
pemerintahan tanpa peduli prestasi kerja yang dimiliki.
2.2.3 Priyayi sebagai kaum feodal Jawa
Secara etimologi, Priyayi berasal dari kata para yayi (para adik), yang
dimaksud adik dari raja (Kartodirdjo, 1987:3). Pendapat lain juga mengungkapkan
yang sama mengenai pengertian dari priyayi, seperti yang dipaparkan oleh
Sosrodinardjo bahwa menelusuri istilah priyayi itu dari para-yayi, yang artinya
saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari raja (Scherer, 1985:35). Artinya,
gelar priyayi merupakan gelar-gelar kehormatan yang tinggi seperti pangeran,
adipati yang masih ada ikatan dengan raja.
Makna atau hakikat priyayi dalam masyarakat Jawa pada masa
pemerintah Belanda pun juga berubah. Hal ini disebabkan adanya camput tangan
Belanda dalam pemerintahan. Pada masa itu, seseorang disebut dengan priyayi
bukan lagi berasal dari keturunan keluarga kerajaan, melainkan sebuah status yang
dapat diperoleh masyarakat atas kedudukan tertentu dalam pemerintahan Belanda.
“Menurut Van Niel, golongan priyayi sebagai kelompok sosial di sekitar
tahun 1900 adalah golongan elit, yaitu siapa saja yang berdiri di atas
rakyat jelata, yang dalam beberapa hal memimpin , memberi pengaruh,
mengatur dan menuntun masyarakat. administratur, pegawai
pemerintahan dan orang-orang berpendidikan dan berkedudukan lebih
baik, mereka adalah priyayi (Kartodirdjo, 1987:4).”
Van Niel dalam kutipan tersebut mengatakan bahwa golongan priyayi adalah
golongan elit Jawa yang memiliki kedudukan tertentu dalam pemerintahan dan
golongan tersebut berdiri di atas rakyat jelata yang tidak memiliki kedudukan dalam
pemerintahan.
Pendapat yang disampaikan oleh Van Niel secara tidak langsung
membedakan lapisan masyarakat menjadi dua golongan yaitu elit dan rakyat jelata.
Golongan elit adalah priyayi, sedangkan golongan rakyat jelata adalah pribumi
biasa yakni wong cilik. Kedua golongan tersebut dibedakan dari kedudukan dalam
pemerintahan kolonial Belanda. Golongan priyayi memiliki jabatan dalam urusan
pemerintan, sedangkan wong cilik adalah pribumi yang tidak terlibat dalam urusan
pemerintahan seperti petani.
Namun, dalam pemerintahan kolonial Belanda, priyayi dijadikan alat
pemerintahan untuk menjalankan kekuasaannya.
“Heather Sutherland tidak mempersoalkan asal-usul keturuan priyayi,
tetapi lebih menekankan pada soal priyayi sebagai kelompok sosial yang
menguasai jabatan-jabatan pada administrasi pemerintahan dalam negeri.
Priyayi adalah pegawai dalam rangka sistem pemerintahan tidak
langsung. Terhadap rakyat golongan priyayi menjadi pewaris penguasa
tradisional yang bersifat feodal (Kartodirdjo, 1987:8).”
Berdasarkan pendapat tersebut priyayi merupakan pribumi yang bekerja pada
pemerintah Belanda dan menduduki jabatan-jabatan pada administrasi
pemerintahan. Dalam hal ini, Belanda menggunakan priyayi sebagai alat untuk
menjalankan kekuasaannya. Belanda memanfaatkan priyayi sebagai penguasa
tradisional. Hal ini dikarenakan, priyayi lebih diterima keberadaannya oleh
masyarakat pribumi.
Kedudukan priyayi pada masa pemerintahan Belanda terbuka bagi
masyarakat pribumi. Oleh sebab itu, banyak masyarakat pribumi terutama rakyat
jelata yang menginginkan gelar tersebut untuk memperbaiki status sosial mereka
dan memiliki kedudukan di masyarakat. Menurut Koesoemo Oetojo (dalam
Kuntowijoyo, 2004:96), priyayi (terpelajar) adalah mereka yang lulus sekolah
Bestuur, yang lulus klein ambtenaren exament, dan yang lulus sekolah Belanda
sampai kelas dua Sehingga, apabila seseorang yang berasal dari golongan rakyat
jelata untuk menjadi priyayi harus melalui beberapa tahap. Maka bagi seseorang
dari kelompok lain, yang ingin magang menjadi priyayi, sejak usia muda
mengabdikan diri pada seorang priyayi (bahasa Jawa = ngenger) agar di kemudian
hari dapat magang menjadi priyayi dengan perantaraan priyayi yang diabdinya itu
(Kartodirdjo, 1987:18).
Ketika rakyat jelata telah menduduki status sebagai priyayi maka harus
menyesuaikan dengan pola pikir dan tata cara berperilaku seperti seorang priyayi
pada umumnya. Gaya hidup priyayi sedikit ada perpaduan budaya tradisional
dengan Belanda. Hal ini dikarenan hubungan pekerjaan dengan Belanda secara
tidak langsung memberikan pengaruh pada gaya hidup priyayi, sehingga tidak
sedikit hal-hal yang berbau Belanda pun ditiru oleh priyayi baik dari segi sosial,
ekonomi, dan budaya.
Lambat laun ketika berakhirnya masa pemerintahan Belanda pun, masih
meninggalkan sisa-sisa pemerintahan yakni terbentuk lagi kelas diantara kaum
priyayi.
“Di kompleks itu biasanya tinggal golongan priyayi modern yang
termasuk kelas menengah atau atas, sedang priyayi kecil lebih banyak
tinggal di perkampungan, yang sewarumahnya juga lebih murah
(Kartodirdjo, 1987:167).”
Berdasarkan kutipan tersebut ketika zaman sudah mulai modern, ternyata lapisan
kelas tidak lagi terbentuk antara priyayi dengan wong cilik, namun juga terbentuk
dari sesama kaum priyayi. Priyayi modern merupakan golongan baru yang
dikelompokkan berdasarkan pedapatannya dan gaya hidupnya. Sedangkan, priyayi
kecil adalah kelompok priyayi yang tinggal di perkampungan. Oleh sebab itu, tidak
menutup kemungkinan bahwa semakin berkembangnya zaman maka semakin
berubah pula kedudukan atau keunggulan dari suatu kelas tertentu.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Menurut
Moloeng (2010:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan sebagainya. Sedangkan deskritif
merupakan salah satu sifat dari menganalisis data yang menggambarkan dengan
jelas bagaimana bentuk yang dihasilkan penelitian tersebut dengan apa adanya,
tanpa rekayasa peneliti.
3.2 Data dan Sumber Data
Data penelitian ini berupa kalimat-kalimat, gagasan, atau dialog yang
menunjukkan bentuk-bentuk hegemoni feodalistik priyayi terhadap wong cilik.
Sumber data penelitian ini yaitu Novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Beberapa tahapan ilmiah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1) Menentukan novel sebagai objek yang akan dianalisis. Dalam penelitian ini
novel yang digunakan adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
2) Melakukan pembacaan teks dengan seksama dan berulang dengan
melibatkan wawasan dan pengetahuan peneliti tentang hegemoni.
3) Mengidentifikasi bagian-bagian teks dengan menandai bagian-bagian teks
yang berupa narasi, deskripsi, dan dialog yang berkaitan dengan fokus
kajian.
4) Pemberian kode terhadap data yang telah dikumpulkan.
3.4 Instrumen Kajian
Peneliti menggunakan alat bantu berupa panduan studi teks. Instrumen ini
dikembangkan berdasarkan aspek untuk menentukan data dan kodifikasi data untuk
mempermudah kelasifikasi data.
Tabel 1.1 Panduan Penjaringan dan Pembrian Kode Data Kajian Bentuk-
Bentuk Hegemoni
No. Aspek Sub aspek Indikator Kode
1. Hegemoni
Pencitraan
sebagai alat
untuk
mempertahankan
kelas
Narasi deskripsi dan
dialog yang
menunjukkan
kepemimpinan kelas
atas. Kepemimpinan
ditunjukkan melalui
cara-cara
menyadarkan kelas
bawah (menerimanya
sebagai sesuatu yang
wajar) atas
kepemimpinan kelas
PPPn/1/47
atas. Kepemimpinan
bisa dilakukan dengan
cara pencitraan untuk
mempertahankan kelas
2.
Pembangunan
mitos untuk
melegitimasi hak
priyayi
Narasi deskripsi dan
dialog yang
menunjukkan
kepemimpinan kelas
atas. Kepemimpinan
ditunjukkan melalui
cara-cara
menyadarkan kelas
bawah (menerimanya
sebagai sesuatu yang
wajar) atas
kepemimpinan kelas
atas. Kepemimpinan
bisa dilakukan dengan
cara pembangunan
mitos untuk
melegitimasi hak
priyayi
PPM/1/11
Pemberian kode data dilakukan untuk memudahkan pencarian dan
penelaahan kembali. Setiap data akan diberi kode berupa huruf dan angka sebagai
penjelas data yang telah terkumpul. Kode data berisi aspek, nomor kode, dan
halaman, misalnya PPPn/1/47. Kode tersebut berarti data dalam novel Para Priyayi
tentang hegemoni berupa pencitraan kutipan data pertama terletak pada halaman
47. Sedangkan, kode PPM/1/11 berarti hegemoni berupa mitos kutipan data
pertama terletak pada halaman 11.
3.5 Keabsahan Data
Untuk mendapatkan data yang absah, layak, dan sesuai dengan fokus
kajian ini, maka dilakukan beberaa langkah sebagai berikut.
1) Mendiskusikan data dengan ahli dan teman sejawat. Dilakukan dengan cara
berdiskusi dan bertukar pikiran tentang berbagai permasalahan penelitian.
Teman sejawat yang dipilih adalah seorang sarjana pendidikan bahasa dan
sastra Indonesia yang menekuni bidang hegemoni.
2) Mengamati, mencermati, dan meneliti kembali analisis yang telah dilakukan
secara menyeluruh.
3) Membaca berbagai pustaka dan dokumen pendukung tentang hegemoni,
bentuk hegemoni, priyayi, wong cilik, informasi-informasi tambahan
mengenai peranan priyayi dikalangan wong cilik, dan sebagainya.
Pembacaan dilakukan berulang-ulang guna memperoleh data yang absah.
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data menurut Moleong (2012:280), adalah proses
mengorganisasikan dan mengatur urutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan
uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan daat dirumuskan hipotesis kerja
yang disarankan oleh data. Analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
3.6.1 Reduksi Data
Reduksi data merupakan kegiatan mengklarifikasi data berdasarkan
permasalahan yang dikaji. Pada langkah ini peneliti membaca serta mempelajari
data, menandai kalimat-kalimat kunci dan gagasan yang ada dalam data. Data-data
yang dipilih adalah kalimat-kalimat atau gagasan yang mendukung bentuk-bentuk
hegemoni dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
3.6.2 Sajian Data
Sajian data merupakan kegiatan menyusun informasi atau data secara
teratur dan tererinci agar mudah diahami dan dianalisis. Peneliti mengumpulkan
data yang telah diperoleh kemudian memilih dan memilah kalimat yang termasuk
dalam aspek bentuk hegemoni priyayi. Data yang telah terkumpul, dikaji, dan
diinterpretasi sesuai dengan tujuan penelitian.
3.6.3 Penarikan Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan ini berisi kesimpulan dari data yang dianalisis
mulai awal hingga akhir.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hasil temuan penelitian dan
pembahasan berupa (1) pencitraan sebagai alat untuk mempertahankan kelas dan
(2) Pembangunan mitos untuk melegitimasi hak priyayi.
4.1 Pencitraan sebagai alat untuk mempertahankan kelas
Hegemoni yang terdapat dalam novel Para Priyayi adalah bentuk
kepemimpinan. Kepemimpinan dilakukan dengan cara pencitraan dan
pembangunan mitos. Dari kedua cara tersebut ditemukan beberapa narasi deskripsi
dan dialog yang menunjukkan hegemoni kepemimpinan yang dilakukan oleh kaum
elit jawa yakni priyayi. Berikut ini adalah temuan hegemoni bentuk kepemimpinan
dilakukan dengan cara pencitraan sebagai alat untuk mempertahankan kelas yang
terdapat dalam novel Para Priyayi.
Perbedaan kelas antara golongan priyayi dengan golongan lainnya dapat
dilihat dari lambing-lambang kepriyayiannya. Dari bentuk rumah, pakaian, dan
gelar beserta namanya dengan sepintas lalu dapat diidentifikasikan kepriyayian
seseorang (Kartodirdjo, 1987:26). Keadaan sosial-ekonomi yang lebih baik
daripada wong cilik menunjung keadaan tempat tinggal yng lebih baik, pakaian
yang dikenakan untuk menunjukkan kebesaran jabatannya, dan gelar jabatan yang
mengidentifikasikan identitasnya dalam pemerintahan.
Lambang kepriyayian yang pertama adalah rumah yang menjdi tempat
tinggal dari priyayi dan keluarganya. Hal ini juga menjadi salah satu identias sosial
priyayi yang membedakan dirinya dengan golongan dibawahnya. Hal tersebut
ditunjukkan dalam kutipan berikut ini.
“Tetapi, di dalam rumah sudah Nampak tanda-tanda rumah seorang priyayi.
Kursi-kursi dan meja halus dan berukir, lmpu-lampu minyak yang bergnatungan
besar-besar, lemari-lemari yang berisi barang-barang pecah belah. Kemudian
saya juga melihat di pojok kamar depan tombak-tombak pusaka yang berdiri di
standar kayu. Kami, romobongan dari Kedungsimo, segera dipersilahankan
duduk di ruang depan dan ruang tengah (PPPn/23/44).”
Pada data PPPn/23/44 menunjukkan bagaimana keadaan rumah dari Mukaram
seorang priyayi calon mertua dari Soedarsono. Rumah dari seorang priyayi yang
digambarkan tersebut secara garis besar terdapat ruang depan, ruang tengah, dan di
dalamnya terdapat hiasan dan barang pecah belah. Hal ini juga dibenarkakn oleh
Kartodirdjo (1987:38) Rumah itu tidak besar dan tidak luas, tetapi memberi kesan
bahwa penghuninya keluarga priyayi, karena di ruang depannya yang biasanya
dipergunakan untuk menerima tamu, ada plocon untuk menempatkan paying dan
tombak yang dipergunakan sebagai perlengkapan menghadiri upacara resmi.
Lambang kepriyayiannya yang kedua yakni dengan memperhatikan gaya
berpakaian. Pakaian membantu tubuh-tubuh individual kita menyatakan
keberadaan sosialnya dan siapa diri kita (Nordholt, 2005: 10). Berikut ini adalah
kutipan cara berpakaian seorang dokter.
Dokter ini adalah Dokter Soedradjat, dokter Jawa, artinya yang tamatan Setopia,
yang masih selalu berpakaian cara Jawa, yaitu kain, jas putih, dan destar.
(PPPn/38/55)
Pada data PPPn/38/55 menunjukkan bagaimana gaya berpakaian seorang dokter
yang tidak meninggalkan unsur Jawa yakni memakai kain. Dokter dikategorikan
sebagai golongan priyayi. Golongan priyayi professional yaitu golongan priyayi
yang menduduki jabatan-jabatan pemerintahan yang memerlukan pengetahuan dan
keterampilan tertentu karena berhubungan dengan eksploitasi kolonial seperti
kesehatan, peternakan, pertanian, dan irigasi (Kartodirdjo, 1987:8). Sehingga,
apabila seorang priyayi berpakain yang sepantasnya maka akan dihormati oleh
rakyat jelata. Karena (Kuntowijoyo, 2004:9) orang kawula akan memandang
priyayi melalui sembah yang berhak diterima, pakaian yang dikenakan, dan bahasa
yang diucapkan.
Pandangan kawula terhadap priyayi sebagai bentuk kekaguman kedudukan
mereka karena mereka sebagai kawula memiliki perbedaan dalam mengenakan
pakaian. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut ini.
Saya lihat baju mereka yang pada kumal dan compang camping. Ingus yang
berlelehan dari hidung-hidung mereka, mata mereka yang pada belekan, rambut
mereka yang kering, hitam kemerah-merahan, awut-awutan, kaki-kaki mereka
yang kudisan dan tubuh mereka yang tidak berbaju, panu di sana-sini.
(PPPn/40/112)
Pada data PPPn/40/112 menggambarkan bagaimana tidak terawatnya anak-anak
dari petani. Pakaian yang kumal dan tidak terawatnya tubuh mereka. Sehingga,
tidak salah apabila (Kuntowijoyo, 2004: 9) priyayi melihat kawula sebagai wong
cilik yang tidak mempunyai simbol kekuasaan, oleh karenanya rendah, kasar, dan
tidak terpelajar.
“Tidak pantas, saru, bila ada seseorang anggotan keluarga besar priyayi sampai
kleleran, terbengkalai, jadi gelandangan tidak ada yang mengurus, tidak
menikmati pendidikan, begitu nasihatnya yang lain. Priyayi yang tidak urus
begitu adalah priyayi yang jelek bahkan bukan priyayi, tekan Ndoro Guru lebih
jauh.” (PPPn/1/17)
Berdasarkan kutipan data PPPn/1/17 dijelaskan bahwa keluarga besar priyayi para
anggotanya mengenyam pendidikan, perilaku dan gaya hidupnya pun tertata. Dari
kutipan di atas seolah-olah memberi gambaran tentang bagaimana kehidupan
seorang priyayi dengan rakyat biasa. Hal ini ditekankan dengan ungkapan “bukan
priyayi”, jadi secara tersirat bahwa seseorang yang hidupnya terbengkalai, tidak
terurus, dan tidak berpendidikan berasal dari rakyat jelata. Sehingga, dengan kata
lain priyayi hidupnya selalu terawat dan keteraturan.
Lambang kepriyayian yang terakhir adalah gelar kepriyayiannya yang
biasanya dipakai di depan nama seseorang. Gelar kepriyayian ini tidak semata-mata
ditentukan oleh asal keturunan, tetapi juga oleh jabatan seseorang dalam
pemerintahan (Kartodirdjo: 1987:46). Hal tersebut dibuktikakn dalam kutipan
berikut ini.
Romo Jeksa dan Romo Mantri Candu menudukung pendapat Romo Dokter.
(PPPn/24/94)
Saya merasa terharu mendengar kata-kata Gus Hari yang polo situ. (PPPn/39/150)
Pada data PPPn/24/94 menjelaskan gelar kepriyayian yang berasal dari jabatan
mereka dalam pemerintahan. Sedangkan, pada data kedua PPPn/39/150 merupaka
gelar kepriyayian yang berasal dari keturunan. Gelar kebangsawanan setelah piu
raja dan selanjutnya hanya raden. Ketika masih kanak-kanak gelar raden itu sering
ditambah sebutan bagus atau gus bagi anak laki-laki dan lara/rara bagi anak
perempuan (Kartodirdjo, 1987: 48). Nama “Gus” Hari diberikan karena ikatan dari
ayahnya Hardojo yang bekerja dalam keraajaan sehingga secara tidak langsung
anaknya mendapat gelar kebangsawan tersebut.
Sejatinya priyayi termasuk dalam golongan berpendidikan maka menjadi
posisi yang diidam-idamkan dan diagung-agungkan oleh petani. Hal tersebut
disampaikan oleh Atmokasan secara tersirat pada kutipan berikut ini.
“... . Jadi priyayi itu jadi orang terpandang di masyarakat, bukan jadi orang kaya.
Priyayi itu terpandang karena kedudukannya, karena kepinterannya...”
(PPPn/21/53)
Pada data PPPn/21/53 kekuasaan yang dimiliki seorang priyayi berasal dari
kedudukannya bukan dari kekayaannya, melainkan karena pendidikannya. Rakyat
jelata menghormati priyayi karena mereka belum tentu bisa menjadi priyayi yang
dapat mengenyam dunia pendidikan dan bekerja di pemerintahan. Karena ketika
rakyat jelata ingin menjadi seorang priyayi maka harus melalui beberapa tahap yang
mana juga mengandalkan kemurahan hati dari seorang priyayi yang membantunya.
Tahapan-tahapan yang harus dilalui, yaitu suwita (mengabdi) untuk mengetahui
kepribadian, masa magang untuk mendidik kemampuan profesional seorang calon,
dan dilakukan wisuda untuk diangkat sebagai priyayi (Kuntowijoyo, 2004: 7).
Salah satu priyayi yang berdasarkan pendidikannya adalah Sastrodarsono.
Sastrodarsono dulunya anak seorang petani, kemudian menjadi cikal bakal keluarga
priyayi yang memulainya dengan bersekolah. Hal ini diuraikan pada kutipan
berikut.
“Hari itu saya, Sastrodarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa
Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu
di Ploso”. (PPPn/4/32)
Di mulai pada tahap pertama yakni suwita pada seorang priyayi yang kerap
disapa Ndoro Seten. Tahap ini calon priyayi mengabdi terlebih dahulu kepada
priyayi yang membantunya. Sejak usia muda mengabdikan diri pada seorang
priyayi (Kartodirdjo, 1987: 18). Hal ini dilakukan diwaktu usia masih muda. Ketika
proses suwita ini, biasanya calon priyayi membantu mengurus pekerjaan rumah
tangga dari sang priyayi. Hal ini bertujuan untuk melihat kepribadian dari calon.
Jadi, dalam proses ini calon priyayi diamati dan diawasi perilaku baik buruknya
untuk dipertimbangkan pada tahap selanjutnya.
“Karena kemurahan hati Ndoro Seten pula waktu saya kemudian lulus sekolah
desa lima tahun, saya dicarikan jalan lewat Ndoro Wedono dan putra Priyagung
di Madiun untuk dapat diterima magang untuk menjadi guru bantu.” (PPPn/5/35)
Tahap yang kedua adalah magang. Sastrodarsono kala itu magang sebagai guru
bantu di Ploso dan Jogorogo. Kesempatan magang ini biasanya diberikan kalau
selama mengabdi itu menunjukkan kelakuan yang baik, rajin, cakap, dan
sebagainya (Kartodirdjo, 1987:18). Apabila, calon memenuhi kriteria yang
ditunjukkan maka akan diberikan kesempatan untuk magang. Proses ini melibatkan
relasi yang dimiliki oleh priyayi untuk mempromosikan calon priyayi kepada
kerabat dan teman yang bekerja dalam pemerintah.
“Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang
berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu
tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi.”
(PPPn/6/32)
Lalu, tahap terakhir di wisuda dengan menyandang gelar sebagai mantri guru di
Karangdompol dan seketika itu juga lulus dan menjalani kehidupan layaknya
seorang priyayi. Tahap ini, calon priyayi yang tadinya masih magang dalam
pemerintahan diangkat menjadi pegawai tetap oleh pemerintah dan ditugaskan
didaerah yang ditunjuk oleh pemerintah.
“Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada gupermen, saya akan
menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya
sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantri
guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang terpandang.”
(PPPn/7/32)
Ketika seseorang ingin menjadi priyayi maka harus memiliki sifat
mengayomi kepada wong cilik. Sifat mengayomi dicerminkan melalui lakon
wayang Sumantri Ngenger. Hal ini juga ditunjukkan pada kutipan berikut ini.
“Lakon yang dipilih Ndoro Seten adalah Sumantri Ngenger atau Penghambaan
Sumantri .” (PPPn/43/47)
“Buat wong cilik yang ingin maju menjadi priyayi, nah, ini Darsono, lakon iki
juga terutama baik sebagai teladan. Sumantri adalah contoh wong cilik yang
dengan ikhlas menyerahkan baktinya buat raja dan negoro. Meskipun
sebelumnya dia pernah sombong dan tega mengorbankan adiknya dan takabur
memamerkan kesaktiannya kepada rajanya. Lha, buat Priyagung yang
memegang kekuasaan, lakon ini juga baik. Ia mengajari bagaimana raja itu mesti
sabar dan bijaksana tapi juga tahu kapan mesti menundukkan musuhnya dan tahu
mengampuninya.” (PPPn/44/48)
Pada data PPPn/43/47 dijelaskan bahwa Ndoro Seten memilih lakon Sumantri
Ngenger dalam pernikahan Soedarsono untuk memberi bekal kebijaksanaan dan
calon priyayi yang ingin membaktikan kepada negara. Sifat yang harus dimiliki
seorang priyayi diwujudkan melalui lakon wayang Sumantri antara lain berbakti
kepada atasan dan negara, tidak boleh sombong, sabar, dan bijaksana. Jadi, untuk
senantiasa menjaga kehormatan dan kewibawaannya harus menerapkan sifat-sifat
tersebut.
Kesenangan dengan cerita-cerita wayang membangun konsep tentang
kriteria istri yang baik. Hal ini karena di dalam cerita wayang yang diperankan oleh
lakonnya mengandung nilai-nilai yang dapat diambil manfaatnya. Dan, biasanya
priyayi menerapkan nilai-nilai tersebut ke dalam rumah tangganya. Seperti dalam
kutipan berikut ini tentang pandangan seorang priyayi terhadap peranan seorang
istri yang dikaitkan dengan lakon Sembrada dalam cerita wayang.
“Tapi, saya kurang sreg melihat Sembrada gagah. Wong perempuan kok gagah,
lho. Perempuan itu ya, yang alus.” (PPM/43/232)
Pada kutipan data PPM/7/232 bahwa ditunjukkan percakapan Sastrodarsono
kepada istrinya ketika menonton wayang bahwa menjadi seorang perempuan itu
yang halus bukan gagah. Hal ini menurut pandangan priyayi bahwa menjadi istri
itu harus bersikap lemah lembut dan halus tutur bicara dan perilakunya bukan
seperti lakon Sembrada yang gagah. Karena sejatinya sikap gagah itu dimiliki oleh
laki-laki bukan perempuan.
Adanya beberapa pihak yang mendorong Sastrodarsono tidak luput dari
peranan dari Ndoro Seten. Di awali dari hubungan antara Atmokasan sebagai bapak
Sastrodarsono yang diijinkan untuk menggarap sawah milik Ndoro Seten. Ndoro
Seten seorang priyayi terpandang yang bermurah hati kepada Atmokasan. Hal
tersebut dijelaskan pada kutipan berikut.
“Hanya saja Bapak sangat beruntung boleh mengerjakan separo dari sawah
Ndoro Seten sehingga bisa mencukupi kebutuhkan hidup kami.” (PPPn/8/34)
Dalam konsep kepemimpinan yang dilakukan dengan cara pencitraan diwujudkan
dalam sikap bermurah hati membentuk dan mencarikan relasi Sastrodarsono untuk
menjadi priyayi yang terdapat pada data PPPn/5/35. Dari sikap murah hati itulah
memunculkan hubungan yang tidak bisa lepas yakni balas budi.
“Bukan main besar, sesungguhnya, utang budi orang tua saya kepada Ndoro
Seten.” (PPPn/42/35)
Dengan kemurahan hati yang diberikan priyayi secara tidak langsung membuatnya
mendapatkan pengakuan atas keberadaannya oleh petani. Sehingga, dalam hal ini
pun secara tidak sadar membuat kelas dibawahnya melakukan sesuatu untuknya
sekalipun tanpa disuruh atau diminta terlebih dahulu. Hal ini terbukti pada kutipan
berikut ini.
Dan setiap kali Ndoro Seten punya hajat mengkhitankan anak, mengawinkan
anak, atau menerima tamu-tamu Priyagung dari kawedanan atau kabupaten,
orang tua saya tidak pernah ketinggalan menyediakan tenaga mereka untuk
membantu bekerja di dalem Setenan. (PPPn/35/35)
Kemurahan hati seorang priyayi juga tidak menutup kemungkinan adanya
timbal balik yang diperoleh. Timbal balik ini disebut sebagai kekuasaan imbalan
yaitu suatu kekuasan yang didasarkan atas pemberian harapan, pujian, penghargan
atau pendapatan bagi terpenuhinya permintaan seorang pemimpin terhadap
bawahannya (Wijakangka, 2008: 196). Maksudnya, secara tidak langsung apa yang
diberikan priyayi kepada wong cilik nantinya akan ada balas budi yang dilakukan
oleh wong cilik sebagai bentuk penghormatan.
“Ndoro Seten, seperti biasa sangat murah hati, memberi sumbangan yang sangat
mengesankan, yaitu pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk pada malam
berikutnya. Wayang, gamelan, dalang, penabuh gamelan, para pesinden, yaitu
para penyanyi pengiring gamelan, semuanya beliau tanggung ongkos-
ongkosnya.” (PPPn/19/47)
“Satu-satunya permintaan beliau kepada kami adalah penentuan lakon wayang
itu. Tentu saja kami tunduk dan menurut karena kami sudah begitu berbahagia
mendapat sumbangan sehebat itu. (PPPn/20/47)
Kutipan pada data PPPn/19/47 merupakan pencitraan yang dilakukan seorang
priyayi yakni dengan memberi sumbangan. Ketika seorang priyayi memberi
sumbangan atau bantuan membuat dirinya dihormati oleh kelas bawah sehingga
secara tidak sadar akan mematuhi keinginan dari priyayi. Kemampuan seseorang
untuk dapat mengontrol aktifitas orang yang dikuasai dengan cara mengeluarkan
ide sehingga orang yang dikuasai sulit untuk menolak, tunduk dan menuruti
kemauan yang berkuasa meskipun di luar kemauan dia (Wijakangka, 2008:194).
Hal tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan diatas yakni kata “tunduk” yang
artinya patuh atau menurut (Alwi, 2012: 325). Sehingga, dapat diketahui dari kata
tersebut menimbulkan rasa patuh wong cilik kepada priyayi. Selain itu, kelas bawah
juga mengakui kekuasaan kepemimpinan priyayi dengan menganggap pemberian
sumbangan pertunjukkan wayang kulit itu sangat hebat karena wong cilik tidak
mampu untuk menanggap wayang kulit.
Pencitraan yang dilakukan priyayi sehingga mampu membuat rasa hormat
yakni memuji. Ndoro Seten pun mengungkapkan pujiannya kepada Atmokasan
karena selalu menepati kewajibannya. Seperti kutipan berikut ini.
“Orang tua kami dinyatakan oleh Ndoro Seten sebagai petani yang tahu menepati
kewajiban, menyetor hasil panenan sawah kepada mereka tanpa pernah mencoba
mengurangi atau mencuri bawonan atau ikatan panenan padi waktu habis
menuai.” (PPPn/12/35)
“Segala macam ater-ater atau antaran tidak pernah lupa dikirim orang tua saya
kepada mereka.” (PPPn/34/35)
Pada data PPKP/12/35 menunjukkan ketika seorang priyayi semakin memberikan
pujian terhadap hasil kerja petani maka pujian tersebut dianggap oleh wong cilik
sebagai utang budi. Dan, pada data PPPn/46/35 adalah wujud balas budi yang
dilakukan oleh petani kepada priyayi. Balas budi terbentuk karena adanya sekat
antara priyayi dengan wong cilik. Sehingga, kedua belah pihak mengerti posisi dan
kedudukannya masing-masing. Ada batas sosial budaya yang tak terjembatani,
“priyayi adalah priyayi, kawula adalah kawula (Kuntowijoyo, 2004:110).
Hal itu, juga digambarkan pada tokoh Embok Lantip yang membalas budi
kepada Sastrodarsono. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.
Persinggahan kami yang satu atau dua jam itu dengan sendirinya tidak kami
lewatkan dengan hanya tiduran di amben, bale-bale, di ruang belakang.
(PPPn/25/16)
Embok akan membantu pekerjaan rutin para pembantu seperti mencuci cangkir
dan piring, membersihkan lantai seluruh bagian rumah, atau kadang-kadang juga
menumbuk bekatul dari beras. (PPPn/26/17)
Pada data PPPn/25/16 menunjukkan bagaimana kemurah hati seorang priyayi yang
menginjinkan penjual tempe beristirahat dirumahnya. Dalam hal ini, wong cilik
sadar akan status mereka, menghormati kebaikan yang dilakukan dengan
membalasnya membantu membersihkan rumah tersebut.
Berhasilnya dalam menjadi pihak yang dominan dalam kalangan rakyat
jelata karena menerapkan kepemimpinan, sehingga puncaknya adalah ketika
seorang rakyat jelata mengabdi untuknya tanpa diminta dan itu terjadi atas
keinginannya sendiri. Hal ini digambarkan pada kutipan tokoh Lantip berikut ini.
“Saya akan kembali ke Wanagalih, ke dalem Setenan,ke bawah perlindunganmu,
berbakti kepada seluruh keluargamu.” (PPPn/41/134)
Selain itu, pencitraan yang dilakukan untuk mempertahankan kelasnya, para
priyayi bersaing dalam menggelarkan pesta pernikahan. Hal ini bertujuan untuk
menunjukkan kekuatan kedudukan dari pangkatnya. Dalam pelaksanaan pesta
pernikahan yang dilaksanakan oleh kalangan priyayi dengan petani pun sangatlah
berbeda. Hal ini seperti pernikahan Sastrodarsono dengan Ngaisah yang mana
orang tua dari Ngaisah itu adalah seorang priyayi. Pernikahan yang diadakan
seorang priyayi digambarkan dalam kutipan berikut ini.
“Perayaan perkawinan saya dengan Siti Aisah, Dik Ngaisah, dilangsungkan
dalam segala kemewahan. Dik Ngaisah, anak perempuan satu-satunys dari
keluarga mantri penjual candu Mas Mukaram. Soedarsono, Sastrodarsono, anak
tunggal Mas Atmokasan, petani desa Kedungsimo.” (PPPn/14/46)
“Maka bisa dimengerti bila kedua belah pihak ingin mencurahkan kekuatan
masing-masing untuk menyelenggarakan pesta perkawinan yang mengesankan.”
(PPPn/15/46)
Pada data PPPn/15/46 dijelaskan bahwa kedua calon pengantin sama-sama anak
tunggal dari kedua belah keluarga. Jadi tidak heran dalam hal ini ada persaingan
dalam penghelatan pernikahan dari kedua belah pihak untuk menunjukkan
kemampuan masing-masing pihak, sehingga nantinya akan ada perbedaan antara
pihak Mukaram selaku priyayi dengan Atmokasan selaku petani.
Pesta perkawinan di Jogorogo dihadiri oleh banyak pejabat, priyayi, gupermen di
samping juga tionghoa-tionghoa bekas pakter candu, sehingga meriah sekali.
Wayang kulit dengan lakon Partokromo, perkawinan Arjuna dipentaskan.
(PPPn/16/47)
Pesta yang digelar oleh priyayi pun begitu meriah dan tamu yang diundang juga
dari golongan kelas atas. Tidak lupa dalam acara pesta priyayi digelar sebuah
pertunjukkan wayang. Karena hanya priyayi yang mampu menanggap wayang,
sedangkan wong cilik tidak mampu, hal ini disebabkan adanya faktor ekonomi yang
berbeda dari keduanya. Dan wayang sendiri merupakan salah satu kesenangan
priyayi. Sehingga, pada data PPPn/16/47 terlihat bagaiamana kekuatan seorang
priyayi dalam menggelar pesta pernikahan. Kesan mewah yang diperlihatkan
priyayi ini diakui juga oleh Sastrodarsono selaku anak petani dalam memandang
pesta tersebut. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan di bawah ini.
“Tarub yang dipasang di halaman rumah sanggup menerima seratus tamu.
Tayuban semalaman suntuk, pesta menari dengan para ledek, penari-penari
bayaran, yang boleh dicium atau apa saja, diadakan dengan sangat meriahnya. Di
samping itu di dalam rumah meja-meja untuk bermain kartu, pei atau ceki
disediakan, baik bagi tamu laki-laki maupun perempuan.” (PPPn/17/47)
“Akan tetapi, meski segala keramaian, keseronokan dan kemewahan itu
diusahakan oleh orang tua saya dan sanak-saudaranya, pesta ngunduh di rumah
kami itu teap pestanya keluarga petani.” (PPPn/18/47)
Pada data PPPn/17/47 menunjukkan bagaimana usaha keras Atmokasan
selaku petani dalam menyaingi Mukaram selaku priyayi. Dapat dikatakan bahwa
pesta yang diadakan terbilang mewah dengan acara yang diadakan sedemikian rupa.
Namun, seberapa mewahpun pesta yang diadakan, hal itu tetap pesta keluarga
petani dan masih kalah mewah dengan pesta priyayi. Sesuai dengan pernyataan
Kuntowijoyo (2004:76) bahwa mereka tetap saja menjadi wong cilik bagaimanapun
kekayaannya. Seberapa pun kekayaan seseorang jika mereka tidak bekerja dalam
pemerintahan, mereka tetap berstatus wong cilik.
Selain itu, untuk menjaga kelasnya, seseorang priyayi menikahkan anaknya
hanya dengan anak priyayi saja. Dan tidak pantas apabila seorang anak priyayi
menikah dengan orang biasa. Dinding perbedaan status sosial tersebut diperlihatkan
dalam memilih jodoh dalam anak dari priyayi. Hal tersebut dijelaskan dalam
kutipan berikut ini.
“Marie. Maridjan tidak sepadan dengan kamu.”
“Yang jelas latar belakang keluarga. Bukankah dia datang dari keluarga desa
saja? Kau anak kolonel dengan latar belakang pendidikan Belanda., Marie. Kau
kami didik sebagai anak priyayi yang maju, yang europeesch.” (PPPn/22/289)
Dalam kutipan di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa orang desa tidak
pantas dengan anak priyayi. Pernyataan tersebut juga secara tidak langsung
merendahkan orang desa dan menunjukkan pada orang desa bahwa priyayi
memiliki titel dan jabatan yang tinggi sehingga tidak pantas bagi orang desa
bersanding dengan priyayi.
4.2 Pembangunan mitos untuk melegitimasi hak priyayi
Hegemoni dilakukan dengan melalui kepemimpinan intelektual dan moral
untuk menjadi kelas yang unggul. Cara tersebut selain dilakukan melalui pencitraan
jug dilakukan dengan cara pembangunan mitos. Berikut ini adalah temuan
hegemoni bentuk kepemimpinan yang dilakukan dengan cara pembangunan mitos
untuk melegitimasi hak priyayi dalam novel Para Priyayi.
Kedudukan priyayi yang lebih tinggi daripada rakyat jelata ternyata juga
dibuktikan dengan adanya mitos dikalangan bawah. Mitos yang berada pada
kalangan bawah seolah-olah menge-sahkan akan hak yang diperoleh priyayi. Salah
satunya dalam pemberian nama. Hal tersebut juga dipaparkan dalam kutipan
sebagai berikut.
“Dan karena hubungan itu pula saya mendapat nama saya yang Soedarsono ini.
Bila tidak karena hubungan itu bagaimana kita orang desa bisa membayangkan
mendapat nama Soedarsono, nama yang menurut bayang kami hanya pantas
dimiliki anak-anak priyayi saja.” (PPM/1/34)
Berdasarkan kutipan data PPM/10/34 Ndoro Seten memberikan nama seorang
priyayi kepada anak petani. Pemberian nama seseorang juga menunjukkan identitas
seseorang itu berasal. Sehingga, ketika pemberian nama priyayi kepada anak petani
pun menuai keraguan untuk menerimanya. Hal ini dipaparkan pada kutipan berikut
ini.
“Embok masih bimbang, takut jangan-jangan nama itu nama yang terlalu berat
bagi bayi seorang anak desa.” (PPM/2/34)
Bagi orang desa kalangan petani, bahwa nama Soedarsono dianggap terlalu berat
bagi anak orang desa. Pada data PPM/2/34 ditunjukkan adanya rasa takut jika
anaknya diberi nama tersebut. Menurutnya, bisa mendapatkan bencana apabila
tidak tepat dalam memberikan nama.
“Tetapi, Bapak terus membujuk dan menyakinkan Embok bahwa kita tidak usah
khawatir akan mengalami bencana itu. “Wong paringan, hadiah, dari priyayi
tinggi kok dikhawatirkan,” tutur Bapak. “Mesti baiknya,” tandas Bapak lagi.”
(PPM/3/35)
Berdasarkan data PPM/3/35 dijelaskan bahwa mitos pemberian nama yang terlalu
berat dapat mendatangkan bencana pun seketika itu dipatahkan dengan keyakinan
dan menuruti kemauan Ndoro Seten yang dianggap sebagai priyayi tinggi. Jadi
dalam hal ini, seseorang yang menyandang gelar sebagai priyayi tinggi maka segala
apa yang disampaikan dianggap sesuatu hal yang baik dan merupakan sebuah
anugerah.
Dalam pemberian nama pun juga dilakukan Sastrodarsono kepada Lantip
yang dulunya bernama Wage. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan di bawah ini.
“Nama anakmu akan kami ganti. Nama Wage rasanya kok kurang pantes buat
anak sekolah. Saya usul namanya diganti Lantip. Lantip artinya cerdas, tajam
otaknya. Bagaimana?” (PPM/4/22)
Pada kutipan data PPM/4/22 tersebut dari perkataan “nama Wage kurang pantas
buat anak sekolah” berarti dalam nama Wage diidentikkan dengan anak yang tidak
mengenyam dunia pendidikan. Jadi, anak-anak yang bersekolah memiliki nama
seperti seorang priyayi.
Selain itu, priyayi selain terhormat kedudukan tentu dikaitkan dengan
parasnya yang lebih tampan dan cantik karena lebih terurus daripada rakyat jelata.
Hal ini juga adanya mitos yang berkembang di dalam lingkup priyayi. Mitos
tersebut diungkapkan dalam kutipan berikut.
Mungkin sekali, seperti dalam ceritera-ceritera wayang itu, kehendak dan
keinginan kami itu didengar oleh Tuhan dan dikabulkan dengan memberi kami
anugerah anak-anak yang bagus dan ayu, lagi pula bertampang priyayi,
mriyayeni. (PPM/5/57)
Pada data PPM/5/57 tersebut seolah-olah memberi cap bahwa anak yang lahir dari
seorang priyayi sudah pasti berparas tampan dan cantik yang mencerminkan wajah
seorang priyayi. Jadi, jika dikaitkan dengan kalangan bawah maka secara tidak
langsung mengungkapkan bahwa kelas bawah tidak berparas tampan, cantik, dan
berwibawa seperti priyayi. Terlebih lagi hal ini didukung bahwa kawula identik
dengan tidak terurus, rendah, dan kasar.
Ketika seseorang sebelum meninggal dikaitkan dengan beberapa tanda-
tanda sebelumnya. Seperti sebelum meninggalnya Sastrodarsono diperlihatkan
dengan robohnya pohon nangka yang ditanam Sastrodarsono. Hal itu dijelaskan
dalam kutipan berikut ini.
Beberapa hari sebelum Embah Kakung Sastrodarsono seda pohon nangka di
pojok halaman depan rumah Setenan roboh. Tidak sekejap pun saya menduga
bahwa itu adalah sasmita, sebuah pernyataan tanda. Yaitu, tanda yang dikirim
oleh Allah subhannahu wa taalla untuk dibaca sebagai peringatan bahwa seorang
besar dan banyak berjasa serta juga sangat dicintai oleh banyak orang, akan
dipanggil kembali ke rahmatullah. (PPM/6/353)
Barulah waktu Allah subhanahu wa taalla mengirimkan lagi sasmita-Nya lewat
Embah Kakung yang memerintahkan untuk membagi-bagi pohon nangka yang
roboh itu kepada siapa saja yang membutuhkannya, saya mulai paham makna
sasmita Allah itu. Embah Kakung ingin pamit berjalan ke rahmatullah dengan
membagi warisan yang berupa semangat kerukunan dan persaudaraan kepada
anak dan cucu serta cicitnya. (PPM/7/353)
Pada data PPM/6/353 dijelaskan bahwa pohon nangka yang ditanam oleh
Sastrodarsono menjadi pengiring sepeninggalnya sebagai tanda tutup usianya sang
penanamnya. Selain itu pada data PPM/7/353 ketika Sastrodarsono membagi pohon
nangka yang roboh tersebut dikaitkan sebagai tanda membagi warisan berupa
kerukunan dan persaudaraan kepada anak dan cucu serta cicitnya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hegemoni feodalistik yang terdapat dalam novel Para Priyayi ini berupa
kepemimpinan intelektual dan moral. Kepemimpinan dilakukan dengan cara
pencitraan dan pembangunan mitos. Pencitraan yang dilakukan oleh priyayi dalam
novel ini diwujudkan bentuk kemurahan hati, memberi sumbangan, memberi
pujian, kepandaian, menanggap wayang, hidupnya terawat, persaingan dan konsep
istri priyayi tercermin dalam lakon Sembrada. Pencitraan yang dilakukan
digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kelas dari seorang priyayi Jawa.
Cara yang kedua adalah dengan pembangunan mitos yakni pembeian nama,
robohnya pohon nagka sebagai tanda kematian, dan pembagian pohon nangka
sebagai wujud pembagian warisan. Dalam hal ini pembangunan mitos yang beredar
dikalangan rakyat jelata menjadi alat untuk melegitimasi hak priyayi.
Dalam penelitian ini menghasilkan data (1) pencitraan sebagai alat untuk
mempertahankan kelas terdapat 43 data, dan (2) pembangunan mitos untuk
melegitimasi hak priyayi terdapat 7 data.
5.2 Saran
Dalam penelitian ini kurangnya data yang berkaitan tentang hegemoni
feodalistik. Hal ini dikarenakan sedikitnya interaksi yang terjadi antar priyayi
dengan wong cilik. Interaksi itu pun hanya digambarkan oleh tiga tokoh saja. Novel
ini lebih condong memaparkan bagaimana cikal bakal terbentuknya keluarga
priyayi baru yang dulunya berasal dari anak petani dan menjalani kehidupan
sebagai priyayi baru dan dampak dari pendidikan Belanda baik dari segi bahasa,
perilaku, dan gaya hidup. Oleh sebab itu, kedepannya diharapkan untuk peneliti
yang akan mengkaji novel ini bisa mengkaji lebih dalam dampak yang diberikan
dari pendidikan pemerintah Belanda terhadap pribumi.
DAFTAR PUSTAKA
Haikal, Hasanah Halimah. 2014. Jalan Menikung Karya Umar Kayam: Analisis
Hegemoni Gramsci. Tersedia:
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014-
196415-title.pdf, diakses pada tanggal 16 Oktober 2016.
Hasyim, M. 2016. Hegemoni dan Teknologi. Tersedia:
http://digilib.uinsby.ac.id/5963/26/Bab%202.pdf, diakses pada tanggal 16
Oktober 2016.
Indriati, Eka, dkk. 2013. Nilai-Nilai Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar
Kayam dan Implementasi di Sekolah. Tersedia:
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/3255/3238, diakses
pada tanggal 16 Oktober 2016.
Kartodirdjo, Sartono, dkk. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Kayam, Umar. 2012. Para Priyayi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi, dan Kawula. Jogjakarta: Ombak.
Lutfi, MZ. 2014. Hegemoni menurut Gramsci. Tersedia:
http://digilib.uinsby.ac.id/582/5/Bab%202.pdf, diakses pada tanggal 16
Oktober 2016.
Maulidatus, Nur. 2014. Peradaban Masyarakat Feodal. Tersedia:
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BU50FgZ0RI4J:
nur-maulidatus-fib12.web.unair.ac.id/artikel_detail-93506-
Sejarah%2520Barat-
Peradaban%2520Masyarat%2520Feodal.html+&cd=3&hl=id&ct=clnk&
gl=id, diakses pada tanggal 10 September 2017.
Moleong, Lexy. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosadakarya.
Nordholt, Henk Schulte. 2005. Outward Appearances: Trend, Identitas,
Kepentingan. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2015. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Scherer, Savitri Prastiti. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-
pemikiran PriyayiNasionalis Jawa Abad XX. Jakarta: PT. Sinar Agape
Press.
Sugono, Deddy. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Teeuw, A. 1988. Sasstra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Wijakangka, Agga Ramses. 2013. Analisis Kekuasaan Dalam Novel Pabrik Karya
Putu Wijaya. Tersedia:
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jib/article/view/1268/1356, diakses
pada tanggal 16 Oktober 2016.