makalah seminar pra tesis "Orde baru sebagai landasar fabula dan sjuzet: kajian formalisme rusia dan...
-
Upload
alfian-rokhmansyah -
Category
Documents
-
view
330 -
download
1
description
Transcript of makalah seminar pra tesis "Orde baru sebagai landasar fabula dan sjuzet: kajian formalisme rusia dan...
ORDE BARU SEBAGAI LANDASAN FABULA DAN SJUZET
KAJIAN FORMALISME RUSIA DALAM NOVEL ENTROK
KARYA OKKY MADASARI
MAKALAH SEMINAR TESIS
disusun sebagai tugas mata kuliah
Seminar Tesis
Oleh:
Alfian Rokhmansyah
1301021400003
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SUSASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang
menggantikan Orde Lama atau masa pemerintahan Presiden Soekarno. Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966–1998. Dalam jangka waktu tersebut banyak peristiwa
yang terjadi mengisi lembar-lembar sejarah Orde Baru. Pada masa Orde Baru
kekuasaan sering digunakan sebagai senjata untuk mendapatkan uang. Tidak hanya
Presiden dan pejabat tinggi negara, orang-orang yang mempunyai jabatan di daerah
pun memanfaatkan kedudukan mereka untuk memperkaya diri sehingga terjadi
praktik penyalahgunaan kekuasaan yang berujung dengan korupsi. Bahkan aparat
keamanan yang seharusnya bertugas untuk melindungi, ikut melakukan praktik
penyalahgunaan kekuasaan dengan cara memeras uang rakyat dengan dalih sebagai
uang keamanan.
Fakta sejarah ini termuat dalam novel Entrok karya Okky Madasari. Pengarang
mengambil fakta sejarah pada zaman Orde Baru di Indonesa pada era tahun 1950–
1999 sebagai latar dalam novelnya. Dalam novel ini, pengarang menggambarkan
kejadian-kejadian yang terjadi pada masa Orde Baru dengan teknik penceritaan
tertentu yang menyebabkan pembaca dapat merasakan kejadian yang terjadi pada
masa Orde Baru.
1
2
Pengarang tentunya menyadari bahwa isi novelnya mempunyai kedekatan
dengan fakta sejarah, yaitu masa Orde Baru. Banyak peristiwa yang terjadi pada
masa Orde Baru diangkat dalam novel Entrok, misalnya peristiwa pemboman stupa
di Borobudur, kemenangan partai kuning (Golkar) pada pemilu awal di Indonesia,
dan praktik-praktik pemerasan terhadap rakyat kecil yang tidak mempunyai
kekuasaan.
Novel Entrok karya Okky Madasari menunjukkan bahwa kejadian-kejadian
dalam kehidupan manusia umumnya dapat dimanfaatkan oleh pengarang sebagai
bahan mentah dalam proses pembuatan suatu karya sastra. Hal ini menyebabkan
karya sastra yang dihasilkan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan
pengarang maupun dengan masyarakat yang ada di sekitar pengarang. Dengan kata
lain, pengarang membawa kebenaran yang nantinya akan diyakini oleh pembaca.
Salah satu usaha pengarang untuk meyakinkan pembacanya adalah dengan
mendekati kebenaran yang diambil dari realitas dalam masyarakat.
Realitas kehidupan manusia dapat dijadikan bahan dalam proses kreatif
sehingga dapat terbentuk suatu rangkaian cerita. Menurut Jefferson (melalui
Nuryatin, 2005:11), realitas kehidupan manusia yang dijadikan bahan mentah yang
kemudian diolah oleh pengarang, menurut kaum formalis dinamakan sebagai fabula
(cerita), sedangkan karya sastra yang merupakan hasil olahan fabula dinamakan
sjuzet (alur). Proses pengolahan fakta cerita (fabula) menjadi sebuah alur (sjuzet)
dinamakan defamiliarisasi.
Dalam novel Entrok, yang dapat disebut fabula adalah peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa Orde Baru. Fakta-fakta pada peristiwa tersebut merupakan bahan
3
mentah yang digunakan Okky Madasari dalam menyusun novel Entrok. Dengan
menggunakan teknik penceritaan tertentu, pengarang mendefamiliarisasikan fakta
cerita menjadi sebuah sjuzet.
Dalam novel Entrok, pengarang menghadirkan cerminan kehidupan sebuah
keluarga yang harus berhadapan dengan kerasnya zaman yang dikuasai oleh senjata.
Marni dan keluarganya harus tunduk dan patuh kepada para penguasa Orde Baru.
Setiap minggu, Marni harus merelakan sebagian dari penghasilannya untuk diberikan
kepada para tentara yang meminta uang keamanan. Marni terpaksa harus
menyerahkan uang yang ia dapatkan dengan susah payah kepada para tentara karena
tidak ingin mendapat sanksi politik yaitu dicap sebagai PKI. Bukan hanya
memberikan uang keamanan, setiap pemilu digelar Marni juga harus membayar
sumbangan kampanye yang cukup besar kepada Pak Lurah untuk mendanai
kampanye partai pemerintah.
Dengan memanfaatkan kedudukan mereka sebagai penguasa, para tentara bisa
dengan mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan, termasuk meminta semua
warga di sebuah desa merelakan rumah dan tanahnya untuk dijadikan sebuah kolam
raksasa. Ketidakberdayaan masyarakat menghadapi penguasa Orde Baru membuat
kehidupan mereka menjadi terpuruk dan pada akhirnya mereka hanya menjadi
korban para penguasa Orde Baru.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah:
1) fakta yang digunakan sebagai landasan fabula dalam novel Entrok;
2) praktik hegemoni pada masa Orde Baru dalam novel Entrok.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan
untuk:
1) mengungkap fakta-fakta yang digunakan sebagai landasan fabula dalam novel
Entrok;
2) mengungkap praktik hegemoni pada masa Orde Baru dalam novel Entrok.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuannya, hasil penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis.
Manfaat teoretis dari hasil penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan
referensi tambahan bagi para pembaca dan pembelajar ilmu sastra, khususnya bagi
mereka yang ingin mempelajari teori formalisme Rusia dan sosiologi sastra. Adapun
manfaat praktisnya adalah memberikan informasi mengenai fakta yang digunakan
sebagai landasan fabula dalam novel Entrok dan memberikan informasi mengenai
hegemoni pada masa Orde Baru.
5
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang data-datanya diperoleh dari
hasil studi kepustakaan. Objek material penelitian ini adalah novel Entrok karya
Okky Madasari. Objek formal penelitian ini adalah fakta sebagai landasan fabula dan
hegemoni pada masa Orde Baru. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori formalisme Rusia dan hegemoni, sedangkan pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan objektif dan sosiologi sastra. Sesuai rumusan permasalahan dan
tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada fakta-fakta yang
digunakan pengarang sebagai landasan fabula dan hegemoni yang ada pada masa
Orde Baru.
1.5 Landasan Teoretis
1.5.1 Formalisme Rusia
Formalisme adalah salah satu mazhab dalam teori sastra modern. Kelahiran mazhab
ini dirintis oleh sejumlah ahli linguistik dan ahli sastra di Rusia. Hal ini didasarkan
pada keyakinan para formalis bahwa studi seperti itu sangat mungkin dan memang
pantas dilakukan. Kaum formalis yakin bahwa studi-studi mereka akan
meningkatkan kemampuan pembaca untuk membaca teks-teks sastra dengan cara
yang tepat. Kaum formalis cenderung untuk mengkaji teks sastra secara formal, yaitu
dalam kaitannya dengan struktur bahasa.
Victor Shklovsky mendominasi fase awal Formalisme. Victor Shklovsky
mengambil suatu pendekatan bersahaja, mencoba teknik-teknik yang dipergunakan
oleh para sastrawan untuk menghasilkan efek-efek yang khusus. Shklovsky
6
menyebut salah satu konsepnya sebagai defamiliarisasi (ostranenie) yang berarti
membuat aneh atau proses menjadikan sesuatu itu luar biasa sifatnya. Shklovsky
mengemukakan bahwa kita tidak pernah dapat memelihara kesegaran persepsi kita
atas objek-objek; tuntutan eksistensi ‘normal’ itu diperlukan agar mereka menjadi
sejumlah besar yang ‘diotomatisasikan’ (Selden, 1991:5).
Skhlovsky (1989:19) mengungkapkan bahwa teknik seni adalah membuat
objek-objek menjadi ‘tidak biasa’ dengan menghadirkan bentuk-bentuk yang sukar
untuk menambah tingkat kesukaran dan memperpanjang persepsi karena proses
persepsi adalah suatu tujuan estetik dan harus diperpanjang.
Kaum formalis lebih memusatkan perhatian pada ‘keganjilan’ teks sastra dalam
upaya menampilkan kekhasan karya sastra. Konsep defamilarisasi dan deotomatisasi
merupakan dua konsep yang digunakan kaum formalis untuk mempertentangkan
karya sastra dengan kehidupan atau kenyataan sehari-hari. Apa yang sudah biasa dan
secara otomatis diserap, dalam karya sastra dipersulit atau ditunda pemahamannya
sehingga terasa asing, ganjil, atau aneh. Tujuannya agar pembaca lebih tertarik pada
bentuks dan lebih menyadari hal-hal di sekitarnya.
Realitas dalam penyusunan karya sastra bersifat sekunder. Realitas dimasukkan
dalam karya sastra oleh seniman pada saat memproses karyanya. Realitas merupakan
salah satu komponen karya sastra, bukan sebagai rujukan karya sastra. Apabila karya
sastra terlihat seperti merujuk pada realitas tertentu, maka hal itu sekadar kesan
sampingan dari fungsi estetik saja (Jefferson melalui Nuryatin, 2005:10)
Kaum Formalis berupaya mengkaji karya sastra genre fiksi dan mencoba lebih
memadukan unsur-unsur yang membentuk karya sastra ke dalam suatu sistem yang
7
padu dan menyeluruh. Mereka tidak lagi menjadikan puisi sebagai satu-satunya objek
pengkajian, juga tidak lagi terpaku pada sarana-sarana yang ‘mengganjilkan’ atau
‘mengasingkan’ karya sastra.
Menurut Jefferson (melalui Nuryatin, 2005:10-11) pengkajian sastra kaum
formalis berdasar pada perbedaan antara peristiwa di satu pihak dengan penciptaan di
pihak lain, yaitu antara fabula dengan sjuzet. Konsep ini dikembangkan oleh
Shklovsky. Fabula merupakan bahan dasar yang berupa jalan cerita menurut
kronologi peristiwa, sedangkan sjuzet merupakan sarana untuk menjadikan jalan
cerita menjadi ganjil atau aneh.
Distinguishing between the concepts of fabula (or story) that is, the temporal-causal sequence of narrated events which comprise the raw materials of the work, and sjuzet (or plot) as the way in which these materials are formally manipulated (Bennett, 2003:19).
Perbedaan antara “cerita” denga “alur” diberi tempat penting dalam teori
naratif kaum formalis Rusia. Mereka menekankan bahwa hanya “alur” (sjuzet) yang
sungguh-sungguh bersifat kesastraan, sedangkan “cerita” (fabula) hanya sebagai
bahan mentah yang menunggu pengolahan dari tangan pengarang. Sjuzet bukan
hanya susunan peristiwa-peristiwa cerita, melainkan juga semua sarana yang
digunakan untuk menyela dan menunda penceritaan, serta yang ditujukan untuk
menarik perhatian pembaca terhadap bentuk prosa tersebut. Penyusunan sjuzet
didasarkan pada gagasan defamiliarisasi yang mencegah pembaca dari cara
memandang peristiwa-peristiwa sebagai hal yang khas dan sudah lazim (Selden,
2005:33-34).
8
Istilah-istilah teknis yang bermacam-macam diperkenalkan dan digunakan oleh
Shklovsky, Eichenbaum, Tynjanov, dan lain-lain untuk membedakan faktor-faktor
utama yang konstruktif dalam sebuah karya sastra. Perbedaan antara konsep “cerita”
(fabula) dan “alur” (sjuzet) mendapat tempat yang sangat penting di dalam teori
naratif formalis Rusia. Fabula didefinisikan sebagai deskripsi rangkaian peristiwa,
atau lebih tepatnya sebagai penggambaran rangkaian kejadian dalam tatanan yang
urut dan relasi-relasi kausal. Konsep fabula digunakan sebagai lawan konsep sjuzet
yang biasanya diterjemahkan sebagai “plot” atau “strukturnaratif”. Menurut kaum
formalis, “alur” (sjuzet) adalah cara penyajian materi semantik dalam teks tertentu,
sedangkan “cerita” (fabula) hanyalah materi bagi formasi plot (Fokkema, 1998:23-
24)
1.5.2 Teori Hegemoni
Dalam bahasa Yunani kuno, hegemoni disebut eugemonia. Secara literal hegemoni
berarti kepemimpinan. Kata ini sering digunakan dalam dunia politik untuk
menunjuk pada pengertian dominasi. Akan tetapi, bagi Gramsci, hegemoni
merupakan sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomis dan etika-
politis. Gramsci menggunakan konsep ini untuk meneliti bentuk-bentuk politis,
kultural, dan ideologis tertentu dalam suatu masyarakat yang ada (Faruk, 2010:132).
Menurut Gramsci, hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan
menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan
kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni merupakan hubungan antara kelas
dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik adalah kelas yang mendapatkan
9
persetujuan dari kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan
sistem aliansi melalui perjuangan politik dan deologis (Simon, 2004:22).
Gramsci mengembangkan konsep hegemoni untuk menggambarkan suatu
kondisi di mana supremasi kelompok sosial dicapai tidak hanya melalui “dominasi”
atau “pemerintah” tetapi juga melalui persetujuan atas dasar sukarela dari kelas yang
didominasi (Litowitz, 2000:515). Konsep hegemoni Gramsci lebih lanjut dapat
dielaborasikan melalui penjelasannya tentang basis dari supremasi kelas. Supremasi
kelas merupakan keunggulan kelas sosial untuk mempertahankan kekuasaan bagi
pihak penguasa. Penguasa memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa
negara (pemerintah).
Supremasi sebuah kelompok terwujud dalam dua bentuk, yaitu dominasi dan
kepemimpinan intelektual dan moral. Di satu pihak, sebuah kelompok sosial
mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan atau menundukkan
mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan senjata. Di pihak lain,
kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka. Sebuah
kelompok sosial dapat dan bahkan harus menerapkan kepemimpinan sebelum
memenangkan kekuasaan pemerintahan. Kepemimpinan tersebut merupakan salah
satu dari syarat-syarat utama untuk memenangkan kekuasaan semacam itu.
Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktikkan
kekuasaan, tetapi bahkan bila dia telah memegang kekuasaan penuh di tanggannya,
dia masih harus terus memimpin juga.
... that the supremacy of a social group manifests itself in two ways, as “domination” and as “intellectual and moral leadership”. A social group dominates antagonistic groups, which it tends to “liquidate”, or to subjugate perhaps even by armed force; it leads kindred and allied
10
groups. A social group can, and indeed must, already exercise “leadership” before winning governmental power (this indeed is one of the principal conditions for the winning of such power); it subsequently becomes dominant when it exercises power, but even if it holds it firmly in its grasp, it must continue to “lead” as well (Gramsci, 1992:57-58).
Dari kutipan tersebut, dapat diketahui adanya hubungan yang didukung oleh
kesatuan dua konsep menurut Gramsci yaitu kepemimpinan (direction) dan dominasi
(dominance). Hubungan dua konsep tersebut menyiratkan tiga hal. Pertama,
dominasi dijadikan atas seluruh musuh dan hegemoni dilakukan kepada segenap
sekutu-sekutu. Kedua, hegemoni adalah suatu prakondisi untuk menaklukkan
aparatus negara atau dalam pengertian sempit kekuasaan pemerintahan. Ketiga,
sekali kekuasaan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi kelas ini, baik
pengarahan maupun dominasi terus berlanjut.
Kepemimpinan dan dominasi menjadi dua hal penting dalam teori hegemoni
Gramsci. Konsep hegemoni yang dikembangkan Gramsci berpijak pada
kepemimpinan yang sifatnya intelektual dan moral. Kepemimpinan ini terjadi karena
adanya kesetujuan dari kelas bawah atau masyarakat terhadap kelas atas yang
memimpin. Kesetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam
menanamkan ideologi kelompoknya. Akan tetapi, jika penanaman ideologi itu gagal,
kelas atas akan melakukan tindakan dominasi yang bersifat represif melalui aparatus
negara.
Gramsci tidak hanya menggunakan istilah hegemoni untuk menggambarkan
aktifitas kelas penguasa, tetapi dia juga menggunakannya untuk mendeskripsikan
pengaruh yang diberikan oleh kekuatan-kekuatan progresif. Hal ini dapat dilihat
bahwa hegemoni seharusnya didefinisikan sebagai hal yang dilakukan bukan saja
11
oleh kelas penguasa, tetapi juga proses di mana kelompok-kelompok sosial yang
progresif, regresif, dan reformis, meraih kekuasaan untuk memimpin, memperluas
kekuasaan, dan mempertahankannya (Brown, 2009:2).
Hegemoni tidak pernah dapat diperoleh begitu saja, tetapi harus diperjuangkan
terus menerus. Untuk mempertahankan hegemoni kelompok sosial yang
menghegemoni akan terus berusaha untuk mempertahankan hegemoninya. Hal ini
menuntut kegigihan untuk mempertahankan dan memperkuat otoritas sosial dari
semua kelas yang berkuasa dalam kelompok masyarakat sipil dan membuat
kompromi-kompromi yang diperlukan untuk menyesuaikan sistem aliansi yang ada
dengan kondisi yang senantiasa berubah serta aktivitas kekuatan oposisi (Simon,
2004:45-46).
1.6 Metode Penelitian
Untuk melaksanakan penelitian ini digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan
objektif dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan objektif merupakan pendekatan
yang ditekankan pada analisis karya sastra sebagai sebuah bentuk yang otonom.
Pendekatan objektif ini digunakan sebagai pendekatan dalam mengungkap fakta yang
digunakan sebagai landasan fabula dalam novel Entrok. Dalam analisis
menggunakan pendekatan objektif ini, teori yang digunakan sebagai pisau adalah
teori formalisme Rusia, yaitu konsep mengenai fabula dan sjuzet.
Pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada
hubungan antara karya sastra dengan realitas kehidupan masyarakat. Pendakatan ini
12
digunakan untuk menganalisis praktik hegemoni pada masa Orde Baru yang terdapat
dalam novel Entrok dengan bantuan teori hegemoni.
Tahap penelitian yang harus ditempuh ada dua tahap. Tahap pertama,
melakukan kajian terhadap novel untuk menentukan bagian-bagian cerita yang
merupakan defamiliarisasi dari fakta yang dijadikan landasan fabula. Pada tahap ini,
digunakan teori formalisme Rusia, khususnya pandangan Victor Shklovsky, dan
pendekatan objektif dibantu sosiologi sastra hingga diketahui fakta-fakta yang
dijadikan landasan fabula. Tahap kedua, melakukan kajian terhadap gambaran-
gambaran praktik hegemoni yang terdapat dalam novel Entrok yang sesuai dengan
fakta.
1.7 Sistematika Penulisan
Secara sistematis hasil penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut:
Bab I memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, ruang lingkup penelitian, landasan teoretis, metode penelitian, serta
sistematikan penulisan laporan penelitian.
Bab II memuat kajian pustaka dan landasan teoretis.
Bab III memuat paparan analisis yang dilakukan berdasarkan rumusan masalah
dan data yang diperoleh.
Bab IV berisi simpulan dari analisis yang dilakukan pada bab sebelumnya.
13
BAB II
ANALISIS
2.1 Fakta yang Digunakan sebagai Landasan Fabula dalam Novel Entrok
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang
menggantikan Orde Lama atau masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pemerintah
Orde Baru lahir secara situasional setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Sejak adanya upaya penumpasan pemberontakan G30S, kaum intelektual, sejumlah
tokoh ABRI, dan rakyat yang jenuh dengan kondisi kehidupan di bawah rezim Orde
Lama, bersama-sama berjuang menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Lahirnya
Orde Baru kemudian ditandai oleh keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) yang diberikan oleh Presien Soekarno kepada Letjen Soeharto untuk
memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah pada masa itu (Kurnia, 2004:152)
Dalam novel Entrok digambarkan kehidupan seorang ibu dan anak
perempuannya yang hidup pada masa Orde Baru tersebut. Penggambaran fakta
sejarah ini oleh pengarang dalam novel menunjukkan bahwa sastra merupakan
cerminan masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep Damono (1978:9), bahwa sastra
merupakan cermin kehidupan masyarakat serta menghubungkan pengalaman tokoh-
tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang dengan keadaan sejarah yang merupakan
asal-usulnya.
Pernyataan Damono tersebut sejalan dengan prinsip utama kaum formalis
Rusia, yang menyatakan bahwa kesusastraan itu mendefamiliarisasi kenyataan dan
13
14
mendefamiliarisasi kesusastraan itu sendiri. Hal itu memperlihatkan bahwa kajian
formalis Rusia atas karya sastra tidak melepaskan hubungan antara karya sastra
dengan kenyataan (Selden, 1991:10-11).
Dapat dirunut lebih jauh, bahwa sjuzet pada dasarnya dapat merupakan
defamiliarisasi dari fakta yang merupakan landasan dari fabula. Menurut kaum
formalis Rusia, sjuzet di dalam prosa pada dasarnya merupakan defamiliarisasi
fabula. Fabula sebagai “cerita” yang didefamiliarisasi dalam sjuzet tidak muncul
secara tiba-tiba, melainkan ada suatu penyebab tertentu. Salah satu hal yang
menyebabka munculnya fabula adalah peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
(fakta). Hal itu menunjukkan bahwa fakta dapat dijadikan landasan munculnya
fabula.
Fakta yang menjadi fabula dalam novel Entrok adalah peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa Orde Baru. Hal ini ditunjukkan dari peristiwa-peristiwa yang
tercantum dalam novel. Peristiwa-peristiwa dalam novel sangat berhubungan erat
dengan fakta-fakta yang ada dalam kehidupan nyata. Berikut ini diberikan beberapa
contoh fakta peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru yang digunakan sebagai
landasan fabula.
2.1.1 Pemilihan umum pada masa Orde Baru
Pada pemilihan umum (pemilu) pertama masa Orde Baru yang diselenggarakan pada
tahun 1971, partai Golongan Karya (Golkar) memperoleh kemangan mutlak, yaitu
mendapat 227 kursi atau 64,7% suara, partai NU mendapat 58 kursi (16,5%),
Parmusi 24 kursi (6,8%), PNI 20 kursi (5,7%), PSII 10 kursi (2,8%), Parkindo 7 kursi
15
(2%), dan Partai Katolik 3 kursi (0,9%) dari 351 kursi DPR yang disediakan
(Kasiyanto, 1999:5).
Peristiwa pemilu pertama ini digunakan oleh pengarang sebagai landasan
fabula dalam novel. Berikut kutipan dalam novel yang menunjukkan kesamaan
antara peristiwa yang terjadi dalam novel dengan fakta peristiwa pemilu pertama.
Putaran waktu kuhitung sekat-sekat yang berasal dari kegiatan sekolah. Setengah tahun berlalu kuhitung dengan setiap rapor yang kuterima setiap kuartal. Rapor kuartal ketiga kelas satu SD menandakan akan berakhirnya tahun 1970. Aku mulai melihat ada yang berbeda di desa Singget, juga di sekolahku. Banyak umbul-umbul dipasang, warnanya kuning bergambar beringin.
Di kelas, Bu Lastri bercerita tentang adanya pemilu. Katanya ini pemilu pertama setalah negara gonjang-ganjing. Ini pemilu yang sesuai aturan, pemilu yang akan membawa ketentraman. Bu Lastri menunjukkan kertas warna kuning bergambar beringin, sama seperti umbum-umbul yang dipasang di gapura dan depan balai desa (Madasari, 2010:60).
Partai beringin menang. Hanya ada dua orang yang nyoblos partai lain. Orang-orang bilang itu pasti Mbah Sholeh, imam di masjid. Dia pasti yang nyoblos Partai Islam. Satunya lagi diperkirakan pasti Pak Ratmadi, kepala sekolahku. Orang bilang dia abangan. Di rumahnya ada gambar besar Soekarno yang sedang menunjuk. Dulu, gambar itu dipasang di dinding rumahnya. Lalu tentara datang dan meminta gambar itu dicopot. Pak Ratmadi menuruti, dan memindahkan gambar itu ke dinding kamarnya (Madasari, 2010:66).
Dua kutipan di atas, menunjukkan bahwa fakta mengenai pelaksaan pemilu
pertama pada masa Orde Baru dan kemenangan partai beringin (Golkar) digunakan
sebagai landasan fabula oleh pengarang. Defamiliarisasi (penganehan) yang
dilakukan oleh pengarang yaitu dengan membuat rangkaian jalan cerita yang dapat
menggambarkan peristiwa saat pemilu pertama masa Orde Baru itu akan
diselenggarakan dan suasana saat kemenangan partai bergambar beringin (Golkar).
16
Pemilu kedua pada masa Orde Baru berlangsung pada tahun 1977. Pada pemilu
kedua terjadi penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Penyederhanaan partai
pada pemilu kedua tersebut terjadi karena mulai diberlakukannya peraturan tentang
penyederhanaan partai. Sesuai dengan ketetapan MPR dalam rangka penyederhanaan
sistem kepartaian di Indonesia, pada 1973 diadakan penyederhanaan partai politik.
Empat partai politik Islam, yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti, bergabung dalam
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan lima partai politik lainnya yaitu
PNI, IPKI, Katolik, Parkindo, dan Murba bergabungmenjadi Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) (Kasianto, 1999:25).
Hasil dari pemilu tahun 1977, Golkar memperoleh kemenangan mutlak seperti
pada pemilu pertama. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344
suara atau 90,93%. Dari suara yang sah tersebut, Golkar meraih 39.750.096 suara
(62,11%) dan mendapat 323 kursi, PPP meraih 18.743.491 (29,9%) mendapat 99
kursi, dan PDI meraih 5.504.757 (8,60%) mendapat 29 kursi (Preencechinty, 2009).
Fakta mengenai pelaksanaan pemilu kedua masa Orde Baru digunakan oleh
pengarang sebagai landasan fabula dalam novel, sebagaimana kutipan berikut ini.
Tak ada lagi partai-partai penuh tulisan Arab, katanya sekarang menjadi satu dalam gambar bintang. Lalu katanya partai-partai orang abangan semuanya menjadi gambar merah, bergambar kepala banteng. Tapi itu bukan partai kami. Bukan partai yang wajib dicoblos orang-orang di Singget. Karena kami orang-orang negara, orang-orang yang mendukung pemerintah. Kami semua orang-orang partai kuning. Mencoblos gambar beringin (Madasari, 2010:78).
Coblosan dilaksanakan beberapa hari kemudian. Tanggal 2 Mei 1977. Semua orang ramai-ramai datang ke balai desa. Sama seperti yang kulihat lima tahun sebelumnya, orang-orang mencoblos kertas dengan paku di dalam bilik bertirai. Di dekat bilik, tentara-tentara berjaga. Seperti sudah menjadi pakem, halaman desa sudah dipersiapkan untuk gambyong. Nanti sore, setelah suara dihitung, gong akan ditabuh dan
17
orang akan gambyongan sampai pagi untuk merayakan kemenangan partai pemerintah (Madasari, 2010:86).
Dua kutipan di atas, menunjukkan bahwa fakta tentang penyederhanaan sistem
kepartaian di Indonesia dan pelaksaan pemilu kedua masa Orde Baru dilakukan.
Defamiliarisasi (penganehan) yang dilakukan oleh pengarang yaitu dengan membuat
narasi mengenai penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dan penggambaran
pelaksanaa pemilu ke dua masa Orde Baru.
2.1.2 Pembunuhan Misterius
Peristiwa lain pada masa Orde Baru yang digunakan sebagai landasan fabula adalah
peristiwa pembunuhan misterius. Pembunuhan misterius ini dilakukan terhadap
orang-orang yang dianggap mengganggu keamanaan dan meresahkan masyarakat
seperti perampok, preman, dan sebagainya.
Adanya pembunuhan misterius yang terjadi pada masa Orde Baru berawal dari
keluhan masyarakat karena makin meluas dan seriusnya gangguan keamanan.
Berdasarkan keluhan tersebut, pemerintahan Soeharto memberi jawaban dengan
menghabisi para pengganggu keamanan dengan membunuh mereka secara rahasia
serta diluar jalur hukum. Sampai tahun 1984, LBH Jakarta melaporkan bahwa
ditemukan 5000 orang yang menjadi korban operasi militer atau yang disebut dengan
pembunuhan misterius. Dalam pembunuhan tersebut, tidak ada satu pun pelaku yang
ditangkap atau diadili. Meskipun bersifat misterius, semua orang tahu bahwa pelaku
dari peristiwa tersebut adalah aparat resmi negara. Dalam buku semi-otoboigrafi
18
yang terbit pada 1989, Soeharto mengakui bahwa dialah yang menjadi inisiator
pembunuhan misterius tersebut (Susilo, 2009:33).
Peristiwa pembunuhan misterius yang terjadi pada masa Orde Baru digunakan
sebagai landasan fabula sebagai penggambaran peristiwa pada masa Orde Baru.
Berikut kutipan dalam novel yang menunjukkan penggunaan fakta mengenai
pembunuhan misterius.
Siang ini kami duduk di pawon sambil makan rujak yang kubeli di pasar. Aku bercerita tentang kematian Mali dan orang pasar itu. Dia terkejut dan sepertinya agak marah.
“Di sana juga banyak yang mati. Mayat dimana-mana. Di pasar, di jalan, di lapangan. Semua orang ketakukan.”
“Aduh Gusti! Yuk, hati-hati disana. Di kota orang jahat lebih banyak.”
“Justru katanya mayat-mayat itu penjahat, maling, rampok. Katanya mereka dibunuh biar kapok. Tapi kok bisa sebanyak itu.”
“Lha di sini yang mati juga katanya maling, tukang meras.”“Ya sama kalau begitu. Nggak di kota, nggak di desa. Lha iya kalau
mereka benar maling, lha kalau bukan?” (Madasari, 2010:131-132).
Di pengajian ini, kami juga membahas tentang mayat-mayat itu. Tubuh-tubuh tak bernyawa yang katanya maling, rampok, gali, pembunuh, atau preman. Mereka mati begitu saja, tanpa penyebab yang jelas. Mayatnya bergelimpangan di tempat-tempat yang mudah dilihat orang. Kami menyebut ini semua pembunuhan. Pembunuhan yang penuh misteri. Polisi tak pernah mencari tahu siapa pelakunya. Berlebihkah kalau kami sedikit berprasangka? (Madasari, 2010:136)
Dua kutipan di atas, menunjukkan bahwa pengarang menggambarkan adanya
pembunuhan misterius yang terjadi di masyarakat. Banyak orang memperbincangkan
masalah tersebut. Dari kutipan di atas, terlihat bahwa banyak terjadi pembunuhan
misterius terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai pengganggu keamanan.
Mayat-mayat ditemukan di tempat-tempat yang sering dikunjungi warga. Tidak ada
yang mengetahui alasan dan pelaku pembunuhan tersebut, bahkan pihak keamanan
19
pun tidak berusaha mengusut kasus tersebut. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari
sebagian kalangan masyarakat yang mengindikasi bahwa pemerintah terlibat dengan
peristiwa tersebut sehingga aparat keamanan tidak mengusut dan terkesan
membenarkan perbuatan tersebut.
2.1.3 Peristiwa Tanjung Priok
Peristiwa Tanjung Priok merupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 1984 di
Tanjung Priok. Dalam kerusuhan massal tersebut. umat Islam berhadapan langsung
dengan aparat militer yang bersenjata. Puluhan orang tewas dalam peristiwa tersebut.
Dalam novel Entrok, peristiwa ini digambarkan sebagai berikut.
1984
Pertengahan September peristiwa besar terjadi di ibukota. Tentara menembak orang-orang yang sedang pengajian. Banyak yang mati. Lebih banyak lagi yang dipenjara. Orang-orang itu melawan Negara. Panser-panser datang lalu tentara masuk masjid dengan sepatu tingginya. Semua orang mengamuk, yang di dalam masjid bertahan, yang baru datang menyerang. Lalu meletuslah bunyi tembakan-tembakan itu. (Madasari, 2010:135-136).
Dari kutipan di atas, terilhat adanya peristiwa kerusuhan antara umat Islam
dengan anggota militer. Para anggota militer memasuki masjid tanpa melepas sepatu
mereka. Orang-orang yang datang ke masjid menyerang anggota militer yang
kemudian terjadi tembakan.
Pengarang tidak secara langsung menggambarkan tragedi Tanjung Priok.
Pengarang bahkan tidak mencantumkan waktu dan tempat kejadian perkara, hanya
dicantumkan keterangan tempat “di ibukota” yang menunjukkan lokasi Jakarta dan
keterangan waktu “pertengahan September” dan tahun “1984”. Akan tetapi, fakta
20
yang ditemukan pada pertengahan September 1984 adalah kerusuhan massal yang
melibatkan umat Islam dengan militer di Tanjung Priok Jakarta.
Peristiwa Tanjung Priok sesungguhnya klimaks dari serangkaian kekecewaan
umat Islam atas sejumlah kebijakan pemerintah Orde Baru. Dalam tragedi tersebut,
ratusan orang diterjang peluru dari segala arah oleh militer. Mereka yang luka-luka
dan berusaha melarikan diri ditembaki dan ditusuk oleh sangkur. Mereka yang
bertiarap dan bersembunyi di pinggir jalan dihujani peluru dari atas truk militer.
Pemerintah awalnya menyebutkan 9 orang meninggal dan 53 orang luka-luka,
kemudian pemerintah merevisi jumlah yang meninggal menjadi 18 orang dan diralat
lagi menjadi 40 orang (Wardaya, 2008:139).
2.1.4 Peledakan Stupa Candi Borobudur
Peristiwa lain yang digunakan sebagai landasan fabula adalah peristiwa peledakan
stupa di Candi Borobudur. Peristiwa peledakan di Candi Borobudur terjadi pada
tanggal 15 Januari 1985. Pelaku dari peledakan tersebut disinyalir bukanlah dari
kalangan pemerintah, tetapi berasal dari umat Islam.
Dalam peristiwa peledakan tersebut memang terbukti umat Islam sebagai
pelakunya. Abdulkadir Ali Alhabsyi dan Husein Ali Alhabsy ditangkap beberapa saat
setelah kejadian. Mereka disebut sebagai pelaku peledakan di Candi Borobudur.
Abdulkadir divonis oleh Pengadilan Negeri Malang dengan hukuman penjara 20
tahun, meski kemudian ia mendapatkan remisi setelah menjalani hukuman selama 10
tahun. Husein sendiri dihukum seumur hidup sebelum kemudian mendapat grasi dari
21
Presiden BJ Habibie. Husein menolak tuduhan atas keterlibatannya dalam peledakan
Borobudur dan menuding Mohammad Jawad sebagai dalangnya (Joe, 2009).
Dalam persidangan, jaksa menuduh bahwa tindakan pengeboman terhadap
Candi Borobudur tersebut merupakan aksi balas dendam Abdulkadir dan kawan-
kawan terhadap peristiwa Tanjung Priok, yang menewaskan puluhan nyawa umat
Islam. Albdulkadir membenarkan motivasi peledakan itu sebagai ungkapan
ketidakpuasannya atas peristiwa berdarah tersebut. Namun, keterangan itu sempat
diragukan karena Ibrahim, orang yang disebut Husein sebagai dalangnya, tidak
pernah dapat ditemukan oleh aparat, bahkan hingga kini (Joe, 2009).
Dalam novel Entrok, peristiwa pengeboman stupa di Candi Borobudur terlihat
pada kutipan berikut.
Magelang, Januari 1985
Malam telah larut. Semua orang telah berkelana dalam mimpi masing-masing.
BUUM!Bunyi itu mengagetkan kami. Besar dan mengguncang. Bergetar
seperti gempa bumi! Tapi mengglegar ditelinga seperti geledek. Baru pertama kali aku mendengar bunyi seperti itu. Kami keluar kehalamn rumah. Diarah barat, terlihat sedikitnya percikan api lalu berganti asap tebal. Jelas ini bukan gempa bumi. Kami bergegas berlari menuju sumber suara itu.
Di sinilah asalnya. Candi Borobudur, bangunan megah yang menjadi simbol kebanggaan itu ternyata keagungan dan kemeganhan itu hanya ilusi! Bangunan itu tak cukup kokoh melawan guncangan. Mahakarya yang tercipta ratusan tahun lalu takluk dalam hitungan menit pada karya cipta manusia modern yang memang dibuat untuk merusak: bom. Tujuh stupa yang selama ratusan tahun berdiri kokoh dibawah terik matahari dan hujan kini hanya tinggal menjadi puing (Madasari, 2010:138).
“Dimana Saudara waktu ada ledakan?”“Kami tidur di rumah. Lalu ke sana saat ada bunyi ledakan”Aku tersenyum kecut. Apakah tentara-tentara ini mengira kami
orang-orang yang meledakan candi? Lelucon yang sangat tidak lucu (Madasari, 2010:145).
22
Pada kutipan pertama di atas, digambarkan mengenai peristiwa pengeboman di
Candi Borobudur yang terjadi pada Januari 1985 yang menghancurkan tujuh stupa.
Kutipan kedua di atas, merupakan penggambaran bahwa yang dituduh melakukan
pengeboman stupa di Candi Borobudur adalah orang Islam. Hal ini terihat dari
penggambaran kecurigaan tentara terhadap dosen dan mahasiswa yang sedang
melakukan praktik lapangan, mengajar guru-guru mengaji ditangkap karena dicurigai
terlibat dalam kasus peledakan stupa di Borobudur. Secara tidak langsung aparat
keamanan pada masa itu mencurigai umat Islam sebagai pelaku peledakan.
2.2 Praktik Hegemoni pada Masa Orde Baru dalam Novel Entrok
Permasalahan Hegemoni selalu berhubungan dengan ideologi yang dianut oleh
seseorang atau kelompok masyarakat. Permasalahan hegemoni secara tidak langsung
memberikan dampak bagi suatu perubahan sosial dalam suatu kelompok masyarakat.
Hal tersebut diungkapkan oleh Okky Madasari dalam novel Entrok. Di dalam novel
tersebut, Okky Madasari memberikan gambaran tentang praktik hegemoni yang
dilakukan oleh pengusa terhadap masyarakat pada masa Orde Baru.
Pada subbab ini, akan diuraikan praktik hegemoni pada masa Orde Baru yang
dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakat dalam novel Entrok. Analisis praktik
hegemoni dalam subbab ini dibagi menjadi dua, yaitu praktik hegemoni penguasa
terhadap keluarga Marni dan terhadap masyarakat umum.
Konsep hegemoni dalam novel Entrok karya Okky Madasari terlihat dari
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap
23
masyarakat kecil. Penguasa yang dimaksud dalam hal ini adalah orang-orang yang
mempunyai jabatan atau kedudukan seperti ketua RT, kepada desa, camat, bupati,
militer, dan presiden. Berikut ini disajikan beberapa contoh praktik hegemoni yang
dilakukan oleh penguasa pada masa Orde Baru.
2.2.1 Praktik Hegemoni Penguasa Orde Baru terhadap Keluarga Marni
Penguasa Orde Baru menghegemoni masyarakat untuk mematuhi semua yang
diperintahkan. Kehidupan masyarakat pada masa Orde Baru tidak lepas dari campur
tangan militer atau ABRI. ABRI sebagai salah satu penguasa Orde Baru mempunyai
kedudukan cukup penting dalam pemerintahan. Akan tetapi, kedudukan tersebut
sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan kekuasaan
yang dilakukan oleh ABRI berdampak buruk kepada kehidupan masyarakat, karena
masyarakatlah yang pada akhirnya menjadi korban para penguasa tersebut.
Dalam novel Entrok karya Okky Madasari, praktik hegemoni terlihat saat
ABRI memanfaatkan kedudukannya sebagai penguasa untuk mendapatkan uang dari
Marni dengan dalih sebagai uang keamanan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan
berikut ini.
Dulu aku pernah bertanya pada Ibu kenapa orang-orang berseragam datang ke rumah kami. Kata Ibu. Untuk keamanan. Lalu kenapa ibu selalu memberikan uang kepada mereka? Tanyaku lagi. Namanya keamanan ya bayar, jawab Ibu. Orang-orang berseragam sering datang ke rumah. Mereka selalu datang pada hari senin dua minggu sekali. Kadang-kadang ada juga yang datang dilura hari itu. Katanya cuma kebetulan lewat atau cuma mampir. Tapi sudah tahualah Ibu apa yang harus dilakukannya setiap orang-orang itu datang. Apalagi kalau bukan menyerahkan setumpuk uang.
Diam-diam aku iri kepada orang-orang berseragam loreng itu. Mereka tinggal datang ke rumah, dan Ibu langsung memberi banyak uang. Tanpa banyak omong, tanpa banyak cerita (Madasari, 2010:53).
24
Dari kutipan di atas terlihat adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
oleh orang-orang berseragam loreng terhadap Marni. Setiap dua minggu sekali,
Marni harus menyerahkan hasil jerih payahnya kepada orang-orang berseragam
dengan alasan sebagai uang keamanan. Pada dasarnya tugas utama dari orang-orang
berseragam loreng tersebut adalah untuk memberi pengamanan kepada masyarakat
tanpa memungut biaya karena meraka sudah mendapatkan gaji dari pemerintah.
Akan tetapi, Marni hanyalah masyarakat kecil yang tidak bisa menolak keinginan
dari penguasa tersebut.
Marni pernah memberikan perlawanan terhadap hegemoni yang dilakukan oleh
orang-orang berseragam loreng. Marni menolak memberikan uang keamanan karena
ia merasa tidak berbuat kesalahan sehingga tidak perlu diamankan. Akan tetapi,
suaminya meminta Marni menuruti perintah orang-orang berseragam loreng itu
karena menolak keinginan penguasa maka mereka akan dicap sebagai PKI dan akan
dipenjara. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Kamu jangan seenaknya, Ni. Mau kamu dicap PKI, dipenjara kaya Pak Tikno?”
“Halah! Aku bukan PKI! Aku Cuma mau cari makan. Tidak mencuri. Tidak merampok. Apa aku sala? Terus mereka seenak udele meras orang. Dulu ngambil panik. Sekarang datang minta duit!”
“Tapi mereka petugas, Ni. Orang yang mengamankan kita!”“Hasyah! Prek!”“Kowe prak-prek-prak-prek terus! Mau nanggung kalau kita nanti
dicap PKI? Mau kalau kita semua dipenjara?” (Madasari, 2010:71-72).
Presepsi bahwa siapa pun yang tidak menuruti perintah penguasa akan
dianggap melawan negara dan dicap sebagai PKI ditanamkan oleh penguasa untuk
25
menghegemoni masyarakat. Penanaman pandangan tersebut berhasil memengaruhi
masyarakat sehingga mereka mau tunduk kepada penguasa.
Pada masa Orde Baru, PKI menjadi sebuah kata ampuh untuk menundukkan
masyarakat. Hal tersebut terjadi karena pada masa itu siapa pun yang dianggap
sebagai komunis akan mendapatkan sanksi kriminal dari pemerintah yaitu menjadi
tahanan politik. Para pemberontak itu juga akan mendapatkan sanksi nonkriminal
dengan penambahan kode ET (Eks-Tapol) pada KTP mereka. Siapa pun yang
mempunyai tanda tersebut selamanya akan dianggap sebagai PKI dan tidak bisa
mendapatkan pekerjaan di manapun.
“Nduk, kamu kan pernah kuliah. Belum ada lho orang di singget yang seperti kamu. Apa kamu nggak pengin kerja, Nduk? Jadi itu… bu guru. ”
...“Tapi bagaimana ceritanya, Bu, bekas dipenjara bisa kerja?”“Lho kan ndak semua orang tahu, to. Yang tahu itu kan Cuma orang-
orang balai desa dan Kodim. ”“Semua orang pasti tahu Bu. ”...“Ini Bu, lihat. Tulisan ini. Tulisan ini tidak ada di KTP Ibu. Hanya di
KTP ku yang ada. ”“Tulisan apa itu? Sama saja dengan tulisan yang lain-lain. ”“Tapi tulisan ini hanya ada di KTP ku Bu. Ini ciri untuk orang yang
pernah dipenjara seperti aku. ”“Seperti PKI?” aku tahu orang-orang bekas PKI mendapat cirri di
KTP nya. Mereka tidak akan bisa jadi pegawai. Tidak akan hidup enak. Selamanya bakal jadi kere (Madasari, 2010:274-275).
Dari kutipan di atas, terlihat Marni menyuruh anaknya untuk mencari
pekerjaan. Akan tetapi, Rahayu tidak bisa menuruti kemauan ibunya tersebut. Tidak
ada yang mau memberikan pekerjaan kepada bekas tahanan. Tanda ET yang tertera
pada KTP Rahayu merupakan bukti kalau ia pernah menjadi tahanan politik dan
selamanya akan dicap PKI.
26
Pada masa Orde Baru pemberian label PKI menjadi hal yang mengerikan bagi
masyarakat karena mereka menyakini siapa pun yang dianggap PKI selamanya akan
mengalami kesusahan. Tidak hanya menjadi tahanan politik dan penambahan ET di
KTP-nya, tetapi siapa pun yang dianggap PKI akan mendapat sanksi sosial berupa
cemooh serta diasingkan dari masyarakat.
Sanksi sosial tersebut tidak hanya diberikan kepada PKI tetapi juga kepada
semua anggota keluarganya. Hal tersebut menjadikan paradigma masyarakat untuk
berhati-hati bila bersentuhan dengan masalah hukum karena hukum yang berlaku
pada masa itu adalah hukum yang ditetapkan oleh para penguasa Orde Baru.
2.2.2 Praktik Hegemoni Penguasa Orde Baru terhadap Masyarakat
Dalam novel Entrok karya Okky Madasari konsep hegemoni terlihat dalam dominasi
yang dilakukan oleh penguasa kepada masyarakat pada masa Orde Baru. Dominasi
tersebut sangat berkaitan erat dengan ideologi sebuah kelompok tertentu. Penguasa
sengaja menanamkan ideologi mereka terhadap masyarakat agar masyarakat patuh
kepada mereka.
Penanaman ideologi penguasa terhadap masyarakat dalam novel Entrok karya
Okky Madasari sukses membuat partai kuning bergambar beringin memenangkan
pemilu pada masa Orde Baru. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Di kelas, Bu Lastri bercerita tentang akan adanya pemilu. Katanya ini pemilu pertama setelah negara gonjang-ganjing. Ini pemilu yang sesuai aturan, pemilu yang akan membawa ketentraman. Bu Lastri menunjukkan kertas warna kuning bergambar beringin, sama seperti umbum-umbul yang dipasang di gabura dan depan balai desa.
Apa yang dikatakan Bu Lastri kukatakan pada Ibu dan Bapak. Mereka berdua, orang yang buta huruf yang hanya tahu pasar harus tahu pemilu. Mereka harus ikut dan tidak salah pilih (Madasari, 2010:60-61).
27
Kutipan di atas menunnjukkan bahwa Bu Lastri berusaha menanamkan
ideologinya kepada murid-muridnya agar mereka tahu masalah pemilu dan partai
mana yang harus dipilih. Pada dasarnya sasaran utama dari penanaman ideologi
tersebut bukanlah murid-miridnya. Akan tetapi, orang tua murid yang diharapkan
nantinya akan memilih partai kuning bergambar beringin tidak salah pilih partai lain.
Hal tersebut membuahkan hasil karena pada pemilu pertama yang dilakukan pada
tahun 1971 tersebut partai kuning bergambar beringin memenangkan pemilu.
Kemenangan yang diperoleh oleh partai Golkar tidak hanya pada pemilu pertama,
tetapi pada pemilu-pemilu berikutnya.
Praktik hegemoni tidak hanya dilakukan kepada warga pribumi, tetapi juga
kepada warga keturunan Tionghoa. Keberadaan warga Tionghoa pada masa Orde
Baru sangat dibatasi. Kesenian barongsai, perayaan Hari Raya Imlek, pemakaian
bahasa Mandarin, dan pergi ke klenteng dilarang oleh pemerintah. Warga Tionghoa
yang masih melakukan hal-hal tersebut akan mendapatkan sanksi dari pemerintah
seperti yang dialami oleh Koh Cahyadi.
“Hus! Kalau tidak tahu apa-apa jangan sembarangan omong. Klenteng, tari naga, sampeyan tahu tidak, itu simbol-simbol PKI. Maknya dilarang. Ini singkek sudah tahu dilarang masih nekat.” (Madasari, 2010:182).
Singkek yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah Koh Cahyadi, warga
keturunan Tionghoa. Koh Cahyadi ditangkap karena ia ketahuan pergi ke klenteng
dan menyumbang untuk kesenian barongsai.
28
Selain Koh Cahyadi, dalam novel Entrok praktik hegemoni juga dilakukan
kepada warga keturunan Tionghoa lainnya. Warga Tionghoa pada masa itu
diwajibkan untuk mengganti kepercayaan mereka agar dianggap mempunyai agama.
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Sst! Jangan bilang siapa-siapa. Orang-orang seperti kami ini, yang sebenarnya lebih percaya abu leluhur daripada salib, setiap minggu pergi ke gereja. Mengaku beragama Kristen atau Katolik. Agar dianggap punya agama.” (Madasari, 2010:109).
Dari kutipan di atas terlihat keberhasilan penguasa menghegemoni warga
Tionghoa untuk berpindah kepercayaan. Meskipun warga keturunan Tionghoa
tesebut berpindah kepercayaan, tetapi pada dasarnya penguasa tidak sepenuhnya
memenangkan ideologi mereka. Warga Tionghoa lebih percaya kepada abu leluhur
daripada salib. Meskipun demikian, mereka tidak bisa melawan hegemoni penguasa
tersebut dan hanya bisa patuh menerima hegemoni tersebut.
Pada masa Orde Baru, agama tradisional warga Tionghoa dilarang. Akibatnya
agama Konghuchu kehilangan pengakuan dari pemerintah (Susilo, 2009:67).
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru Presiden Soeharto adalah melalui
penekanan terhadap warga Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa di
berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati
mereka terhadap komunis. Walaupun demikian, Presiden Soeharto bersahabat akrab
dengan Lee Kuan Yew yang pernah menjadi Perdana Menteri Singapura yang
beretnis Tionghoa.
Pemerintah pada masa Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih lima juta jiwa dari keseluruhan rakyat
Indonsia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Indonesia.
29
Padahal, kebanyakan dari mereka berprofesi sebabagai pedagang yang bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme yang mengharamkan
perdagangan. Warga Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Mereka
memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
30
BAB III
SIMPULAN
Kajian formalisme Rusia yang diterapkan dalam penelitian ini ternyata dapat
digunakan untuk menyusuri fakta yang digunakan sebagai landasan fabula untuk
membangun sjuzet dari sebuah novel. Fakta-fakta diolah oleh pengarang sehingga
menjadi sebuah sjuzet yang telah melalui defamiliarisasi. Dalam novel Entrok karya
Okky Madasari, fakta-fakta yang berupa peristiwa pada masa Orde Baru digunakan
sebagai landasan fabula yang kemudian diolah melalui defamiliarisasi menjadi
sjuzet.
Dari penggunaan fakta-fakta peristiwa sebagai landasan fabula ini
menunjukkan bahwa karya sastra dapat dijadikan sebuah miniatur sejarah yang telah
mengalami defamiliarisasi agar muncul kesan fiktif. Padahal dalam karya sastra
tersebut mengandung fakta-fakta sejarah. Sebagaimana terlihat dari fakta-fakta
peristiwa yang terjadi selama Orde Baru dan praktik-praktik hegemoni yang
dilakukan oleh pemerintah pada masa itu, diungkapkan dalam novel melalui sjuzet
yang didefamiliarisasikan sehingga pembaca seakan ikut dalam peristiwa yang
disajikan oleh pengarang.
30
31
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1971. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition. London: Oxford University Press.
_______. 2009. A Glossary of Literary Terms, Eighth Edition. Boston: Thomson Wadsworth.
Bennett, Tony. 2003. Formalism and Marxism; Second Edition. New York: Routledge.
Bertens, Hans. 2001. Literary Theory: The Basic. London And New York: Routledge.
Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni. Diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.
Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism, Second Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Brown, Trent. 2009. “Gramsci and Hegemony” dalam International Journal of Socialist. Renewal. http://links.org.au/node/1260 (diakses 25 April 2012)
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
Eagleton, Terry. 2006. Literary Theory: An Introduction, Second Edition. Minneapolis: The University Of Minnesota Press.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Ke-20. Jakarta: Gramedia.
Gramsci, Antonio. 1992. Selections From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Quentin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (ed.). New York: International Publishers.
Holub, Renate. 1992. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. London & New York: Routledge.
32
Jabrohim (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Joe. 2009. Bom Borobudur, Petaka di Kuil Syailendra. http://dekade80.blogspot.com/2009/05/bom-borobudur-petaka-di-kuil-syailendra.html (diakses 26 September 2012).
Kasiyanto, M.J. 1999. Mengapa Orde Baru Gagal?. Jakarta: Yayasan Tri Mawar dan CV Cakra Media.
Kurnia, Anwar. 2004. Kronik Sejarah. Jakarta: Ghalia Indonesia Priting.
Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Litowitz, Douglas. 2000. “Gramci, Hegemony, and Law” jurnal Brigham Young University Review. Vol 2000 No.2 (2000) p.515. http://lawreview.byu.edu/archives/2000/2/lit.pdf (diakses 25 April 2012)
Lodge, David and Nigel Wood (ed.). 2000. Modern Criticism and Theory: A Reader; Second Edition. UK: Pearson Education Limited.
Luxemburg, Jan van, et.al. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Madasari, Okky. 2010. Entrok. Jakarta: Gramedia.
McNally, Mark and John Scwarzmantel (ed.). 2009. Gramsci and Global Politics: Hegemony and Resistance. London & New York: Routledge.
Nuryatin, Agus. 2005. Formalisme Rusia: Mengolah Fakta dalam Fiksi. Semarang: Rumah Indonesia.
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Preencechinty. 2009. Pemilu Indonesia Masa Orde Baru. http://www.syarikat.org/article/pemilu-indonesia-masa-orde-baru (diakses 26 Juni 2012)
Rice, Philip dan Patricia Waugh (ed.). 1989. Modern Literary Theory: A Reader. Great Britain: Edward Arnold.
Sassoon, Anne Showstack. 2000. Gramsci and Contemporary Politics: Beyond Pessimism of The Intellect. London & New York: Routledge.
Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada Univeristy Press.
33
Selden, Raman et.al. 2005. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory, Fifth Edition. Great Britain: Pearson Longman.
Shklovsky, Victor. 1989. “Art and Technique” dalam Modern Literary Theory: A Reader. Rice, Philip dan Patricia Waugh (ed.). Great Britain: Edward Arnold.
Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susilo, Tufik Adi. 2009. Soeharto Biografi Singkat 1921-2008. Yogyakarta: Garasi Haouse Of Book.
Teeuw, A. 1988. Sastra Dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Wardaya, Baskara T. 2008. Menguak Misteri Kesuksesan Soeharto. Yogyakarta: Galang Press.
34
SINOPSIS NOVEL ENTROK
KARYA OKKY MADASARI
Novel Entrok mengambil latar tempat di daerah Madiun pada tahun 1950-1999.
Cerita bermula pada tahun 1950-an, ketika Marni hidup bersama ibunya yang biasa
dipanggil “Simbok” tanpa asuhan dan nafkah dari seorang ayah. Pada masa ini, Marni
adalah seorang gadis kecil yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Hal ini
disebabkan karena sulitnya perekonomian pada masa itu, sedangkan Simbok bekerja di
pasar hanya sebagai tukang potong ubi pada orang-orang yang berjualan ubi di pasar.
Marni tumbuh menjadi perempuan pekerja keras yang setiap hari menukar
keringatnya demi sepeser uang. Kehidupan ekonomi Marni semakin meningkat drastis,
danhal tersebut berdampak besar bagi anak dan suaminya. Marni mengembangkan
usahanya dari keuntungannya berjualan, yaitu meminjamkan uang dengan imbalan
pembayaran komplit bunga sepuluh persen dan juga bisa dicicil. Rahayu, anak Marni,
sudah tidak lagi mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu dialami ibunya. Ia
bersekolah di tempat yang bagus bersama dengan anak-anak pegawai.
Meskipun kehidupan ekonomi Marni semakin meningkat, tetapi hal tersebut
tidak selalu berjalan mulus. Marni yang sepanjang hidupnya bekerja keras demi
mendapatkan uang selalu mendapat masalah dengan masyarakat sekitar karena
dianggap sebagai lintah darat yang sangat merugikan. Selain itu, masyarakat juga
beranggapan kekayaan yang diperoleh Marni bukan dari keringatnya sendiri tapi dari
hasil memelihara tuyul. Selain mendapat masalah dengan masyarakat, Marni juga
35
terlibat masalah dengan “penguasa berbaju loreng” yang selalu memanfaatkan
kekuasaannya untuk mendapatkan uang dari Marni.
Konflik-konflik sosial pada masa Orde Baru dimunculkan oleh pengarang
dalam novel ini. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang ditimbulkan oleh
keotoriteran penguasa Orde Baru dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat
yang tidak mempunyai jabatan apapun.
Marni dan keluarganya merasakan penindasan yang didasari penanaman
ideologi hegemoni oleh penguasa Orde Baru melalui tindakan-tindaka represif yang
dilakukan oleh aparatus negara. ABRI yang seharusnya menjadi aparatus negara
yang menjaga perdamaian negara malah ikut menindas masyarakat dengan
kekuasaan yang dimilikinya. Pemerasan oleh penguasa seperti lurah, ABRI, dan
Polisi, dirasakan oleh masyarakat di desa Marni. Setiap akan diadakan Pemilu, Marni
selalu dimintai bantuan yang jumlahnya diluar akal sehat.
Selama hidupnya Marni dan keluarganya tidak pernah lepas dari masalah
dengan para pemegang kekuasaan. Selain meminta uang keamanan, mereka juga
datang untuk meminta sumbangan kampanye yang akan digunakan untukpesta saat
merayakan kemenangan partai pemerintah. Marni hanya menuruti semua kemauan
orang-orang yang berkuasa karena ia tidak ingin mendapatkan sanksi dan dicap
sebagai PKI. Akan tetapi, pada akhirnya Marni harus menerima kenyataan pahit.
Rahayu, putri semata wayang Marni, terlibat masalah dengan para penguasa yang
mengakibatkan ia dipenjara dan dicap sebagai PKI.