Web viewDi dalam makalah ini, ... Hadis ini palsu karena hal tersebut bertentangan dengan logika...
Transcript of Web viewDi dalam makalah ini, ... Hadis ini palsu karena hal tersebut bertentangan dengan logika...
Kritik Hadis
A. Pendahuluan
Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan
pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber ajaran
Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi
wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadis
tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis tersebut
menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi. Baik dari aspek kemurniannya dan
keasliannya.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang
terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah
tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadis tidak
hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu saja, yang
biasa dikenal dengan masalah matan hadis, tetapi juga kepada berbagai hal yang
berhubungan dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para
periwayat yang menyampaikan matan hadis kepada kita.
Penelitian kualitas hadis perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi
Muhammad saw, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang
adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh
kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik
kualitas sanad maupun kualitas matan hadis. Selama riwayat-riwayat ini
membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat
diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan
patokan sebagai acuan melakukan studi kritik Hadis. Di dalam makalah ini, penulis
akan mengkaji seputar kritik hadis, ditinjau dari sisi sejarah, urgensi, kawasan, tokoh-
tokohnya dan referensi yang diperlukan.
B. Pengertian Kritik Hadis
Kritik hadis dikalangan ahli hadis dikenal dengan sebutan ( الحديث naqd (نقد
al-hadis. Kata “an-naq” dari sisi bahasa adalah berarti mengkritik, menyatakan dan
memisahkan antara yang baik dari yang buruk.1 Sedangkan makna kritik dalam
konteks ilmu hadis adalah cenderung kepada maksud kegiatan penelitian hadis, dan
bukan berarti sebuah kecaman terhadap hadis.
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuriyah, t.th), hlm. 464.
1
Kritik Hadis
Sementara pengertian kritik hadis (naqd al-hadis) secara terminologi adalah
sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Mustafa Azami berikut:
"Naqd al-hadis adalah upaya membedakan antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da'if dan menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya." 2
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa makna kritik hadis
adalah suatu kegiatan penelitian hadis untuk menemukan kekeliruan yang terdapat
pada hadis Rasulullah Saw. sehingga dapat ditentukan mana hadis dapat diterima dan
mana yang tidak, dan bagaimana kualitas periwayatan hadis yang bersangkutan.
C. Sejarah Muncul dan Perkembangan Kritik Hadis
Aktivitas kritik hadis marak terjadi pada abad ke-3 hijriyah. Namun hal
tersebut tidak menunjukkan bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi
kegiatan kritik hadis. Sebab ketika penelitian hadis dipahami (dengan sederhana)
sebagai upaya untuk membedakan antara hadis yang sahih dan yang tidak sahih, maka
kegiatan kritik hadis dalam bentuk yang begitu sederhana telah muncul sejak masa
Rasululullah masih hidup.3 Munculnya kegiatan penelitian/ koreksi terhadap hadis
sejak masa Rasulullah Saw. masih hidup adalah menjadi bukti sejarah bagi terjaganya
kemurnian dan keaslian hadis yang telah diteliti kualitasnya. Sehingga dari sisi
pendekatan sejarah, hadis tersebut dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya.
1. Kritik Hadis Di Era Rasulullah Saw. Masih Hidup
Kritik hadis pada saat Rasulullah masih hidup sangat mudah dilakukan para
sahabat, karena para sahabat secara langsung dapat mengetahui valid dan tidaknya
hadis yang mereka terima itu melalui jalan konfirmasi kepada Rasulullah Saw.4
Pola konfirmasi sebagai cikal bakal kritik hadis pada masa Rasulullah
bukanlah disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap pembawa beritanya bahwa
ia telah berdusta. Tetapi hal tersebut mereka lakukan adalah dimotivasi oleh sikap
mereka yang begitu hati-hati dalam menjaga kebenaran hadis sebagai sumber hukum
Islam disamping Alquran,5 juga untuk mengokohkan hati mereka dalam mengamalkan
hadis yang langsung mereka yakini kebenarannya dari Rasulullah Saw.6 Para ulama
2 Muhammad Musthafa Al-‘Azhimy, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu (Riyad: Maktabat al-Kausar, 1990), hlm. 5.
3 Umi Sumbulah, Kritik Hadis; Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 32-33
4 Ibid.5 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 183.6 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 2.
2
Kritik Hadis
sepakat bahwa konfirmasi hadis di era Rasulullah ini dipandang sebagai cikal-bakal
lahirnya ilmu kritik hadis.7
Sebagai contoh kegiatan konfirmasi di era Rasulullah Saw ini dapat
ditunjukkan oleh riwayat hadis berikut:
بكير بن محمد بن عمرو حدثني اقد بن هاشم حدثنا الن أبو القاسمضر قال مالك بن أنس عن ثابت عن المغيرة بن سليمان حدثنا الن
ه رسول نسأل أن نهينا ه صلى الل م عليه الل فكان شيء عن وسلجل يجيء أن يعجبنا نسمع ونحن فيسأله العاقل البادية أهل من الرك لنا فزعم رسولك أتانا محمد يا فقال البادية أهل من رجل فجاء أنه أن تزعم ماء خلق فمن قال صدق قال أرسلك الل ه قال الس قال الله قال األرض خلق فمن ما فيها وجعل الجبال هذه نصب فمن قال الله قال جعل ماء خلق فبالذي قال الل هذه ونصب األرض وخلق الس
ه الجبال خمس علينا أن رسولك وزعم قال نعم قال أرسلك آلله أرسلك فبالذي قال صدق قال وليلتنا يومنا في صلوات أمرك آلل
صدق قال أموالنا في زكاة علينا أن رسولك وزعم قال نعم قال بهذاه أرسلك فبالذي قال أن رسولك وزعم قال نعم قال بهذا أمرك آلل
ه أرسلك فبالذي قال صدق قال سنتنا في رمضان شهر صوم علينا آلل من البيت حج علينا أن رسولك وزعم قال نعم قال بهذا أمرك
ى ثم قال صدق قال سبيال إليه استطاع ذي قال ول ال بالحق بعثك والبي فقال منهن أنقص وال عليهن أزيد ه صلى الن م عليه الل لئن وسل
حدثني ليدخلن صدق ة الجن ه عبد بن الل حدثنا بهز حدثنا العبدي هاشما أنس قال قال ثابت عن المغيرة بن سليمان أن القرآن في نهينا كن
ه رسول نسأل ه صلى الل م عليه الل الحديث وساق شيء عن وسل: / االيمان. ( المسلم رواه ).۱۳بمثله
Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Amru bin Muhammad bin Bukair an-Naqid telah menceritakan kepada kami Hasyim bin al-Qasim Abu an-Nadlr telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin al-Mughirah dari Tsabit dari Anas bin Malik dia berkata, "Kami terhalangi untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang sesuatu, yaitu kekaguman kami terhadap kedatangan seorang laki-laki dari penduduk gurun yang berakal (cerdas), lalu dia bertanya, sedangkan kami mendengarnya, lalu seorang laki-laki dari penduduk gurun datang seraya berkata, 'Wahai Muhammad, utusanmu mendatangi kami, lalu mengklaim untuk kami bahwa kamu mengklaim bahwa Allah mengutusmu.' Rasulullah menjawab: 'Benar'. Dia bertanya, 'Siapakah yang menciptakan langit? ' Rasulullah menjawab: 'Allah.' Dia bertanya, 'Siapakah yang menciptakan bumi? ' Rasulullah menjawab: 'Allah.' Dia bertanya, 'Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini dan menjadikan isinya segala sesuatu yang Dia ciptakan? ' Beliau menjawab: 'Allah.' Dia bertanya, 'Maka demi Dzat yang menciptakan langit, menciptakan bumi, dan memancangkan gunung-gunung ini, apakah Allah yang mengutusmu? ' Beliau
7 Jalal al-Din Al-Syuyuti, Tadrib al-Rawi ‘ala Taqrib al-Nawawi, (ttp.: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.th.), juz II, hlm. 45.
3
Kritik Hadis
menjawab: 'Ya.' Dia bertanya, 'Utusanmu mengklaim bahwa kami wajib melakukan shalat lima waktu sehari semalam, (apakah ini benar)? ' Beliau menjawab: 'Benar'. Dia bertanya, 'Demi Dzat yang mengutusmu, apakah Allah menyuruhmu untuk melakukan ini? ' Beliau menjawab: 'Ya'. Dia bertanya, 'Utusanmu mengklaim bahwa kitab wajib melakukan puasa Ramadlan pada setiap tahun kita, (apakah ini benar)? ' Beliau menjawab: 'Ya'. Dia bertanya, 'Demi Dzat yang mengutusmu, apakah Allah menyuruhmu untuk melakukan ini? ' Beliau menjawab: 'Ya'. Dia bertanya, 'Utusanmu mengklaim bahwa kami wajib melakukan haji bagi siapa di antara kami yang mampu menempuh jalan-Nya, (apakah ini benar)? ' Beliau menjawab, 'Ya benar'. Kemudian dia berpaling dan berkata, 'Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambah atas kewajiban tersebut dan tidak akan mengurangi darinya'. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika benar (yang dikatakannya), sungguh dia akan masuk surga'." Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Hasyim al-Abdi telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin al-Mughirah dari Tsabit dia berkata, Anas berkata, "Kami terhalangi untuk bertanya tentang sesuatu dari al-Qur'an kepada Rasulullah." Lalu dia membawakan hadits dengan semisalnya.” (HR. Muslim/ Iman/ No. 13).
Aktivitas konfirmasi tersebut dilakukan para sahabat sepertinya persis dengan
apa yang telah dicontohkan nabi Ibrahim As. sebagaimana terdapat dalam surah Al-
Baqarah ayat 260.
بلى قال تؤمن أولم قال الموتى تحي كيف أرني رب إبراهيم قال وإذاجعل ثم إليك فصرهن الطير من أربعة فخذ قال قلبي ليطمئن ولكنعزيز ه الل أن واعلم سعيا يأتينك ادعهن ثم جزءا منهن جبل كل على
)٢٦٠حكيم (Artinya:“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah: 260).
Penjelasan ayat di atas menunjukkan bahwa pertanyaan Nabi Ibrahim As.
tentang bagaimana Tuhan dalam menghidupkan orang-orang mati bukanlah karena
didasari keraguan Nabi Ibrahim As. terhadap kekuasaan Tuhan. Sebab mustahil bagi
seorang Nabi meragukan kekuasaan Allah Swt., Begitu pula halnya pertanyaan
sahabat terhadap Nabi tentang kebenaran riwayat yang disampaikan oleh sahabat yang
lain adalah bukan karena dia meragukan sahabat tersebut, melainkan didorong oleh
4
Kritik Hadis
sifat kehati-hatian dan ketelitian para sahabat Nabi Saw. dalam menerima hadis-hadis
tersebut sehingga hati mereka semakin kokoh dalam mengamalkannya.
2. Kritik Hadis Di Era Sahabat (Abad 1)
Pada era sahabat, metode penelitian hadis mulai berkembang dengan pola yang
bersifat komparatif (perbandingan). Pada masa ini, setelah wafatnya Rasulullah Saw.
para sahabat seperti Abu Bakr Siddik, Umar Bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib
kemudian mulai membuat suatu rambu-rambu atau syarat diterimanya suatu hadits,
antara lain misalnya dengan mengharuskan kesaksian sahabat yang lain untuk
membenarkan periwayatan hadis tersebut.
Sebagai contohnya adalah sebagaimana kisah yang dijelaskan oleh riwayat
hadis berikut:
بن إسحق بن عثمان عن شهاب ابن عن مالك عن القعنبي حدثناقال ه أن ذؤيب بن قبيصة عن الصديق خرشة بكر أبي إلى الجدة جاءت
لك علمت وما شيء تعالى ه الل كتاب في لك ما فقال ميراثها تسألهأسأل ى حت فارجعي شيئا م وسل عليه ه الل صلى ه الل نبي ة سن في
صلى ه الل رسول حضرت شعبة بن المغيرة فقال اس الن فسأل اس النفقام غيرك معك هل بكر أبو فقال السدس أعطاها م وسل عليه ه الل
أبو لها فأنفذه شعبة بن المغيرة قال ما مثل فقال مسلمة بن محمدعنه ه الل رضي الخطاب بن عمر إلى األخرى الجدة جاءت ثم بكر
القضاء كان وما شيء تعالى ه الل كتاب في لك ما فقال ميراثها تسألهذلك هو ولكن الفرائض في بزائد أنا وما لغيرك إال به قضي الذي
لها فهو به خلت تكما وأي بينكما فهو فيه اجتمعتما فإن رواه(. السدس: / وارث باب داود ).۲۵۰۷ابو
Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi, dari Malik dari Ibnu Syihab, dari Utsman bin Ishaq bin Kharasyah, dari Qabishah bin Dzuaib, bahwa ia berkata; telah datang seorang nenek kepada Abu Bakr Ash Shiddiq, ia bertanya kepadanya mengenai warisannya. Kemudian ia berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun dalam Kitab Allah Ta'ala, dan aku tidak mengetahui sesuatu untukmu dalam sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kembalilah hingga aku bertanya kepada orang-orang. Kemudian Abu Bakr bertanya kepada orang-orang, lalu Al Mughirah bin Syu'bah berkata; aku menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberikan kepadanya seperenam. Kemudian Abu Bakr berkata; apakah ada orang (yang menyaksikan) selainmu? Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata seperti apa yang dikatakan Al Mughirah bin Syu'bah. Lalu Abu Bakr menerapkannya dan berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun dalam Kitab Allah Ta'ala, dan keputusan yang telah diputuskan adalah untuk selainmu, dan aku tidak akan menambahkan dalam perkara faraidl, akan tetapi hal itu adalah seperenam. Apabila kalian berdua dalam seperenam tersebut
5
Kritik Hadis
maka seperenam itu dibagi di antara kalian berdua. Siapapun di antara kalian berdua yang melepaskannya maka seperenam tersebut adalah miliknya.” (HR. Abu Daud/ Bab Waris: 2507).
Berdasarkan kasus tersebut, Abu Bakr terkesan sangat berhati-hati dalam
menerima kebenaran sebuah hadis. Sikap yang demikian ini terkait dengan posisinya
sebagai pemimpin besar umat Islam yang mengharuskan beliau untuk memberikan
suatu teladan bagi umat Islam dalam menjaga kemurnian dan keaslian hadis nabi
Muhammad Saw.
Dalam kutipan Suryadi dan Muhammad Alfatih, Azmillah al-Damani
menyimpulkan metode penelitian hadis di era sahabat terbagi kepada tiga pilar utama,
yaitu dengan kriteria bahwa hadis tersebut tidak bertentangan dengan Alquran, tidak
bertentangan dengan hadis lain, dengan cara membandingkan antar riwayat sesama
sahabat, dan melalui penalaran akal sehat.8
Contoh Hadis yang bertentangan dengan firman Allah Swt. dan sabda Rasul
Saw. yang lebih sahih sebagaimana berikut:
الله يشاء أن إال بعدي نبي ال النبين خاتم أناArtinya: “Saya adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi setelahku kecuali dikehendaki Allah Swt.
Hadis ini bertentangan dengan firman Allah Swt. berikut:
ين بي الن وخاتم ه الل رسول ولكن رجالكم من أحد أبا محمد كان ماعليما ( شيء بكل ه الل )٤٠وكان
Artinya:“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40).
Dan sabda Rasul Saw. yang lebih sahih sebagaimana berikut:
بن ه الل عبد عن جعفر بن إسماعيل حدثنا سعيد بن قتيبة حدثناه الل رسول أن عنه ه الل رضي هريرة أبي عن صالح أبي عن دينار
كمثل قبلي من األنبياء ومثل مثلي إن قال م وسل عليه ه الل صلىفجعل زاوية من لبنة موضع إال وأجمله فأحسنه بيتا بنى رجل
8 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian hadis, (Yogyakarta: T-H Press, 2009), hlm. 144-145.
6
Kritik Hadis
بنة الل هذه وضعت هال ويقولون له ويعجبون به يطوفون اس النين بي الن خاتم وأنا بنة الل فأنا .) HR. Bukhari/ No. 3271(قال
Artinya:“Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah bercerita kepada kami Isma'il bin Ja'far dari 'Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perumpamaanku dan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang tertinggal belum diselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut, lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata; 'Duh seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini". Beliau bersabda: "Maka akulah labinah itu dan aku adalah penutup para nabi". (HR. Bukhari/ No. 3271).
Contoh Hadis yang bertentangan dengan logika akal:
Artinya: “Barangsiapa yang berkata suatu perkataan, kemudian dia bersin, maka perkataannya itu adalah benar.” (Hadis Maudhu').
Hadis ini palsu karena hal tersebut bertentangan dengan logika manusia.
Karena tidak mustahil orang yang bersin itu selalu jujur. Oleh karena itu bersin tidak
dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa orang tersebut jujur. Sebab bisa saja orang
pura-pura bersin.
Selanjutnya pada masa khalifah Ali, perjalanan sejarah hadis semakin digoyah
oleh berbagai kasus manipulasi. Antara lain disebabkan peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman ibn `Affan pada tahun 35 H., serta peperangan Ali dan Muawiyah
yang kemudian berakibat pada perpecahan kaum muslim. Oleh karena hal tersebut
maka pola tradisional penelitian hadis yang dikenal selama ini mengalami banyak
cobaan disebabkan munculnya berbagai hadis palsu yang mereka ungkapkan untuk
tujuan atau kepentingan politik atau kepentingan membela golongan.9
Namun walaupun perpecahan umat Islam memberikan dampak negatif bagi
persatuan kaum muslimin tetapi ternyata peristiwa tersebut juga memiliki implikasi
positif bagi pengembangan struktur ilmiah metode kritik hadis. Bahkan menurut Umi
Sumbulah, momentum tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan
sistem kerja penelitian hadis, karena hal tersebut telah memberikan motivasi positif
9 Muhammad Musthafa Al-‘Azhimy, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu, hlm. 8.
7
Kritik Hadis
kepada para ahli hadis agar lebih efektif mengkaji kriteria-kriteria hadis yang sahih
ditinjau dari kondisi sanad dan matan hadisnya.10
3. Penelitian Hadis Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga Kodifikasi Hadis
(Abad II-III).
Sebagaimana penulis, sebutkan di atas bahwa konflik sosial politik yang
memicu perpecahan umat muslimin telah mengancam kemurnian dan keaslian hadis.
Sebab pada masa ini telah terdapat para pemalsu hadis yang dengan sengaja
memanipulasi hadis dengan alasan-alasan yang bersifat personal atau kepentingan
golongan, seperti ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini telah muncul hadis
palsu tentang kelebihan empat khalifah, kelebihan ketua-ketua kelompok, kelebihan
ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci kelompok-kelompok agama tertentu.
Disamping pemalsu hadis tersebut dilakukan oleh orang Islam, Orang-orang non
muslim juga melakukan pemalsuan hadis karena keinginan untuk meruntuhkan
Islam.11
Munculnya pemalsuan hadis kemudian menuntut para ulama yang hidup pada
masa tabi’in dan sesudahnya untuk lebih bersikap ekstra ketat dalam melakukan
penelitian hadis. Hal tersebut antara lain dapat dibuktikan dengan semakin ramainya
aktivitas perjalanan ilmiah ke berbagai pelosok daerah yang bermaksud mempelajari
hadis Rasulullah Saw.
Pada masa tabi’in ini, para ulama semakin aktif dalam merumuskan rambu-
rambu yang dijadikan sebagai standar kesahihan hadis, Hal tersebut terbukti dari
lahirnya pemikiran-pemikiran tokoh kritik hadis yang terkenal dalam memelihara
kemurnian dan keaslian hadis.12
Adapun rambu-rambu yang mengindikasikan adanya aktivitas kritik hadis pada
abad ke II dan ke III antara lain adalah sebagaimana ungkapan Malik dalam kutipan
Umi Sumbulah berikut:
a. Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang selalu memperturutkan ambisi pribadinya (hawa nafsu).
b. Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang bodoh, yang dengan kebodohonnya itu ia kemudian membuat kebohongan atas nama Rasulullah.
10 Umi Sumbulah, Kritik Hadis; Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 34.11 Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002), hlm. viii.12 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 40-41.
8
Kritik Hadis
c. Tidak meriwayatkan hadis dari seseorang yang sebenarnya baik amal ibadahnya, namun hadis yang diriwayatkannya itu tidak dikenal (umum).13
Kritik hadits pada masa tabi’in dan setelahnya (abad ke-II dan ke-III) telah
mencakup kepada penelitian sanad dan matan hadis. Kegiatan penelitian tersebut
telah menjalar ke seluruh pelosok negeri Islam seperti: Makkah, Yaman, Irak, Mesir,
Syam, Khurasan, Bukhara, Merv, Kufah, Naisabur dan sebagainya.14
Selanjutnya berkat kegiatan kritik (baca: penelitian) hadis tersebut
bermunculanlah di berbagai negeri ini para peneliti hadis sepanjang masa. Mereka
senantiasa mengorbankan waktu hanya untuk membersihkan hadis-hadis dari
kepalsuan, kelemahan dan cacat lainnya. Setelah abad ketiga berakhir, aktifitas
penelitian hadits ini mulai terlihat lebih metodologis dan sistematis yang ditandai
dengan lahirnya karya-karya besar ulama mengenai hadits ditinjau dari segala
aspeknya. Sehingga sampai saat ini karya-karya fenomenal itulah yang menjadi
referensi utama dalam menilai sebuah hadits.15
Selanjutnya dilihat dari sisi sejarah pembukuan sistem penelitian hadis, pada
awalnya metode penelitian hadis tersebut hanya ditulis di pinggiran buku-buku
hadits seperti terdapat pada kitab Musnad, Jawami’, Sunan dan lainnya. Ulama yang
mencoba memberikan komentar atau kritik terhadap beberapa hadits, hanya
meletakkan komentarnya di bagian akhir atau catatan kaki dalam berbagai buku induk
hadis. 16
Kemudian cara yang pertama ini dirasakan kurang efektif dan tidak cukup
luas untuk mengupas kelemahan dan cacat yang terdapat dalam hadis, sehingga para
ulama hadits kemudian berinisiatif menuliskan komentar-komentar mereka dalam
satu kitab tersendiri, yang memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing
perawi agar penilaan atas hadits benar-benar objektif. Hal tersebut sebagaimana yang
dilakukan oleh Imam Ahmad dalam karyanya: Kitâbul ‘Ilal fi Ma’rifatil Rijâl, atau
Musnad al-Mu’allal karya Ya‘qub bin Syaibah.17
Pada tahap selanjutnya, penulisan kitab rujukan kritik hadits menjadi lebih
sistematis lagi setelah dilakukannya pengkajian yang terpisah antara penelitian sanad
13 Ibid., hlm. 43.14 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 41.15 Muhammad Ali Qasim al-Umri, Dirâsât fi Manhaji An-Naqdi ‘Indal Muhadditsîn,
(Yordan: Dar An-Nafais, 2000), hal. 11.16 Ibid., hlm. 17.17 Ibid.
9
Kritik Hadis
dengan penelitian matan hadis. Hal ini digagas oleh pakar peneliti hadits seperti
Ibnu Abi Hatim dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dîl dan’Ilal yang begitu detail dalam
melacak keabsahan hadits dari aspek matan dan perawinya.18
D. Urgensi Kritik Hadis
Secara praktis, argumen yang mendasari pentingnya penelitian hadis ini dapat
ditinjau dari dua sisi utama, yaitu: pertama, terkait dengan posisi hadis sebagai
sumber hukum Islam setelah Alquran. Kedua, terkait dengan historisitas hadis yang
mengalami banyak ancaman.19 Dari dua sisi tersebut kemudian para muhadditsin
mengemukakan beberapa alasan yang mendasari pentingnya melakukan kritik hadis.
Pada tabel di abawah ini, penulis akan memetakan beberapa urgensi kritik
hadis ditinjau dari sisi perjalanan sejarah kritik hadis, yaitu sebagai berikut:
No. Periode Urgensi Kritik Hadis
1. Masa Hidup
Nabi Saw.
1. Memberikan perhatian khusus kepada sumber agama
Islam.
2. Mengokohkan hati sahabat dalam mengamalkan ajaran
Islam.
2. Masa Sahabat
- Abad 1
Hijriyah
3. Tidak seluruh hadis tertulis pada masa Nabi Saw.
4. Kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran
Islam mengharuskan sahabat untuk bersikap hati-hati
dalam menerimanya.
5. Terjadi proses transformasi hadis secara makna.
6. Terjadi pemalsuan hadis.20
3. Abad 2- 14
Hijriyah
7. Penghimpunan hadis secara resmi terjadi setelah
berkembangnya pemalsuan hadis.
8. Terkadang kitab-kitab hadis hanya menghimpunn hadis,
maka hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
9. Muncul redaksi hadis yang bertentangan. 21
4. Abad 15- 10. Memelihara khazanah keilmuan Islam.
18 Ibid.19 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 183.20 Ibid.21 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1963), hlm. 43.
10
Kritik Hadis
Sekarang 11. Meminimalisir perbedaan pendapat dalam kawasan
produk hukum syari’at.
12. Mendeteksi hadis dha’if dalam kitab-kitab Islam yang
terkadang dijadikannya sebagai dalil tuntunan amal
ibadah.
13. Mengembangkan metodologi penelitian hadis ke arah
yang lebih baik agar umat muslim dapat menghadapi
tuduhan orientalis terhadap otentisitas hadis secara adil.
14. Membangun sikap kehati-hatian dalam memakai hadis
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai
landasan ibadah sehari-hari atau bahkan sebagai
landasan dalam menetapkan suatu hukum.
E. Cakupan Kritik Hadis
Adapun kawasan kritik hadis adalah meliputi penelitian sanad dan matan
hadis, sebab kualitas kedua hal tersebut menjadi tolak ukur sahih atau tidaknya sebuah
hadis.
Sanad menurut bahasa berarti sandaran atau pegangan (al-mu’tamad).
Sementara pengertian sanad menurut istilah ilmu hadis adalah jajaran orang-orang
orang-orang yang membawa hadis dari Rasul, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ At- Tabi’in, dan
seterusnya sampai kepada orang yang membukukan hadis tersebut.22
Sementara ‘Ajjaj al-Khatib sebagaimana dikutip oleh Totok Jumantoro,
mengemukakan pengertian sanad sebagai berikut:
مصدره عن| المتن| نقلوا| ين| الذ| واة| الر| سلسلة| أي| المتن| يق| طر| هو|االول
Artinya: “Sanad adalah jalan kepada matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan matan dari sumbernya yang pertama.”23
Jalan yang dimaksud pada defenisi di atas adalah rangkaian orang-orang yang
meriwayatkan hadits Rasullullah Saw, baik melalui hafalan maupun tulisan.
Contohnya Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. berikut:
22 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2005) hlm. 23-2723 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), hlm. 220.
11
Kritik Hadis
قال العقدي عامر أبو حدثنا قال الجعفي محمد بن ه الل عبد حدثناعن صالح أبي عن دينار بن ه الل عبد عن بالل بن سليمان حدثناقال م وسل عليه ه الل صلى بي الن عن عنه ه الل رضي هريرة أبي) رواه اإليمان من شعبة والحياء شعبة ون وست بضع اإليمان
.)8البخاري:Posisi Imam Bukhari pada hadis di atas disebut sebagai sanad pertama, karena
daripadanya kita memperoleh hadis dan kepadanya langsung kita sandarkan riwayat
hadis tersebut, dan kemudian Imam Bukhari menyandarkannya kepada gurunya, yaitu
sebagai sanad kedua, dan seterusnya sehingga sahabat Rasul-lah yang menjadi sanad
terakhir.
Pada hadis tersebut, Imam Bukhari juga disebut sebagai perawi terakhir karena
beliaulah generasi yang terakhir meriwayatkan hadis tersebut hingga sampai kepada
kita. Imam Bukhari juga disebut sebagai mukharrijul Al-Hadis dalam hadis yang
diriwayatkannya, karena beliau telah menuliskan hadis-hadis yang diriwayatkannya ke
dalam sebuah kitab hadis.
Sebagian orang terkadang keliru dalam menyebutkan urutaan sanad dan rawi-
nya (periwayat). Oleh karena itu, penulis merasa penting menjelaskan perbedaan
urutan sanad dan rawi pada tabel berikut:
No. Urut Sanad Rawi (Periwayat)
1. البخاري هريرة أبي عن2. الجعفي محمد بن ه الل عبد صالح أبي3. العقدي عامر أبو دينار بن ه الل عبد4. بالل بن سليمان بالل بن سليمان5. دينار بن ه الل عبد العقدي عامر أبو6. صالح أبي الجعفي محمد بن ه الل عبد7. هريرة أبي عن البخاري
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkatan periwayat hadis dengan
tingkatan sanad hadis adalah bertolak belakang. Karena orang yang menjadi sanad
pertama dalam hadis tersebut adalah disebut sebagai periwayat terakhir. Misalnya
pada riwayat hadis di atas sebagaimana telah diuraikan pada tabel bahwa Al-Bukhari
adalah sanad pertama atau periwayat terakhir.
12
Kritik Hadis
Disamping kata sanad, ada kata lain yang maknanya berdekatan dengan sanad,
yaitu kata isnad dan musnad. Menurut Al-Thibi sebagaimana dikutip oleh Usman
Sya’roni, kata isnad mempunyai arti yang sama dengan sanad. Tetapi Usman Sya’roni
kemudian menunjukkan perbedaan diantara keduanya, yaitu isnad lebih menunjukkan
kepada proses periwayatan hadis, sedangkan sanad ialah susunan orang-orang yang
berurutan meriwayatkan sebuah materi hadis.24
Sementara arti musnad ada empat, yaitu: Pertama, hadis yang disandarkan
kepada orang yang meriwayatkannya. Kedua, nama kitab yang menghimpun hadis-
hadis dengan sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama sahabat, seperti kitab
musnad Ahmad bin Hambal. Ketiga, kumpulan hadis yang diriwayatkan dengan
menyebutkan sanad-sanadnya secara lengkap, seperti kitab musnad al-Syihab dan
musnad al-firdaus. Keempat, nama bagi hadis marfu’ (disandarkan kepada nabi) yang
sanad-nya muttasil (bersambung).25
Selanjutnya, pengertian matan (al-matn) dari sisi bahasa adalah tanah yang
meninggi, ada pula yang mengartikan matan dengan kekerasan, kekuatan dan
kesangatan.26 Dengan demikian, pengertian matan dari sisi bahasa adalah
menunjukkan nama bagi segala sesuatu yang sifatnya keras, kuat, dan menjadi bagian
inti.
Sementara pengertian matan menurut istilah adalah sebagaimana dalam
kutipan Totok Jumantoro, Ajjaj Al-Khattib di bawah ini:
نيه بهامعا تتقوم التى الحديث الفاظArtinya: “Lafadhz hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu”.27
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan matan al-hadits adalah materi/
berita/ pembicaraan yang diperoleh sanad terakhir, baik isi pembicaraan itu tentang
perbuatan Nabi Saw, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi
Muhammad Saw.
Contoh hadis:
بن العزيز عبد عن ة علي ابن حدثنا قال إبراهيم بن يعقوب حدثناقال آدم حدثنا و م وسل عليه ه الل صلى بي الن عن أنس عن صهيب , عليه ه الل صلى بي الن قال قال أنس عن قتادة عن شعبة حدثنا
24 Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, hlm. 10-11.25 Ibid., hlm. 12.26 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), hlm. 121.27 Ibid., hlm. 122.
13
Kritik Hadis
وولده: والده من إليه أحب أكون ى حت أحدكم يؤمن ال م وسلأجمعين اس : والن البخاري( ).14رواه
Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Ulayyah dari Abdul 'Aziz bin Shuhaib dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Dan telah menceritakan pula kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qotadah dari Anas berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia seluruhnya".(H.R. Bukhari:14).
Pada hadis di atas, sanad pertamanya adalah Ya’qub bin Ibrahim dan sanad
terakhirnya adalah Anas. Maka adapun materi berita yang disampaikan Anas adalah
disebut sebagai matan hadis, yaitu kalimat:
أحب “ أكون ى حت أحدكم يؤمن ال م وسل عليه ه الل صلى بي الن قالأجمعين اس والن وولده والده من ”إليه
Selanjutnya, adapun unsur-unsur yang menjadi perhatian kritikus hadis (baca:
peneliti hadis) dalam sanad dan matan hadis dapat diketahui melalui beberapa aspek
yang menjadi syarat kesahihan hadis menurut mereka, karena tujuan utama kritik
hadis adalah untuk membedakan antara hadis yang sahih dengan yang tidak sahih.
Abū ‘Amr Usmān bin Abdirrahman bin as-Salah asy-Syahrazuri yang biasa
disebut Ibnu As-Salah (w. 577 H/ 1245 M) telah merumuskan syarat kesahihan hadis
sebagai berikut :
بنقل إسناده يتصل الذي المسند الحديث فهو الصحيح اماالحديث. معلال وال شاذا واليكون منتهاه إلى الضابط العدل
Artinya: “Hadits Shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi SAW), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhābit sampai akhir sanad (di dalam hadits itu) dan tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz) dan cacat (‘illat).”28
Berdassarkan rumusan tersebut, maka dapat dikeluarkan beberapa indikasi
yang menjadi kawasan penelitian hadis, yaitu untuk sanad hadis maka hal-hal yang
perlu diteliti adalah: a) kualitas personal sanad hadis yang mencakup kualitas
kesalehan sanad (keadilan-nya) dan kapasitas tingkat intelektualnya
(kedhabithannya), b) ketersambungan seluruh sanad hadis, dan c) terhindarnya sanad
dan matan hadis dari sifat sudzudz dan illat.
1. Meneliti Kondisi Periwayat Hadis
28 Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, hlm. 19.
14
Kritik Hadis
Ulama hadis telah sepakat bahwa dua hal yang harus diteliti pada diri
periwayat hadis adalah ke‘adilan dan kedabithannya. Ke‘adilan adalah sesuatu yang
berhubungan dengan kualitas pribadinya, sedangkan kedabithannya adalah hal-hal
yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Apabila kedua hal itu (‘adil dan
dabit) dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat hadis tersebut dinyatakan
periwayat yang tsiqah.
a. Meneliti Keadilan Perawi
Kata adil dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti “tidak berat sebelah
(tidak memihak) atau “sepatutnya; tidak sewenang-wenang”.29 Sementara pengertian
adil yang dimaksud dalam ilmu hadits masih terjadi perbedaan pendapat diantara
ulama hadis. Sebagaimana Syuhudi Ismail menyebutkan dalam kutipan Umi
Sumbulah bahwa para ulama telah berselisih pendapat mengenai defenisi ‘adil.
Namun dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan bahwa kriteria sifat
adil pada umumnya adalah 4 hal berikut: 30
1) Beragama Islam.
Dengan demikian seorang periwayat hadis ketika mengajarkan/ menyampaikan
hadis tersebut sudah dalam keadaan Islam. Berbeda dengan kondisi orang yang
menerima hadis tidak disyaratkan beragama Islam.
2) Mukallaf
Seorang perawi hadis juga harus mukallaf, karena persyaratan ini sudah jelas
tertera didalam hadis Nabi bahwa orang gila, orang lupa, dan anak-anak terlepas
dari tanggung jawab.31 Tetapi dalam kondisi menerima hadis, para ulama jumhur
menyetujui hadis seseorang yang ketika menerimanya (tahammul) ia masih anak-
anak yang telah mumayyiz (umur ±5 tahun), dengan syarat bahwa ketika ia
meriwayatkan hadis tersebut ia telah dewasa.
3) Melaksanakan ketentuan agama (tidak berbuat fasik)
Dengan demikian seorang periwayat harus orang yang taat melaksanakan
ketentuan syari’at Islam.
4) memelihara moralitas (murū’ah)
29 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), Cet ke-8, hlm. 16.
30 Umi Sumbulah, Kajian Kritik Hadis; Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 63-64.31 Ibid.
15
Kritik Hadis
Muru’ah merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Muru’ah adalah:
tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar,
menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa kecil, terlebih-lebih berdusta, dan
meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah. 32
Dengan demikian, maka para ahli hadis sefakat bahwa kriteria muslim dan
dewasa adalah khusus bagi orang yang menyampaikan riwayat hadis, dan tidak
mensyaratkan keduanya saat ketika seseorang menerima hadis.
Contoh hadis yang diterima dari Jubair, padahal Jubair masih non muslim saat
menerima hadis tersebut:
عن معمر أخبرنا اق ز الر عبد حدثنا منصور بن إسحاق حدثنيه الل صلى بي الن سمعت قال أبيه عن جبير بن محمد عن هري الز
اإليمان وقر ما أول وذلك بالطور المغرب في يقرأ م وسل عليه: البخاري ( رواه قلبي ). 3719 في
Argumentasi pendapat ini adalah berangkat dari sikap kehati-hatian ulama
hadis akan terjadinya kehilangan hadis nabi, sebab sudah menjadi sebuah fenomena
bahwa nabi Saw. sendiri telah bergaul dengan anak-anak dan orang kafir. Oleh karena
demikian maka mungkin saja hadis yang mereka dapatkan ketika mesih anak-anak
atau kafir tidak terdapat dalam riwayat para sahabat yang sudah dewasa atau yang
sudah muslim.33 Dengan demikian maka para ulama sedikit memberikan kelonggaran
bagi syarat penerimaan hadis (tahammul) dan tetapi mereka memperketat syarat
periwayatannya (ada’).
Secara umum ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat
hadits yaitu berdasarkan :
1) Popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadits; periwayat yang terkenal keutamaan (kesalehan) pribadinya, misalnya Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri, tidak lagi diragukan ke-‘adilan-nya.
2) Penilaian dari para kritikus (peneliti) periwayat hadits; penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadits.
3) Penerapan kaidah al-Jarh wa at-Ta’dil ; cara ini ditempuh bila para peneliti (kritikus) periwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.34
32 Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 43.33 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 116.34 Syuhudi Isma’īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Sejarah¸(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), hlm. 134.
16
Kritik Hadis
Khusus mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, jumhur ulama sunni
mengatakan bahwa seluruh sahabat rasulullah adalah adil, jadi tidak perlu diteliti lebih
lanjut lagi. Sedangkan golongan Mu’tazilah menganggap bahwa sahabat-sahabat yang
terlibat dalam pembunuhan ‘Alī dianggap fasiq, dan periwayatannya ditolak.35
Jadi, untuk mengetahui adil atau tidaknya seorang periwayat hadis haruslah
diteliti terlebih dahulu kualitas pribadinya dengan kesaksian para ulama, dalam hal ini
adalah dapat dilakukan dengan merujuk kepada kitab-kitab karya para tokoh peneliti
hadis (disebut juga krtikus hadis) yang secara khusus mengkaji perihal periwayat
hadis. Misalnya kitab tahzib al-kamal.
b. Meneliti Kapasitas Intelektual Periwayat (Dhabith)
Pengertian dhābit dari sisi bahasa berarti kokoh, kuat, dan hafal dengan
sempurna.36 Sementara dari sisi istilah pengertian dabith masih dalam perselisihan
ulama. Namun perbedaan pendapat itu dapat dipertemukan dengan memberikan
rumusan berikut:
1) Hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya.
2) Mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada orang lain.
3) Mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya. 37
Dalam rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur pokok dhabith adalah
terletak pada keistiqomahan dan konsitensi seorang perawi menjaga kemurnian hadis
mulai dari proses penerimaan hadis hingga sampai penyebarannya, dan juga mampu
memahami hadis tersebut dengan baik, karena hadis tersebut tidak semuanya
diriwayatkan secara lafdzi (redaksional), tetapi ada juga dengan makna. Sehingga
dengan demikian maka tidak terdapat kesalahan dan penambahan atau pengurangan
pada hadis yang diriwayatkannya.38
Adapun cara penetapan kedhābit-an seorang periwayat menurut pendapat
Subhi al-Shalīh adalah sebagai berikut :
1) Kedhābitan periwayat dapat diketahui berdasarkan persaksian para ulama. Dalam
hal ini, peneliti harus menelusurinya pada kitab-kitab yang menjelaskan
kedhabithan periwayat. Seperti kitab tahzibut –tahzib.
35 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 131 - 132 .36 Syuhudi Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.
69.37 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 104.38 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 117.
17
Kritik Hadis
2) Kedhābitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya
dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal
kedhābitannya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat
makna atau mungkin ke tingkat harfiah. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari
hadis lain (dengan riwayat yang tsiqah) yang berkaitan dengan hadis yang
bersangkutan. Dan kemudian membandingkan kesesuaian teks hadisnya.
3) Apabīla seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka dia masih
dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhābit. Tetapi apabīla kesalahan itu
sering terjadi maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi sebagai periwayat
yang dhābit.39
Karena kapasitas intelektual perawi berbeda-beda sifatnya maka kualitas sifat
dhabith seorang perawi pun diklasifikasi kepada dua bagian, yaitu: 40
a) Dhabit sadri, yakni terpeliharanya hadis yang diterimanya dalam hafalan, sejak
dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu
sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja diperlukan dan dikehendaki, dan
mampu meriwayatkannya dengan sempurna.
b) Dhabit kitab yaitu terpeliharanya periwayatan melalui tulisan yang dimilikinya
dengan mengingat betul hadis yang ditulis, menjaga dengan baik dan
meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.
2. Meneliti Persambungan Sanad (ke-muttasil-an)
Adapun yang dimaksud dengan sanad yang bersambung adalah bahwa tiap-
tiap periwayat dalam sanad hadits berjalinan erat dalam menerima riwayat hadits dari
periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad
hadits itu.41
Tidak semua peneliti hadis melakukan penelitian terhadap perihal
persambungan sanad. Sebab sebahagian mereka berpikiran bahwa keadilan dan
kedhabithan sanad hadis cukup untuk menunjukkan bersambungnya sanad hadis.
Dengan demikian mereka hanya memperketat penelitian perihal keadilan dan
39 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, hlm. 232.40 Usman sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, hlm. 36-37.41 Subhi al-Shalīh, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-malayin,
1977), cet IX, hlm. 145.
18
Kritik Hadis
kedhabithan sanad hadis saja. Diantara tokoh yang berpendapat demikian adalah Sekh
Muhammad Al-Ghazaly.42
Adapun kriteria persambungan sanad di kalangan ahli hadits terjadi perbedaan
pendapat yaitu sebagai berikut:
a. Imam al-Bukhari mengklaim bersambungnya sanad apabila memenuhi dua
kriteria, yaitu:
1) Al-Liqa’, yakni adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi
berikutnya, yang ditandai adanya suatu pertemuan langsung antara murid
yang memperoleh hadis dari gurunya.
2) Al-Mu’asharah, yakni apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang
guru dengan muridnya.43
b. Sementara Imam Muslim memberikan kriteria yang sedikit lebih longgar,
menurutnya sebuah hadis telah dikatakan bersambung sanad-nya apabila antara
satu perawi dengan perawi berikutnya sampai seterusnya ada kemungkinan
bertemu karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama, dan tempat tinggal
mereka tidaklah terlalu jauh bila diukur dengan kondisi saat itu.44 Dengan
demikian Imam muslim tidak mensyaratkan liqa’ sebagai salah satu syarat dari
bersambungnya sanad.
Jika dilihat perbedaan yang dipatok oleh Bukhari dan Muslim sebagai mana di
atas, dapat di katakan bahwa kriteria al-Bukhari yang layak menduduki peringkat
pertama. Oleh karena demikian, maka dengan mengacu kepada kriteria
kebersambungan sanad inilah salah satu yang membuat posisi al-Bukhori menduduki
peringkat pertama di bandingkan dengan kitab hadist karya Muslim maupun kitab-
kitab hadist lainnya, bahkan jumhur ulama juga sepakat menjadikan sahih al-Bukhari
sebagai hadis paling utama.45
Disamping al-liqa’ dan al-mu‘asharah sebagai kajian penelitian hadis yang
berkenaan dengan bersambungnya sanad, lambang-lambang atau kata-kata yang
dipilih sebagai metode periwayatan juga menjadi objek perhatian para peneliti hadis.
Dalam Kitab Ilmu Hadits ada 8 macam cara-cara periwayatan yaitu: as-sima’,
al-qirā’ah, al-Ijāzah, al-munāwalah, al-mukātabah, al I’lam, al-wasiyyah dan al-
42 Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, hlm. 102.43 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 113-114.44 Ibid., hlm. 114.45 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, Op., Cit. hlm. 46.
19
Kritik Hadis
wijādah. Kedelapan metode periwayatan tersebut memiliki lambang-lambang yang
menunjukkan perbedaan dalam tingkat akurasi persambungan sanad hadis tersebut.46
Tingkat akurasi tertinggi dalam metode periwayatan hadis menurut jumhur
ulama adalah metode al-sima’ dan al-qira’ah. Lambang-lambang yang di disepakati
penggunaannya dalam periwayatan hadis dengan metode al-sima adalah:
1) .Artinya seseorang telah memberitakan kepadaku/ kami .اخبرنا dan اخبرني
2) .Artinya seseorang telah bercerita kepadaku/ kami .حدثنا dan حدثني
3) .Artinya saya mendengar dan kami mendengar . سمعنا dan سمعت
Sedangkan lambang-lambang yang tidak disepakati dalam periwayatan hadis
dengan menggunakan metode al-sima’ adalah: qãla lanã ( لنا ) dan dzakara lanã (قال
لنا 47.(ذكر
Selanjutnya lambang-lambang yang disepakati penggunaannya dalam
periwayatan hadis dengan metode al-qira`ah adalah:
1) عليه (qara`tu ‘alaihi) قرأت
2) عليه (quri`at ‘alahi) قرأت
3) عليه (haddatsanã ‘alaihi) حدثنا
4) عليه (akhbaranã ‘alaihi) اخبرنا
5) عليه (qara`tu ‘alaihi) قرأت
Sedangkan lambang-lambang yang tidak disepakati penggunaannya dalam
metode al-qira`ah adalah: sami’tu, haddatsanã, akhbaranã, qãla lanã dan dzakara
lanã.48 Untuk lebih detailnya, penjelasan materi ini akan dibahas oleh judul makalah
yang membicarakan indikasi mayor dan minor kesahihan sanad dan matan hadis.
Adapun langkah-langkah operasional untuk mengetahui bersambung atau
tidaknya suatu sanad hadis, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian
sebagai berikut:
a. Mencatat nama semua periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat untuk mengetahui
kesesuaian zaman atau hubungan guru-murid dalam periwayatan hadits tersebut.
c. Meneliti kata-kata atau lambang-lambang yang menghubungkan antara suatu
periwayat dengan periwayat yang terdekatnya dalam sanad sehingga diketahui
cara periwayatannya apakah metode al-sima’ atau al-qirã’ah atau yang lainnya. 46 Ibid., hlm. 67-76.47 Ibid.,h, 68.48 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op., Cit,. h. 70.
20
Kritik Hadis
Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat lambang-lambangnya apakah ia
memakai kata , حدثنا, حدثني سمعنا atau yang lainnya.49 سمعت
3. Meneliti Keselamatan Sanad dari Syadz
Mahmud Thahan dalam kitab ‘Taisir Mushthalah al-Hadits” memberikan
defenisi Syudzuz sebagai berikut:
منه أوثق هو لمن الثقة مخالفة هو الشذوذArtinya: “Syudzudz ialah berbeda dengan hadits yang tsiqāt atau berbeda dengan yang lebih tsiqāt daripadanya.”50
Pengertian Sadz telah dalam suatu hadis telah mengalami perbedaan pendapat
dikalangan ulama. 51 Namun dalam konteks ini, Imam Syafi’i (w. 204 H. / 820 M.)
telah merumuskan syadz sebagai hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqāh,
tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak perawi
yang tsiqāh juga. Pendapat ini yang banyak diikuti oleh ulama hadits sampai saat ini.
Metode penelitian untuk mengetahui keadaan sanad yang terhindar dari syadz
suatu hadis dapat diterapkan dengan cara berikut:
1) Semua sanad yang memiliki matan hadis yang pokok masalahnya sama
dikumpulkan menjadi satu dan kemudian dibandingkan.
2) Para perawi dalam setiap sanad diteliti kualitasnya.
3) Apabila dari seluruh dari perawi tsiqah ternyata ada seorang perawi yang
sanadnya menyalahi sanad-sanad yang lain, maka itulah dimaksudkan sebagai
hadis syadz.52
4. Meneliti Keselamatan Sanad Hadis Dari ‘Illat
Mahmud Thahan mendefenisikan ‘illat menurut istilah adalah sebagai berikut :
السالمة الظاهر أن مع الحديث صحة فى يقدح خفي غامض سبب العلةمنها.
Artinya:
49 Syuhudi Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, hlm. 128.50 Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahul hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), hlm. 30.51 Al-Hakim an-Naisaburi (w.405 H / 1014 M) mengemukakan bahwa hadits syudzudz ialah
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqāh, tetapi orang yang tsiqāh lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Abū Ya’la al-Khalili (w.446 H) mengemukakan hadits syudzudz ialah hadits yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat tsiqāh maupun tidak bersifat tsiqāh. Sumber: Ahmad bin Alī bin Hajar al-‘Asqalani, Nuzhatun Nazar Syarh Nukhbah al-Fikr, (Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th), hlm. 20.
52 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op.Cit., hlm. 185-186.
21
Kritik Hadis
“’Illat ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.”53
Menurut Yusuf dalam kutipan Umi Sumbulah, kriteria illat dalam sebuah
sanad hadis dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mauquf.2. Sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mursal.3. Terjadi percampuran hadis dengan bagian hadis yang lain.4. Terjadi kesalahan menyebutkan perawi, karena adanya rawi-rawi yang punya
kemiripan nama, sedangkan kualitasnya berbeda dan tidak semuanya tsiqah.54
Adapun cara meneliti ‘illat suatu sanad hadits adalah dengan cara
membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang isinya semakna.
5. Meneliti Keselamatan Matan Hadis dari Syadz dan ‘Illat
Setelah selesai melakukan penelitian terhadap sanad hadis, maka aktivitas
selanjutnya adalah kritik/ penelitian matan hadis. Adapun unsur-unsur yang perlu
diteliti pada matan hadis mengacu kepada kaedah kesahihan matan hadis sebagai
tolok ukurnya adalah terhindar dari syadz dan ‘illah.55 Adapun kriteria syadz menurut
Umi Sumbulah adalah; terdapat sisipan ucapan perawi pada matan hadis, pembalikan
teks hadis, dan kesalahan ejaan.56
Menurut jumhur ulama hadits, karakteristik matan hadits yang memiliki syadz
dan ‘illah adalah:
1) Susunan bahasanya rancu. Rasulullah SAW yang sangat fasih dalam berbahasa
Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan
yang rancu tersebut.
2) Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit
diinterprestasikan secara rasional.
3) Kandungan pernyataanya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam,
misalnya berisi ajakan untuk berbuat maksiat.
4) Kandungan pernyataanya bertentangan dengan sunnatullah (hukum alam).
5) Kandungan pernyataanya bertentangan dengan fakta sejarah yang mutawatir.
6) Kandungan pernyataanya bertentangan dengan petunjuk Alquran ataupun hadits
mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti. Contohnya:
53 Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahul hadits, 30.54 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 186.55 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 103.56 Ibid., hlm. 104-107.
22
Kritik Hadis
الله يشاء أن إال بعدي نبي ال النبين خاتم أنا7) Kandungan pernyataanya berada di luar jalur kewajaran diukur dari petunjuk
umum ajaran Islam; misalnya amalan yang tidak seberapa tetapi diiming-iming
dengan balasan pahala yang sangat luar biasa.57
Dengan mengetahui karakteristik syadz dan ‘illah pada matan hadis maka
dapat disimpulkan bahwa matan hadis yang sahih adalah matan hadis yang terhindar
dari tujuh point di atas.
F. Tokoh-tokoh Kritikus Hadis
Perjalanan sejarah perkembangan kritik hadis telah diuji oleh berbagai cobaan
dari internal dan eksternal umat Islam. Namun berbagai peristiwa yang mencoba
menguji otentisitas dan orisinalitas hadis tersebut malah menyadarkan kaum muslimin
untuk menetapkan rambu-rambu, standarisasi dan metode penelitian hadis. Dari hasil
kajian tersebut maka terlahirlah para kritikus hadis yang populer di masanya, yang
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kritikus Hadis Pada Masa Sahabat (abad 1 H.)
Adapun para kritikus hadis yang dapat disebutkan di masa sahabat antaranya
adalah sebagai berikut :
Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 H=634 M), Umar bin Khattab (w. 234 H=644 M) Ali bin Abi Thalib (w. 40 H=661 M), Abdullah Ibn Hushain (w. 52 H), `Imran ibn Hushain (w.52 H), Abu Hurairah (59 H), Abdullah ibn Amar ibn al-`Ash (w. 65 H), Abdullah ibn `Umar (w. 83 H), Abu Sa`id al-Khudzri (w. 79 H), dan Anas ibn Malik (w. 92 H).58
2. Kritikus Hadis Pada Masa Tabi’in (Abad 2 H.)
Adapun tokoh penelitian hadis pada masa tabi’in (abad II) dan pusat aktivitas
mereka adalah sebagai berikut:
a. Kufah dengan tokohnya Sufyan al-Thauri (97-161 H), Walid ibn al-Jarrah (wafat 196 H).
b. Madinah dengan tokohnya Malik ibn Anas (93-179 H).c. Beirut dengan tokohnya al-Awza`i (88-158 H).d. Wasith dengan tokohnya Syu`bah (83-100 H).e. Basrah dengan tokohnya Hammad ibn Salamah (wafat 167 H), Hammad ibn Zaid
(wafat 179 H), Yahya ibn ibn Sa`id al-Qaththan (wafat 198 H) dan Abd al-Rahman ibn Mahdi (wafat 198 H).
57 Salahuddin bin Ahmad al-Adlabī, Manhaj Naqil Matn, (Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H./ 1983 M), hlm. 237 – 238.
58 Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis dan Metodologis, hlm. 40.
23
Kritik Hadis
f. Mesir dengan tokohnya al-Laits ibn Sa`d (wafat 175 H) dan al-Syafi`i (wafat 204 H).
g. Makkah dengan tokohnya Ibn `Uyainah (107-198 H).h. Merv dengan tokohnya Abdullah ibn al-Mubarak (118-181 H).59
3. Kritikus Hadis Pada Abad Ke 3 H.
Tokoh-tokoh kritikus hadis yang telah disebutkan pada abad ke II kemudian
melahirkan tokoh-tokoh peneliti penerus mereka di abad ke III H., diantaranya adalah:
a. Baghdad dengan tokohnya Yahya ibn Ma’in (wafat 233 H), Ibn Hambal(wafat 241
H) dan Zuhair ibn Harb (wafat 234 H)
b. Basrah dengan tokkohnya Ali ibn al-Madini (wafat 234 H) dan Ubaid Allah ibn
Umar (Wafat 235 H).
c. Wasith dengan tokohnya Abu Bakr ibn Abi Syaibah (wafat 235 H).
d. Merv dengan tokohnya Ishaq ibn Rahawaih (wafat 238 H).60
Dari tokoh-tokoh kritik hadis abad ketiga ini kemudian melahirkan ilmuwan-
ilmuwan hadis sekaliber seperti:
1. Malik bin Anas (97-179 H.), nama lenkapnya adalah Abu ‘Abdullah Malik bin
Anas bin Malik bin Abu ‘Amir al-Asbahiy al-Himyari al-Madaniy.
2. Asy –Syafi’I (150-204 H.), nama lengkapnya adalah Abu ‘Acdullah Muhammad
bin Idris bin al-‘Abbas bin Syafi’I bin as-Saibbin’Ubaid bin ‘Abdu Yaziz bin
Hasyim bin ‘Abdul Mutolib bin ‘Abdul Manaf al-Muttolib al-Qurisyiy.
3. Ahmad bin Hanbal ( 164-241H.) nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin As’ad Asy- Syaibani al-Marwaziy dari
Maru
4. Ad-Darimi ( 181- 255 H.) nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘Abdullah
bin ‘Abdur Rohman bin Fadl bin Bahrum at- Tamimiy ad-Darimi.
5. Al-Bukhori(194-256H.),nama lengkapnya, Abu ‘Abdullah Muhammad bin
Isma’il bin Ibrahim bin Mugiroh al-Ja’fi, kakeknya Majusi.
6. Muslim,( 206-261H.), nama lengkapnya adalahAbul Husain Muslim bin Al-
Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an- Naisaburi.
7. Abu Daud (202-275 H.), nama lengkapnya adalah Abu Daud Sulaiman bin
Asy’ast bin Syidad bin ‘Amar bin ‘Amir Assijistani
59 Muhammad Musthafa Al-‘Azhimi, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu, hlm. 9.
60 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 42.
24
Kritik Hadis
8. Ibn Majah (209-273 H.), nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad
bin Yazid bin Majah ar-Robi’I al-Qozwani.
9. Abu Hatim Ar Rozi (195 H. - 227 H.), nama lengkap Abu Hatim Ar-Razi adalah
Muhammad bin Idris Al-Mundzir bin Dawud bin Mahran Al-Hanzhali Al-Hafizh.
10. At-Tirmidzi ( 209-279 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad bin
Sauroh bin Musa bin Dohhar bin Sulami al Bugi at-Tirmidzi
11. An- Nasa’i (214-303 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdur Rohman Ahmad
bin Syu’aib bin ‘Ali bin Bakar bin Sinan an-Nasai.61
4. Kritikus Hadis Pada Abad Ke 4-7 H.
Tokoh-tokoh kritikus hadis yang terdapat pada abad ke 4, 5, 6, 7 adalah
sebagai berikut:
a. At-Tobroni (260-360 H), lahir di Syam, wafat di Hamamah ad-Dausi.
b. Al- Hakim ( 321-405 H), lahir di Naisabur pindah ke Iroq
c. Ibn Khuzaimah (223-313 H), lahir di Khurosan
d. Ibn Hibban ( w 354), dia orang Samarqond.
e. Ad-Daruqutni ( 306-385 H), dia orang Bagdad
f. At-Tohawi (238-321H), dia orang Mesir
g. Al- Baihaqi (w. 458 H), wafat di Naisabur, belajar hadis ke ‘Iroq dan Hijaj.
h. An-Nawawi ( 631-676 H),lahir di Nawa, beliau pensyarah hadis seperti Kitab
Riyadus solihin.
i. Al-Imam Adz-Dzahabi (673-748 H), Nama lengkap Al-Imam Adz-Dzahabi adalah
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah at-
Turkimani al-Fariqi, Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’I, Syamsuddin Abu Abdillah Adz-
Dzahabi.62
Adapun mengenai profil, kapasitas intelektual, guru dan murid, kelompok
sosial, dan karya-karya para tokoh kritikus hadis ini dapat ditelusuri pada kitab yang
mengkaji keritikus hadis seperti kitab tahzib al-kamal.
G. Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Melakukan Penelitian Hadis
Sebagaimana objek penelitian hadis itu ada dua, yaitu sanad dan matan. Maka
adapun kitab-kitab tentang penelitian hadis juga muncul dari dua sisi objek penelitian
61 Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis, Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 86-125.
62 Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Penerjemah;Masturi Irham & Asmu’I Taman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 812.
25
Kritik Hadis
hadis ini, yaitu kitab-kitab yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian sanad atau
sering juga disebut dengan kitab Rijal al-Hadis dan kitab-kitab yang diperlukan dalam
melakukan penelitian matan.
1. Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Melakukan Penelitian Sanad Hadis
Kitab-kitab yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian sanad muncul dalam
berbagai bentuk dan sifatnya, mulai dari yang bersifat umum sampai kepada yang
bersifat khusus.
a. Kitab-kitab Sanad Hadis Yang Bersifat Umum
1) Al-Tarikh al-Kabir
Kitab ini merupakan karya terbesar Al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M), di
dalamnya terdapat 12.315 biografi periwayat hadis. Al-Bukhari menyusun nama-nama
orang secara alfabetis dengan ciri khas tertentu, dengan disesuaikan dari huruf
pertama dari nama itu dan nama ayahnya. Nama yang pertama diuraikan adalah
mereka yang bernama Muhammad, nama tersebut dipertimbangkan kemuliaan nama
Nabi Muhammad Saw., sebagaimana didahulukannya nama sahabat yang paling
pertama, dengan tanpa melihat nama ayah mereka. Setelah penulis menguraikan
nama-nama yang ditempatkan secara khusus itu, baru ia menguraikan nama-nama
yang lain secara alfabetis.63
2) Al-Jarh wa al-Ta’dil
Kitab ini ditulis oleh Ibn Abi Hatim (wafat 327 H). Nama-nama periwayat
ditulis secara lengkap dengan menyebutkan nama ayah dan gelarnya, kemudian diurut
secara alfabetis. Yang paling menonjol dari kitab ini adalah memberikan penilaian
kualitas periwayat sesuai dengan nama kitab tersebut, yaitu al-jarh wa ta’dil.64
b. Kitab-kitab Sanad hadis yang bersifat khusus
1) Kitab-kitab sanad hadis yang sifatnya mengkaji biografi para periwayat kitab-
kitab tertentu, Seperti:
a) Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifah ahli al-Tsiqat wa al Saddat
Kitab ini dikarang oleh Abi Nashr Ahmad Ibn Muhammad Al-Kalabadi (wafat
318 H). Kitab ini dikhususkan pengarangnya hanya membahas biografi para
periwayat dalam Sahih Bukhari.
63 Ibid., hlm. 25.64 Ibid.
26
Kritik Hadis
b) Rijal al-Sahih Muslim
Kitab ini dikarang oleh Abi Bakr Ahmad Ibn Ali Al-Asfahani yang dikenal
dengan nama Ibn Manjuyah (wafat 428 H). Kitab ini berisi para periwayat kitab
Sahih Muslim secara khusus.
2) Kitab-kitab sanad hadis yang sifatnya mengkaji biografi para periwayat beberapa
kitab hadis:
a) Kutub al-Tarajum al-Khassah bi Rijal al-Kutub al-Sittah
“Induk dari kitab-kitab yang termasuk dalam kelompok ini adalah kitab al-
Kamal fi Asma al-Rijal, karangan Abdu gani Al-Maqdisi (wafat 600 H). Kitab
ini merupakan kitab induk dalam kajian rijal al-Hadis.
Kitab rijal yang termasuk dalam kelompok ini adalah Tahzib al-Kamal oleh Al-
Syahr Abu Hajjaj Yusuf Ibn Zakki Al-Mizzi (wafat 742 H). Kitab Tahzib al-
Kamal kemudian disempurnakan oleh ‘Alaw Al-Din Al-maghlathay (wafat 762
H) dengan judul Ikmal Tahzib al-Kamal. Karya Al-Mizzi di atas juga disusun
ulang oleh Abu Abdillah Ibn Ahmad Al-Zahabi (wafat 748 H) dengan judul
Tahzib al-Tahzib. Ibnu hajar Al-Asqalani juga menulis kitab dengan judul yang
sama, yaitu Tahzib al-Tahzib.
3) Kitab-kitab sanad hadis yang khusus memuat periwayat tingkat sahabat:
a) Kitab Ma’rifah man Nazala min al Sahabah Sair al-Buldan karya Abu al-Hasan
Ali ibn Abdullah al-Madini (w.234)
b) Kitab al-Ma’rifah karya Abu Muhammad Abdullah ibn Isa al-Marwazi, Kitab
al-Sahabah karya Abu hatim Muhammad ibn Hibban Al-Busti,
c) Kitab Al-Istiab fi Marifah al-Ashab karya Abu Umar Yusuf ibn Abdillah ibn
Muhammad ibn Abd Barr al-Namiri Al-Qurtubi (w. 463)
d) Kitab Tajrid Asma al-Sahabah karya al-Hafiz Syams al-Din Abu abdillah
Muhammad ibn Ahmad ibn al-Asir (555-630),
e) Kitab al-Badr al-Munir fi Sahabah al-Basyir al-Nazir karya Muhammad Qasim
ibn Salih al-Sindi, dan lain-lain.65
4) Kitab-kitab yang secara khusus menghimpun para periwayat-periwayat Tsiqah saja,
seperti:
65 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Op.Cit., hlm. 117.
27
Kritik Hadis
a) Ali Ibn Abdullah Al-Madini (234 H) menghimpun periwayat hadis yang Tsiqah
dalam karyanya yang diberi judul al-tsiyat wa al Mutsabbitin yang terdiri dari
sepuluh juz.
b) Abu Al-Hasan Ahmad Ibn Abdillah Ibn Shalih Al-‘Ijli (261 H) juga
menghimpun perwayat hadis yang tsiqah dalam koleksinya diberi judul Kitab
al-Tsiqah. Di dalam kitab ini, nama-nama periwayat hadis disusun secara
alfabetis.
c) Muhammad Ibn Ahmad Hibban Al-Busti (354 H) juga menghimpun periwayat
hadis yang tsiqah dalam satu kitab tertentu, yang diberi nama Kitab al-Tsiqat.,
nama periwayat dalam kitab ini disusun secara alfabetis.66
5) Kitab-kitab sanad hadis yang khusus mengkaji dan menghimpun periwayat dhaif:
a) Kitab al-duafa’ wa al-Matrukin, karya An-Nasa’i.
b) Kitab al-Du’afa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-‘Uqaili (w 323
H).67
2. Kitab-kitab Yang Diperlukan Dalam Melakukan Penelitian Matan Hadis
Kitab yang khusus membahas kritik matan belum ditemukan pada awal awal
perkembangan ilmu hadis. Namun, kitab tentang matan telah muncul bersamaan
dengan berkembangnya ilmu hadis. Kitab yang membahas tentang matan hadis,
pertama muncul dalam bentuk penyelesaian hadis-hadis kontroversi, baik kontroversi
hadis dengan hadis sahih, hadis dengan akal, maupun dengan Alquran.
Adapun kitab-kitab yang mengkaji seputar penelitian terhadap matan hadis
antara lain adalah sebagai berikut:
a. Imam Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab yang berjudul
ikhtilaf al-hadits untuk menyelesaikan kitab yang kelihatannya saling
bertentangan terutama yang menyangkut hukum.
b. Imam Ibn Qutaybah Al-Dinuri (wafat 204 H) menulis kitab yang senada dengan
karya Imam Al-Syafi’i dengan judul Ta’wil Mukhtalif al-Hadits.
c. Shalah Al-Din ibn Ahmad Al-Adabi menulis kitab berjudul Manhaj naqd al-
Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi
d. Muhammad Thahir Al-Jawabi menulis kitab berjudul Juhud al-Muhadditsin fi
Naqd Matn al-Hadits al-Nabawi al-Syarif
66 Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, hlm. 27-28. 67 Ibid.
28
Kritik Hadis
e. Muhammad Mushthafa Al-A’zhami menulis kitab yang berjudul Manhaj al-Naqd
‘Inda al-Muhadditsin,
f. Yusuf Qardawi menulis kitab yang berjudul kayfa Nataamal ma’a al-Sunnah al-
Nabawiyah, Muhammad Al-Ghazali menulis kitab yang berjudul Al-Sunnah al-
Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits.
Kitab-kitab di atas berusaha menawarkan metodologi penelitian dan kritik
matan hadis serta berupaya mengidentifikasi hadis-hadis yang dianggap
berseberangan dengan sumber hukum yang lain.68
H. Penutup
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik hadis adalah suatu
upaya untuk menyeleksi kehadiran hadis, memberikan penilaian dan membuktikan
kemurnian dan keaslian sebuah hadis. Upaya ini juga berarti mendudukkan hadis
sebagai hal yang sangat penting sebagai sumber hukum Islam kedua, itulah bukti
kehati-hatian kita. Upaya ini juga sebagai upaya untuk memahami hadis dengan tepat
dalam mengamalkan isi dari hadis tersebut.
Munculnya kegiatan penelitian/ koreksi terhadap hadis sejak masa Rasulullah
Saw. masih hidup adalah menjadi bukti sejarah bagi terjaganya kemurnian dan
keaslian hadis sampai masa sekarang ini. Namun untuk mengantisipasi kepalsuan
hadis atau ketidak murniannya akibat diriwayatkan oleh orang yang rendah kapasitas
intelektualnya, kurang kesalehannya (fasik), dan dipalsukan non Islam maka menjadi
suatu keharusan bagi kita untuk bersikap hati-hati dalam menerima hadis dengan
melakukan kritik atau penelitian terhadap kualitas sanad dan matan hadis tersebut
berdasarkan metode penelitian hadis yang tepat dan akurat.
Saran penutup dari penulis adalah seharusnya setiap muslim (khususnya
pendidik atau kaum intelektual) mengkritisi atau meneliti hadis-hadis yang akan
digunakannya sebagai hujjah. Sebab apabila kualitas hadis yang digunakannya adalah
lemah atau bahkan palsu maka hal tersebut akan berimplikasi terhadap kebenaran
hukum Islam yang dilahirkannya.
BIBLIOGRAFI
68 Ibid., hlm. 61-62.
29
Kritik Hadis
Al-‘Asqalani, Ahmad bin Alī bin Hajar, Nuzhatun Nazar Syarh Nukhbah al-Fikr,
Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th.
Al-‘Azhimy, Muhammad Musthafa, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun
wa tarikuhu Riyad: Maktabat al-Kausar, 1990.
Al-Adlabī, Salahuddin bin Ahmad, Manhaj Naqil Matn, Beirut : Dar al-Afaq al-
Jadidah, 1983.
Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Farid, Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, Penerjemah;Masturi Irham & Asmu’I
Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Isma’īl, Syuhudi, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Sejarah¸Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995.
, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
, Kaedah Kesahihan sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang ,1988.
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadist, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, Beirut:
Dar al-Fikr, 1963.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1985.
Al-Shalīh, Subhi, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-
malayin, 1977.
Al-Syuyuti, Jalal al-Din, Tadrib al-Rawi ‘ala Taqrib al-Nawawi, Ttp.: Dar al-Kutub
al-Haditsah, t.th.
Smeer, Zeid B., Ulumul Hadis, Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang: UIN-Malang
Press, 2008.
Sumbulah, Umi, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Sumbulah, Umi, Kritik Hadis; Pendekatan Historis Metodologis, Malang: UIN-
Malang Press, 2008.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian hadis,
Yogyakarta: T-H Press, 2009.
Sya’rani, Usman, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002.
30
Kritik Hadis
Thahan, Mahmud, Taisir Mushthalahul hadits, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.
Al-Umri, Muhammad Ali Qasim , Dirâsât fi Manhaji An-Naqdi ‘Indal Muhadditsîn,
Yordan: Dar An-Nafais, 2000.
Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadits, Bandung: Cita Pustaka Media, 2005.
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuriyah, t.th.
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Makalah
Mata Kuliah Studi Hadis
31
Kritik Hadis
Disusun Oleh :
HAMDAN HUSEIN BATUBARA, S.Pd.INIM. 11760012
DOSEN PEMBIMBING
DR. Hj. UMI SUMBULAH, M. Ag
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
KELAS A
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2011
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-
Nya, sehingga pada kesempatan ini pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini.
32
Kritik Hadis
Makalah yang berjudul “Kritik Hadis” ini penulis susun dengan sebaik mungkin
sehingga diharapkan dapat memenuhi tugas makalah mata kuliah Studi Hadis.
Dalam penyusunan makalah ini penulis tidak luput dari berbagai kelemahan
dan keterbatasan, oleh karena itu pemakalah sangat mengharapkan bimbingan dan
saran-saran yang membangun dari para pembaca sekalian agar makalah ini dapat
dibuat lebih baik lagi. Namun walaupun demikian, mudah-mudahan makalah ini dapat
memberikan kita informasi atau menyegarkan ingatan kita kembali mengenai metode
kritik hadis.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita
dalam bidang ilmu hadis, dan juga semoga dapat memberikan kita motivasi untuk
mengkaji dan membangun metode penelitian hadis yang lebih tajam dan baik. Amien.
Malang, 4 Desember 2011
Penulis,
HAMDAN HUSEIN BATUBARA, S. Pd.I NIM. 11760012
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
A. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
33
i
Kritik Hadis
B. PENGERTIAN KRITIK HADIS ........................................................... 1
C. SEJARAH MUNCUL DAN PERKEMBANGAN KRITIK HADIS .... 2
1. Kritik Hadis di Masa Rasulullah ..................................................... 2
2. Kritik Hadis di Era Sahabat (Abad 1) ............................................. 5
3. Kritik Hadis Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in hingga Kodifikasi -
Hadis (Abad II-III) .......................................................................... 7
D. URGENSI KRITIK HADIS ................................................................... 9
E. CAKUPAN KRITIK HADIS ................................................................. 11
1. Keadaan Periwayat Hadis ................................................................. 14
a. Meneliti Keadilan Perawi .......................................................... 15
b. Meneliti Kapasitas Intelektual Periwayat (dhabit) .................... 17
2. Meneliti Persambungan Sanad (ke-muttasil-an) .............................. 18
3. Meneliti Keselamatan Sanad dari Syadz .......................................... 21
4. Meneliti Keselamatan Sanad Hadis Dari ‘Illat ................................ 21
5. Meneliti Keselamatan Matan Hadis dari Syadz dan ‘Illat ................ 22
F. TOKOH-TOKOH KRITIKUS HADIS .................................................. 23
1. Kritikus Hadis Pada Masa Sahabat (abad 1 H.) ............................... 23
2. Kritikus Hadis Pada Masa Tabi’in (Abad 2 H.) ............................... 23
3. Kritikus Hadis Pada Abad Ke 3 H. .................................................. 24
4. 20Kritikus Hadis Pada Abad Ke 4-7 H. ........................................... 25
G. KITAB-KITAB YANG DIPERLUKAN DALAM MELAKUKAN-
KRITIK HADIS ..................................................................................... 25
1. Kajian Kitab-Kitab Kritik Sanad ...................................................... 26
2. Kajian Kitab-kitab Kritik Matan ...................................................... 28
H. PENUTUP .............................................................................................. 29
BIBLIOGRAFI
34ii
ii