hak untuk berkarya.docx

7
TUGAS Hak Perseorangan dan Kekeluargaan Perdata Nama : Untary Pratiwi Kelas : Kimia 61 NIM : 2101131459

Transcript of hak untuk berkarya.docx

Page 1: hak untuk berkarya.docx

TUGASHak Perseorangan dan Kekeluargaan Perdata

Nama : Untary Pratiwi

Kelas : Kimia 61

NIM : 2101131459

Dosen : Ruman Sudrajat S.H.,M.H.

Page 2: hak untuk berkarya.docx

HAK PERSEORANGAN DAN KEKELUARGAAN PERDATA

HAK UNTUK BERKARYA

Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan perorangan yang satu dengan yang lainnya dalam pergaulan masyarakat, yang memberikan batasan – batasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan perorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dalam masyarakat tertentu, terutama hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas hukum privat.

Hukum perorangan, adalah keseluruhan kaedah hukum yang mengatur kedudukan manusia sebagai subjek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan mempergunakan hak – hak dan kewajiban ke dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak – haknya, juga hal – hal yang mempengaruhi kedudukan subjek hukum.

Hukum Kekeluargaan, adalah hukum yang mengatur perihal hubungan – hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian, dan curatele.

Untuk kesempatan kali ini saya akan membahas tentang hak untuk berkarya yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai bagian dari hukum perorangan . tentunya banyak problematika yang terjadi disekitar kita mengenai kebebasan seseorang untuk berkarya salah satunya mengenai kasus pelarangan peredaran beberapa buku yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.

“Kejaksaan Agung (Kejagung) melarang peredaran lima buah buku. Buku-buku tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila. Demikian disampaikan oleh Jaksa Agung Muda Intelijen yang baru dilantik menjadi Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Iskamto, dalam jumpa pers Laporan Kinerja Kejagung Tahun 2009 di Kejagung, Rabu (23/12). Kelima buku itu adalah: Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965

Page 3: hak untuk berkarya.docx

karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.

Kebebasan berkarya di alam demokrasi, kebebasan sangat dihargai dan dijunjung tinggi, termasuk kebebasan berkarya dan berekspresi. Dan, negara, sebagai pengayom dan payung bagi semua kalangan berkewajiban melindungi dan menjaga hak-hak kebebasan ini bagi warganya, bukan membendung dan menyumbatnya. Pembendungan atau penyumbatan hanya ada pada rezim yang otoriter, tiran, dan tangan besi, tidak berlaku bagi rezim yang demokratis apalagi rezim yang sang pemimpinnya berkali-kali mengingatkan untuk menghormati perbedaan pendapat di masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, kebebasan berpendapat, termasuk di dalamnya kebebasan membuat karya, dilindungi dalam Pasal 28 E ayat (2), Pasal 28 E ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I UUD 1945. Selain menjadi hak konstitusional, kebebasan berpendapat juga dapat ditemui dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lain seperti dalam Pasal 14, 19, 20, dan 21 Tap MPR RI No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 14, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 25 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (UU No 12 Tahun 2005).

Jaminan kebebasan berkarya sekaligus merupakan penghargaan terhadap hak intelektual dan menghormati manusia sebagai individu yang heterogen dengan perbedaan latar belakang pendidikan dan konteks sosio-kultural masing-masing orang serta sudut pandang masing-masing. Kebebasan berkarya baik bagi berkembangnya apa yang disebut oleh Habermas sebagai diskursus publik. Publik akan dilibatkan karena memang seharusnya mereka terlibat tanpa dihalang-halangi oleh apa pun, karena itu hak mereka untuk berpendapat serta kewajiban mereka untuk tidak tinggal diam ketika mereka melihat ada ketidakberesan.

Negara wajib melindungi hak berkarya warganya. Bahkan, ia harus membuka lebar-lebar ruang-ruang untuk berekspresi dan berkarya warganya. Dengan catatan, tidak melanggar asas kepatutan serta etika berbangsa dan bernegara yang sudah diatur dalam hukum dan Undang-Undang. Tapi, hal penting yang perlu dicermati berkaitan dengan hukum dan Undang-Undang ini adalah soal tafsir. Tidak sedikit produk hukum atau Undang-Undang yang sifatnya karet dan multitafsir. Untuk yang seperti ini, berbagai pihak perlu dilibatkan dalam

Page 4: hak untuk berkarya.docx

diskursus yang menghargai pendapat-pendapat yang berbeda, agar tafsirnya tidak sepihak. Lima buku yang dilarang beredar oleh kejagung bisa jadi lahir dari tafsir sepihak, tanpa melakukan diskurus dengan pihak-pihak terkait. Seharusnya ini tidak dilakukan, seolah-olah kebenaran tafsir hanya ada pada pihak kejagung.

Era keterbukaan informasi atau era demokrasi, negara mau tak mau harus mengikuti perkembangan ini jika tidak ingin disebut sebagai negara yang tradisionalistik, seperti katak dalam tempurung. Masyarakat butuh informasi yang mencerdaskan serta memotivasi dan menginspirasi mereka. Apalagi informasi itu menyangkut masalah yang terjadi di sekitar mereka, bahkan dalam skrup yang lebih luas: persoalan-persoalan negara, bahkan dunia.

Buku sebagai salah satu anak yang lahir dari keterbukaan informasi mestinya dihargai dalam konteks ini. Pelarangan beredarnya buku-buku informatif jelas berita buruk. Pengalaman rezim Orde Baru yang membredel beberapa media dan melarang buku-buku yang informatif mestinya tidak terulang di Orde Reformasi ini. Jika masih terulang, apa bedanya dengan rezim lama, hanya ganti kulit, isi tetap sama. Pada zaman Orde Baru, kebenaran ada pada negara. Tidak boleh mengkritik, tidak boleh menggugat, dan harus taat apa kata negara. Orde Reformasi ingin menghancurkan tradisi buruk seperti itu. Orde Reformasi mendorong perlunya dialog dan diskursus publik dalam setiap pengambilan kebijakan, sehingga berbagai pandangan diperhatikan. Karena negara ini milik semua, dan kebijakan juga untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan satu pihak.

Buku adalah jendela informasi yang berharga. Tentu saja buku yang memang isinya informatif, edukatif, dan mencerahkan. Lima buku yang dilarang oleh kejagung belum dijelaskan secara detil bagian-bagian mana yang dianggap mengganggu ketertiban serta bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Jika sebuah buku sudah memenuhi standar penulisan dengan validitas dan verifikasi data yang ada, sebagai sebuah buu, itu layak diterbitkan. Publik sekarang sudah bisa menilai mana buku yang berkualitas dan mana buku yang tidak berkualitas. Negara mestinya membiarkan semua berjalan biasa. Biarlah pasar yang menyeleksi masing-masing. Negara hanya perlu menjamin hak-hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan menikmati bacaan yang menurut publik layak dikonsumsi.

Page 5: hak untuk berkarya.docx

Sumber :

www.google.com/hukumperseorangan

www.google.com/hakuntukberkarya

www.google.com/kebebasanberkarya