GERAKAN MILLENARIAN KAIIN BAPA KAYAH: PROTES SOSIAL …

188
GERAKAN MILLENARIAN KAIIN BAPA KAYAH: PROTES SOSIAL PETANI TANGERANG 1924 Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Ilyas NIM: 2112022100006 PROGRAM MAGISTER SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M/1437 H

Transcript of GERAKAN MILLENARIAN KAIIN BAPA KAYAH: PROTES SOSIAL …

GERAKAN MILLENARIAN KAIIN BAPA KAYAH:

PROTES SOSIAL PETANI TANGERANG 1924

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

Ilyas

NIM: 2112022100006

PROGRAM MAGISTER SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2016 M/1437 H

ii

iii

iv

ABSTRAKSI

Peristiwa protes sosial petani Tangerang pada tahun 1924, yang

dipimpin oleh seorang Dalang Wayang bernama Kaiin Bapa Kayah, yang

juga pernah mengalami kehidupan sebagai petani miskin – dalam

kacamata kolonial dianggap sebagai letupan-letupan kecil di tingkat lokal

Karesidenan Batavia.

Ki Dalang sebagai sosok utama dari pergerakan tersebut, dalam

perspektif pemerintah kolonial adalah tokoh pemberontak yang

mengganggu stabilitas. Sebaliknya bagi petani Tangerang, Kaiin Bapa

Kayah menjadi tokoh panutan yang dipenuhi karisma yang memberikan

mereka obat penawar kerinduan zaman lampau sebelum tanah-tanah

dikuasai oleh pemerintah Hindia-Belanda dan sekutu Tionghoanya, situasi

yang berubah membuat petani-petani tidak dapat menguasai bahkan

mendapatkan hak mereka sebagai kaum pribumi yang mewarisi sumber

daya alam dari nenek moyangnya.

Para petani dan penduduk pribumi dibebani oleh berbagai macam

pajak dan kewajiban bekerja menurut aturan para pendatang asing yang

mengekspoitasi tanah dan tenaga mereka semata-mata untuk kepentingan

perdagangan yang bahkan mereka tidak dapat menikmati keuntungan atas

transaksi bisnis yang dilakukan oleh tuan tanah mereka.

Kehidupan sehari-hari mereka sudah disibukkan oleh pekerjaan

paksa yang dilakukan atas perintah para tuan tanah maupun pemerintah

kolonial. Sehingga tidak sedikit pun waktu luang mereka bisa digunakan

untuk mencari pekerjaan sampingan dan menjalani kehidupan budayanya.

Situasi ini membuat kaum pribumi terdeprivasi (terampas) hak dan

kewajiban mereka di tanah airnya sendiri. Rasa frustasi dan putus asa

terkumpul dalam diri dan hati mereka tanpa ada ruang gerak untuk

melawan penindasan ini. Dalam keadaan demikian mereka merindukan

seorang tokoh besar yang berani dan menjanjikan perubahan besar dalam

kehidupan, apalagi kepercayaan masyarakat tradisional di pulau Jawa

meyakini ramalan akan kedatangan tokoh Ratu Adil Sang Juru Selamat.

Tradisi tertulis ramalan Jayabaya sangat populer tersiar di tengah-

tengah masyarakat. Keyakinan ini membawa dampak pada kepercayaan

dan ketaatan kaum pribumi kepada tokoh-tokoh yang memiliki sumber

kewahyuan untuk menjemput impian millenarian. Karena itu, tokoh

semacam Kaiin Bapa Kayah turut memakai simbol-simbol millenarianisme

dan mesianisme untuk meyakinkan masyakat petani agar berada di

belakangnya dalam gerakan revolusionernya.

v

Pergerakan Millenarian Kaiin Bapa Kaya, sebagaimana gerakan

sosial dan gerakan keagamaan lainnya, terjadi dalam ruang dan waktu

yang sangat singkat, setelah sang pemimpin wafat atau dibunuh oleh

penguasa kolonial, praktis tidak berkelanjutan. Peristiwa ini memang kecil,

karena terletak di lokasi yang terbatas, Tangerang. Namun daya kejutnya,

membuat pemerintah kolonial terganggu aktifitasnya dan bahkan cerita

tentang perlawanan petani dan rakyat kecil di Tangerang ini

terpublikasikan melalui jurnal internasional.

Pergerakan ini bila dilihat dari akar masalahnya adalah adanya

kesenjangan kaum pribumi dengan para pendatang asing (terutama

Belanda dan Tionghoa). Sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh asing yang

jumlah warganya sedikit dibandingkan penduduk pribumi. Praktek-praktek

hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial masih mendiskriminasi

kaum pribumi. Kerja paksa juga diterapkan oleh penguasa kolonial. Semua

sebab-sebab ini, bersatu padu dalam rasa ketidakpuasan kaum petani

pribumi yang diwujudkan oleh protes sosial yang dipimpin oleh seorang

Dalang yang dianggap sebagai tokoh yang tercerahkan untuk

merealisasikan rasa keadilan.

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt,

yang telah memberikan kepada umat manusia berbagai macam nikmat,

sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini dan selalu tegar selama

menjalani hari-hari di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat

teriring salam semoga tercurahkan ke haribaan junjungan kita Nabi

Muhammad saw, Sang Revolusioner peradaban manusia, dari peradaban

Jahiliyah menuju peradaban yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Dalam penulisan tesis ini banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran

bagi penulis. Untuk memahami sesuatu kita tidak bisa serampangan

menilainya, melainkan harus mengetahui seluk-beluk, memperhatikan, dan

menelaah melalui ilmu pengetahuan. Penulis sangat menyadari bahwa

ternyata ilmu yang dikuasai hanyalah setetes bahkan lebih kecil dari itu,

dari luasnya lautan ilmu Allah yang sangat luas, Namun akhirnya dengan

susah payah penulis dapat mengakhiri penulisan tesis ini dengan baik dan

lancar.

Tersusunnya tesis ini adalah karena karunia Tuhan yang tak ternilai

harganya, ditambah dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, karena itu

penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag selaku Dekan Fakultas Adab dan

Humaniora.

2. Bapak Dr. Abdullah, M.Ag, selaku Ketua Program Magister dan

Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum, sebagai sekretaris Program

Magister Fakultas Adab dan Humaniora.

3. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Adab dan Humaniora,

Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah.

4. Bapak Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA, Pembimbing Tesis I, yang di

sela-sela kesibukannya beliau bersedia membimbing penulis untuk

menyelesaikan penulisan tesis.

5. Bapak Dr. H Abd. Chair, MA, selaku Pembimbing Tesis II, yang

memberikan masukan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis.

6. Segenap Pimpinan dan Staff Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia (PNRI), khususnya kepada Peneliti Senior, Drs. H. Sanwani,

yang telah memberikan arahan tentang manuskrip dan khazanah

filologinya.

7. Pimpinan dan staff Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), yang

memberikan petunjuk tentang arsip kolonial tentang Tangerang.

vii

8. Seluruh Pimpinan dan staff Perpustakaan Pusat Dokumentasi dan

Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI)

9. Bapak Ichsan (Alm.) dan Ummi Iyum tersayang yang telah

memberikan motivasi bagi penulis untuk dapat membuktikan bahwa

penulis mampu menjalani hari-hari di kampus, serta dukungan

keduanya baik moril maupun materil sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi dengan baik.

10. Isteriku Leli Eryani dan Anak-anakku (Sultana Awliya Yumna dan

Nuri Salsabila), serta Kakak-kakakku Imas dan Iyan, Adik-adikku

Saiful Novi dan Ismawati Fajrin, canda tawa mereka memberikan

hiburan dan ketenangan batin yang tiada tara.

11. Bapak Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, MAg selaku Wakil Kordinator

Kopertais Wilayah I DKI Jakarta dan Mantan Dekan Fakultas Adab

dan Humaniora.

12. Bapak Dr. Syahrul A’dam, M.Ag (Mantan Ketua) dan Dr. H.

Kamarusdiana, MH (Ketua), yang banyak menasehati penulis selama

karir penulis di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aqidah Al-

Hasyimiyyah Jakarta

13. Seluruh Civitas Akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aqidah

Al-Hasyimiyyah Jakarta (Bapak. A. Misbakhun Najakhi, Ibu Ummu

Habibah, Bapak A. Syaiful, Arham Saputra, Midih dan kawan-kawan)

14. Keluarga besar Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah

Tinggi Agama Islam Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah Jakarta.

15. Teman-teman seperjuang kuliah di Program Magister Fakultas Adab

dan Humaniora (Bambang Permadi, A. Ghazali, Cecep Supriatna,

Wahyu Hidayat, Nova Rizqiawati, Kaslir, Johan Wahyudi, Tendi, Eva,

Teteh Yuyun, Uda Akmal, Ilman, Tatam, Latifah Sun’iyyah, Ani, dkk)

Semoga apa-apa yang telah mereka berikan dapat bermanfaat dan

akhirnya hanya kepada Allah swt penulis kembalikan semuanya, semoga

kita semua dalam Inayah dan hidayah Allah swt. Amin.

Ciledug, 22 April 2016

Ilyas

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

ABSTRAKSI iv

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI viii

TRANSLITERASI x

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah …….....……………………..…… 1

B. Identifikasi Masalah .............................................................. 7

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………... 8

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………….……………..... 9

E. Kerangka Teori Sejarah Lokal dan Gerakan Sosial .............. 9

F. Tinjauan Penelitian Terdahulu .............................................. 11

G. Metode Penelitian …………….………………………….... 14

H. Sistematika Penulisan …………………………………....... 15

BAB II MILLENARIANISME DALAM SEJARAH INDONESIA 17

A. Kepercayaan terhadap Mesianisme dan Millenarianisme ..... 17

B. Doktrin Mahdisme, Eskatologi Islam, dan Perang Sabil ...... 22

C. Konsep Ratuadilisme dalam Ramalan Jayabaya ................... 25

D. Kandungan Millenarian dalam Hikayat Muhammad

Hanafiyah ..........................................................................

30

E. Kandungan Millenarian dalam Kisah Pewayangan Arjuna .. 38

ix

BAB III SITUASI SOSIAL-POLITIK SEBELUM PERGERAKAN 43

A. Toponimi dan Letak Geografis Tangerang ……….…...…... 43

B. Tangerang sebagai Tanah Partikelir ……………………...... 48

C. Struktur Sosial Masyarakat .............................…………...... 52

D. Keadaan Ekonomi Masyarakat ............................................. 57

E. Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Masyarakat

Tangerang ............................................................................

61

BAB IV KONSEPSI MILLENARIAN DALAM PERGERAKAN

TANGERANG 1924

67

A. Kaiin Bapa Kayah: Dalang Wayang dan Pergerakan ........... 67

B. Ekspektasi Mesianik dalam Kepercayaan Masyarakat ......... 70

C. Visi Millenarian dalam Pergerakan ...................................... 74

D. Unsur Islam dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah ............... 80

BAB V PERGERAKAN MILLENARIAN TANGERANG 1924

SEBAGAI PROTES SOSIAL

87

A. Proses-proses Pergerakan ..................................................... 87

B. Faktor Kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah ............................. 92

C. Mobilisasi Pergerakan ............................................................ 94

D. Ideologi Pergerakan ............................................................... 98

E. Analisis Pergerakan ............................................................... 102

BAB VI PENUTUP 109

A. Kesimpulan .........………………………………………….. 109

B. Saran ...............…………………………………………….. 111

DAFTAR PUSTAKA 113

LAMPIRAN 121

x

TRANSLITERASI

Huruf Arab Nama Huruf Huruf Latin

alif a

ba b

ta t

ta marbutah t atau h

tsa ts

jim j

ha h

ca c

kha kh

dal d

dzal dz

ra r

zai z

sin s

syin sy

shad sh

xi

dhad dh

tho th

zho zh

‘ain ‘a

ghain gh

nga ng ڠ

fa f atau p

pa p

qaf q

kaf k

ga g ڬ

lam l

mim m

nun n

wau w, u, dan o

va v ۏ

ha bulat h

ya y, i, dan e

nya ny ڽ

xii

hamzah -

alif dengan hamzah di atas a, u

alif dengan hamzah di bawah i

ya dengan hamzah di atas -

lam alif La

Catatan:

Adapun untuk kata sambung yang menggunakan huruf alim dan lam

( ‎ ‎), baik qamariyah maupun syamsiyyah, transliterasinya tidak

dibedakan, serta‎ penulisannya‎menggunakan‎ tanda‎ strip‎ (-),‎misalnya:‎

Al-Qur'an.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan berbagai kebijakan

terkait dengan tanah jajahannya, di antaranya: Sistem Tanam Paksa

(Cultuurstelsel) yang diprakarsai oleh Gubernur Jenderal van den Bosch

(1830-1833) yang berakhir pada tahun 1870, kemudian dilanjutkan dengan

Sistem Liberal dari tahun 1870 sampai 1900, dan terakhir Sistem Etis yang

berlaku dari tahun 1900 sampai tahun 1942.1 Kebijakan pemerintah

kolonial Belanda terhadap kaum tani apa pun nama dan bentuknya, tetap

saja tidak mengangkat harkat dan martabat masyarakat pedesaan yang

sangat bergantung pada aset pertanian mereka, sebaliknya tenaga dan tanah

mereka menjadi ladang subur eksploitasi politik-ekonomi pemerintah dan

kroni-kroninya.

Penguasa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie atau disebut

Kompeni Belanda)2, pemerintah kolonial Belanda dan Inggris

memberlakukan tanah-tanah di bumi jajahannya sebagai hadiah kepada

orang-orang yang berjasa terhadap kepentingan mereka. Tanah-tanah ini

juga dijual kepada pengusaha dan birokrat kolonial, sehingga mereka

berhak mengelolanya secara utuh. Umumnya orang yang diberi hadiah atau

membeli tanah adalah orang-orang asing, terutama dari etnis Tionghoa.

Para pemilik tanah atau tuan tanah tersebut juga diberi hak keistimewaan

untuk mengelola tanah sekaligus penduduk yang bermukim di wilayah

tersebut, sehingga muncullah istilah „Tanah Partikelir‟.

Para petani yang telah lama bermukim di wilayah tanah partikelir

diperlakukan tidak adil, tenaga dan tanah mereka hanya dimanfaatkan

untuk kepentingan para tuan tanah, karena itu muncul ketidakpuasan

mereka terhadap penindasan ini. Sebelum abad ke-20 perjuangan melawan

penjajah di Indonesia masih dilakukan secara sendiri-sendiri, terutama

1 Suhartono W. Pranoto, Jawa: (Bandit-bandit Pedesaan) Studi Historis

1850-1942, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Cet. Ke-1, h. 2 2 Penjelasan Peter H. Van Der Brug tentang VOC adalah sebuah perusahaan

dagang Belanda, didirikan untuk melakukan perdagangan di wilayah-wilayah yang

disebut “indie”. Ketika VOC didirikan pada tahun 1602, Staten-General

memberikan kewenangan lebih kepada VOC untuk berperang, berunding,

membangun benteng, menjalankan otoritas sipil, yudisial, dan militer di koloni-

koloni Asia. Lihat Peter H. van der Brug, Batavia yang Tidak Sehat dan

Kemerosotan VOC pada Abad Kedelapan Belas, dalam Kees Grijns dan Peter J.M.

Nas, (Peny.), Jakarta Batavia Esai Sosio-Kultural, (Jakarta: Banana dan KITLV,

2000), h. 47-48

2

daerah pedesaan yang didominasi oleh kaum tani. Perlawanan para petani

dilakukan secara radikal3 terhadap pemerintah kolonial dan sekutunya.

Mereka menganggap kedua kelompok inilah yang paling bertanggung

jawab atas perubahan sosial di pedesaan yang semakin menghimpit

kehidupan dan lahan-lahan ekonomi yang mereka miliki sebelumnya,

Kata „perubahan sosial‟ menjadi mantra mujarab dari perlawanan

kaum tani dan kelompok rakyat miskin lainnya untuk mengembalikan

situasi kepada alam kebebasan dan kemandirian bangsa sendiri. Cita-cita

ini diwujudkan dengan mengadakan gerakan sebagai protes sosial dan

diperkuat oleh nilai-nilai keagamaan. Islam menjadi agama mayoritas kaum

tani, mereka memegang erat ajaran dan nilai-nilai keislaman sebagai

pedoman kehidupannya, karena itu sifat agama melekat pada aksi protes

terhadap kebijakan pemerintah „kafir‟ yang berkuasa. Masyarakat pribumi

umumnya marah terhadap perubahan sosial, karena perubahan itu telah

menggeser nilai-nilai agama plus perubahan kehidupan mereka yang

semakin susah. Sehingga gerakan-gerakan keagamaan berjuang dengan

cara revolusioner, karena bertujuan untuk mengadakan perubahan secara

mutlak dan radikal.4

Tanah partikelir Tangerang yang menjadi lokus kajian penelitian

tesis ini, tak luput pula dari pergerakan-pergerakan keagamaan. Ekspresi

kekecewaan kaum tani di Tangerang memicu terjadinya gerakan

perlawanan yang lebih besar pada tahun 1924. Pemantiknya adalah

persoalan kesenjangan penduduk pribumi yang telah lama menetap dan

memiliki tanah dengan kaum pendatang, khususnya etnis Tionghoa5 yang

bekerjasama dengan pemerintah untuk mengeksploitasi bumi mereka yang

sebelumnya berorientasi pada tanaman tradisional (traditional crops)

3 Sartono mengartikan „radikal‟ sebagai gerakan sosial yang menolak secara

menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral

yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang mempunyai hak-

hak istimewa dan yang sedang berkuasa. Dapat dimengerti bahwa radikalisme

menjadi suatu bagian dari gerakan Ratu Adil yang bersifat revolusioner.

Sedangkan pengikut dari gerakan-gerakan sosial yang radikal seperti itu terbatas

pada strata sosial rendahan, kaum yang tertindas atau orang-orang yang kurang

mampu. Lihat Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and

Development, dalam Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia, (London:

Cornell University Press, 1977), Cet. Ke-2, h. 73-4. 4 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, (ed.), Sejarah

Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Jilid IV, Edisi Pemutakhiran,

Cet. Ke-1, h. 426 5 Daerah Tangerang terbagi dalam sejumlah tanah partikelir, 30 persen

dikuasai kongsi Tionghoa, 30 persen dimiliki perorangan dari etnis Tionghoa, dan

40 persen dimiliki kaum pribumi. Lihat Yayasan Untuk Indonesia, Ensiklopedi

Jakarta, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemerintah Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2005), Buku III, h. 265

3

berubah menjadi tanaman komersial (commercial crops) secara besar-

besaran dan memaksa kaum tani menjadi semacam mesin-mesin penggerak

roda perekonomian kaum penjajah dan kroninya.

Selain faktor kesenjangan kehidupan antara pribumi dan pendatang

asing, pemicu lainnya adalah adanya berbagai macam pajak dan kerja

paksa kepada kaum tani, sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Nasional

IV: “Agitasi kaum petani yang timbul di tanah partikelir (particuliere

landerijen) sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan suatu

gejala historis dari masyarakat petani pribumi. Pada umumnya hampir

semua perlawanan atau kerusuhan yang terjadi di tanah partikelir

merupakan akibat dari adanya tuntutan pajak dan kerja rodi

(herendiensten) yang tidak adil terhadap kaum petani di daerah itu.”6

Perubahan sosial di pedesaaan turut mengubah tatanan nilai dan

perekonomian para petani. Sehingga mereka membandingkan kehidupan

masa lampau, dengan kehidupan baru mereka yang membuat posisi mereka

kian tersudut dan mengalami deprivasi.7 Untuk kasus yang dialami petani

Tangerang ini, termasuk dalam kategori deprivasi harta benda yang

berjamaah, karena tanah sebagai sumber penghasilan mereka sebelumnya

telah terampas oleh pendatang asing yang bersekutu dengan kaum penjajah

– yang mengeksploitasi bumi, jiwa dan raga kaum tani.

Untuk mengatasi masalah deprivasi yang dialami para petani,

mereka tidak mampu melawan secara fisik, akhirnya mereka hanya

berlindung dalam kepercayaan tradisional. Salah satu sumber pengetahuan

kaum pribumi dalam menghadapi persoalan hidup mereka adalah

kepercayaan akan datang suatu zaman kemakmuran di masa mendatang di

bawah panji sang juru selamat. Faktor deprivasi dan millenarian menurut

Michael Adas, tak akan berwujud pada aksi protes tanpa adanya tokoh

“kenabian” yang mempunyai legitimasi wahyu untuk mempersatukan

impian mereka.8 Senada dengan Adas, Sartono Kartodirdjo juga menyebut:

6 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, (ed.), op.cit, h. 400 7 Deprivasi menurut David F. Aberle dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

deprivasi terkait dengan harta benda, status, tingkah laku, dan kelayakan. Selanjutnya

deprivasi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni: personal (pribadi) dan

kelompok (kesukuan) atau kategori. Lihat Aberle, David, Catatan Mengenai Teori

Deprivasi-Relatif Sehubungan Dengan Gerakan Millenarian dan Gerakan Cult Lainnya,

dalam Sylvia L. Thrupp, (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in Revolutionary

Relegions Movements, (New York: Schocken Books, 1970), (terj), Gebrakan Kaum

Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 354-355 8 Michel Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the

European Colonial Order, (The University of North Carolina Press, 1979), (terj), Ratu

4

“Unsur pokok dari gerakan keagamaan adalah seorang pemimpin

keagamaan yang merupakan seorang prophet, atau guru, atau dukun, atau

tukang sihir atau utusan mesias. Pemimpin-pemimpin ini mengaku

diilhami oleh wahyu.”9 Optimisme masa depan yang dijanjikan pencetus

pergerakan menambah harapan millenarian (millenarian expectation) kaum

tani akan perubahan itu. Di sinilah mitos kedatangan Ratu Adil yang

dinantikan, mereka berharap munculnya tokoh karismatik yang akan

membawa ke zaman sempurna.

Di tanah Jawa dan umumnya hampir di seluruh Nusantara, sangat

populer sekali kepercayaan akan datangnya Ratu Adil (Sang Juru Selamat),

meskipun dengan varian dan nama yang berbeda. Tradisi tentang tokoh

pembebas tersebut muncul dalam sumber-sumber tertulis yang

meramalkan kedatangan juru selamat tersebut. Informasi mesianistik Jawa

terdapat dalam Ramalan Jayabaya, dan sekaligus sebagai sumber referensi

para tokoh pejuang, kaum pergerakan, pemimpin rakyat untuk memompa

semangat juang para pengikutnya demi mencapai harapan yang dicita-

citakan bersama.10

Selain tradisi millenarian, masyarakat petani juga memegang teguh

pada agama yang mereka anut, tak heran gerakan petani Tangerang juga

terkait dengan kepercayaan agama mereka. Gerakan keagamaan menurut

Sartono Kartodirjo, juga dikenal dengan beberapa istilah, yakni: “Gerakan

juru selamat (mesianisme), Ratu Adil (millenarianisme), pribumi

(nativisme), kenabian (prophetisme), penghidupan kembali (revitalisasi),

menghidupkan kembali (revivalisme).”11

Gerakan yang bersifat keagamaan ini banyak dilaporkan oleh para

pejabat kolonial kepada atasannya, karena berangkat dari prasangka

kesukuan dan islamofobia, mereka menggambarkan peristiwa yang

berskala lokal ini sebagai pemberontakan, huru-hara, dan mengganggu

stabilitas keamanan. Karena itu menurut Sartono, penggambaran peristiwa

ini menjadi keliru karena menganggap gerakan keagamaan bersifat politis

dan revolusioner.12

Begitu pula dengan reportase pejabat kolonial tentang gerakan

protes yang dipimpin Kaiin Bapak Kayah, dalam pandangan Kern apa

yang dicatat aparat birokratis pemerintah yang hanya melihat melalui

Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta:

Rajawali Press, 1988), h. 204 9 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta, Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1,

h. 13 10

Andjar Any, Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita, dan

Sabdopalon, (Semarang: Aneka Ilmu, 1989), h. 1 11

Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 10 12

Ibid

5

kacamata kolonial sebagai pengacau keamanan dan ditambah lagi dengan

embel-embel gerakan Ratu Adil sangatlah tidak adil, di sudut lain

penyebab atau akar masalah dari protes ini, seperti kesenjangan antara

penduduk pribumi dan pendatang, pertentangan kaum tani dengan pemilik

modal, serta adanya pajak dan eksploitasi tenaga dan tanah mereka hanya

dipandang sebelah mata.

Dalam tesis ini, pembahasan diarahkan kepada gerakan agama yang

bersifat millenarian. Millenarianisme atau kadang disebut milenarisme

adalah pandangan oleh kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau

politik tentang suatu transformasi besar dalam masyarakat dan setelah itu

segala sesuatu akan berubah ke arah yang positif. Sedangkan millenialisme

adalah suatu bentuk millenarianisme spesifik berdasarkan suatu siklus

seribu tahunan, dan ini khususnya sangat penting di lingkungan agama

kristen.13

Sebaliknya dalam pandangan Islam, menurut Marshall G.S

Hodgson, “Berbeda dalam millenialisme Islam, zaman sempurna itu

biasanya tidak dikatakan untuk masa seribu tahun.”14

Gerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah, yang juga berprofesi

sebagai Dalang Wayang, mengacu pada sumber-sumber tradisi yang tersiar

di zaman itu. Pengetahuan masyarakat banyak diperoleh dari mulut ke

mulut atau mendengar langsung dari tokoh pengantar shohibul hikayat atau

dalang yang menceritakan tentang pahlawan-pahlawan heroik dalam tradisi

lokal maupun tokoh-tokoh Islam dalam kisah-kisah impor.

Kegiatan mendengarkan cerita atau membaca kisah tertulis adalah

bagian dari hiburan masyarakat ketika itu. Adapun si pembawa kisah turut

juga menyampaikan pesan-pesan khusus di tengah-tengah cerita sebagai

suatu pelajaran bagi para pendengarnya. Karena itu pengajaran moral dan

agama banyak dituturkan melalui kisah dalam bentuk prosa atau puisi-

pantun sebagai salah satu alat untuk menyiarkan pesan tersebut. Khazanah

sastra yang terkait dengan hal ini, masih tersimpan sebagai warisan budaya

leluhur yang tak ternilai.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia banyak mengoleksi

budaya tertulis manuskrip warisan nenek moyang kita dari seluruh

Nusantara, di antara manuskrip yang berbicara mengenai mesianisme

Islam adalah naskah yang berjudul tentang Hikayat Muhammad

Hanafiyah, dimana isinya mengenai cerita keturunan dan keluarga Nabi

Muhammad. Salah satu keyakinan tentang kedatangan Imam Mahdi di

13

Isd-10-wb-23572-pelatihan-k3.com/id3/indonesia-belajar-

2609/Milenarianisme_1718 56_isd-10-wb-23572-pelatihan-k3.html, diakses pada

tanggal 10 Agustus 2015, Pukul 11: 55 WIB 14

Marshall G.S Hodgson, Sebuah Catatan tentang Millenium dalam Islam,

dalam Sylvia L. Thrupp, op.cit, h. 367

6

penghujung zaman dalam naskah ini dikaitkan dengan tokoh pahlawan

Islam, yang juga masih kerabat Nabi, yaitu Muhammad Hanafiyah. Kisah-

kisah heroiknya menginspirasi para penggerak revolusi untuk

membebaskan kaum pribumi dari ketertindasan dan untuk mewujudkan

zaman yang sempurna.

Ada juga naskah tentang Ramalan Jayabaya, yang menjadi rujukan

tentang kedatangan Ratu Adil, si Juru Selamat yang dijanjikan. Ramalan-

ramalan ini menjadi penyemangat para petani dan kaum papa (miskin)

untuk bergerak melawan keterasingan mereka di tanah airnya sendiri.

Semangat perlawanan itu, semata-mata ingin mengembalikan masa lampau

nan indah, yang telah terenggut oleh para pendatang asing yang menguasai

tanah dan berbuat semena-mena terhadap mereka.

Popularitas Ramalan Jayabaya, nampaknya menjadi perhatian

serius dari pemerintah kolonial, apalagi banyak munculnya aksi-aksi

protes, perlawanan, dan pemberontakan kaum pribumi diilhami dan

termotivasi dari Ramalan yang menjanjikan kedatangan seorang pahlawan

karismatik yang akan membawa mereka kepada zaman adil, makmur dan

sejahtera. Sebagai langkah preventif penguasa Belanda memerintahkan

studi terhadap Ramalan Jayabaya tersebut, seperti Stuart Abraham B.

Cohen,15

yang menulis tentang tokoh Ratu Adil bernama Eroe Tjakra. Dan

Jacob A.B Wiselius,16

dengan judul “Djaja Baja, Zijn Leven en

Profetieen” (Jayabaya, Hayat dan Ramalannya). Namun penelitian yang

dilakukan sarjana Barat tersebut belum menemukan “mustika” yang

terkandung dalam ramalan, karena apa yang mereka kaji masih terbatas

pada apa yang tersurat saja bukan pendalaman kajian yang tersirat, hal ini

menurut Andjar Any, “Background history yang berlainan akan

membuahkan hasil yang berlainan pula”.17

Kisah pewayangan turut juga menginspirasi pergerakan Kaiin Bapa

Kayah di Tangerang, cerita dalam dunia pedalangan khususnya tema para

Pandawa banyak sekali termaktub dalam manuskrip-manuskrip yang

tersimpan di Perpustakaan Nasional. Kisah para Pandawa disadur dari

kebudayaan India yang sudah bercampur dengan tradisi Islam, sehingga

nilai-nilai yang terkandung juga mengalami asimilasi kebudayaan. Hampir

semua dalang pasti mampu membawakan kisah-kisah para Pandawa,

karena itu Kaiin Bapa Kayah yang juga berprofesi sebagai dalang sangat

menguasai dan paham tentang falsafah dari tokoh-tokoh pewayangan ini.

15

Stuart Abraham B. Cohen, “Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en

Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88 16

Jacob A.B Wiselius, “Djaja Baja, Zijn Leven en Profetieen”, Bijdragen

tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No. 19, 1872, h. 172-217 17

Andjar Any, op.cit, h. 1

7

Salah satu kisah pewayangan yang terekam dalam sumber tertulis

adalah karya Muhammad Bakir Syafi‟an bin Usman Fadhli dari

Pecenongan (Jakarta)18

, yang berjudul Hikayat Asal Mulanya Wayang

yaitu Turun Temurunnya Pandawa. Dalam kolofon naskah tersebut,

disebutkan kisah tersebut selesai ditulis pada 6 Agustus 1890.19

Adapun

salah satu tokoh utama Pandawa di antaranya adalah Arjuna, dimana tokoh

ini menginspirasi Kaiin Bapa Kayah dalam Protes Sosialnya, bahkan ia

menjuluki dirinya dengan nama “Arjuna” sebagai penguat dari pergerakan

millenariannya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti

mengidentifikasi permasalahannya adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat pribumi di Tangerang, secara kuantitas mengungguli

kelompok masyarakat pendatang asing (Tionghoa, Arab, dan Eropa).

Namun faktanya secara kualitas, dalam kehidupan ekonomi dan politik,

mereka tertinggal jauh.

2. Masyarakat pribumi, mayoritas berprofesi sebagai petani penggarap.

Kehadiran mereka di Tangerang mewarisi orang tuanya secara turun

temurun, tetapi tidak dalam hal kepemilikan tanah. Kebijakan

pemerintah dalam status tanah partikelir, mengakibatkan petani pribumi

tidak bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri.

3. Kesenjangan ekonomi, status sosial, dan hak politik – mewarnai

kehidupan masyarakat asli Tangerang berhadap-hadapan dengan orang-

orang asing yang merajai dalam segala bidang.

4. Keadaan hidup kaum pribumi yang semakin menghimpit mereka,

mengakibatkan terjadinya frustasi. Cara-cara tradisional, dianggap

sebagai jalan keluar untuk mereka dapat lewati. Kepercayaan

tradisional, meyakini kepada kedatangan sosok pembebas (Ratu Adil

atau sejenisnya), yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik di masa

depan.

18

Muhammad Bakir Syafi‟an adalah salah satu tokoh yang berprofesi sebagai

penulis hikayat dan karya-karya prosa lainnya. Naskah-naskah tersebut diperjualbelikan

dan juga disewakan untuk dibaca oleh para penyewa. Beliau berdomisili di Kampung

Langgar Tinggi, Pecenongan. 19 Naskah tersebut tersimpan dalam katalog Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia dengan Nomor Panggil ML. 241, terdapat pula informasi dalam katalog tentang

riwayat kisah yang disampaikan oleh seorang dalang dari Kampung Pejagalan kepada

penulis di Pecenongan. Lihat Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta,

Bunga Rampai Sastra Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI

Jakarta, 2002), h. 13

8

5. Umumnya tokoh gerakan millenarian, berprofesi sebagai agamawan

(kyai, ustadz, atau ahli kebatinan). Dalam peristiwa Tangerang 1924,

yang menjadi lokomotif pergerakan justru berbeda dengan tokoh-tokoh

meanstream dalam gerakan tersebut. Justru pencetus protes sosial di

Tangerang tersebut memiliki latar belakang sebagai Dalang Wayang.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini agar tidak melebar terlalu jauh, maka peneliti

membatasi fokus kajiannya dengan hanya menampilkan tempat peristiwa

berlangsung dan daerah-daerah yang menjadi penyokong utama gerakan

Kaiin Bapa Kayah. Bila ditinjau dari peristiwa ini daerah geografisnya

hanya meliputi daerah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, tetapi

secara kebudayaan juga dipengaruhi oleh Melayu-Betawi (Jakarta).

Meskipun dalam pengertian moderen, wilayah Tangerang dan Jakarta

berada pada provinsi yang berbeda.20

Selain pembatasan geografis peristiwa, penulis juga membatasi

permasalahan sekitar pengharapan millenarian (millenarian expectation)

petani Tangerang studi kasus Peristiwa Tangerang yang terjadi pada tahun

1924, yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan protes

sosial terhadap penindasan (zulm) pemerintah kolonial Belanda dan

sekutunya (tuan tanah Tionghoa dan pejabat birokratik pribumi).

Memperhatikan permasalahan yang ada cukup kompleks, maka

dalam melakukan penulisan ini perlu adanya perumusan yang lebih rinci

sehingga pembahasannya lebih terarah. Perumusan yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

1. Apa faktor pendorong Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan protes

sosial?

2. Apakah konsep millenarian yang digunakan oleh Kaiin Bapa Kayah

untuk melakukan protes sosial?

3. Bagaimana impian millenarian Kaiin Bapa Kayah mempengaruhi

masyarakat petani Tangerang untuk mengikuti pergerakan?

20

Taufik Abdullah menegaskan dalam pembatasan yang bersifat geografis dan

administratif perlu diperhatikan, “Dari sudut geografis maka kita berhadapan dengan soal-

soal ekologis, sedang secara administratif kita akan menghadapi kemungkinan selalu

berubahnya „perbatasan‟ itu sebagai akibat peralihan pertimbangan politik.” Lihat Taufik

Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press,

1979), h. 321

9

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang pergerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah

sebagai protes sosial kaum tani Tangerang, bertujuan untuk:

1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya protes

sosial petani Tangerang.

2. Memahami konsep millenarian yang digunakan Kaiin Bapa Kayah

untuk melakukan gerakan protes.

3. Mengetahui apakah gerakan Kaiin Bapa Kayah terkait juga dengan

paham ratuadilisme (mesianisme) yang berkembang di Indonesia saat

itu.

Sedangkan kegunaan penelitian tesis ini adalah:

1. Menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, teoritisi, mahasiswa dan

tokoh masyarakat, dalam pengembangan studi sejarah khususnya

tentang pergolakan-pergolakan yang diwarnai dengan unsur-unsur

mesianistik dan juga sebagai acuan untuk menghadapi kondisi sosio-

ekonomi dan politik bangsa yang sedang mengalami cobaan (zaman

Kaliyuga dalam istilah mitos ramalan Jayabaya) untuk dapat kita hadapi

dengan usaha-usaha yang lebih rasional dan moderen.

2. Sebagai bahan kajian kepustakaan (library research) dan studi lanjutan

bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya jurusan

Sejarah dan Kebudayaan Islam.

3. Berguna bagi pemerintah daerah khususnya Kabupaten Tangerang dan

Kota Tangerang untuk mengetahui sejarah lokal dan tokoh

pahlawannya, serta menghargai jasa-jasa mereka.

4. Menjadi landasan pengambilan kebijakan pemerintah khususnya yang

terkait dengan konflik agraria, gerakan millenarian, dan mesianisme.

E. Kerangka Teori Sejarah Lokal dan Gerakan Sosial

Objek kajian penelitian tesis ini adalah Peristiwa Tangerang 1924

yang dipimpin oleh seorang dalang, Kaiin Bapa Kayah, yang merupakan

bagian dari sejarah mikro, dan masuk dalam ranah sejarah lokal, di mana

tercakup di dalamnya kesatuan wilayah berdasarkan unsur geografis atau

etnis-kultural di lokasi peristiwa, melampaui batas wilayah administratif

zaman moderen.

Ruang lingkup sejarah lokal yang kecil yang terjadi di suatu

wilayah desa atau bahkan lebih kecil dari itu, membuat orang

mengkerdilkan peristiwa sejarah dalam tingkat ini. Karena itu, menurut

10

Sartono Kartodirdjo perlulah sejarah lokal diberi pemahaman kepada

khalayak tentang unsur pemaknaannya yang dapat juga berpengaruh secara

lebih luas dalam skala nasional, dengan demikian sejarah lokal yang

bersifat mikro dapat terhubung dengan konteks makro.21

Pengertian Sejarah Lokal menurut Taufik Abdullah bukanlah

sejarah daerah atau regional, karena itu istilah “lokal” dianggap lebih

netral. “Pengertian kata lokal tidak berbelit-belit, hanyalah „tempat, ruang‟.

Jadi „sejarah lokal‟ hanyalah berarti sejarah dari suatu „tempat‟, suatu

„locality‟ yang batasannya ditentukan oleh „perjanjian‟ yang diajukan

penulis sejarah.”22

Pembatasan geografis dalam sejarah lokal bisa suatu tempat tinggal

suku bangsa yang dalam pengertian terkini sudah berbeda daerah

administratifnya atau bahkan menyempit hanya dalam lingkup satu desa

saja. Hal ini diutarakan oleh Taufik Abdullah dengan mengutip pernyataan

H.P.R. Finberg dan V.H.T. Skipp “Sebagai kisah di kelampauan dari

kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada „daerah

geografis‟ yang terbatas.”23

Dalam hal tersebut di atas, maka pendekatan linguistik pada

penelitian sejarah untuk mengungkap bahasa dan budaya suku bangsa yang

mendiami suatu geografi tertentu menjadi suatu keharusan. Sebagaimana

dikatakan Kuntowijoyo, “Analisa penggunaan bahasa di lapangan perlu

dirunut penggunaannya secara empiris dalam kajian mengenai sejarah

pemakaian bahasa melalui koran, majalah, penerbitan, bahkan

manuskrip.”24

Karena itu, peneliti juga menggunakan jasa dari

penelitiannya Multamia R.M.T Lauder, tentang Pemetaan dan Distribusi

Bahasa-bahasa di Tangerang,25

untuk menemukan latar budaya dan

pemahaman gerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah dalam protes sosialnya

di Tangerang pada tahun 1924.

Pergerakan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah, dalam

beberapa kategori dapat digolongkan sebagai gerakan sosial, meski pun

teori mengenai gerakan sosial baru muncul belakangan. Berikut ini adalah

definisi-defenisi gerakan sosial yang dikutip oleh Ihsan Ali Fauzi:

21 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 74 22 Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas

Gadjah Mada Press, 1979), h. 11-12. Lebih lanjut lihat H.P.R. Finberg dan V.H.T. Skipp,

Local History: Objective and Pursuit, (Newtown Abbot: David Charles, 1973), h. 14-15 23 Ibid 24 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,

1994), Cet. Ke-1, h. 122 25 Multamia R.M.T. Lauder, Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di

Tangerang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993)

11

pendapat Michael Useem, adalaha “Tindakan kolektif terorganisasi, yang

dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial.”26

“... John McCarthy dan Mayer Zald melangkah lebih rinci, dengan

mendefinisikan gerakan sosial sebagai “upaya terorganisasi untuk

mengadakan perubahan di dalam distribusi hal-hal apa pun yang bernilai

secara sosial”. Sedangkan Charles Tilly menambahkan corak

perseteruan (contentious) atau perlawanan di dalam interaksi antara

gerakan sosial dan lawan-lawannya...“Soal pendefinisian ini, saya

lebih cenderung mengikuti David Meyer dan Sidney Tarrow,

dalam karya mereka Social Movement Society (1998). Keduanya

memasukkan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan

sebuah definisi yang lebih inklusif tentang gerakan sosial, yakni:

“Tantangan-tantangan bersama, yang didasarkan atas tujuan dan

solidaritas bersama, dalaminteraksi yang berkelanjutan dengan

kelompok elite, saingan

atau musuh, dan pemegang otoritas”27

Teori Gerakan Sosial, digunakan dalam analisis aktivisme Islam di

Indonesia dan dunia Islam pada umumnya muncul dari kekhawatiran Barat

terhadap bahaya kebangkitan Islam. Kacamata Orientalis digunakan

sebagai investigasi terhadap tradisi, budaya, dan sifat agama kaum pribumi

– yang mengancam kekuasaan politik dan ekonomi di negara koloninya.28

Peminjaman teori ini, digunakan untuk dapat memahami, aspek di balik

gerakan millenarian yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah pada peristiwa

Tangerang 1924.

F. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang Perlawanan Petani Tangerang yang dipimpin oleh

Kaiin Bapa Kayah, pernah menjadi pembahasan skripsi yang ditulis

26 Ihsan Ali Fauzi, Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya “Orang Luar” dan

“Orang Dalam”, dalam Quintan Wiktorowicz, (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori

Gerakan Sosial, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama

Republik Indonesia, 2007), h. 2 27 Quintan Wiktorowicz, (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial,

(Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama Republik

Indonesia, 2007), h. 4 28 Charles Kurzman, Teori Gerakan Sosial dan Studi-studi Islam, dalam Quintan

Wiktorowicz, (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta: Balai

Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), h.

363-374

12

oleh Mukhlishah, mahasiswi jurusan Sejarah dan Peradaban Islam

(angkatan tahun 2000), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis pada

tahun 2005. Adapun judul tulisannya adalah “Peranan Kaiin Bapak Kayah

dalam Gerakan Sosial Petani Tangerang terhadap Dominasi Cina Tahun

1924”.29

Skripsi tersebut menggambarkan latar belakang Kaiin Bapak

Kayah untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi etnis Tionghoa,

yang terangkum dalam bab III.30

Kemudian pada bab IV digambarkan

peristiwa meletusnya pemberontakan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa

Kayah di wilayah Tangerang pada tahun 1924.31

Apa yang diteliti oleh

Mukhlishah, hanya fokus pada peristiwa perlawanan petani Tangerang

terhadap dominasi etnis Tionghoa, tidak menyentuh aspek millenarian dari

pergerakan ini. Namun begitu, peneliti banyak mendapatkan informasi

yang dibutuhkan untuk ditelusuri lebih lanjut, khususnya tentang peristiwa

Tangerang 1924 yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah.

Penelitian kedua, terkait tentang gerakan sosial Kaiin Bapa Kayah

di tanah Partikelir Tangerang, pernah termuat dalam sub-bab IV buku

“Sejarah Kabupaten Tengerang”, yang ditulis oleh M. Dien Majid, Nana

Suryana, dan Darmiati.32

Di dalam buku ini terungkap motif-motif para

penggerak perlawanan petani Tangerang, adalah karena kecemburuan

sosial kaum pribumi dengan para pendatang asing (khususnya etnis

Tionghoa), tuan tanah, pegawai pemerintah kolonial, dan pemerintah

kolonial Belanda – yang telah membatasi ruang gerak kaum pribumi dalam

pemanfaatan sumber-sumber ekonomi di tanah airnya sendiri. Selain faktor

tersebut, dua hal lain yang menyebabkan perlawanan ini mendapat tempat

di kalangan petani adalah karena tersiarnya kepercayaan tentang Ratu Adil

yang akan menyelamatkan umat manusia dari keterpurukan dan

kesengsaraan. Kemudian faktor munculnya gerakan moderen, yang

ditandai dengan dibukanya organisasi Sarekat Islam di Tengerang yang

memberikan pengaruh pada tingkat akar rumput, karena kesamaan

perjuangan dengan kehidupan aktual para petani dan kaum pribumi.

Tulisan ketiga muncul lebih dahulu dari pada penelitian di atas,

yakni apa yang pernah diangkat oleh Didi Suryadi dalam Seminar Nasional

Sejarah ke-3 tahun 1981. Didi menulis tema perlawanan Petani pimpinan

Kaiin Bapa Kayah dengan judul “Pemberontakan Petani di Tangerang,

1924”. Semua hasil penelitian dalam Seminar tersebut sudah dikumpulkan

29 Mukhlishah, Peranan Kaiin Bapak Kayah dalam Gerakan Sosial Petani

Tangerang terhadap Dominasi Cina tahun 1924, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005) 30 Ibid, h. 40-66 31 Ibid, h. 67-97 32 M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah

Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian

Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Syaikh Yusuf, 1992), h. 79-91

13

oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan menjadi sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1982. Hasil

penelitian Didi Suryadi, mengungkap sisi lain keterkaitan pergerakan

dengan latar belakang sosial ekonomi dan pengaruh organisasi Sarekat

Islam.33

Selain itu dibahas pula profil tokoh utama dan para pengikut

pergerakan, serta rencana aksi protes34

yang dideskripsikan tanpa

menampilkan secara gamblang unsur millenarian dalam gerakan pimpinan

Bapak Dalang Kaiin, bahkan dalam kesimpulan tulisannya, Suryadi

mengutip pernyataan R.A Kern, bahwa pemberontakan ini bermotif

ekonomi dan politik sebagai faktor yang dominan untuk menggerakan para

Petani, yang tidak menjadi tuan di tanahnya sendiri, untuk melakukan aksi

protes. Didi Suryadi juga memberi benang merah bahwa pemberontakan

petani Tangerang, mendapat pengaruh juga dari organisasi Sarekat Islam

yang telah membuka perwakilannya di Afdeling Tangerang pada tahun

1915, sehingga organisasi ini menanamkan benih-benih nativisme.35

Tulisan Didi ini turut mengilhami penelitian lebih lanjut tentang konsepsi

millenarian dan mesianisme yang berkembang saat itu, yang juga

menginspirasi gerakan Kaiin Bapa Kayah.

Adapun penelitan keempat, yang terkait dengan gerakan

millenarianisme, peneliti mendapatkan informasi dari Sartono Kartodirjo

dalam bukunya yang berjudul Ratu Adil.36

Di sini, Sartono

mengelompokkan pemberontakan Petani Tangerang yang dikomandoi

Kaiin Bapa Kayah sebagai gerakan keagamaan yang bersifat mesianistis.

Namun, sayangnya apa yang ditulis oleh Guru Besar Sejarah Universitas

Gadjah Mada tersebut, tidak banyak mendeskripsikan secara utuh peristiwa

Tangerang 1924, hanya sekelumit informasi dari beberapa kisah yang

digambarkan, dan kasus yang ditampilkan tidak spesifik merujuk kepada

peristiwa Tangerang saja,37

di dalam buku tersebut Kartodirjo juga

memberikan uraian global tentang tiga contoh lain, sejarah perlawanan

kaum pribumi yang memakai simbol Ratu Adil sebagai tokoh mesianistis

untuk melakukan pergerakan.38

33 Didi Suryadi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan artikel

Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan terhadap Belanda 2, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek

Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982), h. 58-60 34 Didi Suryadi, Ibid, h. 60-66 35 Didi Suryadi, Ibid, h. 66-67 36 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit 37 Ibid, h. 25-27 38 Peristiwa pertama tentang Gerakan Nyi Aciah (1870-1871) di Sumedang

(Priangan) seorang yang diyakini dapat menyembuhkan bermacam penyakit dan

memberikan harapan millenarian akan datangnya Kerajaan Sunda. Kedua, Gerakan Kobra

(Jumadilkubra) yang terjadi di daerah Pekalongan dan Banyumas pada tahun 1871,

14

Berdasarkan tinjauan penelitian di atas, maka peneliti ingin mengisi

kekosongan dari para peneliti sebelumnya tentang Gerakan Kaiin Bapa

Kayah dalam Peristiwa yang terjadi pada tahun 1924. Aspek

millenarianisme dari gerakan Kaiin Bapa Kayah, belum secara fokus

dibahas para peneliti tersebut. Selain faktor ekonomi, politik, dan sosial –

mitos Ratu Adil inilah menjadi faktor dari beberapa penyebab bersatunya

masyarakat untuk melawan atas ketidakadilan dan kelaliman tuan tanah

dan penguasa kolonial.

G. Metode Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian perlu ditentukan objek penelitiannya,

adapun objek kajian tesis ini adalah Gerakan Millenarian Kaiin Bapa

Kayah yang membangkitkan protes sosial Petani Tangerang pada tahun

1924. Dan metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini

adalah metode penelitian sejarah39

dengan pendekatan multidimensional40

.

Adapun langkah-langkah penelitian sejarah yang dilakukan adalah

sebagai berikut: pertama, heuristik (bahasa Yunani, heuristiken), yaitu

menemukan atau mengumpulkan sumber.41

Sumber penulisan tesis ini

diperoleh dari arsip kolonial Belanda abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang

tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan manuskrip

koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang terkait

dengan millenarianisme atau mahdisme sebagai sumber primer. Sedangkan

data sekunder diperoleh dari buku terbitan, majalah, surat kabar yang

terdapat pada perpustakaan umum maupun pribadi, serta sumber internet

yang relevan.

Kedua, Kritik Sumber, semua data yang terkumpul sebagai sumber

penelitian tersebut selanjutnya dikritik baik dari sudut pandang interen

maupun eksteren. Kritik interen dilakukan agar sumber yang didapatkan

dengan tokoh utama yang bernama Achmad Ngisa yang pengikutnya juga dari pelbagai

lapisan penduduk, termasuk para pegawai negeri dan para bangsawan. Ketiga, peristiwa

yang dipimpin oleh Jasmani di Kediri, seorang lulusan pesantren yang pernah bermukim di

rumah seorang guru keramat yang bernama Amat Mukiar yang mengaku bakal menjadi

Panembahan (Bupati) dan anak didiknya menjadi Ratu Adil Igama di sebuah kerajaan Sultan

Adil yang akan berdiri pada akhir tahun Jawa, di Birowo, Kewedanan Lodoyo. Lihat

Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Ibid, h. 19-27 39 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), h. 89-122 40 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama, 1993) 41 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta:

Prenada Media Grup, 2014), Cet. Ke-1, h. 219

15

memenuhi kelayakan dan kredibel. Sumber dianggap mampu

mengungkapkan kebenaran suatu peristiwa, apabila memenuhi

kemampuan meliputi kompetensi, kedekatan, atau kehadiran sumber dalam

peristiwa sejarah.42

Sedangkan kritik eksteren adalah tahapan dimana

sumber diuji keabsahan dan autentifitasnya. Kritik terhadap keaslian atau

salinan sumber yang diketemukan menjadi sebuah keharusan dalam

penelitian sejarah, karena dengan langkah ini setidaknya peneliti dipandu

untuk berhati-hati terhadap orisinalitas sumber sejarah.

Langkah penelitian setelah kritik, yaitu Interpretasi, dimana

kegiatan ini dilakukan setelah fakta-fakta disusun. Menurut M. Dien

Madjid dan Johan Wahyudhi, “fakta-fakta sejarah yang berhasil

dikumpulkan belum banyak bercerita. Fakta-fakta tersebut harus disusun

dan digabungkan satu sama lain sehingga membentuk cerita peristiwa

sejarah”.

Selanjutnya yang keempat, yaitu Historiografi (penulisan sejarah).

Dalam metode penelitian sejarah, historiografi adalah langkah terakhir

dalam penelitian sejarah. Dudung Abdurrahman yang dikutip oleh M. Dien

Madjid dan Johan Wahyudhi, “Penulisan sejarah (historiografi) merupakan

cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang

telah dilakukan.”43

H. Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan tentang pergerakan millenarianisme Kaiin

Bapa Kayah, penulis membagi tiga faktor tersampaikannya ide-ide revolusi

Kaiin Bapa Kayah kepada para pengikutnya untuk melakukan perlawanan

terhadap kolonialisme bangsa penjajah. Pertama, faktor ideologi yang

mempengaruhi aksi perlawanan ini, melalui doktrin keagamaan

(mahdisme) dan tradisi lokal (ramalan Jayabaya) yang menjanjikan

kedatangan kemajuan (kertayuga) setelah melewati beberapa krisis

(kaliyuga) ditandai dengan kedatangan sang pembebas Ratu Adil dan juga

referensi lokal (hikayat Muhammad Hanafiyah dan Hikayat Arjuna dalam

kisah pewayangan) yang menginspirasi pergerakan. Pembahasan ini

penulis tuangkan dalam bab II. Kedua, faktor keadaan ekonomi, sosial, dan

politik, yang secara khusus dibahas dalam bab III. Ketiga, faktor internal,

yakni faktor yang mempengaruhi perlawanan masyarakat terhadap

kolonialisme bangsa penjajah, melalui dalam diri atau pribadi sang tokoh

pembebas (Kaiin Bapa Kayah) yang mengasosiasikan dirinya dengan

42 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ibid, h. 223-224 43 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ibid, h. 230-231

16

tokoh mesianistis dan turun wahyu kepadanya untuk melakukan aksi

perlawanan, proses pergerakan, mobilisasi, dan praktik ideologi

pergerakan. Pembahasan lebih lanjut penulis tuangkan ke dalam bab IV

dan bab V.

Untuk memudahkan penulisan tesis ini, maka penulis membagi atas

lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : Bab ini adalah Pendahuluan terdiri dari; Latar Belakang

Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan

Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori

Sejarah Lokal dan Gerakan Sosial, Tinjauan Penelitian

Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB III : Bab ini membahas tentang Millenarianisme dalam Sejarah

Indonesia meliputi; pertama Kepercayaan terhadap

Mesianisme dan Millenarianisme. Kedua, Doktrin Mahdisme,

Eskatologi Islam, dan Perang Sabil. Ketiga, Konsep

Ratuadilisme dalam Ramalan Jayabaya. Keempat, Kandungan

Millenarian dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Kelima,

Kandungan Millenarian dalam Kisah Pewayangan Arjuna.

BAB III : Bab ini membahas Situasi Sosial Politik Sebelum Pergerakan

yang mencakup di dalamnya; Toponimi dan Letak Geografis

Tangerang, Tangerang sebagai Tanah Partikelir, Struktur

Sosial Masyarakat, Keadaan Ekonomi Masyarakat dan

Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Masyarakat

Tangerang.

BAB IV : Bab ini membahas Konsepsi Millenarian dalam Pergerakan

Tangerang 1924, yang meliputi pembahasan; Kaiin Bapa

Kayah: Dalang Wayang dan Pergerakan, Ekspektasi Mesianik

dalam Kepercayaan Masyarakat, Visi Millenarian dalam

Pergerakan, Unsur Islam dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah.

BAB V : Bab ini membahas Pergerakan Millenarian Tangerang 1924

sebagai Protes Sosial, dengan pokok pembahasan; Proses-

proses Pergerakan, Faktor Kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah,

Mobilisasi Pergerakan, Ideologi Pergerakan, dan Analisis

Pergerakan.

BAB VI : Bab ini adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Penulis mencantumkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran sebagai

bahan pendukung penulisan tesis berdasarkan data dan fakta yang akurat.

17

BAB II

MILLENARIANISME DALAM SEJARAH INDONESIA

Bila kita mendalami sejarah lokal di suatu daerah, tentunya

mendalami kehidupan budaya dan pengetahuan mereka yang menjadi jiwa

zaman pada waktu itu perlu dipahami. Tangerang adalah suatu daerah

otonom di era moderen, tapi berbeda di zaman lampau, bila merujuk kepada

alam geografisnya, maka diketahuilah sebelum berdiri menjadi daerah

kabupaten dan kota, Tangerang berada dalam pengaruh beberapa kerajaan

dan suku bangsa.

Keberadaan pengaruh budaya dan kepercayaan luar, terutama Betawi,

Jawa dan Sunda mendominasi alam kehidupan masyarakat Tangerang.

Dalam hal ini penulis ingin menarik garis kepercayaan masyarakat lokal

kepada sebuah mitos millenarian, dimana referensi kebudayaannya

bersumber dari keyakinan pada Ramalan Jayabaya, seorang Raja Jawa yang

mempunyai keahlian melihat masa depan dengan perwujudan kehadiran

seorang tokoh pembebas Ratu Adil sebagai penantian akan terlepasnya

kesulitan dan kesangsaraan rakyat Jawa.

Sedangkan bila dilihat jumlah penganut Islam di wilayah Tangerang,

merupakan yang terbesar dan menjadi mayoritas agama yang dianut oleh

penduduk asli maupun pendatang. Maka referensi atas kepercayaan tokoh

millenarian dalam Islam bersumber kepada kepercayaan Mahdisme, dimana

tokoh Imam Mahdi menjadi sentrum atas simbol pembebasan dari

keterenggutan masyarakat, kehinaan duniawi yang menyengsarakan mereka.

Atas dasar inilah, maka di bawah ini penulis perlu menjelaskan

referensi lokal dan agama Islam yang memengaruhi keyakinan tradisional

masyarakat Tangerang dan mampu menggerakkan perlawanan.

A. Kepercayaan terhadap Mesianisme dan Millenarianisme

Kepercayaan tentang kedatangan Mesiah (juru selamat), muncul

sebelum periode kedatangan agama Nasrani yang dibawa oleh Nabi Isa AS,

artinya mesianisme sebagai keyakinan sudah dianut oleh kaum Yahudi, hal

ini berdasarkan pada sebuah ajaran dalam kitab Perjanjian Lama yang

meramalkan kedatangan juru selamat untuk mengembalikan situasi mapan

sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Daud AS saat memimpin

kerajaannya, adapun tokoh yang dinantikan itu muncul dari garis keturunan

Nabi Daud. Dalam suatu redaksi Perjanjian Lama yang berbeda, diyakini

pula Mesiah lahir ke dunia ini melalui keajaiban seorang perempuan suci

yang tak bersuami, bernama Maryam. Anak yang dilahirkan Maryam

18

tersebut, diberi nama Isa. Banyak orang yang menaruh harapan kepada Isa,

ketika diangkat menjadi nabi dalam usia 30 tahun, untuk menjadi penyelamat

kaum mereka.1

Menurut HM Rasyidi (Mantan Menteri Agama) dalam Majalah

Prisma, keyakinan tentang Al-Masih (dalam bahasa Arab), Mesiah (bahasa

Ibrani) yang berasal dari kata “Mashiah”, sama artinya dengan “Christos”

(dalam istilah Latin) – yakni bermakna orang yang diusapi dengan minyak

kasturi. Artinya manusia pilihan yang dimuliakan atau juru selamat.2

Senada dengan itu, buku berjudul The Messianic Legacy, juga

memberikan garis lurus tentang pengertian Mesias:3

“...‟Mesias‟ kurang lebih berarti „yang diurapi‟ (sic: diurapi dengan

minyak, sebagai manusia pilihan). Dengan kata lain, ia mengacu pada raja

yang sudah sewajarnya dikuduskan dan raja kudus yang mendapatkan

dukungan. Setiap Raja Israel dipandang sebagai Mesias. Istilah itu sudah

biasa diterapkan pada Daud dan pengganti Daud, mulai dari Raja Salomo

dan seterusnya. „Setiap Raja Yahudi dari Keluarga Raja Daud dikenal

sebagai Mesias, atau Kristus, dan cara yang biasa untuk memaksudkannya

sebagai Imam Kepala adalah „Mesias Imam‟...”

Namun demikian, terdapat perbedaan pemahaman di antara

cendikiawan Kristen sendiri. Awalnya kebanyakan memahami status Mesias,

sebagai tokoh nonpolitik (bukan pemimpin kerajaan), pribadi yang menjadi

panutan dalam dunia spiritual Kristen, sebaliknya lebih jauh dari itu, yakni

memandang otoritas duniawi hanya bersifat sementara, kerajaan yang bukan

dunia merupakan tujuan akhirnya.4

Klaim tersebut dipatahkan oleh pendapat lain, sebagaimana dikutip

dari Michael Baigent dan kawan-kawan:5

“... Dewasa ini hanya segelintir sejarawan bidang itu akan

memperdebatkan bahwa Mesias yang dinantikan dalam era Yesus adalah

sepenuhnya tokoh politik, yang berniat melepaskan orang Israel dari

Belenggu penjajahan Roma. Yudaisme pada saat itu tidak mengakui

perbedaan antara agama dan politik. Sampai pada tahap bahwa raja yang

benar itu diberikan mandat sekaligus dikukuhkan oleh Allah, maka aktivitas

politiknya terselubung dalam lingkaran cahayanya yang religius...”

1 Rasyidi, “Imam Mahdi dan Harapan akan Keadilan”, Prisma, Januari 1977, No. I.

Tahun VI, h. 45 2 Rasyidi, Ibid, h. 45 3 Michael Baigent et.al., (Terj.), The Messianic Legacy: Warisan Abadi Seorang

Mesias, (Jakarta: Ramala Books, 20017), Cet. Ke-1, h. 49 4 Ibid, h. 51 5 Ibid, h. 52

19

Kedatangan Nabi Isa AS di hari akhir untuk menaklukkan Dajjal

dalam mahdisme6 dan eskatologi Islam, juga dikenal sebagai pengetahuan

tersendiri. Tetapi itu bukan doktrin utama, eskatologi Islam lebih

memandangnya sebagai keyakinan akan adanya hari kiamat, sesuai dengan

rukun Iman dalam ideologi Islam.

Gerakan mesianisme di Jawa, umumnya juga bersifat millenarian.

Tokoh juru selamat (mesiah) dalam hal ini juga dikaitkan dengan unsur

millenarian (millenium) atau abad keemasan. Untuk mewujudkan harapan

millenarian, maka kemunculan Sang Juru Selamat, yang akan menjadi

penguasa adil, pembawa perdamaian dan kemakmuran sandang dan pangan

menjadi prasyarat kemajuan zaman yang dinantikan tersebut. Salah satu

kepercayaan mesianisme Jawa adalah merujuk kepada datangnya Ratu Adil,

Raja Kebenaran yang akan membebaskan orang dari penyakit, kelaparan, dan

setiap kejahatan. Kedatangannya akan didahului oleh bencana-bencana alam,

penurunan martabat, kemelaratan dan penderitaan.7

Konsep Millenarianisme dikonstruksi dari kepercayaan kaum Nasrani,

yang meyakini adanya tokoh pembaharu dalam siklus seribu tahunan8 –

dalam hal ini Isa dianggap representasi Al-Masih atau Juru Selamat yang

dijanjikan dalam Perjanjian Lama. Sedangkan dalam pandangan Islam,

sebagaimana dikatakan Marshall G.S Hodgson, “Berbeda dalam

millenialisme Islam, zaman sempurna itu biasanya tidak dikatakan untuk

masa seribu tahun.”9 Sehingga pemahaman tentang siklus tahun tertentu akan

muncul tokoh pembebas atau pembaharu dalam Islam tidak begitu populer,

karena dalam Islam menurut Azyumardi Azra lebih menampilkan upaya

melahirkan pembaharuan dalam masyarakat melalui usaha umatnya sendiri,

bukan dengan jalan pasif sambil menunggu campur tangan eskatologis.10

Tokoh Islam yang memainkan peranan pembaharu dengan

pendekatan millenarianisme yang diistilahkan Mujaddid Alfi Tsani atau

6 Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauzi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Isa

Dawud: “Isa adalah al-Mahdi paling agung (yang turun ke dunia) antara masa hidup

Rasulullah saw dan Hari Kiamat.” Lihat Muhammad Isa Dawud, Al-Mahdi al-Muntazhar ‘ala

al-Abwab: Qahir al-Masih al-Dajjal (terj), Menyongsong Imam Mahdi Sang Penakluk

Dajjal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), cet. Ke-3, h. 29 7 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1, h. 57 8 Millenarianisme yang dimaksud dikaitkan dengan makna Millenium, yang

definisinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Masa atau jangka waktu seribu

tahun”. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus

Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet.

Ke-1, Edisi Ke-4, h. 914 9 Marshall G.S Hodgson, Sebuah Catatan tentang Millenium dalam Islam, dalam

Sylvia L. Thrupp, op.cit, h. 367 10 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Timur

Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Prenada Media

Grup, 2013), h. 149

20

Millenium Kedua, adalah seorang ulama India, bernama Ahmad al-Sirhindi

(971-1034 H/1564-1624 M). Sebagaimana dikutip dari Azyumardi Azra:

“Al-Sirhindi menyatakan, zamannya dipenuhi kegelapan, Seribu tahun

setelah kematian Nabi Muhammad, Islam mengalami kemunduran; pada saat

yang sama, kekafiran dan bid’ah menguasai kaum Muslim. Dia percaya

bahwa dirinya adalah ulama yang memiliki pengetahuan sempurna, yang

mampu menjalankan fungsi laksana Nabi yang gigih memperbarui dan

membangkitkan kembali Islam. Friedmann menunjukkan bahwa spekulasi-

spekulasi eskatologis menjadi latar belakang dari pandangan Sirhindi di

zamannya. Namun eskstologinya tidak mengantisipasi waktu akhir dunia ini,

melainkan justru mencegah proses kemunduran yang berada pada titik nadir

dengan sarana tajdid (pembaruan). Dengan mengaitkan pentingnya tajdid

dengan masa seribu tahun, dia akhirnya mengikuti konsep milenarianisme”11

Karena dianggap meresahkan pemahaman umat Islam pada kurun

abad 16-17, beberapa ulama par excellent membuat fatwa sekaligus

menentang konsep millenarian Al-Sirhindi tersebut. Sebagaimana

dikemukakan Azra dalam Jaringan Ulama:12

1. Muhammad bin „Abd al-Rasul al-Barzanji, yang memberikan penjelasan

paham Al-Sirhindi yang bersifat millenarian, karyanya yang pertama

diberi judul Qadh al-Zand wa Qadh fii Radd Jahaalaat Ahl al-Sirhindi,

selesai pada 15 Rajab 1093 H/20 Juli 1682 M. Dan buku keduanya ditulis

setelah dua tahun dari karyanya yang pertama, yakni pada 7 Muharram

1095 H/26 Desember 1683 M, tulisannya diberi judul al-Naasyiraat al-

Naajirah li al-Firqaat al-Faajirat.

2. Hasan al-„Ajami, yang menerangkan gagasannya dalam sebuah kitab

berjudul al-‘Ashhaab al-Hind li ‘Istishaal Kufriyaat Ahmad al-Sirhindi.

3. Diriwayatkan Ibrahim Al-Kurani juga turut meramaikan pergulatan

intelektual terkait masalah pemikiran Ahmad al-Sirhindi setelah berdiskusi

panjang dengan salah seorang pengikut Sirhindi, „Adam Baanuri (w. 1053

H/1643 M). Sayangnya tidak ada informasi yang ditampilkan oleh Azra,

apa judul tulisan tersebut.

Dalam tradisi lokal, beberapa ramalan tentang millenarianisme

menunjukkan suatu Abad Keemasan yang mengatakan bahwa semua

ketidakadilan akan diakhiri dan keharmonisan akan dipulihkan. Gerakan

yang bersifat Millenarian meyakini bahwa pergolakan sebagai bentuk upaya

balas dendam dan mengubah peranan-peranan di masa status quo,

11 Ibid, h. 150 12 Ibid h. 149-150

21

mengggeser kelompok yang berkuasa (dari Belanda) kepada negara dan

masyarakat tradisional yang akan kembali berjaya.13

Dunia yang diidamkan itu, sebagaimana dikatakan oleh Sartono

digambarkan sebagai berikut: “Jika zamannya nanti, tak akan ada lagi

pertentangan, ketidakadilan, dan penderitaan; rakyat akan bebas dari

pembayaran pajak yang memberatkan, dari wajib menjalankan kerja bakti.

Tak akan ada penyakit dan pencuri; sandang pangan akan melimpah; setiap

orang memiliki rumah, orang akan hidup tentram dan damai.”14

Harapan millenarian dalam kebudayaan Jawa, diwujudkan oleh tokoh-

tokoh pemuka masyarakat seperti guru ilmu, kiai, atau orang suci yang pada

umumnya memiliki karismatika (tokoh prophetic). Mereka inilah yang

mewujudkan agenda dan keinginan rakyat kecil, karena tokoh profetik

merupakan penerus dari tradisi millenarian yang kepercayaannya sudah

tertanam di masa lampau. Tokoh millenarian, menarik ideologi agama dalam

pergerakannya melalui ritual selamatan, upacara-upacara agama-mistik

lainnya, membagi-bagikan jimat, melakukan puasa, dan lain sebagainya –

untuk mempercepat terjadinya millenium yang dijanjikan tersebut.15

Para

pengikut memiliki hubungan guru-murid, semakin mempererat pergerakan

millenarian ini, menurut Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, “Gerakan

kebatinan yang semula bersifat melunak, berubah menjadi gerakan mesianis

yang tak sabar menunggu perubahan datang dengan sendirinya.”16

Kepercayaan millenium sudah berurat berakar, bahkan sebelum kaum

pribumi terdampak oleh penjajahan dan eksploitasi kaum pendatang asing.

Sebagaimana ditulis oleh Cohen Stuart bahwa di masa lampau, ada seorang

tokoh millenarian yang bernama Erucakra.17

Selanjutnya nama Erucakra

dikultuskan menjadi penegas bagi tokoh-tokoh pejuang untuk menggaransi

gerakan-gerakan perlawanan mereka untuk mewujudkan millenium yang

diharapkan. Sehingga para pejabat kolonial selalu berhati-hati untuk

mengawasi tokoh-tokoh yang menggunakan nama julukan Erucakra,

sekaligus menutup ruang gerak mereka agar tidak menyulut rakyat

kebanyakan.18

Perlawanan-perlawanan yang bersifat millenarian memiliki potensi

kecenderungan pada gerakan radikal, karena misinya adalah melakukan

restorasi terhadap status quo secara total dan menyeluruh. Hal ini

13 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 55 14 Ibid, h. 14-15 15 Ibid, h. 14 16 Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, “Gerakan Messianis dan Aspirasi Petani:

Sebuah Pengantar”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h. 7 17 Stuart Abraham B. Cohen, “Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en

Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88 18 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 15

22

menunjukkan bahwa penggunaan ide-ide millenaristis itulah yang

memberikan alat kepada rakyat untuk menyatakan perlawanannya.19

Keyakinan millenium terkandung di dalamnya unsur-unsur

keakhiratan (eskatologis) yang merupakan faktor yang mempercepat gerakan

millenarian. Menurut Begawan Sejarah, Sartono Kartodirdjo: “Peralihan dari

situasi yang ada ke millenium dibayangkan berlangsung secara radikal dan

revolusioner. Orang-orang yang percaya dan mengharapkan dapat selamat

dari bencana alam dianjurkan supaya mematuhi petunjuk-petunjuk pemimpin

dalam melakukan kegiatan pemberontakan. Di sini kita berjumpa dengan

unsur pokok dalam gerakan millenarian, yaitu munculnya mesias atau

utusannya.”20

B. Doktrin Mahdisme, Eskatologi Islam, dan Perang Sabil

Kepercayaan terhadap Mahdisme mencuat sejak masa Rasulullah saw,

hal ini dibuktikan dengan adanya hadits yang membicarakan tentang

kedatangan tokoh Imam Mahdi, sebagaimana percakapan beberapa tokoh:

Emami, Fahimi, dan Hosyyar yang dikutip oleh Ibrahim Amini. Hosyyar

mengungkapkan adanya hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas‟ud:

“ Dunia tidak akan berakhir sampai seorang lelaki dari keluargaku (ahl al-

bayt), yang disebut al-Mahdi, bangkit untuk mengurus umatku.”21

Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Emami,

menurutnya doktrin Mahdisme ada sebagian yang menyebut populer pada

paruh kedua abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh Masehi, di pihak lain

mengatakan Mahdisme mencuat di masa Nabi. Bahkan sekolompok lain

menegaskan secara terang-terangan bahwa Muhammad Ali Al-Hanafiyyah

adalah Al-Mahdi yang dinantikan, mereka juga percaya ibn Hanafiyyah

belum wafat, masih hidup di Gunung Radhwah dan suatu saat akan muncul

kembali untuk menumpas angkara murka.22

Dalam eskatologi Islam, dipercayai akan datangnya kiamat, yakni

masa penghancuran besar alam jagat raya ini, sebelum terjadinya masa

pengakhiran tersebut, muncullah tokoh Imam Mahdi menjadi penyelamat

umat manusia dan kehadirannya sangat dinantikan untuk menaklukkan

Dajjal.

19 Ibid, h. 29 20 Ibid, h. 15-16 21 Ibrahim Amini, Al-Imam al-Mahdi: The Just Leader of Humanity, (terj) Imam

Mahdi Penerus Kepemimpinan Ilahi Studi Komprehensif dari Jalur Sunnah dan Syi’ah

tentang Eksistensi Imam Mahdi, (Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002) cet. Ke-1, h. 3 22 Ibid, h. 3

23

Program universal al-Mahdi sebagai reformer sedunia–meminjam

istilah Saleh Asyabibi Nahdi,23

bertujuan agar manusia, yang terikat pada

materialisme yang ekstrem dan mengabaikan perintah-perintah samawi,

kembali mentaati perintah Ilahi yang bersandar pada tujuan-tujuan moral dan

spritual. Program ini dimaksudkan untuk memecahkan kebuntuan yang

menghadang manusia dengan mengeratkan ikatan-ikatan yang terputus untuk

menghilangkan berbagai akar konflik di masyarakat, dan dapat

mempersatukan manusia di bawah panji tauhid (keesaan Tuhan), ketundukan

universal, serta penghambaan hanya kepada-Nya. Program seperti itu, jika

diterapkan akan mengakhiri tirani dan kelaliman serta menebarkan benih-

benih perdamaian melalui keadilan ke seluruh dunia.24

Menurut nubuwah (ramalan) Nabi Muhammad saw, Imam Mahdi akan

muncul nanti untuk tampil memimpin dunia. Beliau akan memenuhi bumi ini

dengan kebenaran dan keadilan sebagaimana bumi ini telah diliputi

sebelumnya oleh kezaliman dan kesesatan.

Mahdisme dalam pengertian historisnya, selalu hanya dianggap

sebagai protes politik, sebenarnya gerakan ini merupakan protes sosial juga,

walaupun biasanya memiliki kaitan pada pendasaran atas claim politik.25

Wacana Mahdisme sering dimanfaatkan orang yang ingin mencari

keuntungan politik, mereka menghasut rakyat untuk melakukan

pemberontakan di bawah pimpinan Mahdi palsu. Seperti klaim Mukhtar

terhadap Muhammad Ali Al-Hanafiyyah, yang diakuinya sebagai Mahdi

yang dinantikan, ia sendiri mengaku dipercaya oleh Sang Mahdi sebagai

wazir dan wakilnya. Dalam skenario itu Mukhtar, mengatakan bahwa

Muhammad Ali Al-Hanafiyyah dikirim oleh Tuhan untuk menuntut balas

atas kematian keturunan Ali bin Abi Thalib dan melancarkan suatu

23 Saleh A Nahdi, Imam Mahdi atau Ratu Adil, (Jakarta: PT. Arista Brahmatyasa,

1992), h. 1-20 24 Abu Na‟im meriwayatkan hadis yang dikutip oleh Muhammad Isa Dawud,

diriwayatkan dari Hudzaifah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya usia dunia

tinggal sehari, maka Allah akan mengutus seorang laki-laki yang namanya sama dengan

namaku dan akhlaknya sama dengan akhlakku. Ia bergelar Abu „Abdillah, yang dibai‟at oleh

manusia, baik dari kalangan atas maupun bawah, dengannya Allah menghendaki kejayaan

agama (-Nya), dan melakukan berbagai pembebasan ke berbagai penjuru dunia, sehingga

tidak ada lagi penduduk bumi yang tidak mengatakan Laa Ilaaha Illa Allah” (H.R. Abu

Na‟im). Lihat Muhammad Isa Dawud, Al-Mahdi al-Muntazhar ‘ala al-Abwab: Qahir al-

Masih al-Dajjal (terj), Menyongsong Imam Mahdi Sang Penakluk Dajjal, (Bandung: Pustaka

Hidayah, 2002), cet. Ke-3, h. 77, Baca juga Ibrahim Amini, Op.cit, h. 19. 25 Misalnya Mahdisme yang digagas Ibn Tumart (wafat 1130 M) pendiri imperium

Muwahhidun (Almohads) yang menguasai hampir seluruh Afrika Utara dan Spanyol Selatan

dari tahun 1130-1269, dimulai dari sebab sosial yang antara lain berupa mengendurnya

penguasaan hukum agama (syari’at) dalam kehidupan di masa akhir pemerintahan dinasti

Murabitun (Almoravids) di kawasan tersebut. baca Abdurrahman Wahid, “Mahdiisme dan

Protes Sosial”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h. 66

24

pemberontakan terbuka terhadap penguasa tiran Bani Umayyah yang telah

mengakibatkan terjadinya krisis.26

Tradisi Mahdisme yang sudah berkembang sejak berabad-abad yang

lalu, juga masuk ke dalam mesianisme Jawa, hal itu terlihat dengan jelas

dalam beberapa aliran gerakan agama di Jawa. Mesianisme Islam yang

masuk ke dalam mesianisme Jawa itu umumnya tercermin dalam bentuk

eskatologinya. Tradisi Mahdisme menyebutkan akan terjadinya hari akhir

(kiamat) yang didahului dengan kehancuran alam semesta. Penderitaan dan

penindasan akan diakhiri oleh kedatangan Imam Mahdi sebagai juru selamat,

pembawa ketentraman dan raja dari kerajaan yang terakhir. Kerajaan itu

akan dihancurkan oleh Dajjal, syaitan yang kemudian akan dikalahkan oleh Nabi

Isa. Dengan demikian keadilan akan dibangun kembali.27

Pengharapan

datangnya juru selamat itu dalam versi Jawanya disebut Ratu Adil.

Kepercayaan mesianistis Islam ini bercampur dengan mesianisme Jawa, yang

sebagian besar terdapat dalam tradisi tertulis ramalan jayabaya.28

Doktrin Mahdisme dan Eskatologi Islam di atas tidaklah lengkap bila

belum ada perintah perang. Ide tentang perang suci digelorakan kepada

rakyat untuk mendorong perlawanan kepada penguasa kafir yang telah

merusak tatanan agama yang mereka anut. Gagasan perang sabil

mengundang militansi para penganut Islam agar terpanggil bergerak demi

tercapainya keadaan agama sebagaimana ada sebelum kelompok kafir

menguasai bumi pertiwi yang telah merusak keadaan sosial menjadi buruk.29

Dalam doktrin Islam, seorang yang meninggal dalam peperangan sabilullah,

maka dianggap mati syahid, dan ruhnya akan disucikan di alam kubur nanti.

Hal ini pula yang melecut semangat juang para petani dan rakyat untuk

melawan kesewenangan penguasa asing dan sekutunya.

Konsepsi Perang Sabil masuk pula dalam gerakan-gerakan Ratu Adil,

meskipun konsepnya datang dari referensi yang berbeda, tetapi istilah-istilah

Islam yang menyerap tersebut berhasil menggerakkan para penganut Islam

baik yang taat maupun abangan bersatu padu melawan penindasan. Tokoh

pemersatu perlawanan adalah pemimpin-pemimpin keagamaan yang

berkontribusi besar kepada perkembangan keyakinan perang sabil. Hal ini

26 Ibrahim Amini, op.cit, h. 150-151 27 Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah

Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra

dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971.

Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed), Sejarah Nasional

Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), h. 312 28 Lihat Soesilo, Sekilas tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup, (Surabaya:

CV Medayu Agung, 2000), cet. Ke-1, h. 214 29 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, cet. Ke-1, h. 17

25

diamini oleh Sartono Kartodirdjo dalam penelitiannya, yang menyebut

bahwa:

“... Di tangan mereka gagasan perang sabil menjadi sepucuk senjata

ampuh di dalam menentang Belanda, karena gagasan itu merupakan suatu

himbauan kuat kepada semua kaum muslimin bersatu di dalam

mempertahankan agama mereka. Bahkan secara relatif keterikatan kaum

abangan kepada Islam telah cukup, jika diberi pengenal permusuhan Jawa-

Belanda dengan antagonisme antara muslim dan kafir melalui gagasan

Perang Suci, untuk membuat banyak dari mereka berada di belakang kiai.

Sesuai dengan itu, kegairahan keagamaan bagi jihad tidak terpisahkan dari

kebencian yang penuh kekerasan terhadap penguasa-penguasa asing dan

terhadap priayi-priayi pegawai negeri, yang dikatakan telah mencemarkan

kehormatan agama mereka dengan jalan bekerja sama dengan kaum

kafir.”30

Akhirnya dapatlah diambil kesimpulan, dalam gerakan sosial

keagamaan sikap antagonisme kaum pribumi terhadap orang-orang asing

yang merusak tatanan agama dan kehidupan sosial mereka diwarnai oleh

pola-pola gerakan yang membawa misi suci keislaman, yaitu Perang Suci

demi menjaga marwah agama Islam dari penistaan oleh pemeluk-pemeluk

agama lainnya. Doktrin Perang Sabil meningkatkan sentimen rakyat terhadap

penguasa kafir, sekaligus menebar benih-benih gerakan-gerakan keagamaan

menjadi radikal dan revolusioner.31

C. Konsep Ratuadilisme dalam Ramalan Jayabaya

Terdapat beberapa versi tentang ramalan Ratu Adil, konsep

mesianisme Jawa ini, tersimpan dalam sumber lisan maupun tulisan seperti:

Pralambang Jayabaya, Jangka Jayabaya, Serat Jayabaya, Jangka Jayabaya

Catursabda, dan lain sebagainya. Dari semua variasi tulisan tersebut, terdapat

kesamaan dalam tema, yang membahas ramalan akan datangnya Sang Juru

Selamat, Ratu Adil.32

Ramalan ini bersumber dari Raja Jayabaya, seorang

yang pernah berkuasa di Kerajaan Kediri kurun waktu tahun 1135-1157 M.33

Raja Jayabaya adalah seorang pemimpin yang memiliki visi pada

penguatan sektor perdagangan sebagai fundamental perekonomian negara,

30 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Ibid, h. 62-63 31 Ibid, h. 17 32 Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah

Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra

dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971, h.

8. Dan lihat pula Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia

Suatu Alternatif, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), h. 175 33 Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2010), Cet. Ke-5, h. 55

26

para saudagar asing dari berbagai negara turut bertransaksi di pusat-pusat

perdagangan, mereka membawa maupun membeli barang dagangan.34

Kondisi ini memperlihatkan stabilitas keamanan dan kesejahteraan

bagi rakyat Kediri, karena itu Sang Raja mampu meluangkan waktu untuk

memperhatikan kebudayaan lokal yang menjadi identitas suatu negara. Di

masanya banyak cendikiawan yang diberikan kebebasan berekspresi, bahkan

kegiatan penggubahan dan penerjemahan karya-karya asing sangat

diperhatikan oleh negara. Di antara pakar yang terkenal adalah Empu Sedah

dan Empu Panuluh.35

Kedua tokoh ini diperintahkan langsung oleh Jayabaya

untuk menyalin dan menyadur kitab Baratayuda dengan pendekatan budaya

dan bahasa sehari-hari, kitab ini sendiri bersumber dari buku Mahabarata

yang versi aslinya berbahasa India.36

Karya kedua Empu tersebut terbilang hebat, Mahabarata versi Jawa

itu, dibuatnya seakan-akan terjadi di tanah Jawa. Di dalamnya terlukis

peristiwa-peristiwa penting dengan disesuaikan keadaan yang terjadi di

sekelilingnya, serta dalam suasana adat dan alam pikiran Jawa pada masa itu.

Karya itu diberi surya sengkala (tahun) “Sanga Kuda Sudda Candrama”

(tahun 1079 Saka atau tahun 1157 Masehi). Karya lain yang dihasilkan

Jayabaya adalah serat Arjuna Wiwaha dan Serat Sutasoma.37

Kitab Kakawin Baratayuda menurut Negara Kertagama sebagaimana

dikutip oleh Andjar Any: “Adalah memang suatu ungkapan sejarah yang

menceriterakan perang antara Kediri dengan Jenggala. Bahkan merupakan

apologie atau pembelaan Jayabaya terhadap perbuatannya yang telah

membunuh Prabu HEMABUPATI (sic) yang masih terhitung saudara

tuanya.”38

Berikut ini adalah tafsiran kisah Baratayuda yang dikutip dari buku

yang berjudul Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita dan Sabdo

Palon: “... Sang Prabu Jayabaya mengidentikan dirinya dengan Sang Arjuna

(yang dalam pedalangan dianggap juga sebagai titisan Wisnu yang terbelah

jadi dua. Belahan yang lain pada Sri Kresna). Sang Arjuna (Jayabaya)

waktu akan menghancurkan musuh juga ragu-ragu. Sebenarnya tidak

sampai hati. Hanya setelah diBENARkan (sic) oleh Kresna bahwa

perbuatannya tersebut untuk menumpas keangkaramurkaan maka barulah

Arjuna (Jayabaya) bertindak.

34 Mengenai sentra perdagangan dan komoditas yang diperjualbelikan lihat Andjar

Any, Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita dan Sabdo Palon, (Semarang: Penerbit

Aneka Ilmu, 1989), h. 40-1 35 Ibid, h. 38-39 36 Bernard H.M Vlekke, op.cit, h. 55 37 Makna lain dari “Sanga Kuda Sudda Candrama” adalah “Beliau (Prabu Jayabaya)

yang berkuda putih mempunyai hati yang bersih seperti bulan”. Andjar Any,

op.cit, h. 38-40 38 Ibid, h. 39

27

Bahkan Sang Prabu Jayabaya inipun juga mengidentikkan dirinya

dengan titisan Wisnu ke 10 (sic) yaitu sebagai Kalkiwathara yang

digambarkan sebagai seorang Satriya yang mengendarai kuda putih dengan

pedang menyala di tangannya guna mengadili orang jahat”39

Pada masa Mataram Surakarta kitab Baratayuda, disalin ke dalam

bahasa Jawa berbentuk tembang oleh pujangga keraton Surakarta Ki

Yosodipuro I (kakek Raden Ngabehi Ronggowarsito, seorang pujangga

Keraton yang juga memiliki kemampuan melihat masa depan).40

Dalam kitab

ini ramalan-ramalan kedatangan Ratu Adil dihubungkan dengan Sang Prabu

Jayabaya. Kepercayaan-kepercayaan akan ramalan itu disebabkan prestasi-

prestasi besar yang pernah dilakukan Jayabaya, kesaktian, dan kelihaiannya

menerawang kejadian yang akan datang.

Kesaktian raja Jayabaya diabadikan pada Ramalan Jayabaya Musarar

sebagaimana dikutip dari Andjar Any: 41

2. Milane sinungan sakti,

Bathara Wisnu punika,

Anatis ana ing kene,

Ing Sang Prabu Jayabaya,

Nalikane mangkana,

Pan jumeneng Ratu Agung,

Abala para Narendra,

Artinya: Beliau sakti sebab titisan Batara Wisnu. Waktu itu Sang Prabu

menjadi raja agung, pasukannya adalah para raja-raja.

Hampir tiap orang Jawa tahu dan percaya pada „ramalan Jayabaya‟,

yang diceritakan secara turun-temurun ketika Belanda masih berkuasa. Raja

Jayabaya berkuasa pada tahun 800 di daerah Daha dan Kediri. Pengetahuan

astrologinya, didapatkan setelah ia berguru dengan Pandita Maulana Ali

Samsyudin, sehingga ia sanggup berkomunikasi secara vertikal dengan para

dewa, karena kemampuannya itu, ia menyampaikan kepada penduduk Jawa

mengenai peristiwa-peristiwa penting yang akan terjadi di masa depan. 42

39 Ibid, h. 39 40 Andjar Any, Ibid, h. 39 dan Soesilo, op.cit, h. 133 41 Andjar Any, op.cit, h. 53 dan h. 65 42 Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah

Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, op.cit, h. 9

28

Ramalan ini lama kelamaan menjadi sistem kepercayaan masyarakat Jawa

tradisional.

Kepercayaan masyarakat Indonesia pada sosok pembebas Ratu Adil,

sudah menyejarah seiring dengan adanya umat manusia ratusan tahun yang

lampau, dan muncul hampir di seluruh wilayah Nusantara. Hanya saja

ekspresinya mengalami keragaman bentuk, menurut Mohammad Iskandar

(Sejarawan Universitas Indonesia) yang dikutip oleh Muhammad Subarkah:

“Di setiap wilayah (terutama di Jawa Raya–Red) hampir semua

punya sosok Ratu Adil meski berbeda-beda ekspresinya. Di Jawa Tengah

dan Jawa Timur selalu yang menjadi aktor itu adalah sosok yang berasal

dari kalangan priayi atau bangsawan. Tapi kalau wilayah Jawa Barat,

terutama wilayah Priangan, Banten, dan Bogor, dari kalangan petani

sendiri. Perbedaan ini terjadi karena struktur masyarakatnya memang

berbeda.”43

Konsep ratuadilisme sering diterapkan dalam pergerakan sosial

untuk bangkit melawan ketertindasan masyarakat, terutama kaum pribumi

yang menghadapi eksploitasi kaum penjajah dan kroninya.44

Namun terdapat

pula bukti yang meyakinkan, pemerintah kolonial juga memakai stigma Ratu

Adil bagi kalangan pemberontak dan kaum-kaum yang berserikat, berkumpul

atau sekedar meluapkan ekspresi ibadahnya di keramaian – dianggap sebagai

pembangkang dan musuh pemerintah kolonial.

Lebih lanjut, Iskandar menyatakan:

“Ini tampak jelas bila melihat kemunculan sosok Ratu Adil yang

begitu marak pada abad ke-19. Saat itu, suasana „Islamofobia‟ sudah

muncul secara kuat. Setiap ada orang yang berkumpul di masjid langsung

dituduh akan berontak. Setiap kali muncul pemimpin Islam yang

karismatik, maka dengan gampang dia disebut Ratu Adil. Ini terlihat jelas

bila mengacu pemberitaan di koran, birokrasi, bahkan ruang parlemen di

Belanda yang saat itu ada...”45

Gerakan perlawanan yang kerap muncul pada abad ke-19 atau tahun

1800an, hampir diwarnai oleh corak Ratu Adil. Hal ini sebagai konsekuensi

perubahan sosial yang berlaku, dimana investasi asing yang dimotori oleh

Kongsi Dagang Belanda (VOC) di masa sebelumnya maupun pemerintah

kolonial Belanda telah merusak tatanan masyarakat. Himpitan ekonomi yang

43 Muhammad Subarkah, “Di Bawah Bayang Ratu Adil”, Republika, Senin 2 Juni

2014, h. 27 44 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 39 45 Muhammad Subarkah, op.cit, h. 27

29

dialami masyarakat lokal menjadi bom waktu yang meledak di saat ada

tokoh pemberani yang mampu menjanjikan kebebasan mereka.

Sartono Kartodirdjo menyebut, kepercayaan kaum tani terhadap

Ratu Adil sudah berlangsung lama sekaligus memiliki potensi perlawanan

terhadap budaya tradisional mereka, berikut kutipan dari Sartono:

“Kepercayaan-kepercayaan Ratu Adil yang telah berakar sejak lama

telah dimanfaatkan para pemegang kekuasaan yang mapan, khususnya

pada tingkat setempat. Karena identitas budaya kaum tani terikat secara

tak terpisahkan dengan agama mereka, maka mereka akan cenderung

mempertahankan rasa identitas tersebut dalam hal-hal keagamaan apabila

diancam oleh nilai-nilai, gagasan-gagasan dan praktek-praktek asing. Para

pemimpin agama tradisional , mengendalikan lambang-lambang identitas

dan harapan, jadi secara khusus ditempatkan dengan baik, bukan hanya

untuk mempertahankan kesetiaan para pengikut mereka yang terdiri dari

kalangan kaum tani, melainkan juga untuk menggerakkan mereka ke dalam

perlawanan aktif dan bahkan untuk mengilhami pemberontakan

bersenjata...”46

Ekspresi Ratu Adil dalam perlawanan masyarakat terhadap

kesewenangan kaum pendatang asing yang dipelopori oleh Belanda menurut

Mohammad Iskandar diakibatkan oleh penyakit sosial yang muncul,

berdampak pada situasi keresahan dimana-mana. Perubahan yang terjadi

menggeser budaya lama masyarakat, dan kehidupan mereka menjadi miskin.

Kaum tani sebagai kelompok yang terdampak dari perubahan ini, merindukan

akan masa lampau yang harmonis, apalagi diletupkan oleh suatu keyakinan

bahwa kesulitan ini akan kembali berubah dengan kehadiran tokoh yang adil

dan membawa mereka kepada kebaikan hidup. Dan kepercayaan Ratu Adil

adalah pilihan ekspresi perlawanan mereka kaum tani untuk mewujudkan

datangnya sosok imajiner mengenai sebuah keadaan yang sejahtera.47

Pada mulanya, Ratu Adil adalah hanya “ide” – angan-angan, cita-

cita akan masa depan yang lebih baik – tata tentrem kerta raharja dalam

pandangan Jawanya, bukan sebuah “aksi”. Namun dalam perkembangan

sejarah selanjutnya Ratu Adil sebagai “ide” atau “cita-cita” tersebut menjadi

sebuah “gerakan aksi”, karena bersentuhan dengan sesuatu yang menyejarah.

Ada dua faktor, yang menyebabkan Ratu Adil sebagai “ide” atau “cita-cita”

tersebut, menjadi suatu “aksi” atau “gerakan”. Pertama, adanya pemimpin

suci atau kenabian (prophet), pemimpin inilah yang kemudian merumuskan

“ideologi” gerakan millenial atau cita-cita hidup masa depan sebagai “faktor

46 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 40 47 Muhammad Subarkah, op.cit, h. 28

30

kunci”. Kedua, kepercayaan pada magico-mysticism, persambungan dengan

nenek moyang, roh-roh leluhur, atau keadiluhungan masa lalunya.48

Ramalan Jayabaya dalam berbagai versinya, terkandung di dalamnya

unsur campuran kebudayaan, ciri keislaman yang menonjol dalam ramalan

ini adalah kemiripannya dengan eskatologi Islam, bahwa dunia ini akan

berakhir (kiamat). Sartono Kartodirdjo menegaskan misalnya dalam isi

ramalan Serat Jayabaya:

“... Bahwa pada tahun 2100 akan terjadi kiamat kubra (kiamat besar)

yang ditandai oleh suatu peperangan besar yang dimulai oleh serangan

Jamajuja (Ya’juj-Ma’juj) terhadap Arab. Imam Mahdi kemudian akan

bangkit dan dibantu Umarmaya dan Muhammad Hanafiyyah untuk

mengalahkan para penyerobot besar. Menurut versi lain yang sama dengan

ramalan-ramalan Jayabaya, Achiring Djaman, adalah Dabatul Arli yang

akhirnya akan menundukkan Jamajuja.”49

D. Kandungan Millenarian dalam Hikayat Muhammad Ali Al-

Hanafiyyah

Menurut Liaw Yock Fang, sastra Islam yang berkembang di

Nusantara terbagai ke dalam lima bagian, yaitu: cerita Al-Quran, cerita Nabi

Muhammad, cerita sahabat Nabi Muhammad, cerita pahlawan Islam, dan

sastra kitab.50

Riwayat tentang kepahlawanan Islam yang sangat populer di

Nusantara, di antaranya adalah hikayat berjudul Muhammad Ali Al-

Hanafiyyah, seorang anak Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan putri

Hanafiyyah, yang digadang-gadang sebagai juru selamat Islam atau yang

dikenal dengan istilah Imam Mahdi.

Muhammad Ali Al-Hanafiyyah, atau dikenal dengan nama

Muhammad Hanafiyyah selalu dikaitkan dengan tokoh Imam Mahdi yang

dinantikan setelah masa kegaiban, terminologi mahdi berasal dari sebuah

hadits Nabi dalam kitab Bihar al-Anwar, jilid ke-51, sebagaimana dikutip

oleh Ibrahim Amini: “Al-Qaim berasal dari keturunanku. Namanya sama dengan namaku,

julukannya sama dengan julukanku. Ciri-cirinya sama dengan ciri-ciriku. Dia

akan mengajak manusia kepada sunahku dan Kitab Allah. Barang siapa

menaatinya berarti menaatiku, dan sebaliknya, mereka yang berpaling

darinya berarti berpaling dariku. Barang siapa menolak keberadaannya

48 Soesilo, op.cit, h. 214-5 49 Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development

dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New York: Ithaca, 1972), h. 96-7.

Lebih lanjut baca Ramalan Jayabaya Musarar dalam lampiran. 50 Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2011), Edisi I, h. 238

31

selama kegaibannya berarti mendustai Aku. Barang siapa yang

membenarkan eksistensinya berarti membenarkan keberadaanku. Kalau

mereka diminta untuk memalsukan apa-apa yang telah kukatakan tentang al-

Mahdi dan dengan demikian menyesatkan umatku, aku akan mengadukan

mereka kepada Allah.”51

Popularitas Hikayat Muhammad Hanafiyyah di Nusantara dengan

berbagai versi membawa pengaruh kepada kepercayaan mesianisme

(mahdisme) itu sendiri. Begitu pula warna kepercayaan millenarian Kaiin

Bapa Kayah, bukanlah suatu kebetulan belaka. Sebelum berprofesi sebagai

Dalang, Kaiin pernah bekerja dan menetap di daerah Batavia (Jakarta

sekarang), sekaligus pencarian dan pendalaman ilmu pengetahuan agama.

Bila merujuk pada katalogus Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia, maka akan ditemukan sembilan versi Hikayat Muhammad

Hanafiyyah, sebagaimana pernah diteliti oleh Kinanti Putri Utami,52

berikut

ini adalah deskripsi singkat dan nomor panggil naskah tersebut:

1. BR 211; Halaman satu dan dua kondisinya rusak, dan sedikit yang terbaca,

terdapat informasi waktu dan tempat penyelesaian naskah dalam kolofon,

yakni di Krukut pada tahun 1243 H, ada tulisan pensil di sebelahnya yang

menyebutkan angka tahun masehinya “1827”, kemungkinan tulisan ini

dilakukan oleh peneliti (hal ini tampak dari kejelasan warna pensil yang

mencolok). Ukuran naskah tersebut adalah 30 x 18 cm, sedangkan ukuran

kertasnya sendiri 29 x 17,8 dengan pias kanan 2,5 cm, pias kiri 1,7 cm,

pias atas 2,5 cm, dan pias bawah 2,9 cm. Kemudian naskah ini berjumlah

337 halaman dan setiap halaman mempunyai 21 baris. Isi naskah berkisar

tentang riwayat kehidupan cucu Nabi Hasan, Husan, dan Muhammad Ali

Al-Hanafiyyah (anak dari Ali bin Abi Thalib dengan istri selain Fathimah

binti Muhammad).53

2. CS 157; merujuk informasi dalam data katalog Perpustakaan Nasional

terdiri atas: 286 halaman; ukuran kertas berteks 19 x 31 cm; ukuran

sampul 20 x 31,5 cm; ukuran blok teks 17,5 X 21,5 cm; terdapat 25 baris

untuk setiap halamannya. Naskah kurang baik, sebagaian kertas sudah

rusak sehingga tulisannya tidak dapat dibaca. Menggunakan tinta coklat

tua dan untuk kata-kata tertentu menggunakan tinta hitam. Penjilidan

masih baik, dan dijilid dengan karton berlapis sampul coklat. Naskah

berbentuk Prosa. Kertas impor tipis dengan cap Singa dalam lingkaran:

51 Ibrahim Amini, op.cit, h. 5-6 52 Kinanti Putri Utami, Perbandingan Naskah-naskah Hikayat Muhammad

Hanafiyyah, Makalah Mata Kuliah Kritik Teks, (Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Indonesia, 2008) 53 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah,

Nomor Panggil: BR 211

32

Concordia. Awal teks berbunyi: “Alamat ini surat yang empunya hikayat

Enci' topo yang duduk di dalam daerah Kampung Majru Gogo Johor akan

adanya. Syahdan maka adalah dikasi beritahu kepada baba-baba atawa

tuan-tuan sekalian yang suka membaca ini Hikayat Muhammad

Hanafiyyah jangan bikin kotor dan lagi saya minta 1 malam 15 sen karena

saya turunkan saya suruh jikalau suda kelar dari saya pun wang sewa bole

baca saja saya kasi akan adanya dan jikalau hilang dia punya harga

seringgit tiada bole kurang lagi akan adanya.”. Akhir teksnya: “Tamat

kalam kepada 15 hari bulan Rowah kepada hari Isnaini jam pukul 5 sore

dan seba lagi kepada baba-baba dan tuan-tuan sekalian yang suka baca ini

Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah barangkali ada yang labi atawa ada

yang kurang ma'lum la saja sebab hamba baru belajar menulis dan seba

lagi hamba hendak kasi beritahu siapa-siapa yang suka hendak baca saya

minta sewa 1 malam sepuluh sen karena dia punya mustur hamba sewa

jikalau suda abis dari hamba punya ongkos bole hamba kasi peri dewa saja

demikian adanya citranya tahun 1865.” Diawali dengan kisah Fatimah dari

Syiria, yang datang ke Mekah untuk mencari calon suami yang memiliki

cahaya pada kepalanya. Tetapi ia tidak dapat menemukan pria tersebut.

Selanjutnya diceritakan tentang kehidupan Nabi Muhammad bersama para

pengikutnya. Disebutkan pula tentang kelahiran Hasan-Husen, dan

Muhammad Hanafiyyah, yaitu putra Ali dengan istri lain. Dalam

peperangan melawan raja Janid; Muhammad Hanafiyyah melarikan diri ke

dalam gua, karena dikepung oleh tentara Janid.54

3. ML 184; naskah ini memiliki ukuran 25 x 20 cm, setiap lembar

halamannya terdiri dari 15 baris tulisan, semua halaman berjumlah 85.

Pada naskah tersebut tidak diketahui nama penyalin atau pemilik

naskahnya. Terdapat informasi diselesaikan penulisannya pada tahun 1191

H, pada sisinya terdapat tulisan pensil 1777, mungkin maksudnya tahun

hijriyah setara dengan tahun masehi tersebut, kemungkinan coretan pensil

ini, buah tangan dari seorang peneliti di era kontemporer ini, hal ini

terlihat jelas corak pensilnya cukup jelas. Kalimat pada bagian akhir dari

halaman (84-85), menyiratkan tentang waktu penyelesaian tulisan, “Sehari

bulan Rajab kepada malam Senin dan kepada jam pukul empat ketika

baram.” Selain waktu, ada juga informasi tentang tempat atau lokasi

ditulisnya naskah dalam kolofon yang memiliki bingkai dengan iluminasi

sederhana, “Dalam bidara dusun kampung Martadah.”.55

Dalam detail

katalog Perpustakaan Nasional disebutkan juga deskripsi fisiknya

54

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=CS+157&pType=CallNumber&

pLembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 15 WIB 55 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah,

Nomor Panggil: ML 184, h. 84-85

33

berjumlah 165 halaman (beda dengan wujud aslinya berjumlah 85

halaman) dan tersedia pula dokumen digital yang bisa diakses secara

online.

4. ML 359; Dalam sampul depan wadah tempat naskah, terdapat tulisan

“Naskah Rusak”, petugas perpustakaan nasional juga mengingatkan

kepada penulis, agar berhati-hati terhadap naskah, beruntung saya

diperkenankan melihat kondisinya secara langsung, karena tidak

sembarang orang diizinkan melihat atau bahkan menyentuhnya. Kondisi

fisik naskah memang memprihatinkan, tinta tulisannya sudah banyak yang

pudar, kertas banyak yang sudah robek termakan usia, hanya sebagian

kecil saja teks yang bisa terbaca. Ukuran naskah 30,3 x 20 cm, untuk

setiap halamannya terdiri dari 17 baris tulisan, cover depannya sudah

terlepas dari jilidan.56

Pada detail katalognya disebutkan deskripsi fisiknya

lebih tebal dari naskah pertama di atas, yakni berjumlah 369 halaman dan

terdapat keterangan naskahnya berbahasa Melayu dengan aksara Arab

dan Jawa.

5. ML 446; Dalam detail katalog Perpustakaan Nasional terdapat keterangan

tentang deskripsi fisiknya yang berjumlah 348 halaman; besar ukuran

manuskrip 17 x 28 cm, ukuran blok teks 13,5 x 20 cm; setiap halamannya

terdapat 17 baris kalimat. Judul terdapat di dalam teks pada halaman 346,

“Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah”. Isi naskah berbentuk prosa, ditulis

di atas kertas Eropa dengan cap kertas PRO PATRIA EIUSQUE

LIBERTATE. Naskah masih dalam keadaan baik, kertasnya pada halaman

pertama dan terakhir sudah kotor, serta bewarna coklat, tulisan jelas

terbaca, ditulis dengan tinta hitam dan merah, jilidnya sudah kendor, dan

tersedia dokumen digital yang dapat diakses secara online. Pada bagian

awal teks berbunyi: “Bismillahi al-rahmani al-rahiim wa bihi nasta‟in

billahi „ala, ini hikayat ceritera Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam

jadi diperanakan bundanya Aminah dan peri mengatakan tatkala

Muhammad itu mengambil upahan”. Di bagian akhir bertuliskan

“Demikian lagi sahaya berpesan pada segala enci-enci dan tuan-tuan yang

sudi membaca hikayat ini jangan apalah kiranya tengah membaca makan

sirih dan mengudut rokok karena yang empunya surat ini terlalu apik

cirinya. Demikianlah tamatlah hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah kepada

malam khamis kepada bulan Jumadil akhir.” Naskah ini menceritakan

tentang gugurnya Hasan Husen dan hilangnya Muhammad Ali Hanafiyyah

di dalam sebuah gua. Muhammad Ali Hanafiyyah adalah putra Ali dengan

istri lainnya. Kisah dimulai dengan diadakannya musyawarah oleh

Muawiyah dengan para menteri di Madinah, untuk menikahkan putranya,

56 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiah,

Nomor Panggil: ML 359

34

Yazid dengan putri Jafar yang bernama Zainab. Tetapi Zainab lebih

mencintai Husen dan menolak lamaran Yazid. Hal ini mengakibatkan

Yazid menaruh dendam kepada Husen.57

6. W 69; pada data katalog Perpustakaan Nasional terdapat beberapa

informasi tentang manuskrip ini. Halaman berjumlah 376; ukuran kertas

dalam teksnya 30,5 x 19,5 cm; ukuran sampul 31,5 x 20 cm; ukuran blok

teks 21 x 11,5 cm; tulisannya rata-rata 19 baris kalimat dalam setiap

halamannya. Tulisan bisa terbaca walaupun ada kertasnya yang sudah

lapuk, ditulis dalam tinta bewarna hitam dan merah. Naskahnya berbentuk

prosa ditulis di atas kertas impor dengan cap Singa dalam lingkaran;

CONCORDIA. Tersedia pula dokumen digital yang dapat diakses secara

online. Awal teks berbunyi: “Bismillahi al-rahmani al-rahiim

alhamdulillahi rabbil „alamin wa al-„aqaibatu lil muttaqiin wa al-shalatu

wa al-salaamu „ala Rasuulillahi Shallallahu „alaihi wa Sallam wa ba‟du

kemudian daripada itu terlalu amat persis gilang gemilang cemerlang

rupanya tersuluh seperti manikam di dalam kandil ma‟lup ketergantung

pada kolam”. Akhir teksnya: “Dan sebab itulah menjadi berhimpunlah

segala pilu dan rawan itu setelah sudah maka segala saudaranya Baginda

Muhammad Hanafiyyah pun masing-masing kembalilah ke tempatnya.

Telah keesokan harinya itu maka segala saudaranya pun pergilah

sembahyang ke dalam masjid kepada hari jum‟at. Jatta maka segala orang

yang di dalam benua Madinah pun berhimpunlah sembahyang ke dalam

masjid Baginda Rasulullah ...”. Naskah ini menceritakan tentang

Muhammad Hanafiyyah, putra Baginda Ali dengan wanita lain. Diawali

dengan kisah Fatimah dari Syiria. Ia pergi ke Makkah untuk mencari calon

suami yang mempunyai cahaya pada dahinya, namun tidak dapat

menemukannya. Selanjutnya dikisahkan tentang masa muda Nabi

Muhammad, perkawinannya, sampai kepada kisah Baginda Ali. Dari

perkawinannya dengan wanita lain, Ali mempunyai seorang putra

bernama Muhammad Hanafiyyah. Akhirnya dalam peperangan melawan

Yazid, Muhammad Hanafiyyah terkurung di dalam sebuah gua.58

7. W 70; bentuk lengkap dalam detail katalog Perpustakaan Nasional

memuat informasi manuskrip. Banyak halaman berjumlah 368; ukuran

kertas dalam teksnya 21,5 x 15,5 cm; ukuran sampul 22,5 x 16,5 cm;

ukuran blok teks 15 x 10 cm; tiap halaman tulisannya rata-rata berjumlah

19 baris kalimat. Naskah dalam kondisi kurang baik, kertas bewarna

57

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=ML+446&pType=CallNumber

&pLembarkerja=12, Diakses pada tangal 31 Desember 2015, Pukul 15: 10 WIB 58

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+69&pType=CallNumber&p

Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 11 WIB

35

coklat dan lapuk akibat keasaman, serta berlubang-lubang akibat ngengat.

Teks ditulis dalam tinta bewarna hitam yang sudah pudar kecoklatan dan

merah. Sampul berbahan kertas marmer coklat dijilid dengan karton.

Naskahnya berbentuk prosa ditulis di atas kertas folio. Awal teks

berbunyi: “Alhamdulillahi rabbil „alamin wa al-„aqaibatu lil muttaqiin wa

al-shalatu wa al-salaamu „ala Rasuulillahi Shallallahu „alaihi wa Sallam.”

Akhir teksnya: “Berhimpunlah sembahyang ke dalam masjid Baginda

Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam dan demikianlah adanya Wallahu

A‟lamu bi Al-Shawab”. Ceritanya sangat berbelit-belit. Demikian pula

bahasanya, tidak jelas perbedaan pemakaian; dari untuk daripada dan

bemula untuk sebermula. Diceritakan tentang persahabatan M. Hanafiyyah

dengan beberapa orang. Ia mendapat luka dalam peperangan, tetapi

dengan keajaiban lukanya sembuh.59

8. W 71; informasi yang terdapat dalam katalog Perpustakaan Nasional

yaitu: deskripsi fisik berjumlah 670 halaman; ukuran kertas dalam teksnya

32,5 x 20 cm; ukuran sampul 33 x 20,5 cm; ukuran blok teks 22,5 x 13

cm; tiap halaman terdapat 16 baris kalimat. Naskah berbentuk prosa di

atas kertas impor tebal dengan cap Singa dalam lingkaran, PROPARTRIA

EENDRAGT MAAKT. Keadaan naskah kurang baik, kertas agak lapuk

pada halaman dua sudah tidak terbaca, penjilidan sudah lepas. Awal teks

berbunyi: “Bismillahi al-rahmani al-rahiim wa bihi nasta‟in billahi, ini

suatu cetra orang empunya cetra ini demikian bunyinya. Ada seorang-

orang perempuan di benua Syam itu namanya. Adapun akan Fatimah

Syam itu terlalu rupawan di dalam negeri Syam seorang pun tiada

samanya.” Akhir teksnya: “Maka sebaqba itulah jadi berhimpunlah segala

pilu rawan itu, setelah sudah maka Baginda Muhammad Hanafiyyah pun

masing-masing kembali ke tempatnya. Telah keesokan harinya maka

saudara Amirul Mu‟minin Muhammad Hanafiyyah dan segala laskarnya

pun pergilah sembahyang ke masjid Baginda Rasulullah Shallallahu

„Alaihi wa Sallam pada hari itu hari jum‟at. Maka segala orang benua

Madinah pun berhimpunlah pergi sembahyang ke masjid Baginda

Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam”. Pada awalnya naskah ini

menceritakan tentang Fatimah dari Syiria ia pergi ke Makkah untuk

mencari calon suaminya yang memiliki cahaya di dahinya, namun tidak

dapat menemukannya. Kemudian diceritakan masa muda nabi

Muhammad, perkawinannya, hingga peperangan Lahad, dan masa

pemerintahan baginda Ali. Akhirnya kisah tentang putra Ali dengan

59

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+70&pType=CallNumber&p

Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 12 WIB

36

wanita lain bernama Muhammad Hanafiyyah, yang lari ke dalam gua

karena dikepung oleh tentara Yazid.60

9. W 72; bila melihat pada data katalog Perpustakaan Nasional terdapat

beberapa informasi tentang manuskrip ini, yaitu: jumlah halaman 266;

ukuran kertas dalam teksnya 20,5 x 32 cm; ukuran sampul 20,5 x 33 cm;

ukuran blok teks 14 x 26,5 cm; tulisannya terdiri dari 21 baris dalam

setiap halamannya. Tulisan bisa terbaca, kertasnya agak kotor dan

kecoklatan. Naskahnya berbentuk prosa ditulis di atas kertas dengan cap

Singa dalam lingkaran; CONCORDIA. Tersedia pula dokumen digital

yang dapat diakses secara online. Awal teks berbunyi: “Rasuulillahi

Shallallahu „alaihi wa Sallam tatkala jadi diperanakkan bundanya Aminah.

Dan peri mengatakan tatkala Muhammad jadi upahan segala peristiwa.

Ada seorang perempuan di benua Syam namanya Fatimah Syam”. Akhir

teksnya: “Maka Muhammad Hanafiyyah pun terkejutlah lalu rebah tiada

sadarkan dirinya. Maka pintu kota itu pun tertutuplah datang sekarang ini.

Tamat Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah dan akhir Hasan dan Husen

tersalin pada 6 hari bulan Sya‟ban Al-Karam pada hari arba‟a pukul

dualapan sanah 1281 di dalam rabu adanya. Kisah diawali dengan cerita

Fatimah dari Syria, yang pergi ke Makkah untuk mencari calon suami

yang mempunyai cahaya pada dahinya. Namun ia tidak menemukannya.

Kemudian menceritakan tentang masa muda Nabi Muhammad,

perkawinannya, peperangannya yang dilakukannya, dan lain-lain.

Disebutkan pula tentang kematian Yazid yang terbunuh dalam peperangan

melawan Muhammad Hanafiyyah. Namun tidak diceritakan kemenangan

Muhammad Hanafiyyah dalam peperangan tersebut. Terdapat

penenggalan, Riau 6 Sya‟ban 1281 H.61

Dari kesembilan manuskrip yang dikoleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia tersebut, terdapat dua naskah yang memiliki sisi

kesamaan isi cerita, yaitu naskah yang memiliki kode katalog ML 446 dan

ML 673 (W 69), keduanya secara fisik memiliki kondisi yang lebih baik

dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga memudahkan dalam

pengkajiannya.62

Diceritakan dalam naskah manuskrip dengan nomor panggil W 69,

berjudul Hikayat Muhammad Hanafiyyah, bahwa Muhammad Hanafiyyah

60

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+71&pType=CallNumber&p

Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 13 WIB 61

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+72&pType=CallNumber&p

Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 14 WIB 62 Kinanti Putri Utami, Ibid, h. 48

37

turut berperang beserta dengan saudara-saudara dan ayahnya melawan

pasukan Mu‟awiyah yang telah menzhalimi keluarganya: “... Maka Baginda Ali pun keluarlah ia ke Padang dengan anaknya tiga

orang juga Amir Hasan dan Amir Husain dan Muhammad Hanafiyyah

setelah itu maka Baginda Ali pun datang membawa suatu Thaabal (?) di atas

kudanya maka Sabda Baginda Ali “Hai anakku yang tiga orang engkau

seorang suatu penjuru dari pada pihak Maghrib maka kita berdiri mengucap

shalawat akan Baginda Rasulullah maka Thaabal (?) itu kita masing-masing

memukul dan palu karna lasykar jin dan peri sa‟uh (?) aku berjanji dengan

dia bahwasannya ia datang kepada kita maka keempatnya anak beranak itu

berdirilah kepada empat penjuru lasykar Mu‟awiyah dan gendang perang

Thaabal (?) itupun dipukulnya serta mengucap shalawat dan saat juga maka

tentara jin turuqlah (?) berpasu-pasukan seraya bertampak dengan bareng

suaranya itu maka segala lasykar Mu‟awiyah pun terkejutlah lalu cerai berai

tiyada berketahuan kesana kemari setelah siyang hari maka Mu‟awiyah pun

melihat segala lasykar itu masing-masing bergulipan terhantar di bumi

semuwanya mati maka Mu‟awiyah pun terkejut lalu ia lari kembali ke

negerinya...”63

Eksistensi Muhammad Hanafiyyah memang sudah diramalkan oleh

Rasulullah, kehadirannya adalah wujud dari perlawanan kepada kaum-kaum

yang munafik dan merendahkan keturunan Nabi Muhammad saw: “... Pada suwatu hari adalah aku sanak dari pada baginda Rasulullah Shallalahu

„Alaihi wa Sallam bersabda kepada aku mengatakan peri kematian Hasan dan Husain

bahwasannya adalah akan datang menuntut darah kematian Hasan dan Husain dan

adalah (?) harimu Rasulullah kepada masa itu Amir Hasan dan Amir Husain lagi kecil

maka baginda Rasulullah pergilah ke rumah baginda Ali maka ujar Rasulullah kepada

Puteri Hanafiyyah (sic: istri Ali selain Fatimah binti Muhammad) Hai Puteri

Hanafiyyah apabila engkau dapat anak laki-laki maka engkau namakan Muhammad

Hanafiyyah setelah itu maka dapatlah anak laki-laki maka dinamainya itu Muhammad

Hanafiyyah Arkiin (sic: masuk pembahasan baru) maka adalah kepada suwatu hari

baginda Ali pun membawa anaknya kepada baginda Rusulullah Shallalahu „Alaihi wa

Sallam Ya Ali bahwa anakmu namakan Muhammad Hanafiyyah maka baginda

pun mencium mukanya setelah didengar oleh Siti Fathimah maka sembahnya Ya

Junjunganku mengapakah anak Puteri Hanafiyyah itu maka dinamakan oleh

Junjunganku Muhammad Hanafiyyah maka sabda baginda Rasulullah Hai anakku

adapun sebab aku namai kan dia Muhammad Hanafiyyah itu adalah kepada zaman

masanya itu aku tiyada dan engkau pun tiyada dan Abu Bakar pun tiyada dan Umar pun

tiyada dan Utsman pun tiyada dan Ali pun tiyada lagi pada masa itulah sahabatku yang

bernama Khawarij itulah melakukan kehendaknya atas cucuku ini maka Amir Hasan ini

dibunuhnya dengan racun dan dan Amir Husain itu dibunuhnya pada tanah padang

Karbala itu maka pada masa itulah Muhammad Hanafiyyah akan menuntut peri

kematian cucuku keduanya itu.”64

63 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Hanafiyyah,

Nomor Panggil: W 69, h. 91 64 Ibid, h. 124-125

38

Sedangkan dalam versi L.F Brakel, Hikayat Muhammad Hanafiyyah

di bagi menjadi dua bagian: bagian pertama berkisah tentang riwayat Nabi

Muhammad saw beserta para sahabatnya, bagian kedua pembahasannya

fokus kepada kisah perlawanan Muhammad Hanafiyyah terhadap Yazid bin

Muawiyyah, penguasa yang telah meracuni Amir Hasan dan membunuh

Amir Husain di Padang Karbala, hingga diceritakan ihwal kegaibannya yang

tidak diketahui lagi.65

Kisah heroik Muhammad Hanafiyyah, yang dikaitkan dengan warna

kepercaan mahdisme, nampaknya berbekas dan menginspirasi kaum pribumi

di Nusantara untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan dan

kekuasaan orang asing yang telah merenggut tradisi lokal mereka.

E. Kandungan Millenarian dalam Kisah Pewayangan Arjuna

Arjuna adalah sosok penting dalam Pandawa Lima, rupanya yang

menarik bagi kaum Hawa menjadi magnet tersendiri – ia juga dianggap

sebagai orang yang sakti mandraguna, tiada bandingannya. Karena itu, Kaiin

Bapak Kayah yang juga seorang Dalang, menjadikan kisah-kisah wayang

Arjuna sebagai tokoh yang inspiratif, bahkan Ki Dalang juga memberi gelar

dirinya dengan sebutan Arjuna. Legitimasi ini menjadi sebuah kekuatan

dalam pergerakan Kaiin untuk merangkul Kaum Tani dan kelompok miskin

lainnya. Maka tak heran bila Kaiin mengindentifikasikan dirinya dengan

sosok fenomenal di dunia pewayangan, Sang Arjuna.

Seorang Dalang Wayang, pasti menguasai dan hafal terhadap kisah-

kisah Arjuna ini. Bapak Dalang Kaiin hidup di akhir abad ke-19 (1880-an)

dan awal abad ke-20 (w. 1924), pada masa itu di tanah Betawi (Jakarta dan

Tangerang) banyak tersebar cerita pewayangan Arjuna, hal ini berkat usaha

para dalang yang melakukan pementasan (penyampaian secara lisan) dan

juga melalui sumber tertulis, untuk yang belakangan ini banyak ditulis oleh

Muhammad Bakir Syafi‟an bin Al-Fadhli yang berasal dari Kampung

Langgar Tinggi, Pecenongan, Jakarta.

Dalam penelitian tesis ini, peneliti juga memanfaatkan karya

Muhammad Bakir, terutama manuskrip-manuskrip yang tersimpan di

Perpustakaan Nasional. Dalam hal ini ada tiga judul, yaitu: (1). Hikayat

Maharaja Garabak Jagat, dengan Nomor Panggil: ML 251. (2). Wayang

Arjuna, Nomor Panggil: ML 244. Dan (3). Wayang Pandu, Nomor Panggil:

ML 241.

Asal-usul keluarga Arjuna secara lengkap diceritakan oleh

Muhammad Bakir dalam karyanya yang berjudul Hikayat Asal Mulanya

65 L.F. Brakel, The Story of Muhammad Hanafiyyah a Medieval Muslim Romance,

(The Hague: Martinus Nijhoff, 1977)

39

Wayang yaitu Turun Temurunnya Pandawa66

atau dalam katalogus

manuskrip Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan versi judul

yang berbeda, yakni Wayang Pandu.67

Arjuna adalah tokoh legendaris dalam cerita-cerita pewayangan,

parasnya yang menawan membuat para wanita tergila-gila padanya.

Ketampanan wajah Arjuna meskipun sudah meninggal karena dipenggal

kepalanya tetap saja dipuja-puji para wanita, hal ini sebagaimana diceritakan

dalam kisah Wayang Arjuna berikut ini: “... Maka kata Tuan Puteri pada raja bahwa beta haraplah dengan

sebetul-betulnya raja punya dermakan kepalanya Rajuna ini biarlah ditaru

dibawa kaki tempat tidurnya supaya dibuat perhiasan karena kepalanya

seperti laku orang hidup jikalau tiada bole sama-sama biarlah dua tiga hari

pun sekalipun semalaman tuan puteri harap biarlah ditinggal di situ, maka

sebab raja amat cinta kasih sayang dengan istrinya karena dipikir supaya

putus harapnya jangan lagi-lagi disebut-sebut namanya, maka lalu

disurunya tinggalkan semalaman, maka tatkala suda jau malam sekaliannya

kembali pada tempat dan pada istananya masing-masing tetapi Sang Prabu

Jenggala minta besok pagi-pagi mesti ditanam kepala itu dalam jumbeleng

orang hukuman tetapi permintaan itu belon bole raja bilang ia atau tiada

melainkan lagi ditimbang dan dipikir dahulu karena hari itu suda malam

melainkan putusannya besok pagi, maka sekaliannya pulang pada istananya

demikianlah adanya”68

Kesaktian Arjuna tiada bandingannya, diceritakan dalam Wayang

Arjuna, tercatat beberapa kali kepalanya dipenggal, namun selalu dapat

menyatu kembali dengan tubuhnya yang terpisah, bahkan ia bisa

menggandakan wujudnya menjadi empat raga (Sukma Rupa, Sukma Jenis,

Sukma Macam, dan Sukma Warna). “... Sekalian widadarin menjadi bingung seperti orang pingsan

lakunya karena dilihat barang yang terpegang jadi terlepas dan yang

tergenggam menjadi hilang karena heran sekonyong-konyong jari dan

lengan tumit dan kaki melesat sana kemari maka seketika hilang tiada

berketahuan maka sehilangnya anggota bangkai itu, maka datanglah akan

empat orang laki-laki amat bagus rupanya dan sigap pakaiannya dan manis

macamnya dan elok parasnya tiada bosan dipandang mata dan lemah

lembut suaranya seperti segara madu jikalau mengeluarkan suara,

jangankan perempuan tiada gila mabuk birahi, maka laki-laki keempat itu

bersamakan rupanya tiada dibedahi sedikit jua pun dan pakaiannya sama

66 Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Bunga Rampai Sastra

Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, 2002), h. 13 67 Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Pandu, (Jakarta:

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 241 68 Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Arjuna, (Jakarta:

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 244, h. 43

40

dan tahi lalatnya sama dan hidung, mata, alis, kuping, suara dan kelakuan

tiada dibedahnya seperti orang melihat bayang-bayang pada keempat kaca,

bagus sama bagusnya dan manis sama manisnya sikap sama sikapnya maka

seluru alam tiada berbanding lagi pada keempat laki-laki itu maka seorang

namanya itu disebutnya Sukma Rupa, Sukma Jenis, Sukma Macam, Sukma

Warna. Maka setelah keempat puluh widadarin memandang rupa laki-laki

itu maka terlalu amat suka cita hatinya karena tiada bosan dipandang, maka

sekalian widadarin menjadi mabok birahi tiada bertahan lagi hatinya serasa

hendak menggigit bibirnya, sayang di tenga jalan belum sampai ruma,

maka pada masa itu lalu diajaknyalah ole segala widadarin itu pulang ke

dalam Suralaya...”69

Selain tampan dan sakti, Arjuna juga memiliki senjata pamungkas

berupa Panah yang diberi nama Pasopati dan Keris yang bernama Pancaroba.

Panah Pasopati adalah senjata nenek moyangnya, yang diwariskannya secara

turun temurun, sebagaimana diceritakan dalam Wayang Pandu berikut ini:

“... Setelah suda antara berapa hari selangnya maka kata Lurah Semar Ya

Tuanku manakah anak pana itu baiklah Tuanku simpankannya karena anak

pana itu bukan barang-barang kelak menjadi turun temurun menjadi seperti

suatu pusaka buat anak cucu Tuanku sendiri seperti suatu azimat.”70

Arjuna mendapatkan senjata keris itu buah dari ganjaran Batara

Narada, karena ia telah menyempurnakan tapanya yang lama di sebuah

puncak gunung sebelum ia menghadapi perang Barata Yuda: “Alkisah pada zaman dahulu di jagat pewayangan tersebutlah Sang

Arjuna tengah bertapa di puncak sebuah gunung ia bertapa memohon agar

Dewata menambah kesaktiannya untuk menghadapi perang Barata Yuda

sebuah perang besar untuk merebut kembali hak Pandawa atas Singgasana

Astina ...

Sang Arjuna jatuh tunggang langgang segera ia melompat bangun

perlahan ia menghunus keris yang baru didapatnya cahaya kemilau

terpencar dari pamor keris itu.

Bagai kilat Arjuna kembali menerjang Satria itu menyambar-nyambar

bagai elang saat kedua raksasa itu menyambar secara serentak

melentinglah tubuh Arjuna ke belakang keris di tanganya menebas.

Raungan dahsyat terdengar kedua raksasa itu membelalak tangan

keduanya putus darah dari luka mereka mengucur bagai air terjun lalu

lenyaplah raksasa kembar itu.

Sang Arjuna berdiri termangu-mangu keris di tangannya masih

berlumur darah para Punakawan berlari mendapatinya Semar amat cemas

dengan keadaan Tuannya terdengarlah satu suara tanpa wujud.

69 Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Arjuna, Ibid, h. 88 70 Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Pandu, op.cit, h.

198

41

Cucuku sudah kau buktikan keampuhan keris itu ujar suara itu

itulah keris Si Pancaroba ganjaran tapamu.

Siapakah wahai engkau suara tanpa wujud tanya Arjuna.

Akulah Patih Narada sahut suara itu kedua raksasa itu adalah

jelmaanku sendiri.”71

Keris Pancaroba digunakan pula oleh Arjuna untuk melawan para

Batara di negeri Suralaya yang menyembunyikan musuhnya, Prabu

Jenggala, berikut kutipan ceritanya: 72

“Hatta tersebutlah Sang Rajuna itu mengikuti larinya Ki Jenggala itu

barang di mana larinya dan perginya disusulnya maka pada tatkala Sang

Prabu naik di Suralaya maka Sang Rajuna pun menyusul dari belakang

setelah sampai di pintu Suralaya maka lalu ditahan dengan barisan batara-

batara itu serta tiada diberinya masuk maka kata Sang Rajuna Hai Batara

Indra maka mengapakah aku tiada diberi masuk karena aku lagi sedang

mengusir perburuanku karena aku lihat larinya Prabu Jenggala kemari ia

masuk maka aku hendak mengusir padanya maka mengapakah kamu

melarangkan.

Maka sahut Batara Indra Hai Rajuna suda aku dapat komisi tiada

bole Rajuna masuk.

Maka sahut Rajuna apakah sebabnya dan apakah salahnya bukankah

aku hamba juga seperti kamu jikalau musim pepes barang kali aku

membawa binatang patut juga kamu larangkan dan sekarang aku hendak

masuk juga perkaranya dibelakang kali.

Setelah Batara Indra menengar maka terlalu amat marahnya katanya

hai Rajuna jangan kamu bantahan dan jangan kamu kepala besar dan kamu

dihamba di alam Marcapada73

dan aku ada bilangan batara dan kamu ini

bukan punya bilangan masuk di negeri ini dan aku ada lain dan kamu ada

lain daripada aku dan janganlah kamu bantahan kelak aku bunu.

Maka sahut Rajuna hai Batara coba-coba jikalau suda patah hujung

kerisku Si Pancaroba dan jikalau suda patah bahu kanan kulawan kiriku

baharulah aku menyerahkan diri.”

Di dalam Hikayat Maharaja Garabak Jagat, Keris Pancaroba

pernah mengalami ketidakampuhan, sehingga Arjuna kabur menghilangkan

wujudnya karena tersudut oleh musuhnya:

71 Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, op.cit, h. 175-178.

Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Hikayat Maharaja Garabak Jagat,

(Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 251 72 Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Arjuna, op.cit, h.

66-68. 73 Marcapada berarti; Alam Sekarang ini, alam dunia lihat Nur-Karim, et.al,

Kumpulan Cerita Wayang Versi Pecenongan: Suntingan Teks, (Jakarta: Perpustakaan

Nasional, 2012), h. 352

42

“Maka bertarunglah Gerebeg Jagat dan Arjuna begitu sengit dan

dahsyatnya petarungan hingga hutan dan kebun-kebun hancur terlanggar

oleh mereka tampak Maharaja Gerebeg Jagat mulai terdesak.

Maka Nala Guriang Nala dan Nala Anggalaya pun menerjanglah

dikeroyok tiga orang Arjuna mulai keawalahan apalagi Nala Anggalaya

berkelahi dengan sangat curangnya ia menggigit bahkan mencakar maka

Sang Arjuna pun menghunus keris Si Pancaroba.

Cantrik Marga Semirang melihat itu ia tahu tak ada yang mampu

bertahan dari keris Si Pancaroba maka Ki Cantrik pun mengucapkan

mantranya hilanglah kesaktian Si Pancaroba.

Ha...ha...ha... apa yang kau lakukan gelak Gerebeg Jagat saat ia

ditikam Arjuna ayo tikamlah sesukamu tak ada rasanya h a...ha...ha...

He...he...he... aku juga mau Kang aku mau ditikam pisau dapur itu

ujar Nala Anggalaya.

Hi...hi...hi... aku mau pinjam pisau itu untuk memotong kuku Nala

Guriang Nala menimpali.

Murkalah Arjuna Nala Guriang Nala ditendangnya namun ia

merunduk lalu menggigit jari kaki Arjuna saat itu Ki Cantrik mengucap

mantranya sakit luar biasa dirasakan Arjuna saat Nala Guriang Nala

melepas gigitannya kaki Arjuna sebagian menjadi batu.

Terperanjat Arjuna melihat kakinya Gerebeg Jagat dan kedua

adiknya tertawa terkikik-kikik saat Arjuna mencoba bergerak kaki batunya

terasa amat berat maka menghilanglah Sang Arjuna.”74

Sekelumit cerita Arjuna di atas, berdasarkan pada naskah yang ditulis

oleh Muhammad Bakir Syafi‟an pada tahun 1890-an, yang diadopsi dari cerita-

cerita pewayangan yang disampaikan para Dalang di Batavia. Di saat yang

bersamaan Kaiin muda juga hidup sezaman dengan beredarnya tulisan

tersebut. Fakta beredarnya tulisan dan referensi cerita pewayangan dari para

dalang, membuka kemungkinan inspirasi pergerakan Kaiin, merujuk kepada

sumber cerita Arjuna yang sedang populer di tanah Betawi kala itu – di mana

sosok Arjuna yang gagah berani, membela kaum tertindas, dan selalu

memenangi peperangan, menjadi tokoh protagonis yang sangat dikagumi

oleh masyarakat kebanyakan.

74 Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, op.cit, h. 192. Lihat

juga Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Hikayat Maharaja Garabak

Jagat, op.cit

43

BAB III

SITUASI SOSIAL-POLITIK SEBELUM PERGERAKAN

A. Toponimi dan Letak Geografis Tangerang

Seperti yang telah dijelaskan pada bab satu dalam pembatasan

masalah, bahwa lokasi penelitian ini berada di daerah Tangerang yang masuk

dalam wilayah Keresidenan Batavia yang didirikan oleh J.P. Coen pada tahun

1619. Secara administratif, Karesidenan Batavia meliputi daerah: Batavia-

Kota (pusat pemerintahan), Meester Cornelis (sekarang Jatinegara),

Tangerang, Karawang, dan Buitenzorg (Bogor).

Tangerang adalah daerah yang sangat strategis di wilayah barat

Karesidenan Batavia, karena secara geografis menjadi daerah tapal batas

yang menghubungkan dengan wilayah kesultanan Banten. Sebelum dikuasai

VOC, Tangerang adalah daerah yang paling ujung timur dari Kesultanan

Banten, setelah pengaruh Kesultanan dikurangi oleh Daendels, Tangerang

tetap menjadi bagian terpenting dari Batavia, karena posisinya diapit oleh

sungai Cisadane yang menjadi pusat ekonomi dan politik.

Ada dua pendapat tentang muasal nama Tangerang, pendapat pertama

mengacu pada bangunan benteng yang berada di tepi sungai Cisadane. Yang

kedua berpendapat berasal dari sebuah tugu peringatan yang dibangun juga di

dekat sungai Cisadane.

Alasan pendapat pertama, yakni nama Tangerang diambil dari bahasa

Sunda “Tengger” dan “Perang”. Tengger bermakna Tugu atau tempat

peringatan sesuatu yang terbuat dari bambu, batu, atau bisa berbentuk

benteng. Karena itu, Tangerang dahulu dikenal juga dengan nama Benteng,

merujuk kepada bangunan benteng yang terbentang di sepanjang sungai

Cisadane. Sedangkan kata Perang, berarti kejadian besar yang

menghadapkan dua atau lebih kelompok yang saling bertikai untuk

penyelesaian sengketa mereka dengan jalan pertempuran atau perang. Dua

kata tersebut di atas, selanjutnya digabungkan menjadi satu dengan

menghilangkan sebagian hurufnya dan mengganti huruf di lain pihak,

sehingga menjadi Tanggerang atau dengan satu huruf „g‟ (Tangerang).1

Penamaan Tangerang yang dikaitkan dengan bangunan benteng yang

berfungsi sebagai pertahanan dari musuh-musuh, nampaknya bukan terjadi

saat jatuhnya Banten kepada penguasa VOC (Verenigde Oost-Indische

Compagnie) di Batavia yang membelah Tangerang menjadi dua, di sebelah

1 Edi S. Ekadjati, et.al, Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah

Kabupaten Tangerang, 2004), h. 39

44

barat sungai Cisadane masuk ke dalam wilayah Kesultanan Banten dan

bagian yang kedua di sebelah timur sungai menjadi milik Kompeni Belanda.

Ada dua argumentasi yang dapat dikemukakan; pertama, sungai

Cisadane nampaknya menjadi batas wilayah yang memudahkan pembelahan

wilayah ini menjadi dua, apalagi sungai ini besar dan dapat dilalui perahu-

perahu yang membawa kebutuhan logistik dari dan ke wilayah hulu

pedalaman. Lebarnya rata-rata 100 meter, kedalamannya mencapai 12,5

meter dan arusnya yang besar, mengakibatkan orang yang ingin menyebrang

tidak bisa berenang apalagi tanpa ada alat bantu penyeberangan. Sehingga

dimungkinkan pembuatan benteng pertahanan sebagai langkah preventif bagi

penyusup-penyusup yang akan mengganggu stabilitas di kawasan Kesultanan

Banten.

Argumentasi kedua yang dapat mematahkan teori toponimi

Tangerang dengan merujuk kepada peristiwa sengketa antara Kesultanan

Banten dan Penguasa Kompeni Belanda, adalah pernyataan Tome Pires di

dalam Suma Oriental, yang melakukan muhibah ke Nusantara kurun waktu

1500-an telah menyebutkan daerah-daerah yang pernah disinggahinya. Di

antara kota pelabuhan yang disebutkannya adalah “Tamgara”, yang secara

bunyi pelafalannya mirip dengan kata “Tangerang”. Adapun kalimat yang

menyatakan demikian adalah sebagai berikut: “The fourth port is that of

Tamgara. It is a port like the above. It has a goodly town and trade. It has a

captain. It is a trading place like all the above mentioned. It has the things the

other have”2

Pada buku Claude Guillot juga disebut sumber-sumber yang

menyebut “Tangerang”, yaitu:

“... dalam buku Pires menyebut secara berurutan dari barat ke timur:

Bantam, Pontang, Chegujde, Tamgara (Tangerang) dan Calapa; dan dalam

buku Barros yang menyebut dari timur ke Barat: Xacatra por outre nome

Caravam (Jakarta yang juga bernama Krawang), Tamgaram (Tangerang),

Cheguide, Pondang (Pontang), dan Bintam (Banten). Serta dalam peta yang

disisipkan oleh Lavanha dalam buku Barros (Decadas IV) dari barat ke

timur: Bintam, Pondang, Cheguide, Tangaram dan Zenopate – pada kedua

tepian sebuah sungai – Xacatra dan Caravam – pada kedua sisi satu sungai

yang lain.”3

2 Armando Cortesao (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of

Francisco Rodrigues, (Liechtenstein: Kraus Reprint Limited, 1967), Vol. I, h. 171 3 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2011), Cet. Ke-2, h. 43-44

45

Penjelasan Claude Guillot lebih lanjut tentang dua sungai yang

dimaksud yakni: “... Tangerang dan „Zenopate‟. Nama tempat yang terakhir

ini tidak lain adalah „Senopati‟, dan ini berarti bahwa pemimpin tentara

Banten sering menetap di sungai Cisadane untuk menjaga perbatasan di

sebelah timur. Hal ini dibenarkan oleh berbagai sumber sampai jatuhnya

Banten di tangan Belanda tahun 1682.”4

Sedangkan pendapat kedua tentang penamaan Tangerang dengan

merujuk kepada sebuah tugu adalah penelitian M. Dien Majid dan kawan-

kawan, melalui sumber manuskrip5 yang dikutipnya, menyebutkan asal kata

nama Tangerang diambil dari bahasa Sunda, „Tangeran' yang bermakna

„tanda‟. Hal ini merujuk kepada sebuah tugu yang menjadi penanda batas

daerah Kesultanan Banten dengan VOC. Kemudian kata „Tangeran' menjadi

„Tangerang', karena mendapat pengaruh dari bahasa Makassar, yang tidak

mengenal huruf mati dalam akhir kata.6

Tugu penanda ini dibangun oleh Pangeran Soegri, salah satu putera

Sultan Ageng Tirtayasa (Penguasa Kesultanan Banten), terletak di Kampung

Grendeng (jalan Otto Iskandardinata), bagian Barat Sungai Cisadane. Pada

tugu tersebut terdapat prasasti tertulis berbahasa Jawa Kuno, aksen Banten,

dengan aksara Arab.7

Adapun bunyi prasasti dalam tugu tersebut, sebagaimana dikutip dari

buku Sejarah Kabupaten Tangerang, adalah sebagai berikut:

4 Claude Guillot, Ibid, h. 46 5 Manuskrip milik Subahat Suradinata, diambil dari catatan Parimbon Ke-Aria-an

Tengeran, ditulis oleh Penghulu Landraad Haji Abdullah. 6 M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah

Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian

Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 36-37 7 Ibid

46

Transliterasinya:

Bismillah peget Ingkang Gusti

Diningsun juput parenah kala saftu

Ping katanggal safar taun wawu

Rengsena perang neteg Nangeran

Bungas wetan cipamugas kulon Cidurian

Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang-Titi/XXX

Artinya:

Dengan nama Allah tetap yang Maha Kuasa

Dari kami mengambil kesempatan pada hari sabtu

Tanggal 5 Sapar tahun wawu

Sesudah perang kita memencangkan tugu

Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas (Cisadane) dan Barat yaitu

Cidurian

Semua menjaga tanah kaum Parahyang8

Adapun penduduk di wilayah Tangerang dan Jakarta menurut

Thohirudin dalam Edi. S. Ekadjati, lebih populer menyebutnya dengan

sebutan Benteng, hal ini merujuk pada benteng yang dibangun di sekitar

sungai Cisadane, sedangkan nama Tangerang sendiri baru dikenal pada tahun

1712.9

Di era moderen ini, Tangerang terbagi dalam tiga wilayah

administratif, yakni: Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota

Tangerang Selatan. Kesemua wilayah tersebut luasnya mencapai 128.223

Hektare.10

Wilayah Tangerang berbatasan langsung di sebelah timurnya

dengan daerah Batavia (Jakarta bagian barat), di sebelah barat dengan

Serang, selatan dengan Buitenzorg (Bogor), dan di utara bagian dari wilayah

Tanjung Kait dan Untung Jawa (sungai Cisadane) yang bermuara ke Laut

Jawa.11

Terdapat pula sungai-sungai penting yang berperan besar menjadi

jalur distribusi dan lalu lintas di masa lampau dari hulu menuju hilir dan

sebaliknya. “Kali” begitu orang Tangerang menyebutnya, menjadi pusat

peradaban kota Tangerang. Di antara kali tersebut ialah: Cisadane, Cidurian,

Cimanceuri, Pesanggrahan, dan Angke. Kali Cisadane menjadi yang terbesar

8 Ibid, h. 36-37 9 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 40 10 Multamia R.M.T. Lauder, Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di

Tangerang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993), h. 10 11 D.G. Stibbe, Encyclopedie van Nederlandsch-West Indie, (1921), Jilid IV, h. 266

47

dan menjadi ikon dari Tangerang, kedudukan sungai ini menjadi amat

penting karena menjadi batas wilayah yang membelah Kesultanan Banten

dengan daerah kekuasaan Kompeni Belanda (VOC).

Karena peran strategis sungai Cisadane sebagai perbatasan negara, di

masa Sultan Ageng Tirtayasa memerintah Kesultanan Banten – pernah

membuat proyek besar di bidang pertanian sekaligus membuat kebijakan

“transmigrasi” ke tapal batas tersebut. Sebagaimana termuat dalam Dagh-

Register dan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie yang dikutip oleh

Guillot, pada bulan September 1659, Kyai Arya Mangunjaya (pejabat

menteri Kesultanan Banten) menginstruksikan kepada bawahannya untuk

menanam seratus batang pohon kelapa muda di setiap daerah yang

dipimpinnya, dekat sungai Ontong Jawa (Untung Jawa atau sungai

Cisadane). Sultan juga membuat kebijakan mengisi daerah tersebut dengan

sejumlah lima ribu orang laki-laki dan keluarganya untuk merawat

perkebunan baru tersebut.12

Di masa Hindia Belanda, karena permintaan domestik dan dunia

sangat meningkat, pemerintah juga membuat kebijakan penanaman kelapa

yang dijadikan kopra. Konsentrasi perkebunan kelapa terpusat di daerah-

daerah pesisir pantai, khususnya Tangerang bagian utara yang sangat cocok

dengan jenis buah-buahan ini. Sebagaimana tercatat dalam Changing of

Economy in Indonesia Jilid I, tahun 1975, yang berjudul “Indonesia‟s Export

Crops 1816-1949”, yang dikutip oleh J.O „Malley, pada tahun 1920 di pulau

Jawa hampir 10 ribu hektare tanah perkebunan ditanami pohon kelapa – yang

terpusat di daerah Batavia, Semarang, dan Kediri.13

Selain kelapa, daerah

utara Batavia juga merupakan tanah subur yang sangat cocok untuk

persawahan. Berbeda dengan daerah selatan Batavia, yang dijadikan sentra

perkebunan kopi, cokelat, kacang, buah-buahan, kayu dan lain-lain.14

Secara umum wilayah Tangerang beriklim panas dengan keadaan

suhu rata-rata berkisar antara 27 hingga 30 derajat celcius.15

Khusus wilayah

utara keadaan suhu panas dipengaruhi oleh Laut Jawa, sedangkan di selatan

bisa mengalami cuaca yang relatif sejuk karena berbatasan dengan daerah

Bogor yang masih memiliki hutan kota dan pepohonan yang rimbun.

12 Claude Guillot, op.cit, h. 156 13 J.O „Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar”, h. 197-235, dalam Anne Both,

et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 222-223 14 D.G. Stibbe, op.cit, h. 354-359. Dan lihat Suhartono W. Pranoto, Jawa: (Bandit-

bandit Pedesaan) Studi Historis 1850-1942, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Cet. Ke-1, h.

31 15 Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 10

48

B. Tangerang sebagai Tanah Partikelir

Status tanah di Tangerang pada masa Kesultanan Banten, mengikuti

pola yang diatur oleh Sultan, seperti Tanah Negara, yaitu tanah milik Sultan

yang diberikan kepada petani dengan kewajiban membayar pajak dan tenaga

kerja. Tanah Negara tersebut terbagi lagi dalam beberapa jenis, yaitu tanah

yang diberikan Sultan kepada keluarga raja dan birokrat, yang disebut tanah

ganjaran, pusaka laden, atau pecaton. Pemberian tanah khusus kepada famili

raja disebut kewargaan atau kanayakan. Sedangkan untuk birokrat kerajaan

disebut tanah pangawulaan. Pemberian tanah oleh sultan merupakan

kewenangan yang melekat kepada penguasa secara turun temurun, yang

diberikan sebagai hadiah bagi orang-orang yang berjasa menurut Sultan.16

Pemegang tanah yang dijadikan sawah selanjutnya membuka sawah-

sawah baru di tanah-tanah kosong di wilayah kesultanan, yang kemudian

disebut Tanah Yasa. Semua tanah-tanah tersebut terdapat sumber penghasilan

berupa pajak, sehingga semakin banyak lahan baru, maka banyaklah

pendapatan yang diraih kesultanan.17

Status tanah setelah pudarnya kekuasaan Kesultanan Banten di

Tangerang, sedikit mengalami perubahan. Bila di masa kesultanan tanah

diberikan kepada keluarga Sultan dan Birokrat (kelompok kelas atas

pribumi), maka di masa kekuasan VOC tanah diberikan atau dijual kepada

kebanyakan orang asing (terutama orang Tionghoa). Status kepemilikan

tanah di dua masa ini, tetap tidak berimbas kepada masyarakat rendahan

seperti petani penggarap, mereka hanya menjadi objek eksploitasi para

pemilik tanah saja.

Di masa Kompeni Belanda (VOC, tahun 1602-1799), Tangerang

menjadi Tanah Partikelir (particuliere landerijen). Status Tanah Partikelir

muncul seiring dengan kebijakan memperjualbelikan tanah kepada pihak

swasta, yang kemudian kebijakannya dilanjutkan pada masa kolonialisme

Belanda melalui perwakilannya, Gubernur Jenderal Herman Willem

Daendels (1808-1811). Dan diteruskan pada masa peralihan Kerajaan Inggris

yang diwakili oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)

serta berkelanjutan hingga akhir masa penjajahan.18

Selain karena penjualan, tanah partikelir juga dimaksudkan sebagai

hadiah bagi para pahlawan perang yang berjasa membantu kompeni dalam

penaklukan Jayakarta dan mempertahankan dari invasi Banten, serta

peperangan yang melibatkan pemerintah kolonial. Hal ini berlaku pula pada

daerah-daerah di sekitar Batavia. Kebijakan ini diambil sebagai langkah

16 Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 37 17 Suhartono W. Pranoto, Ibid, h. 37 18 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah

Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi Pemutakhiran, h. 400

49

strategi politik untuk meramaikan kembali kota Batavia yang banyak

ditinggalkan penghuninya pasca perang. Pemberlakuan ini dilakukan setelah

satu tahun Kompeni Belanda berhasil menduduki Jayakarta (1620/1621) dari

Pangeran Wijayakrama, yang sebelumnya juga menjadi penguasa vasal dari

Kesultanan Banten.19

Sedangkan orang yang mendapatkan hadiah tanah

karena melekat jabatannya di posisi-posisi pemerintahan, maka yang

demikian tanahnya disebut sebagai tanah bengkok.20

Status tanah partikelir yang diperjualkan oleh VOC maupun

pemerintah kolonial kepada perorangan atau swasta berbeda dengan tanah

biasa seperti saat ini. Pihak yang membeli tanah partikelir tidak hanya

mendapatkan sebidang tanah, tapi sekaligus mendapatkan hak-hak untuk

membentuk polisi sebagai pengamanan daerah, dan juga berhak untuk

menarik pajak dari petani. Dalam hal ini pemilik tanah yang kemudian

menjadi tuan tanah (landheer) memiliki Hak Keistimewaan (Hak Pertuanan)

atas tanah yang dimilikinya. Sehingga rakyat yang menggarap dan tinggal di

wilayah tersebut tunduk kepada penguasa tanah partikelir.21

Penjualan tanah berlaku bagi orang asing khususnya Arab, Belanda,

dan terutama Tionghoa, karena semakin luasnya kepemilikan tanah mereka,

maka mereka menjadi tuan-tuan tanah yang menguasai tanah sekaligus

manusia yang menghuninya.

Menurut data Koloniaal Verslag tahun 1892, yang dikutip oleh

Ekadjati, luas tanah sawah dan tegalan pada tahun 1891 di wilayah Afdeling

Tangerang mencapai 118.736 bau atau setara 103.268 hektare (1 bau = 0,8

hektare) dengan rincian per distriknya adalah sebagai berikut:22

1. Distrik Tangerang luasnya mencapai 42.553 bau atau setara dengan

34.042, 4 hektare dengan rincian: sawah 26.878 bau (21.502, 4 hektare)

dan tegalan 15.675 bau (12.540 hektare).

2. Distrik Balaraja luas seluruhnya 53.030 bau dan jika dikonversikan ke

satuan hektare menjadi 42.424 hektare, terdiri dari sawah berjumlah

23.212 bau (18.569, 6 hektare) dan tegalan 29.818 bau (23.854, 4

hektare).

19Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 96-97. Lihat juga M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia

Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008), cet. Ke-2, h. 77-78 20 R.E. Elson, “Kemiskinan dan Kemakmuran Kaum Petani pada Masa Sistem

Tanam Paksa di Pulau Jawa, dalam Anne Both, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta:

LP3ES, 1988), h. 39 21 Y. Wartaya Winangun, SJ., Tanah Sumber Nilai Hidup, (Yogyakarta: Kanisius,

2004), h. 28. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.),

op.cit, h. 400-401 22 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 117-118

50

3. Distrik Mauk sawah 23.153 bau (18.522, 4 hektare) dan tegalan 10.349

bau (8.279, 2 hektare) total jumlah seluruhnya 26.801, 6 hektare.

Luas tanah partikelir di pulau Jawa terus berkembang, sebagaimana

tercatat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, “Pada tahun 1915 di Jawa

terdapat 582 tanah partikelir, yang meliputi luas tanah sekitar 1,3 juta bau

(1.040.000 hektare) dan dengan penduduk sebanyak kurang lebih 1,8 (sich:

juta) jiwa. Beberapa di antaranya ada yang merupakan daerah yang luas

dengan penduduk 75.000 jiwa (bahkan ada yang meliputi 175.000 jiwa).”23

Alih-alih memerintah penduduk pribumi untuk mengisi kembali

Jayakarta, sebenarnya Kompeni Belanda mempunyai niat lain yang

terselubung. Kepentingannya yang kedua, yaitu jasa keamanan gratis karena

para pemilik tanah berkewajiban menjaga keamanan wilayahnya dengan

mempekerjakan para pendekar silat untuk menjadi centeng (semacam satpam

di zaman sekarang). Sedangkan maksud yang ketiga adalah untuk menambah

perbendaharaan kas kompeni dari hasil penyewaan tanah-tanah partikelir

tersebut, di luar usaha perdagangan dan perkebunan yang dikelola

Kompeni.24

Selanjutnya di masa Daendels dan Raffles, dibuat kebijakan

penjualan tanah-tanah partikelir oleh pemerintah kolonial dengan maksud

untuk mengisi kas negara yang tengah mengalami kebangkrutan.25

Ada dua macam nomenklatur tanah di Tangerang saat itu, yakni:

tanah yang dimanfaatkan sebagai tempat usaha yang dinamai erfacht, dan

tanah yang disebut landsdomein atau tanah negara. Peraturan soal tanah ini

dibentuk untuk mengatur kepemilikan tanah perseorangan. Adapun tanah

usaha (erfacht) di daerah Tangerang terdapat di Distrik Tangerang dan

Distrik Mauk.26

Selanjutnya tanah di wilayah Tangerang dibagi menjadi beberapa

persil (bidang atau bagian tanah), dimana setiap persilnya Kompeni jual

kepada orang-orang kaya di Batavia yang berasal dari bangsa Eropa dan

terutama bangsa Tionghoa, dengan demikian mereka menjadi tuan tanah di

tanah partikelir Tangerang tersebut, yang memiliki wewenang untuk

mengatur penanaman pada kebun-kebun, mengangkat para petani, menarik

berbagai macam pajak dan menjaga keamanan setempat.27

23 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 402 24 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 96-97 25 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 401 26 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 97 27 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 97

51

Dalam Regeering Almanak van Nederlandsch Indie, 1900-1931, yang

dikutip pada buku Sejarah Kabupaten Tengerang, keadaan tanah partikelir di

Tangerang antara tahun 1900-1901 sebagaimana tabel berikut:28

No Nama Persil Pemilik Luas

(bau)

Penduduk

1. Benteng Makasar Gouv. V. Ned. Indie 202 1.325

2. Pasar Tangerang dan

Tangerang Barat

Syarifa Mariam dan Abdul

Azis Effendi dkk

422 1.296

3. Babakan Utara PT Salim Balocel 120 120

4. Tangerang Timur A. Abdul Azis Effendi dkk 563 1.546

5. Cikokol M. van Delden 625 1.612

6. Panunggangan Louw Sek Hie 308 322

7. Priang Oey Hoey Tjay 1.735 2.735

8. Pakulonan Perkeb. Sch. Bergzicht 704 849

9. Pondok Jagung Ong Jum San 723 1.446

10. Lengkong Timur Lim Eng Gie dkk 687 1.171

11. Babakan Selatan Lim Eng Gie dkk 7 75

12. Lengkong Timur Ong Kim Tjong ? ?

13. Lengkong Barat The Tjoen Sik 2.266,25 4.073

14. Klapadua Tan Hok Kien 24 28

15. Cihuni Perkebunan Cihuni 2.818 4.035

16. Parungkuda Souw Siouw Kong dkk

Louw Soey

1.479

343

3.808

4.424

17. Kedaung Timur Maskapai Pertanian

Slapanjang Timur

1.678

259

?

3.711

18. Tanah Koja Perkebunan Batuceper ? 4.737

Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang:

Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

Di masa kekuasaan Kerajaan Inggris (1811-1816), Raffles yang

bertindak sebagai Gubernur Jenderal, dalam hal ini mewakili pemerintah

kolonial, pada tahun 1811 sempat membuat pembaharuan pengaturan

terhadap tanah. Raffles berpendapat bahwa tanah yang dikuasai oleh pemilik

perorangan beserta kewajiban pajaknya dapat menguntungkan

perbendaharaan negara. Karena itu diperlukan kepastian hukum terhadap

pemilik perorangan. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Gubernur

28 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 128

52

Jenderal Inggris tersebut sebagaimana mengutip Y. Wartaya Winangun,29

adalah sebagai berikut:

1. Menghapuskan segala penyerahan paksa hasil-hasil bumi dengan harga

yang tidak pantas dan menghilangkan semua kerja rodi, dengan

memberikan kebebasan penuh dalam penanaman dan perdagangan.

2. Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan pemerintah atas tanah-tanah

dengan menarik pendapatan dan sewaan tanpa perantara bupati-bupati.

3. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung

berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu terbatas.

Setelah berakhirnya penguasaan Inggris atas Indonesia, pemerintahan

kolonial kembali direbut oleh Kerajaan Belanda. Sehingga otomatis

kebijakan soal agraria mengalami perubahan kembali. Pada masa

kepemimpinan Gubernur Jenderal van den Bosch (1830-1833),

diberlakukanlah Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dari tahun 1830 yang

berakhir pada tahun 1870.

Kebijakan ini berimbas terhadap kewajiban kepada tanaman

komersial (commercial crops) yang laku di pasaran wajib ditanam oleh para

petani penggarap di tanah partikelir. Sedangkan hasil dari perkebunan itu

dibeli oleh pemerintah kolonial dengan harga yang sangat murah, sedangkan

dalam pelaksanaan administrasinya pemerintah menggunakan tangan-tangan

pribumi, dengan memanfaatkan sistem feodal yang masih berpengaruh untuk

berjalannya misi Cultuurstelsel.30

C. Struktur Sosial Masyarakat

Struktur sosial masyarakat Tangerang sebagaimana lapisan strata pada

penduduk di daerah koloni yang lain. Bangsa asing menempati posisi teratas

dalam derajat kasta, sedangkan kaum pribumi berada pada titik terendah

dalam struktur tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Maman S. Mahayana

dalam Seminar Nasional yang diadakan oleh Program Studi Pasca Sarjana

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, “Strata

tertinggi dalam struktur sosial di tanah jajahan adalah bangsa Asing Eropa,

selanjutnya berurutan, Asia Timur (Tiongkok), Asia Barat (Arab), Asia

Selatan (India), kaum Ningrat Pribumi, pegawai pemerintah, dan terendah

masyarakat pribumi.”31

29 Y. Wartaya Winangun, SJ., op.cit, h. 30 30 Y. Wartaya Winangun, SJ., Ibid, h. 30 31 Maman S. Mahayana, “Membangun Paradigma Integratif dan Kontekstual dalam

Studi Keilmuan Humaniora di Program Pasca Sarjana” Seminar Nasional yang

diselenggarakan oleh Program Studi Pasca Sarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12 September 2015.

53

Dalam Encyclopaedi van het Nederlandsch-Indie, data sensus

penduduk di tahun 1905 yang dikutip oleh Edi. S. Ekadjati,32

seluruh

penduduk Tangerang berjumlah 120.840 jiwa, dengan rincian sebagai

berikut:

NO Suku Bangsa Jumlah Jiwa

1. Pribumi 107.900

2. Tionghoa 12.800

3. Eropa 120

4. Arab 20 Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang:

Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

Dan mengalami peningkatan pada tahun 1917, berjumlah 414.500

jiwa, dengan rincian sebagai berikut: 33

NO Suku Bangsa Jumlah Jiwa

1. Pribumi 379.380

2. Tionghoa 35.000

3. Eropa 120

4. Arab 20 Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang:

Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

Pendatang Tionghoa menempati posisi kedua dalam jumlah

penduduk, bahkan sebagian di antara mereka berperan penting menjadi

kelompok koloborator yang berfungsi sebagai perantara dalam sistem politik

dan ekonomi pemerintah kolonial. Di sisi lain, pemimpin feodal pribumi, ada

juga yang menjadi kelompok koloborator – tetapi perannya masih kalah bila

dibandingkan kelompok opurtunis dari etnis Tionghoa. Kehadiran sebagian

kelompok Tionghoa yang menjadi sekutu dari pemerintah kolonial, dianggap

sebagai balasan atas perlindungan aset bisnis mereka.34

Sikap oportunis ini,

hanya dilakukan oleh oknum-oknum Tionghoa yang pragmatis, gambaran

utuh watak tentang orang-orang Tionghoa pernah tercatat dalam laporan-

laporan dan dokumen-dokumen, sebagaimana dikutip oleh Leonard Blusse:

32 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 113. Lihat juga D.G. Stibbe, op.cit, h. 265 33 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 113. Lihat juga D.G. Stibbe, op.cit, h. 265-266 34 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan

Belanda di Batavia VOC, (Yogyakarta: LkiS, 2004), Cet. Ke-1, h. 136-137

54

“Berbagai macam jenis informasi dari saksi-saksi semasa (sich: itu)

sampai ke tangan kita melalui dokumen-dokumen tercetak dan surat-surat

yang ditulis oleh pegawai Kompeni atau pimpinan gereja, dan laporan

perjalanan oleh para pelaut dan penjelajah Eropa. Dalam semua catatan-

catatan ini orang Cina Batavia pada dasarnya dilukiskan sebagai orang yang

rata-rata rajin, tidak suka keributan dan kadang-kadang licik, dan orang-

orang yang serba bisa (die overal een hand in hebben), sekaligus juga

berwatak pemalu (Vreesachtig van aard) ...”35

Pendatang Asia lainnya yang bermukim di Tangerang adalah orang-

orang Arab. Mereka menempati posisi keempat setelah penduduk dari Eropa

yang berada pada urutan ketiga. Status agama Islam yang dianut oleh orang-

orang Arab, memudahkan mereka beradaptasi dengan penduduk lokal.

Namun keberadaan etnis Arab dalam sejarah, sering mengalami kerancuan –

karena kelompok-kelompok pendatang yang beragama Islam dari Bengali

dan lainnya juga disebut orang Arab. Keberadaan orang Arab di Nusantara

sudah ada sejak sebelum agama Islam lahir, tetapi koloni Arab mulai tercatat

resmi data statistiknya pada abad ke-19. Dan terus mengalami pertumbuhan

jumlah penduduknya seiring dengan ditemukan mesin uap pada tahun 1870-

an yang teknologinya dipakai kapal laut untuk berlayar dari Timur Jauh dan

Arab ke Nusantara.36

Van den Berg pernah memuat hasil sensus tentang koloni-koloni Arab

yang dilakukan pada tahun 1885 di Jawa dan Madura, dalam hal ini kami

kutipkan sensus jumlah penduduk Arab di Karesidenan Batavia, yaitu:37

Kota Arab Lahir di Arab Arab Lahir di Nusantara Jumlah

Pria Anak Pria Wanita Anak

Batavia 457 19 189 224 550 1448

Mr. Cornelis

(Jatinegara)

19 - 14 5 48 86

Buitenzorg

(Bogor)

31 - 12 15 39 97

Tangerang 1 - 4 5 21 31

Sumber: L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Depok:

Komunitas Bambu, 2010)

Berbeda dengan hitungan statistik yang dilakukan oleh Inggris,

sebagaimana dilakukan Belanda di atas. Dalam versi Inggris jumlah

penduduk Arab seluruhnya disatukan, tidak dibedakan antara yang lahir di

35 Leonard Blusse, Ibid, h. 138 36 L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Depok: Komunitas Bambu, 2010),

h. 95-96 37 L.W.C van den Berg, Ibid, h. 96

55

Arab atau Nusantara. Van den Berg memberikan penjelasan mengenai angka-

angka dalam tabel di atas, menjadi tiga uraian:38

1. Bahwa populasi Arab di kota-kota yang disebutkan mencakup juga orang

Arab yang tinggal di daerah sekitarnya.

2. Bahwa perempuan pribumi yang kawin dengan orang Arab tidak termasuk

di dalamnya.

3. Bahwa campuran Arab yang masuk hitungan hanya yang belum

kehilangan kewarganegaraan.

Klasifikasi masyarakat desa di daerah Tangerang, berpedoman pada

luasnya kepemilikan tanah. Orang yang paling banyak memiliki tanah, dialah

yang tertinggi status sosialnya, sedangkan orang yang sedikit memiliki tanah

dan tidak mempunyai tanah, prestise sosialnya lebih rendah. Sebagai

konskuensinya, status ini juga melekat beberapa hak dan kewajibannya

masing-masing, kelas sosial yang terendah dipenuhi target-target produksi

pertanian, pajak dan kewajiban taat kepada pemilik status sosial yang

tertinggi, selanjutnya para pemilik atau disebut tuan-tuan tanah juga

berkewajiban terhadap pemenuhan-pemenuhan yang disepakati oleh

pemerintah kolonial tertinggi.39

Stratifikasi masyarakat Tangerang setelah kelompok asing adalah

kaum pribumi. Ada tiga suku bangsa yang mendiami daerah Tangerang,

yakni: Pertama, Suku Sunda yang terbanyak jumlahnya hampir separuh

wilayah Tangerang, mereka biasanya berdiam di wilayah Tiga Raksa,

Balaraja, Cikupa, Curug, Legok, Pasar Kemis dan sebagian di daerah

Serpong, Tangerang, Batu Ceper, Teluk Naga, Mauk, dan Rajeg.40

Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Nana Suryana dan kawan-kawan, orang-orang

Sunda datang ke Tangerang sekitar tahun 1630-an, setelah pengepungan kota

Batavia oleh pasukan Kesultanan Mataram.41

Sebagian besar orang Sunda

tersebut datang dari daerah Sumedang, dan juga sebagian lagi berasal dari

wilayah Jasinga dan Lebak, ketiga wilayah ini di masa Kesultanan Banten

berikutnya menjadi daerah otonom yang dinamakan dalam struktur

pemerintahannya Kemaulanaan yang beribukota di Pasanggrahan.42

38 L.W.C van den Berg, Ibid, h. 99 39 Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 36 40 Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 15 41 Nana Suryana, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemda Tk. II

Tangerang dan LPPM Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992), h. 22 42 Kemaulanaan ini dipimpin oleh Trio Tumenggeng yang berasal dari Sumedang,

yaitu: Tumenggung Aria Yudanegara, Tumenggung Aria Wangsakara, dan Tumenggung

Aria Santika. Ketiga tokoh pemimpin tersebut dikenal dengan sebutan Tiga Raksa, yang

artinya tiga orang pemimpin. Untuk mengamankan wilayah Banten dari invasi Kompeni,

56

Kedua, Suku Melayu (berikutnya disebut Betawi) yang mencapai

sepertiga daerah Tangerang, orang Melayu-Betawi banyak bermukim di

daerah Ciputat, Ciledug, Batu Ceper, Tangerang, Teluk Naga, serta sebagian

wilayah Serpong, Sepatan, dan Mauk.43

Orang Melayu yang mendiami

Tangerang disebut juga dengan suku “Betawi Ora”, mereka datang ke

Tangerang untuk berhijrah dari Batavia, karena terdesak oleh dominasi orang

asing, bahkan sampai-sampai mereka meninggalkan harta bendanya yang

terampas oleh pendatang asing di Batavia.44

Orang Betawi masuk ke

Tangerang diperkirakan terjadi pada tahun 1659 sejak dikuasainya Tangerang

oleh VOC dan masuk ke wilayah Batavia. Ditambah lagi terjadinya banjir

yang terus melanda daerah Batavia pada tahun 1680,45

semakin banyak

penduduk pribumi Batavia bermigrasi ke daerah Tangerang yang secara

geografis berada dekat dengan pusat kota Batavia di sebelah barat dan

selatan.

Yang ketiga, Suku Jawa, yang berjumlah hanya seperenam dari daerah

Tangerang, mereka rata-rata mendiami wilayah Kronjo, Kresek, serta

sebagian kecil di Balaraja, Rajeg, dan Mauk.46

Orang Jawa ini adalah para

pengikut Fatahillah dari Kesultanan Demak yang pernah menguasai Banten

pada tahun 1526 dan sisa-sisa pasukan Kesultanan Mataram yang gagal

merebut Batavia dari tangan VOC pada tahun 1628 dan 1629,47

sehingga

prajurit Mataram yang berasal dari etnis Jawa dan Sunda kemudian menetap

selamanya di daerah Tangerang.

Selain ketiga suku besar di atas, terdapat juga suku lain, seperti Bugis,

Aceh, Minang, Batak, Bali, dan Maluku yang jumlah penduduknya kecil dan

rata-rata mereka hidup menyebar tidak di satu lokasi. Pada era kolonialisme,

di Tangerang juga terdapat pemukim-pemukim dari bangsa asing Eropa

maupun Tionghoa, meskipun jumlah mereka tidak sebesar suku-suku

pribumi, tetapi eksistensi mereka dalam perekonomian dan politik sangat

mendominasi.

Setiap suku bangsa yang mendiami daerah Tangerang, turut serta pula

kebudayaan dan kesenian masing-masing. Sebagaimana dicatat dalam

Tumenggung Aria Yudanegara membuat benteng pertahanan di tepi sungai Cisadane sebelah

utara Cikokol dan Kedaung Barat. Sedangkan Tumenggung Aria Wangsakara turut

membangun benteng di daerah Lengkong (sekarang disebut Lengkong Sumedang) yang

berada di tepi suangai Cisadane sebelah barat sampai ke bendungan Sangego. Lihat Edi S.

Ekadjati, op.cit, h. 86-87 43 Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 15 44 Budiman, Folklore Betawi, (Jakarta: Dinas Pendidikan & Kebudayaan Provinsi DKI

Jakarta, 1979, h. 17 45 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 108-109 46 Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 15 47 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 108

57

penelitian Multamia R.M.T. Lauder: “Masyarakat Sunda pada umumnya

menggemari wayang golek, reog, calung, goong rancag, degung, dan

kliningan. Masyarakat Jawa secara umum masih mennggemari wayang kulit,

klenengan, dan orkes keroncong. Masyarakat Melayu lebih menggemari

tanjidor, jipeng, topeng, dan ketimpring.”48

Secara budaya masyarakat Tangerang terpengaruh oleh budaya

Melayu-Betawi. Sebagaimana contoh yang diungkap oleh Budiman:

“Kesenian rakyat Tangerang keseniannya sama dengan kesenian rakyat

Betawi, seperti kesenian lenong, gambang kromong, tari cokek dan

sebagainya.49

Di samping itu suku Melayu di Tangerang juga mengenal

Wayang Betawi, hal ini berdasarkan dari keahlian Ki Dalang Kaiin Bapa

Kayah yang berasal dari suku Melayu Kampung Pangkalan, Teluk Naga.

D. Keadaan Ekonomi Masyarakat

Penduduk Tangerang terdiri dari golongan pribumi dan Timur Asing

(terutama etnis Tionghoa) sebagian besar mengandalkan sawah dan kebun

sebagai penghasilan sehari-hari mereka.50

Kondisi alam yang subur di

wilayah-wilayah Karesidenan Banten dan Batavia ini menjadi keuntungan

sendiri, terutama stok berasnya bisa menjadi bahan tukar terhadap dagangan

lainnya. Terdapat beberapa jenis sawah di area ini, yakni ada yang masuk

kategori sawah subur, sawah tadah hujan, sawah rawa, dan tegalan. Bagi

daerah yang sedikit sumber airnya ternyata juga sangat subur dan dapat

ditanami jenis tanaman kopi, lada, kanil, indigo, dan kelapa.51

Semua hasil pertanian ini, diperdagangkan melalui jalur sungai sebagai

urat nadi lalu lintas dari pedalaman yang bermuara ke Laut Jawa, dan hal ini

telah dilakukan bahkan jauh sebelum masa VOC berkuasa. Bagi

daerah-daerah yang tidak bisa memungkinkan distribusi logistik melalui

sungai, maka ditempuh melalui transportasi darat dengan menggunakan

gerobak yang ditarik oleh kerbau (karena binatang ini sangat tahan terhadap

kondisi alam tropis) maupun dengan tenaga manusia.52

Sedangkan distribusi barang di masa pemerintahan Belanda, lebih

mudah dilakukan, karena dapat ditempuh melalui beberapa jalur, terutama

setelah Gubernur Herman Willem Daendels membuat proyek besar jalan pos

48 Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 17 49 Budiman, op.cit, h. 18 50 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 116 51 Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 55-56 52 Suhartono W. Pranoto, Ibid, h. 57

58

dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) tahun 1808,53

dan juga

pembangunan transportasi kereta api oleh penerus Gubernur Jenderal

tersebut, dari Anyer ke Batavia pada tahun 1896, Anyer menuju

Rangkasbitung di tahun 1900,54

serta Batavia juga terhubung dengan Cirebon

pada tahun 1906.55

Selain bidang pertanian ada juga yang bekerja di sektor perdagangan

dan industri kerajinan. Industri kerajinan yang dimiliki para penduduk

Tangerang umumnya bergerak dalam sektor home industry (industri

rumahan), yang membuat topi anyaman berbahan dasar bambu dan pandan.

Kualitas topi anyaman dari Tangerang sangat baik, bahkan diekspor ke

mancanegara. Ekspor topi anyaman dilakukan oleh para pedagang Tionghoa,

terutama ke Eropa dan Amerika. Grafik penjualan topi anyaman Tangerang

tercatat dalam Arsip Nasional yang dikutip dalam buku Sejarah Kabupaten

Tangerang,56

sebagai berikut:

Tahun Jumlah Nilai Total Nilai Tiap Topi

1913 5.495.394 f 1.328.820 26 Sen

1917 2.573.033 f 668.983 26 Sen

1922 2.826.058 f 847.817 30 Sen

1928 4.947.104 f 2.044.889 41 Sen

1929 4.436.568 f 1.009.878 23 Sen

1930 2.935.745 f 445.165 16 Sen

1931 1.163.307 f 147.529 13 Sen

Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang:

Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

53 Pada saat proyek pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan, Kesultanan Banten

mengalami kemunduran. Menurut Abdurrahman Wahid, ada dua faktor yang menyebabkan

runtuhnya visi internasionalisasi Banten sebagai negara maritim yang kuat. Yang pertama

faktor eksternal, yaitu adanya blokade laut yang dilakukan pihak Belanda dan Mataram yang

menjadi sekutu Banten di bawah pimpinan Sultan Agung lebih beorientasi agraris daripada

laut. Kedua karena faktor internal perseteruan antar kalangan elit kerajaan. Kedua faktor ini

yang memudahkan tembusnya prajurit Belanda dari Batavia menusuk ke jantung kesultanan

Banten, sehingga memudahkan realisasi proyek transportasi dan komunikasi yang

menguntungkan bagi pihak Belanda. Lihat Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah

Nusantara, (Yogyakarta: LkiS, 2010), cet. Ke-1, h. 36-37 54 Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 30 55 Ibid, h. 32 56 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 120

59

Topi anyaman khas dari Tangerang inilah, yang digunakan para petani

untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah dan penguasa kolonial.57

Simbol topi ini juga menjadi identitas kelompok pribumi yang bermaksud

mengembalikan norma-norma tradisional yang telah berubah setelah

kedatangan orang-orang asing.58

Mimpi-mimpi para petani digerakan setelah

kemunculan tokoh karismatik, seorang petani yang juga berprofesi sebagai

dalang yang bernama Kaiin Bapa Kayah.

Selain menjadi identitas bagi perlawanan petani Tangerang, topi

anyaman juga menjadi ikon dalam logo Kabupaten Tengerang yang

melambangkan hasil kerajinan dan industri. Gambar topi anyaman juga

berpadu dengan Benteng dan Sungai Cisadane pada simbol daerah yang

berdiri sejak tanggal 27 Desember 1943.

Karena status Tangerang menjadi daerah partikelir, maka orang-orang

pribumi hanya menjadi petani penggarap sawah maupun ladang milik para

tuan tanah. Selain bekerja sebagai penggarap, para petani juga dibebani

membayar cuke (pajak) seperlima dari hasil panen, ditambah dengan sewa

tanah tempat mereka bermukim, pekarangan, dan tegalan, serta kerja wajib

(kompenian) untuk memilihara fasilitas umum. Jika para petani

mengindahkan kompenian tersebut, bisa diganti dengan membayar denda

dengan jumlah uang yang ditentukan, bila tidak membayar uang dan mangkir

dari pekerjaan wajib tersebut, maka mereka terkena sanksi pidana oleh

pengadilan.59

Para tuan tanah, kebanyakan berasal dari etnis Tionghoa, mereka dapat

mewariskan tanah partikelir secara turun temurun, pemilik tanah biasanya

disebut teko sedangkan tanahnya disebut “tanah teko”. Mereka

memanfaatkan tenaga kaum pribumi sebagai buruh di sawah dan perkebunan

miliknya, dahulu para petani penggarap itu disebut “bujang sawah”.60

Selain berprofesi sebagai tuan tanah, orang-orang Tionghoa ada juga

yang bekerja pada sektor yang lebih rendah, mereka ini umumnya berasal

dari kelompok Tionghoa golongan bawah. Mata pencaharian mereka yang

berasal dari strata rendahan tersebut, di antaranya sebagai pedagang dengan

57 Ilyas, “Trend Topi Boni dalam Sejarah Perlawanan Petani Tangerang”, Tangsel Pos,

Rabu, 10 Februari 2016. 58 Topi anyaman juga menjadi trend di masyarakat Tangerang kurun abad 18 dan 19.

Hal ini juga digambarkan dalam cerita-cerita tertulis pada zaman itu. Misalnya cerita yang

dikarang oleh H. Kommer tentang Tuan Tanah Perempuan Tionghoa, disebutkan Njonja Kong

Hong Nio ketika sedang mengawasi perkebunannya memakai tudung (topi) bambu lengkap

dengan atribut pistol dan senjata golok di pinggangnya. Lihat H. Kommer, Tjerita Njonja

Kong Hong Nio: Satoe Toean Tanah di Babakan Afdeeling Tangerang, Betawi, (Batavia:

1900), h. 6 59 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 116 60 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 116-117

60

membuka warung kecil, peternak babi, tukang reparasi perahu, dan petani

ladang yang menanam kacang-kacangan skala kecil.61

Leonard Blusse

menyebutkan pula tentang kemampuan orang-orang Tionghoa berdasarkan

pada dokumentasi sumber sejarah, “Dalam semua sumber bahan ini

disebutkan, bahwa orang Cina menguasai bidang-bidang penting kegiatan

ekonomi kota seperti perikanan, pengusahaan kayu, pekerjaan bangunan,

pertanian, perkebunan, pemasaran, kerajinan, dan perdagangan dalam negeri

(Sich: Nusantara) dan Cina.”62

Perekonomian Indonesia di zaman kolonial Belanda menurut

Furnivall sebagaimana dikutip oleh Thee Kian-Wie, terbagi dalam lima masa,

yakni:63

1. Zaman kekacauan dan ketidakmenentuan dari tahun 1800 sampai 1830.

2. Pemberlakuan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diperkenalkan

oleh Gubernur Jenderal van den Bosch dari tahun 1830 hingga 1870.

3. Sistem Liberal yang diberlakukan untuk menggantikan Sistem Tanam

Paksa dari tahun 1870 sampai 1900.

4. Politik Etis sebagai pembaharuan dari kebijakan Liberal yang berlaku

1900-1930.

5. Zaman Malaise (kemunduran ekonomi di Eropa yang berpengaruh

terhadap kondisi Hindia-Belanda), di masa akhir dari penjajahan Belanda

yang terjadi dari tahun 1930 sampai 1940.

Dari lima masa tersebut, kebijakan ekonomi pemerintah kolonial tidak

berpihak kepada masyarakat pribumi yang kebanyakan berprofesi sebagai

petani. Kaum petani hanya dijadikan sapi perahan bagi kaum kapital

pemerintah kolonial beserta kroni-kroninya, yang hanya mementingkan

korporasinya. Petani yang notabene adalah penduduk pribumi tidak berdaya

di tanah airnya sendiri.

Regulasi untuk melindungi rakyat petani dari eksploitasi dan

kecurangan para tuan tanah, sebenarnya sudah dilakukan pada masa Daendels

dan Raffles. Kebijakan tentang larangan kepada tuan tanah untuk menerima

sepersepuluh dari hasil tanah dan memberikan pekerjaan yang memberatkan

petani sudah diberlakukan pemerintah kolonial, namun kebijakan ini hanya

angin yang berlalu. Hukum berlaku hanya sebatas kertas, karena lemahnya

61 Ibid, h. 117 62 Leonard Blusse, op.cit, h. 138 63 Thee Kian-Wie, “Perekonomian Indonesia di Zaman Kolonial”, dalam Anne Both,

et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 11

61

kontrol pemerintah, akhirnya banyak tuan tanah yang mencederai peraturan-

peraturan tersebut.64

Pelanggaran yang dilakukan tuan tanah, terkadang menjadi kerikil-

kerikil yang mengganggu hubungan dengan para petani. Rasa frustasi dan

kegelisahan membuat kerikil tersebut bisa membesar menjadi letupan-letupan

protes dan perlawanan petani terhadap eksploitasi dan kezhaliman yang

dilakukan para tuan tanah.

Protes kaum tani diluapkan dalam berbagai macam ekspresi yang bisa

dikategorikan dalam istilah oposisi, sebagaimana pendapat David Crumney

yang dikutip oleh Suhartono, protes kaum tani dilakukan dalam bentuk

tindakan kejahatan, perbanditan dan pemberontakan. Tindakan kejahatan

adalah bentuk protes primitif yang bersifat kriminal, kategori kedua adalah

protes dalam ekspresi perbanditan yang terbagi dalam dua jenis, yaitu:

perbanditan yang murni kriminal dan perbanditan sosial sebagaimana

dilakukan oleh tokoh legendaris Robin Hood. Selanjutnya protes dalam

bentuk pemberontakan, dimana rakyat petani diorgansir oleh tokoh

karismatik yang menyadarkan tentang hak-hak mereka yang sudah diganggu

oleh kaum kapital.65

E. Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Masyarakat

Tangerang

Ketika kekuasan kompeni (VOC) mengalami kebangkrutan di

penghujung abad ke-18 (31 Desember 1799), maka tampuk pemerintahan

kolonial dialihtugaskan kepada Kerajaan Belanda, dengan memberikan

kekuasaannya kepada perwakilannya yang dipimpin oleh seorang Gubernur

Jenderal untuk menjalankan pemerintahan di Hindia Belanda. Adapun

Gubernur Jenderal pertama yang diutus oleh Kerajaan Belanda adalah H.W.

Daendels (1808-1811), yang berkedudukan di ibukota Hindia Belanda

(Batavia).66

Dalam pelaksanaan pemerintahannya di pulau Jawa, Daendels

membagi tiga wilayah administratif yang disebut prefecture (keresidenan),

yang masing-masing dikepalai oleh seorang prefect (pejabat residen), adapun

pembagian wilayah tersebut adalah:67

1. De stad Batavia, de Ommelanden en Jacatrasche Preanger-

Regentschappen, (yang berarti Kota Batavia, sekitarnya dan wilayah

64 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 401-402 65 Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 6-7 66 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 98 67 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 98-99

62

Jakarta-Priangan). Meliputi daerah; Tangerang, Karawang, Buitenzorg

(nama Bogor di masa kolonial), Cianjur, Bandung, Sumedang, Parakan-

Muncang, dengan jumlah penduduk 200 ribu orang.

2. Het Rijk van Chirebon en Cheribonsche Preanger-Regent-schappen,

(Kesultanan Cirebon dan daerah Cirebon-Priangan), wilayah meliputi:

Cirebon, Limbangan, Sukapura, dan Galuh, kesemua daerah ini memiliki

penduduk berjumlah 350 ribu orang.

3. De Noord-Oostkust en den Oosthoek (Pesisir Utara Pulau Jawa bagian

timur dan wilayah ujung Jawa Timur), yang memiliki penduduk lebih

banyak sejumlah 1,6 juta.

Pembagian wilayah administratif tersebut, tampaknya tidak berimbas

bagi wilayah Tangerang, karena hanya pucuk pimpinannya saja yang

mengalami restrukturisasi, kekhasan Tangerang yang termasuk dalam

Prefecture Batavia, adalah tidak adanya pejabat pribumi atau asing yang

ditunjuk oleh pemerintah kolonial menjadi perwakilannya di daerah,

sebaliknya justru yang menguasai dan memerintah di Tangerang adalah para

tuan tanah. Hal ini karena dampak dari penjualan dan penyewaan tanah yang

dilakukan Daendels kepada pihak swasta.68

Di masa pemerintahan Inggris terjadi perubahan nomenklatur

pemerintahan administratif, semula pemerintah Hindia-Belanda menyebut

perwakilannya di daerah dengan nama Prefecture, diubah oleh Raffles

menjadi Recidency (keresidenan) dan penyebutan pejabatnya secara otomatis

mengalami pergeseran dari Prefect ke istilah baru Resident (residen). Dan

menambahkan jabatan baru, untuk membantu tugas-tugas residen dibentuklah

asisten residen.69

Sampai pertengahan abad ke-19, struktur pemerintahan

bentukan Inggris di pulau Jawa masih dipertahankan oleh pemerintah

kolonial Belanda – dimana susunan Residensi Batavia terdiri atas empat

kwartieren, sebagai berikut:70

1. Noorder-kwartier, wilayah kota yang disebut Stad en Voorsteden terdiri

atas empat distrik.

2. Oost Kwartier kwartier, atau jatinegara yang meliputi 30 tanah partikelir

besar dan kecil.

3. Wester Kwartiern, atau Tangerang yang di dalamnya wilayahnya

terdapat 57 tanah partikelir.

68Ibid, h. 99 69 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 99 70 Mona Lohanda, Sejarah Pembesar mengatur Batavia, (Jakarta: Masup Jakarta,

20017), Cet. Ke-1, h. 174

63

4. Zuider-Kwartier, atau Meester Cornelis yang memiliki 100 tanah

partikeler, terbagi atas tanah milik Eropa, Cina, sedangkan tanah yang

tidak begitu luas kebanyakan adalah milik warga pribumi.

Jabatan-jabatan tertinggi semuanya dipegang oleh orang asing

terutama bangsa Eropa dan Tionghoa, hal ini secara politis menandakan

bahwa pemerintah kolonial ingin mempertahankan status quo terhadap

penduduk pribumi. Sedangkan bangsa pribumi hanya didudukkan sebagai

pejabat kelas rendah, terutama yang berkaitan dengan hukum umum dan

agama. Posisi jabatan yang dipegang pribumi, yaitu: Jaksa Kepala

(Hoofddjaksa) dan wakilnya (Adjunct Hoofddjaksa), sedangkan dalam posisi

keagamaan ada jabatan sebagai Penghulu Besar (Hoofdpanghoeloe) dan

wakilnya (Adjunct Hoofdpanghoeloe). Di distrik Tangerang sebagai kepala

keamanan diangkatlah seorang kepala polisi (Hoofdschout) yang turut

mengawasi daerah sebelah barat daya Batavia (het wester-kwartier), yang

dijabat oleh J.F. Meijer. Semua jabatan ini diberlakukan pada tahun 1850.71

Bangsa asing yang memiliki penduduk yang terbesar seperti Arab dan

Tionghoa, oleh pemerintah kolonial dibuatkan jabatan khusus dalam

pengelolaan administrasi kependudukannya pada tahun 1850. Untuk

masyarakat Tionghoa di wilayah Batavia dan sekitarnya dipimpin oleh

seorang Tionghoa dengan jabatan yang disebut Mayor (Tan En Goan) yang

juga mempunyai anak buah 3 orang yang berpangkat kapten (Kon Cun Kiat,

Tan Kam Long, dan Lie Tiang Ko) dan 15 orang yang memiliki pangkat

Letnan. Sedangkan pengaturan penduduk bagi kelompok Arab dipimpin oleh

seorang Syaikh (seperti Said bin Salim Naum), serta bagi pendatang Bengali,

dan orang Islam lainnya ditunjuk sebagai kepala, berpangkat Kapiten

(misalnya Kapiten Bapa Saf).72

Pusat perwakilan pemerintah kolonial di Tangerang yang yang

berkedudukan sekaligus sebagai pemerintahan Jakarta Barat yang

membawahi kepala-kepala tiap distriknya yang dikenal dengan sebutan

Demang, sedangkan di kota atau stad en Voorsteden mereka disebut

komandan distrik (inlandsche kommandant), jabatan komandan yang

dikaitkan dengan kelompok etnis ini dihapus pada tahun 1829.73

Untuk

penanganan kasus hukum di wilayah, dibentuklah lembaga pengadilan yang

disebut Landraad.74

Sedangkan tata kelola pemerintahan di Karesidenan Batavia secara

administratif dibagi dalam tiga bagian, di antaranya sebagai berikut: Batavia

71 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 100-101 72 Ibid, h. 101 73 Mona Lohanda, op.cit, h. 177 74 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 101

64

Batavia Utara, Batavia Tenggara, dan Batavia Barat. Daerah yang meliputi di

tiga wilayah tersebut adalah: 75

1. Batavia Utara, yang meliputi daerah pusata kota Batavia (Betawi).

2. Batavia Tenggara, menguasai daerah Meester Cornelis (sebutan bagi kota

Jatinegara.

3. Batavia Barat, yang berpusat di Kota Tangerang.

Pusat kota Tangerang yang terletak di Batavia Barat, menegaskan

sekali lagi sebagai unsur perwakilan dari pemerintah pusat dan diberi jabatan

sebagai asisten residen. Tahun 1860-an nomenklatur afdeling, diperkenalkan

oleh pemerintah Hinda Belanda, sebagai satuan jabatan di bawah residen.

Dengan demikian Tangerang rangkap kedudukannya, sebagai ibukota distrik

dan ibukota afdeling. Susunan afdeling di Keresedinan Batavia, secara

lengkapnya sebagaimana di bawah ini:76

1. Afdeling Kota dan Sekitarnya, yang terdiri dari tujuh distrik dan 131 desa.

2. Afdeling Meester Cornelis (Jatinegera) yang memiliki empat distrik dan

693 desa.

3. Afdeling Tangerang, meliputi tiga distrik dan 540 desa.

4. Afdeling Buitenzorg (Bogor) yang terbagi dalam enam distrik dan 1.867

desa.

Secara lebih rincinya Afdeling Tangerang, ketiga distrik adalah

sebagai berikut; distrik Tangerang Timur memiliki 208 desa, distrik

Tangerang Selatan mempunyai 199 desa, dan distrik Tangerang Utara terdiri

atas 133 desa. Keseluruhan Afdeling Tangerang luasnya sebesar 23.510

geografi mil persegi atau setara dengan seperlima dari luas wilayah

karesidenan Batavia yang mencapai 117.900 geografi mil persegi.77

Dalam perkembangan berikutnya istilah arah mata angin yang

disematkan kepada daerah distrik dirubah sesuai dengan nama kampungnya,

yakni; Distrik Mauk yang semula Tangerang Utara dan Distrik Balaraja

untuk menggantikan Tangerang Barat. Di tahun 1878 ada penambahan

Distrik Curug, meskipun hanya berumur tiga tahun berjalan, karena di tahun

1881 Distrik Curug dilebur bergabung dengan Distrik Tangerang. Di akhir

tahun 1880-an pimpinan distrik yang jabatannya disebut Demang diubah oleh

pemerintah Hindia-Belanda menjadi Wedana. Tetapi daerah kekuasan

Wedana, penduduk lebih mengenalnya dengan istilah distrik tinimbang

75 Ibid, h. 103 76 Ibid, h. 102 77 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 102

65

Kewedanan.78

Distrik di Tangerang disebutkan dalam Encyclopedie van

Nederlandsch-West Indie berjumlah 365 desa atau kampung79

Perkembangan masih berlanjut, tahun 1880-an dan 1890-an terjadi perubahan

kembali. Semula Afdeling Tangerang membawahi tiga distrik (Tangerang,

Curug, dan Mauk), kemudian menjadi empat distrik (Tangerang, Balaraja,

Curug, dan Mauk). Pada tahun 1903, sistem administrasi terjadi pergeseran

arah, dari sentralisasi ke desentralisasi. Dan di tahun 1922, terjadi otonomi

daerah.

78 Ibid, h. 103-104 79 D.G. Stibbe, op.cit, h. 266

66

67

BAB IV

KONSEPSI MILLENARIAN DALAM PERGERAKAN

TANGERANG 1924

A. Kaiin Bapa Kayah: Dalang Wayang dan Pergerakan

Pemimpin pergerakan petani Tangerang tahun 1924, dalam catatan

dan laporan pemerintah kolonial, bernama Kaiin Bapa Kayah, nama

belakangnya mengacu pada nama orang tuanya Kayah, sedangkan kata Bapa

di tengahnya sama dengan istilah bin dalam budaya Arab yang artinya anak

dari, sehingga ketiga kata tersebut disatukan menjadi identitas namanya

yang khas.

Menurut Alwi Shahab, Kaiin diperkirakan lahir pada tahun 1884 di

Kampung Pangkalan, Teluknaga, Tangerang. Di masa kecilnya, Kaiin seperti

kebanyakan anak sebayanya, bersikap pendiam dan taat kepada kedua orang

tuanya, dan hal inilah yang menguatkan karakternya di kemudian hari.

Pertumbuhan di masa kanak-kanak diisi dengan belajar mengaji kepada guru

di kampungnya, dan di sela-sela itu Kaiin juga belajar main pukulan (silat).1

Dua keahlian dasar Kaiin kecil (mengaji dan main pukulan), sesuai

dengan prinsip-prinsip dari suku Betawi. Sebagaimana dikatakan oleh Edy

Sukardi di sebuah program acara Bens Radio yang dikutip oleh Abdul Chaer,

orang Betawi memiliki tiga prinsip dalam hidupnya, yaitu: bisa mengaji Al-

Qur‟an, bisa main pukulan atau beladiri, dan melaksanakan ibadah haji.2

Sebagaimana orang Islam kebanyakan, mengaji Al-Qur‟an sedari kecil sudah

diajarkan ditambah juga dengan pengenalan aqidah dan materi-materi agama

tingkat dasar, sedangkan prinsip beladiri digunakan hanya untuk keperluan

pertahanan diri dari serangan orang lain, dengan perkataan lain silat

digunakan untuk mempertahankan diri bukan menyerang atau menyakiti

orang lain.

Ketika Kaiin beranjak dewasa, ia mengalami kehidupan mandiri,

bertempat tinggal di sebuah rumah yang didirikan di atas tanah pekarangan

sewaan dari kakak kandungnya yang bernama Maiah. Secara reguler, saudara

perempuannya itu membayar sewa tanah kongsi kepada penguasa tanah.

Sedangkan Kaiin sendiri tidak pernah membayar uang kompenian secara

teratur, meskipun demikian, Kaiin beruntung tidak sampai diusir oleh tuan

tanahnya. Lie Kim Liong (penguasa tanah Maiah) dikenal sangat baik di

1 Alwi Shahab, “Pemberontakan Tangerang 1924”, Republika, Ahad 20 April

2008, h. A 11 2 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehiudpan Orang Betawi,

(Jakarta: Masup Jakarta, 2012), Cet. Ke-1, h. 6

68

Kampung Pangkalan, ia mendapatkan tanah berasal dari warisan ayahnya,

Tuan Lie memang bersikap “masa bodoh” terhadap uang sewaan dari Maiah

dan adiknya tersebut.3

Untuk mencukupi kehidupannya, Kaiin bekerja menjadi petani,

menggarap sawah milik tuan tanah. Sebagai penyawah atau bujang sawah, ia

mendapatkan upah harian, namun penghasilannya tersebut tidak dapat

memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebagai bujang sawah, ia juga

dibebani oleh kewajiban-kewajiban kepada tuan tanah untuk membagi hasil

pertanian, membayar pajak, dan kerja-kerja di luar profesi utamanya.

Keahlian Kaiin muda dalam main pukulan dan pribadinya yang alim,

membuat ia mudah mendapatkan pekerjaan selain menjadi petani, ia ditunjuk

oleh tuan tanah, pemilik perkebunan di Kampung Pangkalan, menjadi

Mandor Pengawas Perkebunan. Tetapi pekerjaan tersebut, membuat ia

gelisah dan tidak tenang, karena bertolak belakang dengan prinsip hidupnya

yang telah ia pelajari dalam pengajian dan keahlian beladirinya. Profesi

sebagai Mandor Pengawas Perkebunan, merupakan perpanjangan tangan para

Tuan Tanah, karena itu ia melihat dan mengalami langsung perlakuan

semena-mena dan pemerasan para tuan tanah terhadap kaum pribumi yang

menjadi petani penggarap maupun orang-orang yang tinggal di tanah

partikelir yang dikuasai oleh Penguasa Tanah asing tersebut.4

Selama tiga tahun Kaiin menjadi Mandor Pengawas Perkebunan, lama

kelamaan timbul rasa ibanya terhadap orang-orang yang tertindas para tuan

tanah, akhirnya ia mengundurkan diri dari pekerjaannya tersebut (terjadi di

saat pertengahan tahun 1912). Pada awal tahun 1913, ia beralih profesi

menjadi seorang opas (semacam polisi daerah) di kantor Asisten Wedana

Teluknaga, tetapi itu pun tidak berlangsung lama sekitar tiga sampai empat

bulan saja.5

Setelah itu, ia merantau ke berbagai daerah di wilayah timur dan

selatan dari kampungnya (provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat saat ini),

sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shahab, “Dia mengembara ke berbagai

tempat, seperti Batavia, Bekasi, Bogor, dan Karawang.”6

3 Didi Suryadi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan

artikel Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan terhadap Belanda 2,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai

Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982), h. 60 4 Alwi Shahab, loc.cit

5 Didi Suryadi, op.cit, h. 60. Bandingkan dengan Edi S. Ekadjati, et.al.,

Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang,

2004), h. 133 6 Alwi Shahab, Loc.cit

69

Di Batavia, ia sempat menjadi opas pada kantor komisaris polisi,

namun lagi-lagi hanya bertahan beberapa bulan saja.7 Profesinya ini kembali

membuatnya tergugah atas ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial

kepada para hamba wet (hamba hukum) dalam setiap penanganan kasus-

kasus yang terjadi selalu bersikap diskriminatif terhadap kaum pribumi.8

Setelah beberapa tahun berkelana ke berbagai daerah, akhirnya Kaiin

memutuskan pulang ke kampung halamannya di Pangkalan, Teluknaga.

Banyak ilmu dan informasi yang ia dapatkan selama perantauannya. Di saat

ia mengalami rasa penat, pada suatu malam, ia mencari hiburan dengan

mendatangi pertunjukan Wayang Kulit Betawi yang sedang mentas di

kampungnya. Sang Dalang yang membawakan lakon wayang tersebut sangat

menghayati dan penonton pun dibawanya larut ke dalam suasana yang ia

ceritakan. Keahlian Dalang dalam pementasan tersebut, menarik perhatian

Kaiin, seketika itu di dalam hatinya ia bertekad untuk menjadi seorang

Dalang Wayang Betawi.9

Hari-hari selanjutnya ia sibuk mencari dalang yang mau

mengajarinya, pada suatu hari ia menemukan guru mendalang yang ia

dambakan, ia belajar sambil menjadi asisten dalang kepada seorang Dalang

Wayang yang berbangsa Tionghoa, asal daerah Mauk. Setelah lama ia

menjadi asisten dalang, maka sang mentor menyatakan Kaiin lulus, dan

berhak menunjukkan penampilannya secara mandiri ketika bertepatan ia

sudah berusia setengah baya,10

Kaiin akhirnya dipercaya membawakan

lakonnya sendiri. Bahkan kemampuannya melebihi sang mentor, ia menjadi

dalang yang amat terkenal terutama di distrik Kebayoran (sekarang termasuk

ke dalam wilayah Ciledug, Pondok Aren, Karang Tengah, dan Cipondoh)

sebagai Dalang yang dikagumi banyak orang.11

Terdapat perbedaan pendapat tentang jenis wayang yang digeluti

Kaiin Bapa Kayah, B. Dahm dan Alwi Shahab berpendapat, bahwa wayang

kulitlah yang mengangkat Kaiin menjadi seorang Dalang profesional.12

Berbeda dengan keduanya, Didi Suryadi meyakini, bahwa dunia yang

digeluti oleh Kaiin adalah Dalang Wayang Golek.13

Dalam hal ini, penulis

mengambil jalan tengah, dengan menyepakati profesi Kaiin sebagai Dalang

Wayang, tanpa memperdebatkan media wayangnya.

7 Didi Suryadi, op.cit, h. 60

8 Alwi Shahab, loc.cit

9 Ibid

10 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta, Sinar Harapan, 1984) cet. Ke-1,

h.25 11

Didi Suryadi, op.cit, h. 61 12

Lihat B. Dahm, Sukarno and The Struggle for Indonesian Independence,

(Ithaca and London: Cornel University Press, 1969), h. 1-20 dan Alwi Shahab,

loc.cit 13

Didi Suryadi, op.cit, h. 61

70

Di tengah karirnya sebagai Dalang yang sedang menanjak, Kaiin

akhirnya melepaskan masa lajang pada tahun 1922, ia menikahi seorang

janda kaya nan cantik, peranakan Tionghoa, yang kemudian memeluk agama

Islam. Wanita beruntung yang diperistri Kaiin tersebut bernama Tan Ceng

Nio (Tan Tjeng Nio) atau dikenal juga dengan sebutan Nyonya Banten.14

Nyonya Tan tidaklah salah memilih suami, selain dikenal sebagai

Dalang, Kaiin juga dikenal sebagai seorang jagoan ahli beladiri, sehingga

kehadiran sang suami barunya tersebut dapat melindungi diri dan harta benda

yang dimilikinya. Sebaliknya kehidupan ekonomi dari bapak Dalang menjadi

stabil dan mapan, rumah serta perlengkapan wayang juga dibelikan oleh sang

istri,15

keadaan ini tidak lantas menyurutkan sifat aktivismenya untuk

membela kaum yang tertindas di bumi pertiwi.16

Kira-kira empat bulan hingga lima bulan dari pernikahan Kaiin Bapa

Kayah dengan Tan Ceng Nio, Ki Dalang mulai kelihatan berubah sikapnya,

menjadi hemat dalam berbicara dari sebelumnya; ia lebih menyibukkan

dirinya dengan kegiatan latihan wayang di rumahnya, tidak hanya itu, aksi

panggungnya juga dibatasi, pada tahun 1923, tercatat bapak Dalang hanya

melakukan tiga kali pementasan saja.17

Perubahan sikap ini menandai awal

perkembangan pemikirannya tentang suatu misi revolusi yang akan

digagasnya kemudian.

B. Ekspektasi Mesianik dalam Kepercayaan Masyarakat

Dalam kepercayaan masyarakat di pulau Jawa dikenal tradisi

pengharapan terhadap tokoh pembebas, mesiah, yang dikenal dengan nama

Ratu Adil. Sumber tertulis yang menyatakan peran revolusioner tokoh impian

ini, berasal dari Ramalan Jayabaya18

, sebuah karya sastra yang muncul di

abad ke-12 dan berkembang luas secara lisan bahkan hingga saat ini.

Ramalan Jayabaya di Indonesia terutama di Jawa menjadi kebudayaan

yang sangat populer sejak sebelum zaman penjajahan Belanda. Kepercayaan

14

Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah

Kabupaten Tangerang, 2004), h. 133 15 Didi Suryadi, op.cit, h. 61 16 Alwi Shahab, loc.cit 17 Didi Suryadi, op.cit, h. 61 18 Jayabaya derivasi dari dua kata, Jaya (Joyo) berarti menang dan Baya (Bojo atau

Hubojo) yang artinya janji, maksudnya adalah kemenangan yang dijanjikan. Ada juga yang

menafsirkan kata Bojo dengan bahaya, sehingga arti dari Jayabaya adalah dapat mengatasi

bahaya. lihat kata pengatar buku Tjantrik Mataram, Ichtiarkanlah Terlaksananya Peranan

Ramalan Djojobojo dalam Revolusi Kita, (Bandung: Masa Baru, 1948), cet. ke-3. Kota

Kediri mangabadikan Kata “Djojo Ing Bojo” yang merujuk pada kata di atas menjadi

semboyan daerahnya.

71

mesianik ini mencapai puncaknya, tatkala pemerintah kolonial mulai represif

terhadap masyarakat pribumi. Karena penindasan yang dilakukan penjajah

tersebut membuahkan kesengsaraan yang mengakibatkan mereka (orang

tertindas ini) mencari pelarian pada pengharapan datangnya juru selamat

(Ratu Adil).

Dalam tradisi Ramalan Jayabaya dijanjikan kedatangan seorang Ratu

Adil yang akan membebaskan rakyat Indonesia dari segala penindasan dan

kesengsaraan. Itulah sebabnya ramalan tersebut sangat populer, menjadi

perbincangan rakyat dari mulut ke mulut, kaum pergerakan, pemimpin

rakyat, senantiasa menggunakan ramalan Jayabaya untuk mendorong

semangat dan membangkitkan kepercayaan serta harapan.19

Konsep mesianisme Jawa dalam Ramalan Jayabaya merupakan

konsep campuran yang berasal dari tradisi lokal, Doktrin Islam (Mahdisme),

dan kebudayaan dalam kepercayaan Hindu-Budha.20

Konsep mesianisme

Islam yang ada di Nusantara berasal dari doktrin mahdisme. Adapun unsur

mahdisme tersebut berkembang melalui tulisan-tulisan atau hikayat-hikayat

berkisah tentang pahlawan Islam, yang juga masih kerabat dari Nabi

Muhammad, yaitu Muhammad Ali Hanafiyyah, seorang anak laki-laki

Sahabat Ali bin Abi Thalib melalui istri yang lain dari bani Hanafiyyah.

Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah ini, berkembang luas di

masyarakat secara lisan, karena tidak semua orang mengenal huruf, kisah ini

dibacakan oleh seorang pendongeng, penutur atau tokoh-tokoh yang

mengerti, layaknya seorang dalang yang menyampaikan cerita melalui media

wayang, bedanya penutur hikayat ini tidak menggunakan media dalam

mengantarkan ceritanya.

19 Bung Karno seringkali mensitir ramalan jayabaya pada setiap pidatonya yang

dibanjiri oleh jutaan rakyat, bahwa ramalan Jayabaya akan terwujud bila kita bertindak. Dari

podium dengan suaranya yang lantang Bung Karno mejelaskan bahwa yang dimaksud

dengan kedatangan Ratu Adil Herucokro bukanlah dalam bentuk fisik Ratu Adil melainkan

hanya kiasan belaka. Akan datang masanya pemerintahan yang adil, yang jauh dari

penindasan, penderitaan, kesengsaraan, tidak lain dan tidak bukan nanti kalau Indonesia ini

sudah merdeka lanjut Bung Karno. Dengan kemerdekaan itu bangsa Indonesia yang terjajah,

tertindas, terhina ini akan menjadi mulia dan menjadi tuan di negerinya sendiri. Mengenai

ramalan Jayabaya yang menjadi kekuatan agitasi kaum pergerakan lihat Tjantrik Mataram,

Ibid. Baca juga Andjar Any, Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita, dan Sabdapalon,

(Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989), h. 1-3. Paparan yang lebih lengkap tentang ramalan

Jayabaya lihat Jacob A.B Wiselius, “Djaja Baja, Zijn Leven en Profetieen”, Bijdragen tot de

Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No. 19, 1872, h. 172-217; Stuart Abraham B Cohen,

“Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88. 20 Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah

Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra

dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971, h. 6

72

Kisah heroisme Muhammad Ali Hanafiyyah yang berperang melawan

penguasa Yazid bin Muawiyyah, diabadikan dalam manuskrip-manuskrip

yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang masih

dapat dibaca hingga saat ini. Karya sastra ini, turut mempengaruhi pola

pemikiran masyarakat Indonesia kala itu yang mayoritas beragama Islam,

yang juga mengalami perlakuan yang tidak manusiawi dari pemerintah

kolonial dan sekutunya.

Pengaruh doktrin mahdisme, terutama datang dari aliran Syiah, dan

sedikit samar dalam tradisi Sunni. Meskipun mayoritas Islam yang

berkembang di Nusantara beraliran Sunni, tetapi warna kepercayaan tentang

Imam Mahdi Sang Juru Selamat, dapat tergambarkan dalam tradisi tulisan

tentang Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah dimana Sang Tokoh Utama,

Muhammad Ali Hanafiyyah, dianggap sebagai Mahdi yang berjuang untuk

menegakkan kehormatan keluarga Rasulullah dan melawan penindasan

penguasa yang lalim.

Sultan Aceh menyemangati pasukannya untuk bertempur melawan

Portugis yang telah menginvasi Malaka. Sebelum berangkat ke medan laga,

Sultan memerintahkan pembacaan Hikayat ini, guna melecut semangat juang

di jalan Allah. Selain melalui tradisi pembacaan dalam menghadapi

peperangan, cerita tentang Mahdi yang juga masih kerabat Nabi ini, juga

disampaikan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Melayu Nusantara kala

itu, sehingga keyakinan mahdisme ini terpatri dalam hati sanubari

masyarakat, yang juga sambil berharap kedatangannya untuk membebaskan

dari perilaku kolonial yang mengabaikan prinsip-prinsip keislaman.

Persebaran doktrin mahdisme juga sampai ke bumi Batavia,

setidaknya dari sembilan koleksi Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah yang

tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, ada satu yang

disalin di daerah Krukut pada tahun 1243 H atau diperkirakan pada tahun

1822 M. Informasi tentang ketokohan Muhammad Ali Hanafiyyah yang

dianggap sebagai figur Imam Mahdi yang dijanjikan datang untuk melawan

angkara murka, menambah semangat juang masyarakat pribumi. Mereka

meyakini figur-figur pilihan akan terlahir untuk memimpin pergerakan.

Kaiin Bapa Kayah, seorang dalang yang juga menguasai hikayat atau

cerita perjuangan dan dongeng tentunya memakai pengetahuan dasar

pergerakan melalui sumber-sumber tulisan dan lisan tersebut. Dalam satu

kesempatan, pengikut Ki Dalang juga meyakini bahwa tokoh panutannya itu

adalah Mahdi yang dijanjikan dalam tradisi Islam, dan juga Ratu Adil

menurut sumber lokal. Kesimpulan pengikutnya ini diambil dari tanda-tanda

yang melekat dari pribadi Sang Pemimpin, sehingga mereka menilai sudah

saatnya revolusi dilakukan di bawah komando calon Raja yang akan memberi

harapan hidup di masa depan yang lebih baik.

73

Kepercayaan-kepercayaan terhadap kedatangan juru selamat (Imam

Mahdi atau Ratu Adil) sudah berakar sejak lama, mitos ini dimanfaatkan

oleh tokoh-tokoh yang berseberangan dengan penguasa (oposan) untuk

melakukan agitasi, propaganda dan pemberontakan menentang segala

kemapanan, khususnya pada tingkat lokal.

Selain kepercayaan mesianik, identitas budaya kaum tani juga melekat

dengan agama, mereka cenderung akan mempertahankan rasa identitas

tersebut dalam hal-hal keagamaan apabila mengancam nilai-nilai, gagasan-

gagasan dan praktek-praktek yang mereka lakukan. Para pemimpin

karismatik keagamaan mengendalikan dengan baik simbol-simbol, lambang-

lambang, identitas dan harapan, untuk mempertahankan kesetiaan para

pengikutnya sekaligus juga menggerakkan mereka ke dalam perlawanan

untuk melakukan protes terhadap penguasa penindas dan lalim, bahkan

gerakan-gerakan mesianistik yang bersifat agama ini cenderung bersifat

radikal21

, serta bertujuan untuk mengadakan perubahan secara mutlak dan

revolusioner.

Sifat agama dari gerakan-gerakan protes ratuadilisme ini dihasilkan

oleh kenyataan bahwa masyarakat tradisional bereaksi terhadap perubahan

sosial melalui jalan keagamaan, semata-mata karena perubahan itu

berdampak buruk bagi identitas kehidupan mereka. Akibatnya Gerakan

mesianistis selalu menunjukkan penolakan secara mutlak terhadap tata

masyarakat yang telah ada, terutama sekali menolak secara mutlak orang-

orang Eropa yang telah menguasai tanah airnya. Dalam hal ini, wibawa

tradisional (karismatik) para pemimpin keagamaan sering merupakan suatu

ancaman terpendam terhadap elite birokratik yang berkuasa.22

Cap tradisional yang diberikan dalam kewibawaan ini, karena

Pertama, daya tahan hubungan kewibawaan tradisional lebih dihitung dalam

dasa warsa ketimbang tahunan. Kedua, menyiratkan bahwa kepemimpinan

21 Sartono mengartikan „radikal‟ sebagai gerakan sosial yang menolak secara

menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat

untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang mempunyai hak-hak istimewa dan yang

sedang berkuasa. Dapat dimengerti bahwa radiakalisme menjadi suatu bagian dari gerakan

Ratu Adil yang bersifat revolusioner. Sedangkan pengikut dari gerakan-gerakan sosial yang

radikal seperti itu terbatas pada strata sosial rendahan, kaum yang tertindas atau orang-orang

yang kurang mampu. Lihat Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and

Development,dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New

York: Ithaca, 1972), h. 73-4 22 Ibid, Lihat Sartono Kartodirdjo, Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java:

Its Setting and Development,dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia,

(New York: Ithaca, 1972), h. 307

74

agaknya lebih berpindah ke bahu mereka yang memiliki martabat warisan

(inherited status) ketimbang martabat hasil pencapaian (achieved status).23

C. Visi Millenarian dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah

Visi millenarian seorang tokoh penggerak, messiah, atau kenabian

adalah menjanjikan keselamatan bagi para pengikutnya, yang diutarakan

melalui impian masa depan yang lebih sempurna, dipenuhi oleh keadilan,

kesejahteraan dan kecukupan sandang dan pangan. Cita-cita ini menjadi alat

propaganda yang meyakinkan masyarakat tradisional untuk mewujudkan

impian bersama melalui aksi tindakan protes dan perlawanan kepada

penguasa kolonial dan sekutu-sekutunya.

Millenarianisme atau kepercayaan akan kedatangan millenium dalam

kebudayaan Jawa umumnya dapat mendorong kemunculan tokoh-tokoh

“messiah”, sehingga kepercayaan itu merupakan wujud dari mesianisme.24

Figur messiah biasanya muncul dari dalam diri seorang kyai, ustadz, guru

ilmu kanuragan, dukun atau orang suci yang memiliki pesona karisma. Para

elite keagamaan ini dapat mengutarakan keinginan millenial mereka kepada

pengikut-pengikutnya, apalagi kalau mereka itu merupakan pewaris dari

tradisi-tradisi lisan atau tertulis (millenarian).25

Ideologi millenium terkandung unsur-unsur keakhiratan, yang

merupakan faktor pendorong gerakan millenarian. Peralihan dari situasi

sebelumnya ke millenium, dibayangkan secara radikal dan revolusioner.

Orang-orang yang percaya dan mengharapkan dapat keselamatan, dianjurkan

23 Karl. D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Studi

Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, Cet I, 1990, h. 203 24 Sartono Kartodirdjo, “Messianisme dan Futurisme”, Op.cit, h. 40. Lihat juga

Sartono Kartodirdjo, Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah Indonesia

dalam Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: PT

Gramedia, 1982), h. 220-1 25 Gerakan mesianisme yang dilakukan para elite keagamaan ini, menurut Sartono

Kartodirdjo bisa juga disebut sebagai gerakan keagamaan. Di mana Unsur pokok dari

gerakan keagamaan itu, pertama adanya elite keagamaan yang merupakan seorang prophet,

guru, dukun, tukang sihir, atau utusan Mesias. Pemimpin-pemimpin ini mengaku diilhami

oleh wahyu. Kedua penolakannya terhadap situasi yang ada dan harapan akan datangnya

millenium. Disamping hidupnya nilai-nilai tradisional, millenium biasanya mengidamkan

suatu masyarakat yang ideal dan meromantiskan zaman yang akan datang sebagai zaman

keemasan. Lihat Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Op.cit, h. 11

75

untuk mematuhi petunjuk-petunjuk atau petuah-petuah dari pemimpin

revolusi untuk melakukan pergerakan.26

Dalam banyak hal, tokoh-tokoh kenabian (mesianik) menjadi begitu

penting untuk memimpin perlawanan kultural terhadap penguasa penindas,

karena para pemimpin tersebut adalah pusat protes dimana misi fundamental

nabi-revolusioner adalah untuk menghancurkan komunitas para penindas

(Qura Zalima), ketidakadilan, ketidaksetaraan dan tirani penguasa. Adapun

denifisi Nabi yang dimaksud di sini menurut Michael Adas adalah:

“... Seorang yang percaya dan mampu meyakinkan orang lain bahwa ia

mempunyai kontak khusus dengan kekuatan supernatural melalui mimpi-

mimpi, ramalan dan wahyu-wahyu khusus. Para pengikut nabi itu

diyakinkan bahwa ia memiliki kekuatan yang melebihi manusia biasa, yang

sering ditunjukkan dalam kemampuan meramal atau menyembuhkan.”27

Teori wahyu dan revolusinya Ziaul Haque, menegaskan peryataan di

atas, bahwa sebelum ide-ide millenarian ini disampaikan dan dibentuk

menjadi ideologi yang mampu menggerakan suatu gerakan, terlebih dahulu

pemimpin pergerakan mendapatkan wahyu untuk melakukan aksinya,

sehingga mereka akan mendapatkan legitimasi yang kuat.28

Adapun menurut doktrin agama, rasion d’etre (alasan atau justifikasi

atas adanya) wahyu dan misi revolusioner bertujuan; pertama untuk

menyatakan kebenaran, kedua untuk berperang melawan kepalsuan (batil)

dan penindasan (zulm) dan ketiga untuk membangun komunitas yang

humanis, egaliter, kebaikan, dan keadilan.29

Pada gerakan Kaiin Bapak Kayah, sang pemimpin mempertebal

keyakinan para pengikutnya dengan legitimasi silsilah keturunan dari Prabu

Siliwangi, Sang Legenda Raja dari tanah Pasundan dan juga sebagai utusan

Nabi untuk membangkitkan kejayaan kerajaan nenek moyangnya. Ernst

Zboray dalam tulisannya berjudul Kaiin Bapa Kaiah Would be Sultan, pernah

mengungkapkan proklamasi tokoh pergerakan tersebut sebagaimana disebut

di bawah ini:

“A native of unusual height, armed with a keen-edged native sword,

presented himself and made a confused speech, in which he declared he

was a direct descendant of King Prahu Seli Wanai (sic: Prabu Siliwangi),

and a messenger of the Prophet, ordered by Heaven to found a new

26 Ibid, h. 16 27 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the

European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil :

Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,

1988), h. xvi 28 Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi (terj), Yogyakarta, LKiS, 2000, h. 9-32 29 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Op.cit, h. 33

76

kingdom. He intended to set up his capital at Bege Gedeh, near Buitenzorg

where the spirits of his fathers lived. He intended to set up He proposed to

march thither with his followers in order to found. His Kingdom under their

guardianship”30

. Artinya: Seorang Pribumi yang memiliki tinggi tubuh di atas rata-rata,

mempersenjatai diri dengan sebilah golok, yang berkata meragukan saat dia

menyatakan diri sebagai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi, seorang

Utusan Nabi dari Surga untuk menemukan Kerajaan baru. Dia berhasrat

mengawali hidup di Bege Gedeh (?), dekat Buitenzorg (Bogor) tempat

dimana ayahnya hidup. Dia terus merapatkan barisan dengan pengikutnya

untuk menemukan sebuah kerajaan di bawah kekuasaannya.

Sartono Kartodirjo menegaskan kembali pernyataan Kaiin dalam

sebuah aksi pentasnya pada sebuah walimah pernikahan keluarga Marin di

Parung Kored (sekarang masuk wilayah Kecamatan Karang Tengah, Kota

Tangerang), ia menampilkan lakon tokoh keturunan Prabu Siliwangi,

bernama Panggiring Sari dan Suklawijaya. Di tengah-tengah pertunjukkan,

Kaiin merasa tidak enak badan dan menjelaskan kepada para penonton bahwa

kisah Suklawijaya adalah perjalanan hidup dirinya yang nyata, sekaligus

memberitahukan kepada khalayak, ia sebenarnya adalah anak dari Prabu

Siliwangi dan akan dinobatkan menggantikan ayahnya menjadi raja dengan

gelar “Ratu Rabbul ‟Aalamiin” dan “Sang Hyang Tunggal”. Kaiin

menandaskan pula bahwa ia telah mendapatkan wahyu setelah melakukan

pengasingan diri selama tujuh belas tahun untuk mendirikan kerajaan dan

mengajak kepada para hadirin dalam pertunjukan wayangnya untuk bersama-

sama mengikuti pawai kemenangan menuju Gunung Salak, Bogor.31

Pernyataan Kaiin tersebut, diperlukan untuk mengkonstruksi dirinya

sebagai tokoh yang memiliki wibawa dalam struktur sosial masyarakat

tradisional. Wibawa yang bersifat tradisional inilah yang mengakibatkan

ketundukan petani dan rakyat pada umumnya untuk mentaati perintah

kawulanya, kepemimpinan model ini juga bersifat keagamaan, sehingga

pemimpin tradisional dikenal pula sebagai tokoh panutan agama. Tokoh

kewibawaan tradisional tak perlu mengancam, menawarkan imbalan benda

atau yang bersifat lambang. Sekali kewibawaan tradisional ada, satu-satunya

30 Ernst Zboray, “Kaiin Bapa Kaiah Would be Sultan” dalam Majalah The Living Age,

(Boston, USA, Saturday, 17 Mei 1924), h. 953 31 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25. Bandingkan dengan Marwati Djoened

Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2008), Edisi Pemutakhiran, h. 420-421

77

reaksi para klien terhadap perintah tokoh yang memiliki kewibawaan ini

adalah mengabulkannya.32

Visi millenarian dari tokoh dan pengikut pergerakan adalah sarana

pemersatu mereka untuk mewujudkan cita-cita bersama dengan jalan

melakukan perlawanan yang juga dikuatkan melalui sarana dan pemikiran

yang berkembang kala itu. Saluran pergerakan dengan jalan tradisionalistik,

dalam sudut pandang penjajah dilihatnya sebagai perbuatan melawan hukum,

kriminal, perbanditan, pemberontakan, sedangkan tokoh-tokoh pergerakan

dianggapnya sebagai figur yang memelihara sikap-sikap irrasional, dukun,

penyembuh penyakit, yang diliputi oleh dunia takhayul. Prasangka buruk

pemerintah kolonial terhadap pergerakan dan tokohnya ini sangat menghina

dan mendeskreditkan kaum pribumi yang memiliki sudut pandang keilmuan

yang berbeda.33

Dalam perspektif yang lain, ketika masa penjajahan usai,

justru tokoh-tokoh pergerakan yang melawan penjajah kolonial adalah

pahlawan bagi bangsa ini.

Tokoh-tokoh pergerakan memiliki visi millenarian yang memiliki

daya tarik dan penguat kepemimpinannya, mereka menerima misi dan pesan

dari agen-agen supernatural. Kaiin Bapa Kayah menjelang proklamasinya,

selalu berziarah ke makam-makam keramat dan berguru kepada tokoh-tokoh

spiritual, hingga pada akhirnya ia mendapatkan wahyunya untuk memulai

revolusi dari petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Legitimasi wahyu ini,

seakan menjadi penegas bagi para pengikut pergerakan terhadap

kepemimpinan Kaiin, sebagai orang suci yang menjadi mediator petunjuk

cahaya ketuhanan yang memerintahkan berjihad melawan kebatilan.

Selain wahyu sebagai visi millenial, Ki Dalang Kaiin, juga

meyakinkan kepada loyalisnya bakal terjadi zaman baru, seluruh tanah-tanah

kembali kepada kaum pribumi, orang-orang asing akan diusir karena sudah

melampaui batas kontrak, pajak dan kerja-kerja paksa akan dihilangkan.

Keyakinan atau ramalan-ramalan ini adalah upaya Kaiin sebagai alat

pengungkapan kebencian terhadap penguasa kolonial dan para tuan tanah

beserta kroni-kroninya yang telah menyingkirkan kehidupan tradisional

mereka.

Wahyu dan ramalan di atas, semakin diperkuat dengan visi millenial

berikutnya, yakni legitimasi bahwa seorang Kaiin Bapa Kayah adalah

32 Kewibawaan tradisional menurut defenisi Karl. D. Jackson adalah penggunaan

kekuasaan personalitas yang dihimpun melalui peranan masa lampau dan masa kini dari yang

mempengaruhi sebagai penyedia, pelindung, pendidik, sumber nilai-nilai dan status

unggul dari mereka yang punya hubungan ketergantungan yang mapan dengannya. Lihat

Karl. D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Studi Kasus Darul

Islam Jawa Barat, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, Cet I, 1990, h. 201 33 Michael Adas, op.cit, h. xxv

78

keturunan raja, dan bakal menjadi penguasa menggantikan nenek

moyangnya. Penobatan dirinya sebagai Sultan (raja) dengan sederet gelarnya,

seperti: “Ratu Rabbul ‟Aalamiin”, dan “Sang Hyang Tunggal”, menegaskan

bahwa ia bukanlah orang sembarangan, tetapi orang suci yang dipercaya

Tuhan sebagai wakilnya di dunia ini. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat

Michael Adas berikut ini:

“Sultan atau Sunan dianggap sebagai penghubung tunggal antara

manusia dan alam, dan sebagai suatu yang sangat penting dalam memelihara

keharmonisan antara alam surga dan alam teresterial. Ia bertanggung jawab

atas kesuburan kerajaannya, kemakmuran rakyatnya, dan keteraturan serta

ketenteraman yang sangat dinilai tinggi oleh orang Jawa. 34

Di bawah kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah, protes sosial yang

dilakukannya dianggap sebagai perang sabil (misi suci), yang ingin

membangun kembali pemerintahan yang diperkuat oleh nilai-nilai keislaman.

Hal ini bukan tanpa alasan, kehadiran pemerintah kolonial yang disokong

oleh birokrat dan sekutunya, telah melululantahkan nilai-nilai keberagamaan

mereka. Perang suci ini, bukan hanya untuk melindungi agama Islam itu

sendiri, melainkan juga menjaga kelestarian nilai-nilai keislaman yang telah

melekat dalam budaya masyarakat Tangerang.

Setiap tokoh millenarian (mesianik), memiliki peran dalam dunia

nonfisik, pembimbing spiritual, dan terkadang penyembuh segala penyakit.

Reputasi ini dipercaya oleh pengikutnya sebagai kekuatan yang melekat

pada figur pemimpin yang akan membebaskan mereka dari krisis identitas,

kebudayaan, dan kehidupan. Keahlian ini pula, yang membuat Kaiin Bapa

Kayah diliputi oleh dunia magis-religius, terutama ketika sebelum memulai

pergerakan, ia memerintahkan pengikutnya menyimpan uang koin di dalam

wadah bekas memandikan wayang dengan air suci yang sudah dibacakan

zikir-zikir dan dicampur dengan bunga-bunga – setelah diinapkan selama

waktu tertentu, koin tersebut diambil kembali untuk dijadikan jimat-jimat

sebagai perisai diri dalam aksi pergerakan.

Visi millenial yang khas dari Kaiin Bapa Kayah adalah identifikasi

dirinya dengan tokoh pewayangan, “Prabu Arjuna”. Profesinya sebagai

seorang dalang, sangat akrab sekali dengan cerita-cerita pewayangan,

terutama peperangan yang dilakukan oleh Pandawa Lima, yang

menginspirasi dirinya untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa lalim

dan antek-anteknya.

34 Michael Adas, op.cit, h. 95

79

Tokoh Pandawa adalah anak-anak Pandu Dewanata, dari istrinya

Kunti Nilabrata yang melahirkan; Yudisthira, Bima (Sena), dan Arjuna. Dan

dari istri yang lain (Madri), mendapatkan si kembar Nakula dan Sadewa, 35

karena itu pula dalam cerita pewayangan yang ditulis oleh Muhammad Bakir

bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli36

pada tahun 1890, Madri diberi nama

Dewi Gandawati.37

Kelima kakak-beradik ini merupakan tokoh protagonis,

yang berperang melawan keluarga Kurawa, yaitu putera Dretarastra, saudara

dari Pandu (ayah Pandawa Lima).

Di antara anak-anak Pandu tersebut, Arjuna dikenal sebagai ahli

strategi peperangan, dan ini dibuktikan dengan kemenangan melawan

Kurawa di Kurukshetra. Keunggulan perang ini tidaklah mengherankan,

karena Arjuna merupakan titisan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Nama

Arjuna sendiri berarti yang bersinar, yang bercahaya, selain gagah perkasa,

ia juga dianugerahi dengan perawakan yang tampan. Karena itu, Ki Dalang

Kaiin Bapa Kayah memproklamirkan dirinya sebagai Prabu Arjuna yang

akan memimpin kerajaan baru dan mengalahkan pemerintah kolonial dan

sekutunya di Tangerang.

Perjuangan masyarakat petani Tangerang untuk mengakhiri

kesewenangan Tuan Tanah yang disokong oleh pemerintah kolonial, meletup

menjadi keberanian yang sungguh-sungguh demi masa depan yang cerah,

mendapatkan bentuk aksinya ketika muncul tokoh mesianik di bawah panji-

panji millenial Sang Pelopor, Kaiin Bapa Kayah, seorang Petani, Dalang, dan

Pemimpin Suci yang telah mendapatkan wahyu untuk mengembalikan

keadaan semula – semua tanah milik nenek moyang, kepemilikan Tuan

Tanah hanyalah bersifat sementara, karena itu seorang pribumi berhak

35 https://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa, diakses pada 11 Desember 2015, pukul

10:27 wib 36 Muhammad Bakir dikenal sebagai Sastrawan dari Betawi, bersama pamannya,

Sapirin alias Guru Cit serta saudaranya Ahmad Insab, Ahmad Mujarrab, dan Ahmad

Beramka adalah keluarga Fadhli yang memiliki taman bacaan dan juga berprofesi sebagai

penulis dan penyewa buku, hal ini tergambar dalam setiap karangannya yang selalu

mengingatkan uang sewa kepada pembaca. Muhammad Bakir aktif menyalin dan mengarang

sejak tahun 1884 sampai tahun 1906. Ini artinya hidup sezaman dengan Kaiin Bapa Kayah,

meski yang terakhir lahir lebih belakangan. Lihat Nur-Karim, et.al, Kumpulan Cerita Wayang

Versi Pecenongan: Suntingan Teks, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2012), h. 7 37 Pada cerita Wayang Pandu, dikisahkan Raja Gandaradesa bertekuklutut kepada

Pandu dan Abiyasa (ayahnya), seluruh rombongan diperkenankan memasuki istana dan

diberi penghormatan untuk duduk di singgasana. Sebelum penyerahan diri tersebut,

Gandaradesa membuat perjanjian untuk menyerahkan anak perempuannya, Puteri Gandawati

untuk diperisteri oleh Pandu. Mendengar penyerahandiri Raja Gandaradesa, Arasoma pun

akhirnya menghaturkan sujud sembah kepada Pandu, seraya mempersembahkan saudara

perempuannya, Dewi Rukmani untuk dinikahi oleh Pandu Dewanata. Lihat Muhammad

Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Pandu, (Jakarta: Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 241, h. 278-279

80

menuntut pengembalian tanah tersebut. Semua visi millenial yang tersebut di

atas, diramu oleh Sang Pemimpin perlawanan, guna meyakinkan para pihak

untuk berada di barisan revolusinya.

Keenam visi millenial yang tersebut di atas; wahyu, ramalan,

legitimasi kepemimpinan, perang sabil, kekuatan magis sang pemimpin, dan

identifikasi tokoh pewayangan Arjuna – memberikan keyakinan dan harapan

kepada masyarakat Tangerang yang terdeprivasi (terampas) peran, ekonomi,

dan kehidupan sosial mereka, dimana upaya-upaya perbaikan lainnya

kelihatan sudah tertutup, sebagai referensi kebangkitan kembali untuk

merebut semua warisan nenek moyang yang telah dikuasai oleh para

penguasa asing tersebut.

D. Unsur Islam dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah

Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat

Tangerang, sejarah panjang masuknya Islam dimulai ketika para pendatang,

terutama dari Timur Tengah menjalin kontak dengan bumi Nusantara. Ketika

Tangerang masuk ke dalam wilayah Kesultanan Banten, maka kebijakan

politiknya makin mempertebal keyakinan orang-orang Tangerang tentang

keislaman dan memperbanyak penganutnya. Kebijakan transmigrasi oleh

kesultanan ke wilayah Tangerang, memunculkan ribuan orang yang menetap

dan akhirnya mengelola perkebunan – dengan sendirinya menambah

banyaknya penganut Islam di pedalaman Tangerang.

Pengaruh ajaran Islam dalam kepercayaan masyarakat, semakin

menguatkan tradisi dan budaya hingga melekat dalam kehidupan mereka.

Hal ini pula yang menjadi pendekatan Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan

pergerakan melawan penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan para tuan

tanah dan pemerintah kolonial Belanda terhadap kehidupan alami masyarakat

Tangerang, yang sudah tergoyahkan dan tercemari oleh budaya asing.

Di bawah pimpinan Kaiin Bapa Kayah, yang profesi terakhirnya

adalah sebagai seorang Dalang Wayang, pergerakan Tangerang 1924 ini juga

sangat lekat dengan unsur keislaman. Di bawah ini akan dijabarkan beberapa

pengaruh keislaman dan analisis singkat dalam pergerakannya.

1. Perihal penobatan gelar Ratu Rabbul ‘Aalamiin; memiliki makna

filosofis sebagai perwakilan dari Tuhan di jagat semesta yang menjadi

penguasa, pendidik, dan pemelihara. Kata Rabbul ‘Aalamiin, merujuk

kepada Al-Qur‟an

81

a. Surat Al-Fatihah ayat 2;

Artinya: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

b. Surat Al-An‟am ayat 45;

Artinya: “Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya.

segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

c. Surat Al-Shaaffaat ayat 182;

Artinya: “Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.”

d. Surat Ghaafir atau Al-Mu‟min ayat 65;

Artinya: “Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah)

melainkan Dia; Maka sembahlah dia dengan memurnikan ibadat

kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Menurut M. Quraish Shihab kata Rabb, satu akar kata dari

Tarbiyah, muncul pula istilah Rubuubiyah (kepemilikan atau

pemeliharaan), tercakup di dalamnya pemberian rezeki, pengampunan

dan kasih sayang; juga amarah, ancaman, siksaan dan sebagainya. Kata

‘Aalamiin adalah bentuk jamak dari ‘Aalam yang berarti ilmu atau

tanda, bermakna menjadi sarana atau alat untuk mengetahui wujud sang

Pencipta, dari kata ini berkembang menjadi alam raya atau segala

sesuatu selain Allah. Sedangkan menurut ahli tafsir kata ini berarti

kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup sempurna

maupun terbatas. Ada alam malaikat, manusia, binatang, tumbuh-

82

tumbuhan.38

Hal ini mempertegas, bahwa Kaiin Bapa Kayah adalah

pemimpin atau khalifah Allah yang menguasai semua alam, lahir dan

batin.

2. Konsep eskatologis atau masa pengakhiran dunia; dalam rukun iman,

yang merupakan doktrin utama ajaran Islam, seorang muslim wajib

mempercayai akan terjadi masa pengakhiran (kiamat). Dalam agitasinya,

Kaiin Bapa kayah, selalu mengajak kepada masyarakat untuk bergabung

menjadi pengikut pergerakan, karena masa pengakhiran zaman akan

segera terjadi, apabila masyarakat ingin mencari keselamatan, dianjurkan

untuk bertaubat dan mengikuti ritual-ritual yang dipimpin oleh Ki

Dalang.

Doktrin mahdisme yang berkembang di Nusantara, khususnya di

kota Batavia, tersiar kabar akan kedatangan tokoh penyelamat, bernama

Imam Mahdi sebelum terjadinya kiamat dunia. Imam Mahdi bertugas

menyelamatkan umat Islam dari kezhaliman dan kerusakan duniawi

untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang lebih

sempurna dan terlebih lagi penyelamatan manusia ketika masa

penghacuran dunia (kiamat) tiba.

Doktrin mahdisme digunakan sebagai alat propaganda tokoh-tokoh

pergerakan, terutama unsur eskatologisnya, yakni suatu masa yang akan

datang, dimana semua makhluk Allah di dunia ini akan dibinasakan.

Karena itu, bagi umat Islam yang ingin diselamatkan dan mencapai

kedamaian di masa pelepasan ruhnya dari alam dunia ini, maka

diwajibkan untuk mengikuti ritual-ritual khusus yang dilakukan oleh

pemimpin-pemimpin pilihan yang akan membimbing mereka dari

kesulitan ini.

Propaganda ini pula yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah, guna

mempengaruhi masyarakat petani, agar bergabung bersama dirinya untuk

melawan para tuan tanah dan pemerintah kolonial, terutama juga dalam

rangka persiapan menghadapi masa akhir zaman yang akan

melululantahkan segenap alam raya ini.

3. Memanjatkan doa kepada Sang Khaliq; berdoa sesungguhnya adalah

anjuran Allah kepada umat Islam, agar dalam kehidupan dipenuhi

keberkahan dan selalu berada dalam pertolongan-Nya. Adapun kata doa,

berasal dari kata ista’aana, yang artinya memohon pertolongan Allah.

Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam ayat berikut ini:

38 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,

(Jakarta: Lentera Hati, 2009), cet. Ke-2, Volume I, h. 36-39

83

Artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang

demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. (Q.S.

Al-Baqarah: 45)

Selain kata ista’aana, ada juga makna lainnya, yang diambil dari

kata istighatsah.

Artinya: “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu

diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala

bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut".

(Q.S. Al-Anfaal: 9)

Artinya: “Dan orang yang Berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu

keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa Aku

akan dibangkitkan, padahal sungguh Telah berlalu beberapa umat

sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah

seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah

adalah benar". lalu dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-

orang dahulu belaka". (Q.S. Al-Ahqaaf: 17)

Kata doa dari semua ayat di atas, adalah bukti janji Tuhan kepada

makhluknya agar senantiasa melindungi umat-Nya, sepanjang ia

meminta pertolongan kepada Allah. Hal ini tergambarkan dalam firman

Allah dalam Surat Al-Anfaal ayat 9 di atas, Mengutip M. Quraish

Shihab, sebab diturunkan ayat tersebut mengacu kepada peristiwa Perang

Badr:

84

“Imam Muslim meriwayatkan melalui sahabat Nabi saw., Umar

Ibnu al-Khaththab ra, bahwa pada hari Perang Badr, Rasul saw, melihat

kepada kaum musyrikin yang berjumlah seribu orang sambil melihat

sahabat-sahabat beliau – pasukan Islam – yang hanya sekitar tiga ratus dan

belasan orang. Maka, Nabi saw, menghadap ke Kiblat sambil mengangkat

kedua tangan beliau dan berdoa: „Ya Allah, penuhilah apa yang Engkau

janjikan padaku, penuhilah apa yang Engkau janjikan padaku, Ya Allah,

jika Engkau membinasakan kelompok umat Islam ini, Engkau tidak

disembah lagi di bumi,‟ beliau berdoa sambil mengulurkan tangannya

sehingga serbannya terjatuh dari bahunya. Abu Bakar ra, mendatangi

beliau dan mengambil serban tersebut kemudian meletakkan di bahu beliau

lalu berdiri di hadapannya dan berkata: „Cukuplah permohonanmu kepada

Tuhanmu karena sesungguhnya Dia akan memenuhi janji-Nya untukmu.‟

Maka, turunlah ayat ingatlah ketika kamu bermohon dan seterusnya dan

Allah pun mendukungnya dengan para malaikat.”39

Kekuatan doa ini pula yang digunakan oleh Kaiin Bapa Kayah

untuk melakukan pergerakan, sebelum mencetuskan aksinya, Kaiin

memerintahkan pengikutnya untuk melakukan ritual doa di rumahnya,

agar pergerakan yang dilakukan mendapat pertolongan dan berkah Allah

swt.

4. Tabaruk dengan berziarah kubur kepada para pendahulu; sebagaimana

diketahui, sebelum mencetuskan aksi menuntut keadilan para tuan tanah

dan aparat kolonial, sang pemimpin pergerakan, Kaiin Bapa Kayah

selalu berziarah (mengunjungi) makam-makam keramat. Makam yang

sering diziarahi, yakni: makam Pangerang Blongsong dan Nyi Mas

Kuning di Mangga Dua (Batavia), serta makam Raden Bagong di Parung

Kored, Karang Tengah (Kota Tangerang).

Ketiga makam ini dianggap memiliki karomah (kemuliaan), karena

sebagai orang yang di masa hidupnya berjasa bagi masyarakat dan

terkenal memiliki ilmu hikmah (kebijaksanaan) dan kedigdayaan.

Meskipun ketiga tokoh ini sudah lebih dahulu meninggal, namun

karomahnya masih dirasakan oleh Kaiin dan pengikutnya, karena itu

mengunjungi makamnya, berdoa kepada Allah dengan berwasilah

kepada para pendahulu tersebut, dan meminta keberkahan kepada Allah

melalui perantaraan orang alim yang sudah meninggal – adalah

perbuatan baik menurut Kaiin untuk meminta restu dan memperkuat

pergerakannya.

Perbuatan meminta keberkahan kepada Allah melalui perantaraan

orang shalih yang telah meninggal di makamnya, menurut pendapat

39 M. Quraish Shihab, Ibid, Volume IV, h. 474-475

85

Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, dengan mengutip pernyataan putra

Imam Ahmad bin Hanbal (Abdullah) sebagai berikut:

“... Ia bertanya kepada ayahnya tentang orang yang menyentuh dan

mencium mimbar Nabi saw, atau makam beliau untuk mencari keberkahan.

Imam Ahmad menjawab, „Tak ada yang salah mengenai hal itu.‟ Abdullah

juga bertanya kepada Imam Ahmad tentang orang yang menyentuh dan

mencium mimbar Nabi saw, untuk mendapatkan keberkahan, dan yang

berbuat serupa terhadap makam Nabi saw., atau sesuatu yang seperti itu,

dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam Ahmad

menjawab, „Tak ada yang salah mengenai hal itu.‟”40

Disebutkan pula oleh Syekh Kabbani, bahwa dahulu di masa

pemerintahan Umar bin Khaththab, pernah terjadi kemarau yang

berakibat kekeringan dimana-mana. Kemudian dalam suatu riwayat,

Bilal ibn Al-Harits, mendatangi makam Rasulullah saw, seraya

mengatakan, “Ya Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah demi

umatmu.” Dalam riwayat lain, puteri beliau, Siti Aisyah pernah

memerintahkan kepada seseorang, agar membuka atap makam Nabi

Muhammad, ketika terjadi musim kering, maka hujan pun turun

membasahi bumi.41

5. Menggunakan pakaian putih-putih dalam aksi pergerakan pada tanggal

10 Februari 1924; penggunaan simbol warna putih bermakna kesucian

atau bersih, sehingga Kaiin Bapa Kayah meyakini bahwa pergerakannya

ini dalam rangka menjaga kesucian ajaran Islam dan mendapat

keberkahan Allah.

Penggunaan pakaian putih ini, sesuai dengan sabda Nabi

Muhammad saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah

dalam Sunan Ibnu Majah, Kitab 32 tentang Al-Libas (pakaian) pada Bab Al-

Bayadh min Al-Tsiyaab (Pakaian Putih), pada Hadits Nomor 3566:42

40 Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Syafaat, Tawasul, dan Tabaruk, (Jakarta:

Serambi, 2007), Cet. Ke-1, h. 163 41 Ibid 42 Al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid Al-Qazuraini, (peny.), Sunan

Ibnu Majah, (Kairo: Darul Hadits, 1998), cet. Ke-1, h. 261

86

Artinya: “Telah diceritakan kepada Kami dari Muhammad bin Al-Shabbah,

memberitakan kepada kami dari „Abdullah bin Rajaa Al-Makki, dari Ibnu

Khutsaim, dari Sa‟id bin Khubair, dari Ibnu „Abbas berkata: Rasulullah saw

bersabda: “Sebaik-baiknya pakaian kamu sekalian adalah pakaian putih,

Maka pakailah pakaian putih, dan kafankalah mayat-mayat di antara kamu

sekalian dengan pakaian putih.” (H.R: Ibnu Majah)

Dan Hadits nomor 3567:43

Artinya: “Telah diceritakan kepada Kami dari „Ali bin Muhammad diceritakan

kepada kami dari Waki„, dari Sufyan, dari Habib bin Abi Tsabit, dari

Maimun bin Abi Syabiib, dari Samurah bin Jundab berkata: Rasulullah saw

bersabda: “Pakailah pakaian putih, karena sesungguhnya pakaian putih itu

lebih suci dan lebih baik.” (H.R: Ibnu Majah)

Mengutip penjelasan „Abdul Baaqii dalam Sunan Ibnu Majah, Perkataan

Khairu Tsiyaabakum al-Bayaadhu (Sebaik-baiknya pakaian kamu sekalian

adalah pakaian putih), dikarenakan warna putih itu lebih jelas atau tampak

apabila ada kotoran dari pada warna lainnya, sehingga memudahkan untuk

membersihkannya, hal ini kemudian diperjelas pada hadits nomor 3567

melalui kalimat Innahaa Athyabu wa Athharu (karena sesungguhnya pakaian

putih itu lebih suci dan lebih baik).44

43 Ibid 44 Al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid Al-Qazuraini, (peny.), Ibid

87

BAB V

PERGERAKAN MILLENARIAN TANGERANG 1924

SEBAGAI PROTES SOSIAL

A. Proses-proses Pergerakan

Proses perubahan dari kehidupan yang menyengsarakan, krisis moral

dan keadaan politik yang tak berkeadilan menuju masa depan yang

menjanjikan keadilan, tata masyarakat yang menjunjung tinggi

keberagamaan, dan kehidupan ekonomi yang lebih mudah menjadi sebuah

impian millenial bagi masyarakat dan petani Tangerang, sehingga mereka

berani memutuskan melakukan pergerakan melawan para tuan tanah yang

menjadi kelompok koloborator bagi pemerintah kolonial Belanda.

Pada prinsipnya gerakan pemberontakan terjadi, karena adanya rasa

ketidakpuasan rakyat terhadap tirani pengusa, yang telah menindas, memeras,

dan berlaku semena-mena terhadap rakyat. Kebijakan penguasa dinilai hanya

berpihak kepada golongan tertentu, sehingga supremasi civil dan hukum tidak

bisa ditegakkan di negara yang dipimpin oleh penguasa seperti ini. Karena

itu, banyak para pemimpin pemberontakan bermunculan dengan suatu misi

suci untuk mengembalikan keadaan yang sudah tak terkendali ini, kepada

keadaan harmonis yang pernah terjadi sebelumnya, sehingga terciptalah suatu

zaman yang sempurna. Gerakan millenial Kaiin Bapa Kayah adalah salah

satu dari perwujudan cita-cita menuju zaman sempurna. Sebelum tercetusnya

aksi millenial ini, tentu ada api yang menyulutnya, berbagai sebab

terakumulasikan menjadi sebuah perasaan untuk bangkit melawan penguasa

tiran yang telah merusak keharmonisan.

Para petani di tanah partikelir Tangerang – sama halnya dengan para

petani di tanah partikelir lain – makin lama makin merasakan dan menyadari,

bahwa mereka ditindas dan diperas oleh para tuan tanah asing (khususnya

yang berasal dari Tiongkok). Cuke atau pajak dan berbagai kerja wajib sangat

memberatkan para petani. Di antara kerja wajib tersebut adalah

heerendiensten, yaitu kerja wajib kepada tuan tanah; kerigan (desadiensten)

berupa perbaikan jalan, jembatan, pematang, dan lain-lain; dan gugur

gunung, yaitu perbaikan infrastruktur desa yang rusak.1

Penindasan dan pemerasan tuan tanah kepada para petani penggarap

tanah yang umumnya adalah kaum pribumi, diperkuat oleh keberadaan dan

peran jawara. Jawara-jawara itu sengaja dipelihara oleh para tuan tanah.

1 Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah

Kabupaten Tangerang, 2004), h. 129

88

Fungsi mereka menjaga dan melindungi tanah partikelir beserta tuan tanah

sebagai pemiliknya. Dalam menjalankan tugasnya, mereka sering bersikap

dan bertindak menekan dan menakut-nakuti petani penggarapnya agar

mematuhi dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya serta tidak melakukan

sesuatu yang bisa mengganggu keamanan, merusak tanah, mengancam hidup

tuan tanah beserta keluarganya, dan mangkir atas kewajiban-kewajiban

mereka. Tak segan jawara itu menindak petani penggarap dengan cara

kekerasan fisik dan menyita harta benda yang dimilikinya.2

Oleh karena itu kondisi ekonomi dan kehidupan para petani jauh tidak

seimbang dengan orang-orang Tionghoa. Para tuan tanah Tionghoa makin

kaya, karena mereka terus menambah kepemilikan tanah partikelir.

Sebaliknya, para petani hidup dalam suasana kekurangan. Kondisi itu

terutama terjadi di kampung Pangkalan. Di daerah itu 60 persen luas tanah

dikuasai oleh orang-orang Tionghoa, padahal mereka adalah penduduk

minoritas. Mereka memiliki hak lebih banyak dari petani, sehingga

kekuasaan mereka pun sangat besar.3

Pemicu lain dari protes sosial dan perlawanan adalah karena adanya

pengaruh dari organisasi pergerakan nasional, Sarekat Islam, yang telah

menancapkan ideologinya di Afdeling Tangerang Tangerang pada tahun

1913. Rasa kebangsaan dan kesadaran politik masyarakat Tangerang mulai

terbangkitkan. Letupan pertama muncul tatkala terjadi pertikaian kaum

pribumi kampung Tegalkunir dengan sekelompok Tionghoa Kebonwaru,

yang diakibatkan oleh sengketa pribadi seseorang yang barasal dari anggota

keluarga Gudel (penduduk asli) dengan Lim Utan (Lim Oetan/seorang

pendatang dari Tiongkok). Kerusuhan rasial tersebut menyebabkan terjadinya

disharmoni yang berkepanjangan di tanah partikelir Tangerang.4

Sebelum pergerakan, Kaiin Bapa Kayah sempat lama memikirkan

tentang tanah-tanah di Tangerang, yang dikuasai oleh para tuan tanah asing,

hingga pada suatu ketika, ia mendapatkan wahyu yang menyatakan bahwa

tanah-tanah tersebut sudah berjalan dua puluh lima tahun masa kontraknya.

Karena itu, menurut perintah mimpinya Bapa Dalang, kaum pribumi berhak

mengusir para tuan tanah dari tanah pertanian dan perkebunan untuk

2 Ibid, h. 129-130 3 Hasil penyelidikan sebab-sebab dari peristiwa Tangerang pada tanggal 10 Februari

1924, dari Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), 30 September 1924 dalam Arsip

Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad

XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 79 dan lihat pula

Suhartono W. Pranoto, Jawa: Bandit-bandit Pedesaan-Studi Historis 1850-1942,

(Yogyakarta: Aditya, 1995), h. 139. Dalam Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 130-131 4 Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 132

89

dikembalikan kepada penduduk asli. Di tanah ini pula, Kaiin Bapa Kayah

akan dinobatkan sebagai raja dengan nama Prabu Arjuna.5

Proses pergerakan dipersiapkan dengan matang dan penentuan

waktunya berdasarkan wahyu Sang Pemimpin. Ketika sudah ada perintah

wahyu tersebut, kaum tani Tangerang bergeraka melawan pemerintah

kolonial, para tuan tanah dan sekutu pribuminya terjadi pada hari Minggu

tanggal 10 Februari 1924. Secara matang tanggal tersebut dipilih,

berdasarkan masukan dari gurunya, Sairin, yang juga bertepatan dengan

tanggal 4 bulan Rajab dalam kalendar Hijriyah.6 Dan dalam kenyataannya,

tanggal tersebut sesuai dengan arsip berita acara Assisten Wedana Teluknaga.

“Hamba Raden Toewoeh, Asisstent-Wedana Teloeknaga, menerangkan

dengan sebenarnja, pada ini harie Minggoe ddo. 10 Februari 1924 kira djam

½ 8 pagi, hamba trima telefoon dari Kongsi tanah Pangkalan, menerangkan

jang di Kongsi tanah Pangkalan soedah kedatengan beberapa orang maoe

mengamoek, ...” 7

Gerakan perlawanan ini bertujuan untuk membebaskan penduduk dari

tuan tanah-tuan tanah Tionghoa, yang akan diusir kembali ke negerinya. Oleh

karena itu dapat dikatakan unsur utama gerakan ini adalah unsur nativistik,

yang berusaha mengembalikan kepada sumber daya dan tatanan asli lokal.8

Unsur ini kemudian bercampur dengan visi millenarian yang juga melekat

kepada kepercayaan tokoh pembebas (messiah atau Ratu Adil dalam

keyakinan lokal).

Pergerakan yang dipimpin oleh Sang Pembebas, Kaiin Bapa Kayah

dimulai dari Kampung Pangkalan untuk menemui pemilik toko seorang

Tionghoa, bernama Thio A. Pang alias Atang, dan menanyakan kepadanya

tentang kontrak asing yang sudah habis. Kemudian perjalanan selanjutnya,

mendatangi penguasa negeri, dan para Tuan Tanah, mereka semua juga

diminta untuk segera meninggalkan tanah Pangkalan.9 Kejadian ini membuat

5 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1, h. 25 6 Ibid. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.),

Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi Pemutakhiran, h. 421 7 Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh) mengenai

peristiwa Tangerang ttg. 10 Februari 1924, dalam Arsip Nasional Republik Indonesia,

Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber

Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 75 8 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 17-18 9 Didi Suryadi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan artikel

Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan terhadap Belanda 2, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek

Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982), h. 57

90

gaduh para pihak yang menjadi musuh Kaiin dan kawan-kawan, suasananya

pun mencekam sebagaimana digambarkan oleh Assisten Wedana Teluknaga,

Raden Toewoeh:

“.. hamba trima telefoon dari Kongsi tanah Pangkalan, menerangkan

jang di Kongsi tanah Pangkalan soedah kedatengan beberapa orang maoe

mengamoek, itoe waktoe djuga hamba oendjoe bertaoe dengan telefoon

moehoen pertoeloengan pada Kandjeng Controleur Tangerang dan Toean

Hoofdpolitie Opziener Tangerang serta Toean Wedana Mauk.”10

Untuk mengatasi luapan emosi rombongan Kaiin tersebut, terpaksa

Assisten Wedana melakukan muslihat, ia memperlambat gerakan mereka

dengan menyuruhnya duduk di dalam pendopo sambil menikmati teh,11

rokok dan suguhan lainnya sambil bercakap-cakap tentang maksud dan

tujuan pergerakan mereka. Di sisi lain siasat itu dilakukan sambil menunggu

bala bantuan tiba, setelah sebelumnya sudah mengubungi Controleur

Tangerang, Hoofdpolitie Opziener Tangerang, dan Wedana Mauk melalui

jaringan telepon.

Dengan kemajuan teknologi,12

pemerintah kolonial memanfaatkan

telepon untuk berkomunikasi dan berkordinasi dengan bawahan-bawahan

mereka sampai di tingkat rendah. Hal ini, tidak diantisipasi oleh Kaiin dan

pengikut-pengikutnya, kalau saja jalur komunikasi pejabat Asisten Wedana,

Controleur Tangerang, Hoofdpolitie Opziener Tangerang, dan Wedana Mauk

– diputus oleh kelompok pergerakan Bapa Dalang, maka mereka akan

kesulitan, bahkan tidak dapat meminta bantuan pengiriman pasukan.

“... oleh karena datengnja itoe orang2 pada hamba kasar dan maoe

nganiaja pada hamba, serta hamba tida ada kekoeatan melawan, laloe hamba

tjari akal soepaja djadi keselametan, lantas hamba bilang “tida maoe bela

pada kafir” laloe itoe Kaiin ba Kaiah seboet pada hamba “Ama” (orang

toewa) dan saja kasih taoe lagi djika maoe ngakoe orang toewa, soepaja

doedoek doeloe dan djika ada oeroesan apa2 nanti sadja oeores serta hamba

bri roepa2 nasehat soepaja djadi sabarnja, sembari orang-orang itoe hamba

kasih sigaret dan itoe Kaiin ba Kaiah bersama temen2nja toeroet pada hamba

poenja nasehat, serta masing2 hamba soeroeh doedoek di emper kantoran

10 Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), dalam Arsip Nasional

Republik Indonesia, op.cit, h. 75 11 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 27 12 Michael Adas mengatakan perkembangan ini terutama dihasilkan dari kemajuan

dalam persenjataan, organisasi, komunikasi, logistik dan obat-obatan, yang berhubungan

dengan proses industrialiasasi di Eropa sendiri. Lihat Michael Adas, Prophet of Rebellion

Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, The University of

North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang

Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 306

91

dan Kaiin ba Kaiah hamba kasih doedoek di korsi dalem pendopo ka

Asistenan, laloe Kaiin ba Kaiah kata pada hamba maoe pergi troes ke

Betawi, maoe bikin habis kota Betawi, oleh karena hamba kwatir bikin

roesoeh di dalam kampoeng-kempoeng, dan lagi hamba toenggoe pada

dawoehnja Kandjeng Kontroleur Tangerang dan Padoeka Toean Wedana

Mauk serta laen2 politie, lantas hamba tahan dengan dioge2 (wennen) jang

tiada antara lama Kandjeng Kontroleur Tangerang dan Padoeka Toean

Wedana Mauk rawoeh, maka Kaiin ba Kaiah diperiksa mengakoe nama

Bagenda Ali serta kepengen diakoe dan maoe tjari orang2 toewa Noerdjaja

dan soedah 3 hari blon makan nasi, serta mengakoe tida senang ati pada

Toean Tanah karena Toean Tanah soedah djalan 2-3 tahoen soedah ambil

padi tjoeke lima 3 iket.”13

Tepat pukul sebelas, pejabat Assistent Resident Batavia datang

bersama pasukannya ke pendopo Assisten Wedana. Sebagaimana dikatakan

oleh R. Toewoeh: “Maka kira pukul 11 dateng Kandjeng Toean Assistent-

Resident Betawi bersama Marchoussee ...” Jam setengah tiga pejabat

Controleur dan Komandan Detasemen Polisi Mauk dan beberapa polisi

setempat datang ke Teluknaga. Mereka semua berdiskusi panjang tentang

niatan pergerakan Bapa Dalang dan pengikutnya tersebut, dan akhirnya Kaiin

Bapa Kayah bersama pengikutnya diperkenankan menuju Batavia tetapi

dengan syarat perjalanan mereka dikawal aparat polisi kolonial.14

Walaupun

dalam suasan pengawalan itu, pasukan Ki Dalang masih diperkenankan

memegang senjatanya masing-masing.15

Siasat licik dilakukan aparat kolonial di tengah perjalanan, tepatnya

di daerah Tanah Tinggi (Persimpangan jalan antara dekat pusat pemerintahan

Kota Tangerang sekarang menuju jalan Daan Mogot arah Kalideres), Kaiin

Bapa Kayah dijatuhkan oleh oleh seorang aparat kepolisian. Para

pengikutnya yang melihat kejadian ini, sontak melawan para polisi tersebut,

apalagi mereka merasa pemimpinnya telah dilecehkan oleh aparat kolonial.

Terjadilah kontak fisik di antara mereka, sehingga rombongan Ki Dalang

yang tidak bisa menandingi kekuatan amunisi aparat pun lumpuh, tercatat 19

orang meninggal di tempat kejadian perkara, dan 23 orang mengalami luka-

luka, yang masih hidup akhirnya ditahan, karena dianggap sebagai perusuh

dan pemberontak.16

Menurut Thahiruddin yang dikutip oleh Edi S. Ekadjati dan kawan-

kawan, Kaiin Bapa Kayah dalam kontak fisik tersebut bukan termasuk yang

ditahan, tetapi gugur di Tanah Tinggi, dan dimakamkan di taman pemakaman

13 Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 75-76 14 Didi Suryadi, op.cit, h. 57 15 Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 76 16 Didi Suryadi, op.cit, h. 57

92

yang terletak di Kampung Encle, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang,

Kota Tangerang.17

B. Faktor Kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah

Masyarakat pribumi seutuhnya menyadari bahwa kemampuan

logistik perang mereka masih belum dapat menandingi kekuatan amunisi

pemerintah kolonial yang didukung oleh teknologi canggih dan termodern

kala itu. Tetapi mereka meyakini semua kekuatan asing dapat terkalahkan,

terlebih lagi masyarakat lokal yang lekat dengan kepercayaan magis religius,

mempunyai keyakinan pada sosok suci yang diliputi oleh kewahyuan untuk

membawa mereka kepada zaman baru yang menjanjikan. Dalam hal ini,

tampilnya tokoh petani Pangkalan bernama Kaiin Bapa Kayah,

membangkitkan motivasi dan mempercayainya sebagai pemimpin gerakan,

bukan hanya karena pengalamannya sebagai petani, tetapi juga karena

pengalaman dan pengetahuannya di luar profesi petani, yang menjangkaui

tradisi pemikiran masyarakat lokal.18

Pemikirannya tentang penguasaan tuan tanah pada tanah-tanah di

kampungnya, adalah sebuah bentuk ide penyadaran bahwa tanah Pangkalan

tidak seharusnya dimiliki oleh orang asing, sebagai warisan leluhur, tanah itu

harusnya bermanfaat buat kaum pribumi. Pada kenyataannya, Kaiin melihat

kaum pribumi lebih miskin dibandingkan para penyerobot asing tersebut.

Dalam intuisinya, Ki Dalang berpikir perlu melakukan tindakan pengusiran

kepada tuan tanah Tionghoa yang telah bertindak semena-mena terhadap

petani pribumi.19

Pemikiran Kaiin tersebut, diwujudkan dalam aksi millenialnya

menentang penguasaan tanah oleh pihak-pihak asing. Meskipun cita-citanya

tidak terwujud dalam waktu yang dekat, tetapi tindakan Kaiin merupakan

sikap dari seorang pahlawan yang membela kaum tertindas, yang mengajak

kepada semua elemen masyarakat untuk melawan semua penindasan dan

merefleksikan kemandirian di atas kaki sendiri.

Dengan mengangkat isu revolusi menuju suatu zaman sempurna,

kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah mendapat dukungan dari berbagai

kalangan, yang merasa kehidupannya telah terganggu oleh represifitas

penguasa kolonial dan sekutunya. Mereka menilai kehadiran penguasa asing

dan sekutunya hanyalah membebani dan menyengsarakan rakyat kecil

ditambah dengan gaya hidup mereka yang tidak lagi mengindahkan moralitas

agama dan adat-istiadat yang mengakibatkan semakin terpuruknya negeri ini.

17 Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 137 18 Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 133 19 Edi S. Ekadjati, et.al., Ibid, h. 133

93

Mereka bersama-sama berjuang untuk sebuah kemerdekaan sebagai bangsa

yang berdaulat tanpa tekanan dari pihak asing, sehingga hak dan kewajiban

sebagai kaum pribumi untuk menegakkan moralitas dan membangun

negaranya dapat terpenuhi.

Kepemimpinan Ki Dalang dibuktikan dengan menyuarakan suara hati

rakyat petani pribumi, kepada perwakilan pejabat berwenang, R. Toewoeh,

selaku Asisten Wedana Teluknaga – sekaligus menjelaskan misi revolusinya,

namun sebelumnya ia terlebih dahulu menemui Tuan Tanah Kampung

Melayu, Him Po Lim dengan disertai oleh para pengikutnya. Sebagai juru

bicara, Kaiin menegaskan kepada Him Po Lim, bahwa para Tuan Tanah

sudah cukup kekuasaan, karena telah selesai masa kontraknya selama 25

tahun. Selanjutnya, Sang Pemimpin Pergerakan merobek buku catatan pajak

yang ada di meja juru tulis kantor Kongsi Tanah Kampung Melayu.

“... Sepoelangnja hamba dari Kongsi Pangkalan dapet taoe dari kwasa

Tanah Kampoeng Melajoe nama Him Po Lim jang se-blonnja itoe Kaiin ba

Kaiah datang di ka Assistenan lebih doeloe soedah dateng di Kongsi

Kampoeng Melajoe dengan Kaiin ba Kaiah kata pada kwasa tanah “soedah

tjoekoep 25 taoen maoe doedoek disini,” lantas Kaiin ba Kaiah ambil boekoe

cope tjatatan committeerd jang ada di atas medja kantoran djoeroetoelis

kongsi troes itoe boekoe di robek2 sedatengnja hamba di roemah ka

Assistenan, trima dari hamba poenja djoeroetoelis 1 toembak poenja orang2

itoe jang ketinggalan tida dibawa, lantas hamba beslag boeat boekti”20

Kejadian ini segera dilaporkan oleh Tjoetak Politie tanah Pangkalan,

Mas Moehamad Moeso, ia menghadap kepada Assisten Wedana Teluknaga

dan menceritakan kronologi peristiwa serangan sekelompok orang yang

dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah terhadap dirinya dan tukang timbang di

Kongsi Pangkalan, yang bernama Sahir. Dalam serangan itu Sahir terluka

akibat sayatan senjata tajam, ketika ia sedang berkuda menuju Kongsi

Bodjongrenged, di tengah perjalanan dicegat oleh rombongan tersebut.

“Maka tida antara lama dateng Tjoetak Politie tanah Pangkalan nama

Mas Moehamad Moeso, kasih taoe jang betoel di Kongsi Pangkalan soedah

kedatengan beberapa orang dengan bersendjata tadjem, jaitoe jang djadi

kepalanja orang nama Kaiin ba Kaiah, tinggal di kampoeng Pangkalan

tanjakan Patiah tanah Pangkalan, tapi Patiah tiada ada sebab lari dan Tjoetak

Politie menerangkan poela jang ia soedah diboeroe oleh itoe orang-orang

maoe dibatjok, serta tukang timbang pada Kongsi Pangkalan nama Sahir

koetika naik koeda maoe pergi ke Kongsi Bodjongrenged soedah dibatjokin

oleh itoe orang-orang hingga mendapat beberapa loeka pajah.”21

20 Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 76 21 Ibid, h. 75

94

Raden Toewoeh bergegas mengecek laporan tersebut, dan melihat

langsung kondisi Sahir yang sedang ditangani lukanya oleh dokter.

Kemudian ia mencoba mencari barang bukti penganiayaan terhadap Sahir, di

rumahnya Kaiin Bapa Kayah, namun tidak menemukan sesuatu yang

mencurigakan.

“Sesoedahnja lantas hamba pergi ke Pangkalan periksa orang nama

Sahir jang telah dibatjok oleh Kaiin ba Kaiah dan kedapet betoel Sahir

soedah mendapat beberapa loeka di badannja serta itoe Sahir lagi di verband

oleh Toean Dokter Tangerang lantas hamba pergi commissie di roemahnja

Kaiin ba Kaiah tapi tida dapet barang jang djadi boekti dalam ini

perkara...”22

Keyakinan para petani dan masyarakat Tangerang kepada

kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah merupakan faktor dasar penyebab

terjadinya konflik antara orang pribumi dan Tionghoa di tanah partikelir.

Apabila dikaji secara seksama, konflik yang kemudian mencapai puncaknya

berupa pemberontakan petani terhadap tuan tanah, terjadi akibat beberapa

faktor lain yang melingkupi kehidupan masyarakat yang telah mengalami

deprivasi, yaitu:

Pertama, pejabat pribumi yang seharusnya menjadi pangayom dan

pelindung petani (rakyat), justru cenderung berperan sebagai pelindung dan

pembela tuan tanah. Hal itu berarti para petani kehilangan saluran untuk

menyampaikan aspirasi atau pengaduan nasib mereka.23

Kedua, kewajiban-kewajiban para petani terhadap tuan tanah dan

besarnya kekuasaan tuan tanah, mengakibatkan pola kehidupan petani yang

mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat pribumi, seperti tradisi

gotong-royong, tepa selira, dan lain-lain, menjadi luntur, bahkan hampir

punah. Waktu dan tenaga para petani lebih banyak dikonsentrasikan untuk

bekerja di tanah partikelir. Oleh karena itu, mereka tidak lagi dapat

melakukan kegiatan sosial, sehingga mereka mengalami krisis identitas.24

C. Mobilisasi Pergerakan

Karisma pemimpin pergerakan, kesaktian, dan visi millenariannya,

meyakinkan untuk mendapatkan pendukung – peranan tokoh kenabian,

seperti Kaiin Bapa Kayah memudahkan pula dalam mobilisasi kaum tani dan

22 Ibid, h. 76 23 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 131 24 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 140. Dan Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h.

131

95

masyarakat pribumi untuk berada di barisan perjuangan untuk menggapai

cita-cita bersama, berdiri di atas kaki sendiri tanpa campur tangan orang-

orang asing yang hanya mementingkan diri dan korporasinya.

Sebagai seorang dalang, Kaiin Bapa Kayah, sangat mudah untuk

mempengaruhi masyarakat, di Distrik Kebayoran, Bapa Dalang sering tampil

membawakan lakon wayangnya, dan di tempat ini pula banyak loyalis

pengikut pergerakan yang setia kepada kepemimpinannya.

Dalam laporan R.A Kern, seorang Penasehat Urusan Bumi Putera

(Pemerintah Hindia Belanda), menyebutkan setidaknya ada lima kelompok

utama yang menjadi pengikut setia pergerakan di Tangerang pada tahun1924,

berikut ini adalah grup pengikutnya:25

a. Grup Keluarga Kaiin, terdiri atas;

1) Kaiin Bapa Kajah.

2) Nyonya Banten, istri Kaiin.

3) Baba Entong, anak tiri Kaiin.

b. Grup Merin, di antaranya;

1) Merin.

2) Rentjin, istri Merin.

3) Misad, anak Merin.

4) Miden, anak Merin.

5) Tongtjin,

6) Karim,

7) Ada,

8) Nawi, anaknya Ada

c. Grup Siban, yaitu;

1) Siban Bapa Sambut

2) Minan Midi,

3) Saroen,

4) Midin bapa Mini,

5) Samin,

6) Sanan,

7) Kidin,

8) Madjoen,

d. Grup Gemengde, ialah;

1) Kinoeng alias Ridjan.

2) Saen.

3) Sioen bapa Mindji.

4) Boei,

25 Hasil penyelidikan Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), dalam Arsip

Nasional Republik Indonesia, op.cit, h. 89-90. Bandingkan dengan Edi S. Ekadjati, et.al.,

op.cit, h. 135

96

5) Enang.

6) Kasep.

e. Grup Hadji Rioen, mereka adalah;

1) Hadji Rioen.

2) Mirin.

3) Adim.

4) Lioeng.

5) Koentan.

6) Meran.

7) Hadji Koen Adjari, anak Hadji Rioen.

8) Kliling.

9) Pidang.

10) Bodo.

11) Saijan.

12) Radi bapa Ramah

Dari kesemua tokoh pergerakan yang disebut di atas, terdapat tujuh

figur penting dalam pergerakan millenarian tersebut, mereka semua memiliki

latar belakang yang berbeda, di antaranya adalah sebagai berikut:

a) Berprofesi sebagai Dalang Wayang; yaitu Kaiin Bapa Kayah, yang

menjadi tokoh utama pergerakan.

b) Tokoh Agama; Hadji Rioen (guru ngaji dan tarekat sekaligus pedagang)

dari daerah Kalideres.

c) Panglima Perang; Merin, anak Ki Reog (guru kebatinan Kaiin) dan juga

cucu Raden Bagong (makamnya sering dikunjungi Kaiin di Kampung

Parung Kored)

d) Sebagai Patih; Enang, seorang petani asal Karang Tengah, yang juga

menjadi guru kebatinan.

e) Siban Bapa Sambut dari Pondok Aren, seorang Petani sukses dan

makmur.

f) Marin atau Mirin yang berasal dari Kampung Melayu, juga seorang

petani. 26

g) Ibu Minah atau Minan dari Kampung Kelor, ia pula yang mengenalkan

Kaiin kepada guru-guru kebatinan dan tempat-tempat ziarah.27

Mobilisasi semua unsur pengikut pergerakan selalu dikuatkan melalui

konsolidasi internal. Para pengikut pergerakan sering mengadakan pertemuan

di rumah Kaiin Bapa Kayah, guna melakukan ritual kebatinan dan

26 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 420 27 Tambahan dikutip dari Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 134

97

mendengar wejangan dari tuan rumah dan guru-guru yang lain. Suatu hari,

Kaiin memberikan petuah di hadapan para pengikutnya dan menjelaskan

bahwa wahyu telah sampai dalam dirinya, ia ditunjuk menjadi tokoh pilihan

Tuhan yang keramat (orang suci) agar memimpin pergerakan dan ia juga

telah dianugerahi gelar Sayidina Ali, Mirah Delima, dan Malaikat Maut.

Bapa Dalang juga meramalkan tentang suatu masa yang dipenuhi kegelapan

di muka bumi ini, karena itu ia menganjurkan kepada pengikut setianya agar

berdiam diri di rumah ketika suatu saat terjadi ramalannya ini.28

Konsolidasi terakhir sebelum pergerakan terjadi, tepatnya di hari

jum‟at (hari ini dianggap sebagai keramat dan dijuluki sebagai “Tuan

daripada Hari-hari”), tanggal 8 Februari, sebanyak 40 orang pengikut Kaiin

berkumpul di Kampung Pangkalan (rumah pemimpinnya), seperti biasa

untuk mengadakan ritual kebatinan dan sekaligus kordinasi pergerakan.

Jama‟ah pengajian malam jum‟at itu di rumah Kaiin Bapa Kayah,

diwajibkan membawa uang satu gulden dan tujuh sen. Uang itu kemudian

diletakkan pada sebuah wadah yang sudah berisi air suci dan terdapat bunga-

bunga, yang ditaruh di depan Bapak Dalang yang sedang memimpin ritual.

Air yang berbunga tersebut juga digunakan untuk membasuh wayang Sena

(Bima), Arjuna, dan Semar – ketiganya adalah tokoh wayang keramat dalam

pandangan Ki Dalang. Satu hari setelahnya, sabtu, uang-uang tujuh sen yang

diletakkan di dalam air suci tersebut, telah mendapatkan pemberkatan dan

selanjutnya dikembalikan kepada para pengikutnya untuk dijadikan jimat.29

Doktrin keagamaan (ritual kebatinan) yang dipakai oleh Kaiin,

menandaskan bahwa ia juga termasuk dalam pemuka agama meskipun

sehari-hari berprofesi sebagai dalang. Menurut Sartono, Ikatan-ikatan petani

dengan para pemimpin keagamaan informal mempunyai kedalaman sosial

yang sangat nyata, hubungan-hubungan erat yang dipelihara para pemimpin

karismatik ini memberikan kemampuan mereka untuk memobilisasi para

petani sebagai klien mereka untuk berorientasi ke desa dalam suatu corak

kegiatan politik yang bersifat supradesa. Di dalam kebanyakan gerakan

sosial, para petani aktif pada suatu pergolakan berskala kecil dan hanya

terbatas pada wilayah mereka sendiri. Tetapi dalam beberapa hal, loyalitas

yang lebih luas sangat dimungkinkan, terutama dalam hal inspirasi

keagamaan, kelompok kaum tani setempat dapat diintegrasikan ke dalam

gerakan politik yang berskala besar.30

28 Ibid, h. 27 29 Didi Suryadi, op.cit, h. 57 30 Sartono Kartodirdjo, Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting

and Development,dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New York: Ithaca,

1972), h. 86-7

98

Kemampuan Kaiin Bapa Kayah dalam memobilisasi pengikut

pergerakan, terakhir dilakukan dalam rencana aksinya, bersama

rombongannya berjumlah + 34 orang lelaki dan 4 orang perempuan datang ke

kantor Assisten Wedana Teluknaga, untuk menyampaikan aspirasi dan

menjalankan misi suci untuk mengembalikan tanah-tanah kepada kaum

pribumi. Mereka semua menggunakan seragam pakaian putih-putih (simbol

gerakan bermakna kesucian) dengan memakai topi anyaman bambu khas

Tangerang (simbol lokalitas budaya dan masyarakat pribumi) dan sebagian

menggunakan ikat kepala putih (simbol perlawanan suci).

D. Ideologi Pergerakan

Pemberontakan kenabian, perlawanan messiah, dan protes sosial

pemimpin pergerakan selalu didahului oleh penyampaian visi millenial,

tentang harapan idealistik, janji masa depan, dan tatanan yang berkeadilan.

Kesemua visi ini termanifestasikan melalui ideologi pergerakan millenarian.

Seorang pemimpin tradisional dianggap sebagai penjelmaan atau

perwakilan Tuhan di muka bumi ini, mereka menerima wangsit atau wahyu

memulai pergerakan, melawan penguasa, birokrat kolonial, dan kroni-

kroninya untuk membebaskan para petani dan kaum pribumi yang tertindas.

Pembangunan ideologi dan pengembangannya, bagi seorang Kaiin

Bapa Kayah mutlak diperlukan, agar pergerakannya mendapat sambutan luas

dari masyarakat pribumi. Dalam suasana kebatinan yang menggelisahkan,

Kaiin mulai meragukan tindak tanduknya sebagai seorang dalang yang hanya

pandai menceritakan kisah-kisah fiksinya. Ia mulai merenungkan bagaimana

caranya, agar dapat membantu masyarakat yang tertindas, bangkit dan dapat

menikmati hidupnya dalam suasana damai dan serba dicukupkan kondisi

ekonominya.

Kegalauannya dalam pikiran, menyita keseharian dirinya, sehingga ia

membatasi penampakannya sebagai seorang dalang, hal ini merubah

sikapnya menjadi lebih pendiam. Di balik sifat berubahnya, Kaiin

memikirkan sesuatu yang membayanginya setiap hari. Dalam lamunan itu, ia

berpikir tentang tanah-tanah di Kampung Pangkalan, yang telah dikuasai oleh

orang-orang asing.

Dalam sebuah pertemuan dengan para simpatisan pergerakannya,

tepatnya terjadi di akhir bulan Desember pada tahun 1923, ia

mengungkapkan perihal petunjuk (wahyu) dalam mimpinya, yang memberi

99

isyarat bahwa tanah-tanah di Tangerang adalah milik nenek moyangnya,

Pangeran Mayor Blongsong dan Ibu Mas Kuning.31

Didi Suryadi menerjemahkan pernyataan Kaiin yang dikutip dari R.A

Kern, yang terus menjadi renungan dalam alam pikirannya:

“Mengapa Cina (sic: Tionghoa) di sini menjadi kaya mempunyai

sawah dan kebun? Kami yang keturunan dari nenek moyang tidak memiliki

tanah, kami tetap miskin. Semua tanah adalah milik tuan tanah. Seorang

yang ingin memiliki sebidang sawah atau kebun harus menyerahkan

hasilnya kepada tuan tanah. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus

berlangsung. Suatu saat harus lenyap dan orang Cina (sic: Tionghoa) harus

lenyap. Negeri ini adalah negeri kami dan harus kembali kepada kami;

„Dari asal pulang ke asal‟. Kalimat yang terakhir ini sering dipikirkannya.

Kami harus menuntut hak kami. Waktunya untuk itu akan datang. Kami

akan mencari keadilan Tuan Tanah dan Tuan Besar di Bogor juga harus

tahu bahwa kami „minta mulangkan hak kami kembali‟. Kami tidak akan

mendapatkan hak kami dari Tuan Besar, kami harus menyampaikannya

kepada Raja Belanda. Kami akan meminta petunjuk jalan buat

berhubungan dengan Raja Belanda. Kami akan menyatakan bahwa kami

punya tanah telah dirampas”32

Perenungannya tentang tanah-tanah yang telah dikuasai para tuan tanah

asing tersebut, semakin mewujudkan ideologi millenariannya dan

memantapkan jargon “Dari Asal Pulang ke Asal”, tetapi keyakinan millenial

ini masih belum dapat menggerakkan aksinya, sehingga ia masih

membutuhkan unsur-unsur lain melalui referensi alam kebudayaan

tradisional.

Berdasarkan pengalaman Kaiin ketika bekerja sebagai aparatur

pemerintah kolonial, ia berpendapat bahwa untuk mengusir orang Tionghoa

(yang telah merusak tantanan kehidupan lokal) harus meminta bantuan

pejabat tinggi pemerintah, yaitu gubernur jenderal bahkan raja Belanda.

Skenario kedua setelah itu, apabila para pemangku kepentingan tidak

bersedia menerima aspirasinya, maka penduduk pribumi harus mengusir

orang-orang Tionghoa secara paksa. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka

ideologi millenarian yang digunakan pemimpin pergerakan perlu diimbangi

dengan penguasaan ilmu kekebalan.33

Sejak tahun 1922, Kaiin Bapa Kayah yang tengah menanjak karirnya

di dunia pewayangan, banyak melakukan ziarah-ziarah ke makam keramat,

seperti makam Pangeran Blongsong dan Ibu Mas Kuning yang terletak di

Mangga Dua, Batavia. Di saat kunjungannya ke daerah Mangga

31 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25 32 Didi Suryadi, op.cit, h. 61 33 Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 134

100

Dua tersebut, ia bertemu dengan tokoh ilmu kawedukan dan ilmu kaslametan

(ajaran tentang kesaktian atau kekebalan), yang bernama Sairin alias

Tjongkok dari daerah Cawang, yang juga pernah membantu pergerakan

Entong Gendut di Mesteer Cornelis (Jatinegara), ia juga bertemu dengan

Hadji Rioen, seorang guru tarekat (tokoh spiritual). Dari pertemuan dan

diskusi dengan kedua guru tersebut, maka Kaiin tertarik dengan keahlian

tokoh tersebut dan bermaksud untuk belajar kepada mereka untuk

mendapatkan ilmu kedigdayaan (kesaktian).34

Tempat ziarah kedua yang sering dikunjungi Kaiin adalah makam

Raden Bagong, di kampung Parung Kored, Pondok Bahar (Kecamatan

Karang Tengah, Kota Tangerang). Tujuan berziarahnya adalah untuk

meminta doa restu kepada orang-orang suci yang telah wafat maupun yang

masih hidup agar ia berhasil menjalankan misi pembangkitan kerajaan

Pasundan dan mengembalikan tanah-tanah kepada para petani pribumi.35

Selain berziarah di Parung Kored, ia juga sambil berguru kepada Ki

Reog, juru kunci makam sekaligus anak dari Raden Bagong. Di tempat ini

pula, bapak Dalang juga sering melakukan diskusi dan saling bertukar

informasi dengan Marin, cucu dari Raden Bagong tersebut.

Guru spiritual lain dari Bapa Dalang adalah Kyai Muhammad Santri,

yang berasal dari Giri Jaya di kaki Gunung Salak, Bogor. Kyai Santri adalah

tokoh karismatik, yang menjadi sumber kekayaan ruhani umat dan

banyak dimintai doanya oleh masyarakat dalam urusan duniawi dan akhirat.36

Setelah Kaiin berhasil menguasai ilmu kekebalan, ia merubah nama

dan penampilan dirinya. Namanya ditambah dengan gelar “Mas” dan

menolak disebut “Raden” sebagaimana trah darah biru lainnya. Ki Dalang

kemudian selalu mengenakan pakaian “kebesaran”, serban dan kain sarung

(sebagaimana dikenakan oleh tokoh keagamaan). Semua itu dimaksudkan

untuk menguatkan wibawa dan menambah pengaruhnya di kalangan

penduduk pribumi.37

Sepekan menjelang peristiwa, persiapan terus dilakukan Sang

Penggerak, Kaiin Bapa Kayah secara intensif. Ia melakukan penguatan-

penguatan spiritualitas, dengan melakukan kegiatan ziarah ke makam-makam

keramat, dan berkunjung ke tempat pengasingannya di Giri Jaya, Gunung

Salak, serta membagikan bermacam-macam jimat kepada para pengikutnya.38

34 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25. Lihat juga Marwati Djoened

Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 420 35 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25 36 Ibid 37 Didi Suryadi, op.cit, h. 62. Bandingkan dengan Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h.

134. Ekadjati menyebutnya pakaian jawara bukan seperti yang dipaparkan oleh Didi Suryadi. 38 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25-26

101

Perbuatan pemimpin pergerakan tersebut, pada era moderen dianggap

sebagai perilaku takhayul, namun demikian bagi masyarakat tradisional

kegiatan ini bagian dari tradisi yang diwariskan, sebagaimana dikatakan oleh

Anwarudin Harapan (Mantan Dosen Fakultas Adab dan Humaniora), “Dan

tiap bentuk ketakhayulan itu tidak timbul secara tiba-tiba melainkan tumbuh

dari pengalaman, penghayatan serta pengamatan warga masyarakat sampai

turun-temurun. Dan lahirnya unsur takhayul itu diungkapkan dengan cara

khas menurut lingkungannya, baik dalam bentuk ungkapan lisan maupun

dengan perbuatan yang lama-kelamaan menjadi tradisi masyarakat.”39

Selain ideologi tersebut di atas, Kaiin Bapa Kayah juga memakai

doktrin-doktrin agama dalam pergerakannya. Dalam pernyataannya kepada

pejabat kolonial ia memberitahukan bahwa niat kedatangan dengan

pengikutnya adalah untuk sabilullah melawan kaum kafir, mencari keadilan,

sekaligus menegaskan dirinya bukanlah seperti Bapak Dalang yang dulu,

melainkan seorang raja yang bergelar “Prabu Rabul „Alamin”. Hal ini juga

terangkum dalam Berita Acara yang dibuat oleh Raden Toewoeh:

“Waktoe hamba lagi ada di pendopo ka Assistenan jaitoe lagi trima

rapportnja itoe Tjoetak Politie Pangkalan sekoetika itoe dateng di roemah ka

Assistenan + 34 orang lelaki dan 4 orang perempoean berpakaian badjoe

poetih tjelana poetih pake topi bamboe (boni) dengan bersendjata golok

telendjang dan toembak kampak serta sebagian dari itoe orang-orang

kepalanja ada jang diiket pake selempa poetih, di antara itoe orang-orang

tjoema hamba kenal pada Kaiin ba Kaiah dalang wayang koelit tinggal di

kampoeng Pangkalan, serta mereka itoe samperin pada hamba troes hamba

deketin sesampenja di samping pendapa ka Assistenan sebelah lor, lantes

hamba di lingkoeng oleh itoe orang-orang terseboet dengan golok2nja

masing2 soedah di amangken pada hamba poenja badan, serta itoe Kaiin ba

Kaiah (jang djadi kepala dari itoe orang2) kata pada hamba, bahwa ia

mengakoe bernama Praboe Raboel Alamin, dan tanja lagi pada hamba “apa

maoe bela pada orang2 kafir atawa tida. Sebab saja maoe sabilloelah serta

maoe tjari keadilan dan maoe tjari bapa Noerdjaja dan boejoet Ireng...”40

Keberanian bapak Dalang Kaiin melawan pemerintah kolonial dan

anteknya para tuan tanah, menurut Raden Toewoeh adalah karena

dipengaruhi oleh doktrin sabilullah, bukan karena sakit hati akibat diambil

cuke tanahnya – sebagaimana diketahui Kaiin tidak memiliki tanah, ia hanya

menumpang di tanah sewaan kakaknya Maiah dan hidup di rumah istrinya

yang kaya. Pengikut pergerakan pun hampir semua bukan berasal dari

Kampung Pangkalan, melainkan dari daerah lain, jadi secara tidak langsung

39 Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, (Depok: Asosiasi

Pelatih Pengembangan Masyarakat, 2006), h. 73 40 Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 75-76

102

pergerakan ini tidak mewakili sikap para petani di Pangkalan. Hal ini ditulis

dalam berita acara yang dibuat oleh Assisten Wedana Teluknaga, yakni:

“Maka hamba poenja pendapetan bahwa peroendjoekannja Kaiin ba

Kaiah sakit ati pada Toean Tanah Pangkalan lantaran diambil tjoeke lima 3

itoe tida bisa djadi, sebab ia tida mempunjai sawah, melainkan

penghidoepannja ngadalang wajang sadja, sedeng itoe orang2 jang ngikoet

pada Kaiin ba Kaiah boekan pendoedoek kampoeng Pangkala tapi dari laen2

tempat, djadi pendapetan hamba itoe Kaiin ba Kaiah ada kepertjajaan pada

elmoe kesabilan, maka seblonnja kedjadian ini perkara, hamba tida dapet

taoe dan rapport dari Tjoetak Politie dan Mandor Politie Pangkalan.”41

Antusiasme keagamaan ini disalurkan oleh Bapa Dalang (yang

menganggap dirinya sebagai pemimpin agama) ke dalam aksi politik

perlawanan dengan menggunakan doktrin perang sabil (suci), yang

menjanjikan penyelamatan dan mati terhormat sebagai martir (syahid) bila

gugur dalam pertempuran melawan kaum kafir. 42

Ide-ide yang dikeluarkan tokoh-tokoh keagamaan karismatik (seperti

seruan perang sabil) pada masyarakat Indonesia umumnya dianggap keramat,

wahyu atau sakti. Pembawaan ini membuat orang-orang yang dikaruniai

dengan wibawa (karisma) itu diliputi oleh alam kesucian (sacre). Kekuatan

karisma dan wibawa yang mereka miliki itu bersifat revolusioner, sehingga

menjadi ancaman serius, bagi pemerintah kolonial, para birokrat, dan

kelompok status-quo, karena ada kecenderungan gerakan-gerakan

keagamaan ini digunakan untuk melakukan oposisi-politik.43

E. Analisis Pergerakan

Apa yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah dan pengikutnya ini,

bukanlah pemberontakan serius yang dihadapi oleh pemerintah kolonial.

Keikutsertaan orang-orang yang merasa tidak puas terhadap kebijakan dan

perlakuan semena-mena aparat kolonial dan sekutunya – bergabung kepada

pergerakan Kaiin Bapa Kayah (pemimpin millenarian) untuk mencari

keselamatan dan kematangan hidup di masa depan, semuanya ini berangkat

41 Ibid, h. 76 42 Para pemimpin Islam, apakah haji atau kyai, biasanya telah menikmati prestise

sosial yang tinggi di kalangan penduduk desa. Sebaliknya orang-orang kulit putih dan kaum

priyai selalu dicap sebagai kafir, penuh dosa serta patut mengundang kemuakan pada umat.

Lihat Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development,Ibid, h.

88-90 43 Kartodirdjo, Sartono, Ratu Adil, op.cit, h. 33

103

dari niat untuk melawan ketidakadilan dan penindasan tersebut. Karena

motivasi pergerakan yang begitu kuat, mereka tidak peduli dengan resiko

sekecil apa pun, bahkan sampai mengorbankan darah dan nyawa mereka.

Sayangnya, Semangat ini tidak diimbangi oleh perangkat komunikasi dan

amunisi pertempuran yang dimiliki oleh pemerintah kolonial Belanda dan

sekutunya, sehingga perlawanan ini hanya berumur singkat.44

Sebagaimana dikatakan oleh Michael Adas, “... Skala dan lamanya

suatu gerakan sangat tergantung pada interaksi antara kemampuan para

pemimpin pemberontak mengorganisasi dan mengarahkan pendukung

mereka dengan keefektifan para kolonialis Eropa dalam menggunakan alat-

alat penindasannya.”45

Kelompok pergerakan petani Tangerang di bawah komando seorang

dalang karismatik, bernama Kaiin Bapa Kayah, bukanlah pemberontakan

yang membahayakan pemerintah, mereka hanya melakukan protes sosial

(demonstrasi) untuk melindungi diri sebagai kaum pribumi yang telah

tergeser hak-hak hidupnya oleh orang-orang asing, tetapi perlakuan aparat

kolonial dan sekutunya sangat berlebihan terhadap kelompok ini. Tampaknya

pemerintah kolonial mengalami trauma dengan bibit-bibit pergerakan, yang

sewaktu-waktu dapat membesar dan meluas seperti pernah terjadi dalam

pergerakan Diponegoro, yang banyak menghabiskan tenaga dan biaya yang

cukup besar. Sehingga kebijakan politik bumi hangus dilakukan untuk

menindak dan mematikan benih-benih pemberontakan sedari awal, agar tak

meluas dan membahayakan kepentingan kolonial di tanah-tanah partikelir

yang telah menghasilkan pemasukan kas dari sektor pertanian dan

perkebunan.

Kebijakan penumpasan terhadap benih oposisi terhadap pemerintah

kolonial Belanda, semata-mata dilakukan sebagai efek jera kepada orang-

orang yang tidak sepaham dalam rangka pembungkaman suara terhadap

kaum pribumi. Meskipun pergerakan Kaiin Bapa Kayah ini bersifat lokal dan

terbatas pada wilayah tertentu di Tangerang, tetapi penjajah Belanda bersama

sekutu tuan tanah, menganggap letupan-letupan ini sebagai potensi

pengganggu kepentingan mereka.

44 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the

European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil:

Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,

1988), h. 295 45 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the

European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil:

Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,

1988), h. 296

104

Persiapan yang dilakukan para pengikut pergerakan bersama dengan

pemimpinnya, tidak dilakukan dengan terorganisir dan profesional. Mereka

hanya mempercayai kekuatan tradisional dan kepercayaannya kepada

kekuatan magis, dari semua pengikut pergerakan, mereka juga tidak

mempunyai pengalaman dan bekal pengetahuan perang yang memadai,

meskipun sang pemimpin pergerakan pernah menjadi aparat kepolisian

pemerintah kolonial.

Merin adalah seorang Panglima Perang Pergerakan Kaiin Bapa Kayah,

anak Ki Reog (guru kebatinan Kaiin), sekaligus cucu Raden Bagong

(makamnya sering dikunjungi Kaiin di Kampung Parung Kored) – dianggap

sebagai tokoh yang sakti dalam ilmu-ilmu kebatinan, tetapi ia tidak

mempunyai pengalaman di medan pertempuran, apalagi menguasai strategi

perang seperti Sentot Ali Basya, komandan perang Jawa, yang dipimpin oleh

Pangeran Diponegoro.

Michael Adas memuji kepiawaian Sentot dalam menerapkan taktik

kick and run (serang-lari), sebagai salah satu strategi perang yang

dihadapinya untuk menghadapi tentara Belanda yang gencar menyerang para

pejuang dengan didukung oleh amunisi yang lebih canggih dan logistik yang

tak terbatas.

“... Strategi serang-lari yang menghancurkan merupakan ciri komandan

Diponegoro yang lebih kompeten, khususnya Sentot yang sangat muda dan

pasukannya. Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh melalui taktik

ini sering mengagumkan, dan secara berulang-ulang mereka menghidupkan

kembali semangat pemberontakan dalam tahap-tahap selanjutnya jika

perlawanan melemah, yang mengikuti keberhasilan Belanda dalam perang

konvensional.”46

Seandainya Kaiin menguasai teknik peperangan, ia tidak akan berani

melawan di tempat terbuka, sebagaimana pangeran Diponegoro yang

memimpin Perang Jawa hingga lima tahun. Diponegoro juga menggunakan

strategi perang gerilya, dan menghindari bentrokan terbuka di daerah

pemukiman atau perkotaan. Taktik perang gerilya menurut Adas, memang

belum dapat mengantarkan para pemberontak pribumi kepada puncak

kekuasaan yang hakiki. Strategi gerilya hanyalah salah satu aspek

keberhasilan dari sebuah bentuk perlawanan. Kemenangan yang didapatkan

para pemberontak, itu karena keberhasilannya dalam mengembangkan

46 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the

European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil:

Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,

1988), h. 301

105

kekuatan militer setara dengan penjajah dan pengorganisasiannya secara

moderen.47

Penggunaan seragam atau pakaian putih-putih dan topi anyaman

bambu, secara tidak langsung memudahkan identifikasi pada kaum

pergerakan, hal ini semakin memuluskan langkah tentara Belanda yang

mengawal perjalanan mereka dari Kampung Pangkalan yang berniat menuju

pusat kota Batavia. Baru sekitar 15 kilometer perjalanan, di daerah Tanah

Tinggi (sekarang dekat kantor pemerintahan (Kota Tangerang)48

, sekelompok

pergerakan yang bermaksud menyampaikan aspirasi mereka kepada

penguasa Belanda di Batavia – sudah dihentikan langkahnya, dengan

persenjataan yang tidak sebanding, akhirnya mereka dapat dilumpuhkan,

sang pemimpin pergerakan gugur di lokasi bentrokan, sedangkan pengikut

pergerakan yang masih hidup dipenjarakan.

Penggunaan seragam ini, menjadi sebuah kesalahan langkah apabila

menerapkan strategi gerilya. Dengan demikian, pengikut pergerakan tidak

dapat membaur dengan masyarakat lainnya ketika dalam suasana terjepit.

Masih menurut Michael Adas, selain keberhasilan menerapkan strategi

peperangan, pasukan Diponegoro juga sulit diidentifikasi, karena mereka

tidak memakai seragam khusus, sehingga pasukan Belanda tidak bisa

mendeteksi keberadaan para pejuang sejak dini. Ketika tentara kolonial

berupaya meredam kekuatan pasukan pemberontak di suatu pedesaan,

pejuang pribumi lantas menyebar, beraktifitas selayaknya masyarakat biasa,

tetapi bila balatentara penjajah berlalu, mereka kembali berkumpul dengan

membawa senjata masing-masing.49

Gerakan protes sosial petani Tangerang yang dipimpin oleh Kaiin

Bapa Kayah, memang berumur sangat singkat dan berakhir seketika itu

dalam bentrokan fisik pada 10 Februari 1924, tetapi pengaruhnya dapat

mewarnai perjuangan masyarakat pribumi setelahnya. Gerakan revolusi,

47 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the

European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil:

Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,

1988), h. 303 48 Dari rute perjalanan kelompok pergerakan Kaiin Bapa Kayah, dari Kampung

Pangkalan di Teluknaga (sekarang wilayah Kabupaten Tangerang) melalui daerah Tanah

Tinggi (Kota Tangerang), nampaknya mereka berupaya menggunakan kereta api untuk

menuju pusat kota Batavia. Hal ini tampak jelas bila kita datang ke daerah Tanah Tinggi, di

sana terdapat jalur kereta api yang sudah ada sejak 1896 yang menghubungkan Anyer dan

pusat kota Batavia. Dan sangat mungkin pula mereka berjalan kaki menuju kota Batavia

yang masih berjarak + 22 kilometer dari Tanah Tinggi. 49 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the

European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil:

Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,

1988), h. 301

106

perlawanan kaum pribumi atau apa pun namanya yang terjadi di Tangerang,

setelah peristiwa Tanah Tinggi, maka pergerakan lebih terorganisir, pola

organisasi moderen juga sudah diterapkan, jejaring para pejuang sudah mulai

luas dan bahkan berafiliasi dengan gerakan nasional yang semakin menjamur.

Sebagaimana diketahui Sarekat Islam telah membuka cabangnya di

Afdeling Tangerang Tangerang pada tahun 1913 oleh Raden Gunawan,

pimpinan SI Batavia yang berkunjung ke wilayah Tangerang. SI mulai

menampakkan taringnya pada tahun 1920-an. Penjalaran ideologi Sarekat

Islam ke tengah-tengah masyarakat Tangerang semakin massif, tatkala para

kyai pesantren mulai bergabung di organisasi ini, tokoh yang paling populer

adalah Kyai Haji Achmad Chairun yang pernah mengenyam pendidikan di

pesantrennya Kyai Asnawi di Caringin, Banten. Kyai Chairun pernah

melakukan perjalanan haji ke Haramayn sambil menuntut ilmu di sana, dan

berguru kepada Kyai Tanahera, seorang tokoh Tarekat Hadiriyah, yang

berasal dari Kampung Pasilihan (Balaraja, Tangerang).50

Selain Sarekat Islam, organisasi pergerakan nasional yang sudah hadir

di Tangerang adalah Indische Social Democratische Veereniging (ISDV)

yang diperkenalkan secara luas oleh Raden Hasan Djajadiningrat (tokoh

ningrat dari Kesultanan Banten). Partai Komunis Indonesia (PKI), yang

bermetamorfosa dari Sarekat Islam (merah) juga sudah menancapkan

pengaruhnya di Tangerang, bahkan ketika terjadi Pemberontakan PKI di

Banten pada 12 November hingga 5 Desember 1926, di Tangerang turut pula

terjadi pada tanggal 12 November 1926. Pemberontakan PKI di Tangerang

dipimpin oleh Muhammad Ali di daerah Cadas (Sepatan), yang juga menjadi

basis massa Sarekat Islam, tercatat pula pengikut pergerakan ini berjumlah

500 orang (lebih banyak dari pada pengikut Kaiin Bapa Kayah, yang hanya

berjumlah 40 orang). Ketika terjadi peristiwa tersebut, pemerintah kolonial

hingga tanggal 24 November 1926, telah menangkap masyarakat di sekitar

Sepatan sejumlah 344 orang.51

Perjuangan-perjuangan rakyat Tangerang pada kurun awal pergerakan

nasional dilakukan secara sporadis dan tidak memiliki keahlian militer, baru

pada masa Penjajahan Jepang, pelatihan militer mulai dilakukan di

Tangerang. Pada bulan Januari 1943 didirikan pusat latihan para militer, yang

menggembleng para pemuda Indonesia, pusat pelatihan ini dinamakan

Tangerang Seinendojo. Pada generasi pertama Tangerang Seinendojo, telah

50 M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah

Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian

Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 91 51 M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah

Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian

Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 92

107

lulus tokoh-tokoh ternama di kemudian hari sebagai tokoh pahlawan

Indonesia, seperti: Zulkifli Lubis, Kemal Idris, Daan Mogot, Yono Suwoyo,

dan Supriyadi (yang dikenal sebagai perwira PETA). Pada generasi kedua

juga muncul tokoh nasional A. Kosasih (pernah menjabat Gubernur

Lemhanas) dan Umar Wira Hadikusumah (pernah menjadi Wakil Presiden

RI), mereka semua mendapatkan pendidikan militer di Tangerang

Seinendojo.52

Hal berbeda jikalau kita melihat pergerakan Kaiin Bapa Kayah di

tahun sebelumnya, mereka tidak dibekali oleh perbekalan logistik militer

yang memadai, senjata yang mereka bawa dalam pergerakan tersebut hanya

perlengkapan bela diri secara tradisional yang hanya mampu digunakan saat

para pejuang menghadapi musuh secara berhadap-hadapan. Senjata yang

mereka bawa seperti: tombak, golok, keris, dan koin sebagai jimat tidak

mampu menghadapi pistol dan senjata laras panjang yang dibawa oleh

Tentara Belanda. Selain itu, pengikut Kaiin juga tidak dibekali oleh

pengetahuan militer yang memadai, mereka hanya dilatih secara spiritual

dengan melakukan ritual doa khusus, tidak dengan strategi peperangan ala

militer.

Dari kedua hal di atas, yakni: pengetahuan militer dan logistik perang,

memang tidak dilakukan oleh pergerakan petani pimpinan Kaiin Bapa Kayah.

Dari sini nampak jelas, bahwa sang pemimpin pergerakan tidak bermaksud

mengadakan pemberontakan bersenjata, mereka hanya ingin menyampaikan

aspirasinya kepada pemerintah pusat kolonial di Batavia dan Buitenzorg, dan

sekaligus menuntut keadilan atas hak milik tanah kaum pribumi di tanah

partikelir Tangerang. Adapun senjata tradisional yang mereka bawa, hanya

dipersiapkan sebagai pertahanan diri dari gangguan aparat kolonial yang

menghambat perjuangan mereka. Sayangnya, pemerintah kolonial tidak

mengindahkan tujuan dari pergerakan Kaiin ini, hingga terjadilah peristiwa

nahas yang merenggut para pejuang Tangerang.

52 M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah

Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian

Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 106

108

109

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bab penutup ini, penulis memberikan catatan-catatan tentang

pengharapan masyarakat terhadap juru selamat (ekspektasi mesianik) dan

juga gerakan-gerakan millenarian yang saling terkait satu dengan yang

lainnya. Keadaan, kondisi, dan jiwa zaman dimana Kaiin Bapa Kayah masih

hidup, masih diwarnai oleh kepercayaan tradisional dan mengakarnya tradisi

ramalan Jayabaya mengenai kedatangan Ratu Adil yang akan membebaskan

mereka dari penindasan, kezaliman, dan represifitas rezim yang berkuasa,

serta terwujudnya impian masa depan yang sempurna – dimana tanah-tanah

warisan nenek moyang akan kembali dimiliki para petani pribumi serta

dihapuskan pajak dan kerja-kerja yang memberatkan mereka. Adapun

kesimpulan yang dapat diambil dari Gerakan Millenarian Kaiin Bapak

Kayah di Tangerang pada tahun 1924 adalah sebagai berikut:

1. Terdapat beberapa faktor pendorong terjadinya protes sosial petani yang

dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah di Tangerang pada tahun 1924;

a. Protes para petani dan rakyat Tangerang sesungguhnya bersumber

pada permasalahan distribusi ekonomi dan politik yang tidak

seimbang. Di satu sisi ada kelompok yang mengalami kesulitan hidup

(kebanyakan kaum pribumi), di lain pihak kebetulan saja orang-orang

yang memiliki kuasa ekonomi di Tangerang adalah para Tuan Tanah

yang mayoritas berbangsa Tionghoa. Hal ini menepis anggapan

bahwa gerakan Kaiin Bapa Kayah dan para pengikutnya sebagai

konflik yang berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

b. Dari Peristiwa Tangerang 1924 ini, dapat dianalisa pula terdapat

faktor deprivasi. Menurut teori Deprivasi-Relatif, munculnya

perlawanan para petani dan masyarakat pribumi karena terdapat

kelompok-kelompok masyarakat yang terdeprivasi baik karena

agama, tradisi, harta benda, dan status, mereka bersatu-padu melawan

segala bentuk penindasan yang dilakukan para penguasa tiran kala itu,

hal ini menurut David Aberle, diakibatkan karena ketidaksesuaian

negatif antara harapan yang wajar dengan kenyataannya, sehingga

terjadinya perampasan (deprivasi) atas hak-hak kaum pribumi.

2. Dari uraian pada bab-bab terdahulu, dapatlah terlihat konsep Millenarian

Kaiin Bapa Kayah merujuk kepada sumber lokal maupun referensi impor;

110

a. Sumber lokal, yakni kepercayaan kaum pribumi terhadap budaya dan

tradisi yang diwariskan secara turun temurun.

1) Para petani Tangerang dan pengikut pergerakan Kaiin Bapa

Kayah, mereka hidup di alam tradisional, karena itu mereka

sangat memegang adat dan sifat tradisionalistisnya, standar

normatif kehidupan di masa itu adalah norma-norma adat dan

tradisionalitas. Sehingga perubahan yang terjadi dan sistem

moderen yang dibawa oleh orang asing akan mengancam nilai-

nilai tradisional mereka. Kepercayaan kepada ramalan Jayabaya

dan pengharapan millenarian Ratu Adil merupakan bagian dari

nilai-nilai tradisionalitas. Kehadiran Ratu Adil sangat diharapkan

untuk mempertahankan status-quo (kemapanan tradisi).

2) Ide ratuadilisme (mesianisme lokal) yang merujuk kepada tradisi

lisan dan tulisan dari tokoh legendaris Jawa, raja Jayabaya, dalam

perjalanan sejarah Indonesia menjadi perekat yang sangat efektif

untuk mempersatukan kaum pribumi, khususnya kaum petani

bergerak melawan ketidakadilan, penindasan, dan ekspolitasi

yang dilakukan orang asing, pemerintah kolonial, dan sekutu

pribuminya, yang telah melecehkan dan merusak nilai-nilai

tradisional mereka.

b. Referensi impor, adalah kepercayaan kaum pribumi yang diadopsi

dari kontak budaya dan keyakinan pendatang asing (terutama dari

agama Islam, Hindu, dan Budha).

1) Kepercayaan Mahdisme (Imam Mahdi) dalam sumber asing

terutama aliran syiah dan sedikit tersamar dalam tradisi sunni.

Konsep mahdisme dalam Islam memperkuat tradisi ramalan

lokal. Konsep ini meyakini kedatangan tokoh penyelamat

sebelum terjadinya masa penghancuran zaman, hal ini mirip

tradisi “Ratu Adil” yang akan menghalau Belanda dan

menghapuskan penderitaan rakyat pribumi. Dari konsep

mahdisme, terlihat sekali pengaruh eskatologi dalam kepercayaan

Islam tentang masa penghancuran duniawi diadopsi oleh Kaiin

Bapa Kayah guna meyakini para pengikutnya agar berada dalam

barisan perjuangannya.

2) Selain itu dalam sumber Islam, Kaiin Bapa Kayah menegaskan

kepada pengikutnya bahwa protes melawan kezhaliman para tuan

tanah Tionghoa, pemerintah Belanda, dan kroninya merupakan

jihad dan kematiannya dianggap sebagai martir (Syahid).

3) Pergerakan Kaiin Bapa Kayah dalam sejumlah arsip laporan

pemerintah kolonial dan juga para pengamat dianggap sebagai

111

gerakan mesianistis. Hal ini sebagaimana disinggung oleh R.

Toewoeh, Assisten Wedana Teluknaga dalam Berita Acara yang

dibuatnya sebagai laporan kepada pemerintah kolonial dan

Sartono Kartodirdjo dalam bukunya berjudul Ratu Adil. Kedua

pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pemakaian gelar

seperti “Prabu Rabbul „Aalamiin”, “Sang Hyang Tunggal”,

“Sayyidina Ali”, dan “Arjuna” adalah istilah-istilah dalam agama

Islam dan Hindu-Budha, mengandung pengertian sebagai tokoh

mesianik, sakral (suci), dekat dengan Sang Pecipta dan sosok

karismatik yang memiliki ilmu lahiriyyah dan batiniyyah. Kaiin

Bapa Kayah sebagai pemimpin pergerakan memakai legitimasi

ini dari sumber-sumber keagamaan berharap kepada para petani

dan masyarakat pribumi yang lekat dengan keyakinan agamanya

agar mengikuti pergerakan mulia ini.

4) Sosok Arjuna yang diimpor dari kitab Mahabarata (kepercayaan

India), mendapat tempat pula di dalam Perjuangan Kaiin, yang

juga seorang Dalang, dimana profesi ini menjadikannya kagum

kepada tokoh pewayangan yang satu ini, sehingga turut

menginspirasi dirinya untuk melakukan perlawanan terhadap

penindasan dan kesewenangan yang dilakukan para tuan tanah

dan aparat kolonial.

3. Impian millenarian Kaiin Bapa Kayah mempengaruhi petani di

Tangerang untuk mengikuti gerakan perubahan;

a. Pendekatan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah bersifat

tradisional. Dimana semua elemen masyarakat merasa berkewajiban

menjaga tradisi dan agama yang mereka anut. Sehingga gerakan Kaiin

untuk melawan perubahan yang terjadi dan menjanjikan zaman

sempurna yang akan mengangkat harkat dan martabat semua

penduduk dengan tatanan yang lebih adil kepada semua – mendapat

tempat di hati masyarakat.

b. Sokongan dari para pemuka agama, guru kebatinan, saudagar dan lain

sebagainya. Menandakan bahwa pergerakan ini bukan semata-mata

perlawanan kaum petani saja, tetapi juga keinginan kaum pribumi

untuk bersatu padu mencapai zaman baru yang dicita-citakan. Hal ini

melegitimasi pergerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah, sehingga

kelompok-kelompok yang terdeprivasi menyatu dalam visi

millenarian dari pergerakan tersebut.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian ini, maka kami anggap perlu

memberikan catatan sebagai saran kepada para pihak agar meneruskan

112

temuan-temuan dalam penelitian ini menjadi sebuah tindakan nyata dalam

penentuan-penentuan kebijakan. Adapun masukan yang kami berikan

sebagai saran adalah sebagai berikut:

1. Kepada pihak Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya Program Studi

Sejarah Kebudayaan Islam baik di tingkat S1 maupun S2; agar

mendukung penelitian sejarah dan memfasilitasi mahasiswa dalam

melakukan studinya. Lebih kongkretnya, sesuai dengan visinya yang

ingin mengedepankan kajian Islam Nusantara, maka sudah selayaknya

kajian-kajian filologis, terutama lektur klasik Melayu untuk dikaji lebih

lanjut, hal ini dilakukan sebagai penegas atau ciri khas dari kajian sejarah

dengan institusi lainnya.

2. Kepada pemerintah daerah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan

Kota Tangerang Selatan; tokoh Kaiin Bapa Kayah adalah sosok

pahlawan lokal yang layak diberi penghargaan, karena berkat

perjuangannya nama Tangerang dahulu dikenal di dunia internasional.

Karena itu, pemerintah daerah wajib menghargai jasa dan kontribusinya

yang sudah jelas, misalnya nama Kaiin Bapa Kayah dijadikan nama jalan

raya sebagaimana Tokoh Pahlawan lokal Kota Depok, Margonda.

3. Dalam menghadapi konflik agraria, pemerintah wajib mencarikan solusi

alternatif yang jitu, sebelum merebak dan menjalar kepada persoalan

SARA. Karena hal itu perlu dilihat secara matang sebab-sebab

permasalahan bukan mengkaitkan dengan suku atau etnis tertentu.

Kemudian saran bagi peneliti lain, agar melanjutkan kajian pergerakan

sosial-keagamaan melalui pendekatan multidimensional. Karena jika seorang

memakai satu pendekatan, niscaya ada satu jarak yang terpisah dalam

pengambilan kesimpulan.

113

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada Press, 1996), Cet. Ke-4

Aberle, David, Catatan Mengenai Teori Deprivasi-Relatif Sehubungan

Dengan Gerakan Millenarian dan Gerakan Cult Lainnya, dalam

Sylvia L. Thrupp, (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in

Revolutionary Relegions Movements, Schocken Books, New York,

1970, (terj), Gebrakan Kaum Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka,

1984), h. 352-362

Adas, Michael, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against

the European Colonial Order, The University of North Carolina

Press, 1979, (terj), Ratu Adil : Tokoh dan Gerakan Millenarian

Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988)

Amini, Ibrahim, Al-Imam al-Mahdi: The Just Leader of Humanity, (terj)

Imam Mahdi Penerus Kepemimpinan Ilahi Studi Komprehensif dari

Jalur Sunnah dan Syi’ah tentang Eksistensi Imam Mahdi, (Jakarta:

Islamic Center Jakarta, 2002) cet. Ke-1

Any, Andjar, Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdo Palon,

(Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989)

Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan

Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah,

(Jakarta: ANRI, 1981)

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,

(Jakarta: Prenada Media Grup, 2013)

Al-Qazuraini, Al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid, (peny.),

Sunan Ibnu Majah, (Kairo: Darul Hadits, 1998), cet. Ke-1

Baigent, Michael, et.al., (Terj.), The Messianic Legacy: Warisan Abadi

Seorang Mesias, (Jakarta: Ramala Books, 20017), Cet. Ke-1

Berg, L.W.C van den, Orang Arab di Nusantara, (Depok: Komunitas

Bambu, 2010)

Blusse, Leonard, Persekutuan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan

Belanda di Batavia VOC, (Yogyakarta: LkiS, 2004), Cet. Ke-1

Both, Anne, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988)

Brakel, L.F., The Story of Muhammad Hanafiyyah a Medieval Muslim

Romance, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1977)

114

Brug, Peter H. van der, Batavia yang Tidak Sehat dan Kemerosotan VOC

pada Abad Kedelapan Belas, dalam Kees Grijns dan Peter J.M. Nas,

(Peny.), Jakarta Batavia Esai Sosio-Kultural, (Jakarta: Banana dan

KITLV, 2000)

Budiman, Folklore Betawi, (Jakarta: Dinas Pendidikan & Kebudayaan

Provinsi DKI Jakarta, 1979

Chaer, Abdul, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehiudpan Orang Betawi,

(Jakarta: Masup Jakarta, 2012), Cet. Ke-1

Cortesao, Armando, (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires and The Book

of Francisco Rodrigues, (Liechtenstein: Kraus Reprint Limited, 1967),

Vol. I

Dawud, Muhammad Isa, Al-Mahdi al-Muntazhar ‘ala al-Abwab: Qahir al-

Masih al-Dajjal (terj), Menyongsong Imam Mahdi Sang Penakluk

Dajjal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002) cet. Ke-3

Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Bunga Rampai

Sastra Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman

Provinsi DKI Jakarta, 2002)

Ekadjati, Edi S. et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang:

Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

Fang, Liaw Yock, Sejarah Kesusastraan Melayu, (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2011), Edisi I

Grijns, Kees, dan Peter J.M. Nas, (Peny.), Jakarta Batavia Esai Sosio-

Kultural, (Jakarta: Banana dan KITLV, 2000)

Guillot, Claude, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), Cet. Ke-2

Harapan, Anwarudin, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, (Depok: Asosiasi

Pelatih Pengembangan Masyarakat, 2006)

Hodgson, Marshall G.S., Sebuah Catatan tentang Millenium dalam Islam,

dalam Sylvia L. Thrupp, (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in

Revolutionary Relegions Movements, (New York: Schocken Books,

1970), (terj), Gebrakan Kaum Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka,

1984)

Holt, Claire (ed), Culture & Politics in Indonesia, (New York: Ithaca, 1972)

Jackson, Karl. D, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Studi

Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti,1990), Cet ke-1

115

Kartodirdjo, Sartono, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and

Development, dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia,

(New York: Ithaca, 1972)

__________________, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi

Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: PT Gramedia, 1982)

__________________, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993)

__________________, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1

Kommer, H., Tjerita Njonja Kong Hong Nio: Satoe Toean Tanah di

Babakan Afdeeling Tangerang, Betawi, (Batavia: 1900)

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,

1994), Cet. Ke-1

__________, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995)

Lauder, Multamia R.M.T., Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di

Tangerang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

1993)

Lohanda, Mona, Sejarah Pembesar mengatur Batavia, (Jakarta: Masup

Jakarta, 20017), Cet. Ke-1

Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar,

(Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), Cet. Ke-1

Majid, M. Dien, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang:

Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama

dengan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas

Syaikh Yusuf Tangerang, 1992)

Malley, J.O., “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar”, h. 197-235, dalam Anne

Both, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988)

Mataram, Tjantrik, Ichtiarkanlah terlaksananya Peranan Ramalan

Djojobojo dalam Revolusi Kita, (Bandung: Masa Baru, 1948), cet. ke-

3

Mukhlishah, Peranan Kaiin Bapak Kayah dalam Gerakan Sosial Petani

Tangerang terhadap Dominasi Cina Tahun 1924, (Jakarta: Skripsi

UIN Syarif Hidayatullah, 2005)

Nahdi, Saleh A, Imam Mahdi atau Ratu Adil, (Jakarta: PT. Arista

Brahmatyasa, 1992)

Nur-Karim, et.al, Kumpulan Cerita Wayang Versi Pecenongan: Suntingan

Teks, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2012)

Pranoto, Suhartono W., Jawa: (Bandit-bandit Pedesaan) Studi Historis

1850-1942, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Cet. Ke-1

116

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah

Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi

Pemutakhiran

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi,

2008), cet. Ke-2

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-

Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), cet. Ke-2

Soesilo, Sekilas tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup,

(Surabaya: CV Medayu Agung, 2000), cet. Ke-1

Suryadi, Didi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan

artikel Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan

terhadap Belanda 2, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek

Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982)

Suryana, Nana, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemda

Tk. II Tangerang dan LPPM Universitas Syaikh Yusuf Tangerang,

1992)

Thrupp, Sylvia L. (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in Revolutionary

Relegions Movements, (New York: Schocken Books, 1970), (terj),

Gebrakan Kaum Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984)

Vlekke, Bernard H.M, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2010), Cet. Ke-5

Wahid, Abdurrahman, Membaca Sejarah Nusantara, (Yogyakarta: LkiS,

2010), cet. Ke-1

Wiktorowicz, Quintan., (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan

Sosial, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama

Departemen Agama Republik Indonesia, 2007)

Winangun, Y. Wartaya, Tanah Sumber Nilai Hidup, (Yogyakarta: Kanisius,

2004)

Manuskrip dan Arsip

Muhammad Bakir bin Syafi’an bin Fadhli, Hikayat Maharaja Garabak

Jagat, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014),

Nomor Panggil: ML 251

___________________________________, Wayang Arjuna, (Jakarta:

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil:

ML 244

117

___________________________________, Wayang Pandu, (Jakarta:

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil:

ML 241

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali

Hanafiyyah, Nomor Panggil: BR 211

___________________________________, Hikayat Muhammad Ali

Hanafiyyah, Nomor Panggil: ML 184

___________________________________, Hikayat Muhammad Ali

Hanafiyyah, Nomor Panggil: ML 359

___________________________________, Hikayat Muhammad Ali

Hanafiyyah, Nomor Panggil: ML 446

___________________________________, Hikayat Muhammad

Hanafiyyah, Nomor Panggil: W 69

___________________________________, Syair Cerita Wayang, Nomor

Panggil: ML 248

Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh) mengenai

peristiwa Tangerang ttg. 10 Februari 1924, dalam Arsip Nasional

Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di

Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta:

ANRI, 1981)

Hasil penyelidikan sebab-sebab dari peristiwa Tangerang pada tanggal 10

Februari 1924, dari Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), 30

September 1924 dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-

laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan

Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981)

Ensiklopedi, Majalah, Surat Kabar dan Makalah

Cohen, Stuart Abraham B., “Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en

Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88

Ilyas, “Trend Topi Boni dalam Sejarah Perlawanan Petani Tangerang”,

Tangsel Pos, Rabu, 10 Februari 2016

Kartodirdjo, Sartono, Messianisme dan Futurisme, dalam majalah Prisma,

No.1, Januari 1984, tahun XIII

_________________, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam

Sedjarah Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian

Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra dan Kebudajaan, Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971

118

Mahasin, Aswab dan Daniel Dhakidae, “Gerakan Messianis dan Aspirasi

Petani: Sebuah Pengantar”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h.

3-9

Rasyidi, “Imam Mahdi dan Harapan akan Keadilan”, Prisma, edisi 1 Januari

1977, Tahun VI, h. 45-7

Ricklefs, Merle Calvin dalam Agus Hidayat dan Syaiful Amin, “Menyibak

Rahasia Mantra”, Tempo, edisi 22-28 September 2003, h. 72-3

Shahab, Alwi, “Pemberontakan Tangerang 1924”, Republika, Ahad 20 April

2008, h. A 11

Subarkah, Muhammad, “Di Bawah Bayang Ratu Adil”, Republika, Senin 2

Juni 2014, h. 27

_________________, “Mitos Pemicu Gerakan Sosial”, Republika, Senin 2

Juni 2014, h. 28

Stibbe, D.G., Encyclopedie van Nederlandsch-West Indie, (1921), Jilid IV

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2008), Cet. Ke-1, Edisi Ke-4

Utami, Kinanti Putri, Perbandingan Naskah-naskah Hikayat Muhammad

Hanafiyah, Makalah Mata Kuliah Kritik Teks, (Depok: Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Indonesia, 2008)

Wahid, Abdurrahman, “Mahdiisme dan Protes Sosial”, Prisma, edisi 1

Januari 1977, Tahun VI, h. 63-70

Wiselius, Jacob A.B, “Djaja Baja, Zijn Leven en Profetieen”, Bijdragen tot

de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No. 19, 1872, h. 172-217

Yayasan Untuk Indonesia, Ensiklopedi Jakarta, (Jakarta: Dinas Kebudayaan

dan Permuseuman Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta, 2005), Buku III

Sumber Gambar

Ilustrasi Gambar oleh Riki Nurcholis

Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Pembuat Topi-topi

Pandan "Panama" (biasa disebut topi pandan), sumber foto: Dutch

East Indies, 1931, Nomor Panggil: ALBUM 60A - 901.9

Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Pembuat topi-topi

panama di Tangerang dekat Jakarta, sumber foto: Dutch East

Indies, 1932, Nomor Panggil: ALBUM 60A - 903.10

119

Sumber Internet

http://nu.or.id

http://pelatihan-k3.com

http://pnri.go.id

http://wikipedia.co.id

120

121

Lampiran I

RAMALAN JAYABAYA MUSARAR1

ASMARANDANA 1. Kitab Musarar inganggit,

Duk Sang Prabu Joyoboyo,

Ing Kediri kedhatone,

Rartu agagah prakosa,

Tan ana kang malanga,

Parang muka samya teluk,

Pan sami ajrih sedaya,

2. Milane sinungan sakti,

Bathara Wisnu punika,

Anitis ana ing kene,

Ing Sang Prabu Jayabaya,

Nalikane mangkana,

Pan jumeneng Ratu Agung,

Abala para Narendra,

3. Wusnya mangkana winarni,

Lami-lami apeputra,

Jalu apekik putrane,

Apanta sampun diwasa,

Ingadekaken raja,

Pagedongan tanahipun,

Langkung arja kang nagara,

4. Maksihe bapa anenggih,

Langkung suka ingkang rama,

Sang Prabu Jayabayane,

Duk samana cinarita,

Pan arsa katamiyan,

1 Dikutip dari Any, Andjar, Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan

Sabdo Palon, (Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989), h. 53-65

122

Raja Pandita saking Rum,

Nama Sultan Maolana,

5. Ngali Samsujen kang nami,

Sapraptane sinambrama,

Kalawan pangabektine,

Kalangkung sinuba suba,

Rehning tamiyan raja,

Lan seje jinis puniku,

Wenang lamun ngurmatana.

6. Wus lenggah atata sami,

Nuli wau agandika,

Jeng Sultan Ngali Samsujen,

“ Heh Sang Prabu Jayabaya,

Tatkalane ta iya,

Apitutur ing sireku,

Kandhane Kitab Musarar.

7. Prakara tingkahe nenggih,

Kari ping telu lan para,

Nuli cupet keprabone,

Dene ta nuli sinelan,

Liyane teka para,”

Sang Prabu lajeng andeku,

Wus wikan titah Bathara.

8. Lajeng angguru sayekti,

Sang-a Prabu Jayabaya,

Mring Sang raja panditane,

Rasane Kitab Musarar,

Wus tunumplak sadaya,

Lan enget wewangenipun,

Yen kantun nitis ping tiga.

9. Benjing pinernahken nenggih,

Sang-a Prabu Jayabaya,

Aneng sajroning tekene,

123

Ing guru Sang-a Pandita,

Tinilar aneng Kakbah,

Imam Supingi kang nggadhuh,

Kinarya nginggahken kutbah.

10. Ecis wesi Udharati,

Ing tembe ana molana,

Pan cucu Rasul jatine,

Alunga mring Tanah Jawa,

Nggawa ecis punika,

Kinarya dhuwung puniku,

Dadi pundhen bekel Jawa.

11. Raja Pandita apamit,

Musna saking palenggahan,

Tan antara ing lamine,

Pan wus jangkep ing sewulan,

Kondure Sang Pandita,

Kocapa wau Sang Prabu,

Animbali ingkang putra.

12. Tan adangu nulya prapti,

Apan ta lajeng binekta,

Mring kang rama ing lampahe,

Minggah dhateng ardi padhang,

Kang putra lan keng rama,

Sakpraptanira ing gunung,

Minggah samdyaning arga.

13. Wonten ta ajar satunggil,

Anama Ajar Subrata,

Pan arsa methuk lampahe,

Mring Sang Prabu Jayabaya,

Ratu kang namur lampah,

Tur titis Bathara Wisnu,

Njalma Prabu Jayabaya.

14. Dadya Sang Jayabaya ji,

124

Waspada reh samar-samar,

Kinawruhan sadurunge,

Lakune jagad karana,

Tindake raja-raja,

Saturute laku putus,

Kalawan gaib sasmita.

15. Yen Islama kadi nabi,

Ri Sang aji Jayabaya,

Cangkrameng ardi wus suwe,

Apanggih lawan ki Ajar,

Ajar ing gunung padhang,

Awindon tapane guntur,

Dadi barang kang cinipta.

16. Gupuh methuk ngacarani,

Wus tata dennya alenggah,

Ajar angundang endhange,

Siji nyunggi kang rampadan,

Isine warna-warna,

Sapta warna kang sesuguh,

Kawolu lawan ni endang.

17. Juwadah kehe satakir,

Lan bawang putih satalam,

Kembang melathi saconthong,

Kalawan getih sapitrah,

Lawan kunir sarimpang,

Lawan kajar sawit iku,

Kang saconthong kembang mojar.

18. Kawolu endang sawiji,

Ki Ajar pan atur sembah,

“Punika sugataningong,

Katura dhateng paduka,”

Sang Prabu Jayabaya,

Awas denira andulu,

125

Sedhet anarik curiga.

19. Ginoco ki Ajar mati,

Endhange tinuweg pejah,

Dhuwung sinarungken age,

Cantrike sami lumajar,

Ajrih dateng sang nata,

Sang Rajaputra gegetun,

Mulat solahe kang rama.

20. Arsa matur putra ajrih,

Lajeng kondur sekaliyan,

Sapraptanira kedhaton,

Pinarak lan ingkang putra,

Sumiwi munggweng ngarsa,

Angandika Sang-a Prabu,

Jayabaya mring kang putra.

21. “Heh putraningsun ta kaki,

Sira wruh solahing Ajar,

Iya kang mati dening ngong,

Adosa mring guruningwang,

Jeng Sultan Maolana,

Ngali Samsujen ta iku,

Duk maksih sami nom-noman.

126

SINOM

1. Pan iku uwis winejang,

Mring guru Pandita Ngali,

Rasane kitab Musarar,

Iya padha lawan mami,

Nangging anggelak janji,

Cupet lelakoning ratu,

Iya ing tanah Jawa,

Ingsung pan wus den wangeni,

Kari loro kaping telune ta ingwang.

2. Yen wis anitis ping tiga,

Nuli ana jaman maning,

Liyane panggaweningwang,

Apan uwus den wangeni,

Mring pandita ing nguni,

Tan kena gingsir ing besuk,

Apan talinambangan,

Dene Maolana Ngali,

Jaman catur semune segara asat.

3. Mapan iku ing Jenggala,

Lawan iya ing Kediri,

Ing Singasari Ngurawan,

Patang ratu iku maksih,

Bubuhan ingsun kaki,

Mapan ta durung kaliru,

Negarane raharja,

Rahayu kang bumi-bumi,

Pan wus wenang anggempur kang dora cara.

4. Ing nalika satus warsa,

Rusake negara kaki,

Kang ratu patang negara,

Nuli salin alam malih,

127

Ingsun nora nduweni,

Nora kena milu-milu,

Pan ingsun wus pinisah,

Lan sedulur bapa kaki,

Wus ginaib prenahe panggonan ingwang.

5. Ana sajroning kekarah,

Ing tekene guru mami,

Kang nama raja Pandita,

Sultan Maolana Ngali,

Samsujen iku kaki,

Kawruhana ta ing mbesuk,

Saturun turunira,

Nuli ana jaman maning,

Anderpati arane Kalawisesa.

6. Apan sira linambangan,

Sumilir kang naga kentir,

Semune liman pepeka,

Pejajaran kang negari,

Ilang tingkahing becik,

Nagara kramane suwung,

Miwah Yudanegara,

Nora ana anglabeti,

Tanpa adil satus taun nuli sirna.

7. Awit perang padha kadang,

Dene pametune bumi,

Wong cilik pajeke emas,

Sawab ingsun den suguhi,

Marang si Ajar dhingin,

Kunir sarimpang ta ingsun,

Nuli asalin jaman,

Majapahit kang nagari,

Iya iku Sang-a Prabu Brawijaya.

8. Jejuluke Sri Narendra,

128

Peparab Sang Rajapati,

Dewanata alam ira,

Ingaranan Anderpati,

Samana apan nenggih,

Lamine sedasa windu,

Pametuning nagara,

Wedala arupa picis,

Sawab ingsung den sguhi mring si Ajar.

9. Juwadah satakir iya,

Sima galak semu nenggih,

Curiga kethul kang lambang,

Sirna salin jaman maning,

Tanah Gelagahwangi,

Pan ing Demak kithanipun,

Kono ana agama,

Tetep ingkang amurwani,

Ajejuluk Diyanti Kalangwisaya.

10. Swidak gangsal taun sirna,

Pan jumeneng Ratu Adil,

Para wali lan pandhita,

Sadaya pan samya asih,

Pametune wong cilik,

Ingkang katur marang Ratu,

Rupa picis lan uwang,

Sawab ingsun den suguhi,

Kembang mlathi mring ki Ajar gunung padang.

11. Kaselak kampuhe bedhah,

Kekesahan durung kongsi,

Iku lambange dyan sirna,

Nuli ana jaman maning,

Kalajangga kang nami,

Tanah Pajang kuthanipun,

Kukume telad Demak,

129

Tan tumurun marang siwi,

Tigangdasa enem taun nuli sirna.

12. Semune lambang Cangkrama,

Putung ingkang watang nenggih,

Wong ndesa pajege sandhang,

Picis ingsun den suguhi,

Iya kajar sauwit,

Marang si Ajar karuhun,

Nuli asalin jaman,

Ing Mataram kang nagari,

Kalasakti Prabu Anyakrakusumo.

13. Kinalulutan ing bala,

Kuwat prang ratune sugih,

Keringan ing nungsa Jawa,

Tur iku dadi gegenti,

Ajar lan para wali,

Ngulama lan para nujum,

Miwah para pandhita,

Kagelung dadi sawiji,

Ratu dibya ambeg adil paramarta.

14. Sudibya apari krama,

Alus sabaranging budi,

Wong ciliki wadela reyal,

Sawab ingsun den suguhi,

Arupa bawang putih,

Mring ki Ajar iku mau,

Jejuluke negara,

Ratune ingkang miwiti,

Sarukalpa semune lintang sinipat.

15. Nuli kembang sempol tanpa,

Modin sreban lambang nenggih,

Panjenengan kapit papat,

Ratune ingkang mekasi,

130

Apan dipun lambangi,

Kalpa sru kanaka putung,

Satus taun pan sirna,

Wit mungsuh sekuthu sami,

Nuli ana nakoda dhateng merdagang.

16. Iya aneng tanah Jawa,

Angempek tanah sethithik,

Lawas-lawas tumut aprang,

Unggul sasolehe nenggih,

Kedhep neng tanah Jawi,

Wus ngalih jamanireku,

Maksih turun Mataram,

Jejuluke kang negari,

Nyakrawati kedhatone tanah Pajang.

17. Ratu abala bacingah,

Keringan ing nuswa Jawi,

Kang miwiti dadi raja,

Jejuluke Layon Keli,

Semu satriya brangti,

Iya nuli salin ratu,

Jejuluke sang nata,

Semune kenya musoni,

Nora lawas nuli salin panjenengan.

18. Dene jejuluke nata;

Lung gadung rara nglingkasi,

Nuli salin gajah meta,

Semune tengu lelaki,

Sewidak warsa nuli,

Ana dhawuhing bebendu,

Kelem negaranira,

Kuwur tataning negari,

Duk semana pametune wong ing ndesa.

19. Dhuwit anggris lawan uwang,

131

Sawab ingsun den suguhi,

Rupa getih mung sapitrah,

Nuli retu kang nagari,

Ilang barkating bumi,

Tatane Parentah rusuh,

Wong cilik kesrakatan,

Tumpa-tumpa kang bilahi,

Wus pinesthi nagri tan kena tinambak.

20. Bojode ingkang negara,

Narendra pisah lan abdi,

Prabupati sowang-sowang,

Samana ngalih nagari,

Jaman kutila genti,

Kara murka ratunipun,

Semana linambangan,

Dene Maolana Ngali,

Panji loro semune Pajang Mataram.

21. Nakoda melu wasesa,

Kaduk bandha sugih wani,

Sarjana sirep sadaya,

Wong cilik kawelas asih,

Mah omah bosah-basih,

Katarajang marga agung,

Panji loro dyan sirna,

Nuli Rara ngangsu sami,

Randha loro nututi pijer tetukar.

22. Tan kober paes sarira,

Sinjang kemben tan tinolih,

Lajengipun sinung lambang,

Dene Maolana Ngali,

Samsujen Sang-a Yogi,

Tekane Sang Kala Bendu

Ing Semarang Tembayat,

132

Poma den samya ngawruhi,

Sasmitane lambang kang kocap punika.

23. Dene pajege wong ndesa,

Akeh warninira sami,

Lawan pajeg mundak-mundak,

Yen panen datan maregi,

Wuwuh suda ing bumi,

Wong dursila saya ndarung,

Akeh dadi durjana,

Wong gedhe atine jail,

Mundhak tahun mundhak bilaining praja.

24. Kukum lan yuda nagara,

Pan nora na kang nglabeti,

Salin-salin kang parentah,

Aretu patraping adil,

Kang bener-bener kontit,

Kang bandhol-bandhol pan tulus,

Kang lurus-lurus rampas,

Setan mindha wahyu sami,

Akeh lali mring Gusti miwah wong tuwa.

25. Ilang kawiranganingdyah,

Sawab ingsun den suguhi,

Mring ki Ajar Gunung Padang,

Arupa endang sawiji,

Samana den etangi,

Jaman sewu pitung atus,

Pitung puluh pan iya,

Wiwit prang tan na ngaberi,

Nuli ana lamate negara rengka.

26. Akeh ingkang gara-gara,

Udan salah mangsa prapti,

Akeh lindhu lan grahana,

Dalajate salin-salin,

133

Pepati tanpa aji,

Anutug ing jaman sewu,

Wolong atus ta iya,

Tanah Jawa pothar-pathir,

Ratu Kara Murka Kuthila pan sirna.

27. Dene busuk nuli ana,

Tekane kang Tunjung Putih,

Semune pudhak kasungsang,

Bumi Mekah dennya lair,

Iku kang angratoni,

Jagad kabeh ingkang mengku,

Juluk Ratu Amisan,

Sirep musibating bumi,

Wong nakoda milu manjing ing samuwan,

28. Prabu tusing waliyulah,

Kadhatone pan kekalih,

Ing Mekah ingkang satunggal,

Tanah Jawi kang sawiji,

Prenahe iku kaki,

Perak lan gunung Perahu,

Sakulone tempuran,

Balane samya jrih asih,

Iya iku ratu rinenggeng sajagad.

29. Kono ana pangapura,

Ajeg kukum lawan adil,

Wong cilik pajege dinar,

Sawab ingsun den suguhi,

Iya kembang saruni,

Mring ki Ajar iku mau,

Ing nalika semana,

Mulya jenenging narpati,

Tur abagus eseme lir madu puspa.

134

DANDANGGULA

1. Langkung arja jamane narpati,

Nora nana pan ingkang nanggulang,

Wong desa iku wadale,

Kang duwe pajeg sewu,

Pan sinuda dening Narpati,

Mung metu satus dinar,

Mangkana winuwus,

Jamanira pan pinetang,

Apan sewu wolungatus anenggih,

Ratune nuli sirna.

2. Ilang tekan kandhatone sami,

Nuli rusak iya nungsa Jawa,

Nora karuwan tatane,

Pra nayaka sadarum,

Miwah manca negara sami,

Pada sowang-sowangan,

Mangkana winuwus,

Mangkana Allahu Tangala,

Anjenengken Sang Ratu Asmarakingkin,

Bagus maksih taruna,

3. Iku mulih jenenge Narpati,

Wadya punggawa sujud sadaya,

Tur padha rena prentahe,

Kadhatone winuwus,

Ing Kediri ingkang satunggil,

Kang siji tanah Ngarab,

Karta jamanipun,

Duk semana pan pinetang,

Apan sewu lwih sangang atus anenggih,

Negaranira rengka.

4. Wus ndilalah kersaning Hyang Widhi,

Ratu Peranggi anulya prapta,

135

Wadya tambuh wilangane,

Prawirane kalangkung,

Para ratu kalah ngajurit,

Tan ana kang nanggulang,

Tanah Jawa gempur,

Wus jumeneng tanah Jawa,

Ratu Prenggi ber budi kras anglangkungi,

Tetep neng tanah Jawa.

5. Enengena Sang Nateng Parenggi,

Prabu ing Rum ingkang ginupita,

Lagya siniwi wadyane,

Kya patih munggweng ngayun,

Angandika Sri Narapati,

“Heh patih ingsun myarsa,

Tanah Jawa iku,

Ing mangke ratune sirna,

Iya perang klawan Ratu Parenggi,

Tan ana kang nanggulang.

6. Iku patih mengkata tumuli,

Anggawaa ta sabalanira,

Poma tundungen den age,

Yen nora lunga iku,

Nora ingsun lilani mulih”,

Ki Patih sigra budal,

Saha balanipun,

Ya ta prapta Tanah Jawa,

Raja Prenggi tinundhung dening ki patih,

Sirna sabalanira.

7. Nuli rena manahe wong cilik,

Nora ana kang budi sangsaya,

Sarwa murah tetukone,

Tulus ingkang tinandur,

Jamanira den jujuluki,

136

Gandrung-gandrung neng marga,

Andulu wong gelung,

Kekendon lukar kawratan,

Keris parung dolen tukokena nuli,

Campur bawur mring pasar.

8. Sampun tutug kalih ewu warsi,

Sunya ngegana tanpa tumingal,

Ya meh tekan dalajate,

Yen kiamat puniku,

Ja majuja tabatulihi,

Anuli larang udan,

Angin topan rawuh,

Tumangkeb sabumi alam,

Saking kidul wetan ingkang andatengi,

Ambedol ponang arga.

137

Lampiran II

HIKAYAT MUHAMMAD ALI AL-HANAFIYYAH1

Nomor Panggil: W 69, h. 90

Nomor Panggil: W 69, h. 91

1 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali

Hanafiyyah, Nomor Panggil: W 69

138

Nomor Panggil: W 69, h. 122

Nomor Panggil: W 69, h. 123

139

Nomor Panggil: W 69, h. 124

Nomor Panggil: W 69, h. 125

140

141

Lampiran III

WAYANG ARJUNA1

Nomor Panggil: ML 244, h. 42-43

Nomor Panggil: ML 244, h. 66-67

1 Muhammad Bakir bin Syafi’an bin Fadhli, Wayang Arjuna, (Jakarta:

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 244

142

Nomor Panggil: ML 244, h. 68-69

Nomor Panggil: ML 244, h. 80-81

143

Nomor Panggil: ML 244, h. 84-85

Nomor Panggil: ML 244, h. 88-89

144

145

Lampiran IV

WAYANG PANDU1

Nomor Panggil: ML 241, h. 194-195

Nomor Panggil: ML 241, h. 196-197

1 Muhammad Bakir bin Syafi’an bin Fadhli, Wayang Pandu, (Jakarta:

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 241

146

Nomor Panggil: ML 241, h. 198-199

147

Lampiran V

Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh)1

1 Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh) mengenai

peristiwa Tangerang ttg. 10 Februari 1924, dalam Arsip Nasional Republik Indonesia,

Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber

Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 75-77

148

149

150

Lampiran VI

Hasil Penyelidikan Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern)1

1 Hasil penyelidikan sebab-sebab dari peristiwa Tangerang pada tanggal 10

Februari 1924, dari Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), 30 September 1924 dalam

Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada

Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 75-77

151

152

153

154

155

156

157

158

159

160

161

162

163

164

165

166

167

168

Lampiran VII

Foto Para Pekerja Pembuat Topi Anyaman Bambu di

Tangerang (Sumber Foto: Majalah Dutch East Indies

1931 Repro Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia)

Foto Pembuat Topi Anyaman Bambu di Tangerang

(Sumber Foto: Majalah Dutch East Indies 1932 Repro

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

169

Lampiran VIII

Foto Makam Raden Bagong, di Kampung Parung Kored, Pondok

Bahar, Karang Tengah, Kota Tangerang (Dokumen Pribadi)

170

Lampiran IX

171

Lampiran X

172

173

Lampiran XI

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Jalan Utama Tanah Tinggi, sekarang Jalan Jenderal Sudirman,

tampak komplek Pemerintahan Kota Tangerang

Jalan Utama Tanah Tinggi, bagian atas dari arah Batu Ceper (Prapatan Jembatan Tanah Tinggi) menuju Prapatan Komplek

Pemerintahan Kota Tangerang

174

Lampiran XII

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Jalan Utama Tanah Tinggi, Pasar Induk Beras dekat Komplek Pemerintahan Kota Tangerang

Jalan Utama Tanah Tinggi, Pasar Induk Sayur-Mayur berseberangan dengan Pasar Induk Beras

175

Lampiran XIII

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Jalan Utama Tanah Tinggi, jalan sebelah kiri menuju Pasar Tanah Tinggi dan Stasiun Kereta Tanah Tinggi. Sebelah kanan

menuju Prapatan Komplek Pemerintahan Kota Tangerang

176

Lampiran XIV

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Kereta dari arah barat (Anyer) menuju timur (Stasiun Tanah Tinggi)

Kereta dari arah timur (Stasiun Tanah Tinggi) menuju barat (Anyer)