Diagnosis Banding Berdasarkan Gejala Klinis Dan Bentuk Efloresensi
Gejala Klinis Pneumothorax
-
Upload
alexis-lambert -
Category
Documents
-
view
447 -
download
15
description
Transcript of Gejala Klinis Pneumothorax
PNEUMOTHORAX
ANATOMI SISTEM PERNAFASAN
Sistem pernafasan dibentuk oleh beberapa struktur. Seluruh struktur tersebut
terlibat dalam proses respirasi eksternal yaitu proses pertukaran oksigen (O2)
antara atmosfer dan darah serta pertukaran karbondioksida (CO2) antara darah dan
atmosfer. (Djojodibroto, 2009)
Respirasi eksternal adalah proses pertukaran gas antara darah dan atmosfer
sedangkan respirasi interna adalah proses pertukaran gas antara darah sirkulasi
dan sel jaringan. Respirasi internal (pernafasan selular) berlangsung di seluruh
sistem tubuh. (Djojodibroto,2009)
Struktur yang membentuk sistem pernapasan dapat dibedakan menjadi strktur
utama (principal structure) dan struktur pelengkap (accessory structure). Yang
termasuk struktur utama sistem pernapasan adalah saluran udara pernapasan,
terdiri dari jalan napas dan saluran napas, serta paru (parenkim paru). Yang
disebut sebagai jalan napas adalah (1) nares, hidung bagian luar (eksternal nose),
(2) hidung bagian dalam (internal nose), (3) sinus paranasal, (4) faring, (5) laring.
Sedangkan yang termasuk dalam saluran napas adalah (1) trakea, (2) bronki dan
bronkioli. Dan yang dimaksud dengan parenkim paru adalah organ berupa
kumpulan kelompok alveoli yang mengelilingi cabang-cabang pohon bronkus.
Paru kanan terdiri dari tiga bagian, yaitu lobus atas kanan, lobus tengah
kanan, dan lobus bawah kanan. Setiap lobus mempunyai bronkus lobusnya
masing-masing. Paru kiri mempunyai dua lobus, yaitu lobus atas kiri dan lobus
bawah kiri dan setiap lobus juga mempunyai bronkus lobusnya masing-masing,
seperti halnya pada paru kanan. (Djojodibroto,2009)
1
Gambar 1. Lobus dan Segmen Paru-Paru(Sumber : BaileyBio.com)
Struktur pelengkap sistem pernafasan berupa komponen pembentuk dinding
thorax, diafragma, dan pleura. Dinding thorax dibentuk oleh tulang, otot serta
kulit.
Menurut Djojodibroto (2009), tulang pembentuk rongga dada terdiri dari :
- tulang iga (12 buah)
- vertebra torakalis (12 buah)
- sternum (1 buah)
- klavikula (2 buah), dan
- skapula (2 buah)
Sedangkan untuk otot pada sistem pernafasan terdiri dari dua yaitu otot
pembatas rongga dada dan otot pernafasan.
2
Gambar 2. Otot Pernafasan(Sumber : Djojodibroto, 2009)
Diafragma adalah suatu septum berupa jaringan muskulotendineus yang
memisahkan rongga thorax dengan rongga abdomen. Ada tiga apertura pada
diafragma, yaitu :
- hiatus aortikus yang dilalui oleh aorta desenden, vena azigos dan
duktus torasikus;
- hiatus esofageus yang dilalui oleh esofagus;
- apertura yang satu lagi dilalui oleh vena kava inferior.
Pleura dibentuk oleh jaringan yang berasal dari mesodermal. Pembungkus ini
dapat dibedakan menjadi pleura viseralis yang melapisi paru dan pleura parietalis
yang melapisi dinding dalam hemithorax. Di antara kedua pleura terbentuk ruang
yang disebut rongga pleura yang sebenarnya tidak berupa rongga tetapi
merupakan ruang potensial. Pada keadaan normal, rongga pleura berisi cairan
pleura dalam jumlah yang sangat sedikit yaitu 0,1-0,2 mL/kg.BB, sehingga hanya
berupa lapisan cairan pleura (film) setebal 10-20 μm yang menyelimuti kedua
belah pleura. Meskipun sangat tipis, cairan ini dapat memisahkan lapisan pleura
viseralis dengan pleura parietalis agar tidak saling bersinggungan atau
berlengketan. (Djojodibroto,2009)
Tekanan intrapleura negatif dalam rongga pleura menahan paru-paru tetap
berkontak dengan dinding thorax karena tekanan ini menghasilkan pengisapan
3
(suction) antara pleura parietal yang melekat pada dinding thorax, dan pleura
viseral yang melapisi permukaan paru-paru. (Sloane, 2004)
Secara normal, tidak ada udara masuk ke rongga pleura. Jika udara dibiarkan
masuk dalam ruang intrapleura (karena luka tusuk atau tulang iga patah), kondisi
ini disebut pneumothoraks (“udara dalam dada”). Akibat menghilangnya tekanan
negatif dalam rongga intrapleura adalah pengempisan paru-paru, disebut
atelektasis. (Sloane, 2004)
Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi
sebagai konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi
(pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara
atmosfir jalan nafas. Oleh karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan
disebut dengan “dead space”. Akan tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti
proteksi dan pengaturan kelembaban udara, justru dilaksanakan pada bagian ini.
Adapun yang termasuk dalam konduksi ialah rongga hidung, rongga mulut,
faring, laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius.
Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang sering
disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius,
duktus alveolaris, atrium dan sakus alveolaris. Bila ditinjau dari traktus
respiratorius, maka yang berfungsi sebagai konduksi adalah trakea, bronkus
utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus subsegmental, bronkus
terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius. Organ yang bertindak
sebagai respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis, duktus
alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli.
Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : bronkus utama sebagai percabangan utama, bronkus lobaris
sebagai percabangan kedua, bronkus segmental sebagai percabangan ketiga,
bronkus subsegmental sebagai percabangan keempat, hingga sampai bagian yang
keenam belas sebagai bagian yang berperan sebagai konduksi, sedangkan bagian
percabangan yang ketujuh belas sampai ke sembilan belas yang merupakan
percabangan bronkiolus respiratorius dan percabangan yang kedua puluh sampai
kedua puluh dua yang merupakan percabangan duktus alveolaris dan sakus
4
alveolaris adalah percabangan terakhir yang seluruhnya merupakan bagian
respirasi.
Gambar 3. Struktur Intrapulmoner(Sumber : http://www.dijitalimaj.com)
DEFINISI PNEUMOTHORAX
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada rongga
potensial diantara pleura visceral dan pleura parietal (De jong dkk, 2008).
Sedangkan menurut Berck (2010), pneumothorax adalah penumpukan udara yang
bebas dalam dada diluar paru yang menyebabkan paru kolaps.
Pada keadaan normal rongga pleura di penuhi oleh paru – paru yang
mengembang pada saat inspirasi disebabkan karena adanya tegangan permukaaan
(tekanan negatif) antara kedua permukaan pleura, adanya udara pada rongga
potensial di antara pleura visceral dan pleura parietal menyebabkan paru-paru
terdesak sesuai dengan jumlah udara yang masuk kedalam rongga pleura tersebut,
semakin banyak udara yang masuk kedalam rongga pleura akan menyebabkan
paru –paru menjadi kolaps karena terdesak akibat udara yang masuk meningkat
tekanan pada intrapleura. (De jong dkk, 2008)
5
EPIDEMIOLOGI
Insiden antara pneumothorax primer dan sekunder memulai hasil yang sama,
namun pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1.
Pada pria, resiko pneumothorax spontan akan meningkat pada perokok berat
dibanding non perokok. Pneumothorax spontan sering terjadi pada usia muda,
dengan insidensi puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun).
Menurut Berck (2010), pneumothorax iatrogenik merupakan tipe
pneumothorax yang sering terjadi. Berdasarkan usia, paling banyak terjadi pada
usia 20-40 tahun, lebih sering pada pria dibandingkan perempuan.
Pneumothorax spontan primer biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi,
kurus, dan usia 10-30 tahun. Insiden pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000
orang pertahun pada laki-laki, dan 1,2-6 kasus per 100.000 orang pertahun pada
perempuan. Sedangkan pada Pneumothorax spontan sekunder, puncak kejadian
diusia 60-65 tahun. Insidensi 6,3 kasus per 100.000 orang pertahun pada laki-laki,
2,0 kasus per 100.000 orang pertahun pada perempuan, serta 26 per 100.000
pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik pertahun. (McCool, 2008)
Rekurensinya terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder
pneumothorax. Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam waktu 3
tahun. (Korom, 2011)
ETIOLOGI
Menurut Berck (2010), pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara
sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara
dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :
1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal
dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini
disebut sebagai Closed Pneumothorax. Apabila kebucoran pleura
viseralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat
inspirasi tidak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat
ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga
6
mendorong mediastinum kearah kontra lateral dan menyebabkan
terjadinya Tension Pneumothorax.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat
hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang
yang terjadi lebih besar dari dua pertiga diameter trakea, maka udara
cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus
respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam
rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum
pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru
ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya
udara dari kavum pleura keluar memalui lubang tersebut. Kondisi ini
disebut sebagai Open Pneumothorax.
KLASIFIKASI
Beberapa literatur menyebutkan klasifikasi pneumothoraks menjadi 2 yaitu,
pneumotoraks spontan dan pneumotoraks traumatik. (Idress et al, 2003) Ada juga
yang mengklasifikasikannya berdasarkan etiloginya seperti Spontan
pneumotoraks (spontanpneumotoraks primer dan spontan pneumotoraks
sekunder), pneumotoraks traumatik, iatrogenik pneumotoraks. serta ada juga yang
mengklasifikasinya berdasarkan mekanisme terjadinya yaitu, pneumotoraks
terbuka (open pneumotoraks), dan pneumotoraks terdesak (tension
pneumotoraks). (Jain et al, 2008)
Klasifikasi Pneumothorax Berdasarkan Mekanisme Kejadian
Pneumothorax Spontan
Pneumothorax Spontan Primer
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-
paru yang sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari.
Angkakejadian pneumotoraks spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per
100.000 priapertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and
Gray, 2007). Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi,
7
kurus, dan berusiaantara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari
terjadinya PSP adalah ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and
Huggins, 2004). Udarayang terdapat di ruang intrapleura tidak didahului
oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis. Namun banyak
pasien yang dinyatakan mengalai PSP mempunyai penyakit paru-paru subklinis. Riwayat
keluarga dengan kejadianserupa dan kebiasaan merokok meningkatkan resiko
terjadinya pneumotoraks ini. (Heffner and Huggins, 2004)
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme dari
pneumothorax spontan primer adalah terdapat sebagian parenkim paru-paru yang
meningkat porositasnya. Peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara
visera dengan atau tanpa perubagan emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi
badan dengan peningkatan resiko terjadinya pneumothorax spontan primer adalah
karena gradien tekanan pleura meningkat dari dasar ke apeks paru. Sehingga
alveoli pada apeks paru-paru orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya
tekanan yang dapat mendahului proses pembentukan kista subpleura (Mackenzie
and Gray, 2007)
Pneumothorax spontan primer umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderitanya karena tidak adanya penyakit paru-paru yang mendasari. (Heffner
and Huggins, 2004) Pada sebagian besar kasus pneumothorax spontan primer,
gejala akan berkurang atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam. (Mackenzie
and Gray, 2007)
Pneumothorax Spontan Sekunder
Merupakan pneumothorax yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru yang
mendasarinya. Biasanya, pneumothorax spontan sekunder terjadi sebagai
komplikasi dari COPD, fibrosis kistik, tuberkulosis, pneumocystitis pneumonia,
dan menstruasi. Pneumothorax spontan sekunder juga dapat terjadi pada penyakit
intersisial paru seperti sarcoidosis, lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell
histiocytosis dan tuberous sclerosis.
Penyebab pneumothorax spontan sekunder yang terbanyak adalah COPD
khususnya yang sedang-berat. Apabila pneumothorax terjadi pada pasien COPD,
8
gejala sesak nafas yang progresif muncul dan biasanya bersamaan dengan nyeri
pleuritik. Pneumothorax spontan sekunder merupakan penanda signifikan untuk
mortalitas pasien COPD dimana setiap kejadian pneumothorax meningkatkan
resiko kematian sampai dengan empat kali lipat. Sekitar 40-50% pasien akan
mengalami pneumothorax spontan sekunder yang kedua apabila pleurodesis tidak
dilakukan. (Heffner and Huggins, 2004)
Pneumothorax Traumatik
Pneumothorax Traumatik Iatrogenik
Pneumotoraks iatrogenik merupakan pneumotoraks yang terjadi akibat
pembukaan rongga paru secara paksa saat tidakan dianosis atau terapi
invasif dilakukan . Tindakan seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan
kateter vena sentral, biopsi paru perkutan, bronkoskopi dengan biopsi
transbronkial, aspiasi transtoracic, dan ventilasi tekanan positif dapat
menjadi etiologinya.Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di rumah
sakit.
Penyebab utama terjadi pneumothorax iatrogenik adalah aspirasi jarum halus
transthoracic dimana dua faktor yang memegang peranan penting adalah ukuran
dan kedalaman lesi. Apabila lesi kecili dan dalam, maka resiko pneumothorax
meningkat. Penyebab yang kedua terbanyak adalah pemasangan kateter vena
sentral, dan penyebab lainnya antara lain akupunktur transthiracic, resusitasi
jantung-paru, dan penyalahgunaan obat melalui vena leher.
Pneumothorax Traumatik Non-Iatrogenik
Pneumothorax jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak
pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat
masuk ke rongga pleura langsung ke dinding thorax atau menuju pleura viseralis
melalui cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau lika tembak secara
langsung melukai paru-paru perifer menyebabkan terjadinya hemothorax dan
pneumothorax di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda tajam.
9
Klasifikasi Pneumothorax Berdasarkan Jenis Fistula
Pneumothorax Tertutup (Simple Closed Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Pneumothorax
tertutup menupakan suatu pneumothorax dengan tekanan udara di rongga pleura
yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi hemithorax
kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dari tekanan atmosfer.
(Barmawi dan Budiono, 2006)
Gambar 4. Simple Closed Pneumothorax(Sumber : Ursic et al, 2008)
Pneumothorax Terbuka (Open Pneumothorax)
Pneumothorax terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga
pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat inspirasi,
mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum
bergeser kearah sisi dinding dada yang terluka (cucking wound). (Barmawi dan
Budiono, 2006)
10
Gambar 5. Open Pneumothorax(Sumber : Ursic et al, 2008)
Tension Pneumothorax
Tension pneumothorax terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada saat
inspirasi udara masuk ke dalam rongga pleura, terjadi pada saat ekspirasi udara
dari rongga pleura tidak dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam
rongga pleura akan meningkat dan melebihi tekanan atmosfir. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas. Pneumothorax ini juga sering disebut pneumothorax
ventil. (Barmawi dan Budiono, 2006)
Gambar 6. (a). Tracheobronchial rupture: lokasi umum bedasarkan literatur. Komplikasi dari sobekan tracheobronchial (b) Pneumothorax
(c) Pneumomediastinum (d) Tension Pneumothorax(Sumber : Ursic et al, 2008)
PATOFISIOLOGI
Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk
melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang – tulang
yang menyusun struktur pernapasan seperti tulang klafikula, sternum, scapula.
11
Kemudian yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada
proses inspirasi dan ekspirasi. (Anonim, 2012)
Jika salah satu dari dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan
berpengaruh pada proses ventilasi dan oksigenasi. contoh kasusnya, adanya
fraktur pada tulang iga atau tulang rangka akibat kecelakaan, sehingga bisa terjadi
keadaaan flail chest atau kerusakan pada otot pernapasan akibat trauma tumpul,
serta adanya kerusakan pada organ viseral pernapasan seperti, paru-paru, jantung,
pembuluh darah dan organ lainnya di abdominal bagian atas, baik itu disebabkan
oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot. (Anonim, 2012)
Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan
dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari
udara pada kapiler pembuluh darah rata-rata (706 mmHg). Pergerakan udara dari
kapiler pembuluh darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih endah
dari -54 mmHg (-36cmH2O) yang sangat sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi
yang menyebabkan masuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma
yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal atau visceral, atau
disebabkan kelainan kongenital adanya bula pada subpleura yang akan pecah jika
terjadi peningkatan tekanan pleura. (Noppen dan Keukeleire, 2008)
Pada orang dewasa, mekanisme pembentukan bula masih merupakan
spekulasi, namun sebuah teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin
paru yang diinduksi oleh rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan
makrofag. Proses ini menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan
sistem oksidan dan antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran
nafas akibat proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar
sehingga terjadi kebocoran udara ke jaringan intertitial paru menuju hilus dan
menyebabkan pneumomediastinum. Tekanan di mediastinum akan meningkat dan
pleura parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumothorax.
GEJALA KLINIS
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru
yang terkena, khususnya pada saat bernafas dalam atau batuk. Pasien juga
12
mengeluhkan sesak yang dapat sampai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam
apabila sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali. Perasaan mudah
lelah pada saat beraktivitas maupun saat istirahat. Warna kulit yang kebiruan
disebabkan oleh kekurangan oksigen atau biasa disebut sianosis.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Menurut Barmawi dan Budiono (2008), berdasarkan anamnesis, gejala-gejala
yang sering muncul adalah :
a. sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien
b. nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien
c. batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien
d. tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan
biasanya pada pneumothorax spontan primer.
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan derajat
gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau menimbulkan gangguan ringan
sampai berat.
Pemeriksaan Fisik
a. inspeksi : dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan nafas,
tertinggal pada sisi yang sakit.
b. palpasi : pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar,
ictus jantung terdorong kesisi thorax yang sehat. Fremitus suara
melemah atau menghilang.
c. perkusi : suara ketok hipersonor sampai timpani dan tidak bergetar, batas
jantung terdorong ke thorax yang sehat apabila tekanannya
tinggi.
d. auskultasi : suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat anforik
apabila ada fistel yang cukup besar.
13
Pemeriksaan Penunjang
a. radiologis :
1. tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general.
2. pada gambaran hiperlusen ini tampak jaringan paru, jadi avascular.
3. bila pneumothorax hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya kolaps
dari paru-paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak
ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan tumor.
4. biasanya arah kolaps ke medial.
5. bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan pada
jantung misalnya pada pneumothorax ventil atau yang biasa dikenal
dengan tension pneumothorax.
6. mediastinum dan trakea dapat terdorong ke sisi yang berlawanan.
Gambar 7. (Kiri) Open Pneumothorax, (Kanan) Tension Pneumothorax(Sumber : Medscape)
b. BGA : untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien.
14
PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan Awal
Pada semua pasien trauma, penatalaksaan awalnya dilakukan stabilisasi leher
hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera servikal dengan cara memasang
servical collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat kesadaran
dengan menyapa pasien dan dilanjutkan dengan pemeriksaan basic life support
yang terdiri dari pemeriksaan ABC (Airway, Breathing, Circulation). (Boon,
2008)
Penanganan basic life support (bantuan hidup dasar) ini bertujuan untuk dapat
mengembalikan atau mempertahankan oksigenasi pada korban. Bantuan hidup
dasar ini digunakan untuk mempertahankan aliran napas (airway), memberikan
bantuan pernapasan (breathing), dan evaluasi dari sistem sirkulasi darah
(circulation) apakah sudah cukup untuk memberikan perfusi oksigen yang adequat
keseluruh jaringan. (Berg et al, 2010)
Jika pasien berespon terhadap panggilan maupun rangsangan nyeri, segera
pindahkan pasien ketempat yang lebih aman. Setelah memberikan rangsangan
suara dan nyeri pasien tidak berespon, pertama kita lihat aliran napasnya (airway)
dengan menggunakan manuver head tilt, menaruh tangan didahi korban kemudian
mendorongnya kebelakang, dan chin lift, mengangkat dagu korban kedua gerakan
ini dilakukan secara simultan dan gentle. Setelah itu kita evaluasi hembusan napas
dan apakah terdengar suara napas tambahan seperti mengorok. Dilihat apa
terdapat benda asing pada jalan napas yang menghambat jalan napas seperti, sisa
makanan, lidah yang terjatuh kebelakang, cairan atau darah, jika terdapat
sumbatan kita bersihkan atau hilang benda asing itu dari jalan napas. Jika korban
dicurigai adanya trauma pada leher (cervical) kita gunakan manuver jaw thrus,
yaitu menempatkan dua atau tiga jari pada sudut kedua mandibular kemudian
mengangkatnya keatas dan kedepan. (Berg et al, 2010)
Setelah (airway) jalan napas sudah lapang, kemudian kita menilai pernapasan
(breathing), disini kita mengevaluasi dari pergerakan dada korban yang naik
15
turun, adakah pergerakan dada yang tertingal (asimetris), pergerakan dada yang
cepat dan terdapat retraksi dari otot-otot pernapasan, atau pergerakan dada yang
tidak ada. Jika tidak ada pergerakan dada, kita lakukan pemberian napas bantuan
sebanyak dua kali kepada korban, secara mulut kemulut, 1 kali napas bantuan
dalan satu detik. Pada saat memberi napas bantuan tutup hidung pasien dengan
mempertahankan maneuver head tilt dan chin lift. (Handley, 1997) Tujuan dari
pemberian napas bantuan ini untuk memberikan napas pancingan kepada korban
yang henti napas, karena penyebab utama terjadinya kesulitan bernapas adalah
kurang lapangnya jalan napas. (Berg et al, 2010)
Pada pemberian dua kali napas bantuan, juga tidak berhasil, kita lanjutkan
pada evaluasi dari sirkulasi korban (circulation). Disini kita evaluasi sirkulasi
dengan meraba nadi karotis, brakialis, atau femoralis, dievalusi selama 10 detik.
(Handley, 1997) Jika denyut nadi teraba spontan kita lanjutkan pemberian napas
bantuan, satu napas batuan diberikan setiap 5-6 detik, jadi pada satu menit
diberikan 10 sampai 12 kali napas buatan. perabaan tidak teraba denyut nadi dari
korban kita langsung melakukan kompresi (cardiopulmonary resuscitation).
Kompresi dilakukan pada sternum, tepatnya dua atau tiga jari diatas taju pedang
(proccesus cipoideus). Kita taruh telapak tangan kita yang lebih kuat pada titik
kompresi dengan tangan yang lain diletakkan diatas tangan yang menjadi
tumpuan, tujannya agar sebagai pengunci, supaya tidak bergeser pada saat
melakukan kompresi. Kompresi dilakukan sebanyak 30 : 2 yaitu, 30 kali kompresi
diselingi dengan pemberian napas bantuan sebanyak 2 kali. Kompresi ini
bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi ke jaringan dan mengeluarkan CO2
dilakukan sampai adanya tanda-tanda kehidupan, datang pengganti untuk
melakukan kompresi, ponolong kelelahan, datang petugas medis yang telah
dihubungi. (Berg et al, 2010)
Setelah proses diatas, dan kondisi pasien mulai stabil dilakukan penatalaksaan
sesuai dengan jenis pneumothorax.
Penatalaksaan Pneumothorax Tertutup (Simple Pneumothorax)
16
Kebanyakan simple pneumothorax akan membutuhkan pemasangan
intercostal chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothorax kecil, khususnya
yang hanya terlihat dengan CT Scan dapat diobservasi. Keputusan untuk data
diobservasi berdasarkan status klinis pasien dan prosedur yang direncanakan
berikutnya. Pemasangan Chest Tube cocok pada kasus yang terdapat multiple
injury. Pasien yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau pasien yang
akan ditransfer dengan jarang yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension
pneumothorax mungkin sulit atau tertunda. (Brohi, 2004)
Penatalaksaan Pneumothorax Terbuka (Open Pneumothorax)
Pemberian oksigen 100% harus diberikan melalui face mask. Intubasi harus
dipertimbangkan bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh
menunda pemasangan chest tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada
open pneumothorax adalah menutup luka dan segera memasang Intercostal Chest
Drain. (Brohi, 2004)
Bila Chest Drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa
melakukan terapi definitif, perban dapat diletakkan diatas luka dan diplester pada
tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk
memungkinkan udara keluar dari pneumothorax selama ekspirasi, namun tidak
masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit dilakukan pada luka yang luas dan
efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin Chest Drain harus dipasang dan
luka ditutup. (Brohi, 2004)
Penatalaksaan Tension Pneumothorax
1. Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada
emergensi dengan Needle Thoracostomy. Jarum ukuran 14-16 G
ditusukkan pada intercostal space (ICS) II midclavicula line (MCL). Jarum
dipertahankan hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang
terhubung dengan jarum. Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di
udara. Udara yang keluar dengan cepat dari dada menunjukkan adanya
17
tension pneumothorax. Manuver ini merubah tension pneumothorax
menjadi simple pneumothorax.
2. Pemasangan Chest Tube
Pemasangan Chest Tube merupakan terapi definitif pada tension
pneumothorax. Chest Tube harus tersedia dengan cepat diruang resusitasi
dan pemasangannya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol Chest Tube
lebih baik untuk Blind Needle Thoracostomy. Hal ini menyebabkan status
respiratory dan hemodinamik akan menoleransi beberapa menit tambahan
untuk melakukan Surgical Thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi
tumpul) tekanan akan didekompresi dan pemasangan Chest Tube dapat
dilakukan tanpa terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagai pasien yang
terventiasi manual dengan tekanan postif. (Brohi, 2004)
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumothorax antara lain adalah
pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi
melalui tiga tahap yang umum disebut dengan Effect Macklin. Urutan kejadiannya
adalah terjadinya ruptur alveolar kemudian terjadinya diseksi sepanjang selubung
bronkovasculer menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai mediastinum.
Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan,
tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat menyebabkan
peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung terhadap
jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan curah
jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfisema subkutis,
apabila udara pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat terjadi
kompresi jalan nafas dan jantung. (Carolan, 2010)
18
Gambar 8. Pneumomediastinum(Sumber : Carolan, 2010)
Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal,
selubung pembuluh darah leher dan thorax lateral. (Carolan, 2010) Emfisema
subkutis terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi
sebagai pembengkakan tetapi tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas.
Gambaran radiologi untuk emfisema subkutis adalah radiolusen di tepi struktur
anatomi yang terkait. Komplikasi ini dapat memperparah keadaan pasien dengan
pneumothorax akibat kompresi jalan nafas. Pertolongan pertama yang dilakukan
apabila terjadi distress adalah insisi kulit dengan pisau pada daerah kulit yang
mengalami pembengkakan. (Paramasivam, 2008)
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Europan course trauma care thoracic trauma; cited 24 November 2012 available at www.cdu.dc.med.unipi.it/ectc/ethoma.htm.
Barmawi, H., Budiono, E., 2006. Pneumothoraks Spontan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
BaileyBio.com, Anatomy and Physiologi Respiratory System. Diakses di http://www.baileybio.com/plogger/?level=picture&id=710
Berck. M., 2010. Pneumothorax. Diakses di http://nefrologyners.wordpress.com /2010/11/03/pneumothorax-2/
Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Aufderheide TP, Cave DM, Hazinski MF, Lerner EB, Rea TD, Sayre MR, Swor RA. Adult Basic Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. 2010;122(suppl 3):S685–S705.
Brohi K. 2004. Chest Trauma : Pneumothorax-Open. Diakses di http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTopen.html.
Brohi K. 2004. Chest Trauma : Pneumothorax-Simple. Diakses di
http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTpneumo.html. Brohi K. 2004. Chest Trauma : Pneumothorax-Tension. Diakses di
http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTtension.html.
Carolan PL., 2010. Pneumomediastinum. Medscape Referance. Emedicine. Diakses di http://www.medscape.com/article/1003409.
De jong W., Sjamsuhidajat R., Karnadihardja W. Prasetyono T.O, Rudiman R. 2008. Buku Ajar Ilmu Bedah; Bab 28: 498-513.
Djojodibroto, D., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.
Handley A.J. Basic Life Support. British Journal Of Anesthesia 1997; 79: 151- 158
Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous Pneumthorax: Thers’s Confusion in the Air. Chest Journal; 125; 190-1192.
Idress M.M, Ingleby A.M, Wali S.O. Evalution and Managemet of Pneumothorax. Saudi Med J 2003; vol.24(5):447 – 452.
20
Jain D.G, Gosari S.N, Jain D.D. Understanding and Managing Tension Pneumothorax. JIACN 2008; 9(1) : 42 – 50.
Korom S., Conyurt H., Missback A., et al. 2011. Pneumothorax. Diakses di http://www.patient.co.uk/doctor/Pneumothorax.htm.
Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007. Primary Spontaneous Pneumothorax: why all the confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of Physicians of Edinburgh; 37:335-338
McCool, FD., Rochester, DF., et al. 2008. Pneumothorax. Diakses di http://www.harrisonspractice.com/practice/ub/view/Harrisons%20Practice/141278/all/Pneumothorax
Noppen M, Keukeleire T.D : Pneumothorax. Respiration 2008; 76 :121 – 127
Paramasivam, E. 2008. Air Leaks, Pneumothorax, and Chest Drains : Subcutaneus Emphysema, Pneumomediastinum, and Pneumopericardium. Cont edu Anaesth Crit Care & Pain. 8(6): 204-209. Oxford University Press.
Sloane, E., 2004. Anatomy and Physiology : An Easy Learner. Alih Bahasa : James Veldman. Jakarta : EGC.
The Respiratory System. Diakses di http://www.nhlbi.nih.gov/health/health- topics/topics/hlw/system.html.
The Subdivisions and Structure of the Human Intrapulmonary Airways. Diakses di http://www.dijitalimaj.com/alamyDetail.aspx?img=%7B483C08A3-5BC6-4256-9F81-5B300E7BBF72%7D.
Ursic, C., Curtis, K., 2008. Thoracic and Neck Trauma. Elsevier International Emergency Nursing, Volume 18, Issue 2, April 2010, Pages 99-108.
21