Gabung 16 November 2011
description
Transcript of Gabung 16 November 2011
2.1 Pengertian spasial
Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, spasial lebih berhubungan
dengan spasi yang bermakna jarak, selingan bidang atau daerah di antara benda-benda.
Adapun secara erminologis, Mulyati (1995) memberikan penjelasan bahwa “spasial” adalah
ruang fisik yang terbentuk pada lingkungan permukiman, rumah tinggal dan bentuk
bangunan yang terjadi karena faktor yang berkembang di lingkungan masyarakat. Vincent
(dalam Mulyati,1995:46), menjelaskan bahwa permukiman adalah sekelompok rumah yang
terorganisasi dalam sebuah sistem sosial budaya dan religius, yang tercermin pada fisik
lingkungannya.
Pengaruh Dinamika Masyarakat Terhadap Pola Pemekaran Kota atau Desa
Dinamika penduduk adalah perubahan jumlah penduduk disuatu daerah dari waktu ke
waktu. perubahan jumlah penduduk dipengaruhi oleh kelahiran, kematian dan perpindahan
penduduk ( imigrasi dan emigrasi). Dinamika penduduk pada umumnya menunjukan
peningkatan jumlah penduduk disebut pertumbuhan penduduk.
kepadatan penduduk adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah
yang ditempati. Kepadatan penduduk tiap daerah berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh
kondisi spasial yang ada, seperti kondisi geografis dan tingkat pelayanan infrastruktur yang
di sediakan daerah tersebut bagi masyarakat sekitarnya
Kondisi geografis yanag dimaksud adalah topografgi wilayah, kondisi rawan bencana,
potensi tingkat kesuburan tanah dan sumber daya alma lainnya.
Selain faktor geografis hal lain yang mempengaruhi kepadatan penduduk pada suatu
wilayah adalah dekat ayau tidaknya jarak menuju wilayah nodal atau yang sering disebut
dengan perkotaan , hal ini disebabkan karena wilayah nodal memiliki peranan sebagai
pemberi layanan infrastruktur yang lengkap bagi daerah-daerah disekitarnya. Sehingga besar
kecilnya wilayah nodal akan mempengaruhi orientasi permukiman penduduk yang lambat
laun berdampak terhadap pemekaran suatu kota.
Awal terjadinya suatu pemekaran kota dan desa, disebabkan karena terbentuknya suatu
wilayah nodal akibat sebuah tuntutan bagaimana membentuk tata ruang yang efesien.
Menurut Sri, (2006) nodal yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang lebih
cepat dipengaruhi oleh peluang yang diberikan pemerintah pada wilayah tersebut untuk
berkembang dalam mendukung pertumbuhan wilayah. Dalam penelitian Sri juga
disampaikan jika terdapat dua pusat pelayanan atau nodal yang sama-sama berkembang
maka akan mempengaruhi aktivitas pembangunan yang akan tumbuh disekitar jalur
penghubung pada dua wilayah tersebut, namun jika salah satu dari pusat pelayanan atau
nodal yang berkembang maka orientasi pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan
segala aliran aktivititas masyarakat lebih tertarik pada pusat pelayanan atau nodal yang
berkembang tersebut, dan hal ini akan memberikan dampak terhadap perbedaan produktivitas
lahan. Semakin tinggi perananan nodal dalam meberikan pelayanan terhadap wilayah
sekitarnya akan diikuti oleh semakin meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi.
Kosentrasi aktivitas penduduk yang tertarik hanya pada satu nodal yang berkembang
menyebabkan terjadinya disparitas spasial, konsentrasi dari aktivitas ini salah satunya dapat
dilihat dari proses pemekaran kota akibat laju pertumbuhan penduduk pada nodal tersebut
semakin bertambah tinggi.
Jangkauan pelayanan nodal ini sangat tergantung dari besar atau kecilnya nodal tersebut.
Semakin besar suatu nodal atau pusat kota maka semakin luas pula wilayah pelayanannya.
Berikut gambar mengenai nodal dan jangkauan pelayanannya yang dikemukakan oleh
Hartshom (1980) dalam http://geografi.ums.ac.id/ebook/perenc_kota/Kota.pdf, diakses tgl 26
Oktober 2011
Gambar 2.1. Hubungan antara range of a good dan batas area perdagangan dalam http://geografi.ums.ac.id/ebook/perenc_kota/Kota.pdf, diakses tgl 26 Oktober 2011
Jangkauan pelayanan suatu pusat dikenal sebagai range of a good, makna dari gambar
tersebut diatas, yang mana inner rage adalah bentuk wilayah belakang (hinterland) atau area
perdagangan yang dibutuhkan untuk memenuhi ambang batas pembelian. Jangkauan pelayanan
bagian luar dikenal sebagai ideal outer range of the good. Ini merupakan areal perluasan paling
luar, yang tidak mendapatkan pelayanan dari pusat manapun. Penduduk di area ini tidak dapat
dilayani karena biaya untuk menuju ke pusat pelayanan terlalu tinggi. Area ini mewujudkan
adanya keterbatasan geografi dan ekonomi bagi suatu pusat pelayanan. Guna memenuhi
kebutuhan, penduduk menciptakan penggantinya, atau hidup dengan tidak bergantung pada
barang yang tidak mampu mereka produksi sendiri. Bila ideal outer range of the good kemudian,
karena perkembangan teknologi, dapat dilayani oleh suatu pusat, maka area ini menjadi real
outer range of the good. Jangkauan pelayanan bagian luar yang nyata (real outer range of the
good) adalah perluasan area dari jangkauan pelayanan bagian dalam, yang bisa dilayani tidak
hanya oleh satu pusat pelayanan. Bila pusat pelayanan tidak mendapatkan pesaing guna melayani
ideal outer range of the good, maka pusat pelayanan tersebut mendapatkan ideal outer rangenya
sepenuhnya menjadi bagian dari real outer range of the good. Namun bila terdapat pesaing,
maka ideal outer rangenya dilayani secara bersama sehingga real outer rangenya mengecil.
Bagian luar ini dilayani secara bersama dan merupakan area perpotongan lebih dari satu pusat
pelayanan.
Nampaknya dari gambar tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, yang mana bagian real
outer range of the good adalah lokasi yang strategis, pada lokasi ini permukiman yang tumbuh
dapat dilayani oleh beberapa pusat pelayanan yang tergantung dari seberapa kuatnya interaksi
yang membentuk “simbiosis-mutualisme” pada dua pusat nodal tersebut. Semakin kuat
interaksinya maka semakin besar aktivitas masyarakat yang tumbuh pada jalur ini, namun ketika
tidak terbentuk suatu interaksi antara satu nodal dan nodal yang lainnya maka real outer range of
the good akan semakin kecil dan akan terbentuk wujud spasial radial terputus atau linier terputus
Suatu kota mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini
menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik. Khususnya mengenai
aspek yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan perkotaan maupun penggunaan lahan
pedesaan adalah perkembangan fisik, khususnya perubahan arealnya yg disebut pendekatan
morfologi kota atau “Urban Morphological Approach” (Yunus, 2000:107).
Menurut Herbert (Herbert dalam Yunus, 2000:197) Matra morfologi pemukiman
menyoroti eksistensi keruangan kekotaan dan hal ini dapat diamati dar kenampakan kota secara
fiskal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik dari
daerah hunian ataupun bukan (perdagangan dan industri) dan juga banguna individual.
Dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan atau perdesaan maupun kegiatan
penduduk perkotaan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan yang besar. Oleh
karena ketersediaan ruang di dalam kota atau perdesaan tetap dan terbatas, maka meningkatnya
kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil
ruang di daerah pinggiran kota. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar
disebut”urban sprawl”.Adapun macam “urban sprawl” sebagai berikut: (Yunus, 2000:124)
Tipe 1: Perembetan konsentris (Concentric Development/ Low Density continous development)
Gambar 2.2 Perembetan konsentris, Sumber: (Yunus, 2000:126)
Dikemukakan pertama kali oleh Harvey Clark (1971) menyebut tipe ini sebagai
“lowdensity, continous development” dan Wallace (1980) menyebut “concentric dvelopment”.
Tipe perembetan paling lambat, berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar
kenampakkan fisik kota yang sudah ada sehingga akan membentuk suatu kenampakan morfologi
kota yang kompak. Peran transportasi terhadap perembetannya tidak begitu besar.
Tipe 2: Perembetan memanjang (ribbon development/lineair development/axial development)
Gambar 2.3 Perembetan linear, (Yunus, 2000:128)
Tipe ini menunjukkan ketidakmerataan perembetan areal perkotaan di semua bagian sisi
luar daripada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi
yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah disepanjang rute
transportasi merupakan tekanan paling berat dari perkembangan (Yunus, 2000:127). Tipe ini
perembetannya tidak merata pada semua bagian sisi-luar dari pada daerah kota utama.
Perembetan bersifat menjari dari pusat kota disepanjang jalur transportasi.
Tipe 3: Perembetan yang meloncat (leap frog development/checkkerboard development)
Gambar 2.4 Perembetan Meloncat, (Yunus, 2000:129)
Perembetan yang terjadi pada tipe ini dianggap paling merugikan oleh kebanyakan pakar
lingkungan, tidak efisien dan tidak menarik. Perkembangan lahan kekotaanya terjadi berpencaran
secara sparadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian, sehingga cepat menimbulkan
dampak negatif terhadap kegiatan pertanian pada wilayah yang luas sehingga penurunan
produktifitas pertanian akan lebih cepat terjadi.
Pengaruh Dinamika Masyarakat Terhadap Struktur Spasial Kota dan Desa
Dinamika masyarakat dalam hal jumlah penduduk mempengaruhi perkembangan pasar,
semakin bertambahnya jumlah penduduk maka semakin bertambah pula barang dan jasa yang
dibutuhkan. Komposisi penduduk menurut usia yang berubah, misalnya karena tahapan hidup
meningkat, membuat ragam produk pun mengikuti, baik dalam jumlah maupun jenis.
Bidang sosial budaya masyarakat turut menjadi faktor yang mempengaruhi struktur
sapasial kota. Masyarakat yang semakin aktif dalam kehidupan sosial akan meningkatkan
aktivitas pengadaan barang dan jasa guna memfasilitasi kegiatan mereka.
Globalisasi juga merupakan faktor utama terciptanya permintaan atau meningkatnya
permintaan barang dan jasa. Bidang terakhir adalah bidang hukum dan peraturan yang
mempengaruhi pertumbuhan pasar ritel, baik dalam arti mendorong maupun dalam arti
menghambat. Dalam arti mendorong, misalnya peraturan tentang pembuatan atau pembangunan
usaha baru yang semakin mudah. Dalam arti menghambat, misalnya peraturan besarnya pajak
yang semakin meningkat.
Yang dimaksud dengan struktur spasial Menurut Burgess struktur kota sebagai suatu
rangakian “concentric zone” dan berkembangnya struktur tersebut terjadi dengan cara ekspansi
kawasan-kawasannya ataupun invasi kawasan lainnya. Adapun struktur kota jenisnya bermacam-
macam ada yang berbentuk mono centered, multi center, ataupun dengan pola segmentasi.
pola multi center terbentuk ketika dalam sebuah pusat (center) memiliki beberapa sub
center yang berada disekitarnya dan mampu melayani kebutuhan perdagangan berupa eceran
bagi penduduk sekitar yang bertempat tinggal pada wilayah tersebut, sedangkan yang
dimaksudkan dengan pola mono center ialah ketika pada wilayah tersebut aktivitas perdagangan
hanya terdapat pada wilayah center saja. Adisasmita (2010)
Pola multi center pola konsentris
Menurut Sukirno (2010), keberadaan pasar tidak lepas dari pengaruh kesejahteraan
masyarakat. Dikatakan masyarakat yang kurang sejahtera tidak berdaya perihal permintaan
barang dan jasa, mereka cenderung memanfaatkan hasil panennya untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri dan sebagian untuk dijual.
Dari pernyataan beberapa para ahi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
keberadaan pusat pelayanan pada pusat atau center atau yang bersifat multi center memiliki
keterkaitan terhadap permintaan akan barang dan jasa dari masyarakat sekitar itu sendiri.
Samakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakatnya maka semakin besar permintaan akan
barang dan jasa maka semakin meningkat pula jumlah pelayanan akan barang dan jasa tersebut.
Pengaruh Dinamika Masyarakat Terhadap Ketimpangan Spasial
Akibat orientasi permukiman penduduk yang lebih cenderung menuju wilayah
perkotaan seperti yang sudah dijelaskan, menyebabkan terbentuknya suatu
ketimpangan spasial, yang dimaksud dengan ketimpangan spasial adalah adalah
ketidakseimbangan pembangunan akibat pemusatan aktivitas terkait letaknya sesuai dengan
tata ruang geografis yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat, hal ini dapat
dilihat melalui perbedaan produktivitas lahan pada lokasi/ wilayah tersebut.
Beragam aktivitas dan orientasi permukiman menuju wilayah nodal atau perkotaan, semakin dekat dengat pusat kota maka kenampakan fiscal yang terjadi lebih modern dibandikan daerah yang jauh dari pusat kota
Semakin jauh dari pusat nodal maka wujud visual yang terbentuk adalah di bidang agraris, dengan pola permukiman yang terpencar sehingga sulit tersentuh kebijakan pemerintah
Dampak dari ketimpangan spasial akibat dinamika masyarakat ini, menyebabkan keterhambatan pembangan, tumbuhnya bibit-bibit kecemburuan social di masyarakat, dan wilayah yah jauh dari pusat nodal mulai ditinggalkan para pekerja usia produktif, akibat wilayahj tersebut tidak tersentuh oleh kebijakan pembangunan dari pemerintah
O a b c d
2.2 Spasial terhadap pembentukan gated community
John Heinrich von Thunen menguraikan sewa lahan diferensial yang inti
pembahasannya adalah mengenai lokasi dan spesialisi lahan pertanian. Kegiatan yang
mampu menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar ditempatkan pada kawasan konsentris
yang pertama di sekitar kota, karena keuntungan yang tinggi per hektar memungkinkan
untuk membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya adalah kurang
intensif dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya. Dari
uraian dapat dikatakan bahwa semakin dekat letaknya dengan pasar penjualan atau pusat
kota, berarti semakin tinggi sewa lahannya dan semakin berkurang pula biaya
transportasinya.
Gambar 1. Cincin-cincin pola penggunaan lahan
(Sumber : Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang : Rahardjo Adisasmita,2010)
Berdasarkan teori penggunaan lahan didapat semakin dekat dengan pusat kota atau
pasar penjualan maka semakin besar nilai lahan. Perbedaan nilai lahan ini mengakibatkan
masyarakat yang mampu menempati lahan tersebut juga berbanding berdasarkan
kemampuan ekonominya. Untuk lahan yang dekat pusat kota dan dengan nilai lahan yang
tinggi hanya mampu ditempati oleh masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi.
Lahan berikutnya yang memiliki jarak yang lebih jauh dari pusat kota akan memiliki nilai
lahan lebih rendah dan hanya mampu ditempati oleh masyarakat yang tingkat ekonominya
lebih rendah. Perbedaan ruang-ruang lahan ini mengakibatkan adanya pengaruh terhadap
kelompok – kelompok masyarakat dimana terbentuk etnis masyarakat kelompok ekonomi
tinggi, kelompok ekonomi menengah dan kelompok ekonomi rendah.
Pusat kota
O a b c d
Pembagian secara spasial berdasarkan ekonomi kemudian membentuk gated
community di perkotaan, masyarakat yang berperekonomian menengah keatas umumnya
memiliki tuntutan yang lebih tinggi terhadap privasi, keamanan dan kenyamanan.
Cenderungnya mereka lebih nyaman untuk hidup berkelompok yang memiliki tingkat strata
ekonomi yang sama. Seperti yang terjadi di Hayam Wuruk Residence, Teras Ayung, Pecatu
graha.
3 Perkembangan Jumlah Penduduk Mempengaruhi Ruang Terbuka Hijau dan
Mempengaruhi Kebijakan dari Pemerintah.
Dinamika masyarakat yang terjadi salah satunya adalah peningkatan populasi
manusia atau meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan tingkat kepadatan semakin
tinggi. Pada sisi lain ,luas tanah atau lahan tidak bertambah. Kepadatan penduduk dapat
mengakibatkan tanah pertanian semakin berkurang karena digunakan untuk pemukiman
penduduk.1
Peningkatan populasi masyarakat menurut Malthus, pertumbuhan jumlah penduduk,
bila tidak dikendalikan, akan naik menurut deret ukur (1,2,4,8,dst). Produksi pangan
meningkat hanya menurut deret hitung (1,2,3,4,dst). Di Indonesia dengan ledakan penduduk
saat ini, mengakibatkan dampak sosial yaitu mengalami krisis pangan. Bahkan di dunia pun
terjadi krisis pangan global.2
1 http://dipit89.wordpress.com/category/akibat-kepadatan-penduduk/ diakses 14 Nopember 2011
2 http://izzahluvgreen.wordpress.com/2009/04/04/dampak-permasalahan-penduduk-di-indonesia-terhadap-lingkungan-hidup/ diakses 14
Nopember 2011
Ekonomi menengah keatas
menengah
Ekonomi rendah
Dinamika masyarakat tentang jumlah penduduk ini membuat perubahan pada ruang
–ruang di kota.Perkembangan penduduk yang tinggi yang semakin meningkatnya jumlah
pemukiman mengakibatkan jumlah lahan untuk pertanian yang merupakan ruang terbuka
hijau semakin berkurang. Ruang terbuka hijau ini beralih fungsi sebagian besar menjadi
pemukiman karena tuntutan kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal.
Ciri morfologi kota-kota Indonesia juga memperlihatkan adanya penurunan yang
signifikan dalam luasan ruang terbuka hijau (RTH). Kota-kota besar seperti Jakarta,
Surabaya dan Bandung telah kehilangan banyak RTH, hingga luasannya kini hanya berkisar
10% dari luas wilayah administratifnya. Sementara itu, beberapa kota masih mampu
menjaga luasan hutan kotanya diatas 30%, seperti Balikpapan dan Ternate, walaupun
dewasa ini juga tengah menghadapi tekanan urbanisasi yang serius akibat kelangkaan lahan
perkotaan. Di Ternate, misalnya, tekanan tersebut mengakibatkan pemanfaatan hutan kota
yang cukup jauh dari garis pantai, berada di perbukitan Gunung Gamalama yang masih
aktif. Perkembangan fisik ini sangat berbahaya dari kacamata mitigasi bencana, karena
meningkatkan risiko bencana yang bersumber dari kegiatan vulkanik Gunung Gamalama.
Dinamika masyarakat yang mempengaruhi ruang terbuka hijau di kota
mengakibatkan dibuatnya suatu kebijakan – kebijakan yang mengatur tentang ruang terbuka
hijau. Kebijakan ini dibuat untuk melindungi ruang –ruang di Kota agar tidak berkurang
lebih besar. Salah satu kebijakan yang dibuat untuk mengatur tata ruang terbuka hijau
sebagai akibat permasalahan ruang terbuka hijau adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor : 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman penyediaan dan pemanfaatan Ruang terbuka
hijau di kawasan perkotaan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman
penyediaan dan pemanfaatan Ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan mengatur tentang
ruang terbuka hijau mulai dari pengertian, penyediaan RTH di kawasan perkotaan,
pemanfaatan RTH di kawasan perkotaan sampai prosedur perencanaan dan peran
masyarakat.
2.4 Pengaruh Pola Spasial Permukiman Terhadap Perkembangan Ras/Etnik
Pola spasial permukiman di desa menurut Wiriaatmadja (1981) adalah: (1) Pola
permukiman dengan cara tersebar berjauhan satu sama lain; (2) Pola permukiman dengan
cara berkumpul dalam sebuah kampung, memanjang ‘mengikuti jalan lalu lintas’; (3) Pola
permukiman dengan cara terkumpul dalam sebuah kampung/desa; (4) Berkumpul dan
tersusun melingkar mengikuti jalan. Tipe-tipe Pola Permukiman di Desa Permukiman di
daerah pinggiran kota Pola spasial permukiman di daerah pinggiran kota pada awalnya
terbentuk dari aktivitas penduduk tani di desa, dengan ciri-ciri sebagian besar daerahnya
adalah berupa lahan-lahan pertanian yang mengarah pada pola spasial kota. Subroto
(1997:46-48) penjelaskan perubahan spasial pinggiran kota sebagai berikut:
a. Pola perubahan konsentris spasial (a pattern of spatial concentric), terbentuk oleh adanya
jalan kelas 1 yang menghubungkan/memotong komunitas pinggiran kota.
b. Pola perubahan dispersi (pembubaran) spasial, terbentuk oleh adanya pembagian spasial
secara merata dari suatu kelompok komunitas urban fringe, akibat dibangunnya jalan-
jalan penghubung. Pola ini dapat disebut model katak lompat (leap frog model).
Gambar 2. Cincin-cincin pola penggunaan lahan
Lahan Pertanian kepemilikan oleh kelompok petaniPertokoan kepemilikan oleh kelompok pedagang
Jalan malboro
(Sumber : Wiriaatmaja: 1981)
Perkembangan pola spasial di kota yang mulanya jalan pertanian kemudian terjadi
pembangunan jalan kelas 1 yang memecah lahan pertanian. Perkembangan selanjutnya
menjadikan perubahan lahan pertanian menjadi lahan permukiman yang mengikuti jalan
yang baru. Perkembangan permukiman yang baru membentuk ras.
Pembentukan ras akibat perkembangan permukiman terdiri dari kelompok pedagang
kelompok petani. Kelompok pedagang yang umumnya dari ras cina dan arab terbentuk
akibat disepanjang jalan dibentuknya ruko-ruko dan pertokoan. Dan kelompok petani yang
merupakan penduduk pribumi yang masih menetap disekitar perkembangan permukiman
tersebut.
Sebagai contoh pada jalan malboro di Denpasar Barat awalnya daerah tersebut
adalah daerah hijau sebagai lahan pertanian tetapi perkembangan selanjutnya dengan adanya
perkembangan dimana adanya jalan malboro yang membelah lahan hijau didaerah tersebut,
timbullah pernukiaman, rumah toko dan pertokoan yang perkembangannya mengikuti
disepanjang jalaur jalan. Di lokasi tersebut masih ada juga jalur hijau berupa lahan-lahan
pertanian tetapi sudah tidak produktif.
Gambar 3. Perkembangan Pola Ruang Terhadap Kelompok Masyarakat di Jalan Malboro,
Denpasar
(Sumber : Dokumentasi Kelompok, 2011)
Permukiman mempunyai kecenderungan yang bercorak heterogen dengan
penggolongan pada struktur sosial ekonomi masyarakat. (Suparlan, P., 1996: 3-31)
Golongan elit atau atas, tinggal di rumah-rumah yang dibangun di tepi jalan-jalan raya atau
jalan kelas satu yang mengelilingi sebuah blok permukiman. Di tengah-tengah perumahan
tempat tinggal golongan elit tersebut terdapat jalan-jalan kelas dua yang di tepi jalannya
terdapat rumah-rumah tempat tinggal golongan menengah, dan di tengah-tengah
permukiman golongan menengah tersebut terdapat perkampungan bagi mereka yang
tergolong berpenghasilan rendah.Corak permukiman ini mempengaruhi perkembangan dari
etnis-etnis kelompok sosial masyarakat yang terbagi atas kelompok kelas elit, kelas
menengah dan kelas rendah.
2.5 Perkembangan Permukiman Elit yang Dipengaruhi oleh Kebijakan Pemerintah dan
Mempengaruhi Dinamika Masyarakat Etnis Setempat
Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992 mengamanatkan
pentingnya pembangunan yang berkelanjutan di sekor permukiman, pertambangan dan
energi, transportasi dan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan di sektor
permukiman diartikan sebagai pembangunan permukiman secara berkelanjutan sebagai
upaya yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas
lingkungan sebagai tempat hidup dan bekerja semua orang. Intinya pembangunan
permukiman yang berkelanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat secara berkelanjutan.
Untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat diperlukan adanya kegiatan
pengaturan terhadap pengembangan permukiman, dimana sarana untuk melakukan
pengaturan tersebut merupakan institusi yang menjadi kunci pengembangan dan
pembangunan permukiman yang baik dan berkelanjutan. Kepranataan tersebut mencakup
kebijakan dan instrumen implementasinya terdiri dari struktur organisasi atau kelembagaan
dan sarana hukum serta mekanisme penyelenggaraannya.
Namun permasalahan yang terlihat di lapangan adalah kebijakan-kebijakan tersebut
cenderung memihak kepada kepentingan suatu kelompok atau etnis tertentu dalam
pembangunan perumahan dan permukiman, serta belum sepenuhnya keberpihakan untuk
kepentingan masyarakat atau kaum etnik setempat. Dimana tanah-tanah yang dahulunya
milik warga setempat, mereka terpaksa membayar pajak setiap tahun tanpa bisa
mengembangkan tanahnya dengan baik akibat dari tingkat ekonomi masyarakat yang
rendah. Namun dengan kedatangan investor yang tentunya memiliki kekuatan uang yang
tinggi sehingga dengan mudahnya lahan-lahan tersebut dibeli dan dibangun perumahan elit.
Terkadang proses pembebasan lahan dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau membeli
tanah dengan harga yang sangat murah kepada pemilik tanah. Pemerintah sebagai pengatur
dan pemberi kebijakan juga dinilai kurang memberikan kebijakan yang berpihak pada rakyat
kecil; utamanya. Sehingga masyarakat lokal yang tanahnya diambil oleh investor
pengembang perumahan baik dengan harga yang pantas,maupun dengan harga yang sangat
murah, juga semakin sulit mengembangkan kehidupan ekonominya yang menimbulkan
suatu dinamika sosial masyarakat dimana terdapat golongan masyarakat ekonomi rendah
yang berada pada daerah perumahan elit masyarakat dengan ekonomi menegah ke atas.
Kebijakan yang memihak kepada kepentingan suatu kelompok masih sering terjadi dalam
pembangunan perumahan dan permuk iman, serta belum sepenuhnya keberpihakan untuk
kepentingan masyarakat setempat.
Contoh :
Proyek mega besar yaitu Pecatu Indah Resort yang lebih dikenal dengan nama
“Dreamland” berlokasi di ujung kawasan Desa Pecatu, Kabupaten Badung, Bali. Kawasan yang
dimiliki oleh PT. Pecatu Indah Resort ini memiliki luas kira-kira 900 hektar.
Gambar : Pecatu Indah Resort “Dreamland”
(Sumber : http://www.suarmas.com/dream_land.html, 20011)
Kawasan kondominium besar ini dimiliki oleh Tommy Soeharto. Terlihat pada proses
pembebasan lahannya, pihak investor termasuk Tommy cenderung melakukan cara kekerasan
dan membayar harga tanah masyarakat setempat dengan harga yang sangat murah. Masyarakat
asli desa setempat pun tidak dapat berbuat banyak dikarenakan Negara Indonesia saat itu
dipimpin oleh Presiden Soeharto dimana anaknya yang bernama Tommy inilah yang melakukan
pembebasan lahan. Pecatu Indah Resort pun berkembang menjadi kawasan kondomonium elit
dengan pantai sebagai orientasi view utamanya. Tentunya hanya kaum dari rasa tau etnis yang
kemampuan ekonominya tinggilah yang mampu membeli serta menempati kondominum elit ini.
Masyarakat etnis setempat hanya hidup di daerah pinggiran kawasan Pecatu Indah Resort ini.
Tentunya hal ini menimbulkan dinamika sosial masyarakat setempat akibat pembangunan ini
serta tidak adanya ketegasan dari pemerintah sebagai penentu kebijakan yang kurang
memperhatikan rakyat setempat membuat proyek ini tetap berjalan dan terus dilakukan
pengembangan hingga sekarang.