FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx
-
Upload
qonita-nahdiyah -
Category
Documents
-
view
509 -
download
3
Transcript of FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx
GIZI MASYARAKAT: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI
ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA
ESSAY
disusun untuk memenuhi penugasan blok
Kesehatan Masyarakat dan Pengaruh Lingkungan
Oleh :
Qonitatun Nahdliyyah
08711075
Kelompok Tutorial 17
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2011
1
1. PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan modal utama dalam kehidupan setiap orang,
dimanapun dan siapapun pasti membutukan badan yang sehat, baik jasmani
maupun rohani guna menopang aktifitas kehidupan sehari-hari. Begitu pentingnya
nilai kesehatan ini, sehingga seseorang yang menginginkan agar dirinya tetap
sehat harus melakukan berbagai macam cara untuk meningkatkan derajat
kesehatannya, seperti melakukan penerapan pola hidup sehat dan pola makan
yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari (Mubarak, 2009).
Sebagai negara yang sedang berkembang dan sedang membangun, bangsa
Indonesia masih memiliki beberapa ketertinggalan dan kekurangan apabila
dibandingkan dengan negara lain yang sudah lebih maju (Hadi, 2005). Pada saat
ini, dalam bidang kesehatan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu
masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya
disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya
kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi,
dan adanya daerah miskin gizi (iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih
disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai
dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan
(Almatsier, 2004).
Penanganan masalah gizi memerlukan upaya komprehensif dan
terkoordinasi, mulai proses produksi pangan beragam, pengolahan, distribusi
hingga konsumsi yang cukup nilai gizinya dan aman dikonsumsi. Oleh karena itu
kerja sama lintas bidang dan lintas program terutama pertanian, perdagangan,
perindustrian, transportasi, pendidikan, agama, perlindungan anak, ekonomi,
kesehatan, pengawasan pangan dan budaya sangat penting dalam rangka
sinkronisasi dan integrasi kebijakan perbaikan status gizi masyarakat (Bappenas,
2009).
Tolok ukur yang dapat mencerminkan status gizi masyarakat adalah status
gizi pada anak balita yang diukur dengan berat badan dan tinggi badan menurut
umur dan dibandingkan dengan standar baku rujukan WHO (2005). Selain itu
keadaan gizi masyarakat juga dapat diketahui dari besarnya masalah kekurangan
2
gizi mikro pada kelompok rentan, yaitu GAKY, AGB, dan KVA (Bappenas,
2009).
Defisiensi yodium merupakan salah satu masalah gizi kurang yang masih
dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Defisiensi gizi ini dapat diderita orang pada
setiap tahap kehidupan, mulai dari masa perinatal sampai lansia. Akibat yang
ditimbulkan karena kekurangan yodium sangat luas sehingga defisiensi yodium
kemudian dikenal dengan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
Berdasarkan konsep UNICEF (1988) penyebab langsung GAKY adalah defisiensi
zat gizi yodium. Ketidakcukupan asupan yodium disebabkan oleh kandungan
yodium dalam bahan makanan yang rendah dan atau konsumsi garam beryodium
yang rendah. Masih banyak masyarakat yang kurang mengetahui manfaat dari
garam beryodium merupakan salah satu penyebab rendahnya konsumsi garam
yang beryodium. Berbagai alasan dikemukakan sehubungan dengan hal tersebut,
antara lain garam beryodium mahal, rasanya pahit, rasanya kurang asin
dibandingkan dengan garam yang tidak beryodium. Hal yang mendasar dari
penyebab GAKY adalah kandungan yodium dalam tanah yang rendah dan kondisi
ini bersifat menetap. Semua tumbuhan yang berasal dari daerah endemis GAKY
akan mengandung yodium yang rendah sehingga sangat diperlukan adanya garam
beryodium atau bahan makanan dari luar daerah yang nonendemis (Syafiq dkk.,
2007).
2. KEBIJAKAN PEMERINTAH
Dalam mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia sesuai Pembukaan
UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka pembangunan kesehatan diarahkan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setia[
orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
dapat terwujud (Depkes, 2009).
Visi Kementrian Kesehatan adalah “Masyarakat Sehat yang mandiri dan
berkeadilan. Sedangkan misinya adalah meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat
3
madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya
kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin
ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola
kepemerintahan yang baik”. Salah satu strateginya adalah “Meningkatkan
pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta
berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk
itu diperlukan data kesehatan dasar yang dapat dikumpulkan secara
berkesinambungan (Riskesdas, 2010).
Sesuai dengan Rencana Strategis Kementrian Kesehatan tahun 2009-2014,
terdapat 8 sasaran keluaran Pembinaan Gizi Masyarakat yaitu sebagai berikut:
- 100% gizi buruk yang mendapat perawatan
- 80% bayi 0-6 bulan yang mendapat ASI Ekslusif
- 90% rumah tangga mengonsumsi garam beryodium
- 85% balita usia 6-59 bulan mendapat Kapsul Vitamin A
- 85% ibu hamil yang mendapat 90 tablet besi
- 100% kabupaten/kota yang melaksanakan surveilan gizi
- 85% balita yang ditimbang berat badannya (D/S)
- 100% penyediaan buffer stock MP-ASI untuk daerah bencana
Mengacu pada kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam PBB
dalam sidang tahun 2010 mengenai pencapaian tujuan MDGs, maka dirumuskan
kebijakan dan strategi pangan dan gizi nasional untuk periode 2011-2015.
Kebijakan tersebut adalah peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan
anak melalui ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup
bersih dan sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme
koordinasi lintas bidang dan lintas program serta kemitraan (Bappenas, 2009).
Kebijakan atau program yang diambil menggunakan strategi yang akan
dijalankan, strategi tersebut antara lain:
1. Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu prahamil, ibu hamil adan
anak melalui peningkatan ketersediaan dan jangkauan pelayanan kesehatan
berkelanjutan difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu prahamil,
ibu hamil, bayi, dan anak baduta.
4
2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam melalui peningkatan
ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang difokuskan pada keluarga
rawan pangan dan miskin.
3. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui peningkatan
pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan
yang memenuhi syarat dan produkl industri rumah tangga (PIRT)
tersertifikasi.
4. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui peningkatan
pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta non formal
terutama dalam perubahan perilaku atau budaya konsumsi pangan yang
difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber
daya lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta merevitalisasi posyandu.
5. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan kelembagaan
pangan dan gizi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten dan kota yang
mempunyai kewenangan merumuskan kebijakan dan program bidang
pangan dan gizi, termasuk sumber daya serta penelitian dan
pengembangan.
Program perbaikan gizi masyarakat secara umum ditujukan untuk
meningkatkan kemampuan, kesadaran dan keinginan masyarakat dalam
mewujudkan kesehatan yang optimal khususnya pada bidang gizi, terutama bagi
golongan rawan dan masyarakat yang berpenghasilan rendah baik di desa maupun
di kota. Kegiatan pokok Departemen Kesehatan dalam menginplementasikan
Perbaikan Gizi Masyarakat meliputi, peningkatan pendidikan gizi,
penanggulangan Kurang Energi Protein (KEP), anemia gizi besi, Gangguan
Akibat Kurang Yodium (GAKY), kurang Vitamin A, dan kekurangan zat gizi
lebih, peningkatan surveillance gizi, dan pemberdayaan masyarakat untuk
pencapaian keluarga sadar gizi (Maas, 2003).
Undang-undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1996 tentang Pangan
secara tegas menyatakan bahwa “Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang
pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat indonesia harus senantiasa
tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, begizi, dan beragam dengan harga
yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.
5
Masalah kekurangan zat gizi mikro merupakan fenomena yang sangat jelas
menunjukkan rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Untuk itu,
intervensi gizi yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat
mengandung cukup zat gizi mikro perlu dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi
mikro secara lengkap perlu dikembangkan untuk daerah miskin dan sulit
terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal untuk
peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan
terobaosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh
msyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi
merupakan slaah satu upaya yang dapat dilakukan. Gangguan Akibat Kurang
Yodium (GAKY) dapat diatasi dengan mudah melalui garam yang telah
difortifikasi yodium sesuai standar. Cara inilah yang kemudian diadopsi
pemerintah sebagai salah satu program perbaikan gizi masyarakat. Dalam rangka
mencapai sasaran 90% rumah tangga mengonsumsi garam beryodium, pemerintah
mencanangkan program fortifikasi garam beryodium (Syafiq, 2007).
Penanggulangan GAKY sebagai bagian dari urusan pemerintah bidang
kesehatan sebagai urusan pemerintahan yang bersifat wajib serta diarahkan untuk
peningkatan indeks pembangunan manusia. Berdasarkan pertimbangan tersebut
ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.63 tahun 2010 tentang
Pedoman Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium di Daerah
(Mendagri, 2010).
3. DATA STATISTIK
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat pesat dalam 4 dekade
terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun
kondisi kelompok rentan ibu dan anak masih mengalami berbagai masalah
kesehatan dan gizi, yang ditandai dengan masih tingginya angka kematian ibu dan
angka kematian neonatal, prevalensi gizi kurang (BB/U) dan pendek (TB/U) pada
anak balita, prevalensi anemia gizi kurang zat besi pada ibu hamil, gangguan
akibat kurang yodium pada ibu hamil dan bayi serta kurang vitamin A pada anak
balita. Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan
pendek masing-masing 18,4% dan 36,8% sehingga Indonesia termasuk di antara
36 negara di dunia yang memberi 90% kontribusi masalah gizi dunia (UN-SC on
6
Nutrition, 2008). Walaupun pada taun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek
menurun menjadi masing-masing 17,9% dan 35,6%, tetapi masih terjadi disparitas
antarprovinsi yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di
wilayah rawan (Bappenas, 2009).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, yaitu sebuah survey yang
pada anak balita telah menurun secara signifikan menjadi 18,4%. Dengan
demikian dalam kurun waktu dua tahun, sejak 2005, kekurangan gizi menurun
hampir 10%. Dengan angka ini, maka tujuan RPJM sebesar 20% pada tahun 2009
dan target MDGs sebesar 18,7% pada tahun 2015 telah tercapai. Walaupun terjadi
penurunan kekurangan gizi (berat badan menurut umur) secara signifikan,
kekurangan gizi kronis masih terlihat cukup tinggi yaitu dilihat dari 36,8% balita
yang mengalami stunting (pendek dan sangat pendek, diukur dengan tinggi badan
menurut umur). Indikator ini menunjukkan terjadinya kekurangan gizi dalam
jangka waktu yang lebih panjang atau kronis. Jika dilihat secara spesifik menurut
tingkat propinsi dan kabupaten/kota, maka terlihat bahwa kekurangan gizi yang
cukup parah masih banyak terjadi. Misalnya, 7 provinsi mempunyai rata-rata
prevalensi kekurangan gizi lebih dari 25% dan 10 propinsi dengan rata-rata gizi
buruk lebih dari 8%. Bahkan 10 kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi buruk
mencapai 40% (Minarto, 2010)).
Permasalahan gizi lain yang dianggap cukup besar dihadapi di Indonesia
adalah kekurangan gizi mikro yaitu kekurangan vitamin A, gangguan akibat
kekurangan yodium dan anemia gizi besi. Akhir-akhir ini permasalahan gizi lebih
(kegemukan dan obesitas) juga terus meningkat. Menurut Survei Kesehatan
Rumah Tangga Indonesia (SKRT) 2001, sebanyak 1,3% laki-laki dan 4,6%
wanita mengalami obesitas. Pada tahun 2007, obesitas (diukur dengan indeks
masa tubuh) pada penduduk usia di atas 15 tahun menjadi 13,9% pada laki-laki
dan 23,8% pada perempuan. Obesitas menjadi risiko bagi timbulnya penyakit
kronis seperti kanker, diabetes dan hipertensi yang saat ini juga semakin banyak
menjadi penyebab kematian di Indonesia (Bappenas, 2009).
Khusus untuk GAKY, pada tahun 1980 dilakukan survey nasional dan
diketahui prevalensi GAKY pada anak usia sekolah adalah 2,7%. Prevalensi ini
menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi perubahan yang
7
berarti, GAKY masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena secara
umum prevalensi masih di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi antar kecamatan
dan masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30% (daerah
endemik berat). Dilaporkan dalam hasil survey pemetaan gondok 1998 yang telah
dipublikasikan WHO tahun 2000, bahwa 18,8% penduduk hidup di daerah
endemik ringan, 4,2% penduduk hidup di daerah endemik sedang, dan 4,5%
penduduk hidup di daerah endemik berat. Diperkirakan pula sekitar 18,2 juta
penduduk hidup di wilayah endemik sedang dan berat, dan 39,2 juta penduduk
hidup di wilayah endemik ringan. Menurut jumlah kabupaten di Indonesia, maka
diklasifikasikan 40,2% kabupaten termasuk endemik ringan, 13,5% kabupaten
endemik sedang, dan 5,1% kabupaten endemik berat. Kemudian survey nasional
selanjutnya dilakukan pada tahun 2003 yang dibiayai melalui proyek IP-GAKY
untuk mengetahui dampak dari intervensi program penanggulangan GAKY
(Minarto, 2010).
Hasil Survei Nasional tahun 2003 dapat dilihat pada peta berikut:
8
Hasil Studi Intensifikasi Penanggulangan GAKY (IP-GAKY) tahun 2003,
dan hasil Riskesdas 2007 mendapatkan hasil yang konsisten, bahwa rata-rata
EYU sudah tinggi, dan proporsi EYU<100 µg/L telah dibawah 20%. Direktur
Jenderal Bina Kesmas telah mengeluarkan edaran Nomor: JM.03.03/BV/2195/09
Tanggal 03 Juli 2009 tentang penghentian suplementasi kapsul minyak iodium
pada sasaran (WUS, ibu hamil, ibu menyusui dan anak SD/MI). Disisi lain
cakupan Rumah Tangga dengan garam cukup Iodium rata-rata nasional baru
mencapai 62,3%. Terdapat disparitas antar daerah cukup tinggi dimana persentase
cakupan terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (27,9%), dan tertinggi
Provinsi Bangka Belitung (98,7%) (Minarto, 2010).
Di beberapa daerah pedesaan dan di daerah pegunungan yang terpencil,
banyak orang yang menderitan kekurangan gizi karena GAKI. Selain itu, dalam
masyarakat dimana petanian merupakan kegiatan utama, produktivitas ternak juga
menurun akibat pakan dan air minumnya kekurangan yodium. Dampak dari hal
ini akan sampai pada kondisi pangan dan gizi masyarakat itu sendiri (Anonim,
2011).
4. IMPLEMENTASI PROGRAM
Upaya fortifikasi bahan pangan adalah untuk memperkaya mutu gizi
bahan makanan tertentu dengan menambahkan zat gizi tertentu yang dibutuhkan
masyarakat yang menderita masalah gizi. Zat gizi tersebut untuk Indonesia adalah
zat yodium, zat besi, dan vitamin A. Beberapa upaya perbaikan gizi yang
memerlukan dukungan fortifikasi adalah penanggulangan GAKY melalui
fortifikasi garam dengan yodium (iodisasi garam). Fortifikasi dilaksanakan
bekerja sama dengan dunia usaha terutama di sektor industri yang didukung oleh
sektor lainnya yang berkaitan.
Perhatian pertama diprioritaskan untuk mengatasi masalah kurang yodium
dengan memfortifikasinya pada garam. Sejak tahun 1994 melaui surat Keputusan
Presiden No.69 tahun 1994 yodisasi garam wajib menurut hukum di Indonesia.
Pada tahun 2003 delakukan evaluasi pelaksanaan wajib yodisasi garam dan
hasilnya menunjukkan hasil yang sangat nyata dimana pada awal tahun 1980-an
hanya 30% meningkat menjadi 73% (Minarto, 2010).
9
Sebenarnya pemerintah Belanda di tahun 1927, telah mengeluarkan
peraturan yang mengharuskan yodisasi garam bagi garam rakyat. Waktu itu garam
hanya dihasilkan oleh satu-satunya pabrik P.N. Garam di Madura. Berarti
keinginan untuk fortifikasi di Indonesia sudah ada sejak zaman Belanda, pada saat
teknologinya baru ditemukan di dunia barat. Sejak merdeka tahun 1945 dimana
garam tidak lagi monopoli P.N. Garam, peraturan itu tidak lagi dilaksanakan.
Hasil pembicaraan antar sektor tahun 1982 menghasilkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) 3 Menteri (Kesehatan, Perindustrian dan Perdagangan, dan
Dalam Negeri) tentang dimulainya upaya yodisasi garam rakyat. SKB ini tahun
1985 ditingkatkan menjadi SKB 4-Menteri dengan ditambah Menteri Pertanian
dan akhirnya di tingkatkan lagi menjadi Keputusan Presiden No.69 tahun 1994
tentang wajib Yodisasi Garam. Sejak itu yodisasi garam adalah wajib menurut
hukum di Indonesia (Depkes, 2004).
Pelaksanaan fortifikasi garam beryodium merupakan upaya terpadu
berbagai sektor dengan dukungan peran serta masyarakat dan dunia usaha.
Sementara itu, melanjutkan upaya lain untuk penanggulangan GAKY, seperti
pemberian kapsul yodium, yodisasi air minum, dan cara lain yang efektif dan
efisien sesuai dengan perkembangan IPTEK.
Dalam prakteknya ada 2 jenis fortifikasi, yaitu fortifikasi sukarela dimana
program fortifikasi dilakukan atas inisiatif pengusaha atau produen tanpa
diwajibkan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah. Tujuannya adalah
untuk meningkatakan nilai jual serta menarik konsumen lebih banyak dan bukan
untuk memperbaiki gizi masyarakat. Sedangkan fortifikasi wajib adalah fortifikasi
yang diatur oleh undang-undang dan peraturan pemerintah dengan tujuan utama
mengatasi masalah kekurrangan zat gizi mikro. Sehingga sasaran utama program
ini adalah bagi masyarakat miskin serta masyarakat secara umum. Program ini
merupakan tanggung jawab pemerintah bekerja sama dengan beberapa industri
yang terkait dengan jenis pangan yang difortifikasi (Food Review, 2008).
Pelaksanaan penanggulangan GAKY di daerah meliputi:
- Menyiapkan kebijakan tentang penanggulangan GAKY mulai dari
aspek produksi, distribusi, dan konsumsi garam beryodium.
- Mendorong produsen garam untuk melakukan fortifikasi garam
10
- Penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat untuk mengonsumsi
garam beryodium.
- Mendorong ketersediaan garam beryodium yang memenuhi
persyaratan SNI melalui produksi dan/atau peredaran sampai ke
seluruh pelosok wilayah kabupaten/kota.
- Mendorong produsen garam untuk melakukan pengolahan garam
beryodium
- Pembinaan terhadap petani garam, produsen, pedangang gram, serta
industri garam.
- Pengawasan terhadap garam, produsen, pedangang garam, serta
industri garam.
- Pengawasan terhadap garam yang bersedar di pasar
- Pelarangan garam tidak beryodium dan garam beryodium yang tidak
memenuhi SNI.
Dalam melaksanakan penanggulangan GAKY maka pemerintah
membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan GAKY di kabupaten/kota. Dalam
melakukan penyusunan perencanaan penanggulangan GAKY pemerintah daerah
dapat mengikutsertakan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam hal ini dapat
melaporakan program dan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana
penanggulangan GAKY yang telah ditetapkan kepada bupati/walikota atau camat
atau kepala desa/lurah (Mendagri,2010).
5. TEMUAN DI MASYARAKAT
Pada kenyataanya, hasil dari berbagai survey tentang kondisi gizi di
masyarakat masih menujukkan adanya suatu segmen populasi tertentu yang
mengalami kelaparan gizi mikro. Mereka itu terutama terdiri dari anak-anak usia
sekolah, golongan tua, wanita mengandung dan menyusui. Gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY) yang antara lain dapat menyebabkan penyakit
gondok dan kretinisme. Menurut Azwar dalam Tempo (2006) selama ini
pemerintah sudah berupaya menerapkan program peningkatan konsumsi garam
beryodium. Program ini sebetulnya sudah dilaksanakan sejak 1977, namun hingga
kini selalu dihadapkan pada permasalahan produsen atau distributor yang
11
memasarkan garam tak beryodium. Hal ini diperparah oleh mayoritas konsumen
yang ternyata tidak peduli terhadap produk garam beryodium.
Meskpun kampanye konsumsi yodium telah dilaksanakan namun, peyakit
gondok akibat kurang yodium masih endemis di wilayah gunung vulkanik.
Berdasarkan hasil penelitian tim peneliti yang melakukan riset di sekitar Gunung
Merapi dan Lawu yakni Magelang dan Wonogiri terungkap bahwa penyakit
gondok dan IQ rendah (intelektualitas rendah) masih mengancam masyarakat
sekitar. Sebanyak 23% responden yang diteliti masih mengidap penyakit gondok.
Sementara itu, sebanyak 40% ber-IQ rendah. Ini menunjukkan bahwa konsumsi
yodium di masyarakat sekitar wilayah gunung berapi masih memprihatinkan.
Sekitar 400 gunung berapi di Indonesia tersebar ke seluruh wilayah kepulauan.
Hal tersebut sangat mengkhawatirkan apabila wilayah gunung berapi yang
biasanya terpencil dan jauh dari pusat kota ternyata masyarakatnya masih jauh
dari sntuhan perbaikan. Tidak hanya minimnya pembangunan infrastruktur di
wilayah itu, akses untuk mendapatkan kesempatan hidup yang lebih layak pun
masih jauh dari kenyataan (Sindo, 2008).
Tujuh kecamatan di kabupaten Jember berpotensi endemis penyakit
gondok karena konsumsi garam di daerah setempat sangat rendah dengan total
goiter rate (TGR) 30%. Tujuh kecamatan tersebut yaitu kecamatan Arjasa,
Pakusari, Jelbuk, Kalisat, Ledokombo, Sumberjambe, dan Silo. Total Goiter Rate
di Jember masih rendah yakni 23,57%, sedangkan TGR Jawa Timur 245%,
sehingga perlu penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya konsumsi
garam beryodium (Antaranews, 2011).
Seluruh kecamatan di Kabupaten Magelang menjadi daerah endemik
GAKY. Tiga belas kecamatan endemik berat, tujuh sedang, dan satu ringan. Tiga
belas kecamatan tersebut adalah Salam, Muntilan, Ngluwar, Srumbung, Dukun,
Sawangan, Grabag, Kaliangkrik, Windusari, Kajoran, Ngablak, Tegalrejo, dan
Candimulyo. Sedangkan 7 kecamatan endemik sedang adalah Pakis, Secang,
Bandongan, Tempuran, Mertoyudan, Salaman, dan Borobudur. Hanya kecamatan
Mungkid yang dinyatakan sebagai daerah endemik ringan. Pemantauan garam
beryodium di Magelang dilaksanakan secara periodeik tiga bulan sekalii. Sejak
1985 hingga 2001, dilaporkan garam yang beredar di pasaran dan memenuhi
12
syarat hanya 10,52% sampai 70%. Zat yodium salah satu elektrolit yang berkaitan
erat dengan lingkungan, yaitu tanah dan air. Karena keadaan dan kondisi alam
Kabupaten Magelang hampir tidak ada kandungan zat yodium dalam air, sehingga
fortifikasi gram sangat diperlukan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya
GAKY (Suara Merdeka, 2003).
Angka kelulusan SD/MI di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang
rendah yang diduga berkaitan dengan stigma wilayah tersebut sebagai daerah
endemis kekurangan yodium. Data di Kabupaten Magelang menunjukkan 1.715
penderita GAKY, dan 30% di antaranya adalah warga Kecamatan Srumbung. Ini
artinya sangat dibutuhkan peran pemerintah dalam menanggulangi masalah
tersebut (Suara Merdeka, 2005).
Lembaga PBB Urusan Anak-anak (Unicef) terlibat aktif membantu
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam melakukan
iodisasi garam rakyat yang tidak terserap industri garam yodium melalui 100 unit
handspray untuk kelancaran program iodisasi garam. Handspray itu digunakan
untuk menyemprotkan zat KIO3 ke dalam garam rakyat, sehingga mengandung
iodisasi atau membentuk garam yodium. Ia mengatakan, pemerintah tengah
mengupayakan semua garam rakyat harus teriodisasi sebelum dikonsumsi
masyarakat. Sehingga garam rakyat yang tidak terserap industri, langsung
diiodisasi di ladang atau di gudang penyimpanan (tv one news, 2010).
Pada 7 Nopember 2009, Pemprov NTB mencanangkan gerakan konsumsi
garam beryodium generik demi pencapaian target 90 persen cakupan konsumsi
garam iodisasi pada tahun 2010. Pencanangan gerakan konsumsi garam
beryodium generik yang terpusat di Kabupaten Lombok Timur, itu juga didukung
oleh Unicef. Garam beryodium generik merupakan garam rakyat yang tidak
diserap industri sehingga diiodisasi langsung di ladang dan di gudang
penyimpanan agar menjadi garam beryodium. Setelah diyodisasi, dikemas dalam
karung berlabel garam beryodium generik mengandung 40 PPM Kalium Yodat.
Selanjutnya garam beriodium generik itu dipasarkan hingga ke pelosok desa
disertai pengawasan terhadap implementasi berbagai regulasi yang mengatur
tentang garam beryodium. Cakupan konsumsi garam beryodium di wilayah NTB
masih sangat mengkhawatirkan. Data versi Badan Pusat Stastistik (BPS), sampai
13
tahun 2008 (data acuan sekarang), cakupan konsumsi garam yodium pada tingkat
rumah tangga di wilayah NTB, baru 36,54 persen atau belum setengah dari target
program pemerintah daerah (propeda). Meskipun, dalam lima tahun terakhir ini
terjadi peningkatan konsumsi garam yodium yang cukup signifikan yakni
meningkat dari 21,45 persen di tahun 2003 menjadi 30,39 persen di tahun 2006
dan meningkat menjadi 34 persen di tahun 2007 dan 36,5 persen di tahun 2008.
Diperkirakan di tahun 2009 telah mencapai 40 persen, namun masih jauh dari
target yang harus dicapai di akhir tahun 2010. Secara nasional rata-rata cakupan
konsumsi garam yodium pada tingkat rumah tangga di wilayah NTB baru
mencapai 64,3 persen, padahal di akhir tahun 2010 harus mencapai 90 persen.
Pencanangan gerakan konsumsi garam beryodium generik itu merupakan salah
satu strategi lain yang dikembangkan untuk meningkatkan cakupan konsumsi
garam yang dikehendaki (tv one news, 2010).
6. EVALUASI
Pemerintah perlu menaruh perhatian yang besar terhadap upaya
penanggulangan masalah GAKY mengingat dampak negatifnya terhadap
perkembangan kecerdasan dan mental anak. Untuk itu diadakan pengaturan
keharusan untuk menambahkan zat yodium pada garam (iodisasi garam) untuk
konsumsi. Demikian pula, kegiatan penyuluhan, pengawasan umum, penindakan
hukum atas pemalsuan mutu garam beryodium makin ditingkatkan. Lokasi
penderita GAKY umumnya tersebar di daerah terpencil, tanggung dari
pelaksanaan iodisasi garam diserahkan kepada pemerintah daerah (Anonim,2011).
Masalah penggunaan garam beryodium di masyarakat antara lain karena
belum optimalnya penggerakan masyarakat dan kampanye dalam mengkonsumsi
garam beryodium, serta dukungan regulasi yang belum memadai. Disamping itu
masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam beryodium di
masyarakat secara terus menerus. Peningkatan konsumsi garam beryodium terus
dilaksanakan walaupun hasilnya belum menggembirakan. Hal ini disebabkan oleh
masih banyaknya garam yang tidak beryodium beredar di daerah-daerah gondok
endemik. Selain itu banyak beredar garam beryodium dengan kadar yang tidak
sesuai dengan standar. Data Riskesdas (2007) menunjukkan masalah rendahnya
konsumsi garam beryodium cukup (>30ppm) di rumah tangga adalah hanya
14
62,3% , antara lain karena belum optimalnya penggerakan masyarakat, kurangnya
kampanye konsumsi garam beryodium, dan dukungan regulasi yang belum
memadai. Masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam
beryodium di masyarakat (Bappenas, 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi wanita terhadap gondok
pada umumnya keliru. Anggapan yang ada pada mereka, gondok bukanlah suatu
penyakit, karena tidak mengganggu dan mematikan. Perspesi yang keliru tersebut
menyebabkan mereka untuk tidak melakukan tindakan pencegahan agar dapat
mengantisipasi kekurangan iodium pada mereka. Pada umumnya mereka
mengkonsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik, dan rendah
mengkonsumsi pangan yang bergizi serta kaya kandungan ioditunnya. Perilaku
konsumsi garam mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian gondok
(Soeharyo, 1997).
7. FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM DI NEGARA LAIN
Di seluruh dunia, kekurangan yodium mengenai 2 milyar oarng dan
merupakan penyebab utama keterbelakangan mental. Di Kazakhstan, sebuah
negara di Asia Tengah di mana persedian makanan lokal jarang mengandung
yodium yang cukup, telah secara drastis mengurangi kekurangan yodium melalui
program iodisasi garam. Kampanye oleh pemerintah dan perusahaan terkait untuk
mendidik masyarakat tentang manfaat garam beryodium mulai pada pertengahan
tahun 1990, dan iodisasi garam dalam makanan menjadi wajib pada tahun 2002.
Di Amerika Serikat, pada awal abad 20, gondok terutama terjadi di wilayah
sekitar Great Lakes dan Pasifik Barat. Pada tanggal 1 Mei 1924 garam beryodium
mulai dijual secara komersial di Michigan. Soekirman (2006) menyatakan bahwa
fortifikasi terbukti telah berjasa mengatasi masalah kekurangan gizi mikro di
Eropa, Amerika Utara, dan di Amerika Latin. Amerika Serikat merupakan negara
pertama yang melaksanakan fortifikasi, yaitu pada tahun 1920 dengan
dikeluarkannya peraturan tentang fortifikasi garam dengan zat yodium. Program
fortifikasi tersebut bertujuan untuk menanggulangi maslah GAKY. Di Afrika
Selatan, pemerintahnya menginstruksikan bahwa semua garam yang dijual harus
mengandung yodium setelah 1 Desember 1995 (Wikipedia, 2011).
15