Filariasis
-
Upload
mia-bunga-nenkz -
Category
Documents
-
view
224 -
download
1
Transcript of Filariasis
Blok 11
HEMATOPOETIK DAN LIMFORETIKULER
Tugas Referat
“FILARIASIS”
Oleh :
MOH. ARIF KURNIAWAN T
H1A 010 026
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Nusa Tenggara Barat
2012
FILARIASIS
PENDAHULUAN
Filariasis adalah Infestasi dari filarial, dimana filarial adalah cacing nematode dari
superfamilia filariodea1. Familia yang penting dalam superfamilia ini adalah Dipetalonematidae
yang meliputi berbagai spesies yang hidup dalam jaringan limfoid, jaringan dan juga rongga
tubuh. Spesies yang hidup dalam jaringan limfoid adalah Wuchereria bancrofti, Brugia Malayi,
Brugia timor, sedangkan yang hidup dalam jaringan adalah Loa loa, dan Onchocerca volvulus,
dan yang hidup dalam rongga badan adalah Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, dan
Mansonella streptocerca (hidup di kulit atau subkutan).2
Kekebalan alami atau yang didapat pada manusia terhadap infeksi filarial belum
diketahui banyak. Cacing filaria mempunyai antigen yang spesifik untuk spesies dan spesifik
untuk kelompok; memberi reaksi silang antara berbagai spesies dan nematode lainnya.
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh superfamilia filariodea, berikut daftar nama dan penyakit
yang ditimbulkan oleh parasite tersebut:
a. Wuchereria bancrofti, adalah penyebab dari Bancroftian filariasis yang menimbulkan
kelainan limfopatologik seperti elephantiasis. Cacing ini ditularkan oleh nyamuk
Anopheles sp, Culex sp dan Aedes sp.2
b. Brugia Malayi,merupakan penyebab Malayan filariasis yang menimbulkan penyakit
dengan gejala menyerupai Bancroftian filariasis. Cacing ini ditularkan melalui Mansonia
sp, Aedes sp dan Anopheles sp.2
c. Brugia timor adalah penyebab Timorian filariasis yang ditularkan melalui Anopheles sp.
Gejala menyerupai Bancroftian filariasis. 2
d. Loa loa, yang ditularkan melalui Chrysops atau deerfly menyebabkan penyakit khas yang
dinamakan loasis atau Calabar swelling. Gejala yang ditimbulkan berupa bengkak pada
kulit, lesi pada mata, manifestasi alergi lainnya. 2
1
e. Onchocerca volvulus, sering dinamakan Blinding filariaI, yang menyebabkan kebutaan,
cacing ini juga dapat menimbulkan kelainan kulit yang menyebabkan perubahan bentuk
wajah penderita. Cacing ini ditularkan terutama oleh Simulium sp atau Blackflies.2
f. Mansonella ozzardi, menyebabkan penyakit yang dinamakan ,mansonellosis yang
dianggap ada kaitannya dengan adanya perdangan sendi( arthritis). Cacing ini ditularkan
melalui Simulium sp atau Culicoides.2
g. Mansonella perstans, ditularkan melalui Culicoides dapat menimbulkan sindrom alergi
yang khas
h. Mansonella streptocerca, penyebab streptocerciasis yang menimbulkan kelainan kulit
tetapi tanpa menimbulkan kebutaan atau elephantiasis
EPIDEMIOLOGI
Umumnya penyakit filariasis yang sering terjadi adalah yang diakibatkan oleh
Wuchereria bancrofti. Yang memiliki prevalensi di afrika bagian ekuator, subbenua india, Asia
Tenggara dan Amerika Tengah dan Selatan.3
Prevalensi dari mikrofilaria meningkat bersama dengan umur pada anak-anak dan
meningkat antara usia 20-30 tahun. Pada saat usia pertumbuhan, serta lebih tinggi pada laki-laki
daripada perempuan.4
PATOGENESIS
Lingkaran hidup filarial meliputi, (1) pengisapan mikrofilaria dari darah atau jaringan
oleh seranggap penghisap darah, (2) Metamorfosis mikrofilaria di dalam hospes perantara
serangga, dimana mula-mula membentuk larva rabditiform lalu membentuk larva filariform yang
aktif, (3) penularan larva infektif ke dalam kulit hospes baru, melalui probosis serangga yang
menggigit, dan kemudian pertumbuhan larva setelah masuk ke dalam luka gigitan sehingga
menjadi cacing dewasa.4
Tubuh yang sudah terinfeksi dari cacing filaria akan menyerang organ tertentu sesuai
dengan daerah predarannya. Jadi telah dikenal 3 bentuk daerah utama parasite menginfeksi
manusia, bisa pada limfatik yang akan berdampak pada system saluran limfenya, onkoserkiasis
2
yang akan menginfeksi sekitar bagian wajah dan bahkan dapat menimbulkan kebutaan, Loiasis
daerah tempat infeksi yang berada dalam jaringan.
Biasanya mikrofilaria dapat hidup hingga 3bulan-3 tahun, sedangkan parasite dewasa
bisa hidup hingga beberapa tahun.3
DIAGNOSIS
Pengujian yang dilakukan terhadap pasien adalah usaha untuk menemukan atau memperoleh
jaringan atau cairan tubuh untuk mendeteksi langsung organisme pathogen untuk membuktikan
ada tidaknya infeksi. Hasil dari pengujian ini sangat penting untuk memandu pemilihan
antibiotic untuk terapi dan sasaran yang tepat.5
Cacing dewasa sulit untuk ditemukan, sehingga yang paling mudah digunakan untuk
menegakan diagnosa adalah larvanya yang disebut sebagai mikrofilaria. Yang digunakan untuk
mendeteksi mikrofilaria di dalam darah adalah2:
a. Ada tidaknya selubung(Sheath) pada mikrofilaria tadi, spesies yang memiliki sheath
adalah Wuchereria brancrofti, Brugia sp dan Loa loa, sedangkan yang tidak memiliki
sheath adalah, Onchocerca volvulus dan Mansonella sp.
b. Jumlah dan penyebaran body nuclei( nucleus yang banyak ditemukan pada bagian tubuh
mikrofilaria, serta letak dari body nuclei tadi berjajar atau berkelompok
c. Ada tidaknya serta ukuran cephalic space yaitu rongga yang terdapat pada di bagian
anterior tubuh yang tidak tertutupi oleh body nuclei
d. Adanya bagian yang dinamakan inner body yaitu bagian tubuh yang pada perwarnaannya
Nampak lebih berwarna merah
e. Letak dari nerve ring, excretory apparatus dan anus
f. Letak dan ukuran genital cell( g sell)
Ciri khas dari kehidupan cacing terutama mikrofilarianya adalah periodisitas densitas
mikrofilaria dalam darah yang mempunyai gambaran tertentu selama 24 jam atau dengan
3
katas lain mikrofilaria muncul pada sel darah tepi pada jumlah banyak pada waktu-waktu
tertentu.2
Sesuai dengan periodisitas mikrofilaria dikenal beberapa strain pada spesies ini, yaitu2:
a. Strain Nonperiodic. Mikrofilaria strain ini selalu ada dalam jumlah tetap di darah tepi(
Mansonella perstant, Dirofilaria witei pada burung dan Brugia patei di pulau pate)
b. Strain Subperiodic. Mikrofilaria strain ini selalu ada dalam darah tepi, namun pada saat-
saat tertentu jumlahnya bisa meningkat dari biasanya.
Strain nocturnal subperiodic. Mikrofilaria selalu ada dalam darah tepi, namun
jumlahnya bertambah pada malam hari (Wuchereria bancrofti di Thailand dan
Filipina, Brugia malayi dan Brugia pahagi pada kera)
Strain diurnal subperiodic. Mikrofilaria selalu ada di dalam darah tepi, tetapi
jumlah bertambah pada siang hari(Wuchereria bancrofti di pasifik, Brugia
pahagi pada kera)
c. Strain Periodic. Pada saat tertentu saja mikrofilaria ini dapat ditemukan pada sel darah
tepi.
Strain nocturnal periodic. Bila mikrofilarianya ditemukan banyak di darah tepi
pada malam hari (Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia patei, Dirofilaria
aethiops pada kera Loa loa pada Baboon)
Strain diurnal periodic. Bils mikrofilarianya ditemukan banyak di darah tepi pada
siang hari ( Loa loa pada manusia)
4
PENATALAKSANAAN
Untuk pengobatan dari Filariasis Limfatik(LF) berdasarkan recomendasi WHO mendapat
terapi kombinasi dengan albendazol atau dietilkarbmazin dan dimulai sebelum obstruksi
limfatik.6
Albendazol(oral tablet 200mg, suspensi 100 mg/5mL)7 dimasukan dalam program untuk
mengendalikan filariasis limfatik, tetapi tampaknya kurang untuk mengendalikan infeksi
penyakit tersebut ketimbang dietilkarbamazin atau ivermektin.
Benzimidazol diperkirakan berkerja melawan nematode dengan menghambat sintesis
mikrotubulus. Albendazol juga memiliki efek larva sidal pada penyakit hidatid, sistim serkosis,
askariasis, dan infeksi cacing tambang, serta efek ovisidal pada askariasis, ankilostomiasis dan
trikuriasis.6-7
Reaksi simpang ketika pengunaan albendazol dapat berupa distres epigastrium yang
ringan dan transien, diare, nyeri kepala, mual, pusing, kelelahan, dan insomnia. Namun
pengunaan dalam 1-3 hari efek simpang kurang bermakna. Efek samping baru bisa terlihat pada
pada penggunaan jangka panjang. Selama terapi jangka panjang pemeriksaan hitung darah dan
fungsi hati harus dipantau. Obat ini tidak dianjurkan untuk penderita sirosis hati dan
hipersensitifitas terhadap obat benzimidazol.7
Dietilkarbamazin sitrat berperan dalam mengimobilisasi mikrofilaria dan mengubah
struktur permukaannya, kemudian melepas mikrofilaria tersebut dari jaringan dan membuatnya
lebih rentan terhadap penghancuran oleh mekanisme pertahanan pejamu.
Pada W bancrofti dan B malayi diobati selama 2 minggu dengan obat dietilkarbamazin,
sedangkan untuk L loa selama 3 minggu.7 dengan dosis awal yang kecil untuk mencegah reaksi
alergi sebagai akibat reaksi inflamasi dari mikrofilaria yang sekarat. Regimennya adalah 50 mg
( 1mg/kg pada anak) pada hari ke-1, tiga kali dosis 50 mg pada hari ke-2, 3 kali dosis 100mg
(2mg/kg pada anak) pada hari ke-3. Dan kemudian berikan 2 mg/kg tiga kali sehari untuk
menyelesaikan rangkaian terapi selama 2-3 minggu.7
5
Dapat juga diberikan antihistamin selama beberapa hari terapi untuk membatasi reaksi
alergi. Bisa diberikan kortikosteroid dengan dosis dietilkarbamazin diturunkan atau dihentikan
jika terjadi reaksi alergi berat.
Obat ini dapat digunakan juga untuk kemoprofilaksis dengan dosis 300 mg tiap minggu
atau 300 mg tiga hari berturut-turut setiap bulannya pada loiasis, 50 mg tiap bulan pada filariasis
Malaya dan bankrofti.
Reaksi simpang terhadap dietilkarbamazin yang umumnya ringan dan selintas meliputi,
nyeri kepala, malaise, anoreksia, kelemahan, mual, muntah dan pusing. Reaksi simpang akibat
dari cacing yang sekarat juga bisa terjadi. Pada penyakit berupa onkosersiasis dietilkarbamazin
tidak lagi digunakan karena efektifitasnya kurang baik dibandingkan ivermektin, sehingga
ivermektin jauh lebih dipilih. Selain itu juga efek toksisitasnya menjadi salah satu bahan
pertimbangan.7
Ivermektin merupkan pilihan obat untuk strongiloidiasis dan onkosersiasis, dan
merupakan obat alternative untuk infeksi cacing lainnya. Mekanisme kerja obat ini dengan cara
memperkuat penyampaian sinyal berperantara-asam-γ-aminobutirat(GABA) pada saraf perifer.
Untuk penyakit onkosersiasis, ivermektin berperan sebagai mikrofilariasidal. Obat ini efektif
untuk memblokade pelepasan mikrofilaria selama beberapa bulan pascaterapi. Setelah pemberian
beberapa dosis standar, mikrofilaria dalam kulit menghilang dalam 2-3 hari.6-7
Untuk onkosersiasis terapi dilakukan dengan mengunakan ivermektin dosis tunggal 150
mcg/kg yang diminum dengan air pada kondisi lambung kosong. Obat kemudian diberikan
berulang dengan regimen yang bervariasi, mulai dari jadwal pemberian bulanan hingga lebih
jarang. Pascaterapi akut, terapi diulang dengan interval 12 bulan sampai cacing dewasa mati,
yang membutuhkan masa sekitar 10 tahun atau lebih lama. Pasien dengan mikrofilaria dalam
kornea atau camera oculi anterior dapat diobati dengan kortikosteroid hanya pada terapi
ivermektin pertama untuk menghindari reaksi peradangan mata.
Untuk penyakit strongiloidiasis, terapinya meliputi dua dosis harian sebesar 200 mcg/kg.
Pada pasien luluh imun dengan infeksi desiminata, seringkali dibutuhkan terapi berulang tetapi
penyembuhannya tidak tercapai.7
6
Efek samping, biasa muncul pada penyakit strongiloidiasis yang berupa kelelahan,
pusing, mual, muntah, nyeri, abdomen, ruam. Sedangkan untuk onkosersiasis, efek simpangnya
berasal dari reaksi Mazotti akibat penghancuran mikrofilaria. Reaksi ini meliputi demam, nyeri
kepala, pusing, somnolen, kelemahan, ruam, pruritus yang meningkat intensitasnya, diare, nyeri
sendi dan otot, hipotensi, takikardia, limfadenitis, limfangitis, dan edema perifer. Dimana reaksi
ini dimulai pada hari pertama terapi dan memuncak pada hari kedua.7 Untuk ini kortikosteroid
diindikasikan untuk mengatasi reaksi Mazotti.
Obat ini sebaiknya jangan diberikan dengan obat-obatan yang meningkatkan aktivitas
GABA, misalnya barbiturate, benzodiazepine, dan asam valproate. Obat ini sebaiknya jangan
diberikan pada wanita hamil, sedangkan pada anak-anak dibawah 5 tahun belum ditetapkan.7
PENUTUP
Filariasis adalah nematode seperti benang yang dapat menyebabkan morbiditas manusia
yang berarti. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi ini biasanya nyata bertahun-tahun sesudah
pajanan. Infeksi filariasis dapat kita cegah dengan melakukan pengendalian terhadap vector,
lasio penolak serangga dan pengunaan kelambu atau jaring nyamuk.
7
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson DM, Kamus Kedokteran Dorland, ed 29, Jakarta: EGC, 2002: 833-834
2. Sandjaja B, Parasitologi Kedokteran Helminthologi Kedokteran Buku 2, Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2007: 145-148
3. Mandal, BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, & Mayon-White RT, Lecture Note Penyakit
Infeksi, ed 6, Jakarta: Erlangga, 2006: 292-293
4. Sudoyo AW, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006:
2931-2936
5. Gomella LG, Haist SA, Buku Saku Dokter, Jakarta:EGC, 2011:147
6. Brunton L, Blumenthal D, Keith P, Iain B, Goodman & Gilman Manual Farmakologi
Terapi, Jakarta:EGC, 2011: 659-660; 661-669.
7. Katzung, BG. Farmakologi Dasar & Klinik, ed 10. Jakarta: EGC, 2010: 895-899
8