hubungan Perilaku (Hidup) Sehat Masyarakat Terhadap Timbulnya Kejadian Demam Berdarah
faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...
Transcript of faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam ...
i
TESIS
FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK SYNDROME
PADA PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE YANG
DIRAWAT INAP DI RSUD WANGAYA KOTA DENPASAR
I MADE SUGANDA YATRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
TESIS
FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK SYNDROME
PADA PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE YANG
DIRAWAT INAP DI RSUD WANGAYA KOTA DENPASAR
I MADE SUGANDA YATRA
NIM. 1392161033
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK SYNDROME
PADA PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE YANG
DIRAWAT INAP DI RSUD WANGAYA KOTA DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I MADE SUGANDA YATRA
NIM. 1392161033
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 8 JULI 2015
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. dr. G.N. Indraguna Pinatih, M.Sc, Akp. Sp.GK
NIP. 195805211985031002
dr. I Wayan Gede Artawan Eka P., M.Epid
NIP. 198104042006041005
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH
NIP. 194810101977021001
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP. 195902151985102001
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji
Tanggal 8 Juli 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor pada
Universitas Udayana, No : 2024/UN14.4/HK/2015 Tanggal 7 Juli 2015
Ketua : Dr. dr. G.N. Indraguna Pinatih, M.Sc, Akp. Sp.GK
Anggota :
1. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid
2. Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH
3. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, MSi
4. dr. I Made Ady Wirawan, MPH, PhD
v
SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIAT
Nama : I Made Suganda Yatra
NIM : 1392161033
Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul : FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK
SYNDROME PADA PASIEN DEMAM BERDARAH
DENGUE YANG DIRAWAT INAP DI RSUD
WANGAYA KOTA DENPASAR
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas
plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini,
maka saya bersedia menerima sangsi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun
2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, Juli 2015
Yang membuat pernyataan,
I Made Suganda Yatra
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Perkenankanlah pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebsesar-besarnya kepada Dr. dr. G.N. Indraguna Pinatih, M.Sc, Akp. Sp.GK,
sebagai pembimbing I yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan
motivasi. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada dr. I Wayan
Gede Artawan Eka Putra, M.Epid, sebagai pembimbing II yang dengan penuh
perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.
Ucapan yang sama pula penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program
Pascasarjana di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan
kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
sebagai mahasiswa Program Pascasarjana di Universitas Udayana. Pada kesempatan
ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Prof. dr. D.N. Wirawan, MPH,
Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, MSi, dr. I Made Ady Wirawan, MPH, PhD.
selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan dan, saran. Penulis ingin juga
pada kesempatan ini menyampaikan ucapan terima kasih kepada anakku tercinta
Susmitha Sundari yang selalu memberiku semangat dan kasih sayang yang dalam
untuknya serta terima kasih pada teman teman MIKM V yang saling memberikan
dukungan.
Semoga Ida sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.
Penulis,
vii
ABSTRAK
FAKTOR RISIKO KEJADIAN DENGUE SHOCK SYNDROME PADA
PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE YANG IRAWAT INAP
DI RSUD WANGAYA KOTA DENPASAR
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular
yang masih menjadi masalah kesehatan di Provinsi Bali termasuk di Kota Denpasar.
Dalam satu tahun terakhir telah terjadi angka kesakitan DBD sebesar 217,72/100.000
yang sebagian besar kasus DBD di Kota Denpasar dirawat di RSUD Wangaya.
Kematian karena penyakit DBD di Kota Denpasar juga selalu ada setiap tahun.
Kewaspadaan dini terhadap syok membuat rasa ingin tahu peneliti untuk mengetahui
hubungan faktor risiko yaitu umur, jenis kelamin, lama demam sebelum MRS,
riwayat infeksi DBD sebelumnya, jaminan kesehatan, kelas perawatan, peningkatan
hematokrit, penurunan trombosit dengan terjadinya Dengue Shock Syndrome (DSS).
Faktor risiko tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi penegakkan diagnosis
dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat.
Desain penelitian ini adalah penelitian kasus kontrol. Kasus yaitu pasien yang
didiagnosa DSS bertempat tinggal di Kota Denpasar dan berdasarkan hasil
konfirmasi laboratorium. Sedangkan kontrol adalah semua pasien DBD bertempat
tinggal di Kota Denpasar yang dirawat inap namun tidak mengalami kejadian DSS.
Data subjek penelitian diambil dari data rekam medik RSUD Wangaya selama tahun
2013-2014. Analisis secara bivariat dan multivariat dengan ukuran asosiasi dari nilai
Odds Ratio (OR) untuk mengetahui pengaruh faktor risiko terhadap kejadian DSS.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui variabel yang bermakna sebagai faktor
yang meningkatkan risiko kejadian DSS pada penderita DBD adalah umur <15 tahun
dengan OR sebesar 2,5 (95%CI= 0,94-6,88), riwayat pernah infeksi DBD diperoleh
OR= 11,6 (95%CI= 1,83-73,96), lama demam sebelum MRS ≥4 hari OR= 5,5
(95%CI= 2,03-14,96), trombosit MRS <50/cm3 OR= 5,2 (95%CI= 1,88-14,36),
hematokrit MRS ≥42% OR= 2,8 (95%CI= 1,02-7,68), dan perawatan kelas III OR=
2,9 (95%CI= 1,01-8,29). Sedangkan variabel jenis kelamin tidak terbukti
meningkatkan risiko kejadian DSS.
Meningkatkan promosi kesehatan dalam upaya mencegah dan mengendalikan
DSS, perlu lebih waspada jika ada pederita yang pernah terinfeksi DBD sebelumnya
dan agar tidak sampai terlambat berobat ke pelayanan kesehatan atau rumah sakit.
Kata kunci: Faktor risiko, DSS, DBD
viii
ABSTRACT
RISK FACTORS FOR DENGUE SHOCK SYNDROME
EVENTS IN THE DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER PATIENS
IN WANGAYA HOSPITAL DENPASAR CITY
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is an infectious disease remains a health
problem in Bali Province including in Denpasar City. In the last years there have
been dengue morbidity rate amounted to 217,72/100.000 and the majority of dengue
cases treated in Wangaya Hospital Denpasar City. The dengue mortality in Denpasar
is also always there every year. The clinical manifestations are highly variabel,
complex pathogenicity, and the presence of different areas, make us difficult to
predict the course of the dengue disease moreover assess the occurrence of Dengue
Shock Syndrome (DSS). Early precountions against shock make the curiosity of
researchers to investigate the relationship risk factors of age, sex, duration of fever
before entering hospital, a history of previous dengue infection, health insurance,
nursing class, increased hematocrit, decreased platelet with the DSS. The risk factor
is very important for the diagnosis and beneficial to public health.
The research design is a case-control study. Cases in which patients were
diagnosed with DSS risiding in Denpasar and based on the results of laboratory
confirmation. While the controls are all dengue patients residing in Denpasar who
hospitalized and diagnosed as DHF but no DSS events by the clinicans. Data subjects
were collected from medical record are treated in Wangaya Hospital during 2013-
2014. Univariate and multivariate analysis with the value Odds Ratio (OR) to
determine the effect of risk factors on the incidence of DSS.
The results shows, significant variables as factors that increase the risk of
DSS events in patients with DHF were age <15 years with an OR= 2.5 (95%CI=
0,94-6,88), a history of previous dengue infection OR= 11.6 (95%CI= 1.83-73.96),
duration of fever before entering hospital ≥4 days OR= 5.5 (95%CI= 2.03-14.96),
platelet admission <50/cm3 OR= 5.2 (95%CI= 1.88-14.36), hematocrit admission
≥42% OR= 2.8 (95%CI= 1.02-7.68), and Class III treatment OR= 2.9 (95%CI= 1.01-
8.29). While gender variable is not shown to increase the risk factor of DSS.
Health promotion improvement to prevent and control DSS, it is need to be
more vigilant if there are people who ever infected with dengue and so it was not
until late medical treatment or hospital services.
Keywords: Risk factor, DSS, DHF
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM................................. . ................................................................. i
PRASYARAT GELAR .......................... .................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................... .................................................................. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS .............................................................. iv
SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIAT .......................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH .................. .................................................................. vi
ABSTRAK .............................................. .................................................................. vii
ABSTRACT.............................................. ............................................................... viii
DAFTAR ISI…. .................................... ……………………………..................... ix
DAFTAR GAMBAR .............................. .................................................................. xi
DAFTAR TABEL................................... .................................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN ........................ ................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................. .................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................ .................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian .............................. .................................................................. 7
1.4 Manfaat Penelitian ............................ .................................................................. 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Penyakit DBD ............ .................................................................. 10
2.2 Diagnosis DBD ................................. .................................................................. 12
2.3 Derajat Beratnya DBD/DSS ............. .................................................................. 14
2.4 Tatalaksana DBD/DSS ..................... .................................................................. 16
2.5 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian DSS .................................... 18
2.5.1 Umur ........................................ .................................................................. 19
2.5.2 Jenis Kelamin ........................... .................................................................. 20
2.5.3 Lama demam sebelum Masuk Rumah Sakit (MRS) .................................. 21
2.5.4 Riwayat infeksi DBD sebelumnya .............................................................. 23
2.5.5 Hematokrit ............................... .................................................................. 25
2.5.6 Trombosit ................................. .................................................................. 26
x
2.5.7 Kelas perawatan ....................... .................................................................. 27
2.5.8 Jaminan kesehatan ................... .................................................................. 28
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir............................. .................................................................. 29
3.2 Konsep Penelitian ............................. .................................................................. 31
3.3 Hipotesis Penelitian .......................... .................................................................. 31
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Disain Penelitian ............................... .................................................................. 33
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .......... .................................................................. 34
4.3 Definisi Kasus dan Kontrol............... .................................................................. 34
4.3.1 Definisi dan sumber kasus ....... .................................................................. 34
4.3.2 Definisi dan sumber Kontrol.... .................................................................. 34
4.4 Populasi dan Sampel ......................... .................................................................. 35
4.4.1 Populasi penelitian ................... .................................................................. 35
4.4.2 Besar sampel ............................ .................................................................. 35
4.4.3 Cara pengambilan sampel untuk mendapatkan faktor risiko ...................... 36
4.5 Identifikasi Variabel ......................... .................................................................. 38
4.6 Definisi Operasional Variabel .......... .................................................................. 39
4.7 Sumber, Metode dan Tehnik Pengumpulan Data ................................................ 41
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Tempat Penelitian............ .................................................................. 44
5.2 Karakteristik Sampel Penelitian........ .................................................................. 46
5.3 Penentuan Faktor Risiko Kejadian DSS pada Penderita DBD ............................ 46
5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko Kejadian DSS ............................................... 49
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Hubungan Variabel dengan Kejadian DSS .......................................................... 52
6.2 Keterbatasan Penelitian.................... .................................................................. 60
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan ........................................... .................................................................. 61
7.2 Saran ................................................ .................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ............................. .................................................................. 63
LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pola demam penyakit DBD .................................................................. 22
Gambar 2.2 Patogenesis Terjadinya Syok pada DBD ............................................... 24
Gambar 3.1 Konsep Modifikasi Segitiga Epidemiologi ........................................... 30
Gambar 3.2 Kerangka Konsep ................ .................................................................. 31
Gambar 4.1 Design Penelitian Case Control ............................................................. 33
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Hasil Analisis Bivariat Variabel Risiko Kejadian DSS pada
Penderita DBD yang Dirawat Inap di RSUD Wangaya Kota
Denpasar tahun 2013-2014 ...................................................................... 47
Tabel 5.2 Hasil Analisis Multivariat Variabel Risiko Kejadian DSS pada
Penderita DBD yang Dirawat Inap di RSUD Wangaya Kota
Denpasar tahun 2013-2014 ...................................................................... 50
xiii
DAFTAR SINGKATAN
Askes : Asuransi Kesehatan
CFR : Case Fatality Rate
CI : Cofidence Interval
DBD : Demam Berdarah Dengue
DD : Demam Dengue
Denv : Dengue Virus
dkk : Dengan Kawan-kawan
DHF : Dengue Haemoragic Fever
Dinkes : Dinas Kesehatan
DSS : Dengue Shock Syndrome
IQR : Inter Quartil Range
JKBM : Jaminan Kesehatan Bali Mandara
Kemenkes : Kementerian Kesehatan
KLB : Kejadian Luar Biasa
MRS : Masuk Rumah Sakit
OR : Odds Ratio
PCR : Polymerase Chain Reaction
PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk
RI : Republik Indonesia
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
US : United State
VIP : Very Important Person
WHO : World Health Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) selalu merupakan beban
masalah kesehatan masyarakat terutama ditemukan di daerah tropis dan sub-
tropis. DBD banyak ditemukan di wilayah urban dan semi-urban yang
diperkirakan menginfeksi 2,5 milyar sampai 3 milyar orang. Sepanjang perjalanan
penyakit dengue dilaporkan telah menyebar dilebih dari 100 negara di dunia.
Kejadian penyakit DBD semakin tinggi disertai dengan serangan yang lebih berat
(Guha-Sapir & Schimmer, 2005) (WHO, 2011).
Penyakit DBD telah dilaporkan pada permulaan tahun 992 SM di Cina,
namun baru pertama kali dilaporkan tahun 1653 di French West Indies
(Kepulauan Karibia). Serangan penyakit DBD pada tahun 1897 terjadi di
Australia, serta pada tahun 1931 dilaporkan di Italia dan Taiwan. Kejadian Luar
Biasa (KLB) dengue di Asia Tenggara pernah terjadi di tahun 1953 sampai 1954
yang ditemukan di Filipina. Setelah itu menyebar ke banyak negara yang
mencakup di dalam wilayah World Health Organization (WHO) South-East Asia
dan wilayah Western Pacific (WHO, 2011). WHO mencatat terhitung mulai tahun
1968 hingga tahun 2009, di kawasan Asia Tenggara dengan kasus DBD tertinggi
yaitu di Indonesia (Kemenkes RI, 2010a, WHO, 2011).
Di Indonesia, DBD menyebar semakin meningkat dan perjalanan
penyakitnya cepat yang berpotensi menimbulkan kematian dalam waktu singkat,
1
2
meskipun angka kematiannya dapat ditekan di bawah 1% (Kemenkes RI, 2011).
Penyakit DBD masuk dalam urutan kedua dari 10 besar penyakit yang dirawat
inap di rumah sakit pada tahun 2009 dengan 121.334 kasus dan 898 kematian.
Distribusi kasus DBD per kelompok umur dari tahun 1993 sampai 2009 terjadi
pergeseran dari kelompok kasus DBD yaitu kelompok umur <15 tahun adalah
yang terbesar, namun pada tahun 1999 sampai 2009 kelompok umur yang terbesar
yaitu ≥15 tahun. Persentase penderita laki-laki dan perempuan yaitu pada jenis
kelamin laki-laki (53,78%) dan jenis kelamin perempuan (46,23%) (Kemenkes
RI, 2010b). Berdasarkan data dari Kemenkes RI pada tahun 2013 tercatat 112.511
kasus dengan angka kesakitan DBD 45,85/100.000 penduduk dan 871 kematian
dengan angka kamatian atau Case Fatality Rate (CFR) sebesar 0,77% (Kemenkes
RI, 2013).
Provinsi Bali pada tahun 2010 sebagai provinsi dengan angka kesakitan
DBD tertinggi di Indonesia sebesar 323,12/100.000 penduduk. Pada tahun 2013,
Provinsi Bali kembali sebagai provinsi dengan angka kesakitan DBD tertinggi di
Indonesia yaitu 172,50/100.000 penduduk dengan angka kematian yaitu 0,08%
(Kemenkes RI, 2013). Laporan Dinas Kesehatan Propinsi Bali menyebutkan
jumlah kasus DBD terbanyak di Kota Denpasar diantara kabupaten lainnya dari
sembilan kabupaten/kota di Bali. Kota Denpasar merupakan daerah endemis
penyakit DBD karena setiap tahunnya ditemukan kasus DBD selama tiga tahun
berturut-turut atau lebih (Dinkes Provinsi Bali, 2013).
Angka kesakitan DBD di Kota Denpasar berfluktuasi secara beragam dari
tahun ke tahun. Angka kesakitan DBD di Kota Denpasar selama lima tahun
3
terakhir sebagai berikut : 784,86/100.000 penduduk (2010), 170,98/100.000
penduduk (2011), 132,83/100.000 penduduk (2012), 211,38/100.000 penduduk
(2013), dan 217,72/100.000 penduduk (2014) (Dinkes Kota Denpasar, 2014).
Angka kesakitan tersebut jauh melebihi standar nasional dari tahun 2010 sebesar
55/100.000 penduduk dan diturunkan setiap tahunnya sampai 51/100.000
penduduk pada tahun 2014 (Kemenkes RI, 2013). Kematian karena penyakit DBD
di Kota Denpasar juga selalu ada setiap tahun walaupun masih di bawah target
nasional (CFR <1%) dengan tren secara berfluktuatif, berturut-turut yaitu sebesar
0,54% (2010), 0,20% (2011), 0,29% (2012), 0,16% (2013), dan 0,38% (2014)
(Dinkes Kota Denpasar, 2014).
Kewaspadaan dini terhadap tanda-tanda syok pada penderita DBD sangat
penting oleh karena terjadinya kematian pada DSS 10 kali lebih besar
dibandingkan penderita DBD yang tanpa disertai syok (Kemenkes RI, 2013).
Menurut Hadinegoro (1996) pada hampir di seluruh rumah sakit yang ada di
Indonesia memperoleh prevalensi syok sebesar 16%-40%. Sedangkan penelitian
Raihan dkk. (2010) di RSCM Jakarta disebutkan bahwa syok terjadi pada 103
(37,3%) pasien dari 276 pasien yang diteliti.
Berdasarkan survei pendahuluan yang peneliti lakukan di RSUD Wangaya
yang merupakan rumah sakit pemerintah Kota Denpasar, menunjukkan 2.605
pasien DBD yang rawat inap dari data elektronik rekam medik selama tahun 2013
sampai Agustus 2014. Pasien DBD yang rawat inap pada tahun 2013 terdapat
sebanyak 1.522 dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) sebanyak 31 kasus
(2,04%), sedangkan dari bulan Januari sampai Agustus tahun 2014 terdapat 1.083
4
pasien DBD yang rawat inap dengan DSS sebanyak 28 kasus (2,59%). Kematian
karena DSS ada satu kasus pada tahun 2013, dan terdapat dua kasus kematian
pada tahun 2014 (Rekam Medik RSUD Wangaya, 2014). Hal ini menunjukkan
perkembangan kejadian DSS di RSUD wangaya cendrung meningkat di tahun
2014. Namun dilihat dari tempat RSUD Wangaya sebagai tempat pelayanan
kesehatan yang jaraknya mudah dijangkau dan termasuk rumah sakit grade A,
seharusnya dapat menurunkan angka kejadian DSS.
Beberapa penelitian telah dilakukan terkait faktor risiko yang berpengaruh
dengan kejadian DSS di rumah sakit. Penelitian yang dilakukan di luar negeri
antara lain; penelitian tentang faktor risiko yang berhubungan dengan DHF atau
DSS pada orang dewasa di Rumah Sakit Tengku Ampuan Afzan Kuantan,
penelitian hubungan faktor epidemiologi dengan DSS dan kematian pada pasien
dengue di Rumah Sakit Kota Ho Chi Minh Vietnam. Sedangkan penelitian yang
dilakukan di dalam negeri antara lain; analisis faktor-faktor risiko terjadinya DSS
pada anak dengan DBD di RSUP Persahabatan, faktor-faktor risiko kejadian DSS
pada pasien DBD di RSUD Ulin dan RSUD Ansari Saleh Banjarmasin, faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian DSS pada anak dengan DBD di RSUD
Kota Semarang, hubungan gambaran klinis dan laboratorium sebagai faktor risiko
syok pada DBD di RS Dr. M. Djamil Padang (Tee dkk., 2009; Anders dkk., 2011;
Mayetti, 2010; Setiawati, 2011; Harisnal, 2012; Silvarianto, 2013). Faktor-faktor
yang diteliti dalam penelitian tersebut antara lain; umur, jenis kelamin, infeksi
sekunder, lama sakit sebelum masuk rumah sakit, status gizi, gejala simtomatik,
hematokrit, trombosit, leukosit, musim, rujukan. Hasil penelitian tersebut
5
menemukan hasil yang berbeda-beda, dan sesuai pengkajian penulis bahwa
perbedaan hasil itu oleh karena adanya perbedaan daerah dan tipe fasilitas
kesehatan, karakteristik sampel penelitian, perbedaan kriteria inklusi dan ekslusi,
perbedaan jumlah dan jenis variabel yang fokus penelitiannya ada yang lebih
banyak menekankan faktor klinis dan ada yang menekankan faktor bukan klinis.
Penelitian di Bali tentang faktor risiko kejadian DSS masih jarang
dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Elmy dkk., (2009) di RSUP Sanglah
Denpasar, menjelaskan bahwa setelah dilakukan analisis multivariat hanya status
gizi yang bermakna yang mempengaruhi kejadian DSS, sedangkan variabel umur,
jenis kelamin dan jenis infeksi tidak berpengaruh. Namun penelitian itu hanya
mengambil data dari rekam medik di bagian anak dan hasil penelitian tersebut
masih ada kontroversi dengan penelitian lain.
Penelitian lain di RSUP Sanglah juga yang dilakukan oleh Karolina ddk.,
(2013) hanya menekankan faktor klinis yaitu kejadian perdarahan masif pada
pasien DSS dihubungkan dengan jumlah leukosit, trombosit, dan kadar hematokrit
tanpa menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian agar bisa dilakukan
intervensi dan pengembangan program dalam menurunkan kejadian DSS.
Berdasarkan hal tersebut diatas, perlunya kewaspadaan dini terhadap syok
membuat rasa ingin tahu peneliti untuk mengetahui hubungan faktor risiko
terjadinya DSS, dimana sebagian besar dari penderita DBD di Kota Denpasar
tersebut dirawat inap di RSUD Wangaya yang merupakan rumah sakit negeri
kelas B dan menjadi salah satu rumah sakit rujukan. Laporan penelitian ini
diharapkan dapat menjadi informasi epidemiologi dengue yang berhubungan
6
dengan kejadian DSS dan kemudian dapat menentukan perencanaan program
kesehatan dalam bidang pencegahan DSS pada pasien DBD serta menciptakan
pelayanan kesehatan yang baik. Oleh karena itu, maka peneliti berpikir bahwa
sangat penting dilakukan penelitian ini.
1.2 Rumusan masalah
Kota Denpasar merupakan salah satu kota endemis penyakit DBD dan bisa
menimbulkan KLB karena vektor penular DBD tersebar luas dengan penduduk
yang padat dan mobilitasnya tinggi. Kejadian DSS di Kota Denpasar juga selalu
ada setiap tahun dan lebih besar berisiko menimbulkan kematian pada penderita
DBD.
Indikasi adanya keterkaitan kondisi mayarakat yang ekonominya kurang
dapat berhubungan dengan akses pelayanan kesehatan. Manifestasi klinis yang
sangat bervariasi, patogenitas yang kompleks, dan adanya serotipe virus yang
berbeda pada daerah yang berbeda, membuat kita mengalami kesulitan untuk
memprediksi perjalanan penyakit DBD terlebih lagi menilai akan terjadinya DSS
(Kemenkes RI, 2013). Guna mendalami permasalahan itu maka ada beberapa
pertanyaan penelitian berikut ini.
1. Apakah umur merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita DBD
yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar?
2. Apakah jenis kelamin merupakan faktor risiko kejadian DSS pada
penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar?
7
3. Apakah lama demam sebelum Masuk Rumah Sakit (MRS) merupakan
faktor risiko kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di
RSUD Wangaya Kota Denpasar?
4. Apakah riwayat infeksi DBD sebelumnya merupakan faktor risiko
kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya
Kota Denpasar?
5. Apakah peningkatan nilai hematokrit merupakan faktor risiko kejadian
DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota
Denpasar?
6. Apakah penurunan jumlah trombosit merupakan faktor risiko kejadian
DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota
Denpasar?
7. Apakah kelas perawatan merupakan faktor risiko kejadian DSS pada
penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar?
8. Apakah jaminan kesehatan merupakan faktor risiko kejadian DSS pada
penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang
dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
8
1.3.2 Tujuan khusus
Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui pengaruh berikut ini.
1. Umur terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di
RSUD Wangaya Kota Denpasar.
2. Jenis kelamin terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat
inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
3. Lama demam sebelum MRS terhadap kejadian DSS pada penderita DBD
yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
4. Riwayat infeksi DBD sebelumnya terhadap kejadian DSS pada penderita
DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
5. Peningkatan nilai hematokrit terhadap kejadian DSS pada penderita DBD
yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
6. Penurunan jumlah trombosit terhadap kejadian DSS pada penderita DBD
yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
7. Kelas perawatan terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat
inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
8. Jaminan kesehatan terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang
dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan rujukan
dalam bidang penelitian kesehatan khusunya mengenai studi faktor yang
9
meningkatkan risiko terhadap kejadian DSS pada penderita DBD, dan diharapkan
dapat menambah pengalaman dan meningkatkan kemampuan dalam melakukan
penelitian kesehatan terutama dalam bidang pengendalian penyakit DBD.
1.4.2 Manfaat praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dapat menambah wawasan
masyarakat tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DSS
pada penderita DBD, dan dapat diterapkan untuk menghindari
keterlambatan dalam mendapat pengobatan yang tepat.
2. Hasil penelitian dapat digunakan untuk Dinas Kesehatan Provinsi Bali
beserta Dinas Kesehatan Kota Denpasar, dalam upaya pencegahan
kejadian DSS pada penderita DBD berdasarkan faktor risiko yang terbukti
mempengaruhi sehingga dapat dipilih alternatif perencanaan program,
serta sebagai masukan bagi RSUD Wangaya Kota Denpasar untuk
menjadi pertimbangan dalam penegakkan diagnosis dan mendeteksi
kejadian DSS.
3. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa untuk menambah
pengetahuan dalam melaksakan pekerjaan sehari-hari sebagai pemegang
program pengendalian penyakit DBD di Dinas Kesehatan Kota Denpasar.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Penyakit DBD
Dengue Haemoragic Fever (DHF) yang lebih sering disebut dengan
penyakit DBD merupakan penyakit infeksi akut menular ke manusia melalui
perantara gigitan nyamuk Aedes yang mengandung virus dengue yang ditandai
dengan demam dua sampai tujuh hari disertai manifestasi perdarahan, penurunan
jumlah trombosit (100.000/mm3 atau kurang), dan peningkatan nilai hematokrit
(20% atau lebih dari nilai baseline) (WHO, 2011) (Kemenkes RI, 2013).
Manusia adalah reservoir utama bagi virus dengue dan setiap individu
rentan mendapat penyakit DBD ini. Penyebab penyakit dengue termasuk dalam
kelompok arbovirosis dengan famili flaviviridae yang terdiri dari empat jenis
serotipe virus antara lain Denv-1, Denv-2, Denv-3, dan Denv-4. Keempat serotipe
virus tersebut mempunyai kemampuan antigenisitas yang sama, tetapi dalam
menimbulkan proteksi silang memiliki kemampuan yang berbeda meskipun baru
beberapa bulan mengalami infeksi dari salah satu virus dengue tersebut (Beaumier
dkk., 2008) (U.S. Department of Health, 2009) (WHO, 2011) (Kemenkes RI,
2013).
Data dari seluruh dunia menunjukkan setiap tahunnya kawasan asia
menempati peringkat pertama dalam jumlah penderita DBD. Penyakit dengue
sebelumnya hanya dinilai menimbulkan masalah pada daerah perkotaan semata,
namun saat ini penyakit tersebut juga menjadi ancaman bagi daerah pinggiran
10
11
Asia Tenggara. Menurut WHO (2009), diperkirakan bahwa terdapat kurang lebih
seratus juta kasus demam dengue pertahun, dimana infeksi dengue merupakan
salah satu penyebab utama rawat inap di rumah sakit dan kematian pada anak-
anak (Depkes RI, 2010) (Capeding dkk., 2013).
Demam berdarah dengue di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun
1968 ketika terjadi KLB di Surabaya dan Jakarta. Sejak dilaporkan itu, kasus
DBD meningkat terus bahkan sejak tahun 2004 kasus meningkat sangat tinggi.
Distribusi kasus DBD per kelompok umur dari tahun 1993 sampai 2009 terjadi
pergeseran dari kelompok kasus DBD terbesar adalah umur <15 tahun, namun
tahun 1999 sampai 2009 kelompok umur terbesar yaitu ≥15 tahun. Persentase
penderita laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu pada laki-laki (53,78%) dan
perempuan (46,23%) (Depkes RI, 2010).
Penyakit DBD yang ada di Indonesia terutama ditularkan oleh jenis
nyamuk Aedes aegypti sebagai penular atau vektor DBD, namun spesies lain juga
dianggap sebagai vektor sekunder seperti Aedes albopictus, Aedes scutelaris,
Aedes polynesiensis, dan Aedes niveus. Penyebaran penyakit DBD umumnya
dilakukan oleh nyamuk Aedes aegypti yang betina yang mampu mengigit
berulang kali (multiple bite) mulai di pagi hari dan saat petang hari sehingga
sangat efektif sebagai vektor penyakit DBD. Jenis nyamuk penular DBD ini
terdapat pada tempat yang ketinggiannya di bawah dari 1.000 meter dari
permukaan laut (Kemenkes RI, 2013).
Beberapa hal yang mendukung terjadinya penularan dan semakin
bertambahnya perkembangan penyakit DBD adalah pertumbuhan penduduk yang
12
tinggi, mobilitas penduduk sangat mudah, penyimpanan air bersih, sistem
pengendalian nyamuk yang kurang efektif, perubahan iklim, serta lemahnya
struktur kesehatan masyarakat. Selain faktor-faktor lingkungan dan perilaku
tersebut, status imunologi individu, serotipe virus, usia dan riwayat genetik juga
berpengaruh terhadap penularan penyakit DBD.
2.2 Diagnosis DBD
Infeksi virus dengue pada umumnya tidak akan semua menunjukkan
manifestasi DBD berat, ada yang hanya mengalami demam yang ringan dan akan
bisa sembuh sendirinya atau bahkan ada yang tidak pernah menunjukkan gejala
sakit (asymtomatic) (Frans, 1991).
Menurut WHO, virus dengue akan mengalami masa inkubasi di dalam
darah seseorang selama tiga sampai tiga sampai empat hari (rata-rata empat
sampai enam hari) dan muncul gejala-gejala awal penyakit yang akut seperti;
meningkatnya suhu badan secara mendadak, kepala pusing, otot dan sendi terasa
nyeri, tidak ada nafsu makan, ruam-ruam pada kulit dan berbagai gejala yang
tidak spesifik. Berat ringan gejala tersebut bervariasi dan biasanya berlangsung
selama beberapa hari (WHO, 2011).
WHO telah merekomendasikan kriteria penegakkan diagnosis dengue
berdasarkan klinis dan laboratorium untuk menjadi acuan para klinisi dalam
mendiagnosis dan mengklasifikasikan kasusnya (WHO, 2009) (Kemenkes RI,
2013). Tidak semua kasus infeksi dengue dapat diketahui dari gejala klinis,
13
namun konfirmasi laboratorium perlu untuk memastikan penyakit DBD yang
tersangka DBD (Capeding dkk., 2013)
Penegakkan diagnosis dengue seperti berikut ini.
1. Diagnosis suspek infeksi dengue
Diagnosis suspek infeksi dengue ditegakkan apabila ditemukan kriteria
yaitu; demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung
selama dua sampai tujuh hari, serta adanya manifestasi perdarahan
(sekurang-kurangnya uji tourniquet/rumple leede positif).
2. Diagnosis Demam Dengue (DD)
Demam dengue biasanya merupakan demam tinggi mendadak dengan
suhu ≥390C, disertai keluhan nyeri kepala, nyeri belakang bola mata, nyeri
otot dan tulang, ruam kulit, kadang-kadang ada perdarahan yang tidak
lazim, peningkatan hematokrit 5% sampai 10%. Terdapat sekurang-
kurangnya satu dari kriteria berikut ini yaitu pemeriksaan antibodi IgM
positif, positif antigen virus dengue, positif pemeriksaan PCR, dan kasus
berlokasi di suatu daerah dan dalam waktu bersamaan terdapat kasus
konfirmasi DD atau DBD.
3. Diagnosis DBD
Penegakkan diagnosis DBD diperlukan minimal ada kriteria klinis 1 dan 2,
serta dua kriteria laboratorium (U.S. Department of Health, 2009) (WHO,
2009) (Kemenkes RI, 2013).
Kriteria atau manifestasi klinis DBD antara lain demam mendadak, tinggi
tanpa sebab yang jelas yang secara terus menerus berlangsung selama dua
14
sampai tujuh hari, terdapat beberapa gejala perdarahan spontan berbentuk
perdarahan bawah kulit, mimisan, perdarahan gusi, perdarahan saluran
cerna. Terdapat uji tourniquet yang positif dan resiko terjadinya syok
ditandai dengan nadi yang cepat dan lemah serta penyempitan tekanan
nadi (20 mmHg atau kurang) atau nadi tidak teraba, kaki dan tangan terasa
dingin, kulit lembab dan penderita menjadi gelisah.
Kriteria pemeriksaan laboratorium dalam penegakkan diagnosis DBD
yaitu ada penurunan jumlah trombosit (trombositopenia 100.000/mm3 atau
kurang), biasanya terjadi di hari sakit ketiga sampai kedelapan hari,
terjadinya hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau
lebih yang merupakan bukti adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan
bocornya plasma, pada kasus berat yang disertai dengan disfungsi hati.
Waktu tromboplastin parsial memanjang pada setengah sampai sepertiga
kasus DBD. Hasil laboratorium lainnya adalah kadar komplemen serum
menurun, hipoproteinemia, hiponatremia, dan peningkatan kadar SGOT
ringan. Asidosis metabolik nitrogen urea darah meningkat sering kali
dijumpai pada kasus penyakit yang disertai syok berkepanjangan
2.3 Derajat Beratnya DBD
Lama dan derajat keparahan penyakit DBD beragam untuk setiap individu.
Masa penyembuhan bisa terjadi cepat, namun seringkali bisa cukup panjang.
WHO pada tahun 1997 membagi derajat DBD dalam empat stadium dan sudah
diperbaharui dengan kriteria dengue WHO tahun 2009 yang manifestasi klinisnya
15
lebih banyak untuk membantu menegakkan diagnosis dan mengidentifikasi
penentuan derajat penyakit ini yang bermanfaat secara klinis maupun
epidemiologis dalam penanganan awal di rumah sakit (WHO, 2009) (Kemenkes
RI, 2013).
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan menjadi empat derajat berikut ini.
Derajat I yaitu Demam disertai gejala klinis yang tidak khas dan satu-satunya
gejala perdarahan yaitu uji tourniquet positif. Derajat II yaitu gejala yang muncul
seperti dialami pada derajat I ditambah adanya perdarahan spontan biasanya di
kulit, perdarahan gusi dan atau perdarahan lainnya. Derajat III yaitu derajat I
ataupun II serta adanya kegagalan sirkulasi, yaitu dengan tanda denyut nadi yang
lemah dan lebih cepat, perbedaan tekanan nadi sistolik dan diastolik sama atau
kurang dari 20 mmHg (hipotensi) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab,
sianosis di sekitar mulut, dan kelihatan penderita gelisah. Derajat IV yaitu seperti
dengan derajat III, ditambah juga adanya syok yang berat (profound shock)
dengan nadi tidak dapat teraba dan tidak dapat terukurnya tekanan darah (WHO,
2009) (Kemenkes RI, 2013).
DSS dimasukan pada tingkat DBD derajat III dan derajat IV. DSS
merupakan kasus DBD yang gawat darurat yaitu adanya kegagalan sirkulasi yang
dapat ditunjukan dari denyut nadi yang lemah dan lebih cepat, disertai hipotensi
dengan tanda kulit yang teraba dingin dan lembab serta penderita tampak gelisah
hingga terjadinya syok/renjatan berat (denyut nadi menjadi tidak teraba, dan
tekanan darah tidak terukur) (Sharma SK, 2003) (WHO, 2009) (Kemenkes RI,
2013).
16
Kebocoran plasma merupakan patogenesis utama menimbulkan syok
(shock) dan kematian. Syok pada penderita DBD dikenal dengan sebutan Dengue
Shock Syndrome (DSS) yaitu terjadinya kegagalan sirkulasi darah karena plasma
darah merembes keluar dari pembuluh darah yang mengakibatkan darah semakin
mengental yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, kulit dingin
dan lembab, serta pasien menjadi gelisah (WHO, 2009).
Pasien yang mengalami syok harus berada dalam pengawasan yang ketat,
karena menghadapi risiko kematian apabila mereka tidak mendapatkan
pengobatan segera yang memadai.
2.4 Tatalaksana DBD/DSS
Obat atau vaksin dengue yang spesifik belum ada hingga sekarang, namun
bila pasien berobat dini, dan mendapat penatalaksanaan yang adekuat, umumnya
kasus-kasus penyakit ini dapat diselamatkan (Kemenkes RI, 2013). Secara umum,
tidak perlu merawat semua pasien yang dicurigai menderita DBD oleh karena
tergantung dari derajat penyakit infeksi virus dengue. Tatalaksana DBD yang
efektif membutuhkan tenaga medik yang terlatih, serta di tunjang oleh fasilitas
laboratorium, farmasi yang memadai.
Dalam kasus DBD yang derajat I dan II, pemberian terapi cairan intravena
bagi pasien rawat jalan dilakukan selama 12 sampai 14 jam. Pasien yang
menunjukkan kenaikan kadar hematotkrit, jumlah trombosit kurang dari
50.000/mm3 atau menunjukkan perdarahan yang spontan selain dari petekia harus
dirawat. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi dan apabila ditemukan
17
tanda/gejala syok diperlukan perawatan yang intensif untuk mengurangi angka
kematian (WHO, 2009).
Kunci keberhasilan tatalaksana DBB/DSS terletak pada keterampilan
petugas medik dan paramedik untuk dapat mewaspadai dan menanggulangi masa
peralihan dari fase demam menuju fase kritis, mengingat perjalanan penyakit
DBD sulit diramalkan. Fase perjalanan penyakit DBD menurut (WHO, 2009)
seperti berikut ini.
1. Fase demam
Fase demam bisa terjadi dalam dua sampai tujuh hari dengan suhu tubuh
antara 39oC sampai 40oC. Gejala yang biasanya menyertai fase demam
yaitu penderita mengeluh tidak nafsu makan, mual, nyeri konjungtiva,
wajah kemerahan dan sakit kepala. Pada kasus ringan atau sedang, seluruh
gejala akan berkurang setelah suhu turun. Perubahan tersebut
mengindikasikan berkurangnya secara perlahan gangguan sirkulasi darah
sebagai akibat bocornya plasma.
2. Fase kritis
Fase kritis adalah fase peralihan antara keadaan demam sampai keadaan
tidak demam biasanya saat suhu turun (defervescence), yang umumnya
terjadi pada hari ketiga sampai kelima fase demam dengan suhu tubuh
pada fase ini antara 37,5oC sampai 38oC atau berada dibawahnya.
Pada fase ini bisa terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan kebocoran plasma sehingga kondisi pasien memburuk,
namun apabila tidak terjadi kebocoran plasma maka kondisi penderita
18
akan semakin baik. Kondisi kebocoran plasma yang berkepanjangan dan
keterlambatan penanganan dapat menyebabkan penderita mengalami syok.
Syok berlangsung dalam waktu yang singkat, namun apabila syok tidak
tertangani maka kondisi penderita dapat memburuk dan menjadi kompleks
dengan adanya asidosis metabolis, perdarahan saluran cerna atau dari
organ lain.
Pasien yang mengalami syok menghadapi risiko dapat meninggal dalam
waktu 12 sampai 24 jam kemudian apabila mereka tidak mendapat
pengobatan segera yang memadai.
3. Fase penyembuhan
Fase peyembuhan DBD dengan atau tidak disertai syok berlangsung
singkat. Penderita yang telah melewati fase kritis, dan memasuki fase
penyembuhan perembesan plasma berhenti saat terjadi reabsorbsi atau
penyerapan kembali cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravascular.
Pasien akan sembuh dua sampai tiga hari dan secara bertahap kondisi
penderita akan semakin baik, apabila pengeluaran urin cukup, nafsu
makan mulai meningkat, dan tanda-tanda vital yang stabil.
2.5 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian DSS
Potter & Ferry’s menyebutkan bahwa faktor risiko adalah suatu situasi,
kebiasaan, atau variabel yang lain yang dapat menyebabkan seseorang atau
kelompok mengalami kejadian sakit atau mendapatkan kecelakaan (Crisp ddk.,
19
2012). Beberapa teori dan penelitian terkait dengan faktor risisko kejadian DSS
adalah sebagai berikut ini.
2.5.1 Umur
Umur secara kronologis merupakan satuan waktu yang mengukur
perhitungan usia dimulai dari sejak kelahiran individu sampai dengan waktu
perhitungan umur. Kondisi status kesehatan tidak terlepas dari umur individu
tersebut.
Penyakit DBD bisa terjadi pada semua umur. Tren kasus DBD per
kelompok umur telah mengalami pergeseran dari kasus DBD pada kelompok
umur kurang dari 15 tahun lebih banyak terjadi pada tahun 1993 sampai tahun
1998. Sedangkan dalam 10 tahun terakhir (1999 sampai 2009), DBD memiliki
kecendrungan proporsi yang lebih besar pada kelompok usia produktif karena
mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dan mengikuti arus perkembangan
transportasinya yang lebih lancar pada kelompok ini, sehingga lebih besar
kemungkinannya untuk terjangkit virus dengue (Kemenkes RI, 2010a).
Hasil dari penelitian Harisnal (2012) di RSUD Ulin dan RSUD Ansari
Saleh Banjarmasin, menyatakan bahwa umur ≤5 tahun dan umur 6-14 tahun tidak
berisiko secara signifikan dengan kejadian DSS (OR= 0,84; 95%CI= 0,408-
1,748).
Penelitian yang lain juga menyebutkan umur balita dan umur anak sekolah
tidak berhubungan secara statistik dengan kejadian DSS (OR= 0,21; 95%CI=
0,018-2,50) (Setiawati, 2011). Hasil penelitian tersebut didukung juga dengan
penelitian lain di RSUD Kota Semarang yang menyatakan tidak ada hubungan
20
antara umur dan DSS (OR= 0,81; 95%CI= 0,335-1,981) (Silvarianto, 2013).
Anders dkk. (2011) di Ho Chi Minh City Vietnam, menggambarkan bahwa anak
yang pada umur 6 tahun sampai 10 tahun tidak berisiko mengalami DSS (OR=
0,52; 95%CI= 0,36-0,375).
Walaupun demikian kematian karena DBD lebih tinggi terjadi pada anak
yang lebih kecil umurnya, sesuai dengan hasil penelitian yang disampaikan oleh
Moraes dkk. (2013) bahwa umur <4 tahun merupakan faktor risiko yang
independen berpengaruh terhadap terjadinya DSS (OR= 1,83; 95%CI= 1,17-1,73).
Umur merupakan variabel penting dari seseorang sebagai aspek
fundamental yang berkaitan dengan interaksi virus dengan manusia pada penyakit
DBD. Perbedaan hasil di atas, menggugah saya untuk meneliti pengaruh variabel
umur dengan kejadian DSS di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
2.5.2 Jenis kelamin
Berdasarkan data dari Kemenkes Subdit Arbovirosis tahun 2010, terlihat
bahwa jauh lebih banyak kasus DBD pada laki-laki dengan umur >15 tahun
sebanyak 21,13%, sedangkan kematian terbanyak pada perempuan umur >15
tahun pada perempuan (Kemenkes RI, 2010a).
Beberapa peneliti pernah melaporkan infeksi dan keganasan penyakit
DBD pada jenis kelamin laki dengan perempuan, dan banyak jenis kelamin
perempuan dengan DSS menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi daripada
laki-laki. Hasil penelitian (Anders dkk., 2011), yang menggambarkan bahwa anak
perempuan berisiko lebih tinggi mengalami kejadian DSS sebesar 1,19 kali
dibandingkan anak laki-laki (OR= 1,19; 95%CI= 1,14-1,24) dan anak perempuan
21
berisiko terjadi kematian akibat mengalami DSS yaitu 1,57 kali dibandingkan
anak laki-laki (OR=1,57; 95%CI= 1,14-2,17). Hasil penelitian tersebut sesuai
dengan hasil penelitian Harisnal (2012) bahwa jenis kelamin perempuan lebih
berisiko 3,2 kali mengalami kejadian DSS (OR= 3,25; 95%CI= 1,178-8,970).
Namun dari hasil penelitian lain, tidak ada perbedaan hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin anak perempuan dengan anak laki-laki terhadap
kejadian DSS (OR= 0,36; 95%CI= 0,03-4,24) (Setiawati, 2011). Silvarianto
(2013) juga menyimpulkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan DSS
(OR= 0,74; 95%CI= 0,311-1,178).
Berdasarkan perbedaan data di atas, menarik untuk dilihat lebih lanjut
jenis kelamin apakah yang lebih berhubungan dengan kejadian DSS di RSUD
Wangaya Kota Denpasar.
2.5.3 Lama demam sebelum Masuk Rumah Sakit (MRS)
Perjalanan penyakit DBD tidak spesifik, dan lama sakit sebelum masuk
rumah sakit (pre hospital) menentukan perjalanan penyakit DBD berada pada fase
pasien mengalami demam, fase syok atau kritis, atau fase pemulihan
penyembuhan. Lama dan derajat keparahan penyakit DBD beragam untuk setiap
individu, masa penyembuhan bisa terjadi cepat namun sering juga cukup panjang
(Kemenkes RI, 2013).
Pola demam penyakit DBD seperti pelana kuda, orang tua sering
mengasumsikan sudah sembuh saat suhu tubuh menurun dari semula tingi
sehingga pengobatannya terabaikan sehingga dapat memasuki fase kritis.
Purnomo menggambarkan pola demam penyakit DBD seperti berikut ini.
22
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa demam yang terjadi pada infeksi ini
timbul secara mendadak pada hari ke 1-3 penderita mengalami panas badan dapat
mencapai suhu > 39oC. Hari ke 4-5 demam turun secara mendadak juga yang
sering dikira penderita sudah sembuh, tapi justru pada hari itu penderita memasuki
fase kritis. Penderita DBD yang datang ke rumah sakit sering mengalami
keterlambatan sehingga sudah masuk dalam tahap fase kritis yang kemungkinan
syok menjadi lebih tinggi. Pada tahap kritis penyakit DBD adalah ketika masa
penurunan suhu, munculnya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi
yang mencerminkan kebocoran plasma. Penggantian cairan yang tepat dan segera
dengan pemberian larutan isotonik, plasma adalah tindakan yang dapat
menghindarkan terjadinya syok (Kemenkes RI, 2013).
Hasil penelitian Harisnal (2012), menyebutkan bahwa pasien yang
mengalami lama sakit sebelum dirawat ≥4 hari di rumah sakit sebanyak 59%
mengalami DSS yang secara statistik bermakna (OR= 3,15; 95%CI= 1,179-
8,397). Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian yang dilaksanakan oleh
Gambar 2.1 Pola Demam Penyakit DBD
Sumber: Purnomo, 2010
23
Hadinegoro (2013) menyampaikan bahwa fase syok terjadi pada sakit hari ketiga
sampai hari kelima. Namun penelitian lain menyebutkan lama demam di rumah
tidak ada hubungan dengan terjadinya DSS dengan OR sebesar 0,001 (Setiawati,
2011).
Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan masih adanya perbedaan,
dan secara faktual perjalanan penyakit DBD berlangsung akut yang secara teoritis
dapat melewati fase kritis yang berlangsung cepat juga, oleh karena itu penulis
tertarik untuk mengetahui hubungan riwayat infeksi DBD dengan kejadian DSS
pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
2.5.4 Riwayat infeksi DBD sebelumnya
Infeksi DBD primer dan sekunder dapat mengakibatkan timbulnya
perdarahan gastrointestinal yang berat. Virus yang masuk dalam darah manusia
akan memperbanyak diri dan sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi
sedangkan virus akan menjadi antigennya (Depkes RI, 2004). Menurut U.S.
Department of Health (2009), individu yang sudah terinfeksi virus dengue untuk
pertama kali, maka akan terbentuk zat anti yang spesifik di dalam tubuhnya sesuai
dengan tipe virus dengue yang menginfeksi tetapi tidak kebal dengan serotipe
virus dengue lainnya.
Selama ini diduga bahwa derajat beratnya penyakit DBD dijelaskan
dengan adanya peningkatan dari multiplikasi virus di dalam makrofag sebagai
akibat infeksi dengue sebelumnya. Suvatte merumuskan dugaan infeksi sekunder
dan dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini.
24
Faktor virus serta respon anti bodi terlibat dalam pathogenesis DBD
(Beaumier dkk., 2008). Menurut WHO (2009), infeksi sekunder atau infeksi
berulang oleh serotipe virus dengue yang lain memperberat keparahan penyakit
DBD.
Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa kasus DBD yang berat
sangat berkaitan dengan serotipe virus Dengue 3 dan merupakan serotipe virus
dengue yang paling banyak penyebarannya disusul oleh Dengue 2, Dengue 1, dan
Dengue 4 (Kemenkes RI, 2010a). Penderita yang sudah sembuh dari infeksi salah
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamestic antibody response
Kompleks virus-antibodi
Aktivasi komplemen
Permeabilitas kapiler meningkat
Hipivolemia
Syok
Anoksia Asidosis
Perembesan plasma >30% pada kasus
syok 24-48 jam
Ht meningkat
Natrium menurun
Cairan dalam
rongga serosa
Anafilatoksin (C3, C5a)
Komplemen
Histamin dalam urin
meningkat
Meninggal
Gambar 2.2 Patogenesis Terjadinya Syok pada DBD
Sumber: Suvatte, 1997
25
satu jenis virus akan memberi kekebalan seumur hidupnya tapi tidak memberi
kekebalan dari infeksi jenis virus dengue lainnya serta bisa terinfeksi oleh virus
dengue dengan jenis atau tipe yang berbeda (Kemenkes RI, 2011).
Prevalensi dari DSS pada infeksi sekunder di RS Sanglah pada 62 anak
yang DBD adalah 16,7% (Arhana, 2006). Hasil penelitian Silvarianto, (2013) di
RUD Kota Semarang menunjukkan bahwa riwayat pernah terinfeksi penyakit
DBD berhubungan dengan kejadian DSS (OR= 8,23; 95%CI= 2,837-23,909).
Namun hasil berbeda juga secara statistik disebutkan bahwa jenis infeksi
tidak bermakna mempengaruhi kejadian DSS setelah dianalisis multivariat (OR=
1,37; 95%CI= 0,584-3,229) (Elmy dkk., 2009). Penelitian dari (Setiawati, 2011)
dengan desain penelitian cross sectional menyatakan bahwa riwayat menderita
DBD sebelumnya tidak berhubungan signifikan dengan kejadian DSS dengan OR
sebesar 0,001.
2.5.5 Hematokrit
Indikasi adanya kebocoran plasma dapat dilihat dari pemeriksaan
Hematokrit. Peningkatan hematokrit ≥20% mengindikasikan adanya peningkatan
permiabilitas pembuluh darah sebagai bukti sudah dicurigai adanya kebocoran
plasma dari pembuluh darah yang dapat menyebabkan syok, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala (Kemenkes RI, 2010a).
Menurut WHO (2009), yang harus diperhatikan bahwa jumlah
hematokrit dipengaruhi juga oleh penggantian cairan tubuh secara dini dan juga
karena adanya perdarahan. Pada pasien DBD dengan perdarahan dan
hemokonsentrasi akan mengalami tanda syok lebih dini, tetapi dengan manajemen
26
cairan yang tepat dan adekuat akan dapat mencegah perkembangan ke arah syok
(Anders dkk., 2011).
Harisnal (2012), menyampaikan bahwa penderita DBD yang mengalami
peningkatan hematokrit ≥25,97% dapat terjadi DSS 7,8 kali dibandingkan yang
dengan yang mengalami peningkatan hematokrit <25,97% (OR= 7,8; 95%CI=
2,748-22,500). Penelitian lain yang menunjukkan adanya pengaruh hematokrit
dengan terjadinya DSS dengan OR sebesar 2,46 (95%CI= 1,85-3,28) (Moraes
dkk., 2013).
Berdasarkan data dari rekam medik RSUD Wangaya tahun 2013-2014,
bahwa rata-rata kadar hematokrit pada penderita DBDsebesar 42,11%. Kadar
hematokrit yang tinggi diasosiasikan dengan kebocoran plasma. Kurangnya
penelitian yang menyediakan informasi tentang nilai hematokrit MRS pada
penderita DBD, layak menjadi perhatian dalam penelitian ini agar mengetahui
hubungan indikasinya dengan kejadian DSS.
2.5.6 Trombosit
Hasil pemeriksaan darah untuk penyakit karena infeksi virus dengue yang
perlu diketahui adalah jumlah trombosit darah. Penurunan jumlah trombosit atau
trombositopenia merupakan jumlah trombosit ≤100/cm3. Penurunan jumlah
trombosit darah merupakan indikasi diagnosa DBD sehingga setiap penderita
dilaksanakan pemeriksaan lengkap darah dilihat nilai trombositnya (WHO, 2009).
Penyebab trombositopenia pada DBD masih kontroversial. Menurut hasil
penelitian Mayetti (2010), menyampaikan bahwa kadar trombosit <50/cm3
merupakan faktor risiko terjadinya syok pada DBD (RR= 1,81; 95%CI= 1,41-
27
2,34). Harisnal (2012) menjelaskan bahwa jumlah trombosit ≤50/cm3
berhubungan dengan kejadian DSS dengan OR sebesar 4 (95%CI= 1,85-8,63).
Sedangkan hasil penelitian lain disebutkan trombositopenia tidak selalu
berhubungan dengan derajat DBD (OR= 0,95; 95%CI= 0,44-2,07) (Widajanti
dkk., 2003).
Berdasarkan teori dan dari hasil penelitian-penelitan tersebut di atas, kadar
trombosit juga tidak selalu bisa diandalkan menunjukkan kondisi beratnya penyakit DBD.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui trombosit MRS terhadap kejadian DSS
pada penderita DBD yang rawat inap di RSUD Wangaya.
2.5.7 Kelas perawatan
Kelas perawatan yaitu ruang rawat inap berdasarkan perawatan yang
ditempati pasien DBD di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Jenis pelayanan yang
diberikan pasien rawat inap memiliki standar pelayanan minimal. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia (1997), melakukan upaya pengaturan besaran tarif
rumah sakit yang diperhitungkan atas dasar unit cost, dengan memperhatikan
kemampuan ekonomi masyarakat, rumah sakit setempat serta kebijaksanaan
subsidi silang. tentang rumah sakit.
Menurut Fahlafi (1994), karakteristik sosial ekonomi pada pasien rawat
inap berhubungan dengan pemilihan kelas perawatan. Penetapan tarif kelas
perawatan sangat menentukan permintaan dari kelompok berpendapatan rendah
dibandingkan kelompok berpendapatan tinggi. Beban ekonomi dan sosial dari
penderita atau keluargannya dapat merupakan hambatan untuk segera berobat atau
mendapat pertolongan di rumah sakit.
28
Penderita DBD yang dirawat di RSUD Wangaya yang sebagian besar
menggunakan layanan perawatan kelas III, perlu mendapat perhatian untuk
mengurangi resiko terjadinya DSS pada pasien DBD. Sementara peneliti belum
menemukan penelitian tentang pengaruh kelas perawatan terhadap kejadian DSS.
2.5.8 Jaminan kesehatan
Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit berkaitan erat dengan perilaku
pencarian pengobatan, seperti pemanfaatan Jaminan kesehatan di fasilitas
kesehatan yang ada. Proses dalam mencari bantuan pelayanan kesehatan memiliki
kompleksitas yang cukup tinggi karena variasi pengetahuan, biaya yang dapat
dijangkau, keinginan pemenuhan kebutuhan, orientasi kepuasan, tuntutan
masyarakat dan lain-lain.
Menurut penelitian Anny (2012) bahwa akses layanan, persepsi mutu
layanan, dan persepsi manfaat program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM)
tidak berhubungan dengan minat pemanfaatan dengan nilai p >0,05, namun
semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin rendah minat pemanfaatan
program JKBM.
Indikasi adanya keterkaitan secara tidak langsung pemanfaatan jaminan
kesehatan daerah oleh masyarakat yang kondisi ekonominya kurang, membuat
peneliti tertarik untuk mengetahui hubungannya dengan kejadian DSS pada
penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
29
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Sesuai teori yang ada diketahui bahwa penyakit DBD berhubungan dengan
banyak faktor, penyakit DBD terjadi sebagai akibat dari berlangsungnya rantai
penularan mulai dari faktor penyebab penyakit (virus dengue) yang dibawa oleh
vektor (nyamuk Aedes aegypti) kepada host penjamu (manusia). Manusia secara
alamiah akan berinteraksi dengan lingkungannya. Kondisi lingkungan yang
kondusif dapat meningkatkan kesehatan manusia, namun sebaliknya apa bila
lingkungannya kurang kondusif atau buruk sebagai akibat dari dampak aktivitas
manusia itu sendiri akan dapat maupun yang terjadi secara alamiah dapat
menurunkan status kesehatan manusia.
Pada kerangka pikir ini menggunakan konsep segita epidemiologi. Hasil
interaksi antara host, agent dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap keadaan
derajat kesehatan masyarakat. Host yaitu tubuh manusia yang merupakan
reservoir utama bagi virus dengue dengan karakteristik individu yang berbeda-
beda oleh faktor antara lain umur, jenis kelamin, gizi, lama demam sebelum,
riwayat infeksi dengue, antibodi. Agent yaitu penyebab penyakit DBD/DSS
dalam hal ini virus dengue yang memiliki dari 4 serotipe. Lingkungan dalam
penelitian ini yaitu lingkungan yang secara tidak langsung dapat menjadi faktor
terjadinya DSS antara lain tempat tinggal, kelas perawatan. Apabila interaksi
antara komponen host, agent dan lingkungan yang salah satu atau lebih tidak
29
30
seimbang akan timbul masalah kesehatan atau host menjadi sakit. Demikian pula
halnya dengan kejadian DSS pada penderita DBD juga dipengaruhi oleh interaksi
ketiga komponen tersebut.
Berdasarkan berbagai sumber dan teori yang sudah dibahas, maka
kerangka berpikir penelitian yang berjudul “Faktor Risiko Kejadian DSS pada
Penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar tahun 2013-
2014 dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut ini.
Ket :
= Saling mempengaruhi
= Bagian dari
Gambar 3.1 Konsep Modifikasi Segitiga Epidemilogi
Agent
Lingkungan
Karakteristik Individu:
- Umur
- Jenis kelamin
- Status gizi
- Lama demam sebelum
MRS
- Riwayat infeksi DBD
sebelumnya
- Gejala klinis
- Biomarker/laboratorium
- Tempat tinggal
- Jaminan kesehatan
- Kelas perawatan
- Serotipe virus
Host
DSS
Ket :
= Saling mempengaruhi
= Bagian dari
Agent
Lingkungan
Karakteristik Individu:
- Umur
- Jenis kelamin
- Status gizi
- Lama demam sebelum
MRS
- Riwayat infeksi DBD
sebelumnya
- Gejala klinis
- Biomarker/laboratorium
- Tempat tinggal
- Jaminan kesehatan
- Kelas perawatan
- Serotipe virus
Host
DSS
Ket :
= Saling mempengaruhi
= Bagian dari
Agent
Lingkungan
Karakteristik Individu:
- Umur
- Jenis kelamin
- Status gizi
- Lama demam sebelum
MRS
- Riwayat infeksi DBD
sebelumnya
- Gejala klinis
- Biomarker/laboratorium
- Tempat tinggal
- Kelas perawatan
- Jaminan kesehatan
- Serotipe virus
Host
DSS
31
3.2 Konsep Penelitian
Pada konsep penelitian digambarkan hubungan antara variabel yang
diteliti. Variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat dalam hal ini kejadian
DSS adalah umur, jenis kelamin, lama demam sebelum MRS, riwayat infeksi
DBD sebelumnya, hematokrit MRS, trombosit MRS, kelas perawatan, jaminan
kesehatan. Sedangkan variabel yang di kendalikan adalah tempat tinggal se-
kecamatan di Kota Denpasar.
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Umur merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita DBD yang
dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
VARIABEL
BEBAS
- Umur
- Jenis kelamin
- Lama demam sebelum MRS
- Riwayat infeksi DBD
sebelumnya
- Hematokrit MRS
- Trombosit MRS
- Kelas perawatan
- Jaminan kesehatan
DSS
VARIABEL
TERIKAT
Gambar 3.2 Konsep Penelitian
Keterangan:
= diteliti
Tempat tinggal
VARIABEL
KENDALI
32
2. Jenis kelamin merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita DBD
yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
3. Lama demam sebelum MRS merupakan faktor risiko kejadian DSS pada
penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
4. Riwayat pernah infeksi DBD sebelumnya merupakan faktor risiko
terhadap DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya
Kota Denpasar.
5. Hematokrit MRS merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita
DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
6. Trombosit MRS merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita
DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
7. Kelas perawatan merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita
DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
8. Jaminan kesehatan merupakan faktor risiko kejadian DSS pada penderita
DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
33
BAB IV
METODA PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah penelitian kasus kontrol (case control study)
yaitu suatu penelitian yang mengamati dua kelompok yaitu sejumlah individu
yang mengalami kejadian DSS (kasus) dibandingkan dengan kelompok lain yang
menderita DBD namun tidak mengalami kejadian DSS (kontrol). Kemudian
kedua kelompok ini diamati ke belakang berapa proporsi dari kelompok kasus
maupun kelompok kontrol dengan melakukan analisis multivariat untuk
mengetahui faktor-faktor yang dapat mendeteksi DSS sejak awal. Untuk lebih
jelasnya penelitian case control dapat dilihat pada gambar bagan dibawah ini.
Kasus
Kontrol
Faktor Risiko (-)
Faktor Risiko (+)
Faktor Risiko (-)
Faktor Risiko (+)
Gambar 4.1 Design Penelitian Case Control (Sudigdo, 2002)
33
34
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUD Wangaya Kota Denpasar, Provinsi Bali.
Tempat penelitian tersebut dipilih karena RSUD Wangaya merupakan salah satu
rumah sakit rujukan di Kota Denpasar dan memiliki rekam medik pasien DBD.
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret sampai April 2015.
4.3 Penentuan Sumber Data Penelitian
4.3.1 Definisi dan sumber kasus
Kasus adalah pasien yang didiagnosis DSS bertempat tinggal di Kota
Denpasar dan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium oleh dokter rumah sakit
yang merawat di RSUD Wangaya Kota Denpasar, dengan mengambil data
kejadian selama tahun 2013-2014 dan tercatat dalam rekam medik.
4.3.2 Definisi dan sumber kontrol
Kontrol adalah semua pasien DBD bertempat tinggal di Kota Denpasar
yang dirawat inap namun tidak mengalami kejadian DSS di RSUD Wangaya Kota
Denpasar yang diambil dari data rekam medik selama tahun 2013-2014. Kontrol
diupayakan mempunyai karakteristik yang sama dengan kasus yaitu tempat
tinggal se-kecamatan di Kota Denpasar.
35
4.4 Populasi dan Sampel
4.4.1 Populasi penelitian
Populasi penelitian untuk kasus dan kontrol dalam penelitian ini adalah
semua penderita DBD dan DSS yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota
Denpasar tahun 2013-2014.
4.4.2 Besar sampel
Jumlah sampel agar representatif maka OR sebesar 3,146 dari penelitian
sebelumnya dihitung dengan proporsi keterlambatan ke rumah sakit pada
penderita DBD (P2) sebesar 31,6% (Harisnal, 2012). Dalam penelitian ini
menggunakan desain kasus-kontrol sehingga didapatkan proporsi keterlambatan
ke rumah sakit pada kejadian DSS (P1) sebesar 59,22%. Besar sampel penelitian
ini dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel dari S.K. Lwanga dan S.
Lemeshow dkk., (1997) dalam software version by KC Lun and Peter Chiam
untuk uji hipotesis odds-ratio dengan rumus dan ketentuan yang digunakan seperti
berikut ini.
2
21
2
22111222/1
)(
}1)1()1(2{
PP
PPPPZPPZn
Tingkat kemaknaan (α=) sebesar 5%.
Kekuatan (β) sebesar 80%.
Hipotesa alternatif dua sisi.
Proporsi keterlambatan ke rumah sakit pada kejadian DSS (P1) sebesar 59,2%.
Proporsi keterlambatan ke rumah sakit pada penderita DBD (P2) sebesar 31,6%.
36
Berdasarkan perhitungan dari rumus di atas didapatkan jumlah sampel
minimal yang diperlukan yaitu 46 orang untuk kelompok kasus, sedangkan untuk
kelompok kontrol dipakai 2 kali kasus sehingga jumlahnya sebanyak 92 orang
sehingga total sampel minimal yaitu 138 orang dengan rasio kasus dan kontrol
(1:2). Total sampel tersebut dianggap cukup untuk dapat melakukan analisis
multivariat dengan tujuan mengetahui pengaruh variabel bebas dengan
pertimbangan varibel penelitian.
Namun dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan adalah semua
pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan data dari rekam medik di
RSUD Wangaya Kota Denpasar pada tahun 2013 terdapat sebanyak 1.046 pasien
DBD yang rawat inap dengan DSS sebanyak 20 kasus (1,91%), sedangkan tahun
2014 terdapat 989 pasien DBD yang rawat inap dengan DSS sebanyak 27 kasus
(2,73%). Jadi pada periode tahun 2013-2014 menunjukkan jumlah kejadian DSS
47 kasus dan 2.035 pasien DBD yang dirawat inap, sehingga jumlah sampel
minimal sudah dapat dipenuhi dengan rasio kasus dan kontrol (1:2).
Penggunaan semua sampel DSS dikarenakan dengan pertimbangan jumlah
kejadian DSS yang kecil 2,41% dari pasien DBD yang rawat inap di RSUD
Wangaya selama tahun 2013-2014 dan mempertimbangkan kemungkinan ada data
missing pada varibel-varibel yang diteliti.
4.4.3 Cara pengambilan sampel untuk mendapatkan faktor risiko
Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi dari register pasien di
ruang perawatan dan catatan rekam medik, selanjutnya dilakukan penelusuran
dokumen catatan/les rekam medik di RSUD Wangaya Kota Denpasar selama
37
tahun 2013-2014. Setiap satu kasus dipasangkan dengan dua kontrol yang
memiliki kesamaan tempat tinggal berdasarkan kecamatan di Kota Denpasar.
Pemilihan kontrol dilaksanakan dengan cara sistematik random dari data sekunder
yang sudah berurutan sesuai tanggal masuk rumah sakit, selanjutnya dari data
calon responden itu dicari intervalnya pada setiap kecamatan di Kota Denpasar
dan yang menjadi kontrol dari kasus yang ada di kecamatan tersebut.
Pengumpulan data untuk sampel yang jumlahnya cukup besar tersebut
dibantu oleh petugas rekam medik di RSUD Wangaya dan petugas surveilans
Dinas Kesehatan Kota Denpasar yang sebelumnya dilakukan persamaan persepsi
dalam pengisian formulir ekstrak data sesuai kepentingan data yang dibutuhkan
oleh peneliti. Dalam penelitian ini yang dipakai sampel yaitu harus memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi seperti berikut ini.
a. Kriteria inklusi.
Kriteria yang diikutkan dalam penelitian untuk kasus yaitu penderita
bertempat tinggal di Kota Denpasar dengan diagnosa DSS yang tercatat
pada les rekam medik di RSUD Wangaya Kota Denpasar selama tahun
2013-2014. Sedangkan kriteria kontrol adalah penderita bertempat tinggal
se-kecamatan di Kota Denpasar yang dengan diagnosa DBD yang tercatat
pada les rekam medik di RSUD Wangaya Kota Denpasar selama tahun
2013-2014.
38
b. Kriteria eksklusi.
Kriteria kasus dan kontrol yang tidak diikutkan dalam penelitian apabila
data tidak lengkap antara lain tidak memiliki data hasil konfirmasi
laboratorium, dan subjek dengan penyakit penyerta.
4.5 Identifikasi Variabel
a. Variabel terikat adalah kejadian DSS.
b. Variabel bebas antara lain yaitu umur, jenis kelamin, lama demam
sebelum MRS, riwayat infeksi DBD sebelumnya, hematokrit MRS,
trombosit MRS, kelas perawatan, jaminan kesehatan.
c. Variabel kendali adalah tempat tinggal.
39
4.6 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Hasil ukur Skala
Status DBD Diagnosis oleh dokter rumah sakit
di RSUD Wangaya berdasarkan
konfirmasi laboratorium selama
tahun 2013-2014
Kasus diperoleh dengan
melihat register perawatan
Kontrol diperoleh dari
data ICD rekam medik
tahun 2013-2014
Data
rekam
medik
0 = DBD (DBD
derajat I dan II)
1= DSS (DBD
derajat III dan IV)
Nominal
Umur Lama hidup subjek sejak
dilahirkan yang dihitung dalam
tahun sampai dengan penelitian
dilakukan
Melihat rekam medik
pada kolom identitas
pasien
Data
rekam
medik
0= ≥ 15 tahun
1= < 15 tahun
Nominal
Jenis kelamin Keadaan tubuh subjek yang
dibedakan secara fisik
Melihat rekam medik
pada kolom identitas
pasien
Data
rekam
medik
0 = perempuan
1= laki-laki
Nominal
Lama demam
sebelum MRS
Jumlah hari waktu mulai demam
>38oC sampai dibawa ke RSUD
Wangaya
Melihat rekam medik
pada kolom riwayat
keperawatan
Data
rekam
medik
0 = < 4 hari
1= ≥ 4 hari
Ordinal
Riwayat infeksi
DBD
Subjek pernah atau tidak
sebelumnya menderita DBD
Melihat rekam medik
pada kolom riwayat
keperawatan
Data
rekam
medik
0 = tidak pernah
1 = pernah
Nominal
40
Kelas perawatan
Jaminan
kesehatan
Hematokrit
MRS
Trombosit
MRS
Ruang rawat inap berdasarkan
perawatan yang ditempati pasien
DBD di RSUD Wangaya
Jaminan kesehatan perawatan
yang digunakan pasien DBD di
RSUD Wangaya
Nilai hematokrit pada saat pasien
masuk RSUD Wangaya
Nilai trombosit pada saat pasien
masuk RSUD Wangaya
Melihat rekam medik
pada cara masuk
Melihat rekam medik
pada cara masuk
Melihat rekam medik
pada hasil laboratorium
MRS
Melihat rekam medik
pada hasil laboratorium
MRS
Data
rekam
medik
Data
rekam
medik
Data
rekam
medik
Data
rekam
medik
0 = non perawatan
kelas III
1 = perawatan kelas III
0 = non JKBM
1 = JKBM
0 = < 42%
1 = ≥ 42%
0 = ≥ 50/cm3
1 = < 50/cm3
Ordinal
Nominal
Ordinal
Ordinal
41
4.7 Sumber, Metode dan Tehnik Pengumpulan Data
Sumber dalam pengumpulan data yaitu menggunakan data sekunder
dengan penelusuran dokumen rekam medik yang diperoleh dari RSUD Wangaya
Kota Denpasar selama tahun 2013-2014 yang sesuai dengan kriteria inklusi. Alat
pengumpulan data menggunakan format ekstraksi data sesuai nomor register
pasien untuk mendapatkan informasi beberapa variabel dari subjek penelitian.
Semua data dibuat dalam bentuk soft copy untuk memudahkan dalam
menganalisa. Berdasarkan data tersebut kemudian diambil variabel yang menjadi
perhatian peneliti yang digunakan untuk menjawab hipotesis penelitian.
Sebelum dilakukan analisis, data yang telah didapatkan selanjutnya
dilakukan proses pengolahan dengan tahapan seperti berikut ini.
1. Editing dilakukan untuk pemeriksaan seluruh data yang terkumpul dengan
melihat kelengkapan catatan rekam medik rumah sakit. Apabila ada
ditemukan data yang kurang jelas atau kurang lengkap maka akan dilihat
lagi hard copy rekam medik pasien sehingga datanya akurat.
2. Coding dilakukan untuk memberi angka-angka atau kode yang telah
ditentukan dalam definisi operasional dengan merubah beberapa data
huruf ke dalam bentuk angka guna memudahkan entry data ke komputer
seperti jenis kelamin yaitu 0= laki, 1= perempuan.
3. Entering dilakukan mulai dari menyiapkan lembar kerja di program excel
kemudian data yang sudah dikategorikan dimasukan untuk masing-masing
variabel sehingga menjadi suatu data dasar dengan memberi nama file
yang khusus dan selanjutnya dipindahkan ke dalam format STATA.
42
4. Cleaning yaitu data yang telah dimasukan kemudian dilakukan
pengecekan kembali untuk menghindari salah input data dengan cara
membuat tabulasi distribusi frekuensi untuk setiap variabel dengan data
nominal dan ordinal.
5. Tabulating yaitu data yang telah ada di dalam STATA kemudian dianalisis
secara bertahap untuk mengetahui karakteristik subjek, analisa bivariat, uji
korelasi, dan analisa multivariat yang disajikan dalam bentuk tabel.
Analisis bivariat menggunakan tabel silang 2x2 dengan ukuran asosiasi dari
nilai Odds Ratio (OR) dari masing-masing variabel yang diteliti antara variabel
bebas dengan variabel terikat yang dihitung berdasarkan rumus OR= a.d / b.c
dengan hipotesa statistik Ho:OR=1 dan Ha:OR>1 dan diuji dengan Chi Square
menggunakan tingkat kemaknaan 95% (α= 5%). Faktor risiko yang dianalisis
secara bivariat bertujuan untuk menentukan pengaruhnya terhadap kejadian DSS
dan menentukan variabel yang dimasukan ke dalam analisis multivariat. Variabel
yang dinyatakan berhubungan secara signifikan apabila nilai p <0,05.
Semua faktor risiko yang sudah dianalisis secara bivariat dengan
menunjukkan hasil nilai p <0,25 yang bermakna secara substansi dan setelah
melakukan uji korelasi terhadap variabel-variabel yang saling berhubungan, maka
dapat selanjutnya ditentukan variabel yang dimasukkan ke dalam model analisis
multivariat menggunakan metode regresi logistik sesuai variabel yang dianalisis.
Analisis regresi logistik merupakan analisis untuk faktor yang secara
independen berpengaruh terhadap kejadian variabel tergantung. Semua variabel
terikat tersebut dimasukkan secara bersama-sama. Ukuran asosiasi yang
43
digunakan adalah Adjusted OR dengan menggunakan tingkat kemaknaan 95%CI
(α= 5%). Variabel degan nilai p yang tidak signifikan dikeluarkan mulai dari nilai
p tertinggi. Berdasarkan perhitungan tersebut akan diketahui pengaruh murni dari
variabel tersebut.
44
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Tempat Penelitian
Kota Denpasar merupakan sebuah kota di Pulau Bali dan sekaligus
menjadi ibu kota Provinsi Bali, Indonesia yang terdiri dari empat kecamatan dan
yang terdiri dari 43 desa/kelurahan. Keempat kecamatan tersebut yaitu
Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Denpasar
Timur, dan Kecamatan Denpasar Utara.
RSUD Wangaya terletak di Kota Denpasar dan mudah dijangkau. RSUD
Wangaya adalah rumah sakit negeri kelas B sesuai Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 538/Menkes/SK/IV/2003 dan mampu memberikan
pelayanan rujukan dari puskesmas dan rumah sakit kabupaten. Rumah sakit ini
tersedia 192 tempat tidur inap, 79 tenaga dokter dan 40 diantaranya adalah dokter
spesialis, 252 perawat. Instalasi rawat inap umum disediakan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Pasien yang
dirawat di instalasi rawat inap umum terdiri dari pasien umum, pasien rujukan
puskesmas, pasien Askes, pasien JKBM, maupun pasien miskin.
Tarif yang diberlakukan pada insalasi rawat inap dibedakan berdasarkan
kelas perawatan sesuai Peraturan Daerah Kota Denpasar. Kasus DBD merupakan
10 penyakit terbanyak di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Adapun kelas
perawatannya terdiri dari kelas III, kelas II, kelas I, dan kelas VIP Praja Amerta.
Salah satu indikator yang cukup penting untuk mengukur derajat kesehatan
44
45
masyarakat yaitu mortalitas. Kejadian DSS di Kota Denpasar selalu ada setiap
tahun dan dapat berisiko kematian pada penderita DBD.
Penelitian penelusuran faktor risiko kejadian DSS pada penderita DBD
yang rawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar tahun 2013-2014
dilaksanakan pada bulan Maret-April 2015. Pengambilan data penelitian ini
dilakukan menggunakan data sekunder dari register pasien dan laporan
International Classification of Diseases (ICD) 10 rekam medik tahun 2013-2014
dengan mencatat sesuai dengan form data yang telah disiapkan.
Setelah melakukan seleksi terhadap subjek data di RSUD Wangaya Kota
Denpasar, pada tahun 2013 terdapat sebanyak 1.046 pasien DBD yang rawat inap
dengan kasus DSS sebanyak 20 orang. Sedangkan tahun 2014 terdapat 989 pasien
DBD yang rawat inap dengan kasus DSS sebanyak 27 orang. Jadi pada periode
tahun 2013-2014 di RSUD Wangaya Kota Denpasar yang memenuhi kriteria
untuk kasus yang diikutkan dalam sampel penelitian sebanyak 47 (2,31%) pasien
DSS dari 2.035 pasien DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya.
Jumlah sampel minimal yang diperlukan yaitu 46 orang untuk kasus,
maka total 47 pasien DSS (33,33%) ditetapkan dalam jumlah kasus dan jumlah
kontrol akan dipakai 2 kali kasus sehingga jumlahnya sebanyak 94 orang
(66,67%) yang dikendalikan berdasarkan tempat tinggal se-kecamatan di Kota
Denpasar. Sehingga jumlah sampel keseluruhan dalam penelitian ini yaitu 141
orang dengan perbandingan antara kasus dan kontrol (1:2).
46
5.2 Karakteristik Sampel Penelitian
Distribusi prosentase masing-masing karakteristik sampel dari penelitian
ini yang ada pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan hasil berikut ini.
Menurut kelompok umur distribusi sampel dikategorikan menjadi dua yaitu pada
kelompok umur <15 tahun yang menjadi kasus sebanyak 21 (44,68%) dan
kontrolnya berjumlah 26 (27,66%). Sedangkan pada kelompok umur ≥15 tahun
yang menjadi kasus 26 (55,32%) dan kontrolnya sebesar 68 (72,34%). Median
(IQR) umur sampel pada kontrol adalah 19 (27) tahun dan kasus 20 (20) tahun.
Jenis kelamin sampel penelitian ini lebih besar pada laki-laki. Prosentase
laki-laki pada kasus sebesar 55,32% dan yang menjadi kontrol 56,38. Sedangkan
prosentase perempuan pada kasus sebesar 44,68% dan kontrolnya 43,62%,
sehingga secara keseluruhan prosentase sampel lebih banyak jenis kelamin laki-
laki dari pada perempuan (56,03%).
Dilihat dari tempat tinggal sampel se-kecamatan di Kota Denpasar dengan
perbandingan kasus dan kontrol (1:2), bahwa urutan prosentase sampel dari yang
paling besar yaitu di Kecamatan Denpasar Barat (46,81%), Kecamatan Denpasar
Utara (25,53%), Kecamatan Denpasar Timur (14,89%), Kecamatan Denpasar
Selatan (12,77%).
5.3 Penentuan Faktor Risiko Kejadian DSS pada Penderita DBD
Peran masing-masing variabel yang diduga sebagai faktor risiko kejadian
DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar
tahun 2013-2014 dapat dilihat dengan melakukan analisis bivariat. Pada
47
penelitian ini, hasil analisis bivariat dapat dilihat pada tabel silang 2x2 yang diuji
dengan chi square sebagai berikut ini.
Tabel 5.1
Hasil Analisis Bivariat Variabel Risiko Kejadian DSS pada Penderita DBD
yang Dirawat Inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar Tahun 2013-2014
Karakteristik DBD
n (%)
DSS
n (%)
Crude
OR
95%CI P
Umur
2,11
0,95-4,67
0,043 ≥15 tahun 68 (72,34) 26 (55,32)
<15 tahun 26 (27,66) 21 (44,68)
Jenis kelamin
Perempuan 41 (43,62) 21 (44,68)
Laki-laki 53 (56,38) 26 (55,32) 0,96 0,45-2,06 0.904
Lama demam
sebelum MRS
<4 hari 62 (65,96) 9 (19,15)
≥4 hari 32 (34,04) 38 (80,85) 8,18 3,32-21,38 0,001
Riwayat infeksi DBD
8,05
1,42-81,41
0,003
Tidak Pernah 92 (97,87) 40 (85,11)
Pernah 2 (2,13) 7 (14,89)
Hematokrit MRS
<42%
≥42%
Trombosit MRS
≥50/cm3
<50/cm3
54 (57,45)
40 (42,55)
81 (86,17)
13 (13,83)
13 (27,66)
34 (72,34)
19 (40,43)
28 (59,57)
3,53
1,56-8,21
3,73-22,9
0,001
0,001
Kelas perawatan
Non Kelas III
73 (77,66)
27 (57,45)
2,57
1,12-5,85
0,013 Kelas III 21 (22,34) 20 (42,55)
Jaminan kesehatan
5,33
2,31-12,33
0,001
Non JKBM 75 (79,79) 20 (42,55)
JKBM
19 (20,21)
27 (57,45)
Tabel 5.1 menunjukkan hasil analisis bivariat variabel risiko kejadian DSS
pada penderita DBD dengan crude OR >1 dapat dilihat bahwa umur <15 tahun,
lama demam sebelum MRS ≥4 hari, riwayat infeksi DBD sebelumnya, perawatan
kelas III, jaminan kesehatan daerah atau JKBM, hematokrit MRS ≥42%, dan
48
trombosit MRS <50/cm3, bermakna secara statistik meningkatkan risiko kejadian
DSS. Sedangkan jenis kelamin tidak bermakna secara statistik sebagai faktor
risiko kejadian DSS. Penderita DBD dengan umur <15 tahun meningkatkan risiko
kejadian DSS dengan OR sebesar 2,11 (95%CI= 0,95-4,67). Lama demam
sebelum MRS ≥4 hari mempunyai risiko terjadi DSS dengan OR sebesar 8,18
(95%CI= 3,32-21,38). Riwayat infeksi DBD sebelumnya meningkatkan risiko
terjadinya DSS pada penderita DBD dengan OR sebesar 8,05 (95%CI= 1,42-
81,41).
Variabel hematokrit MRS ≥42% mempunyai OR sebesar 3,53 (95%CI=
1,56-8,21) yang menunjukkan bahwa penderita DBD dengan hematokrit MRS
≥42% memiliki risiko 3,53 kali lebih besar mengalami DSS. Variabel trombosit
MRS <50/cm3 dengan OR sebesar 9,18 (95%CI= 3,73-22,9) yang berarti bahwa
penderita DBD yang memiliki trombosit MRS <50/cm3 memiliki 9,18 kali lebih
berisiko untuk menjadi DSS.
Variabel lain dari hasil analisis bivariat diketahui bahwa kelas perawatan
pada kelas III dapat memiliki risiko terjadi DSS dengan OR sebesar 2,57
(95%CI= 1,12-5,85) dan pada variabel jaminan kesehatan daerah atau JKBM
diperoleh OR sebesar 5,33 (95%CI=2,31-12,33) sehingga variabel ini bisa
dimasukkan dalam model analisis multivariat.
Ruang perawatan kelas III umumnya lebih banyak untuk perawatan pasien
miskin atau yang memanfaatkan program JKBM sehingga dari segi ekonomi
dapat menghambat akses ke rumah sakit karena masih memikirkan biaya atau
beban lainnya walapun mendapat perawatan gratis yang menyebabkan
49
keterlambatan berobat dan berhubungan dengan kejadian syok. Prosedur untuk
memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta JKBM ke rumah sakit memerlukan
proses rujukan dimana peserta yang memerlukan pelayanan dasar harus ke
puskesmas dan jaringannya terlebih dahulu, kecuali untuk keadaan gawat darurat
peserta dapat langsung rumah sakit jejaring JKBM terdekat.
Berdasarkan hal itu, maka dua variabel dengan skala ordinal tersebut yaitu
variabel perawatan kelas III dan variabel jaminan kesehatan daerah atau JKBM
sebelum dimasukkan ke dalam model analisis multivariat terlebih dahulu
dilakukan pengukuran korelasi Kendall’s Tau untuk mengukur kekuatan dan arah
hubungannya.
Hubungan antara perawatan kelas III dan JKBM sebesar 0,687 dengan
angka signifikansinya sebesar 0,001 mempunyai makna bahwa hubungannya
kuat, signifikan dan searah. Selanjutnya variabel perawatan kelas III yang
dimasukkan ke dalam model analisis multivariat karena memiliki nilai goodness
of fit test sebesar 0,8104 yang semakin mendekati satu. Disamping itu, variabel
perawatan kelas III dapat menghambat secara langsung akses ke tempat
pelayanan kesehatan daripada variabel jaminan kesehatan program JKBM. Hal ini
sesuai hasil penelitian Anny (2012), semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang
maka minat pemanfaatan layanan program JKBM semakin rendah.
5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko Kejadian DSS
Variabel bebas yang akan diikutkan dalam model awal analisis multivariat
yaitu umur <15 tahun, lama demam sebelum MRS ≥4 hari, riwayat infeksi DBD
50
sebelumnya, perawatan kelas III, hematokrit MRS ≥42%, dan trombosit MRS
<50/cm3. Semua variabel bebas tersebut di atas merupakan variabel katagorikal
maka analisis yang dipakai adalah regresi logistik dalam analisis multivariat
untuk mendapatkan Adjusted Odd Ratio dengan menggunakan tingkat kemaknaan
95%CI (α= 5%) dengan metode enter. Berdasarkan perhitungan tersebut akan
diketahui pengaruh murni dari variabel tersebut dan dapat diketahui variabel
mana yang paling berpengaruh terhadap kejadian DSS. Analisis multivariat dalam
penelitian ini didapatkan hasil sesuai tabel berikut ini.
Tabel 5.2
Hasil Analisis Multivariat Variabel Risisko Kejadian DSS pada Penderita
DBD yang Dirawat Inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar
Tahun 2013-2014
Variabel Adjusted
OR
95%CI Nilai p
Lower Upper
Umur <15 tahun 2,5 0,94 6,88 0,067
Lama demam sebelum MRS ≥4 hari 5,5 2,03 14,96 0,001
Riwayat infeksi DBD sebelumnya 11,6 1,83 73,96 0,009
Hematokrit MRS ≥42% 2,8 1,02 7,68 0,001
Trombosit MRS <50/cm3 5,2 1,88 14,36 0,001
Perawatan kelas III 2,9 1,01 8,29 0,049
Berdasarkan hasil analisis multivariat di atas maka dapat diketahui bahwa
enam faktor risiko tersebut yang secara independen atau setelah
mempertimbangkan faktor risiko yang lain meningkatkan risiko terhadap kejadian
DSS di RSUD Wangaya Kota Denpasar, adalah umur <15 tahun merupakan
faktor independen yang meningkatkatkan risiko kejadian DSS dengan OR sebesar
2,5 (95%CI= 0,94-6,88), lama demam sebelum MRS ≥4 hari secara independen
meningkatkan risiko kejadian DSS dengan OR sebesar 5,5 (95%CI= 2,03-14,96),
51
riwayat infeksi DBD sebelumnya secara independen berperan meningkatkan
risiko kejadian DSS dengan OR sebesar 11,6 (95%CI= 1,83-73,96), hematokrit
MRS ≥42% secara independen berperan meningkatkan risiko kejadian DSS
dengan OR sebesar 2,8 (95%CI= 1,02-7,68), trombosit MRS <50/cm3 secara
independen berperan meningkatkan risiko kejadian DSS dengan OR sebesar 5,2
(95%CI= 1,88-14,36), dan perawatan kelas III berpeluang secara independen
berperan meningkatkan risiko kejadian DSS dengan OR sebesar 2,9 (95%CI=
1,01-8,29).
52
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Hubungan Variabel dengan Kejadian DSS
6.1.1 Umur
Berdasarkan hasil analisis multivariat, ternyata umur <15 tahun
merupakan faktor yang secara independen meningkatkan risiko kejadian DSS
pada penderita DBD dibandingkan dengan umur ≥15 tahun dengan OR sebesar
2,5. Hasil yang mendukung penelitian ini disampaikan oleh Moraes dkk. (2013)
bahwa umur <4 tahun merupakan faktor risiko yang independen berpengaruh
terhadap terjadinya DSS sebesar 1,83 kali.
Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang menyatakan tidak ada
hubungan antara umur dengan kejadian DSS, dimana hasil penelitian Setiawati
(2011) menyebutkan umur balita dan umur anak sekolah tidak berhubungan
secara statistik dengan kejadian DSS (OR= 0,21 CI= 0,018-2,50). Hasil ini
diperkuat oleh hasil penelitian Harisnal (2012) dan Silvarianto (2013) yang
menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian
DSS.
Menurut WHO (2009), penyakit DBD di Asia Tenggara dan Selatan
merupakan penyebab utama rawat inap di rumah sakit dan penyebab kematian
tertinggi pada anak-anak. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori spektrum klinis
DBD disebutkan bahwa penyakit DBD bisa terjadi pada semua umur, namun
lebih banyak kasus ditemukan pada pasien anak-anak yang menunjukkan lebih
52
53
rentan terhadap kebocoran pembuluh darah (Depkes RI, 2004). Selain itu, risiko
syok lebih banyak ditemukan pada anak-anak oleh karena gejala klinis DBD yang
susah dikenali pada anak-anak sehingga menjadi penyebab renjatan hipovolemik
karena perdarahan (Latief, 2005).
Karakteristik gejala penyakit DBD pada anak perlu difahami dan
dilakukan pemeriksaan secara cepat dan tepat sehingga dapat dilakukan upaya
pencegahan terjadinya DSS. Riset pengembangan vaksin perlu diupayakan untuk
dapat mengurangi kejadian infeksi dengue mulai dari anak-anak yang sangat
bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dan mengurangi beban sosial maupun
ekonomi keluarga.
6.1.2 Jenis Kelamin
Dalam penelitian ini, tidak ditemukan pengaruh secara signifikan antara
jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dengan kejadian DSS yang sudah
dapat diketahui dari analisis bivariat dengan crude OR sebesar 0,96
(95%CI=0,45-2,06). Hasil ini sesuai dengan penelitian Elmy dkk. (2009),
Setiawati (2011), Silvarianto (2013) yang menyimpulkan tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian DSS.
Hasil penelitian yang berbeda menggambarkan bahwa jenis kelamin
perempuan 3,2 kali lebih berisiko mengalami kejadian DSS dibandingkan laki-
laki (Harisnal, 2012). Selain itu penelitian (Anders dkk., 2011), juga menyebutkan
bahwa anak perempuan berisiko lebih tinggi sebesar 1,19 kali mengalami
kejadian DSS dibandingkan anak laki-laki.
54
Berdasarkan teori yang diperoleh bahwa penyakit menular dapat
menyerang semua jenis kelamin (Widoyono, 2011). Penyakit DBD termasuk
kejadian DSS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang
dapat menginfeksi setiap orang dengan patogenisis syok yang sama pada jenis
kelamin laki-laki dan perempuan.
6.1.3 Lama demam sebelum MRS
Dalam penelitian ini ditemukan hasil pada variabel lama demam ≥4 hari
sebelum MRS terbukti sebagai faktor risiko yang independen berpengaruh
terhadap terjadinya DSS, dimana lama demam ≥4 hari sebelum MRS
meningkatkan risiko terjadinya DSS sebesar 5,5 pada penderita DBD
dibandingkan penderita dengan lama demam sebelum MRS <4 hari. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Harisnal (2012). Sudjana (2010) juga
menyebutkan bahwa fase syok terjadi pada hari ketiga sampai hari ketujuh.
Namun Setiawati (2011), menyebutkan lama demam di rumah tidak ada
hubungan dengan terjadinya DSS dengan OR sebesar 0,001.
Menurut WHO (2009) penderita DBD dapat berada pada suatu fase dari
tiga fase yaitu fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan. Spektrum klinis
infeksi virus dengue dapat asimtomatis (tidak bergejala) dan simtomatis
(bergejala). DBD ditandai dengan gejala awal demam yang mendadak serta
timbulnya tanda dan gejala klinis yang tidak khas (Depkes RI, 2004).
Berdasarkan hasil dan teori yang diperoleh membuktikan bahwa
keterlambatan masyarakat datang berobat ke fasilitas kesehatan adalah faktor
yang sering membuat penderita DBD menjadi syok (Depkes RI, 2004). Hasil
55
penelitian ini tentang faktor lama demam ≥4 hari sebelum MRS berperan
meningkatkan risiko terjadinya syok, oleh karena itu apabila menderita demam
pada hari pertama atau hari kedua demam yang tidak jelas penyebabnya agar
segera memeriksakan diri untuk mengetahui hasil laboratorium dan mendapat
pengobatan yang tepat.
6.1.4 Riwayat infeksi DBD sebelumnya
Pada analisis multivariat untuk mengetahui peranan riwayat infeksi DBD
terhadap kejadian DSS diperoleh adjusted OR sebesar 11,6. Hasil ini
menunjukkan bahwa riwayat infeksi DBD merupakan faktor yang secara
independen meningkatkan risiko terhadap kejadian DSS sebesar 11,6 kali pada
penderita DBD.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya seperti penelitian Silvarianto (2013) menunjukkan OR sebesar 8,23.
Namun hasil penelitian yang berbeda disebutkan bahwa riwayat infeksi DBD
sebelumnya tidak bermakna signifikan mempengaruhi kejadian DSS setelah
dianalisis multivariat (Elmy dkk., 2009) dan (Setiawati, 2011).
Sesuai dengan teori bahwa beberapa faktor yang ada pada manusia itu
sendiri dapat menentukan terjangkitnya penyakit DBD maupun keparahannya
untuk menjadi DSS. Secara patogenesis yang dapat menjelaskan hal ini adalah
faktor virus serta respons imun cell-mediated. Penderita yang sembuh dari infeksi
dengan satu jenis serotipe virus akan memberikan imunitas seumur hidup, tetapi
tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi serotipe lain. Pada infeksi kedua
oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda sehingga virus yang masuk tidak
56
sesuai dengan antibodi hospest maka keadaan penderita akan menjadi parah
karena terjadi antibodi non netralisasi yang memiliki sifat memacu reflikasi virus
(Kemenkes RI, 2011). Variabel riwayat infeksi DBD merupakan variabel yang
dapat berperan mempengaruhi kejadian DSS (Guha dkk., 2005).
Pada penelitian ini diperoleh data sampel sebanyak 141, sebagian besar
tidak pernah mengalami sakit DBD sebelumnya atau tidak pernah ada riwayat
infeksi DBD (93,62%). Data ini kemungkinan dipengaruhi oleh karena
menggunakan data sekunder dan bias pada waktu anamnesa. Namun riwayat
infeksi DBD pada penelitian ini merupakan variabel yang paling berperan
mempengaruhi kejadian DSS yaitu pada penderita DBD yang pernah mengalami
infeksi DBD sebelumnya berpeluang 11,6 kali mengalami DSS dibandingkan
yang tidak pernah mengalami riwayat infeksi DBD.
Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) perlu diupayakan untuk
meningkatkan kewaspadaan dini pada orang yang sudah pernah kena infeksi DBD
dari pada orang yang belum pernah terinfeksi DBD dan apabila mengalami
demam serta gejala lainnya yang mengarah DBD harus dengan segera ke rumah
sakit.
6.1.5 Hematokrit MRS
Data hematokrit yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai
hematokrit pada saat masuk rumah sakit berdasarkan data sekunder rekam medik
RSUD Wangaya Kota Denpasar. Dalam penelitian ini diperoleh hasil tentang
variabel hematokrit MRS ≥42% menunjukkan OR sebesar 2,8 yang berarti
hematokrit MRS ≥42% secara independen dan signifikan meningkatkan risiko
57
sebesar 2,8 kali mengalami kejadian DSS pada penderita DBD dibandingkan
dengan yang hematokrit MRS <42%.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang menyatakan hematokrit
berhubungan dengan kejadian DSS (Mayetti, 2010; Setiawati, 2011; Harisnal,
2012; Tee dkk., 2009; dan Moraes dkk., 2013). Sedangkan hasil penelitian
Karolina dkk. (2013), syok lebih sering ditemukan pada hematokrit >40% tetapi
hubungannya tidak bermakna (p= 0,25).
Perbedaan hasil tersebut bisa dapat disebabkan oleh karena penentuan cut
of point nilai hematokrit dan intake sebelum MRS. Hemokonsentrasi
mencerminkan hilangnya plasma yang serius yang ditandai dengan peningkatan
nilai hematokrit ≥20%, namun nilai hematokrit juga dapat dipengaruhi oleh
penggantian dini volume, intake kurang, dehidrasi, dan perdarahan. Syok
merupakan hipovolemik yang disebabkan oleh hilangnya plasma. Nilai
hematokrit dapat meningkat biasanya mulai hari ketiga dari perjalanan penyakit
DBD (Kemenkes RI, 2011). Pada kasus DBD parah yang telah disertai
perdarahan, secara umum nilai hematokritnya tidak meningkat dan bahkan
cenderung menurun (Hadinegoro, 2013).
Menurut WHO (2004), pasien biasanya akan sembuh sempurna dengan
segera setelah mendapat pengobatan penggantian cairan atau terapi elektrolit.
Pemeriksaan hematokrit berkala adalah panduan utama untuk memberi
pengobatan. Meskipun terdapat tingkat kebocoran yang masif terutama pada
kasus syok, diharuskan pemberian cairan dalam jumlah yang tepat.
58
Peningkatan hematokrit saat MRS ≥42% menunjukkan telah terjadi
kehilangan cairan lebih banyak yang sesuai dengan hasil lama demam sebelum
MRS mencerminkan adanya keterlambatan berobat. Penderita DBD perlu segera
periksa darah apabila mengalami demam pada hari pertama atau kedua karena
perubahan patofisiologis hematokrit dapat menentukan derajat penyakit DBD
sehingga perlu diperhatikan untuk mendapatkan pengobatan yang tepat.
6.1.6 Trombosit MRS
Dalam analisis multivariat menunjukkan variabel trombosit MRS <50/cm3
memiliki 5,2 kali lebih berisiko untuk menjadi DSS dibandingkan dengan
penderita DBD yang memiliki trombosit MRS ≥50/cm3. Hasil temuan yang sama
dijumpai pada penelitian Raihan dkk. (2010) yang menemukan bahwa syok lebih
sering terdapat pada kadar trombosit <50.000/mm3. Hasil penelitian yang
mendukung juga yaitu penelitian yang dilaksanakan oleh Mayetti (2010), dan
Setiawati (2011).
Sesuai dengan teori bahwa kelainan sistem koagulasi mempunyai peranan
sebagai penyebab perdarahan pada penderita DBD. Trombositopenia dapat mulai
tampak pada penderita DBD beberapa hari setelah demam dan mencapai nilai
terendah pada saat mengalami syok. Pemeriksaan perlu diulang setiap 4-6 jam
sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau keadaan klinis
penderita sudah membaik (Kemenkes RI, 2013).
Jumlah trombosit perlu mendapat perhatian khusus untuk mengetahui
indikasi resiko terjadinya keparahan DBD yang menyebabkan kejadian DSS pada
pasien DBD. Hasil jumlah trombosit MRS <50/cm3 hendaknya harus diwaspadai
59
oleh pederita DBD karena berisiko terjadi DSS oleh karena dengan jumlah
trombosit tersebut dapat mengakibatkan perdarahan spontan. Pemeriksaan
lengkap darah yang disangka menderita DBD perlu dilakukan untuk menegakkan
diagnosis dan pengobatan yang tepat.
6.1.7 Kelas perawatan
Analisis multivariat dalam penelitian ini diperoleh hasil pada variabel
perawatan kelas III secara independen bermakna meningkatkan risiko kejadian
DSS pada penderita DBD dengan OR sebesar 2,9. Sesuai dengan deskripsi Fahlafi
(1994), yang menggambarkan bahwa karakteristik sosial ekonomi pada pasien
rawat inap berhubungan dengan pemilihan kelas perawatan, dimana penetapan
tarif kelas perawatan sangat menentukan permintaan dari kelompok
berpendapatan rendah dibandingkan kelompok berpendapatan tinggi. Beban
ekonomi dan sosial dari penderita atau keluargannya dapat merupakan hambatan
untuk segera berobat atau mendapat pertolongan di rumah sakit.
Hasil ini menunjukkan perawatan kelas III walaupun seolah-olah
mempunyai pengaruh terhadap kejadian DSS tetapi ternyata bukan berpengaruh
lansung. Perawatan kelas III terlihat sebagai faktor risiko namun lebih
berhubungan dengan keterlambatan ke rumah sakit untuk mendapat pengobatan
oleh karena pasien DBD yang dirawat di kelas III cenderung mempunyai ekonomi
yang lemah. Beban ekonomi dan sosial dari penderita atau keluargannya dapat
merupakan hambatan untuk mendapatkan akses ke pelayanan kesehatan dengan
baik.
60
Pengembangan pelayanan kesehatan untuk menegakkan diagnosa dini
penyakit DBD ditingkat pelayanan dasar atau puskesmas perlu diupayakan
sehingga masyarakat dengan golongan ekonomi lemah dapat mengakses dan bisa
mendapat pertolongan yang tepat dengan segera.
6.2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder atau subjek dari rumah sakit
(hospital based) sehingga data yang diperoleh sangat tergantung dari hasil
pelaporan dan dalam penelitian ini yaitu pencatatan rekam medik sehingga tidak
semua variabel bisa didapatkan untuk keperluan penelitian seperti status gizi yang
mempengaruhi fungsi kinerja berbagai system tubuh, serotipe virus dengue
karena bisa berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh.
Validasi mengenai informasi sukar diperoleh khususnya untuk variabel
riwayat infeksi DBD dan lama demam sebelum MRS karena kemungkinan terjadi
recall bias atau ada bias informasi dari penderita maupun keluarganya sehingga
dapat mengakibatkan kesalahan estimasi besar OR yaitu bisa menjadi lebih tinggi
atau lebih rendah dari hasil penelitian ini. Hasil pemeriksaan serelogi juga tidak
ada datanya yang berguna untuk mengetahui jenis infeksi DBD yang pertama atau
infeksi DBD yang berulang. Arah kesalahan yang sama juga pada pengaruh lama
demam sebelum MRS terhadap risiko kejadian DSS karena gejala DBD juga bisa
asimtomatis.
61
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis pembahasan faktor risiko
kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota
Denpasar tahun 2013-2014 seperti yang diuraikan dibawah ini.
1. Faktor yang secara independen meningkatkan risiko kejadian DSS pada
penderita DBD adalah umur <15 tahun dengan OR sebesar 2,5; riwayat
infeksi DBD sebelumnya diperoleh OR sebesar 11,6; lama demam
sebelum MRS ≥4 hari dengan OR sebesar 5,5; trombosit MRS <50/cm3
dengan OR sebesar 5,2; hematokrit MRS ≥42% dengan OR sebesar 2,8;
dan perawatan kelas III dengan OR sebesar 2,9.
2. Variabel yang tidak bermakna meningkatkan risiko kejadian DSS pada
penderita DBD adalah jenis kelamin.
7.2 Saran
1. Meningkatkan kewaspadaan dini pada orang tua bahwa karakteristik
gejala penyakit DBD pada umur <15 tahun perlu difahami dan apabila
demam yang tidak jelas agar dilakukan pemeriksaan secara cepat dan tepat
sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan terjadinya DSS.
2. Tingkatkan kewaspadaan jika ada pederita yang pernah terinfeksi DBD
sebelumnya untuk mencegah syok atau keparahannya karena berdasarkan
61
62
hasil analisis didapatkan hubungan pengaruh yang kuat antara riwayat
pernah infeksi DBD dengan kejadian DSS.
3. Segera memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan apabila ada masyarakat
menderita panas dengan penyebab yang tidak jelas karena lama demam
sebelum MRS, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian DSS.
4. Kepada praktisi swasta (dokter atau bidan yang praktik mandiri), apabila
didapatkan pasien dengan menderita demam yang tidak jelas agar merujuk
pasien untuk melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui nilai
hematokrit dan juga trombosit darah.
5. Nilai hematokrit ≥42% dan kadar trombosit <50/cm3 pada saat penderita
DBD masuk rumah sakit harus diwaspadai untuk mengarah terjadinya
syok karena merupakan indikasi telah terjadi perdarahan spontan yang
mempercepat kejadian syok akibat kebocoran plasma yang lebih berat.
6. Menyediakan sarana untuk pemeriksaan hematokrit dan trombosit pada
pelayanan kesehatan masyarakat tingkat dasar (puskesmas) agar bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat golongan ekonomi lemah untuk mencegah
keterlambatan diagnosa.
7. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap status riwayat infeksi
DBD berdasarkan hasil serelogi, tipe virus dengue di masyarakat, dan
faktor genetik karena bisa berkaitan dengan keparahan penyakit DBD
tersebut. Penelitian lebih lanjut perlu juga untuk mengetahui peyebab
keterlambatan berobat ke rumah sakit dari segi sosial, budaya dan
ekonomi masyarakat.
63
DAFTAR PUSTAKA
Anders, K. L., Nguyet, N. M., Chau, N. V. V., Hung, N. T., Thuy, T. T., Lien, L.
B., … Simmons, C. P. (2011). Epidemiological Factors Associated With
Dengue Shock Syndrome And Mortality In Hospitalized Dengue Patients In
Ho Chi Minh City, Vietnam. The American Journal of Tropical Medicine and
Hygiene, 84(1), 127–34. doi:10.4269/ajtmh.2011.10-0476
Anny Eka Pratiwi. (2012). Minat Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Bagi
Peserta Program Jaminan Kesehatan Bali Mandara Studi Di Kabupaten
Karangasem Dan Kabupaten Badung.
Arhana, B. N. P. (2006). Rasio IgM/IgG Fase Akut Untuk Menentukan Infeksi
Dengue Sekunder. Sari Pediatri, 8.
Beaumier, C. M., Mathew, A., Bashyam, H. S., & Rothman, A. L. (2008). Cross-
Reactive Memory Cd8(+) T Cells Alter The Immune Response To
Heterologous Secondary Dengue Virus Infections In Mice In A Sequence-
Specific Manner. The Journal of Infectious Diseases, 197(4), 608–17.
doi:10.1086/526790
Capeding, M. R., Chua, M. N., Hadinegoro, S. R., Hussain, I. I. H. M.,
Nallusamy, R., Pitisuttithum, P., … Wartel, T. A. (2013). Dengue and Other
Common Causes of Acute Febrile Illness in Asia: An Active Surveillance
Study in Children. PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(7).
doi:10.1371/journal.pntd.0002331
Crisp, J., Pearson, A., White, J., & Nightingale, F. (2012). Fundamentals of
Nursing Nursing today The history of modern nursing.
Dinkes Kota Denpasar. (2014). Laporan Program P2 DBD. Denpasar.
Dr. Primal Sudjana, S. (2010). Diagnosis Dini Penderita Demam Berdarah
Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, Kemenkes RI, 2, 23.
Elmy. (2009). Obesitas Sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue. 11(4), 238–
243.
Fahlafi, R. (1994). Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Pasien Rawat Inap
Dengan Pemilihan Kelas Perawatan di Rsud Tangerang.
Frans, E. H. (1991). Patogenesis Infeksi Virus Dengue.
64
Guha-Sapir, D., & Schimmer, B. (2005). Dengue fever: new paradigms for a
changing epidemiology. Emerging Themes in Epidemiology, 2(1), 1.
doi:10.1186/1742-7622-2-1
Hadinegoro, S. R. S. (2013). Clinical Aspect of Dengue in Pediatric Case,
(November), 29–30.
Harisnal. (2012). Faktor-Faktor Risiko Kejadian Dengue Shock Syndrome Pada
Pasien Demam Berdarah Dengue di Rsud Ulin Dan Rsud Ansari Saleh.
Indonesia, D. K. R. (2003). Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam
Dengue dan Demam Berdarah Dengue.
Karolina Tallo, B N P Arhana, D. L., & Utama. (2013). Kejadian Perdarahan
masif pada pasien DSS dihubungkan dengan jumlah leukosit, trombosit, dan
kadar hematokrit. I(2), 64–73.
Mayetti. (2010). Hubungan Gambaran Klinis dan Lab sebagai Faktor Risiko
DBD. 11(5), 367–373.
Moraes, G. H., Duarte, E. D. F., & Duarte, E. C. (2013). Determinants of
mortality from severe dengue in Brazil: A population-based case-control
study. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 88(4), 670–676.
doi:10.4269/ajtmh.11-0774
Raihan, Hadinegoro, S. R. S., & Tumbelaka, A. R. (2010). Faktor Prognosis
Terjadinya Syok pada Demam Berdarah Dengue, 12(1), 47–52.
RI, K. (2010a). Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-2009.
Volume 2 , Agustus 2010.
RI, K. (2010b). Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009.
RI, K. (2013). Pedoman Pengendaliann DBD di Indonesia.
RI, K. K. (2011). Modul pengendalian demam berdarah dengue.
Setiawati, S. (2011). Analisis Faktor-faktor Risiko Terjadinya Dengue Syok
Sindrom pada Anak Dengan Demam Berdarah Dengue di RSUP
Persahabatan dan RSUD Budhi Asih.
Sharma SK, G. A. (2003). Dengue Hemorrhagic Fever and Dengue Shock
Syndrome - Pertinent Issues in Management.
65
Silvarianto, D. (2013). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Dengue Syok Syndrome pada Anak dengan Demam Berdarah Dengue.
Universitas Dian Nuswantoro Semarang . 2013, 0–1.
Sudigdo Sastroasmoro. (2002). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis (Edisi
5.). Jakarta: Sagung Seto.
Tee, H. P., How, S. H., Jamalludin, A. R., Safhan, M. N. F., Sapian, M. M., Kuan,
Y. C., & Sapari, S. (2009). Risk Factors Associated with Development of
Dengue Haemorrhagic Fever or Dengue Shock Syndrome in Adults in
Hospital Tengku Ampuan Afzan Kuantan. 64(4), 316–320.
U.S. Department of Health. (2009). Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever
Information for Health Care Practitioners. 1–4.
WHO. (2009). Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And
Control.
WHO. (2011). Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue
and Dengue Haemorrhagic Fever (revised an.).
Widajanti, E., Garna, H., Chairulfatah, A., & Hudaya, D. (2003). Paediatrica
Indonesiana. Paediatrica Indonesiana, 49(6), 158–161.
Widoyono. (2011). Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya (Edisi 2.). Erlangga.