Fajaria Kurniasari 13210067.K (1)

20
MAKALAH PERBANDINGAN MADZHAB BIOGRAFI SINGKAT IMAM SYAFI‟I DAN METODE PENETAPAN HUKUM MADZHAB SYAFI‟IYAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah PERBANDINGAN MADZHAB Disusun Oleh FAJARIA KURNIASARI ( 12210067.K ) JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDY SI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUTE AGAMA ISLAM MA’ARIF NU METRO LAMPUNG TAHUN 2014/2015

description

Makalah Perbandingan Madzhab

Transcript of Fajaria Kurniasari 13210067.K (1)

MADZHAB SYAFIIYAH 
Pada Mata Kuliah PERBANDINGAN MADZHAB
Disusun Oleh
METRO LAMPUNG
TAHUN 2014/2015
menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Perbandingan Madzhab  yang
 berjudul Biografi Singkat Imam Syafi’I dan metode penetapan hukum
Madzhab Syafi’iyah Selaku penulis menyadari masih banyak kesalahan dan belum
dikatakan sempurna karena keterbatasan kemampuan kami. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak penulis harapkan agar dalam
 pembuatan makalah di waktu yang akan datang bisa lebih baik lagi. 
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan baik yang
 bersifat moril maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu.
Akhirnya penulis mengaharapkan semoga makalah yang sederhana ini
 banyak memberi manfaat bagi pembaca. Amin… 
Metro, 27 Oktober 2014
Pendidikan Imam Syafii ...................................................................... 6
Karya Tulis Imam Syafii ..................................................................... 9
Pola Pemikiaran, Faktor-faktor yang mempengaruhi dan metode dalam
Menetapkan Hukum Islam ................................................................... 9
Qoul-Qodim dan Qoul-Jadid ................................................................ 17
BAB III PENUTUP ........................................................................................ .. 19
Dalam islam kita mengenal empat imam madzhab besar, yang tokoh-tokohnya
terdiri dari Imam Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali. Pandangan-pandangan dari
empat ke empat madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana
mereka mempunyai perbedaan pendapat dalam menganalisa tentang kedudukan dan
 penerapan hukum islam[1]. Namun disini pemakalah hanya akan membahas sedikit
mengenai imam Syafii, bagaimana kisah hidupnya, cara pengambilan hukum dan
sumber hokumnya. Karena Imam SyafiI secara khusus dikenang karena
membangun dan mensistematisasi metode juris prudensi (secara tradisional disebut
ushul Fiqih) yang membahas dalil-dalil syarautama, seperti Al Quran, as-Sunnah,
Ijma, Qiyas dan beberapa sumber bernilai lainnya yang tidak seluruhnya diterima
oleh seluruh madzhab-madzhab dibidang hokum.[2]
LATAR BELAKANG MASALAH
2.  Jelaskan mengenai pola pemikiran, factor- factor yang mempengaruhi dan
metode ijtihad imam Syafii dalam menetapkan hokum islam?
3.  Bagaimana seluk beluk Qaul Qodim dan Qoul Jadid?
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafii hidup pada masa-masa awal
 pemerintahan Bani „Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani
Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani „Abbasiyah hampir selalu
menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan „Alawiyah. Kenyataan ini
membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-
orang „Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani
Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin
secara umum dan pada diri Imam Syafii secara khusus. Dia melihat orang-orang
dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka
 berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-
terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang
saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
A.  Kelahiran 
Ia lahir di Gaza palestina Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam
Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang
menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga
 farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150
H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama
Imam Abu Hanifah[3]. 
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke
dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin
Utsman bin Syafi bin As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-
Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Kaab   bin Luay
 
 bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Maad bin Adnan. Nasabnya bertemu
dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-
Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa, dinikahi oleh
Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Saib, ayahnya
Syafi. Kepada Syafi bin As-Saib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut
dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-
Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Bahkan karena Hasyim bin Abdi
Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan
Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah
 bersabda:
“ Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani
Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari
kedua tangan beliau. “ (HR. Abu Nuaim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal.
65 –  66 )
C. PENDIDIKAN IMAM SYAFI’I 
Setelah ayah Imam Syafii meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu
membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam
keadaan yatim. Sejak kecil Syafii cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan
sastra sampai-sampai Al Ashmai berkata,”Saya mentashih syair -syair bani Hudzail
dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafii
adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin
Anas. Ia mengaji kitab Muwattha kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9
malam. Imam Syafii meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin
Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan
cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha . Kecerdasannya membuat
Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`i sendiri sangat terkesan
dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah
di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya
yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin
Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih
lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu
majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan
dengan kitab Al-Muwattha Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada
kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Quran, lebih dari kitab Al-Muwattha .”
Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha Malik, kecuali mesti
 bertambah pemahamanku.”[4]
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang
 paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin
Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu
dari para Ulama yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Saad, Ismail bin
Jafar, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu
di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan
terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang
sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan
 berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal
dengan gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak
mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan
ilmu.
Di Yaman 
Imam Syafii kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana.
Disebutk anlah sederet Ulama Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti:
Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya.
Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota
ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih
di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Ismail bin Ulaiyyah dan Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Di Baghdad, Irak  
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari
Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar
Rasyid. Dan selama beliau di Iraq, dapatlah menambah dan meluaskan ilmu
 pengetahuan fiqh ahli Iraq; pun beliau dapat pula menambah pengetauan tentang
cara-cara Qadhy (hakim) memeriksa perkara dan memutuskan urusan, cara-cara
memberi fatwa dan menjatuhkan hokum dan sebagainya yang dilakukan oleh para
Qadht dan Mufty disana (kepala agama yang bertanggung jawab tentang masalah-
masalah agama), yang selamanya belum pernah beliau ketahui selama di
Hijaz.[5]Beliau juga mendirikan madzhab Qadim / Qaul Qadim.[6]
Di Mesir 
Imam Syafii bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di
Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafii menimba ilmu
fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Kalau di Baghdad
ia menamakan madzhab Al-Qadhim, maka madzhab di Mesir ini disebut Al-Jadid .
ada diantara fatwanya, pada Al-Qadim berbeda dengan fatwanya di Al Jadid ini.
Disebutkan Qaulul Qadim dan Qaulul Jadid[7].  Di sana beliau wafat sebagai
 syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab hari jumat 204 H[8]. 
D. KARYA TULIS IMAM SYAFI’I 
Kami hanya mengambil tiga karya Imam SyafiI yang paling termashyhur saja,
diantaranya adalah :
Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis, dimana didalamnya
membahas tentang beberapa ketentuan yang nada di dalam dua nash, baik itu
terdapat dalam Al Qur;an dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan dengan
adanya  Nasikh-Mansukh, syarat-syarat penerimaan sanad  dari para perowi tunggal,
masalah-masalah yang berkaitan dengan Ijma, Ijtihad, Istihsan dan al-Qiyas.[9]
Kitab ini diriwayatkan oleh Ar-Rabi bin Sulaiman Al-Murady[10]. 
ii.  Kitab Al Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafii
diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi Jizii bin
Sulaiman. Imam Syafii mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih
 bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah
 perkataanku di belakang tembok,”[11]  pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari
masalah-masalah yang berkaitan „Ibadah, Muamalah, masalah pidana da
Munakahat. Bahkan dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya bantahan Muhammad
 bin Hasan al-Syaibaniy terhadap aliran Madinah dalam bentuk perselisihan
 pandangan antara Imam Abu Hanifah dengan Abi Laits. Dengan demikian, maka
dapat dikatakan bahwa kitab al-Umm ini, merupakan hasil dari penggabungan
 beberapa kitab dalam berbagai pandangan Mujtahid.[12]
iii.  Kitab ‘’Ikhtilaf Malik Wa Syafi’I” 
Yaitu kitab yang membahas masalah terjadinya ikhtilaf antara Ali dan Ibu
Masud dan antara Imam SyafiI dengan Abu Hanifah. 
E. Pola Pemikiran, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dan Metode Istidlal
Imam Syafi’i Dalam Menetapkan Hukum Islam 
i.  Pola Pemikiran dan Faktor
Imam Syafii termasuk salah seorang imam madzhab yang masuk kedalam
 jajaran “Ahli Al Sunnah wal Jamaah”, yang didalam bidang “furuiyyah” ada dua
kelompok yaitu : “Ahl al - Hadits” dan “Ahl al - Rayu” dan beliay sendiri termasuk
“Ahl al -Hadits”. Imam SyafiI termasuk imam madzhab yang mendapat julukan
“Rihalah fi Thalab al -„Ilm” yang pernah meninggalkan Mekkah pergi ke Hijaz
untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik dank e Irak menuntut ilmu ke Muhammad
Ibn al-Hassan (seorang murid Imam Abu Hanifah). Karena kedua guru inilah, beliau
termasuk kelompok Ahl al-Hadits, tetapi dalam bidang fiqih banyak terpengaruh
oleh kelompok “Ahl al - Rayu”  dengan melihat metode penerapan hokum yang
 beliau pakai.
menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan
Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan
dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi
 penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah
mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling
mengambil pendapat yang lain.”Karena komitmennya mengikuti sunnah dan
membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits. 
Orang yang menerima apa yang datang dari Rasulullah berarti ia telah
menerima apa yang datang dari Allah, karena Dia telah mewajibkan kita untuk
mentaatinya”. Beliau berdalil dengan sejumlah ayat di antaranya firman Allah,” H ai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”, (QS. 4:59).
Bantahan Imam Syafii kepada orang yang mengingkari sunnah sebagai
hujjah.
1. Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah dan
menyuruh kita mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.
2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah Allah tersebut
kecuali dengan mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah dengan lapang dada
dan bersih hati dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada perintah dan
hukum-hukumnya.
globalitas isi Al-Quran.
Pandangan Imam Asy-Syafii tentang hadits Ahad 
 Hadits Ahad  adalah hadits yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat
 – syarat hadits mutawattir . Yaitu diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat
dan logika mereka tidak mungkin berdusta, dan diriwayatkan dari orang banyak dan
menyandarkan hadit kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera.
ii) Sumber hukum dan Metode Imam Syafi’i dalam berhujjah  
Oleh karena itu Imam Syafi'i tidak sekedar mendasarkan  sunnah  pada al
Qur'an, tetapi juga berupaya meletakkan asumsi dasar bahwa sunnah adalah bagian
organik dalam struktur al Qur'an ditinjau dari pengertian semantiknya. Karena al
Qur'an dan Sunnah menjadi struktur organik semantik, maka syafi'I pun dapat
membangun ijma' atas dasar struktur tersebut hingga menjadi teks tasyri' yang
memperleh signifikasinya dari pengertian teks yang tersusun dari al Qur'an dan
sunnah. Sumber ke empat dalam fiqih Imam Syafi'i adalah qiyas yang juga diambil
dari teks yang tersusun dari ke tiga dasar sebelumnya.
Para ulama' setelah Syafi'i menyebutkan al Kitab sebagai sumber hukum
Islam pertama dan sunnah sebagai sumber kedua setelah al kitab, begitu juga
sebelum Imam Syafi'i, seperti Imam Abu Hanifah yang menyetujui bahwa dalam
 pengambilan hukum pertama harus dari al kitab, kemudian kalau tidak diperoleh,
 baru mengambil dari sunnah. Sama halnya juga dengan Mu'az bin Jabal ketika
ditanya oleh nabi: "Dengan apa kamu memutuskan sesuatu?", kemudian jawabnya:
 
maka dengan sunnah rosulullah, dan jika tidak didapatkan lagi maka saya berijtihad
dengan akal.
Syafi'i meletakkan sunnah sejajar dengan al Qur'an dalam hal sebagai hujjah
karena sunnah juga berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan al Qur'an dan
sunnah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak bahwa al Qur'an
mutawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan kebanyakan
sunnah tidak mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua, al Qur'an
adalah kalam Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW. Syafi'i juga
menjelaskan bahwa sunnah tidak semartabat dengan al Qur'an dalam masalah
aqidah.
Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi al Qur'an, berdasarkan
 berbagai uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan definisi terhadap al
Qur'an. Misalnya definisi yang diungkapkan Taj Al Din Al Subki, bahwa al Qur'an
adalah lafadz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai mu'jizat dan
membacanya merupakan ibadah.
Menurut Syafi'i al Qur'an itu maknan dan lafdzon. Seluruh al Qur'an terdiri
atas bahasa Arab, tidak satu katapun di dalamnya yang bukan bahasa Arab. Maka
sejalan dengan itu ia mengatakan bahwa setiap umat Islam diharuskan mempelajari
 bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu juhduh) sehingga ia dapat mengucapkan
syahadat, membaca al Qur'an, dan mengucapkan dzikir. Tuntutan itu merupakan
 fardhu „ain yang berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa Arab secara
mendalam diwajibkan secara terbatas ( fardhu kifayah) atas para ulama'. Syafi'i
menekankan pentingnya penguasaan bahasa Arab karena tidak mungkin bisa
memahami kandungan al Qur'an tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.
2.  Sunnah 
 batasan sunnah, dapat diketahui dengan jelas sunnah menurut Syafi'i yaitu
 
 batasan seperti ini diterima oleh para ulama' yang datang kemudian. Seorang
 pembaca kitab-kitab Imam Syafi'i hampir dapat memastikan bahwa penegakkan
sunnah sebagai sumber hukum merupakan obsesi agenda pemikirannya, bahkan
yang paling asasi. Karena itu kita tidak boleh lupa dengan signifikasi historis dari
 pemberian gelar nashir al Sunnah (pembela tradisi) kepadanya.
Syafi'i menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti
samahalnya dengan al Qur'an. Untuk mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil,
 baik dalil naqli maupun dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya
kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan bila telah ada hadits yang shohih (tsabit) dari
Rosulullah SAW, maka dalil dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi.
Jadi bila seseorang telah menemukan hadits shohih, ia tidak lagi mempunyai pilihan
kecuali menerima dan dan mengikutinya. Syafi'i mengatakan "Tidak benar, kalau
sesuatu (dalam hal ini dunnah) suatu saat dianggap sebagai hujjah tetapi pada kali
lainnya tidak".
 bahwa fungsi sunnah sebagai berikut[13]: 
a) Sebagai penguat dalil dalil dalam al Qur'an
 b) Sebagai penjelas dari ayat ayat al Qur'an yang masih global (mujmal)
c) Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam al Qur'an
Bahwa sunnah tidak dapat menaskh  al-Kitab. Fungsi sunnah terhadap al-
Kitab hanyalah mengikuti apa yang diturunkan sebagai naskh,danmenafsirkan apa
yang diturunkan secara global (mujmal )… Dan firman Allah “tidak ada sepatutnya
 bagiku untuk mengantinya dari diriku sendiri” (Yunus : 15) mer upakan penjelasan
dari apa yang telah dikemukakan, bahwa al-kitab hanya bias dinaskhkan oleh al-
Kitab . Allah mengawaliturunnya kewajiban, maka Dialah yang menghilangkan apa
yang Ia kehendaki. Hal itu tidak selayaknya dilakukan oleh siapapun diantara
makhlukNya.[14]
Syafi'i membagi hadits menjadi dua, yaitu kabar al-ammah  (hadits
mutawatir) dan kabar khashah  (hadits ahad). Ia memandang hadits mutawatir itu
 pasti, sehingga hadits tersebut mutlak harus diterima sebagai dalil. Akan tetapi
hadits ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada pokoknya,
 persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu hadits dapat diamalkan sama
dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul fiqh pada masa
kemudian, yakni menyangkut tsiqoh (adalah dan dhobith) yang harus terpenuhi pada
setiap perawi dan kesinambungan sanad yang diriwayatkannya serta tidak adanya
cacat atau kelainan dalam hadits tersebut. 
3.  Ijma' 
"Ijma' adalah hujjah atas segala sesuatu karena ijma' itu tidak mungkin salah"
(Syafi'i). Syafi'i menyepakati bahwa ijma' merupakan hujjah agama (hujjatd din).
Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa tentang
hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al Qur'an dan sunnah.
Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an dan sunnah. Oleh karena itu, ijma'
yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah bukan merupakan hujjah dan dalam
kenyataannya tidak mungkin ada ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah.
Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua
Mujtahid diwaktu terjadinya. Para Mjtahid itu sepakat memutuskan/menentukan
hukumnya[15]. 
Ijma' umat terbagi menjadi dua:
Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya
dengan lisan ataupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat
mujtahid lain di masanya.
Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan
 pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui.
Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang
sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma'
yang sebenarnya.
Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu:
Ijma' sahabat
ijma' itrah (golongan Syiah)
Sandaran Ijma’ 
Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab ijma' bukan
merupakan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat berupa dalil qath'i
yaitu Qur'an dan Hadits mutawatir, juga dapat berupa dalil  zhanni yaitu Hadits ahad
dan qiyas[16].Rumusan Syafi'i berbeda dengan rumusan Imam Malik yang
menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai ijma' dan rumusan madzhab
Zahiri yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat. Ijma' yang mula-
mula mendapat i'tibar dari Imam Syafi'i ialah ijma sahabat dan ia menerima ijma'
sebagai hujjah di tempat tak ada nash. Kemudian yang perlu di ingatkan bahwa
Imam Syafi'i tidak menerima ijma' sukuti.
Sedangkan menurut Dr. Muh Zuhr i[17] yang dimaksud ijma menurut Imam
Syafiri adalah kesepakatan seluruh ulama dalam kurun waktu yang sama, disana
tidak boleh ada seorang pun menyatakan perselisihan pendapatnya dalam kasus yang
dicarikan kesepakatannya. Teori ijma Imam Syafii tentunya sulit diwujudkan kalau
hendak dikatakan tidak mungkin. Namun tampaknya ide ijma sebagai sumber
hokum ini merupakan upaya antisipasif agar masyarakat islam tetap terpelihara
dalam persatuan. Ulama fiqih termasuk Imam SyafiI melihat pertikaian politik
dalam pemerintahan Islam yang melibatkan semua masyarakat islam sudah sampai
 pada titik yang membahayakan. Perpecahan ummat yang disebabkan perbedaan
inilah yang dirasa membahayakan persatuan. Lembaga ijma dimaksudkan untuk
menyatukan pandangan di kalangan para ulama. Dengan kesatuan ulama maka akan
terwujudlah persatuan ummat islam.
 batasnya dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma  Ra'yu 
yang shahih dan yang tidak shahih.
Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus dipegangi dalam
menentukan mana ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Ia membuat kriteria bagi
istinbath-istinbath yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas, martabat-
martabatnya, dan kekutan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Juga diterangkan
syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas. Sesudah itu diterangkan pula
 perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbath yang lain yang dipandang,
kecuali qiyas. Dengan demikian Imam Syafi'i adalah orang pertama dalam
menerangkan hakekat qiyas. Imam Syafi'i sendiri tidak membuat ta'rif qiyas. Akan
tetapi penjelasan penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan syarat-syarat
menjelaskan hakekat qiyas, yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh ulama' ushul.
Biarpun ulama' ushul berbeda pendapat dalam merumuskan definisi qias,
namun secara implisit mereka mempunyai kesepakatan terhadap rukun rukun qiyas.
Hal ini karena definisi yang berbeda tersebut tetap menekankan pada empat unsur
 pembentuk qiyas, yaitu kasus yang ditetapkan oleh  nash (ashl), kasus yang baru
akan ditentukan hukumnya ( far'u), sebab hkum ('illat ), dan hukum yang telah
ditentukan oleh nash (hukm ashl). Ulama' ushul kemudian memberikan syarat syarat
terhadap masing masing unsur qiyas tersebut.
Pembagian Qiyas 
Qiyas dilihat dari kekuatan 'illat yang terdapat pada far dan ashl menurut al-
Syafi'i dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Qiyas yang iillat hukum cabangnya (far') lebih kuat daripada iillat pada hukum
ashl. Qiyas ini, oleh ulama ushul figh Syafi'iyah disebut sebagai qiyas awlawi.
Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan "ah". Keharaman pada perbuatan
memukul lebih kuat daripada kaharaman ucapan "ah", karena sifat menyakiti
yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan "ah".
2. Qiyas yang illat pada far' sama keadaan dan kekuatan dengan 'illat yang pada ashl.
Qiyas seperti ini, disebut oleh ulama ushul Syafi'iyyah dengan al-qiyas al-
musawi. Misalnya mengqiyaskan membakar harta anak yatim kapada
memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haram. Artinya
 
membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut adalah sama-
sama merusak harta anak yatim dan hukumnya sama-sama haram.
3. Qiyas yang illat hukum cabangnya (far') lebih lemah dibamdingkan dengan illat
hukum ashl. Qiyas seperti ini, disebut dengan qiyas al-adna, seperti
mengqiyaskan apel dengan gandum dalam berlakunya riba fadhl, mengandung
illat yang sama, yaitu sama-sama makanan. Memperlakukan riba pada apel lebih
rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illat lebih kuat.
F. Qoul-qodim dan qoul-jadid, serta kedudukannya dalam madzhab. 
Qaul Qodim dan Qoul jaded merupakan produk hokum yang bernuansa
social-politik dan social-kultur adalah dua fatwa Imam Syafii yang dilakukan di dua
daerah yang berbeda sosio-kultur dan sosio-politiknya yaitu :
· Qaul Qadim : dimana situasi bagdad saat itu merupakan daerah yang sangat
sederhana dan boleh dikatakan sangat terbelakang disbanding dengan daerah
lain.
· Qaul jaded : dimana daerah Mesir saat itu merupakan daerah Metropolis yang
mengharuskan untuk berinteraksi dengan memodifikasi terhadap putusan-
 putusan atau fatwa-fatwa yang sudah pernah diputuskan, sehingga prinsip
Maslahah menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam setiap mengambil
keputusan, sebab keputusan yang diambil dalam wujud qaul jadid merupakan
 pertimbangan terhadap qaul qadim.
Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab
adalah „Qoul-Jadid seperti yang di katakan Imam Syafii : “tidak dibenarkan
menganggap Qoul Qodim sebagai pendapat madzhab” , dan ini sesuai dengan
Qoidah Usuliyah : Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah itu dia
 berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju/ralat bagi yang pertama. 
Tetapi Ulama Syafiiyah merinci lebih jelas lagi : 
1. Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang Qoul-Qodim harus ditinggalkan, kecuali
 
2. Qoul-Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan jelas Imam
Syafii mengatakan bahwa dia sudah meralat Qoul-Qodim. Sedang bilamana
tidak ada penjelasan dari Imam Syafii, maka dianggap ada 2 pendapat dalam
madzhab.
Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat ulama
Syafiiyyah setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa masalah-
masalah yang tersebut dalam qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-
 jadid , kalaupun ada ulama Syafiiyyah yang memakai dan berfatwa dengan qoul
qodim, pada hakikatnya beliau berijtihad dan ternyata sesuai dengan qoul qodim,
seperti yang disampaikan Imam Nawawi( 676 H).
Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama, sebagaimana
dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi : “Pendapat ini jelas
salah, sebab antara Qoul Qodim dan Qoul Jadid seperti dua nash yang bertentangan,
apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus dipakai sedang
yang pertama di buang.
Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang
 bertentangan dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat madzhab
 bukan yang sejalan, sebab tidak mungkin Imam Syafii berbeda pendapat kecuali
ada dalil yang lebih kuat, dan itu adalah pilihan Syech Abu Hamid Al-Ashfarooiniy ;
tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H ) justru sebaliknya.
 
Sumber hukum yang dipegangi Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum
adalah Al Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Urutan tersebut bersifat hierarki, artinya
sumber hukum yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang di
atasnya. Imam Syafi'i pernah menetap di Baghdad, Iraq. Dan Selama tinggal di sana,
ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang mana disebut sebagai Qaul Qadim. Karena
adanya pergolakan serta munculnya aliran Mutazilah yang ketika itu telah berhasil
mempengaruhi Kekhalifahan. Akhirnya Imam Syafii pindah k e Mesir, ia melihat
kenyataan dan masalah yang berbeda dengan masalah sebelumnya (ketika tinggal di
Baghdad). Imam SyafiI kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru, yang
dinamakan sebagai Qaul Jadid. Daerah/negara yang Menganut Mazhab mayoritas
SyafiI :  Libia, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Palestina, Yordania,
Libanon, Siriya, Irak, Hijaz, Pakistan, India Jaziraa, dll.
 
Bulan- Bintang
Dyaya, tamar. Studi Perbandingan Imam Madzhab , Penerbit : Ramadhani
Khallaf, Syekh Abdul Wahab.1955.ilmu Ushul F iqih , Jakarta : PT Rineka Cipta
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006.F iqih L ima Madzhab , Jakarta : Lentera
Syaltut, Mahmud. 1973.Fiqih Tujuh Madzhab , Bandung : CV Pustaka Setia
Zayd, Nashr Hamid Abu. 1997. Imam Syafi’i Moderatisme Eklektisme Arabisme,
Yogyakarta : LKiS
Zein, Muhammad Masum.2008.Arus Pemik ir an Empat Madzhab , Jombang :
Darul Hikmah
Grafindo
[1] Tamar Djaja (Studi perbandingan imam madzhab) hal 1 [2] Hossein Nasr (islam: agama, sejarah dan peradaban) hal 45
[3] Muhammad Jawad Mughniyah (Fiqh lima madzhab)pembukaan [4] K.H Ali Yafie (menggagas fiqih social) hal 45 [5] Moenawar cholil (biography empat serangkai imam madzhab) hal 151 [6] Drs Muh. Masum Zein (Arus pemikiran 4 madzhab) hal 159  [7] Tamar Djaya (studi perbandingan Imam madzhab) hal 154
[8] Prof Dr Manmud Syalthut (fiqih tujuh madzhab) pembukaan [9] Drs Muh. Masum Zein (Arus pemikiran 4 madzhab) hal 172 
[10] Moenawar cholil (biography empat serangkai imam madzhab) hal 216 [11] Wikipedia.com//Imam Syafii  [12] Ibid hal 172-173 [13] Nasr hamid Abu-Zayd (imam syafii: moderatisme,ekletisisme,arabisme) hal 29  [14] Ibid hal 38
[15] Syekh Abdul Wahab Khallaf (Ilmu Ushul Fikih) hal 49 [16] Wikipedia.org//ijma  [17] Dr. Muh. Zuhri (hokum islam dalam lintasan sejarah) hal 116-117