Evaluasi Kebijakan JKN dengan menggunakan 8 Sasaran …Kegiatan Evaluasi Kebijakan JKN yang...
Transcript of Evaluasi Kebijakan JKN dengan menggunakan 8 Sasaran …Kegiatan Evaluasi Kebijakan JKN yang...
Evaluasi Kebijakan JKN dengan menggunakan 8 Sasaran Road Map&Analisis KebijakanJakarta, 26 Maret 2019
Laksono Trisnantoro
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK)
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
UGM
Daftar Isi
1. Pengantar
2. Laporan Kegiatan:• Riset Kebijakan dengan menggunakan Realist Evaluation
Pembahasan: Apakah Kebijakan JKN tercapai tujuannya? Mengapaada perbedaan hasil antar Propinsi.
• Analisis Kebijakan
C. Agenda berikutnya
Siklus Proses Kebijakan: Setelah 5 tahun
Evaluasi Kebijakan
3
Revisi agenda
Revisi UU/Peraturan-peraturan
Revisi Pelaksanaan
PenetapanAgenda
PerumusanKebijakan
PenetapanKebijakan
PelaksanaanKebijakan
Pengantar:Setelah Kebijakan JKN 5 tahun bergulir(2014 – 2018)Secara alamiahdiperlukan EvaluasiKebijakan
Mengawal kebijakan JKN tetap dalam garis ideologi yang termuat dalam Pasal 34 Ayat 2 bahwa “Negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Mewujudkan keadilan sosial dalam Pasal 28 H UUD 1945 “setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, berhak memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, dan berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.
Sebagai proteksi terhadap situasi yang kurang adil dalam kesempatan akses kesehatan dan mewujudkan tujuan UU SJSN dan UU BPJS yang berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak akan tercapai”.
TUJUANNYA:
Kegiatan Evaluasi Kebijakan JKN yang direncanakan PKMK FK-KMK UGM:
Policy Research dengan Pendekatan Realist Evaluation (PKMK FKKMK UGM dan PT mitra)
Penelitian lain, misalnya: TNP2K,
Ombudsman, Kemenkes, DJSN,
Kampus, NGO, dsb
Masalah KebijakanJKN
Analisis KebijakanJKN
Dokumen AnalisisKebijakan
1. Policy Paper2. Policy Brief
POLICY ADVOCACY
POLICY OUTCOME
Peningkatan Keterlibatan pakar, interest group,
Lembaga Pemerintah/non-pemerintah atau ahli
lainnya dalam memformulasikan alternative kebijakan
JKN yang berkeadilan
Legitimasi Formulasi Alternatif
Kebijakan bersama pemerintah, BPJS
Kesehatan, interest group, dan pihak
berpengaruh lainnya yang terkait
diadopsinya hasil
rekomendasi/alternative
kebijakan yang telah
diformulasikan
2018. Januari 2019 Maret April Mei ---- Des2020 - 2021
Platform untuk komunikasi:www.kebijakankesehatanindonesia.net
Kegiatan Evaluasi dan AnalisisKebijakan JKN ini diharapkan dapat diperluas ke berbagai provinsi untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensifmengenai Kesinambungankebijakan JKN
Laporan Kegiatan (sementara)
1. Riset Kebijakan
2. Analisis Kebijakan
RisetKebijakan
8 Sasaran Peta Jalan JKN
Alur presentasi
Latar Belakang
Metode Penelitian
• Topik Tata Kelola
• Topik Keadilan Sosial
• Topik Mutu Layanan Kesehatan
Hasil Penelitian
Pembahasan
Kesimpulan
Peta Jalan Penelitian Evaluasi JKN
Apakah Tujuan yang ditetapkan JKN dalam UU SJSN dan BPJS tercapai pada tahun 2019?
Metode yang dipergunakan:
• Tidak menggunakan data kuantitatif Susenas yang seringdipergunakan dalam berbagaipenelitian
• UGM Berkolaborasi denganberbagai Mitra yaitu : USU, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Trisakti, UniversitasIslam Sultan Agung, UNEJ, UNHAS.
• Menggunakan berbagai sumberdata yang tersedia di level nasionaldan di level propinsi
• Jumlah Responden di 7 Provinsitopik tata kelola 112 responden; topik equity 126 responden; dan topik mutu layanan 62 responden
• Menggunakan Metode Realist Evaluation
• Hasil diharapkan dapatdipergunakan untuk perbaikankebijakan JKN di level nasional dandaerah
Realist Evaluation• Prinsip utama pendekatan realist evaluation
• menguraikan bahwa suatu program dapatbekerja dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada konteks dimana program tersebut diimplementasikan.
• Mendapatkan Gambaran lebih detil dan kontekstual tentang pelaksanaan kebijakan di berbagai tempat
• Tidak hanya menyimpulkan bahwa suatu kebijakan berhasil atau tidak
• Realist evaluation menekankan pada Ontological Depth
• Tidak merepresentatif sampling tetapi merepresentatif mechanism (realitas).
Pawson dan Tilley (1997), tujuan realist evaluation agar evaluasi berguna bagi pembuat kebijakan, dengan menampilkan data, berupa:• Apa yang berhasil/ efektif? • Dalam kondisi apa?• Untuk siapa? • Bukan sekedar:
“apakahprogram ini berhasil?
Pendekatan Realist Evaluation cocok untuk kebijakan yang bersifat sosialtermasuk JKN.
Penggunaan Konsep Realist Evaluation
Mechanism
Situasi akhir
(outcome)
Situasi
awal
Context
Sumber daya program
Konfigurasi CMO dalam Evaluasi Realist
Hasil EvaluasiTOPIK TATA KELOLA
TOPIK KEADILAN SOSIAL/EQUITYTOPIK MUTU LAYANAN
Hasil TemuanEvaluasi Sasaran-sasaranpada Peta Jalan Menuju
Jaminan Kesehatan Nasional
Topik Tata Kelola
TOPIK TATA KELOLA
• Sasaran 1; BPJS Kesehatan beroperasi dengan baik.
• Sasaran 5; Semua peraturan pelaksanaan telah disesuaikan secara berkala untuk menjamin kualitas layanan yang memadai dengan harga keekonomian yang layak.
• Sasaran 8; BPJS dikelola secara terbuka, efisien, dan akuntabel.
Sasaran 1; BPJS Kesehatan beroperasi dengan baik.
Definisi Operasional: Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dapat mengakses data BPJS Kesehatan, seperti;
- data iuran Peserta JKN,
- data tunggakan iuran peserta JKN, dan
- data jumlah biaya (kapitasi/non-kapitasi/klaim INA-CBGs)
Sehingga Pemerintah daerah dapatberpartisipasi aktif menurunkanjumlah defisit JKN
Identifikasi sumber defisit BPJS Kesehatan berdasarkan Kategori PesertaSecara Nasional
Surplus pada peserta kategoriPBI, ASN dan Peserta Formal
(20.000,0)
(15.000,0)
(10.000,0)
(5.000,0)
-
5.000,0
10.000,0
2014 2015 2016 2017
Orang miskin dan tidak mampu ASN, TNI, dan Polri
Pekerja formal swasta Didaftarkan Pemda
Bukan pekerja Pekerja informal
Sumber: Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, 2018
Defisit terus meningkat pada segmen peserta bukan pekerjadan pekerja Informal
Single Pooling
Jatah Dana PBI dialokasikan untuk Kelompok PBPU, Meskiditambah dengan subsididari pemerintah pusat.
DEFISIT TETAP TERJADI
Interpretasidata
Gotong Royong Terbalik
Yogyakarta
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sumatera Utara
yang telah mengupayakan pertemuan koordinasi dengan BPJS Kesehatan agar terjadi komunikasi dan akses ke data kepesertaan yang lebih lengkap, tetap mengalami kesulitan dalam mengakses data tersebut.
Temuan Hasil Penelitian di 7 Provinsi
Bengkulu
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Utara
yang memiliki kapasitas SDM terbatasmengalami hal yang sama, sulit aksesdata tunggakan dan data iuran. Sehingga, pemerintah provinsi kesulitan dalam melakukan evaluasi dan monitoringtunggakan pada peserta JKN di daerah masing-masing.
Data pengelolaan Keuangan tidak dapat diakses oleh pemerintah daerah
Pemerintah daerah tidak dapat berkontribusi untuk menurunkan angka defisit
ContextKeterbatasan akses pemerintah daerah atasdata iuran, datatunggakan dan data jumlah biaya JKN di daerah.
MechanismPemerintah daerahmenjadi kurangmemahami mengenaikebutuhan biaya dan kebijakan yang perludisiapkan.
OutcomePemerintah daerahbelum berkontribusisecara optimal dalam isudefisit JKN. (outcome yang tidak dikehendaki).
Hasil Analisis
• Ketersediaan dan keterbukaan data terkait implementasi kebijakan JKN, termasuk data peserta dan keuangan
Context
•Para pengambilan keputusan di daerah termotivasimeningkatkan partisipasi aktifuntuk mengurangi defisit di daerah dengan pembuatankebijakan dan program berbasisbukti (data pengelolaan JKN di daerah)
Mechanism • PengambilanKeputusan progamkesehatanmenggunakan data pengelolaan keuanganJKN.
Outcome
Sasaran 5; Semua peraturan pelaksana telah disesuaikan secara berkala untuk menjamin kualitas layanan yang memadai dengan harga keekonomian yang layak.
Definisi Operasional :
Kebijakan JKN di tingkat pusatberjalan selaras dengan kebijakandaerah (Harmonis) dan dapatdiimplementasikan, sehinggakebijakan JKN dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang memadai dan harga keekonomian yang layak sesuai peraturan UU SJSN, UU BPJS, UU Kesehatan.
POLEMIK LEGISLASI ; Koordinasi dan Partisipasi
KewenanganKelembagaan perludiperjelas antara BPJS Kesehatan, DJSN dan Kementerian Kesehatan.
MA membatalkan ketiga Peraturan BPJS Kesehatan
(1) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan,
(2) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan
(3) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.
BPJS Kesehatan tidak berwenangmengatur aturan tersebut
BPJS Kesehatan harusmelakukan koordinasi dengankementerian lainnya sebelummengeluarkan peraturannya
Fenomena di 7 Provinsi
Jawa Timur
Dana SILPA yang masih mengendapmengakibatkanpenggunaan dana kapitasi masihmemiliki kendalauntuk puskesmasyang belum BLUD
Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan
Dana Kapitasiterserap dengan baik bagipuskesmas-puskesmas telah memiliki manajemen BLUD.
Bengkulu dan NTT
Jumlah puskesmasyang belum BLUD masih besar, namunbelanja dana kapitasidigunakan secaraoptimal
Yogyakarta dan Bengkulu tidak bisamenjalankan Pergubrujukan berjenjangsemenjak adanyakebijakan rujukanonline.
ContextKebijakan BPJS Kesehatan yang dibentuk berganti-ganti mengikat provider yang bekerja sama
MechanismProvider tidak memiliki posisi tawar yang seimbang, namun berusaha menyesuaikan diri dengan kebijakan yang dibentuk.
Outcome
Pelayanan kesehatan menjadi tidak memiliki kepastian
• Di daerah dengan inovasi pelayanan publik terbaik seperti DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
Context
• Pemerintah daerah yangmemiliki SDM atau ASN termotivasi untukmerumuskan kebijakandaerah yang adaptif terkait penyelenggaraan JKN dengan program atau kebijakan di daerah.
Mechanism • Koordinasi yang selaras antara BPJS Kesehatan dengan stakeholder terkait penyelenggaraa JKN (pusat-daerah) dalam perumusan kebijakan pelayanan kesehatan yang memadai dan sesuai keekonomian yang layak
Outcome
Hasil Analisis
Sasaran 8; BPJS dikelola secara terbuka, efisien, dan akuntabel.
Definisi operasional: Data kepersertaan by name by address Peserta JKN dapat diakses oleh pemerintah daerah (keterbukaan data) dan data tersebut dapat digunakan dalam proses perencanaan program kesehatan dan peningkatan cakupan kepesertaan JKN.
- Bengkulu
- Jawa Tengah
- DIY
pemerintah daerah melaporkan bahwa mereka mendapatkan laporan BPJS kesehatan tentang peserta JKN yang belum melengkapi Nomor induk kependudukan. Namun data yang dilaporkan tetap dalam bentuk presentasi belum secara rinci.
Temuan Hasil Penelitian di 7 Provinsi
- Sumatera utara
- Sulawesi Selatan
- Jawa Timur
- NTT
- Pada tingkat Kabupaten/kota, tidak ada satu daerah yang memiliki akses
belum memiliki akses terhadap data kepesertaan sama sekali
Data Kepersertaan juga tidak dapat diakses oleh pemerintah daerah secara optimal
Pemerintah daerah belum dapat mengidentifikasi secara jelas peserta pada segmen PBI dan tidakdapat menggunakan data kepersertaan dalam program peningkatan cakupan.
ContextData penyelenggaranJKN dari BPJS Kesehatan bersifat sentralistik dan tertutup akses untuk pemerintah daerah
Mechanism
BPJS Kesehatan Cabang tidak memiliki kewenanganuntuk mengeluarkan data yang diperlukan oleh Pemerintah Daerah
OutcomeData Kepersertaan JKN dari BPJS Kesehatan belum digunakan dalam perencanaan dan penganggaran program kesehatan dan peningkatan cakupan daerah
• Pengelolaan data JKN secara terbuka digunakan untuk kepentingan publik (Kementerian, Pemda dan Institusi lainnya) dan BPJS Kesehatan termasuk data by name by address
Context
• OPD dapat menganalisa secara komprehensif perencanaan dan penganggaran kebijakan kesehatan Kab/Kota
Mechanism • Perencanaan dan penganggaran tepat sasaran dan konsisten
Outcome
Hasil Analisis
Temuan Topik Tata Kelola
Frag
men
ted
BPJS Kesehatan belum mendukungsistem desentralistik daerah
Aturan teknis yang eksplisit mengenaikoordinasi kewajiban dan dukungan
belum cukup kuat memaksa BPJS Kesehatan
Aktor yang berwenang dalammengontrol BPJS Kesehatan belum kuat
UU menyatakan tanggung jawab BPJS Kesehatan langsung kepada presiden
Fragmentasi sistem JKN dari SistemKesehatan
Hasil TemuanEvaluasi Sasaran-sasaran pada Peta
Jalan Menuju JaminanKesehatan Nasional
2014-2018
TOPIK : PEMERATAAN PELAYANAN KESEHATAN
Evaluasi sasaran Peta Jalan JKN dalam topik equity:
• Sasaran-2 : Seluruh penduduk Indonesia (yang pada 2019 diperkirakan sekitar 257,5 juta jiwa) mendapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan
• Sasaran-3 : Jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk tenaga dan alat-alat) sudah memadai untuk menjamin seluruh penduduk memenuhi kebutuhan medis mereka
• Sasaran-4 : Paket manfaat medis dan non medis (kelas perawatan) sudah sama, tidak ada perbedaan, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Sasaran-2 : Seluruh penduduk Indonesia (yang pada 2019 diperkirakan sekitar 257,5 juta jiwa) mendapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan
Definisi Operasional :
Cakupan kepesertaan BPJS Kesehatan yang mencapai target total coverage(95%) dengan adanya peningkatan capaian di setiap segmen kepesertaan
Fenomena di 7 Provinsi
Dominasi kelompok kelompok kepesertaanadalah dari kelompok PBI (APBN & APBD).
Terjadi tren peningkatan kelompok PPU danPBPU.
Daerah yang mengintegrasikan jamkesda kedalam program JKN lebih mudah mencapaitotal coverage (Sulawesi Selatan dan DIY).
Daerah yang memiliki regulasi yang mewajibkan pendaftaran JKN bagi segmenPPU dan PBPU lebih mudah dalammeningkatkan cakupan kepesertaan (JawaTengah)
Daerah yang hanya melakukan “sosialisasi” saja, kesulitan untuk meningkatkan cakupandi segmen PBPU dan PPU (Jawa Timur danSumatera Utara)
67,1%71,3%
74,7% 76,8% 78,7%
86,5%92,0%
0,0%
10,0%
20,0%
30,0%
40,0%
50,0%
60,0%
70,0%
80,0%
90,0%
100,0%
JawaTimur
SumateraUtara
Bengkulu JawaTengah
NusaTenggara
Timur
DIYogyakarta
SulawesiSelatan
BP PBI APBD PBPU PPU PBI APBN Cakupan
Cakupan Kepesertaan per Segmen (September 2018)
Sumber : sismonev.djsn.go.id (September 2018)
Context
Pada provinsi yang memiliki pemerintah yang responsif serta sebelumnya telah memiliki program kebijakan jaminan kesehatan yang meng-cover seluruh penduduk tanpa membedakan segmen
Mechanismmaka timbul kemudahan dan persetujuan dalam mengintegrasi program Jamkesta/Jamkesdake BPJS Kesehatan
Outcomesehingga terjadi peningkatan total UHC dan target kepesertaantercapai di tahun 2019
Konfigurasi CMO; Teori Awal (yg akan dihipotesiskan)
Context
Pada masyarakat yang mampu membayar premi
Mechanism
program JKN dirasakan dapat membawa benefit bagi pesertanya dimana benefit berpotensi untuk melindungi peserta asuransi dari pengeluaran layanan kesehatan
yang mahal
Outcome
sehingga masyarakat bersedia membayar premi bulanan untuk
mendapatkan potensi utilisasilayanan kesehatan di masa depan
Hasil Analisis
0
50
100
150
200
250
2014 2015 2016 2017 2018
Cakupan Kepesertaan JKN di Indonesia
PBI APBN PBI APBD PPU PBPU BP
target cakupan 2019 sesuai peta jalan JKN
Sumber : sismonev.djsn.go.id (September 2018)
Integrasi data kemiskinan(kelompok PBI)?
Upayapeningkatancakupan non-PBI?
Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang bersumber pada APBN masih merupakan komposisi terbesar dengan pertumbuhankepesertaan antara 2014-2018 dan terdapat selisih cakupankepesertaan sebesar 58,5 juta jiwa untuk mencapai UHC di tahun 2019
Upaya
meningkatkan
peserta aktif
PBPU?
Sumber : Presentasi ppt JKN-CSIS
Sasaran-3 : Paket manfaat medis dan non medis (kelas perawatan) sudah sama, tidak ada perbedaan, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Definisi Operasional : Tersedianya paket manfaat layanan jantung yang dapat diakses oleh seluruh segmen peserta BPJS Kesehatan baik dalam pelayanan kesehatan rawat jalan maupun rawat inap. Paket layanan jantung yang dimaksud meliputi:
• Layanan deteksi dini penyakit jantung (penyakittidak menular secara umum) di FKTP
• Layanan cath lab di RS Rujukan
• Ketersediaan dokter SpJP yang memadai dan merata
Fenomena di 7 Provinsi :
Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan NTT
Sumber: Peta Jejaring Kardiovaskular (http://manajemenrumahsakit.net/jantung/peta-jejaring-kardiovaskuler ) (2018)
Variasi Rasio Kunjungan Peserta JKN di fasilitas Kesehatanuntuk Layanan Kardiovaskuler (tertimbang, Data Sampel BPJS)
0,00%
0,20%
0,40%
0,60%
0,80%
1,00%
1,20%
1,40%
Rasio CVD per kunjungan tertimbang FKTL
Peserta JKN dari provinsi-provinsi yang mempunyai keterbatasan fasilitas kesehatanseperti Papua dan NTT memiliki akses untuk layanan CVD yang lebih kecil
dibandingkan dengan provinsi lainnya
Peserta JKN di Provinsi NTT, Bengkulu dan Papua memilikiproporsi kunjungan CVD yang kecil di RS Tipe A dan RS KhususJantung
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
SUMATERA UTARA
BENGKULU
DKI JAKARTA
JAWA TENGAH
D I YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
NUSA TENGGARA TIMUR
KALIMANTAN TIMUR
SULAWESI SELATAN
PAPUA
Persentase kunjungan Peserta JKN di 10 Provinsi (tertimbang)
RS Khusus Jantung RS Kelas A RS Kelas B RS Kelas C RS Kelas D RS TNI POLRI RS Lainnya
Kebijakan Portabilitas
Peserta JKN di Provinsi NTT, Bengkulu dan Papua memilikiproporsi kunjungan CVD yang kecil di RS Tipe A dan RS KhususJantung
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
SUMATERA UTARA
BENGKULU
DKI JAKARTA
JAWA TENGAH
D I YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
NUSA TENGGARA TIMUR
KALIMANTAN TIMUR
SULAWESI SELATAN
PAPUA
Persentase kunjungan Peserta JKN di 10 Provinsi (tertimbang)
RS Khusus Jantung RS Kelas A RS Kelas B RS Kelas C RS Kelas D RS TNI POLRI RS Lainnya
Kelas C dan D tinggi sekali di
Papua, NTT danBengkulu
Peserta JKN di Provinsi NTT, Bengkulu dan Papua memilikiproporsi kunjungan CVD yang kecil di RS Tipe A dan RS KhususJantung
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
SUMATERA UTARA
BENGKULU
DKI JAKARTA
JAWA TENGAH
D I YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
NUSA TENGGARA TIMUR
KALIMANTAN TIMUR
SULAWESI SELATAN
PAPUA
Persentase kunjungan Peserta JKN di 10 Provinsi (tertimbang)
RS Khusus Jantung RS Kelas A RS Kelas B RS Kelas C RS Kelas D RS TNI POLRI RS Lainnya
Kebijakan Portabilitas
Kelas C dan D tinggi sekali di
Papua, NTT danBengkulu
Peserta JKN di Provinsi NTT, Bengkulu dan Papua memilikiproporsi kunjungan CVD yang kecil di RS Tipe A dan RS KhususJantung
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
SUMATERA UTARA
BENGKULU
DKI JAKARTA
JAWA TENGAH
D I YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
NUSA TENGGARA TIMUR
KALIMANTAN TIMUR
SULAWESI SELATAN
PAPUA
Persentase kunjungan Peserta JKN di 10 Provinsi (tertimbang)
RS Khusus Jantung RS Kelas A RS Kelas B RS Kelas C RS Kelas D RS TNI POLRI RS Lainnya
Kebijakan Portabilitas
Kelas C dan D tinggi sekali di
Papua, NTT danBengkulu
Akses layanan CVD di FKTL berdasarkan JenisKepesertaan
Kelompok PBI APBN dapat mengakseslayanan sampai ke RS Tipe A
Hanya kelompok PBPU dan PPU yang dapat mengakses layanan RS Tipe A
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Bukan pekerja PBI APBN PBI APBD PBPU PPU
Proporsi Kunjungan Peserta JKN Untuk Layanan CVD di NTT (tertimbang)
RS Kelas A RS Kelas B RS Kelas C RS Kelas D RS TNI POLRI RS Khusus Jantung
0
20
40
60
80
100
120
Bukan pekerja PBI APBN PBI APBD PBPU PPU
Proporsi Kunjungan Peserta JKN Untuk Layanan CVD di DIY (Tertimbang)
RS Kelas A RS Kelas B RS Kelas C RS Kelas D
RS TNI POLRI RS Khusus Jantung RS Lainnya
Persentase Total dana untuk pembayaran Klaim layanan Kardiovaskular di FKTL dari Skema Jaminan Kesehatan Nasional
PROVINSI FASKES BUKAN PEKERJA
PBI APBN
PBI APBD PBPU PPU TOTAL
% % % % No. %SUMATERA UTARA 24.69% 9.53% 2.72% 34.72% 28.34% 100.00%BENGKULU 14.63% 13.58% 3.32% 47.81% 20.65% 100.00%DKI JAKARTA 21.47% 2.15% 20.87% 35.67% 19.84% 100.00%JAWA TENGAH 26.08% 27.11% 1.35% 25.84% 19.63% 100.00%D I YOGYAKARTA 26.12% 40.35% 0.64% 17.12% 15.77% 100.00%JAWA TIMUR 22.40% 21.76% 1.52% 30.40% 23.93% 100.00%NTT 19.62% 29.16% 3.40% 13.11% 34.71% 100.00%KALIMANTAN TIMUR 19.17% 22.02% 9.44% 21.85% 27.52% 100.00%SULAWESI SELATAN 29.74% 10.53% 3.31% 16.75% 39.68% 100.00%PAPUA 11.02% 24.30% 2.94% 9.52% 52.22% 100.00%TOTAL 10 PROVINSI 23.97% 18.27% 6.02% 28.47% 23.27% 100.00%
Kelompok PBPU menghabiskan dana lebih besar dibandingkan kelompoklainnya.
Rata-rata biaya layanan CVD persegmenSEGMENTASI PESERTA
PROVINSI FASKES Bukan pekerja PBI APBN PBI APBD PBPU PPU Total
SUMATERA UTARA 5,519,098 3,538,372 3,524,976 6,961,265 9,421,658 6,275,851
BENGKULU 4,883,673 4,205,083 2,951,856 5,003,287 4,143,428 4,567,926DKI JAKARTA 11,113,332 4,413,816 8,591,514 11,437,242 10,554,855 10,155,466JAWA TENGAH 7,192,051 4,343,183 4,222,204 5,797,133 7,032,066 5,735,503
D I YOGYAKARTA 7,252,775 6,866,717 7,195,897 4,074,995 5,221,917 5,956,670
JAWA TIMUR 6,421,954 4,411,654 5,459,530 5,977,753 5,308,898 5,467,470NTT 4,914,888 4,820,015 3,517,628 4,537,394 5,089,585 4,826,790KALIMANTAN TIMUR 13,413,172 6,794,765 4,190,803 5,849,608 6,435,023 6,695,961
SULAWESI SELATAN 5,773,847 3,934,828 3,994,847 4,834,117 9,715,703 6,171,891
PAPUA 3,253,093 3,416,266 4,765,000 6,613,310 4,522,918 4,148,858
RATA-RATA 10 PROVINSI
7,117,542 4,532,929 6,708,177 6,679,368 7,153,328 6,324,620
Daerah dengan ketersediaan layanan CVD yang lebih baikmempengaruhi harga layanan (klaim) yang lebih tinggi
Provinsi dengan pelayanan publik baikseperti Daerah Istimewa Yogyakarta, JawaTengah, dan Jawa Timur memiliki sumberdaya yang memadai untuk menyediakanpaket manfaat yang komprehensif, termasuk layanan kesehatan jantung.
Sebaliknya,provinsi dengan keterbatasansumber daya seperti Nusa Tenggara Timur memilikiindeks kesiapan layananjantung yang jauh lebihrendah.
Konfigurasi C-M-O Awal (Harapan)
Ketersediaan sumber daya
ContextPada daerah yang memiliki sumber daya kesehatan yang cukup, dokter spesialis jantung dan fasilitas seperti catheter lab tersedia bagi peserta BPJS Kesehatan
Kebijakan kompensasiContextPada daerah yang tidak memiliki ketersediaan layanan penyakit jantung
Mechanismprogram JKN dirasakan dapat diakses secara mudah dan ter-coverdengan baik melalui kepesertaanBPJS Kesehatan.
Outcometersedia paket manfaat untuk layanan jantung dengan standar yang baik di daerah tersebut
Outcometersedia paket manfaat untuk layanan jantung dengan standar yang baik di daerah tersebut
Mechanismterdapat kompensasi yang memfasilitasi daerah untuk meningkatkan akses ke layanan melalui mekanisme bantuan rujukan, atau pengadaan SDM kesehatan dan juga fasilitas untuk layanan jantung
Hasil Analisis
• (alternative outcome).Contextdalam konteks daerah yang memiliki sumber daya yang memadai, layanan penting seperti kardiovaskular memiliki aspek akses yaitu availability, sehingga paket manfaat sudah mulai berkualitas di daerah tersebut. Sebaliknya, tanpa adanya dana kompensasi yang jelas, maka daerah dengan keterbatasan dana atau sarana dan prasarana
Mechanismtidak terjadi fasilitasi pengadaan ataupun program tambahan
,
Outcomesehingga paket manfaat untuk layanan jantung pun tidak akan terpenuhi
Sasaran-4 : Jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk tenaga dan alat-alat) sudah memadai untuk menjamin seluruh penduduk memenuhi kebutuhan medis mereka
Definisi Operasional : Peningkatan jumlah fasilitas kesehatan (FKTP, FKRTL) dan tenaga kesehatan (dokter umum, dokter spesialis, dll) setelah era JKN dengan pemerataan distribusi yang adil.
888 905 931 950 974 1.008 1.024
1.195
1.323
1.477 1.540
1.627
1.764 1.842
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
1.800
2.000
2012 2013 2014 2015 2016 2017 18-Agu
Pertumbuhan RS di Indonesia Berdasar Tipe Kepemilikan
RS Pemerintah RS Swasta
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Sumatera Utara Bengkulu Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Nusa TenggaraTimur
Sulawesi Selatan
Distribusi Rumah Sakit per Provinsi 2012 - 2018
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Sumatera Utara Bengkulu Jawa Tengah DI Jogjakarta Jawa Timur Nusa TenggaraTimur
Sulawesi Selatan
Distribusi Rumah Sakit per Provinsi beradasarkan Kelas
D
C
B
A
Sumber : http://sirs.yankes.kemkes.go.id/rsonline/report/ yang diolah (2018).
Dokter umum
-
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
16.000
DOKTER UMUM SEBELUM JKN DOKTER UMUM SESUDAH JKN
Dokter spesialis
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
DOKTER SPESIALIS SEBELUM JKN DOKTER SPESIALIS SESUDAH JKN
Sumber : Konsil Kedokteran Indonesia
Fenomena di 7 ProvinsiDengan payer mechanism yang menciptakan insentif untuk mengambil manfaat atau profit dari sistem asuransi kesehatan :
Daerah yang memiliki potensi untuk klaim besar (jumlah populasi yang tinggi) mengalami pertumbuhan di bidang sumber daya kesehatan (Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY)
Daerah yang memiliki keterbatasan sumber daya dan kondisi geografis yang kurangmenguntungkan, berpotensi untuk semakin tertinggal dalam hal kesiapan sistem kesehatan(NTT dan Bengkulu)
“Di era JKN, banyak mendorong layanan baru di RS swasta tapi spesialisnya tidak bertambah. Banyak dual practice, karena susahnya mencari spesialis dan sub spesialis”
Context
tanpa adanya dana kompensasi, maka daerah dengan jumlah dan sebaran fasilitas kesehatan tidak memadai
MechanismTidak ada danaKompensasi dan tidakada penambahanfaskes dan SDM Kesdi berbagai propinsi
Outcome
masyarakat sebagai peserta BPJS kesehatan tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
Konfigurasi CMO; Teori Awal (yg akan dihipotesiskan)
Context
Pada daerah yang memiliki sumber daya yang cukup, jumlah dokter dan fasilitas kesehatan yang memadai
tersedia bagi peserta BPJS Kesehatan
Mechanism
program JKN dirasakan dapat diakses secara mudah dan ter-coverdengan baik melalui kepesertaan BPJS
Outcome
tersedia layanan kesehatan yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan medis peserta
JKN
Hasil Analisis
Topik MutuPelayanan
Hasil Temuan Evaluasi Sasaran-sasaran pada Peta
Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional
2014-2018
Sasaran JKN yang Dievaluasi Pada Topik Ini
1. Sasaran 6; Paling sedikit 85% peserta menyatakan puas, dalam layanan di BPJS maupun dalam layanan di fasilitas kesehatan yang dikontrak BPJS.
2. Sasaran 7; Paling sedikit 80% tenaga dan fasilitas kesehatan menyatakan puas atau mendapat pembayaran yang layak dari BPJS.
Kebijakan Terkait Mutu Pelayanan KesehatanProgram JKN yang Dianalisis
1. Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan & Direktur Utama BPJS Kesehatan No.HK.01.08/III/980/2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembayaran KapitasiBerbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP
2. Peraturan BPJS Kesehatan No. 8/ 2016 tentang Penerapan Kendali Mutu dan Kendali Biaya
3. Permenkes No. 36/ 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalamPelaksanaan Program Jaminan Kesehatanpada Sistem Jaminan Sosial Nasional
Kebijakan MutuLayananKesehatan yang Menyeluruh
• *Untuk menjawab situasi ini, saat inisedang disusun National Quality Policy and Strategy (NQPS)/ StrategiNasional Mutu Pelayanan Kesehatan
Kebijakan Pembayaran Kapitasi BerbasisPemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP (1)
Definisi Operasional:
Pemerintah daerah dapat
mencapai target pemenuhan
komitmen pelayanan pada
zona aman.
Kebijakan kapitasi berbasis pemenuhankomitmen pelayanan yang bertujuanuntuk memastikan ketersediaanlayanan yang berkualitas di level primer sulit dicapai, terutama di provinsi-provinsi dengan keterbatasan sumberdaya kesehatan.
Temuan di 7 Provinsi
• Terdapat perbedaan hasil capaian kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan diberbagai daerah.
• Hampir seluruh FKTP di wilayah Kota di daerah Jawa telah mencapai target indikator KBK (contact rate, rujukan non spesialistik, maupun prolanis)
• tapi tidak dengan wilayah Kabupaten di masing-masing provinsi khususnya provinsi NTT, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara.
Terjadi akibat:• Hambatan lokasi
geografis
• Kompetensi tenagamedis yang belummemadai dalampenanganan 144 diagnosis yang sesuaiindikasi medis
• Program UKM dan UKP di Puskesmas yang sudah cukup membebani petugas puskesmas
• Ketidakdispilinan tenaga menginput data di P Care
Hasil Analisis
ContextPada FKTP yang tidak
memiliki sumber daya
kesehatan yang
kompeten, sarana dan
prasarana yang kurang
memadai, komitmen
manajerial yang
rendah serta tidak ada
keterlibatan lintas
sektor
Mechanism
program Kapitasi
Berbasis Pemenuhan
Komitmen Pelayanan
dirasa menjadi beban
bagi FKTP dalam
melakukan layanan
dalam gedung maupun
luar gedung, serta tidak
dapat menangani pasien
secara tuntas sesuai
indikasi medis dan
kompetensi FKTP
Outcomependuduk tidak mendapatkan
layanan kesehatan yang
terstandar dan FKTP mencapai
target pemenuhan komitmen
pelayana pada zona tidak aman
Kebijakan Kendali Mutu & Kendali Biaya
Di level nasional, proses penyusunan kebijakan yang tidakmelibatkan koordinasi lintas sektormenyebabkan rendahnya tingkatpemahaman pemerintah daerahdan terbatasnya implementasikebijakan terkait kualitaspelayanan kesehatan, termasukTim Kendali Mutu dan KendaliBiaya (TKMKB).
DO: Tim koordinasi
dan tim teknis
melakukan semua
tugasnya sesuai
amanat Peraturan
BPJS Kesehatan
Nomor 8 Tahun 2016
Temuan di 7 Provinsi
• Tugas TKMKB teknisberjalan di provinsiJatim, Jateng, Sumut, Sulsel, dan kotaJogja.
• Tugas TKMKB teknisbelum berjalan di Provinsi NTT, Bengkulu dan kotaSleman
Faktor yang menjadi konteks penentupelaksanaan tugas TKMKB
3) Pendampingan dan koordinasidengan BPJS-K
• Hubungan komunikasi antarTKMKB Teknis dan BPJS Kesehatanada yang belum baik di daerah
4) Akses data pelayanan pasienpeserta JKN
• TKMKB belum ada akses data langsung ke BPJS Kesehatan
• Data ditampilkan oleh pihak BPJS Kesehatan
• UR berjalan
• AM berjalan
• Pembinaan etika & disiplin profesioleh asosiasi profesi
• Sosialisasi kewenangan tenagaklinis oleh asosiasi profesi
1)Ada SK TKMKB:• SK belum berdampak langsung terhadap
komitmen anggotanya untukmelaksanakan fungsi KMKB secaraindependen
2)Regulasi yang jelas tentang tugasdan tanggung jawab serta otoritasTKMKB:
• Pemahaman tugas TKMKB masihbervariasi, padahal telah terbit SK TKMKB.Temuan TKMKB teknis dari Sulawesi Selatanbahwa fungsi TKMKB dilakukan oleh timcase mix >>efisiensi
• Tenaga kesehatan merasa bahwa TKMKBlebih bersifat sebagai auditor yang mencarikesalahan tenaga kesehatan
Hasil Analisis
ContextBelum adanya
sosialisasi, dan
kekosongan regulasi
terkait tugas dan
tanggung jawab,
pendampingan dan
koordinasi dengan
BPJS-K serta akses data
layanan kesehatan,
Mechanism
TKMKB koordinasi dan
teknis di fasilitas
kesehatan tidak
termotivasi dan
memahami
sepenuhnya fungsi
dalam kendali mutu
kendali biaya
Outcome
TKMKB tidak berjalan
sercara efisien.
Kebijakan Pencegahan Kecurangan JKN
• Penerapan kebijakan pencegahan kecurangan JKN masih sangat terbatas di seluruh daerah penelitian
• Implementasi program pencegahan fraud terhambat oleh:• Terbatasnya sosialisasi peraturan• Minimnya program-program peningkatan
kompetensi untuk TKMKB & tim anti fraud• Kurangnya pengawasan, dan pembinaan dari
tim Pencegahan Kecurangan di level provinsi• Terbatasnya komitment tim anti fraud di
fasilitas kesehatan.
DO: Tim pencegahan
kecurangan JKN di
tingkat Dinas
Kesehatan, maupun
Fasilitas Kesehatan
dapat menjalankan
tugas pencegahan
kecurangan JKN sesuai
amanat PMK No. 36/
2015.
Temuan di 7 Provinsi
Seluruh provinsi telah memiliki timPencegahan Kecurangan.
Di Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Utara, tim dibentuk di FKRTL.
Di Provinsi Jawa Timur, tim dibentuk di tingkat FKRTL dan FKTP.
Akan tetapi, Nusa Tenggara Timur barumemiliki tim di level Dinas Kesehatan.
Implementasi kebijakan pencegahankecurangan JKN masih sebataspembentukan Tim PencegahanKecurangan JKN
Upaya pencegahan yang sudah dilakukan:
• Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara telah sudah mendorongterlaksananya beberapa upaya pencegahan(walaupun masih minimal) seperti sosialisasipencegahan kecurangan, penerapan tata kelola klinisyang baik, deteksi, dan pemberian sanksi, sertaverfifikasi klaim BPJS Kesehatan.
• Di Provinsi Bengkulu kegiatan hanya sebatas verifikasiberkas klaim.
• Di Provinsi Sulawesi Selatan dan NTT sama sekalibelum ada kegiatan berjalan.
Hasil Analisis
ContextTersedianya atau tidak
tersedianya pelatihan dan
pendampingan terkait
pencegahan kecurangan
JKN di daerah. Plus tidak
adanya komponen
pencegahan fraud lainnya
termasuk sumber daya
yang mencukupi, sistem
M&E, supervisi
berkelanjutan, serta
kejelasan otoritas tim anti
fraud
Mechanism
membatasi
pemahaman dan
komitment tim untuk
melakukan upaya
pencegahan
kecurangan JKN
Outcome
sistem pencegahan
kecurangan JKN tidak
berjalan optimal
termasuk dalam hal
deteksi moral hazard, kendali mutu, dan
etika profesi
PembahasanApakah Tujuan Kebijakan JKN Telah Tercapai?
Apa faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan hasil pencapaian antar provinsi?
ISU 1: Apakah tujuan kebijakan JKN tercapai?
• Penelitian ini memperkaya analisis sebelumnya tentang JKN denganberfokus pada ketimpangan geografis dan menganalisis capaian JKN berdasarkan status sosial –ekonomi (segmen Peserta).
• Catatan:
• Indonesia adalah negara dengan sistem desentralisasi yang terdiri dari34 provinsi dan 514 kabupaten/kota,
• Setiap daerah memiliki kapasitas sistem kesehatan dan kualitas tata kelola pemerintahan yang bervariasi.
• Ketersediaan supply side fasilitas kesehatan yang bervariasi antar provinsi.
JKN
•Kebijakan yang telah berhasil memberikanperlindungan bagi banyak orang di Indonesia
•Mempunyai kelemahan sistemis
•Situasi mengarah ketidak berhasilan mencapaitujuan JKN
Prinsip Gotong Royong terbalik yang bertentangandengan asas Keadilan Sosial
Sistem tata kelola
bagaimana fragmentasi sistemsebagai konteks penting penyebabtidak dimanfaatkannya data BPJS Kesehatan untuk perencanaandan implementasi JKN di berbagaidaerah.
Bertentangan dengan prinsip good governance karena belum memberikan ruang dan informasi yang transparan kepada semua pihak (Dawes, 2010).
Melemahkan upaya monitoring dan pendampingan di level pemerintahdaerah, serta pengambilan keputusantidak dilakukan berdasarkan data.
Permasalahan Implementasi JKN
Isu 2 : Pengadopsiansistem single-pool yang digunakan dalam JKN
• Penelitian Lu dan Hsiao (2003) tentang sistem asuransi Taiwan, sistem single-pool memang berhasil meningkatkan efisiensi dengan menekan biaya pelayanan kesehatan, namun penelitian yang sama juga menyebutkan bahwa sistem ini hanya bisa diimplementasikan di negara-negara dengan ekonomi yang kuat dan bukan di negara-negara berkembang (Lu and Hsiao 2003), termasuk Indonesia.
• Negara-negara yang berhasil melaksanakan single Pool adalah negara dengan konteks lebih banyakpekerja berada pada sektor formal.
• Apabila sistem ini tidak optimal makamenyebabkan defisit.
Apa faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan hasil pencapaian antar provinsi?
• Ketimpangan supply side antar daerah di Indonesia
• Target-target terkait mutu pelayanan kesehatan belum dapat dicapai secara merata
• Target mutu belum mampu meningkatkan motivasi penyedia layanan kesehatan dalam menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas.
• Belum terimplementasinya kebijakan Arfirmatif
• Penelitian menemukan bahwa implementasi program JKN masih terbatas pada pembiayaan kesehatan, khususnya pada pengendalian biaya dan belum diperluas ke distribusi sumber daya kesehatan yang adil di seluruh daerah.
Perbedaan hasil temuan
• Proses penyusunan kebijakan yang tidak melibatkan koordinasi lintas sektor rendahnya tingkat pemahaman pemerintah daerah dalam implementasi berbagai program kesehatan dan cakupan kepesertaan .
• Kebijakan pencegahan kecurangan JKN (PMK No.36/2015) tidak berjalanoptimal. Implementasi kebijakan baru sebatas pembentukan Tim Pencegahan Kecurangan JKN
• Lemahnya koordinasi dan pemahaman pelaksanaan kebijakan JKN adalahsalah satu implikasi dari fragmentasi sistem kesehatan nasional dengansistem JKN.
Isu kedua : Fragmentasi sistem desentralisasiDaerah dan sentralisasi JKN
Isu ketiga : Defisit pembiayaan dalam JKN.
• Prinsip Keterbukaan belum optimalsehingga penyebab defisit tidak dapatdianalisis secara komprehensif
• Unlimited medical benefit “Kelompokmana yang berpotensi menerima manfaatini?”
• Kontras temuan tentang penggunaandana JKN untuk layanan CVD dan Klaimratio secara nasional lebih besar padaPBPU namun hampir setengah darikelompok Peserta ini adalah peserta yangtidak aktif (morald Hazard).
• Di Korea Selatan,Surplus terjadi denganadanya peningkatanpremi.
• Penyesuaian premiuntuk PBPU harussegara dilakukan(mandatory)
• Penyesuaian PremiPBI dan PPU dapatdilakukan (optional)
Kesimpulan
• Kebijakan JKN telah berhasil melindungi sebagian masyarakat dari masalah ekonomiakibat sakit. Namun delapan Sasaran JKN yang tertera di peta jalan belum dapat tercapai.
• Kebijakan JKN gagal menyeimbangkan fasilitas pelayanan kesehatan antar daerah.
• Terjadi fragmentasi sistem kesehatan akibat adanya BPJS yang sentralistik dengan sistemkesehatan yang desentralistik.
• Sistem mutu belum terbangun dengan baik di level nasional dan di tujuh propinsi. Terjadiperbedaan yang sangat tajam antara propinsi yang maju dengan yang kurang maju dalamhal penjaminan mutu.
• Berbagai prinsip dalam JKN seperti kegotongroyongan, keterbukaan dan, danakuntabilitas (Pasal (4) UU BPJS) belum di laksanakan secara maksimal. Akibatnyamasalah pengambilan keputusan terjadi di semua tingkatan pemerintah terkait urusankesehatan.
• Berbagai problem di atas berasal dari ketidaksempurnaan UU SJSN dan UU BPJS di berbagai hal.
AnalisisKebijakan
Apa Opsi-Opsi Kebijakan JKN; Saat ini?
Prof. dr.Laksono Trisnantoro, M.Sc.,Ph.D
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyrakat dan Keperawatan – UGM
Maret, 2019
Sebuah analisis kebijakan JKN dalam Perspektif Pemerataan Pelayanan Kesehatan Berkeadilan, Bermutu dan Berkelanjutan
Langkah-langkah dalam Analisis Kebijakan
1. Pernyataan permasalahan Kebijakan
2. Kriteria untuk menilai opsi
3. Identifikasi Opsi
4. Perbandingan antar Opsi
5. Rekomendasi Opsi terbaik (belum dibahas)
1. Permasalahan dalam Kebijakan JKN
Isu pemerataan akses kesehatan; siapa mendapat apa dalam sistem jaminan kesehatan? dana peserta PBI telah dipergunakan untuk menutup kerugian di kelompok peserta PBPU.
• Masyarakat di daerah sulit seperti NTT menikmati paket manfaat yang jauh lebih sedikit dibanding DI Yogyakarta. Kebijakan kompensasi belum berjalan. Kebijakan Portabilitas antar propinsihanya dapat dinikmati oleh peserta yang relatif mampu secaraekonomi. Keadaan ini telah menyimpang dari UUD 1945. Cukup jelasbahwa tujuan UU SJSN dan UU BPJS menyatakan:
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dana PBI di dalam UU SJSN seharusnya dipergunakan oleh masyarakat miskin dan tidak mampu.
Permasalahan dalam Kebijakan JKN
- Perbedaan antara sistem BPJS Kesehatan yang sentralisasi dan sistem pemerintahan daerah yang terdesentralisasi menyebabkan kebijakan JKN dan pengambilan keputusan tidak dilakukan berdasarkan data dan tidak melibatkan semua pemegang kepentingan di level pusat maupun daerah.
- Defisit pendanaan JKN belum dimonitoring secara detil, terutama penyelidikan penyebab defisit berdasarkan segmen kepesertaandan kecukupan premi.
- Data menunjukkan Adverse selection di kelompok PBPU menyebabkan biaya klaim tinggi.
- Sistem mutu baru terbangun di tahun 2019. Potensi fraud masih dalam situasi belum ada penindakan hukum.
Permasalahan ini, apabila tidak diatasi akan membahayakantercapainya tujuan UU SJSN dan UU BPJS.
2. Kriteria untuk menilai Opsi-Opsi Kebijakan JKN
Kriteria Apa yang dinilai
Kesetaraan yang Berkeadilan (Equity):
Dana PBI fokus pada masyarakat miskin dan tidak mampuDaerah yang kurang maju mendapat perhatian sehingga akses ke paket manfaat semakin merata (terkait supply-side)Kebijakan kompensasi berjalan.
Efektivitas (Effectiveness): Mutu pelayanan semakin baik Data pelayanan klinis semakin dipergunakan untuk menilai manfaat
Responsif (Responsiveness): Masyarakat semakin patuh membayarPemerintah daerah mempunyai kendali pada mutu pelayanan kesehatanMasyarakat dapat didengar suaranyaRS dan berbagai Profesi/Asosiasi dapat didengar suaranya
Kemungkinan ekonomi dan keuangan (Economic andfinancial possibility):
Defisit di BPJS menurun karena Masyarakat mampu membayar lebih banyakPemerintah pusat dan daerah membayar ke BPJS Kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu secara adilDefisit BPJS Kesehatan ditanggung oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat mampu
Kelayakan Politik (Politicalviability):
Perubahan kebijakan tidak menimbulkan kegaduhan politik
3. Identifikasi Opsi
Opsi-opsi kebijakan dalam masalah kebijakan
Opsi 1:
UU SJSN dan UU BPJS tidak diubah. UU SJSN dan UU BPJS tetap seperti ini dengan pelaksanaan yang mengalami problematika terutama dalam isu pemerataan pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan.
Opsi 2:
BPJS tetap sebagai pengelola jaminan sosial satu-satunya, akan tetapi perlu kesepakatan bersama membuat dinding pemisah yang ketat (firewalls) antara pooling PBI dengan pooling PPU, dan pooling PBPU. Adanya firewalls atau kompartemen ini diharapkan agar dana PBI tetap diprioritaskan untuk masyarakat miskin, rentan atau tidak mampu (wujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Opsi 3:
Ada lembaga askes (pooling lain) di luar BPJS Kesehatan. Masyarakat mampu diperbolehkan tidak menjadi anggota BPJS Kesehatan. Namun diwajibkan mempunyai askes komersial. Masyarakat mampu juga boleh masuk menjadi anggota BPJS Kesehatan dan hanya dapat dilakukan kelas standar. Tidak ada kelas 1,2, dan 3.
4. Perbandingan antar Opsi
Opsi 1: UU SJSN dan UU BPJS tidak diubah.
UU SJSN dan UU BPJS tetap seperti ini dengan pelaksanaan yang mengalami problematikaterutama dalam isu pemerataan pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan.
Opsi 1. Alternatif Kebijakan; UU SJSN dan UU BPJS tidak diubah.Forecasting:
Kriteria Situasi Saat ini Proyeksi
Kesetaraan yang Berkeadilan (Equity):
- Kebijakan kompensasi belum berjalan.- Defisit pendanaan JKN belum dimonitoring secara formal- segmen peserta PBI lebih banyak menggunakan layanan CVD
di level FKTP dan lebih sedikit menggunakan di level FKTL . Sebaliknya, utilisasi layanan CVD untuk segmen peserta non-PBI lebih terkonsentrasi di level FKTL.
- Adverse selection di kelompok PBPU menyebabkan biaya tinggi dan merupakan penyebab utama defisit dalam pembiayaan JKN.
- Situasi pendanaan BPJS Kesehatan akan semakin memburuk .
- Akibat tekanan defisit dan dampak singlepool maka sisa dana PBI yang diperuntukkan bagi daerah yang kurang maju seperti NTT, dan Papua tidak dipakai untuk mendanai kebijakan kompensasi.
- gap akses lanjutan (FKTL) juga dapat meningkat.
Dampaknya : Tujuan UU SJSN dan UU BPJS yang menyatakan “Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak akan tercapai”.
Opsi 1. Alternatif Kebijakan; UU SJSN dan UU BPJS tidak diubah.Forecasting:
Kriteria Situasi Saat ini Proyeksi
Kemungkinan ekonomi dan keuangan (Economicand financialpossibility):
APBN yang ditopang pajak saat ini juga menanggung beban di infrastruktur. APBN secara undang-undang seharusnya fokus pada yang miskin dan tidak mampu. Di masa depan, dengan melihat trend GDP dan pengumpulan APBN, tetap ada keterbatasan APBN untuk menjadi sumber anggaran BPJSKesehatan.
- Tanpa menaikkan premi PBPU dan pengendalian mutu, defisit di segmen PBPU diproyeksikan akan meningkat.
- Opsi 1 mempunyai prospek yang tidak berkelanjutan dari aspek keuangan. Sistem kesehatan khususnya jaminan akan semakin tergantung ke APBN dan keputusan politik di DPR. Dana masyarakat yang potensial, ada kemungkinan tidak dapat diarahkan ke kesehatan.
Sumber: BPS 2018, diolah.
Surplus pada pesertakategori PBI, ASN dan Peserta Formal
(20.000,0)
(15.000,0)
(10.000,0)
(5.000,0)
-
5.000,0
10.000,0
2014 2015 2016 2017
Orang miskin dan tidak mampu ASN, TNI, dan Polri
Pekerja formal swasta Didaftarkan Pemda
Bukan pekerja Pekerja informal
Sumber: Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, 2018
Defisit terus meningkatpada segmen pesertabukan pekerja dan pekerja Informal
Opsi 1. Alternatif Kebijakan; UU SJSN dan UU BPJS tidak diubah.Forecasting:
Kriteria Situasi Saat ini Proyeksi
Efektivitas (Effectiveness
- Situasi mutu belum dikelola dengan baik.- Kerangka kerja mutu baru dijalankan pada tahun 2019. - Pembayaran BPJS yang sering mundur dapat mempengaruhi mutu
pelayanan.
- Mutu pelayanan semakin sulit dikelola.- Kecenderungan mengenai fraud akan semakin berat
apabila tidak ada penindakan. Konsep fraud dengan dasar coping strategy akan semakin populer.
Responsif (Responsiveness)
Saat ini pemerintah daerah belum mempunyai kepemilikan terhadap program JKN. Perbedaan antara sistem BPJS Kesehatan yang sentralisasi dan sistem pemerintahan daerah yang terdesentralisasi menyebabkan kebijakan JKN dan pengambilan keputusan tidak dilakukan berdasarkan data dan koordinasibersama stakeholders terkait (Pemeriintah Daerah)
Situasi yang terpisah ini kalau dibiarkan akan menyebabkan tidak responsifnya pemerintah daerah terhadap apa yang terjadi dalam pelaksanaan JKN.
Masalah yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan adalah belum mencakup seluruh masyarakat mampu, dan kolektabilitas dari kelompok PBPU. Sampai tahun 2018 masih ada sekitar 15-20% juta masyarakat Indonesia yang belum masuk sebagai anggota BPJS. (Masyarakat)
Masyarakat yang mampu semakin tidak mau menjadi peserta JKN. Preferensi masyarakat ini memang tidak cocok dengan sifat BPJS Kesehatan yang harus melalui rujukan yang ketat. Masalah kolektabilitas ada kemungkinan meningkat, dengan kemungkinan terjadinya kenaikan premi PBPU.
Kelayakan Politik (Political viability):
Secara politis, tidak banyak reaksi negatif apabila kebijakan diteruskan tanpa ada perubahan. Masyarakat kelas menengah dan atas yang menjadi peserta BPJS dengan membayar sangat sedikit tidak akan bereaksi banyak. Namun secara politis tenaga kesehatan dan pengelola rumah sakit dapat mengemukakan ketidaksetujuan dengan kebijakan JKN. Pada akhirnya akan menjadi masalah politis juga.
Opsi 2. UU SJSN dan UU BPJS direvisi: BPJS
tetap single pool.BPJS tetap sebagai pengelola jaminan sosial satu-satunya. Perubahan yang dilakukan adalah dengan penambahan fungsi kompartemen atau firewalls dalam kantung tabungan (fund pooling) dana jaminan sosial. Opsi kedua ini tidak mengubah sistem single-payer yang saat ini diterapkan menjadi sistem multi-payer.
Opsi ini bertujuan untuk
- mengawal kebijakan JKN tetap dalam garis ideologi yang termuat dalam Pasal 34 Ayat 2 bahwa “Negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Artinya, perlu ditegaskan bahwa subsidi iuran JKN dari APBN benar-benar diperuntukkan untuk masyarakat miskin, lemah atau tidak mampu tidak hanya dalam bentuk kuratif, tetapi penyediaan fasilitas kesehatan dan akses pelayanan kesehatan.
- Apabila keyakinan ideologis initidak dijalankan maka kelayakan keuangan JKN akan sulit dan akan mempengaruhi mutu pelayanan.
Opsi 2. UU SJSN dan UU BPJS direvisi: BPJS tetap single pool.Forecasting:
Kriteria Situasi Saat ini Proyeksi
Kesetaraan yang Berkeadilan (Equity):
- Pooling dana kesehatan yang terbesar saat ini berada di BPJS Kesehatan (single pool), Fakta akibat single pool selama 5 tahunini terjadi penggunaan dana PBI oleh masyarakat mampu(PBPU).
- Sinkronisasi anggaran—anggaran yang ada di kementerian dan pemerintah daerah dengan anggaran yang masuk di BPJS Kesehatan.
- Tabel 1 memberikan informasi bahwa utilisasi jantung banyakdimanfaatkan oleh masyarakat mampu (PBPU). Padahal, sebaran data peserta PBI yang mengakses layanan jantung di tingkat layanan primer (puskesmas/FKTP) cukup besar.
- adanya kompartemen atau dinding pemisah(firewall) antara pooling PBI, pooling PBPU dan pooling PPU akan menghentikan aliran dana masyarakat miskin (PBI) ke masyarakat mampu(PBPU).
- pelaksanaan kebijakan kompensasi ataukebijakan afirmatif akan mungkin dilaksanakankarena tersedianya dana BPJS untuk masyarakatmiskin dan tidak mampu.
- Akan terbuka kesempatan lebih besar kepadarakyat miskin dalam mengakses layanankesehatan.
Dampaknya : Opsi kebijakan ini sebagai proteksi terhadap situasi yang kurang adildalam kesempatan akses kesehatan dan mewujudkan tujuan UUSJSN dan UU BPJS yang berdasarkan asas kemanusiaan, asasmanfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,tidak akan tercapai”.
Rasio CVD per total peserta di FKTP (B/A) ini diperoleh dengan membandingkan data jumlah peserta yang mengunjungi fasilitas kesehatan FKTPtertimbang dibandingkan dengan Jumlah seluruh peserta tertimbang pada provinsi tersebut.
Data kunjungan FKTL menunjukkan bahwa provinsi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan cukup baik seperti Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara meningkatkan ratio kunjungan CVD di FKTL. Rasio CVD per total peserta di FKTL (F/A) adalah perbandingan antara jumlah peserta tertimbang yang mengunjungi fasilitas kesehatan FKTL untuk pelayanan jantung dibandingkan dengan Jumlah seluruh peserta tertimbang pada provinsi tersebut.
Ratio kunjungan CVD di FKTL akan meningkat apabila terdapat fasilitas kesehatan yang cukup baik seperti pada provinsi tersebut. Temuan ini menceritakan bahwa peserta JKN dari provinsi-provinsi yang mempunyai keterbatasan fasilitas kesehatan seperti Papua dan NTT memiliki aksesuntuk layanan Kardiovaskuler yang lebih kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya dengan ketersediaan fasilitas kesehatan lebih baik.
Hasil temuan mempertegasinformasi tentang daerah denganketersediaan layanan CVD yang lebihbaik mempengaruhi harga layanan(klaim) yang lebih tinggi.
Laju kenaikan untuk pelayanankatastropik akan terus meningkatdan perlu dicegah dengan perbaikangaya hidup, berolahraga teratur. Akan tetapi kemajuan teknoogi kedokterandan perluasan fasilitas kesehatanjantung akan mendorong kenaikanpembelanjaan ini. Kemampuan APBN di masa mendatang akan sulitmembayar seperti pengalaman di berbagai negara lain. DI sisi lain APBN dan APBD dibutuhkan untukperluasan pelayanan kesehatan.
Sumber: Data Sampel BPJS Kesehatan, 2019
Kompartemenisasi: Mencegah penggunaandana BPI untuk menutup kerugian di PBPU
Surplus pada peserta kategori PBI, ASN dan Peserta Formal
(20.000,0)
(15.000,0)
(10.000,0)
(5.000,0)
-
5.000,0
10.000,0
2014 2015 2016 2017
Orang miskin dan tidak mampu ASN, TNI, dan Polri Pekerja formal swasta
Didaftarkan Pemda Bukan pekerja Pekerja informal
Sumber: Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, 2018
Defisit terus meningkat pada segmen pesertabukan pekerja dan pekerja Informal
Opsi 2. UU SJSN dan UU BPJS direvisi: BPJS tetap single pool.Forecasting:
Kriteria Situasi Saat ini Proyeksi
Efektivitas (Effectiveness)
- Sistem yang dipergunakan oleh BPJS Kesehatan belummemperhitungkan aspek mutu pelayanan dalam pembayaranklaim.
- Opsi kebijakan ini diproyeksi akan menjadi solusi untuk mengatasi dilema antara menjaga mutu dan memperluas cakupan layanan kesehatan di daerah-daerah minim akses/supply side.
- Kecenderungan mengenai adanya potensi fraud akan dapat diminimalisir.
Responsif (Responsiveness)
Saat ini akreditasi atau kredensialing untuk menjaga mutu layananmenjadi hal yang menyulitkan bagi rumah sakit atau fasilitaskesehatan yang ada di daerah minim akses. (Pemeriintah Daerah)
- Melalui Opsi 2 kebijakan dirumuskan untuk memberikan tanggung jawabkepada pemerintah daerah. Harapannya, opsi ini akan menciptakan situasikemudahan akses data. Data JKN akan berguna untuk perencanaanpembangunan kesehatan di daerah, pemantauan mutu layanan kesehatanyang dibeli BPJS Kesehatanh dan negosiasi tarif antara pemerintah daerah, tenaga kesehatan di daerah dan BPJS Kesehatan.
- Opsi ini diproyeksikan agar tidak meletakkan beban defisit hanya kepadaBPJS Kesehatan atau pemerintah pusat.
Hasil temuan dalam penelitian realist evaluation (PKMK FKKMK UGM, 2018) menunjukkan bahwa dalam konteks daerah yang memiliki sumber daya yang memadai, layanan penting seperti kardiovaskular memiliki aspek akses yaitu availability. Di sisi lain, Masyarakat atau peserta JKN di daerah keterbatasan semkain sulit akses/tidak memiliki kesempatan atau situasi akses kesehatan yang sama.(Masyarakat)
- Melalui opsi kompartemen pooling kepesertaan dimungkinkan adanyapembatasan layanan kepada masyarakat mampu (PBPU).
- Batasan layanan akan mewujudkan keadilan bagi kelompok masyarakatmiskin, lemah atau tidak mampu agar memiliki kesempatan lebihterhadap akses kesehatan lanjutan.
- Keluhan yang dimungkinkan muncul adalah PBPU atau bukan pekerja yang berada dalam status middle-range akan menjadi diberatkan, apabila premiBPJS yang ada di kompartemennya melebihi batas kemampuan.
Opsi 2. UU SJSN dan UU BPJS direvisi: BPJS tetap single pool.Forecasting:
Kriteria Situasi Saat ini Proyeksi
Kemungkinan ekonomi dan keuangan (Economicand financialpossibility):
• BPJS Kesehatan selama 5 tahun penyelenggaraan mengalami defisit setiap tahunnya (Pribakti B, 2018).
• Jumlah defisit tersebut setiap tahunnya mengalami peningkatan. Defisituntuk tahun 2014 hingga 2016 tercatat, yaitu, 2,8 triliun, 5,85 triliun dan 9 triliun.
• Defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 10,93 triliun untuk tahun 2018. Penyebab defisit BPJS Kesehatan yaitu nilai aktuaria yang masih rendah, inefisiensi pelayanan klinis, dan hampir separuh kelompok PBPU menunggak iuran.
- masyarakat yang mampu diharapkan menggunakan dana sendiri untuk membeli asuransi kesehatan tambahan. Hal ini akan mengurangi tekanan untuk APBN sehingga dana kesehatan dapat dipergunakan untuk memperbaiki ketimpangan infrastruktur dan pencegahan penyakit.
- Dengan pertambahan GDP untuk sektor kesehatan maka pelayanan kesehatan, pendayagunaan tenaga kesehatan, dan sektor farmasi/alat kesehatan dapat berkembang lebih baik.
Kelayakan Politik (Political viability):
Permasalahan yang mungkin ditemui apabila opsi ini dilakukan adalah perbedaan ideologis, interpretasi, dan/atau dukungan politis. Akan muncul banyak perdebatan yang bermuatan masukan dari berbagai kepentingan (interest). Kelompok ekonomi menengah dan atas yang sudahterbiasa dengan subsidi pemerintah melalui BPJS Kesehatan (APBN) akan cenderung menentang Opsi ini. Dan mungkin akan terjadi kegaduhanpolitik.
Penjelasan detil mengenai apa yang terjadi saat ini perlu diberikan secara baik ke masyarakat. Pemahaman agar tanggung jawab pembayaranasuransi kesehatan tidak hanya oleh pemerintah perlu ditanamkan. Tanpa ada pemahaman ini, Opsi ke 2 tidak akan berjalan dengan baik.
Opsi 3. UU SJSN dan UU
BPJS direvisi: Ada lembaga askes (pooling lain) di luar BPJS Kesehatan.
Opsi ini merupakan kebijakan yang merubah BPJS Kesehatan untuk tidak menjadi satu-satunya tempat pool asuransi kesehatan. Masyarakat mampu diperbolehkan tidak menjadi anggota BPJS Kesehatan. Namun, diwajibkan mempunyai askes komersial. Masyarakat mampu pun boleh masuk menjadi anggota BPJS Kesehatan. Keanggotaan masyarakat mampu di BPJS hanya dapat dilakukan di kelas standar dan tidak boleh naik kelas.
Opsi ini dilaksanakan dengan terlebih dahulu membuat aturan mengenai pembatasan paket manfaat layanan kesehatan sesuai kemampuan ekonomi. Hal ini untuk menjaga stabilitas program JKN dan kemampuan negara yang masih terbatas untuk memprioritaskan masyarakat lemah, miskin atau tidak mampu
Opsi ini diproyeksikan untuk dapat memberikan insentif (kompensasi) kepada daerah terbatas akses agar mampu memenuhi ketersediaan fasilitas kesehatan, sehingga tujuan asuransi sosial menjamin akses semua penduduk tercapai.
Prinsip:
• Mencegahpenggunaan PBI untuk kelas yang mampu
• Menggali sumberdana potensial di GDP
Surplus pada peserta kategoriPBI, ASN dan Peserta Formal
(20.000,0)
(15.000,0)
(10.000,0)
(5.000,0)
-
5.000,0
10.000,0
2014 2015 2016 2017
Orang miskin dan tidak mampu ASN, TNI, dan Polri
Pekerja formal swasta Didaftarkan Pemda
Bukan pekerja Pekerja informal
Sumber: Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, 2018
Defisit terus meningkat pada segmen peserta bukan pekerjadan pekerja Informal
Opsi 3. UU SJSN dan UU BPJS direvisi: Ada lembaga askes (pooling lain) di luar BPJS Kesehatan. Forecasting:
Kriteria Situasi Saat ini Proyeksi
Kesetaraan yang Berkeadilan (Equity):
- Data menunjukkan bahwa pool kepesertaan merupakanvariabel yang mempengaruhi pemanfaatan jaminan pelayanankesehatan. Hasil analisis variabel pooling kepesertaanmenunjukkan bahwa kelompok peserta mampu (PBPU) adalahpool yang paling banyak memanfaatkan jaminan pelayanankesehatan (PKMK FK-KMK UGM, 2019).
- Pemanfaat ini dengan pembayaran premi yang sangat murah. Walaupun premi sangat murah, masih ada sekitar 45% darianggota PBPU yang tidak membayar secara baik. Di sisi lain, sampai dengan tahun 2019 ada sekitar 40 juta masyarakatIndonesia yang belum masuk ke BPJS.
- Dengan melepas PBPU ke mekanisme pasar, maka masyarakat mampu dapat memilih sistemasuransi kesehatan yang sesuai dengankeinginannya. Namun, bagi yang tidak mampuberubah menjadi PBI, atau pemerintahmenyediakan subsidi untuk masuk ke kelasstandar, dan tidak boleh naik kelas.
- Diproyeksikan sebagian dari PBPU mempunyaidemand akan pelayanan kesehatan yang berbeda dengan BPJS Kesehatan akan memilihopsi ini.
- Dana APBN yang selama ini banyak dipakaiuntuk menutup kerugian PBPU, dapatdipergunakan untuk mendanai kebijakankompensasi.
Akibat/prospek : menuntut pembayaran yang proporsional atas layanan kesehatan yang digunakan oleh masyarakat mampu guna mewujudkan keadilan sosial atau mewujudkanhak memperoleh pelayanan kesehatan, hak memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, dan hak atas jaminansosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” (Pasal 28 H UUD 1945 )
Opsi 3. UU SJSN dan UU BPJS direvisi: Ada lembaga askes (pooling lain) di luar BPJS Kesehatan. Forecasting:
Kriteria Situasi Saat ini Proyeksi
Efektivitas (Effectiveness):
• Mutu pelayanan saat ini belum dikelola dengan baik. • Pada kenyataannya, dana klaim dan kapitasi dari BPJS dinilai rendah.• Dan sistem rujukan yang diterapkan cenderung berdasarkan pertimbangan
untung dan rugi, bukan mutu pelayanan kesehatan. • BPJS Kesehatan selama 5 tahun ini membeli pelayanan kesehatan tanpa
melibatkan pemerintah daerah untuk sistem penjaminan mutu
• Mutu pelayanan dapat dikendalikan, karena opsi inimendorong fasilitas kesehatan tidak beroperasi denganbelow cost seperti yang saat ini terjadi.
• Pengawasan fraud diprediksi masih lemah karenakekurangan dana serta adanya motivasi coping untukmendapat tambahan klaim. Dengan adanya dana yang masuk lebih banyak ke sektor rumah sakit diharapkanterjadi penurunan potensi fraud karena besaran klaim dan kapitasi membaik.
• Ada kemungkinan terjadi two-tier health service denganberbagai efek sampingnya. Efek samping ini dapatberkurang apabila dana BPJS Kesehatan dapat lebihbanyak sehingga mutu pelayanan JKN dapat membaik.
Kemungkinan ekonomi dan keuangan (Economic andfinancialpossibility):
• Indonesia saat ini menerapkan sistem pelayanan/pembiayaan kesehatannasional yang bertumpu pada pajak dan APBN, serta APBD.
• Pajak perorangan yang dibayar di Indonesia tidak progresif dan rendahjumlahnya.
• Sementara itu, Dana kesehatan lebih banyak dialokasikan pada upaya kuratifyang dinikmati lebih banyak oleh anggota BPJS yang mampu.
• Di sisi lain besaran dana yang dialokasikan untuk upaya promotif dan preventif sangat terbatas. Pembelanjaan dana kesehatan tersebut belumseimbang untuk mewujudkan kesejahteraan.
• Opsi 3 diharapkan dapat meningkatkan dana masyarakatmampu untuk sektor kesehatan khususnya kuratifsehingga besaran dana kesehatan per kapita meningkat.
• Opsi 3 dirumuskan agar pembiayaan pemerintah prioritasuntuk fokus pada masyarakat miskin dan tidak mampu, dan memberi ruang pada pemerintah untukmeningkatkan anggaran untuk pelayanan preventif dan promotif serta perluasan infrastruktur pelayanankesehatan.
• Opsi ke 3 ini akan memberikan dana tambahan untuksector kesehatan melalui pembayaran masyarakat mampuke lembaga asuransi kesehatan komersial.
Opsi 3. UU SJSN dan UU BPJS direvisi: Ada lembaga askes (pooling lain) di luar BPJS Kesehatan. Forecasting:
Kriteria Proyeksi
Responsif (Responsiveness):
Kesesuaian tarif, mutu layanan, keaktifan membayaran premi dan pengembangan program kesehatan dapat digagas oleh pemerintah daerahdan asosiasi profesi/fasilitas kesehatan, tentunya denganpengorganisasian bersama BPJS Kesehatan untuk membahas bersamapengendalian biaya medis dan kepastian penghasilan yang layak bagitenaga kesehatan.
• Opsi ini akan menjadikan Program JKN berhasil merespon semuakebutuhan dasar medis seluruh penduduk, yaitu dengan skema-skemayang dibentuk, yang terlebih dahulu memberikan manfaat kepadamasyarakat miskin, lemah atau tidak mampu.
• Masyarakat menengah ke atas (yang mampu) akan lebih puas denganpilihan sistem asuransi kesehatan yang sesuai dengan keinginannya.
• Berbagai paket asuransi kesehatan komersial dapat berkembangdengan inovasi-inovasi menarik sesuai dengan keinginan masyarakat. Inovasi menarik antara lain digabungkan dengan pemeliharaankesehatan seperti fitness, pelayanan home-care, dan sebagainya.
Kelayakan Politik (Political viability):
Opsi kebijakan diprediksi akan menimbulkan keributan atau perdebatan yang panjang, karena terjadi perubahan sangat besar dalam sistem jaminan kesehatan di Indonesia. Perdebatan ini perlu dilandasi oleh pemikiran etika dari Rawlsian dimana diharapkan semua pihak menyadari bahwa secara etis kebijakan ini tidak merugikan kelompok masyarakat manapun.
Akibat/Prospeknya
• Akan terwujud pengembangan good governancedalam pengelolaan program JKN karena opsi ini diproyeksi dapat mengantisipasi tindak monopsoni BPJS Kesehatan dalam pembelian pelayanan kesehatan
• BPJS Kesehatan murni sebagai payer untukasuransi kesehatan sosial. Program dan kebijakan yang dibentuk harus berdasarkankebutuhan lokal (sosial, ekonomi dan geografis) dan diputuskan dengan bukti berkualitas dan dilegitimasi dengan instrumen normatif. Ada kemungkinan terjadi regionalisasi BPJS sesuaidengan situasi faskes. Akan terbentuk pasar untuk asuransi kesehatan komersial.
• Akan ada peningkatan alokasi dana kesehatanminmal 5% dari APBN dan minimal 10% APBD sesuai amanah Pasal 170 - 171 UU Kesehatan
Sebelum RekomendasiOpsi-opsi ini perlu dibahas secara ideologis dengan berbagai stakeholder. Pembahasan dilakukan berdasarkan pemahaman akan dasar-dasar ideologis yang digunakan dalam analisis kebijakan ini.
• Perubahan kebijakan yang diusulkan dalam Analisis Kebijakan ini menggunakan ideologi yang ada dalam UUD 1945. Pemerintah harusmengutamakan membayar masyarakat miskin dan tidak mampu. Masyarakat yang mampu, dalam keterbatasan kemampuan pemerintah, perlu membayar lebih banyak untuk urusan kesehatan. Kebutuhan akan pembelian asuransi kesehatan di kalangan mampu harus dimulai sejak muda.
• Perubahan ini juga menggunakan dasar berfikir ketersediaan potensi ekonomi di GDP untuk kesehatan. Adanya potensi ekonomi ini dapat dipergunakan oleh sektor kesehatan melalui mekanisme pajak dan mekanisme pembayaran oleh masyarakat sendiri. Potensi ekonomi di GDP untuk kesehatan dapat diambil oleh sektor lainnya.
• Perubahan ini juga menggunakan pendekatan kultural, preferensi dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Tanpa ada pemisahan dana jaminan kesehatan, akan terus terjadi penggunaan dana BPJS Kesehatan untuk masyarakat yang relatif mampu.
Siklus Proses Kebijakan:Setelah 5 tahun
Penetapan agenda
PerumusanKebijakan (yg saatini dilakukan)
PelaksanaanKebijakan
Evaluasi Kebijakan
106
Penetapan kebijakan
Revisi agenda
Revisi UU/Peraturan-peraturan
Revisi Pelaksanaan
Kegiatan Evaluasi Kebijakan JKN yang direncanakan PKMK FK-KMK UGM:
Policy Research dengan Pendekatan Realist Evaluation (PKMK FKKMK UGM dan PT mitra)
Penelitian lain, misalnya: TNP2K,
Ombudsman, Kemenkes, DJSN,
Kampus, NGO, dsb
Masalah KebijakanJKN
Analisis KebijakanJKN
Dokumen AnalisisKebijakan
1. Policy Paper2. Policy Brief
POLICY ADVOCACY
POLICY OUTCOME
Peningkatan Keterlibatan pakar, interest group,
Lembaga Pemerintah/non-pemerintah atau ahli
lainnya dalam memformulasikan alternative kebijakan
JKN yang berkeadilan
Legitimasi Formulasi Alternatif Kebijakan bersama
pemerintah, BPJS Kesehatan, interest group, dan pihak
berpengaruh lainnya yang terkait
diadopsinya hasil
rekomendasi/alternative
kebijakan yang telah
diformulasikan
2018. Januari 2019 Maret April Mei ---- Des2020 - 2021
Disusun Oleh: Laksono Trisnantoro, Tiara Marthias, Mohammad Faozi Kurniawan,
Relmbuss Biljers Fanda & Tri Aktariyani
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK)Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada