Emotional Branding
-
Upload
didit-galau-erico-lubis -
Category
Documents
-
view
455 -
download
15
Transcript of Emotional Branding
Emotional BrandingMembangun Emotional Branding Connection dengan Konsumen
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Konsumen dan Pemasaran
Disusun oleh :
Farida Nur Rohmah M2A 005 030
Fitria Susanti M2A 005 034
Laelatus Syifa’ SA M2A 005 047
Novita M2A 005 055
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2007
BAB I
PENDAHULUAN
Di pasar konsumen, kebutuhan diubah menjadi keinginan. Kebutuhan untuk
berpakaian telah diubah menjadi keinginan untuk memiliki Armani, Max Mara, atau Ralph
Lauren. Kebutuhan makan telah diubah menjadi keinginan untuk mendapat masakan
vegetarian, steak. Dan, kebutuhan akan tempat berteduh telah diubah menjadi mansions,
apartemen, atau kondominium. Pada tiap kasus tersebut, pengusaha yang pintar
memposisikan brand mereka menjadi hal yang menarik secara emosional bagi konsumen dari
kebutuhan menjadi keinginan spesifik akan produk atau jasa.
Pentingnya membangun brand lewat pengembangan hubungan emosional telah
didukung baik oleh konsumen (Pawle & Cooper 2006, Lindstrom 2005, Woods 2004)
maupun di antara para pebisnis (Lynch & de Chernatony 2004). Belakangan ini, para pelaku
pasar semakin menyadari pentingnya untuk memahami bagaimana mendesain komunikasi
yang menciptakan dan mempertahankan hubungan emosional. Menciptakan semacam
hubungan berguna sebagai jalan yang lebih baik untuk mendapatkan keuntungan yang
kompetitif dan meningkatkan kesetiaan (loyalty), oleh karena itu para pembuat iklan sekarang
berusaha agar tidak hanya mendapat sikap positif terhadap brand atau kecenderungan
membeli barang saja, tapi melangkah lebih dalam dan berhubungan dengan konsumen pada
tingkat emosional.
Emotional branding membangun hubungan yang kuat antara brand dan konsumen. Ini
menunjukkan bahwa brand tidak hanya dimiliki oleh perusahaan, tetapi juga dimiliki oleh
masyarakat. Brand hidup dalam hati orang yang mencintainya, ini membuat orang yang
mengurusi brand harus meluangkan waktu demi mengembangkan hubungan yang berarti
dengan konsumen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Brand adalah komoditas atau jasa yang dikemas dalam sebuah persona emosional,
dipatenkan dengan sebuah image atau logo. Persona emosional adalah sebuah pengalaman
sensoris yang diciptakan lewat desain konseptual dari sebuah brand.
Branding, merujuk pada kumpulan hal-hal yang dipercayai dan dipegang pembeli
mengenai perusahaan beserta produk/jasanya, baik positif maupun negatif. Definisi ini
bergeser menjadi lebih dari sekedar nama, logo, atau identitas grafik.
Suatu brand muncul ketika perusahaan berinteraksi dan membangun hubungan
dengan konsumen. Saat ketertarikan muncul orang mengingat merk tersebut dan
menjadikannya sebagai referensi untuk kehidupan sehari-hari mereka. Apel misalnya sebagai
contoh untuk emosional branding. Nnager menginginkan suatu yang luar biasa untuk
menyatukan Ipod yang telah berkembang dengan pelanggannya.
Emotional branding berfokus dari bagaimana esensi suatu brand bisa
dikomunikasikan. Penjual menganggap suatu brand sebagai fenomena psikologis yang
muncul dari persepsi pribadi konsumen, tetapi yang membuat suatu brand adalah sekumpulan
persepsi alami ini. Bagaimana suatu brand yang sukses mempertahankan hubungannya
dengan pelanggan. Motivasi berdasar pada emosi, jadi untuk memotivasi seseorang kita harus
menggerakkan mereka secara emosional. Inilah mengapa iklan yang paling efektif bukan
yang bersifat informasional tetapi bersifat emosional. Perasaan yang dihasilkan oleh iklan
sering tidak memiliki hubungan yang logis pada suatu produk. Yang terpenting adalah
hubungan emosi yang muncul dengan brand tersebut.
B. Membangun Emotional Branding Connection
Konsep yang berhubungan dengan pandangan afiliasi berdasarkan emosi pada brand
sebenarnya terlambat disadari oleh industry dan dunia akademik (Carroll & Ahuvia 2006,
Park & MacInnis 2006, Pawle & Cooper 2006, Thompson MacInnis & Park 2005). Mungkin
yang paling relevan dengan konsep ini adalah konsep kelekatan emosional yang diungkapkan
MacInnis dkk (Park & MacInnis 2006, Thompson MacInnis & Park 2005). Mereka
menyadari sebuah kelekatan emotional adalah sebuah hubungan yang berdasarkan konstruk
yang merefleksikan hubungan emosional yang menghubungkan seorang individu dengan
penggunaan barang (Park & MacInnis 2006, p.17), dan menemukan bahwa kelekatan ini
termasuk dari tiga komponen: efeksi (perasaan hangat akan brand), gairah (kecenderungan
perasaan positif pada brand), dan hubungan (perasaan ikut bergabung/terlibat dengan brand)
(Thompson MacInnis & Park 2005, p.80).
Akan tetapi, kelekatan emosional adalah hubungan yang dibangun lewat kontak yang
berkelanjutan dengan brand yang bersangkutan selama periode panjang yang relatif dengan
tidak ada pembedaan yang jelas, peran iklan dapat bermain dalam proses ini. Sebuah
hubungan emosional, mengembangkan respon yang lebih cepat terhadap sebuah iklan. Ini
tidak diasumsikan sebagai sesuatu yang sedalam atau sekokoh kelekatan emosional, tapi
hubungan ini mungkin bertindak untuk memberi inisiatif atau menguatkan formasi dari
hubungan dalam jangka yang lebih panjang dengan brand tersebut.
Segala tipe organisasi dapat memperoleh keuntungan dari emosional branding.
Banyak orang mengasosiasikan produk atau jasa dengan emosi positif, keinginan yang lebih
akan menjadikan konsumen bergantung pada produk itu. Respon baik dari pelanggan
terhadap brand akan memperkuat hubungan berdasar pada hubungan yang saling
menguntungkan. Organisasi seharusnya menghormati batas pelanggan dan memperhatikan
kebutuhan mereka, 1) penuhi keinginan pelanggan: berusahalah menjadikan produk atau jasa
kita sesuai dengan keinginanan konsumen daripada kebutuhan mereka. Contoh: pelanggan
membutuhkan mobil untuk digunakan dari kota A ke kota B. Bagaimanapun mereka
menginginkan mobil tersebut akan membuat mereka merasa berbeda , dipuji, atau penting. 2)
dapat dipercaya: penuhi janji brand, jadilah apa yang kau katakan dan katakan apa uang kau
maksud.
Hal ini akan membangun kepercayan dan kepercayaan akan menghasilkan pengertian.
Emosional branding adalah sarana yang kuat dan berguna. Ketika diaplikasikan dengan benar
akan dapat meningkatkan pemahaman dan pelayanan produk dan membantu membangun
ikatan yang kuat dengan konsumen. Dengan penurunan tingkat dalam kekuatan hak paten
untuk menjaga pemasukan bisnis di masa yang akan datang dan membangun dan meningkat
dalam kekuatan pasien dan kesediaan obat, brand akan memainkan peranan yang penting.
Pertama dalam membantu pelanggan dalam menemukan dan memilih produk yang cocok
untuk kebutuhan mereka dan kemudian sebagai simbol dari nilai dan kualitas yang tinggi.
Periklanan, agar benar-benar efektif harus jujur dan melayani orang secara relevan untuk
kebutuhan mereka dimasa yang akan datang. Kadang mereka akan bereaksi secara emosional
dan intelektual.
1. Theoretical Constructs
Emotional Connections (Hubungan Emosional)
Banyak yang membahas topik hubungan emosional, mendiskusikan konstruknya
tanpa dengan jelas mendefinisikannya (Pawle & Cooper 2006, Lindstrom 2005, Lynch & de
Chernatony 2004 Woods 2004). Christodoulides dkk (2006) mendefinisikan hubungan
emosional dalam konteks yang berhubungan dengan suatu brand adalah affinitas antara
konsumen dan sebuah brand yang dibuat lewat afiliasi (hubungan), perhatian, dan empati.
Hubungan emosional yang dibagikan dengan konsumen, yang termasuk sebagai salah satu
dimensi pengukuran dari komunitas Psikologi, dideskripsikan sebagai hubungan antara
anggota (Obst & White 2004).
Melalui penelitian yang dilakukan oleh Kamp and MacInnis (1995), lewat
operasionalisasi mereka hubungan emosional diindikasikan dengan adanya pengenalan
relevansi brand, kecenderungan perasaan positif dan kelekatan terhadap brand, dan
kongruensi self-brand image (persepsi bahwa pengembangan brand image sesuai dengan
paling tidak satu aspek dari self-concept seseorang).
Menurut Thompson, MacInnis,& Park (2005) dan Park & MacInnis (2006)
perbedaan antara kelekatan emosional dan sikap adalah dapat dikatakan bahwa hubungan
emosional meliputi sikap positif dan ditambah dengan kebutuhan sebuah komponen afektif
dan menyatu secara alamiah dengan konsep diri seseorang. Karena sebuah hubungan
emosional lebih difokuskan pada hasil komunikasi marketing, kelompok konsumen yang
merasakan hubungan emosional akan tetapi dalam populasi konsumen yang lebih kecil yang
mempunyai sikap positif dalam melihat suatu iklan atau brand.
Keuntungan Emosional Dan Arti Brand
Keuntungan emosional adalah suatu komponen pesan yang mungkin dikomunikasikan
dengan yang lain baik secara eksplisit atau implisit dalam sebuah iklan. Peneliti juga
menggunakan kata sinonim atau istilah lain yang berhubungan misalnya hedonic (Burton &
Easingwood 2006; Chandon Wansink & Laurent 2000), abstract (Homer 2006), value-
expressive (Cho & Stout 1993) benefits, emotional brand values (Lynch & de Chernatony
2004), atau aesthetic attributes (Hirschman 1980). Tiap-tiap istilah ini memiliki konotasi
yang sedikit berbeda, dan oleh sebab itu definisi yang berbeda telah diaplikasikan ke dalam
sesuatu yang dianggap sebagai variasi dari keuntungan emosional.
Dalam studi sebelumnya, keuntungan-keuntungan ini telah diposisikan sebagai atribut
produk yang tak dapat dideskripsikan (Grimm 2005, Hirschman 1980) yang memenuhi tujuan
kepuasan hedonis (Homer 2006) atau memuaskan kebutuhan eksperiensial (Burton &
Easingwood 2006) disamping praktikalitas (Chandon Wansink & Laurent 2000). Terdapat
sebuah konsepsi yang dikemukakan oleh Ruth (2001) bahwa keuntungan tersebut adalah
sebagai “informasi yang dimaksudkan untuk membawa data tentang pengaruh pengalaman
yang berlebihan yang dihubungkan dengan suatu brand”. Singkatnya, keuntungan emosional
merujuk kepada titik komunikasi yang membutuhkan reward emosional dengan membeli atau
menggunakan brand yang diperkenalkan.
Keuntungan emosional sama dengan pengaruh aspek-aspek lain yang dicirikan
sebagai sesuatu yang subjektif (Homer 2006), non instrumental (Chandon Wansink &
Laurent 2000), dan holistik dalam istilah yang lebih berhubungan pada brand image secara
keseluruhan dibanding dengan ciri spesifik dari suatu brand (Burton & Easingwood 2006).
Secara umum, mereka dianggap sebagai lawan dari atribut produk yang lebih spesifik atau
keuntungan yang merujuk pada bentuk fungsional, instrumental, utilitarian (Chandon
Wansink & Laurent 2000), konkret (Homer, 2006), atau ciri pokok (Lautman & Percy, 1984).
Satu cara untuk memikirkan tentang keuntungan emosional dalam hubungannya
dengan karakteristik lain dari produk yang lebih konkrit kecuali secara dikotomi adalah
secara hierarki. Lautman (1991) mengemukakan hierarki keuntungan akhir dimana
keuntungan akhir yang mungkin dikomunikasikan oleh pengiklan dan diinginkan oleh
konsumen yang memiliki rentang dari tingkat paling dasar dari atribut produk inheren dan
keuntungan akhir fungsional sampai pada keuntungan akhir psikologikal yang berhubungan
dengan nilai konsumen dan “keberhasilan akhir” yang dijelaskan sebagai pengalaman hidup
yang difasilitasi oleh produk. Misalnya deodorant, pengarang mengilustrasikan bahwa
keuntungan fungsional adalah menjadi deodoran pelindung yang sederhana disamping
keuntungan psikologikal yaitu perasaan nyaman yang membawa pada keberhasilan akhir
dalam menghadapi kondisi yang dekat (akrab). Seperti dalam contoh, keuntungan emosional
dari ketertarikan langsung berhubungan dengan tingkat keuntungan psikologikal.
Keuntungan brand yang signifikan adalah untuk menambah nilai atau arti dari suatu
brand (Chiu et al. 2005, Ballantyne Warren & Nobbs 2006). Arti brand didefinisikan sebagai
sebuah persepsi dominan dari konsumen atau kesan dan hubungan menyeluruh dari suatu
brand (Berry 2000, p.129). Lebih spesifik lagi, arti brand adalah untuk menyampaikan tujuan
dan janji yang disimbolisasikan oleh suatu brand. Sebagai contoh, dalam kategori automobile,
arti dari suatu brand mungkin berpusat di sekitar kebebasan dan kemampuan untuk
melakukan perjalanan kemanapun melintasi jalan apapun, keamanan dan kenyamanan yang
melindungi keluarga dari kecelaakaan, atau kemewahan dan pesan peningkatan yang
mengkomunikasikan kepada yang lain. Brand mungkin mengandung arti dari taktik
marketing seperti iklan yang menyediakan hubungan khusus untuk brand mereka atau dari
individual yang menampilkan pengalaman dan keinginan mereka sendiri kepada hubungan
yang diberikan untuk membangun arti brand yang lebih personal (Ligas & Cotte 1999,
Fournier 1998, Muniz 1997). Sedangkan yang selanjutnya adalah dari kepentingan besar
untuk dipikirkan, fokusnya adalah pada sumber marketing dari arti brand saat pengiklan
memiliki control yang lebih besar atas apa yang direncanakan untuk dikomunikasikan
daripada persepsi personal dan interpretasi dari konsumen.
Ketika keuntungan pada suatu tingkat dalam hierarki Lautman dihubungkan dengan
nilai atau arti tertentu dari suatu brand (Hirschman,1980), brand yang diinginkan dan
dikembangkan oleh konsumen dan mengembangkan hubungan yang lebih berarti yang
diterima untuk menunjukkan penentuan tujuan hidup yang sedikit abstrak pada tingkat
keberhasilan akhir. Keuntungan emosional atau psikologikal secara langsung berhubungan
dengan tingkat keberhasilan akhir, beberapa ahli telah berargumen bahwa keuntungan
emosional membuat kontribusi yang paling signifikan pada nilai atau ati suatu brand dan
tindakan sebagai jalan masuk perkembangan hubungan brand-konsumen yang lebih dalam
(Funk & James, 2001).
Kesesuaian Self-Brand
Ketika keuntungan emosional mungkin menjadi penting untuk mengisi suatu brand
dengan arti yang lebih dalam, masih cukup penting bahwa keuntungan-keuntungan ini
relevan dengan target konsumen (Keller, 1990) untuk menjadi efektif dalam menciptakan arti
brand yang lebih menarik. Jadi, relevansi brand adalah salah satu komponen dari hubungan
emosional terhadap brand bersama dengan kesesuaian image dari self-brand. Kesesuian
image self-brand, atau hanya kesesuian diri, didasarkan pada proporsi bahwa konsumen
mencari dan merespon secara lebih positif terhadap suatu brand yang menampilkan image
yang cocok dengan self-image mereka (Chaplin & John 2005, Chang 2002, Hong & Zinkhan
1995, Wright Clairborne & Sirgy 1992).
Self-concept yang dipakai/dimaksudkan dalam proses ini mungkin saja adalah self-
image seseorang yang sebenarnya (trait yang dipercayai dimiliki seseorang), ideal self-image
(trait yang ingin dimiliki seseorang), social self-image (trait yang diberikan oleh orang lain
pada dirinya) (Johar & Sirgy 1991). Tergantung pada tipe kesesuaian image yang
dibutuhkan/diinginkan, konsumen mungkin mencari keuntungan brand yang memenuhi
kebutuhan social consistency (actual self-image), kebutuhan self-esteem (ideal self-image),
atau kebutuhan pengakuan sosial (ideal social self-image).
Dari deskripsi ini, dapat disimpulkan bahwa konsumen mungkin lebih tertarik untuk
menghubungkan antara motif mereka terhadap penggunaan brand dan kemampuan brand
untuk memenuhi motif-motif tersebut daripada hubungan paralel antara image atau
kepribadian dari brand dengan dirinya. Fournier (1998) mendukung kesimpulan ini, dalam
studinya mengenai hubungan konsumen-brand. Bahwa hubungan tersebut adalah hubungan
yang lebih kepada persoalan pengenalan kesesuaian pemenuhan tujuan daripada kesamaan
antara aspek produk dengan image kepribadiannya. Hal ini semakin menguatkan peran dari
keuntungan emosional dan makna simbolik brand yang dikonseptualisasikan seperti di atas
yaitu bahwa keseluruhan lebih dari hanya karakteristik produk dan trait kepribadian.
2. Perkembangan Teori
Membentuk Hubungan Emosional lewat Iklan
Escalas dan Bettman (2005, 2003) meletakkan sebuah konsep self-brand connection
yang menekankan peran dari keuntungan, brand-meaning, dan hubungannya dengan diri
(konsumen). Self-brand connections didefinisikan sebagai tingkat di mana individu telah
mengintegrasikan brand ke dalam self-concept mereka. Brand mempunyai arti yang
mencakup keuntungan psikologis seperti kebutuhan mengekspresikan diri, integrasi sosial,
pemenuhan self-esteem dan perasaan personal, pembedaan dan individualitas,
menghubungkan dengan masa lalu, serta eksistensi melewati transisi kehidupan. Dapat
dikatakan bahwa keuntungan psikologis adalah emosi yang alamiah dan bahwa keuntungan
ini secara esensial memberi seseorang makna sebuah brand. Konsumen akan memilih brand
yang mempertahankan makna, yang dapat memberi kepuasan yang sama dari actual self-
concept atau ideal self-concepts mereka. Brand bermakna ini kemudian digunakan untuk
mengekspresikan, mengkonstruksikan, atau mengembangkan identitas diri konsumen, hasil
dari mengintegrasikan brand ke dalam perasaan diri dan hal itu membentuk self-brand
connection. Implikasinya adalah peran iklan dalam menciptakan sebuah hubungan emosional
dengan brand adalah untuk mengisi brand dengan makna (melalui komunikasi tentang
keuntungan emosional) di mana konsumen dapat bergabung untuk berhubungan bersama
brand dengan self-comcept mereka.
Escalas (2004b) juga mengemukakan bagaimana iklan dapat mempengaruhi
pembentukan self-brand connection. Escalas menjelaskan iklan naratif sebagai bentuk
publikasi yang menceritakan sesuatu untuk mendemonstrasikan “bagaimana produk dapat
digunakan untuk menciptakan makna”, dan publikasi jenis tersebut biasanya mensugesti
simulasi mental dan mendorong konsumen untuk mengingat cerita yang mirip dari kehidupan
mereka melalui gambar, musik, atau tanda lain yang lebih spesifik.
Mekanisme iklan naratif dapat menimbulkan efek tersebut mungkin karena stimulasi
dari self-referencing. Self-referencing dikonseptualisasikan seagai “proses menghubungkan
informasi dengan diri sendiri” (Meyers-Levy & Peracchio 1996, p. 408). Dengan kata lain,
self-referencing adalah pembandingan atau integrasi dari informasi dengan pengetahuan
seseorang. Ada banyak macam cara proses ini dapat berlangsung termasuk recall pengalaman
masa lalu, membandingkan informasi yang datang dengan self-concept seseorang untuk
mencari kesamaan, atau dapat pula dengan mengidentifikasikan situasi yang dijelaskan.
Chang (2005) mengemukakan teori bahwa pesan iklan yang berisi self-congruent
mempercepat individu untuk segera melakukan self-referencing, membayangkan diri mereka
sendiri pada situasi yang diilustrasikan dalam iklan, dan hadirnya iklan itu juga menimbulkan
respon emosional positif yang kuat. Sebagai hasil dari perasaan positif dan proses self-
referencing oleh iklan tersebut, para pemirsa punya sikap lebih menyukai iklan dan brand
tersebut.
Kedua tersebut dapat diterapkan untuk menjembatani antara iklan dan emotional
brand connection. Hubungan emosional dimulai dengan iklan yang bertujuan untuk
mengkomunikasikan keuntungan emosional dalam bentuk pendek. Ketika individu menemui
pesan keuntungan emosional, mereka dapat menilai kesesuaian pesan tersebut. Secara lebih
spesifik, konsumen akan memutuskan apakah keuntungan emosional yang dikomunikasikan
cocok dengan kebutuhan atau tidak (self-consistency, self-esteem, social consistency, atau
social approval) (Johar & Sirgy 1991). Jika pesan yang dilihat menampilkan keuntungan
emosional yang sesuai dengan tujuan penggunaan brand, konsumen akan mengalami emosi
positif yang kuat dan menimbulkan pikiran self-referent dengan mengingat masa lalu atau
membayangkan situasi yang berhubungan dengan yang diilustrasikan oleh iklan, seperti yang
telah diungkapkan Chang (2005). Self-referencing ini akan memperlancar pemaknaan brand
yang disebabkan oleh keuntungan emosional yang dihubungkan dengan diri sendiri, faktor
krusial pada pembentukan self-brand connection (Escalas & Bettman 2005, 2003). Faktor-
faktor ini juga bersesuian dengan indikator yang dipakai Kamp and MacInnis (1995) sebagai
kriteria pada hubungan emosional dengan brand : relevansi brand, kesesuaian self-brand
image, dan perasaan positif yang kuat. Oleh karena itu, iklan dapat menciptakan emostional
brand connection dengan mengkomunikasikan keuntungan emosional self-congruent yang
dibawa oleh perasaan positif dan juga self-referencing untuk mencapai makna brand.
Tentu saja keuntungan emosional dapat pula dinilai tidak sesuai dengan tujuan
penggunaan brand seseorang. Dalam kasus ini, pesan tidak akan direferensikan pada diri
sendiri, dan konsumen bahkan dapat mengalami afek negatif (Chang, 2002). Keuntungan
pesan masih dapat dikomunikasikan dan diyakinkan, tapi makna brand dihubungkan hanya
pada produk tidak pada diri sendiri. Oleh karena itu tanpa hadirnya self-brand linkage dan
perasan positif, konsumen tidak akan mengembangkan emotional brand connection.
3. Loyalitas Brand
Kepuasan dan keluhan konsumen relatif dekat dengan area loyalitas brand. Loyalitas
brand didefinisikan sebagai tingkat dimana konsumen mempertahankan sikap positif terhadap
brand, memiliki komitmen terhadapnya, dan berkeinginan untuk meneruskan pembelian
selanjutnya. Jadi, loyalitas brand secara langsung dipengaruhi oleh kepuasaan atau ketidak
puasan konsumen terhadap brand yang diakumulasikan sepanjang waktu. Sebagai tambahan,
fakta-fakta mengindikasikan pengaruh ini dikarenakan persepsi terhadap kualitas produk.
Karena biaya untuk mempertahankan pelanggan 4-6 kali lebih murah daripada menemukan
pembeli baru, manajer harus mengembangkan strategi untuk membangun dan menjaga
loylitas brand.
Ilustrasi dari pentingnya loyalitas brand ditemukan pada sikap Air France. Target
Airline ini adalah “jet setter” yang menaiki pesawat super sonic Concorde setidaknya 1x
sebulan. Penumpang-penumpang ini diberi kesenangan dan hadiah yang tidak biasa, daripada
kupon potongan harga 50$ dari perjalanan seharga 6000$ mereka. Contohnya, mereka diberi
video kaset “Beauty and The Beast” Jean Cocteau pada penumpang yang berkali-kali
melakukan perjalanan. Sebagai seorang yang mengerti dengan baik konsultan marketing
berkata, loyalitas brand membutuhkan “… keterikatan konsumen terhadap penjual”.
Memiliki banyak konsumen yang “memakai” suatu brand, seperti binatang peliharaan atau
harta berharga adalah tujuan dari setiap manajer brand.
Beberapa Pengertian Terdahulu Mengenai Loyalitas Brand
Definisi loyalitas brand yang diberikan di atas berdasar pada 2 bagian umum definisi
dari loyalitas brand yang dikembangkan sebelumnya. Yang pertama berdasar pada tingkah
laku pembelian yang sebenarnya oleh konsumen yang meningkatkan produk. Salah satu alat
ukur tingkah laku pembelian yang sebenarnya adalah Metode Proporsi Pembelian yang lebih
sering digunakan untuk mengukur loyalitas brand pada penelitian empiris. Pada pendekatan
proporsi pembelian, semua pembelian brand dengan kategori produk tertentu menentukan
tiap konsumen. Proporsi pembelian dipengaruhi bagaimana brand tersebut dikenali. Loyalitas
merk kemudian diukur berdasarkan proporsi pembelian yang berubah-ubah akan brand
tertentu. Contohnya, lebih dari 50% pembelian terhadap brand tertentu selama beberapa
waktu, konsumen mungkin mengatakan setia terhadap brand.
Masalah pada pengukuran tingkah laku loyalitas brand adalah pada alasan pembelian
selanjutnya terhadap produk tidak dapat diidentifikasi. Produk tertentu bisa dibeli karena
digunakan sebagai alat untuk menyenangkan hidup, ketersediaan atau harga. Bila faktor yang
manapun berubah, konsumen mungkin secara cepat berubah ke brand lain. Dalam hal ini
konsumen tidak dapat membuktikan loyalitasnya, karena ide sesungguhnya dari loyalitas
adalah bahwa konsumen memiliki lebih dari pada sekedar kegilaan sementara terhadap brand.
Masalah terhadap pengukuran tingkah laku loyalitas brand terletak pada pentingnya
membedakan konsep loyalitas barnd dan tingkah laku pembelian ulang. Pada tingkah laku
pembelian ulang konsumen mungkin membeli produk berulang tanpa ada perasaan khusus
apapun terhadapnya. Kontrasnya, konsep loyalitas brand secara tidak langsung menunjukan
konsumen memiliki pilihan asli kepada brand. Konsekuensinya, pendekatan lain untuk
menaksir loyalitas brand dikembangkan, berdasar sikap konsumen terhadap produk, sebaik
pada tingkah laku pembelian. Kemudian, untuk konsumen yang menunjukan loyalitas brand,
sebagai lawan tingkahlaku pembelian berulang sederhana, konsumen harus secara aktif
memilih dan menyukai produk. Definisi awal loyalitas brand yang penting diikuti, loyalitas
brand adalah:
1. bias (i.e. non random)
2. respon behavioral (i.e. pembelian)
3. diekspresikan sepanjang waktu
4. oleh beberapa unit pembuat keputusan.
5. dengan respek terhadap satu atau lebih alternatif brand di luar brand yang mirip dengan
brand tersebut
6. termasuk tingkah laku positif yang kuat terhadap brand
Definisi loyalitas brand ini memiliki beberapa implikasi terhadap penjual:
1. loyalitas brand bukan peristiwa acak. Bagaimanapun konsumen menjadi loyal pada brand
tertentu dapat dikontrol secara luas oleh tindakan penjual.
2. laporan verbal semata bahwa seseorang loyal terhadap produk tidak cukup untuk
menunjukan loyalitas brand. Laporan verbal yang diambil dari survey terhadap konsumen
seharusnya didukung dengan rekaman pembelian sebenarnya yang dibuat oleh konsumen.
3. untuk mengungkap loyalitas barnd, tingkah laku pembelian ulang harus ditemukan
sepanjang periode waktu tertentu.
4. loyalitas brand dapat ditunjukan oleh unit pembuat keputusan ditambah pembelian
pribadi. Contoh, keputusaan mungkin dibuat oleh pasangan suami istri yang demikian
dapat mengungkap loyalitas brand dalam kombinasi.
5. konsumen mungkin loyal kepada lebih dari satu brand pada waktu yang sama. Tujuh dari
sepuluh brand yang bersaing, konsumen mungkin loyal kepada dua sampai tiga brand
sementara secara aktif mengeliminasi yang lainnya.
6. loyalitas brand hasil dari beberapa tipe dari proses evaluasi yang merupakan hasil dari
pembelian produk sebelumnya. Ketika konsumen memiliki loyalitas brand, dia secara
aktif memilih brand, komit terhadap brand secara luas, dan berkembang perasaan positif
terhadap brand.
Dengan loyalitas brand muncullah komitmen terhadap brand, komitmen terhadap brand
didefinisikan sebagai kedekatan emosional-psikologikal terhadap brand yang kelas produk.
Jadi bila loyalitas brand memiliki komponen tingkah laku dan sikap, komitmen terhadap
brand lebih berfokus pada komponen emosional perasaan. Pada penelitian komitmen brand
terhadap konsumen soft drink, peneliti menemukan hasil komitmen brand dari keterlibatan
pembelian, yang diturunkan dari hasil keterlibatan ego dengan kategori brand. Menurut
pengarang, hasil keterlibatan ego ketika produk relatif dekat kepada nilai-nilai, kebutuhan-
kebutuhan dan konsep diri konsumen. Diagram dibawah ini menunjukkan hubungan diantara
faktor-faktor di atas :
Keterlibatan ego keterlibatan pembelian komitmen brand
Dalam perhitungan, komitmen brand cenderung terjadi lebih sering pada produk high-
involvement yang menyimbolkan konsep diri, nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan
konsumen. Juga, produk high-commitment cenderung lebih sering berharga lebih tinggi.
4. Mengkomunikasikan Pesan
Hal yang penting dalam mengkomunikasikan brand adalah acuan dari pelanggan. Kita
menginternalisasikan komunikasi menggunakan pengalaman kita sendiri, jadi arti yang kita
dapat dari pesan itu kita terima dari iklan yang bervariasi dari satu budaya ke budaya yang
lain. Komunikasi lain yang dikembangkan di luar bahwa acuan budaya yang dapat di salah
artikan atau tidak dimengerti sama sekali. Pada pemasaran saat ini sebagian pemasaran
farmasi, pesan dan komunikasi cenderung dikembangkan oleh grup-grup kecil, seringkali
jarak (baik kultural maupun fisik) dari pasar dipertanyakan . Konsekuensinya, target
pelanggan lokal mungkin tidak mengerti pesan tersebut, hasilnya akan ada sedikit atau tidak
ada kesempatan sama sekali untuk meraih pemasaran yang objektif.
Fragmentasi Media
Pada waktu yang sama, perubahan pada tingkah laku konsumen dan perkembangan
teknologi berarti bahwa metode pengembangan tradisional brand menjadi usang dan hal ini
meningkatkan kesulitan untuk meraih status brand premium. Pertumbuhan penggunaan
internet di rumah dan penawaran di TV mengali penurunan tajam ketenaran iklan tradisional,
ketika peningkatan saluran penjualan langsung, seperti website, email dan SMS menunjukkan
kekuatan cara baru untuk meraih konsumen.
BAB III
KASUS
A. Resume Hasil Wawancara
Subjek : Suneo
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswa
Brand : handphone SAMSUNG
Suneo telah memakai HP SAMSUNG selama hampir empat tahun, sebelumnya
pernah memakai HP merk lain yaitu Motorola kira-kira selama setahun tapi kemudian rusak.
Suneo pertama kali mengenal HP SAMSUNG melalui brosur namun saat itu dia masih
tertarik dengan berbagai macam merk HP. Akan tetapi dia tersandung dengan harga yang
mahal, untunglah temannya memberikan rekomendasi jenis HP yang memiliki harga yang
terjangkau. Bukan HP yang terlalu mahal ataupun yang murahan. Temannya juga
mengatakan tentang fasilitas dan fungsinya berikut bentuknya yang simple walaupun tidak
secanggih merk mahal. Akhirnya Suneo memutuskan untuk membelinya.
Suneo merasakan manfaat dari HP tersebut setelah memakainya. Dia menemukan
beberapa keunggulan dari HP tersebut yaitu awet, tidak cepat nge-drop, tahan banting, suara
jernih, gambar terang, lampu terang, dan ring tone nya lucu-lucu. Suatu hari ia melihat acara
di televisi yang meliput proses pembuatan produk SAMSUNG. Pada acara itu dijelaskan
bahwa produk SAMSUNG tidak akan lepas ke pasaran sebelum diseleksi secara ketat dan
memenuhi standar. SAMSUNG melakukan tes uji coba terhadap produk-produknya dengan
cara membantingnya dan memasukkan produk tersebut di suhu ekstrim. Kelolosan produk
ditentukan bila produk tersebut tetap dalam performansi normalnya setelah uji coba.
Kebetulan tipe HP milik Suneo menjadi contoh uji coba pada liputan tersebut.
Ditambah lagi SAMSUNG sering melakukan survey mengenai kualitas terkait dengan
kepuasan konsumen. SAMSUNG melakukan audiensi dengan konsumen mengenai contoh
produk terbarunya. Dari audiensi tersebut terjaringlah keinginan konsumen akan fungsi,
bentuk, fitur, dan fasilitas yang menjamin kualitas produk SAMSUNG. Berikut karyawan-
karyawannya memiliki disiplin dan produktivitas yang tinggi.
Kepuasan semakin dirasakan Suneo ketika memakai HP itu. Kepuasan tersebut
didapatnya melalui kenyamanan dalam memakai HPnya antara karena fungsi key mudah,
keypad nyaman, bentuk ergonomis, suara jernih. Suneo pun merasa bahwa produk yang
dipakainya sesuai dengan dirinya yaitu sederhana, serta dari segi utilitas produk tersebut
dapat memenuhi kebutuhannya.
B. Pembahasan
Chang (2005) mengemukakan teori bahwa pesan iklan yang berisi self-congruent
mempercepat individu untuk segera melakukan self-referencing, membayangkan diri mereka
sendiri pada situasi yang diilustrasikan dalam iklan, dan hadirnya iklan itu juga menimbulkan
respon emosional positif yang kuat. Sebagai hasil dari perasaan positif dan proses self-
referencing oleh iklan tersebut, para pemirsa punya sikap lebih menyukai iklan dan brand
tersebut.
Iklan dalam brosur yang dilihat Suneo menawarkan keuntungan emosional seperti
layar warna, bentuk simple-elegan-feminin, ringtone polyphonic, phonebook dengan
kapasitas cukup besar, dan harga terjangkau. Suneo kemudian melakukan self-congruent
terhadap keuntungan emosional yang ditawarkan. Suneo lebih memilih produk yang
bentuknya sederhana tapi feminine dan elegan, karena bila memilih tampilan HP yang
mewah maka harganya terlampau mahal bila dibandingkan dengan kemampuan ekonominya.
Baginya fungsi sebuah HP sudah cukup bila sudah dapat digunakan untuk SMS dan
menelepon. Fitur yang lain seperti GPRS, kamera, dan radio tidak terlalu penting baginya.
Ringtone polyphonic dan layar warna sudah cukup menarik baginya.
Setelah mengevaluasi kesesuaian produk dengan dirinya (self-congruent) kemudian
Suneo membandingkan fasilitas yang akan digunakannya dengan pengalaman penggunaan
HP nya yang terdahulu (self-referencing). Suneo mendapat pengalaman yang kurang
mengenakkan dengan jenis HP yang monochrome karena membosankan untuk dilihat. Ring
tone monophonic baginya juga dirasa membosankan dan tidak menarik. Suneo menginginkan
pengalaman baru dengan fasilitas HP SAMSUNG tersebut. Sebelumnya pun ia merasa
kerepotan dengan kapasitas phonebook yang sedikit, karena ia memiliki kebutuhan untuk
menyimpan banyak nomor.
Dari keuntungan emosional dan self-referencing yang dilakukan Suneo maka
terbentuklah makna brand (brand meaning) HP SAMSUNG baginya. Makna brand bagi
Suneo adalah high facilities cellular with middle-class prize. Di mana ia bisa mendapatkan
fasilitas yang dibutuhkan dengan kualitas yang dipercayanya baik dengan harga yang
terjangkau baginya.
Hubungan emosional antara brand dengan Suneo kemudian mulai terbentuk seiring
dengan penggunaan produk tersebut (kepuasan eksperensial). Dari proses penggunaannya,
Suneo mendapati bahwa banyak kenyamanan yang ia peroleh yaitu , tidak cepat nge-drop,
tahan banting, suara jernih, gambar terang, lampu terang, dan ring tone nya lucu-lucu.
Sehingga ia memperoleh kepuasan, tidak menyesal telah memilih HP tersebut. Kemudian
hubungan tersebut semakin diperkuat dengan adanya sebuah liputan mengenai proses
produksi SAMSUNG. Banyak kelebihan yang kemudian dia temukan, mulai dari kedispilinan
karyawan, komitmen perusahaan untuk memberikan produk terbaik, kesediaan perusahaan
untuk mendengarkan keinginan konsumen, dan inovasi yang coba terus dilakukan
perusahaan.
Menurut Kamp and MacInnis (1995) kriteria pada emotional branding connection:
relevansi brand, kesesuaian self-brand image, dan perasaan positif yang kuat. Emotional
branding connection pun nampak dari munculnya indikator pada hubungan brand dan Suneo
yaitu sebagai berikut :
• Relevansi brand dari segi utilitas produk tersebut dapat memenuhi kebutuhannya
• Kesesuaian self brand image sesuai dengan diri Suneo yaitu sederhana
• Perasaan positif yang kuat kepercayaan bahwa SAMSUNG akan memberikan produk
yang terbaik untuk konsumen, kecenderungan untuk memilih HP SAMSUNG bila suatu
saat berganti HP, dan ketertarikan bila ada iklan SAMSUNG
Melalui emotional branding connection yang tercipta ada sebuah potensi besar pada diri
Suneo untuk terbangun brand loyalty. Loyalitas brand didefinisikan sebagai tingkat dimana
konsumen mempertahankan sikap positif terhadap brand, memiliki komitmen terhadapnya,
dan berkeinginan untuk meneruskan pembelian selanjutnya (Mowen&Minor, 1995).
Perasaan positif Suneo seperti telah dijelaskan bahwa Suneo menaruh kepercayaan akan
produk sehingga mengakui adanya kecenderungan untuk memilih brand yang sama ketika
melakukan pembelian lagi. Artinya Suneo sudah memiliki komitmen untuk mempertahankan
sikap positif dan meneruskan pembelian. Ketika dalam tingkah laku pembelian tidak lagi
hanya melibatkan tingkah laku dan sikap, melainkan juga melibatkan emosi maka tercipta lah
commitment branding.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Brand adalah komoditas atau jasa yang dikemas dalam sebuah persona emosional,
dipatenkan dengan sebuah image atau logo. Persona emosional adalah sebuah pengalaman
sensoris yang diciptakan lewat desain konseptual dari sebuah brand.
Untuk membangun hubungan baik antara konsumen dan brand maka dibutuhkan
suatu kelekatan emosional, yaitu sebuah hubungan yang berdasarkan konstruk yang
merefleksikan hubungan emosional antara seorang individu dengan penggunaan barang,
kelekatan ini termasuk dari tiga komponen: efeksi (perasaan hangat akan brand), gairah
(kecenderungan perasaan positif pada brand), dan hubungan (perasaan ikut bergabung/terlibat
dengan brand).
Hal ini semua perrtama-tama diawali oleh promosi dan iklan. Melalui iklan akan
dihasilkan keuntungan emosional baik disampaikan secara eksplisit maupun implisit.
Keuntungan brand yang signifikan adalah untuk menambah nilai atau arti dari suatu brand,
yang didefinisikan sebagai sebuah persepsi dominan dari konsumen atau kesan dan hubungan
menyeluruh dari suatu brand.
Jadi penting bagi perusahaan untuk membangun self-brand connection yang
menekankan peran dari keuntungan, brand-meaning, dan hubungannya dengan diri
(konsumen). Self-brand connections didefinisikan sebagai tingkat di mana individu telah
mengintegrasikan brand ke dalam self-concept mereka.
Setelah self brand connection terbentuk maka mudahlah membangun loyalitas brand
yang didefinisikan sebagai tingkat dimana konsumen mempertahankan sikap positif terhadap
brand, memiliki komitmen terhadapnya, dan berkeinginan untuk meneruskan pembelian
selanjutnya. Dengan loyalitas brand muncullah komitmen terhadap brand, yang didefinisikan
sebagai kedekatan emosional-psikologikal terhadap brand.
Saran
Sangat penting bagi perusahaan membangun brand lewat pengembangan hubungan
emosional untuk menciptakan hubungan yang berguna sebagai jalan yang lebih baik untuk
mendapatkan keuntungan kompetitif dan meningkatkan kesetiaan (loyalty). Hal ini secara
jelas terlihat dari bagaiman cara perusahaan tersebut melakukan promosi dan iklan. Iklan
sebagai media promosi sangatlah penting untuk mendapat perhatian lebih, karena dapat
mempengaruhi pembentukan self-brand connection. Iklan naratif sebagai bentuk publikasi
yang menceritakan sesuatu untuk mendemonstrasikan “bagaimana produk dapat digunakan
untuk menciptakan makna”, dan publikasi jenis tersebut biasanya mensugesti simulasi
mental dan mendorong konsumen untuk mengingat cerita yang mirip dari kehidupan mereka
melalui gambar, musik, atau tanda lain yang lebih spesifik. Inilah kenapa pembuat iklan
sekarang berusaha agar tidak hanya mendapat sikap positif terhadap brand atau
kecenderungan membeli barang saja, tapi melangkah lebih dalam dan berhubungan dengan
konsumen pada tingkat emosional.
Penting juga bagi perusahaan untuk meciptakan brand yang sesuai dengan nilai-nilai,
kebutuhan dan self concept dari konsumennya.karena bagaimanapun konsumen tidak hanya
membeli barang berdasar emosi sesaat saja, melaikan juga memilih brand yang dapat
memberi manfaat untuknya.
Daftar Pustaka
Boyd, Harper W. 2000. Manajemen Pemasaran : Suatu Pendekatan Strategi dengan
Orientasi Global. Jakarta : Erlangga
Mowen, John C & Minor, Michael. 1995. Consumer Behavior. New Jersey : United States of
America
Mowen, John C & Minor, Michael. 1997. Consumer Behavior. New Jersey : United States of
America
Ball, Jennifer G. Creating Emotional Branding Connections : Emotional Benefits, Brand
Meaning, and Self-congruity. University of Texas at Austin.
http://www.ciadvertising.org/SA/fall_06/adv392/havachava/index.htm. diakses
tanggal 26 September 2007
http://businessofemotions.typepad.com/drrm/emotional_branding/index.htm
http://www.wiglafjournal.com/Articles/2004/2004-11-10
BrandingOnPurchasingMotivators.htm