Ektraksi Dan Identifikasi Biji Labu Merah
-
Upload
satriomega -
Category
Documents
-
view
519 -
download
22
Transcript of Ektraksi Dan Identifikasi Biji Labu Merah
EKTRAKSI DAN IDENTIFIKASI
BIJI LABU MERAH(Cucurbita moschata Durch. Poir, semen)
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA I
OLEH :KELOMPOK 4
1. Maulana Rachman 7. Arwita Silvi Sufraty2. Fermiyanti Saputri 8. Irmayani3. Rosmini 9. Haeriah 4. Adrianus Luli Uhe 10. Dewi Astrini5. Muhammad Rizal M 11. Mismayal Khaerat6. Hamriani 12. Nurpratiwi
LABORATORIUM FITOKIMIA I
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya sehingga
Laporan Lengkap Praktikum Fitokimia 1 ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian praktikum
Fitokimia 1. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan laporan ini, khususnya kepada dosen pembimbing dan para
asisten yang telah membimbing selama praktikum berlangsung, serta kepada semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan laporan
yang akan datang. Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
Makassar, 25November 2012
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
I.2 Maksud dan Tujuan Praktikum
I.3 Prinsip Praktikum
I.3.1 Prinsip pengolahan sampel
I.3.2 Prinsip Ekstraksi metode soxhletasi
I.3.3 Prinsip Ekstraksi Cair Cair
I.3.4 Prinsip Kromatografi Lapis Tipis
I.3.5 Prinsip Penampakan Noda
I.3.5.1 Secara UV 254 nm
I.3.5.2 Secara UV 366 nm
I.3.5.3 Dengan H2SO4
BAB II Tinjauan Pustaka
II.1. Teori umum
II.2. Uraian tumbuhan
II.2.1. Klasifikasi tumbuhan
II.2.2. Morfologi tumbuhan
II.2.3. Kandungan kimia
II.2.4. Kegunaan tanaman
II.2. Metode ekstraksi
BAB III Metodologi Percobaan
III.1. Alat dan bahan
III.2. Metode kerja
III.2.1. Pengolahan sampel
III.2.2. Pembuatan ekstrak
BAB IV Hasil Dan Pembahasan
IV.1. Hasil
IV.2. Pembahasan
BAB V Penutup
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya
alamnya.Terdapat jutaan jenis tumbuhan, baik yang hidup di darat maupun di laut. Dari
jutaan jenis tersebut, tidak semua diketahui nama, sifat-sifat serta kegunaannya pada
manusia. Tumbuhan yang belum diketahui jenisnya masih memerlukan penelitian yang
lebih mendalam, baik dari segi kegunaan, sifat-sifat yang dimiliki maupun kandungan
kimia yang terdapat di dalamnya.
Sebagai mahasiswa farmasi yang menekuni obat-obatan maka mengenal
asal, habitat, spesies dan sifat spesifikasinya merupakan hal yang sangat penting.
Pengetahuan yang cukup mengenai berbagai macam tumbuhan yang berkhasiat obat,
baik bentuk simplisia, morfologi secara umum, kegunaan, cara ekstraksi, dan
identifikasi komponen kimia yang terdapat dalam suatu simplisia merupakan hal yang
perlu diketahui oleh seorang mahasiswa Farmasi. Pengetahuan ini dapat digunakan
sebagai salah satu jalan untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat dalam
fungsinya sebagai “Drug Informer” nantinya setelah terjun ke masyarakat.
Fakta menunjukkan bahwa upaya kesehatan tradisional telah dikenal dan
digunakan masyarakat sejak zaman dahulu.Bahkan zaman sekarang pun masyarakat
kembali banyak menggunakan obat-obat yang berasal dari alam.
Masyarakat menggunakan tumbuhan sebagai obat tradisional meskipun belum mengetahui kandungan kimianya, mereka hanya menggunakannya berdasarkan pengalaman yang ada.Namun masyarakat tersebut tidak mengetahui kandungan kimia dari biji labu merah dalam pengobatan, tetapi mereka telah menggunakannya sebagai obat sejak dahulu.Salah satu obat tradisional yang digunakan adalah biji labu merah. Biji labu merah ini digunakan untuk mengobati infeksi cacing. Suatu penelitian telah membuktikan bahwa biji labu merah memiliki daya antiaskariasis, dimana hasil dari analisis probit diperoleh harga LC50 dan LT50 ekstrak etanolik biji labu merah (Cucurbita moschata Duch.poir,Semen) sebesar 22,2165% dan 4,1299 jam. Hasil uji SNK menunjukkan bahwa konsentrasi dari ekstrak etanolik biji labu merah yang paling efektif adalah konsentrasi 75%. Penelitian dilakukan dengan mengekstraksi biji labu merah dengan metode maserasi.(Selpi, 2011).Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka sangat penting untuk melakukan proses ekstraksi dan identifikasi kandungan kimia biji labu merah untuk kemudian dapat digunakan dalam pengembangan obat tradisional.
I.2. Maksud dan tujuan percobaan
I.2.1. Maksud percobaanMengetahui dan memahami cara-cara ekstraksi dan identifikasi komponen kimia
yang terkandung dalam tumbuhan dengan metode tertentu.I.2.2. Tujuan percobaan
Mengekstraksi komponen kimia yang terdapat dalam biji labu merah (Cucurbita moschata Durch.Poir.)dengan menggunakan metode Soxhlet dengan melanjutkannya pada ekstraksi cair-cair dan uji Kromatografi Lapis Tipis.
I.3. Prinsip percobaan
I.3.1 Prinsip Pembuatan simplisia
Pembuatan simplisia biji labu merah (Cucurbita moschata Durch.Poir)
berdasarkan tahap-tahap pembuatan simplisia.
I.3.2 Prinsip Ekstraksi
1.3.2.1 Metode Soxhletasi
Penyarian simplisia secara berkesinambungan dimana cairan penyari yang
dipanaskan dalam labu alas bulat akan menguap melalui titik samping kemudian naik
ke kondensor dan terkondensasi turun membentuk molekul-molekul cairan yang
menyari komponen kimia sampel di dalam klonsong dan jika cairan penyari telah
mencapai permukaan siphon, seluruh cairan akan turun kembali ke labu alas bulat
melalui pipa siphon sehingga terjadi sirkulasi. Proses ini berlangsung hingga pada
siphon cairan penyari telah bening atau jika diidentifikasi dengan KLT tidak
memberikan noda lagi atau sebanyak 20 kali sirkulasi
1.3.2.2 Prinsip ekstraksi Cair-cair
Ekstraksi cair-cair (corong pisah) merupakan disperse komponen kimia di
antara 2 fase cair yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada
fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, di mana fase kedua setelah dikocok
bersama fase pertama yang mengandung zat terdispersi, didiamkan sampai terjadi
pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair oleh karena perbedaan bobot
jenis (BJ) sehingga zat akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan
tingkat kepolarannya.
1.3.3 Prinsip KLT
Pemisahan komponen kimia berdasarkan adsorpsi komponen kimia pada fase
diam berupa lapisan tipis adsorben dan sifat partisi komponen kimia pada fase gerak
berupa campuran pelarut kimia, dimana komponen kimia naik mengikuti naiknya eluen,
dan perhitungan harga Rf yang merupakan perbandingan antara jarak yang ditempuh
oleh eluen dan jarak noda.
I.3.4 Prinsip Penampakan noda sinar UV 254/366 nm
Penampakan noda dari senyawa aktif berdasarkan sifat dari senyawa organik
yang akan berfluoresensi karena mengabsorpsi sinar UV pada panjang gelombang
254/366 nm
I.3.5 Prinsip penampakan noda H2SO4
Penampakan noda pada lempeng kromatogram dengan menggunakan
penyemprot H2SO4 akan menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik dari panjang
gelombang nonvisible menjadi panjang gelombang visible.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Teori umum
Definisi Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain. Simplisia merupakan
bahan yang dikeringkan.Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan
simplisia pelikan atau mineral (1:45).
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman,
atau ekssudat tanaman. Yang dimaksud dengan eksudat tanaman adalah isi sel yang
secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya,
atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya.
Simplisia hewani ialah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat
berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia
pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang
belum diolah atau telah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni
(2:30)
Untuk menjalin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya
maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal. Untuk memenuhi persyaratan
minimal itu,
ada beberapa faktor yang berpengaruh antara lain (3:57):
a. Bahan baku simplisia
b. Proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia
c. Cara pengepakan dan penyimpanan simplisia
Pemilihan sumber tanaman obat sebagai sumber bahan baku simplisia nabati
merupakan salah satu faktor yang sangat berpengfaruh pada mutu simplisia, termasuk
di dalamnya pemilihan bibit (untuk tumbuhan hasil budidaya) dan pengolahan maupun
jenis tanah tempat tumbuh tanaman obat. Sebagai sumber simplisia, tanaman obat
dapat berupa tumbuhan liar atau tanaman budidaya.
Metode Ekstraksi Bahan Alam
1. Tujuan Ekstraksi
Ekstraksi adalah penyarian komponen kimia atau zat-zat aktif dari bagian
tanaman obat, hewan dan beberapa jenis hewan termasuk biota laut. Komponen kimia
yang terdapat pada tanaman, hewan dan beberapa jenis ikan pada umumnya
mengandung senyawa-senyawa yang mudah larut dalam pelarut organik. Pelarut
organik yang paling umum digunakan untuk mengekstraksikan komponen kimia dari sel
tanaman adalah metanol, etanol, kloroform, heksan, eter, aseton, benzene dan etil
asetat. (4 : 10)
Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman adalah pelarut
organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka
larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai
terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel. ( 4 :
5 )
Jadi tujuan dari ekstraksi adalah untuk menarik bahan atau zat-zat yang dapat
larut dalam bahan yang tidak larut dengan menggunakan pelarut cair. ( 4 : 6 )
2. Jenis Ekstraksi
Ekstraksi Secara Dingin
Proses ektraksi secara dingin pada prinsipnya tidak memerlukan pemanasan.
Hal ini diperuntukkan untuk bahan alam yang mengandung komponen kimia yang tidak
tahan pemanasan dan bahan alam yang mempunyai tekstur yang lunak. Yang
termasuk ekstraksi secara dingin adalah:
a. Metode Maserasi ( 4 : 10 – 16 )
Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana yang dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari
pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya.
Metode ini digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen
kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang seperti benzoin, stiraks dan lilin. Penggunaan metode ini misalnya pada
sampel yang berupa daun, contohnya pada penggunaan pelarut eter atau aseton untuk
melarutkan lemak/lipid.
Maserasi umumnya dilakukan dengan cara: memasukkan simplisia yang sudah
diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10 bagian dalam bejana maserasi
yang dilengkapi pengaduk mekanik, kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari
ditutup dan dibiarkan selama 5 hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya
sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari, cairan penyari disaring ke dalam wadah
penampung, kemudian ampasnya diperas dan ditambah cairan penyari lagi
secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi sehingga diperoleh sari 100 bagian.
Sari yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya
selama 2 hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya dipekatkan.
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Selain itu, kerusakan
pada komponen kimia sangat minimal. Adapun kerugian cara maserasi ini adalah
pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna.
Maserasi dapat dilakukan modifikasi misalnya :
1. DIGESTI
Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu pada
suhu 40° - 50° C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat
aktifnya tahan terhadap pemanasan.
Dengan pemanasan akan diperoleh keuntungan antara lain :
a. Kekentalan pelarut berkurang, yang dapat mengakibatkan berkurangnya lapisan –
lapisan batas.
b. Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan tersebut
mempunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan.
c. Koefisien distribusi berbanding lurus dengan suhu absolut dan berbanding terbalik
dengan kekentalan, hingga kenaikan suhu akan berpengaruh pada kecepatan difusi.
Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu dinaikkan.
Jika cairan penyari mudah menguap pada suhu yang digunakan, maka perlu
dilengkapi dengan pendingin balik, sehingga cairan penyari yang menguap akan
kembali ke dalam bejana.
2. MASERASI DENGAN MESIN PENGADUK
Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus menerus, waktu proses maserasi
dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam.
3. REMASERASI
Cairan penyari dibagi dua. Seluruh serbuk simplisia dimaserasi dengan cairan penyari
pertama, sesudah dienap tuangkan dan diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan
penyari yang kedua.
4. MASERASI MELINGKAR
Maserasi dapat diperbaiki dengan mengusahakan agar cairan penyari selalu
bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir kembali secara
berkesinambungan melalui serbuk simplisia dan melarutkan zat aktifnya.
Keuntungan cara ini :
1. Aliran cairan penyari mengurangi lapisan batas.
2. Cairan penyari akan didistribusikan secara seragam, sehingga akan memperkecil
kepekatan setempat.
3. Waktu yang diperlukan lebih pendek
5. MASERASI MELINGKAR BERTINGKAT
Pada maserasi melingkar penyarian tidak dapat dilaksanakan secara sempurna,
karena pemindahan massa akan berhenti bila keseimbangan telah terjadi. Masalah ini
dapat diatasi dengan maserasi melingkar bertingkat (M.M.B.).
Pada proses ini tiap “batch” serbuk simplisia disari beberapa kali dengan
sejumlah cairan penyari. Pada proses ini diperoleh beberapa kesimpulan yaitu :
1. Serbuk simplisia mengalami proses penyarian beberapa kali, sesuai dengan jumlah
bejana penampung.
2. Serbuk simplisia sebelum dikeluarkan dari bejana penyari, dilakukan penyarian dengan
cairan penyari baru. Dengan ini diharapkan agar memberikan hasil penyarian yang
maksimal.
3. Hasil penyarian sebelum diuapkan digunakan dulu untuk menyari serbuk simplisia yang
baru, hingga memberikan sari dengan kepekatan yang maksimal.
4. Penyarian yang dilakukan berulang-ulang akan mendapatkan hasil yang lebih baik
daripada yang dilakukan sekali dengan jumlah pelarut yang sama.
B. Metode Soxhletasi ( 4 : 26 )
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan
penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi
molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong
dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon.
Proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif sempurna yang ditandai dengan
beningnya cairan penyari yang melalui pipa sifon atau jika diidentifikasi dengan
kromatografi lapis tipis tidak memberikan noda lagi.
Metode soxhletasi bila dilihat secara keseluruhan termasuk cara panas, karena
pelarut atau cairan penyarinya dipanaskan agar dapat menguap melalui pipa samping
dan masuk ke dalam kondensor, walaupun pemanasan yang dilakukan tidak langsung
tapi hanya menggunakan suatu alat yang bersifat konduktor sebagai penghantar
panas. Namun, proses ekstraksinya secara dingin karena pelarut yang masuk ke dalam
kondensor didinginkan terlebih dahulu sebelum turun ke dalam tabung yang berisi
simplisia yang akan dibasahi atau di sari. Hal tersebutlah yang mendasari sehingga
metode soxhlet digolongkan dalam cara dingin. Pendinginan pelarut atau cairan
penyari sebelum turun ke dalam tabung yang berisi simplisia dilakukan karena simplisia
yang disari tidak tahan terhadap pemanasan.
Sampel atau bahan yang akan diekstraksi terlebih dahulu diserbukkan dan
ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam klongsong yang telah dilapisi dengan kertas
saring sedemikian rupa (tinggi sampel dalam klongsong tidak boleh melebihi pipa
sifon), karena dapat mempengaruhi kesetimbangan pergerakan eluen yang telah
terelusi keluar dari pipa sifon, dimana jika tinggi sampel melebihi kertas saring (pipa
sifon), maka eluen hasil elusi akan keluar melalui pipa aliran uap yang berada diatas
sampel, bukan keluar melalui pipa sifon . Selanjutnya labu alas bulat diisi dengan
cairan penyari yang sesuai kemudian ditempatkan di atas waterbath atau heating
mantel dan diklem dengan kuat kemudian klongsong yang telah diisi sampel dipasang
pada labu alas bulat yang dikuatkan dengan klem dan cairan penyari ditambahkan
untuk membasahkan sampel yang ada dalam klongsong. Setelah itu kondensor
dipasang tegak lurus dan diklem pada statif dengan kuat. Aliran air dan pemanas
dijalankan hingga terjadi proses ekstraksi dimana pada saat pelarut telah mendidih,
maka uapnya akan melalui pipa samping lalu naik ke kondensor. Di sini uap akan
didinginkan sehingga uap mengembun dan menjadi tetesan – tetesan cairan yang akan
menetes turun ke klongsong dan membasahi simplisia. Tetesan – tetesan uap air
cairan penyari ini akan ditampung di dalam klongsong hingga suatu ketika ekstrak
mencapai ketinggian ujung sifon sehingga pelarut ini akan turun kembali ke dalam
wadah pelarut secara cepat. Proses ini berulang hingga penyarian yang dilakukan
sempurna dalam hal ini, cairan penyari yang pada awalnya berwarna, di dalam pipa
sifon sudah tidak berwarna lagi atau jika cairan penyari pada awalnya memang tidak
berwarna maka biasanya dilakukan 20-25 kali sirkulasi. Ekstrak yang diperoleh
dikumpulkan dan dipekatkan dengan rotavapor.
Adapun keuntungan dari proses soxhletasi ini adalah cara ini lebih menguntungkan
karena uap panas tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui pipa samping.
Kerugiannya adalah jumlah ekstrak yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan dengan
metode maserasi.
b. Metode Perkolasi ( 4 : 16 – 25 )
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkanpenyari melalui serbuk
simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan perkolasi adalah serbuk
simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat
berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan
penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampel dalam
keadaan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri
dan tekanan penyari dari cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang
cenderung untuk menahan gerakan ke bawah.
Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena :
a. Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan
larutan yang konsentrasinya lebih rendah sehingga meningkatkan derajat perbedaan
konsentrasi.
b. Ruangan diantara butir – butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir
cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup
untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi.
Adapun kerugian dari cara perkolasi ini adalah serbuk kina yang mengadung
sejumlah besar zat aktif yang larut, tidak baik bila diperkolasi dengan alat perkolasi
yang sempit, sebab perkolat akan segera menjadi pekat dan berhenti mengalir.
Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain : gaya berat, kekentalan,
daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi, daya kapiler dan daya geseran
(friksi).
Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan yang digunakan
untuk menyari disebut cairan penyari atau menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari
perkolator disebut sari atau perkolat, sedangkan sisa setelah dilakukannya penyarian
disebut ampas atau sisa perkolasi.
Ekstraksi Secara Panas ( 5 : 10 )
Ekstraksi secara panas dilakukan untuk mengekstraksi komponen kimia yang
tahan terhadap pemanasan seperti glikosida, saponin dan minyak-minyak menguap
yang mempunyai titik didih yang tinggi, selain itu pemanasan juga diperuntukkan untuk
membuka pori-pori sel simplisia sehingga pelarut organik mudah masuk ke dalam sel
untuk melarutkan komponen kimia. Metode ekstraksi yang termasuk cara panas yaitu:
A. Metode Refluks ( 4 : 25 )
Metode refluks adalah termasuk metode berkesinambungan dimana cairan
penyari secara kontinyu menyari komponen kimia dalam simplisia cairan penyari
dipanaskan sehingga menguap dan uap tersebut dikondensasikan oleh pendingin balik,
sehingga mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan dan jatuh kembali ke
labu alas bulat sambil menyari simplisia. Proses ini berlangsung secara
berkesinambungan dan biasanya dilakukan 3 kali dalam waktu 4 jam.
Simplisia yang biasa diekstraksi adalah simplisia yang mempunyai komponen
kimia yang tahan terhadap pemanasan dan mempunyai tekstur yang keras seperti
akar, batang, buah, biji dan herba.
Serbuk simplisia atau bahan yang akan diekstraksi secara refluks ditimbang
kemudian dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan ditambahkan pelarut organik
misalnya methanol sampai serbuk simplisia terendam kurang lebih 2 cm di atas
permukaaan simplisia atau 2/3 dari volume labu, kemudian labu alas bulat dipasang
kuat pada statif pada waterbath atau heating mantel, lalu kondendor dipasang pada
labu alas bulat yang dikuatkan dengan klem dan statif. Aliran air dan pemanas (water
bath) dijalankan sesuai dengan suhu pelarut yang digunakan. Setelah 4 jam dilakukan
penyarian. Filtratnya ditampung pada wadah penampung dan ampasnya ditambah lagi
pelarut dan dikerjakan seperti semula, ekstraksi dilakukan selama 3-4 jam. Filtrat yang
diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan rotavapor, kemudian dilakukan
pengujian selanjutnya.
Keuntungan dari metode ini adalah :
a. Dapat mencegah kehilangan pelarut oleh penguapan selama proses pemanasan jika
digunakan pelarut yang mudah menguap atau dilakukan ekstraksi jangka panjang.
b. Dapat digunakan untuk ekstraksi sampel yang tidak mudah rusak dengan adanya
pemanasan.
Adapun kerugian dari metode ini adalah prosesnya sangat lama dan diperlukan alat –
alat yang tahan terhadap pemanasan.
B. Metode Destilasi Uap Air ( 4 : 28 )
Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia yang
mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang mempunyai
titik didih tinggi pada tekanan udara normal, misalnya pada penyarian minyak atsiri
yang terkandung dalam tanaman Sereh (Cymbopogon nardus). Pada metode ini uap
air digunakan untuk menyari simplisia dengan adanya pemanasan kecil uap air
tersebut menguap kembali bersama minyak menguap dan dikondensasikan oleh
kondensor sehingga terbentuk molekul-molekul air yang menetes ke dalam corong
pisah penampung yang telah diisi air. Penyulingan dilakukan hingga sempurna.
Sampel yang akan diekstraksi direndam dalam gelas kimia selama 2 jam setelah
itu dimasukkan ke dalam bejana B, bejana A diisi air dan pipa-pipa penyambung serta
kondensor dan penampung corong pisah dipasang dengan kuat. Api Bunsen bejana A
dinyalakan sehingga airnya mendidih dan diperoleh uap air yang selanjutnya masuk ke
dalam bejana B melalui pipa penghubung untuk menyari sampel dengan adanya
bantuan api kecil pada bejana B, minyak menguap yang telah tersari selanjutnya
menguap menuju kondensor, karena adanya pendinginan balik uap dari minyak
menguap ini, maka uap air yang terbentuk menetes ke dalam corong pisah penampung
yang telah berisi air.
Prinsip fisik destilasi uap yaitu jika dua cairan tidak bercampur digabungkan, tiap
cairan bertindak seolah – olah pelarut itu hanya sendiri, dan menggunakan tekanan
uap. Tekanan uap total dari campuran yang mendidih sama dengan jumlah tekanan
uap parsial, yaitu tekanan yang digunakan oleh komponen tunggal, karena pendidihan
yang dimaksud yaitu tekanan uap total sama dengan tekanan atmosfer, titik didih
dicapai pada temperatur yang lebih rendah daripada jika tiap – tiap cairan berada
dalam keadaan murni.
Keuntungan dari destilasi uap ini adalah titik didih dicapai pada temperatur yang
lebih rendah daripada jika tiap– tiap cairan berada dalam keadaan murni. Selain itu,
kerusakan zat aktif pada destilasi langsung dapat diatasi pada destilasi uap ini.
Kerugiannya adalah diperlukannya alat yang lebih kompleks dan pengetahuan yang
lebih banyak sebelum melakukan destilasi uap ini.
Ekstraksi Cair-cair ( 5 : 54 )
Ekstraksi cair-cair biasa juga disebut sebagai metode corong pisah. Jika suatu
cairan ditambahkan ke dalam ekstrak yang telah dilarutkan dalam cairan lain yang tidak
dapat bercampur dengan yang pertama, akan terbentuk dua lapisan. Satu komponen
dari campuran akan memiliki kelarutan dalam kedua lapisan tersebut (biasanya disebut
fase) dan setelah beberapa waktu dicapai kesetimbangan konsentrasi dalam kedua
lapisan. Waktu yang diperlukan untuk tercapainya kesetimbangan biasanya
dipersingkat oleh pencampuran keduanya dalam corong pisah.
Pelarut yang mudah menguap tidak dicampur dengan fase air yang panas (atau
bahkan hangat). Hal ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan uap sangat besar
yang dihasilkan sehingga tutup corong pisah terbang dan isinya tersemprot keluar. Hal
ini dapat juga terjadi dengan cairan dingin jika terjadi reaksi eksotermis yaitu reaksi
yang menghasilkan panas atau energi misal pencampuran asam dan basa,
pengenceran asam-asam kuat.
Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis atau Thin Layer Chromatography adalah teknik analisis
sederhana untuk memisahkan komponen secara cepat berdasarkan prinsip partisi dan
adsorpsi. Kromatografi lapis tipis terbuat dari lempeng gelas atau logam yang tahan
karat atau lempengan tipis yang cocok sebagai penyangga ( 6 : 37 ).
Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi cair-cair dimana sebagai fase diam
adalah lapisan tipis air yang diserap dari lembab udara oleh lempeng gelas atau
aluminium yang dilapisi dengan lapisan tipis aluminika, silica gel atau bahan serbuk
lainnya ( 7 : 62 ).
Prinsip KLT adalah pemisahan secara fisikokimia. Lapisan yang memisahkan
yang terdiri dari bahan yang berbutir-butir (fase diam), ditempatkan dalam penyangga
berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah
berupa larutan yang ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah plat atau lapisan
ditaruh di dalam bejana yang ditutup rapat berisi fase gerak, pemisahan terjadi selama
pengembangan. Senyawa berwarna terdeteksi ( 8 : 73).
Penyerap umum yang digunakan adalah silica gel,aluminium oksida, kieselguhr,
selulosa dan turunannya, poliamida, dan lain-lain. Silica gel adalah penyerap yang
banyak digunakan karena mempunyai pemisahan yang baik. Zat penyerap dilapiskan
secara merata pada penyangga dengan ketebalan lapisan antara 0,1-0,3 mm.
Pemisahan suatu senyawa yang dipisahkan dengan kromatografi lapis tipis tergantung
pada jenis pelarut, zat penyerap, dan sifat daya serap masing-masing komponen.
Komponen yang terlarut akan terbawa fase diam (penyerap) dengan kecepatan
bergeraknya komponen terlarut dalam fase gerak (pelarut) adalah dasar untuk
mengidentifikasi komponen yang dipisahkan, perbandingan kecepatan ini dinyatakan
dengan Rf (Rate of flow) dengan persamaan ( 9 : 1 - 4) :
Jarak
yang ditempuh senyawa terlarut
Nilai Rf =
Jarak yang ditempuh pelarut
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai Rf dari KLT : (7 : 12 – 4 )
a. Structur kimia dari senyawa yang akan dipisahkan.
b. Sifat dari penjerap dan derajat aktivitasnya. Perbedaan penjerap akan
memberikan perbedaan yang besar terhadap harga Rf meskipun menggunakan
fase gerak dan solute yang sama, tapi hasil dapat diulang dengan hasil yang
sama, hanya akan diperoleh jika menggunakan penjerap yang sama. Juga
ukuran partikel tetap dan jika pengikat (kalau ada) dicampur hingga homogen.
c. Tebal dan kerataan lapisan penjerap. Ketidakrataan akan menyebabkan aliran
pelarut menjadi tidak rata.
d. Pelarut dan derajat kemurniannya.
e. Derajat kemurnian dari uap dalam mana bejana pengembangan yang
digunakan.
f. Jumlah cuplikan yang digunakan
g. Panjang trayek migrasi
h. Adanya zat asing atau pencemar
i. Kelembaban udara
j. Suhu. Pengerjaan hendaknya dilakukan pada suhu tetap terutama untuk
mencegah perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan oleh
penguapan atau perubahan fase.
k. Kesetimbangan
Suatu gejala jika dalam bejana tidak jenuh dengan uap pelarut bila digunakan pelarut
campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan pelarut yang berbentuk
cekung dan fase bergerak lebh cepat pada bagian tepi daripada bagian tengah.
Keadaan ini harus dicegah.
l. Ukuran partikel pada adsorben
m. Derajat keaktifan dari penjerap
n. Perbandingan eluen yang digunakan
o. Kejenuhan Chamber
p. Viskositas eluen
q. Volume penotolan
r. Diameter penotol
s. Pemurnian sampel
t.. Penampang noda yang digunakan
u. Pemisahan
Kromatografi lapis tipis mempunyai beberapa keuntungan yaitu (7 : 12):
- Pemisahannya sering lebih tajam.
- Tidak memberikan ekor pada noda seperti yang diperoleh dari kromatografi kertas.
- Prosesnya relatif cepat.
- Umumnya pemisahan memerlukan waktu kurang dari 1 jam dan kadang selesai dalam
waktu 10-15 menit.
- Ukuran cuplikan dapat berada pada rentang beberapa microgram sampai beberapa
miligram.
- Alat sederhana
- Sampel yang digunakan sedikit.
Kerugian dari kromatografi ini adalah bahwa kromatografi ini tidak memuaskan
untuk senyawa atsiri, fase diam yang dapat dipilih terbatas, daya pisah terbatas, serta
sistem pengumpul yang mungkin tercemari (7 :12).
Untuk melihat senyawa yang tidak berwarna pada lempeng dapat dilihat dengan
cara ( 5 : 53 ):
1. Menyemprotkannya denga suatu zat misalnya:
a. Asam sulfat 50 %.
b. Kalium dikromat 5 % dalam asam sulfat 40 %.
c. Anisaldehid 0,5 % dalam asam sulfat : asam asetat glasial : metanol 5 : 10 : 85.
d. Antimon triklorida 10 % dalam kloroform.
e. Ninhidrin 0,5 % dalam aseton.
f. NaOH atau KOH etanolik 5 %.
g. Asam difenilborat 2-amino etil ester 1 % dalam metanol, diikuti polietilen glikol 4000 5 %
dalam etanol 96 %.
h. Larutan besi ( III ) klorida 5 %.
i. Larutan Natrium karbonat 20 % diikuti pereaksi Folin-Ciocalteu.
j. Pereaksi Dragendorf.
k. Larutan garam Fast Blue B 0,5 % diikuti NaOH 0,1 M.
l. Serium ( IV ) sulfat 1 % dalam asam sulfat 10 %.
m. Besi ( III ) klorida 5 % dalam 335 asam perklorat.
2. Noda dapat juga dilihat melalui UV 254 maupun UV 366.
Bentuk kromatografi yang paling berguna untuk analisa kualitatif dari ekstrak
kasar atau senyawa isolat adalah kromatografi lapis tipis (KLT). Teknik ini digunakan
secara luas untuk mengidentifikasi bahan bahan terisolasi atau senyawa yang ada
dalam ekstrak dengan membandingkan dengan bahan bahan referensi dan atau data
dalam literatur (5 : 81).
Parameter yang berguna adalah mengukur faktor retardasinya atau nilai Rf
zonanya pada KLT. Rasio ini adalah jarak dari garis dasar (titik penotolan) ke pusat
zona dibagi dengan jarak dari garis dasar ke daerah pelarut (5 : 81).
Dalam KLT identifikasi adanya senyawa dalam ekstrak menggunakan
senyawa referensi hanya valid jika dijumpai kriteria berikut (5 :81) :
1. Bahan dan senyawa referensi menunjukkan nilai Rf yang identik dalam setiap
pengujian sistem KLT.
2. Beberapa perbedaan metode pendeteksi digunakan dan bahan memberikan reaksi
identik pada bahan referensi dengan seluruh metode deteksi yang digunakan.
3. Paling sedikit lima fase bergerak yang berbeda digunakan untuk menentukan range
nilai Rf.
Ketika membandingkan nilai Rf dari komponen dengan mengutip dari
literatur, atau mencatat dari pengujian sebelumnya, penting untuk diingat bahwa variasi
dapat muncul akibat perubahan kecil pada temperatur, komposisi fase stasioner atau
fase bergerak dan keadaan jenuh dari chamber KLT. Untuk mencegah penyimpangan,
baik dilakukan untuk mengalirkan senyawa pembanding, lebih disukai dengan nilai Rf
sekitar 0,5 di sisi sampel, dan menunjukkan nilai Rf relatif terhadap bahan yang dinilai
terhadap pembanding. Jika zona berada pada nilai Rf yang sama dengan
pembanding, akan memiliki nilai Rf relatif adalah 1, sedangkan yang berada di atas
memiliki nilai Rf relatif lebih besar daripada 1, dan yang di bawah memiliki nilai Rf
relatif kurang dari 1. Nilai Rf relatif adalah lebih dapat dipercaya daripada gambaran
absolut untuk kromatogram pembanding (5 :82).
KLT juga digunakan dalam mengidentifikasi organisme darimana ekstrak
tersebut diperoleh. Beberapa organisme mengandung campuran yang lengkap dari
komponen yang berhubungan dan dalam hal ini identifikasi organisme dapat dibantu
secara nyata dengan membandingkan pada profil zona ekstrak dengan yang diberikan
oleh sampel autentik (5 :82).
Dimana nilai Rf noda = a/b
Kromatogarfi Lapis Tipis Dua Dimensi ( 8 : 23 )
Kromatografi lapis tipis tipis 2 dimensi pada prinsipnya sama dengan
kromatogarfi Lapis Tipis biasa, dengan prinsip adsorbsi dan partisi. Kromatografi ini
digunakan untuk menentukan apakah komponen kimia yang telah diisolasi sebelumnya
merupakan zat aktif tunggal atau tidak. Kromatografi ini menggunakan lempeng
persegi berukuran 10 x 10 cm atau 20 x 20 cm, dimana noda ditotol pada 2 sisi
lempeng. Artinya lempeng setelah dielusi pertama kali dan menampakkan noda,
selanjutnya diputar pada arah 900 sehingga noda yang terbentuk dari hasil elusi
dengan eluen pertama terelusi lagi oleh eluen kedua. Jika noda yang terbentuk pada
hasil elusi kedua tetap tunggal maka dapat disimpulkan fraksi tersebut merupakan zat
tunggal, yang selanjutnya dapat dimurnikan. Pemilihan eluen kedua ditentukan oleh Rf
noda yang terbentuk oleh elusi menggunakan eluen pertama, dimana bila Rf terlalu
tinggi (noda berada terlalu diatas), digunakan eluen dengan tingkat kepolaran lebih
kecil dibandingkan dengan eluen pertama, sedangkan jika nilai Rf sangat kecil (noda
terlalu di bawah) digunakan eluen yang lebih polar dibandingkan eluen pertama.
II.2. Uraian tumbuhan
II.2.1. Klasifikasi tumbuhan
Klasifikasi tanaman labu merah dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai
berikut:
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Violales
Famili : Cucurbitaceae
Genus : Cucurbita
Spesies :Cucurbita moschata Durch. Poir.
II.2.2. Morfologi tumbuhan
Labu parang atau labu merah merupakan tumbuhan setahun (annual) yang tumbuh
menjalar dan berakar dari bukunya atau memanjat.Tumbuhan ini merupakan tumbuhan
asli Amerika Utara dan kini dapat ditemukan di seluruh dunia. Batangnya besar,
berbentuk segi lima dengan panjang 3-10 meter, berambut kaku, kasar dan sangat
rapat juga penuh dengan bintik kelenjar. Bagian pangkal daun berbentuk jantung,
panjang daun 15-30 cm, berambut panjang, dan sisi panjang mengandung
kelenjar.Bunganya besar dan berwarna kuning dengan mahkota bunga berbentuk
lonceng, ujungnya melebar, bergigi tidak beratur, dan berambut.Buahnya besar
berbentuk bola pipih, di dalamnya mengandung banyak biji.
Buahnya mempunyai berat rata-rata berkisar 2-3 kg. Biji berbentuk oval pipih,
panjangnya mencapai 2 cm, lebar mencapai 5 mm, berwarna kekuningan atau abu-
abu. (Wijayakusuma, 2005)
II.2.3. Kandungan kimia
Biji labu merahh (Cucurbita moschata Duch.poir, Semen) mengandung alkaloid,
saponin ,steroid / triterpenoid, kukurbitasin, fitosterin, stearin, glisirenin, urease, lesitin,
resin dan gula (Anonim, 1995)
II.2.4.Kegunaan tanaman
Cucurbitin dalam biji labu merahh berfungsi membunuh cacing dalam usus
sedengkan sterol berfungsi sebagai antiradang Kandungan beta koaroten pada labu
merah mempunyai efek antioksidan dan antikarsinogen (anti kanker).
II.2. Metode ekstraksi
II.2.1. Metode Soxhletasi
Penyarian simplisia secara berkesinambungan dimana cairan penyari yang
dipanaskan dalam labu alas bulat akan menguap melalui titik samping kemudian naik
ke kondensor dan terkondensasi turun membentuk molekul-molekul cairan yang
menyari komponen kimia sampel di dalam klonsong dan jika cairan penyari telah
mencapai permukaan siphon, seluruh cairan akan turun kembali ke labu alas bulat
melalui pipa siphon sehingga terjadi sirkulasi. Proses ini berlangsung hingga pada
siphon cairan penyari telah bening atau jika diidentifikasi dengan KLT tidak
memberikan noda lagi atau sebanyak 20 kali sirkulasi
II.2.2. Ekstraksi Cair-cair
Ekstraksi cair-cair (corong pisah) merupakan disperse komponen kimia di antara
2 fase cair yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada fase
pertama dan sebagian larut pada fase kedua, di mana fase kedua setelah dikocok
bersama fase pertama yang mengandung zat terdispersi, didiamkan sampai terjadi
pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair oleh karena perbedaan bobot
jenis (BJ) sehingga zat akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan
tingkat kepolarannya.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
III.1. Alat dan bahan
III.1. Alat yang digunakan
Adapun alat yang digunakan adalahbatang pengaduk, botol semprot, cawan
porselin, chamber, corong kaca, corong pisah, cutter, erlenmeyer, gegep kayu, gelas
kimia, gelas ukur, gunting, pisau, lampu uv 254 nm, lampu uv 366 nm, lempeng KLT,
objek glass, oven, penggaris, pensil, pinset, pipa kapiler,pipet skala, pipet tetes, statif
dan klem, timbangan analitik.
III.2. Bahan yang digunakan
Adapun bahan yang akan digunakan adalah air suling, aluminium foil, metanol,
H2SO4 10%, n- Heksan, kapas, kertas koran, kertas label, kertas timbang , kertas
saring, kloroform, metanol,sampel biji labu merah, dan silika gel.
III.2. Metode kerja
III.2.1. Pengolahan sampel
1. Dilakukan pengumpulan bahan baku
2. Dilakukan sortasi basah
3. Dilakukan pencucian
4. Dilakukan perajangan
5. Dilakukan pengeringan
6. Dilakukan sortasi kering
7. Dilakukan pengepakaan dan penyimpanan
III.2.2. Ekstraksi dengan Pelarut Metanol
Sampel biji labu merahdiekstraksi dengan menggunakan metode soxhletasi).
Cara kerjanya yaitu :
1. Diisi sampel biji labu merah kedalam kertas saring kemudian dibungkus2. Tabung klonsong diisi dengan sampel, dengan cara:- Kertas saring dimasukkan ke dalam tabung yang akan diisi sampel (kertas saring tidak
boleh melebihi tinggi pipa sifon)- Serbuk sampel kering dimasukkan ke dalam tabung klonsong tanpa melebihi tinggi
pipa sifon3. Dimasukkan metanol ke dalam tabung yang berisi sampel hingga semua sampel
terbasahi oleh metanol4. Cairan penyari dari sampel ditampung pada wadah (labu alas bulat), maksimum 2/3
dari ukuran labu,5. Alat sokletasi dipasang kemudian pada bagian bawah dari labu alas bulat diletakkan
panci yang telah berisi air dan diberi pemanas air.6. Kemudian sampel dipanaskan hingga uap cairan penyari naik ke atas pipa samping
kemudian diembunkan oleh kondensor bola. Cairan kemudian turun ke labu melalui tabung yang berisi serbuk simplisia. Karena adanya pipa sifon maka setelah cairan mencapai permukaan sifon seluruh cairan kemudian turun ke labu (1 siklus). Dilakukan hingga 20 siklus atau hingga cairan penyari menjadi bening.
7. Cairan penyari yang diperoleh kemudian di uapkan atau di angin-anginkan hingga kental.
8. Ditimbang wadah yang akan digunakan untuk menempatkan ekstrak kental metanol.9. Ekstrak siap di beri perlakuan selanjutnya
III.2.3. Ekstraksi cair-cair dengan pelarut n-Hexan dan metanol
1. Disiapkan ekstrak yang telah diperoleh
2. Dilarutkan dengan n-Heksan hingga larut
3. Dimasukkan ke dalam corong pisah lalu ditambahkan dengan heksan sebanyak 20 ml.
4. Ditambahkanmetanol sebanyak 20 ml
5. Dikocok lalu didiamkan beberapa menit hingga terbentuk 2 lapisan yang betul-betul
memisah.
6. Dipisahkan lapisan metanol dari lapisan heksan
7. Lapisan heksan ditampung dalam erlenmeyer sedangkan lapisan etanol dimasukkan
kembali ke dalam corong pisah lalu ditambahkan kembali heksan sebanyak 20ml .
8. Dilakukan penyarian dengan n heksan ini sebanyak 3 kali pengulangan
9. Ekstrak hexan ditimbang beratnya dan disimpan dalam eksikator dan siap untuk di KLT
III.2.4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
III.2.4.1. Preparasi KLT
1. Di buat 2 lempeng dengan membuat ukuran lebar 3 cm dan panjang 7 cm
2. Diberi ukuran pada lempeng dengan tinggi garis bawah 1 cm, tinggi badan 5,5 cm dan
paling atas 0,5 cm
3. Di aktifkan di oven, suhu 110’C-115’C selama 15 menit
4. Lempeng siap digunakan
III.2.4.2. Pembuatan Eluen
A. Eluent polar
Dibuat 10 ml dengan perbandingan :
Metanol : N-Heksan
6 : 4
B. Eluent nonpolar
Dibuat 10 mL dengan perbandingan :
Metanol :n- heksan
4 : 6
III.2.4.3. Penjenuhan chamber
- Disiapkan chamber yang bersih lengkap dengan penutupnya
- Chamber diisi dengan eluen yang diinginkan
- Kemudian dimasukkan potongan kertas saring yang panjangnya lebih dari tinggi
chamber dan kemudian ditutup.
- Dibiarkan hingga eluen naik pada kertas saring hingga melewati penutup kaca
(chamber telah jenuh).
III.2.4.4. Penotolan Sampel pada lempeng
- Disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan
- Dilarutkan Ekstrak etanol, hexan dan ekstrak campuranmenggunakan perbandingan
larutan metanol dan n- hexan 1 : 1
- Masing-masing ekstrak diambil dengan menggunakan pipa kapiler, kemudian
ditotolkan pada lempeng yang telah disiapkan
- Lempeng yang telah ditotol diangin-anginkan sebentar untuk menguapkan pelarutnya
lalu dimasukkan pada chamber yang telah dijenuhkan.
- Bila eluen telah mencapai batas atas dari lempeng silica gel, maka lempeng tersebut
dapat dikeluarkan.
- Diulangi dengan beberapa variasi perbandingan eluen yang dibutuhkan.
III.2.4.5 Penampakan noda pada UV 254 nm dan UV 366 nm
Setelah proses KLT selesai dilakukan, maka lempeng silika gel diletakkan
dibawah lampu UV 254 nm dan UV 366 nm, kemudian diamati noda yang tampak.
III.2.4.6 Penampakan Noda H2SO4 10 %
Setelah penampakan noda pada UV, dilakukan juga penampakan noda dengan
menggunakan asam sulfat 10 %. Lempeng silika gel disemprotkan dengan asam sulfat
10 %, hingga tampak noda yang terbentuk.
BAB IV
PEMBAHASAN
Sampel yang diuji dalam praktikum ini adalah biji labu merah,biji labu merah
dibuat simplisia kemudian diesktraksi dengan metode soxhletasi dilanjutkan pemisahan
dengan metode ekstraksi cair-cair hingga kromatografi lapis tipis.
Sampel diperoleh dari pasar terong pada tahap ini pengumpulan bahan baku
dilakukan, setelah pengumpulan bahan baku dilakukan sortasi basah untuk
memisahkan kotoran yang masih menempel tanpa merusak biji, selanjutnya dilakukan
sortasi basah,pencucian dan perajangan.
Setelah itu sampel tersebut dikeringkan dan digerus sampai derajat halus tertentu yang ditentukan.Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kehilangan atau kerusakan komponen kimia yang dikandungnya jika dilakukan pengecilan ukuran pada saat masih basah atau mengandung banyak air. Setelah itu dilakukan pengeringan dengan caradiangin-anginkan sampai kering betul. Maksud pengeringan ini yaitu merupakan langkah awal sebelum dilakukannya ektraksi komponen kimia untuk mencegah terjadinya reaksi enzimatis. Reaksi enzimatis dapat terjadi jika simplisia mengandung air lebih dari 10%. Selain itu proses pengeringan itu dimaksudkan untuk mencegah tumbuhnya jamur, mencegah pembusukan, dan lain-lain. Terlebih lagi jika simplisia tersebut akan disimpan dalam jangka waktu yang lama. Pengeringan yang dilakukan dengan cara dianginkan tanpa terkena sinar matahari secara langsung bertujuan untuk menghindari kerusakan komponen kimia yang terkandung di dalamnya, jika terkena sinar matahari secara langsung.
Metode ekstraksi yang dilakukan disesuaikan dengan sifat fisika kimia dari sampel dan mungkin juga tergantung pada sifat kimia yang dikandung simplisia tersebut.Biji labu merahmetode ekstraksinya adalah soxhletasi karena simplisia biji labu merah memiliki tekstur agak keras sehingga agak sulit ditembus oleh cairan penyari bila tanpa pemanasan. Dengan demikian metode ekstraksi ini sudah cukup untuk menarik sebagian besar komponen kimianya yang terkandung didalamnya.
Setelah diperoleh ekstrak metanol dari hasil soxhletasi, ekstrak cair yang diperoleh tersebut dipekatkan.Pemekatan dapat dilakukan dengan mengangin-anginkan ekstrak tersebut sampai penyarinya menguap.
Ekstrak yang diperoleh dari hasil pemekatan merupakan ekstrak kering atau ekstrak kental.Ekstrak kering atau ekstrak kental tersebut disuspensikan dengan heksan kemudian diekstraksi dengan corong pisah menggunakan pelarut metanol untuk memperoleh dua macam ekstrak, yaitu ekstrak yang larut heksan dan ekstrak yang larut metanol.Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh dua jenis ekstrak yaitu ekstrak yang bersifat polar (ekstrak yang larut metanol) dan yang bersifat nonpolar (ekstrak n-heksan). Proses ekstraksi ini dilakukan sebanyak 3 kali penyarian menggunakan pelarut campuran heksan dan metanol untuk menyari secara sempurna komponen polar dan nonpolar dari sampel.
Ekstraksi menggunakan corong pisah ini berdasarkan koefesien partisi zat terlarut terhadap kedua fase pelarut yang saling tidak bercampur, dimana komponen kimia tersebut akan terdistribusi pada kedua fase pelarut sesuai dengan derajat kelarutannyadan tingkat kepolarannya. Maka pada akhir ekstraksi yang tertinggal pada lapisan metanol adalah komponen yang polar dan komponen yang nonpolar pada lapisan heksan.
Lempeng KLT yang akan digunakan dibuat dari silika gel sebagai fase diam, sehingga lempeng harus senantiasa diaktifkan sebelum digunakan karena dalam penyimpanannya ia akan senantiasa menyerap air di udara karena sifatnya yang higroskopik, untuk mencegah penyerapan uap air yang lebih banyak, maka setelah itu diaktifkan pada oven dengan suhu 110-1150C selama 15 menit, sehingga pada suhu tersebut diharapkan semua uap air yang terdapat pada lempeng telah habis. Jika terdapat kandungan air dalam lempeng maka proses elusi dari ekstrak tidak akan berjalan dengan baik dan kemungkinan terjadinya kehilangan noda karena semua tempat pada lempeng telah dipenuhi oleh air.
Ekstrak yang ditotolkan pada lempeng dibuat dalam konsentrasi yang rendah, karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka maka akan diperoleh noda yang berekor. Selanjutnya lempeng dielusi dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan eluen yang akan digunakan dengan posisi berdiri dengan kemiringan kurang lebih lima derajat. Dan diusahakan tempat penotolan tidak terendam oleh eluen. Maksud penjenuhan chamber agar proses elusi dari eluen hanya berasal dari eluen pada dasar chamber bukan dari eluen yang menguap jika chamber tidak dijenuhkan. Uap eluen
akan memenuhi seluruh ruang chamber setelah chamber dijenuhkan yang ditandai dengan basahnya kertas saring yang direndam pada eluen.
Setelah lempeng dielusi, maka dikeluarkan dari chamber, kemudian dibiarkan hingga kering selanjutnya noda-noda yang terbentuk diamati di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm, sedangkan noda yang tidak tampak pada UV disemprot dengan larutan H2SO4 10%. Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang terdapat pada noda tersebut. Fluoresensi warna yang tampak tersebut merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi dasar.Perbedaan energi emisi yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan perbedaan fluoresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda.Penampakan noda setelah lempeng disemprot dengan H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga panjang gelombangnya bertambah dan warna noda dapat dilihat pada cahaya tampak.Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH yang dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai auksokrom, dimana auksokrom ini dapat menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran kearah panjang gelombang yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang gelombang yang lebih pendek (ke daerah UV hampa).Konsentrasi H2SO4 yang digunakan adalah 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat merusak lempeng namun jika konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuan pemutusan ikatannya tidak maksimal.Sinar UV yang digunakan adalah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm karena berdasarkan literatur, bahwa banyak senyawa organik yang dapat berfluoresensi jika disinari UV 254 nm.
BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa biji labu
merahdapat di ekstraksi dengan metode soxhletasi, dan penyarian 3 kali dengan
metode ekstraksi cair-cair dengan pelarut n-heksan dan metanol 6:4 dan 4:6yang
kemudian dapat diidentifikasi dengan metode Kromatografi lapis tipis dimana dapat
diperoleh noda yang Nampak pada pengamatan sinar uv 254 dan 366 serta pada
penyemprotan H2SO4 10%.
V.2. Saran
1. Diharapkan bimbingan dari asisten
2. Diharapkan agar alat – alat dalam laboratoriumdilengkapi lagi
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 1980, Materia Medika Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
2. Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
3. Anonim, 1987, Analisis Obat Tradisional. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
4. Ditjen POM, (1986), "Sediaan Galenik", Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
5. Tobo, Fachruddin, (2001), "Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia I", Laboratorium
Fitokimia Jurusan Farmasi Unhas, Makassar.
6. Stahl, Egon, (1985), "Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi", ITB,
Bandung.
7. Hostettmann, K., dkk., ( 1986 ), “ Cara Kromatografi Preparatif, Penggunaan Pada
Isolasi Senyawa Alam “, ITB, Bandung.
8. Tjitrosoepomo, Gembong, (1989), "Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta)", UGM
Press, Yogyakarta.
9. Tjitrosoepomo, Gembong, (1995), "Morfologi Tumbuhan", UGM Press, Yogyakarta.
10. Romimohtarto,dkk., ( 2001 ), “ Biologi Laut “, Djambatan, Jakarta