EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK CEFTRIAXONE PADA ...
Transcript of EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK CEFTRIAXONE PADA ...
i
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK CEFTRIAXONE
PADA PASIEN PNEUMONIA DEWASA DI INSTALASI
RAWAT INAP RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
TAHUN 2014 - 2015
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Ahli Madya D3 Farmasi
Oleh:
Deasy Nur Wulandari
M3513016
DIPLOMA 3 FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
ii
PERSETUJUAN
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK CEFTRIAXONE
PADA PASIEN PNEUMONIA DEWASA DI INSTALASI
RAWAT INAP RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
TAHUN 2014 - 2015
Oleh : DEASY NUR WULANDARI
M3513016
Telah disetujui untuk diuji
Surakarta, Juni 2016
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
Yeni Farida, S.Farm, M.Sc., Apt.
NIK. 1987040120140501
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir yang berjudul “EFEKTIVITAS
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK CEFTRIAXONE PADA PASIEN
PNEUMONIA DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD DR.
MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2014 - 2015” adalah hasil penelitian saya
sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
apapun di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka gelar
yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/ dicabut.
Surakarta, Juni 2016
Deasy Nur Wulandari
M3513013
iv
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK CEFTRIAXONE
PADA PASIEN PNEUMONIA DEWASA DI INSTALASI
RAWAT INAP RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
TAHUN 2014 - 2015
DEASY NUR WULANDARI
M3513016
Program Studi D3 Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret
INTISARI
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan yang
banyak menjadi penyebab kematian terutama di negara berkembang. Ceftriaxone
merupakan antibiotik yang banyak digunakan untuk mengobati pneumonia.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat menyebabkan pengobatan kurang efektif.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui efektivitas penggunaan antibiotik
ceftriaxone pada pasien pneumonia dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr.
Moewardi tahun 2014 – 2015.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional dengan
pengambilan data secara retrospektif cohort. Sampel diperoleh menggunakan
metode purposive sampling pada pasien dengan diagnosa pneumonia tanpa
disertai penyakit infeksi lain, 18 – 65 tahun, mendapatkan terapi antibiotik ≥ 3
hari, memiliki data rekam medik yang lengkap, meliputi : identitas pasien,
diagnosa, terapi pengobatan, kondisi klinis dan nilai laboratorium. Analisis data
menggunakan analisis statistik uji t-test berpasangan untuk mengetahui efektivitas
penggunaan ceftriaxone berdasarkan parameter kondisi klinis dan kadar leukosit.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 54 kasus pneumonia, 55,55%
pasien laki-laki dan 44,45% pasien perempuan dengan kejadian paling banyak
pada usia 56-65 tahun 38,89%. Antibiotik ceftriaxone yang digunakan tunggal
sebanyak 34,48% dan kombinasi obat yang paling banyak digunakan antara
ceftriaxone dengan azitromicyn 13,79%. Penggunaan antibiotik ceftriaxone pada
pasien pneumonia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2014-2015 sudah
efektif, hal ini berdasarkan parameter kondisi klinis dan leukosit yang didukung
dengan uji t berpasangan dengan signifikansi (p = 0.000) dengan taraf
kepercayaan 95%.
Kata kunci : efektivitas, antibiotik, ceftriaxone, pneumonia, pasien dewasa
v
EFFECTIVENESS OF CEFTRIAXONE ANTIBIOTICS USE IN ADULTS
PNEUMONIA PATIENTS AT INPATIENT INSTALLATION RSUD
DR.MOEWARDI SURAKARTA YEARS 2014 – 2015
DEASY NUR WULANDARI
M3513016
Diploma of Pharmacy, Faculty of Mathematics and Science
Sebelas Maret University
ABSTRACT
Pneumonia is a respiratory tract infections that had many causes of death,
especially in developing countries. Ceftriaxone is an antibiotic used to treat
pneumonia. The use of a less precise antibiotics cause the treatment less effective.
The purpose of this study to determine the effectiveness of ceftriaxone antibiotic
use in adults pneumonia patients at Inpatient Installation RSUD Dr. Moewardi
years 2014-2015.
Research conducted an observational study with retrospective cohort data
collection. Samples were obtained using purposive sampling method in patients
with a diagnosis of pneumonia without other infectious diseases, 18-65 years old,
taken antibiotics ≥ 3 days, had a complete medical record, include: patient
identification, diagnosis, therapy treatment, clinical condition and value
laboratory. Analysis of data using statistical analysis paired t-test to determine
the effectiveness of the use of ceftriaxone based on parameters of clinical
conditions and levels of leukocytes.
The results showed that from the 54 cases of pneumonia, 55.55% of patients
were male and 44.45% female patients with 38.89% of the age range in 56-65
years.Single antibiotic ceftriaxone used as much as 34.48% and the combination
of the drug most widely used between ceftriaxone with azitromicyn 13.79%. The
use of antibiotics ceftriaxone in patients with pneumonia in RSUD Dr. Moewardi
Surakarta years 2014-2015 have been effective, it is based on the parameters of
the clinical condition and leukocytes are supported by paired t test with
significance (p = 0.000) with 95% confidence level.
Keywords: efectiveness, antibiotic, ceftriaxone, pneumonia, adult patients
vi
MOTTO
Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah diperbuatnya.
(Ali Bin Abi Thalib)
Kebanggan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit
kembali setiap kita terjatuh.
(Confusius)
vii
PERSEMBAHAN
Tugas Akhir ini Kupersembahkan untuk :
1. Bapak, Ibu, Keluarga Besar penulis
tercinta. Terimakasih atas do’a, kasih
sayang, dan dukungan yang selalu kalian
berikan.
2. Sahabat dan teman – teman.
Terimakasih atas dukungan dan
semangat yang selalu kalian berikan.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkat, rahmat, dan karunia – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tugas akhir dengan judul “EFEKTIVITAS PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK CEFTRIAXONE PADA PASIEN PNEUMONIA DEWASA DI
INSTALASI RAWAT INAP RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN
2014 - 2015” dengan baik.
Penyusunan tugas akhir merupakan salah satu syarat untuk dapat
memperoleh gelar Ahli Madya Farmasi pada jurusan D3 Farmasi di Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penulisan tugas akhir ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin
untuk memberikan hasil yang terbaik, dan tak mungkin terwujud tanpa adanya
dorongan, bimbingan, semangat, motivasi serta bantuan baik moril maupun
materiil, dan doa dari berbagai pihak. Karena itu penulis pada kesempatan ini
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc.(Hons), Ph.D, selaku Dekan Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Ibu Estu Retnaningtyas Nugraheni, M.Si, selaku Kepala Program Studi D3
Farmasi Universitas Sebelas Maret Surakarta dan selaku pembimbing
akademik serta selaku penguji II sidang ujian tugas akhir.
3. Ibu Yeni Farida S.Farm., M.Sc., Apt. selaku pembimbing tugas akhir atas
segala ketulusan, kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan arahan,
ix
bimbingan, dukungan, dan ilmunya kepada penulis dalam menyelesaikan
tugas akhir ini.
4. Segenap dosen pengajar dan staf jurusan D3 Farmasi yang telah banyak
memberikan ilmu dan pelajaran berharga.
5. Direktur RSUD Dr. Moewardi yang telah memberikan izin dalam penelitian,
serta para staff RSUD Dr. Moewardi yang telah memberi arahan dan bantuan
dalam melakukan penelitian ini.
6. Orang tua penulis, bapak Sudjoko dan ibu Nur Hayati yang terkasih. Terima
kasih atas cinta, kasih sayang, perhatian, doa, dukungan dan pengorbanannya
selama ini. Tanpa itu semua penulis tidak akan sampai di jenjang ini.
7. Keluarga besar penulis terimakasih selalu menjadi penyemangat dan
mendukung penulis.
8. Mas Deriza terima kasih atas perhatian, kesabaran, dan semangat yang
diberikan selama pengerjaan Tugas Akhir ini.
9. Teman-teman seperjuangan D3 Farmasi, atas bantuan dan kerjasamanya
selama masa-masa kuliah.
10. Keluarga Besar BEM FMIPA Kabinet Positif dan Himafarma terimakasih atas
pengalaman dan ilmu yang diberikan sehingga penulis bisa belajar
berorganisasi.
11. Sahabat–sahabat penulis, Dita, Floren, Endah, Mas Ipul, dan Abang. Terima
kasih atas semangatnya dan selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis.
12. Keluarga besar Kos Arityas Family, Mbak di, Filani, Intan, Kiki, Lita, Mbak
kik, Mbak Nad, Mbak Nov dan Ebek. Terima kasih sudah mau menjadi kakak,
x
adik, yang baik. Selalu bersama dalam keadaan suka maupun duka.
Memberikan canda tawa yang tidak akan pernah terlupakan. Kalian adalah
tempat pulang ternyaman setelah keluarga bagi penulis.
13. Terima kasih Ollandio, Olivia, Intan, Kiki atas dukungan, masukan-masukan
positif dan juga kenangan-kenangan indah selama ini. Kalian keluarga kedua
bagi penulis.
14. Terimakasih Ucik, Mbul, Nisa, Putri, Nini, Finda dan Minati yang selalu
menemani selama 8 tahun ini, memberikan kenangan indah dan terima kasih
atas semangatnya.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu
dalam tugas akhir ini
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tugas akhir
ini. Untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak untuk perbaikan sehingga akan menjadi bahan pertimbangan dan
masukan untuk penyusunan tugas-tugas selanjutnya. Penulis berharap semoga
tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan dapat menjadi
bekal bagi penulis dalam pengabdian Ahli Madya Farmasi di masyarakat pada
khususnya.
Surakarta, Juni 2016
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
PERNYATAAN .............................................................................................. iii
INTISARI ........................................................................................................ iv
ABSTRACK ..................................................................................................... v
MOTTO ......................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ........................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xv
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 2
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 2
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 3
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................... 4
A. Pneumonia ...................................................................................... 4
1. Definisi Pneumonia ................................................................... 4
2. Klasifikasi Pneumonia ................................................................ 4
3. Etiologi Pneumonia .................................................................... 5
4. Patogenesis ................................................................................. 6
5. Manifestasi Klinis ....................................................................... 8
6. Penatalaksanaan .......................................................................... 8
7. Pencegahan ................................................................................. 9
B. Antibiotik ........................................................................................ 12
1. Antibiotik Terapi Pneumonia .................................................... 12
xii
2. Profil Farmakokinetik Antibiotik Ceftriaxone ............................ 13
C. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 18
D. Keterangan Empiris ........................................................................ 18
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................. 19
A. Rancangan Penelitian ..................................................................... 19
B. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ..................................................... 19
C. Subjek Penelitian ............................................................................ 19
D. Definisi Operasional ....................................................................... 20
E. Analisis Data ................................................................................... 21
F. Alur Penelitian ................................................................................ 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 25
A. Gambaran Karakteristik Pasien ....................................................... 25
1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ....................... 25
2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia........................................ 26
3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Lama Perawatan .................... 27
B. Pola Penggunaan Antibiotik Ceftriaxone ....................................... 28
C. Efektivitas Terapi ........................................................................... 33
1. Kondisi Klinis .............................................................................. 33
a. Perubahan Suhu Tubuh .......................................................... 33
b. Keluhan Lain .......................................................................... 35
2. Hasil Uji Laboratorium ................................................................ 38
D. Keterbatasan Penelitian ................................................................... 41
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 42
A. Kesimpulan ..................................................................................... 42
B. Saran ............................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 42
LAMPIRAN ..................................................................................................... 46
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Terapi empiris Community – Acquired Pneumonia (CAP)
(Infections Disesase Society Of America, 2007) ............................... 12
Tabel II. Dosis Terapi empiris antibiotik pilihan dan alternatif berdasarkan
antimikroba spesifik Community – Acquired Pneumonia
(British Thoraric Sosiety, 2004) ........................................................ 13
Tabel III. Dosis ceftriaxone untuk terapi pneumonia (PDPI, 2003) ................ 15
Tabel IV. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ............................ 25
Tabel V. Karakteristik Pasien Berdasarkan Umur .......................................... 26
Tabel VI. Karakteristik Pasien Berdasarkan Lama Perawatan ....................... 27
Tabel VII. Pergantian Antibiotik Ceftriaxone Pada Pasien Pneumonia .......... 29
Tabel VIII. Penggunaan Antibiotik Tunggal dan Kombinasi Pada Pasien
Pneumonia.......................................................................................... 30
Tabel IX. Perubahan Suhu Tubuh Pasien Sebelum dan Sesudah Perawatan ... 34
Tabel X. Kondisi Klinis Pasien Sebelum dan Sesudah Perawatan .................. 35
Tabel XI. Hasil uji t berpasangan kondisi klinis .............................................. 38
Tabel XII. Persentase Target Terapi Leukosit Darah Sesudah Terapi ............. 39
Tabel XIII. Hasil uji t berpasangan kadar leukosit darah................................. 40
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran1 . Data Pasien Pneumonia RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Tahun 2014-2015 ................................................................... 46
Lampiran 2. Leukosit pasien sebelum dan sesudah terapi ............................... 51
Lampiran 3. Uji Normalitas Kondisi Klinis ..................................................... 52
Lampiran 4. Uji Homogenitas Kondisi Klinis ................................................ 52
Lampiran 5. Uji Normalitas Kadar Leukosit Darah ......................................... 53
Lampiran 6. Hasil Transform Uji Normalitas Kadar Leukosit Darah
Sebelum Tarapi ........................................................................... 53
Lampiran 5. Uji Homogenitas Kadar Leukosit Darah ..................................... 53
xv
DAFTAR SINGKATAN
CAP = Community Acquired Pneumonia
HAP = Hospital Acquired Pneumonia
HCAP = Healthcare Associated Pneumonia
IDSA = Infectious Diseases Society of America
RSUD = Rumah Sakit Umum Daerah
VAP = Ventilator Associated Pneumonia
WHO = World Health Organization
WBC =White Blood Cell
xvi
DAFTAR ISTILAH
Prevalensi = seberapa sering suatu penyakit atau kondisi terjadi pada
sekelompok orang.
Persentase = sebuah angka atau perbandingan (rasio) untuk menyatakan
pecahan dari seratus
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan
yang banyak menjadi penyebab kematian terutama di negara berkembang.
Pneumonia merupakan penyakit terbesar kedua sesudah diare yang menyebabkan
kematian. Riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukan prevalensi penderita
pneumonia di Indonesia sebesar 4,5% (Depkes, 2013).
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme dan sebagian
kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi dan radiasi. Pneumonia di negara
berkembang terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan
pneumonia adalah Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan
Staphylococcus aureus (Said, 2008).
Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun pada semua usia. Manifestasi
klinik yang berat dapat terjadi pada usia sangat muda, manula dan pasien dengan
kondisi kritis. Antibiotik merupakan terapi utama pengobatan pneumonia.
Antibiotik spektrum luas diberikan sebagai terapi empirik pneumonia. Akan tetapi
penggunaan antibiotik spektrum luas secara tidak terkendali dapat berisiko
menyebabkan resistensi bakteri. Oleh sebab itu pemilihan antibiotik sebagai terapi
pneumonia perlu dikaji lebih lanjut (Dahlan, 2007).
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan berlebihan dapat
mendorong terjadinya resistensi terhadap bakteri tertentu (Kementrian Kesehatan
RI, 2011). Peningkatan resistensi telah menyebabkan terjadinya peningkatan
2
2
morbiditas dan mortalitas, sehingga turut pula meningkatkan biaya perawatan
pasien (World Health Organization, 2012).
Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya tentang penggunaan antibiotik
pada pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta
tahun 2013 menunjukan penggunaan antibiotik yang paling banyak digunakan
adalah ceftriaxone dengan nilai persentase mencapai 44,19%, dan pengobatan
dengan antibiotik disimpulkan telah rasional, dan membutuhkan penelitian lebih
lanjut (Yudha, 2013).
Berdasarkan uraian di atas, mendorong peneliti untuk melakukan evaluasi
lebih lanjut tentang penggunaan antibiotik ceftriaxone pada pasien pneumonia
dengan judul penelitian “Efektivitas Penggunaan Antibiotik Ceftriaxone Pada
Pasien Pneumonia Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun
2014 - 2015”
B. Rumusan Masalah
Bagaimana efektivitas penggunaan antibiotik ceftriaxone pada pasien
pneumonia dewasa di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Moewardi tahun 2014 - 2015 ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui efektivitas penggunaan antibiotik ceftriaxone pada pasien
pneumonia dewasa di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Moewardi tahun 2014 – 2015.
3
3
D. Manfaat Penelitian
1. Mendapatkan data profil antibiotik ceftriaxone dan efektivitasnya dalam
mengatasi pneumonia.
2. Memberikan informasi mengenai penggunaan antibiotik ceftriaxone pada
pasien pneumonia dewasa di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Moewardi tahun 2014 - 2015
3. Sebagai masukan bagi rumah sakit untuk menggunakan antibiotik
ceftriaxone pada pasien pneumonia dewasa secara lebih tepat.
4. Sebagai bahan bagi farmasis untuk lebih meningkatkan perannya dalam
melakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan antibiotik ceftriaxone
pada pasien pneumonia dewasa.
4
BAB II
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pneumonia
a. Pengertian Pneumonia
Pneumonia adalah salah satu bentuk infeksi saluran nafas bawah
akut yang tersering. Pneumonia merupakan peradangan yang mengenai
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat (Dahlan, 2007).
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi dan radiasi. Di
negara berkembang, pneumonia terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri
yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus (Said, 2008).
b. Klasifikasi Pnemonia
Secara tradisional pneumonia diklasifikasikan berdasarkan keadaan
anatomi infeksi sehingga dikenal istilah bronkopneumonia dan lobar
pneumonia. Namun demikian, pembagian seperti ini tidak memberikan
makna klinis yang relevan. Klasifikasi yang lebih lazim adalah
berdasarkan etiologi patogen penyebab dan tempat didapatnya infeksi.
5
5
Berdasarkan etiologi patogen penyebab dan tempat didapatnya
infeksi pneumonia diklasifikasikan sebagai berikut (Tierney et al.,
2002) :
1) Community Acquired Pneunomia (CAP) dimulai sebagai penyakit
pernafasan umum dan bisa berkembang menjadi pneumonia. CAP
merupakan pneumonia yang menular pada seseorang yang tidak didapat
dari rumah sakit. Pneumonia streptococcal merupakan organisme
penyebab umum. Tipe pneumonia ini biasanya menimpa kalangan
anak-anak atau kalangan orang tua.
2) Hospital Acquired Pneumonia (HAP) dikenal sebagai pneumonia
nosokomial, pneumonia yang diperoleh selama atau sesudah sakit dan
menjalani rawat inap di rumah sakit, atau secara prosedur dimulai
pada 72 jam sesudah masuk rumah sakit. Ventilator Aciated
Pneumonia (VAP) merupakan pneumonia yang didapat sesudah 48-72
jam sesudah pasien masuk rumah sakit.
c. Etiologi Pneumonia
1) Bakteri
Agen penyebab pneumonia dibagi menjadi organisme gram posifif
atau gram negatif seperti : Steptococcus Pneumonia(pneumokokus),
Streptococcus piogenes, Klebsiela pneumoniae, Legionella
haemophillus influenza (Khairudin, 2009).
6
6
2) Virus
Beberapa dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh
virus. Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah
Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini
kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita
gangguan ini bisa memicu pneumonia (Misnadiarly, 2008).
3) Jamur
Pneumonia yang disebabkan oleh jamur jarang terjadi, tetapi hal ini
mungkin terjadi pada individu dengan masalah sistem imun yang
disebabkan AIDS, obat-obtan imunosupresif atau masalah kesehatan
lain. Patofisiologi dari pneumonia oleh jamur mirip dengan pneumonia
yang disebabkan oleh bakteri. Pneumonia yang disebabkan jamur
paling sering disebabkan oleh Histoplasma capsulatum, Cryptococcus
neoformas, Pneumocystis jiroveci dan Coccidioides immitis
(Khairudin, 2009).
d. Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorgisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
7
7
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan (PDPI, 2003) :
a. Inokulasi langsung
b. Penyebaran melalui pembuluh darah
c. Inhalasi bahan aerosol
d. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m
melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya
terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas
(hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring
terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 108-
10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian
atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa
penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama (PDPI, 2003).
8
8
e. Manifestasi Klinis
Secara umum yaitu (PDPI, 2003) :
1) Manifestasi non spesifik infeksi dan toksisitas berupa demam (39,5ºC
sampai 40,5 ºC), sakit kepala, iritabel, gelisah, malaise, nafsu makan
kurang dan keluhan gastrointestinal.
2) Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, ekspektorasi
sputum, nafas cuping hidung, sesak napas, air hinger, merintih, sianosis.
Penderita yang lebih besar dengan pneumonia akan lebih suka berbaring
pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.
3) Tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bawah kedalam
saat bernapas bersama dengan peningkatan frekuensi napas), perkusi pekak,
fremitus melemah, suara napas melemah, dan ronki.
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri yaitu
pemberian antibiotik yang dimulai secara empiris dengan antibiotik
spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Sesudah bakteri patogen
diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotik yang berspektrum sempit
sesuai patogen (Depkes, 2005).
Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan
pasien, maka disarankan untuk memilih antibiotik dengan spektrum yang
lebih luas. Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten
khususnya terhadap derivat penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri
penyebab pneumonia. Sebagai contoh, pneumonia atypical melibatkan
9
9
Mycoplasma pneumoniae yang tidak dapat dicakup oleh penicillin (Depkes,
2005).
Terapi pendukung pada pneumonia meliputi (Depkes, 2005) :
a. Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan
tanda sesak, hipoksemia.
b. Bronkodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme
c. Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
d. Nutrisi
e. Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral
g. Pencegahan
Pencegahan pneumonia komunitas(PDPI, 2003) :
1) Pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2) Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini
masih perlu dilakukan penelitian tentang efektifitasnya. Pemberian
vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia
lanjut, penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK,
HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan sesudah > 2 tahun. Efek
samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang
jarang terjadi yaitu hipersensitivitas tipe 3.
10
10
Pencegahan pneumonia nosokomial (PDPI, 2003) :
1) Pencegahan pada orofaring dan koloni di lambung
a. Menghindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat karena dapat
menyebabkan berkembangnya koloni abnormal di orofaring, hal ini
akan memudahkan terjadi multi drug resistant (MDR).
b. Pemilihan dekontaminan saluran cerna secara selektif termasuk
antibiotik parenteral dan topikal menurut beberapa penelitian sangat
efektif untuk menurunkan infeksi pneumonia nosokomial, tetapi hal
ini masih kontroversi. Mungkin efektif untuk sekelompok pasien
misalnya pasien umur muda yang mengalami trauma, penerima
donor organ tetapi hal ini masih membutuhkan survailans
mikrobiologi
c. Pemakaian sukralfat disamping penyekat H2
direkomendasikan karena
sangat melindungi tukak lambung tanpa mengganggu pH.
d. Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan gerakan duodenum
misalnya metoklopramid dan sisaprid, dapat pula menurunkan
bilirubin dan kolonisasi bakteri di lambung.
e. Anjuran untuk berhenti merokok
f. Meningkatkan program vaksinasi S. pneumoniae dan influenza
2) Pencegahan aspirasi saluran napas bawah
a. Meletakkan pasien pada posisi kepala lebih tinggi ( 30-45°) untuk
mencegah aspirasi isi lambung
b. Menggunakan selang saluran napas yang ada suction subglotis
11
11
c. Menggunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan
kejadian refluks gastro esofagal
d. Menghindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri
yang masuk ke dalam saluran napas bawah
e. Mempertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan
jumlah sedikit melalui selang makanan ke usus halus
3) Pencegahan inokulasi eksogen
a. Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang
benar, untuk menghindari infeksi silang
b. Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang
digunakan pasien misalnya alat-alat bantu napas, pipa makanan
dan lain - lain
c. Disinfeksi adekuat pada waktu pencucian bronkoskop serat lentur
d. Pasien dengan bakteri MDR harus diisolasi
e. Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala
misalnya selang makanan , jarum infus dan lain – lain.
4) Mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien
a. Drainase sekret saluran napas dengan cara fisioterapi
b. Penggunaan tempat tidur yang dapat diubah-ubah posisinya
c. Mobilisasi sedini mungkin
12
12
2. Antibiotik
a. Antibiotik Terapi Pneumonia
Antibiotik yang akan digunakan untuk membasmi mikroba,
penyebab infeksi pada manusia, harus memiliki sifat toksisitas selektif
setinggi mungkin. Artinya, antibiotik tersebut haruslah bersifat sangat
toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia. Antibiotik
hanya ampuh dan efektif membunuh bakteri tetapi tidak dapat membunuh
virus. Karena itu, penyakit yang dapat diobati dengan antibiotik adalah
penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Penggunaan
antibiotik pada pasien pneumonia berbeda-beda baik pada jenis
antibiotiknya maupun lama penggunaannya (Katzung, 2012).
Jenis antibiotik terapi empiris pada Community – Acquired
pneumonia (CAP) dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Terapi empiris Community – Acquired Pneumonia (CAP)
(Infections Disesase Society Of America,2007)
Jenis antibiotik pada dosis terapi empiris antibiotik pilihan dan
alternatif berdasarkan antimikroba spesifik Community – Acquired
pneumonia (CAP) dilihat pada Tabel II :
Tipe Pasien Terapi empiric
Rawat Jalan Makrolida
Fluorokuinolon
Rawat Inap
(Bangsal)
ß-lactam + Makrolida
Fluorokuinolon
Rawat Inap (ICU)
Sefalosporin atau ß – lactam
Makrolida
Fluorokuinolon
13
13
Tabel II. Dosis Terapi empiris antibiotik pilihan dan alternatif
berdasarkan antimikroba spesifik Community – Acquired Pneumonia
(British Thoraric Sosiety,2004)
b. Profil Farmakokinetik Antibiotik Ceftriaxone
Ceftriaxone adalah antibiotik spektrum luas generasi ketiga
sefalosporin untuk pemberian intravena atau intramuskular. Ceftriaxone
adalah salah satu antibiotik yang paling umum digunakan karena potensi
antibakteri yang tinggi, spektrum yang luas dari aktivitas dan potensi yang
rendah untuk toksisitas. Alasan yang paling mungkin untuk digunakan
secara luas adalah efektivitas dalam organisme yang rentan pada infeksi
saluran kemih yang rumit dan tidak rumit, infeksi saluran pernapasan,
kulit, jaringan lunak, infeksi tulang dan sendi, bakteremia/septikemia,
pneumonia, meningitis, infeksi di pasien imunosupresi, akut bakteri otitis
media, infeksi genital, disebarluaskan penyakit dan di profilaksis bedah
infeksi (Tjay dan Rahardja, 2007).
Petogen
Pilihan
Antibiotik Dosis, Rute
Antibiotik
Alternatif Dosis, Rute
Staphylococcus
Pneumonia
Amoxicillin 500 mg /6j po Eritromicin 500 mg/6j po
atau
claritromycin 500mg/12j po
Atau
bensylpenicillin
1.2g / 6j iv atau cefixime 200mg PO
atau
ceftriaxone 2 g od iv
M. pneumonae Eritromycin 500mg/6j po / iv Tetracyclin
250-500mg/6j
po
C. Pneumoniae Claritromicyn
500mg /12j po /
iv Fluorokuinolon PO/iv
Legionella spp Claritromicyn
500mg /12j po /
iv Fluorokuinolon PO/iv
H. influenzae
Non ß-
lactamase-
producing-co
amoxiclav
625 mg/8j po
atau 1.2 g tds iv Fluorokuinolon PO/iv
Gram negativ Ceftriaxone 2g/24j iv Fluorokuinolon PO/iv
Enteric basila Ceftriaxone 2g /24j iv Imipenem 500mg/6j iv
14
14
1) Absorpsi
Tidak diserap dengan baik dari saluran pencernaan, harus diberikan
secara parenteral. Tampak diserap sepenuhnya setelah pemberian IM pada
orang dewasa yang sehat, konsentrasi serum puncak mencapai 1,5-4 jam
setelah dosis tersebut, studi beberapa dosis pada orang dewasa yang sehat
menunjukkan konsentrasi serum steady state pada hari 4 dari terapi adalah
15-36% lebih tinggi dari konsentrasi serum dicapai dengan dosis tunggal.
2) Distribusi
Setelah penggunaan IM atau IV, di distribusikan secara luas ke
dalam jaringan tubuh dan cairan termasuk kantong empedu, paru-paru,
tulang, jantung, empedu, jaringan prostat adenoma, jaringan rahim,
apendiks atrium, dahak, air mata cairan telinga tengah, 1, dan pleura,
peritoneal sinovial, asites, dan cairan melepuh.
Umumnya berdifusi ke CSF berikut penggunaan IM atau IV,
konsentrasi CSF lebih tinggi pada pasien dengan inflamasi meninges.
Melewati plasenta dan didistribusikan ke cairan ketuban, Didistribusikan
ke ASI.
3) Metabolisme
Dimetabolisme untuk sebagian kecil di usus setelah eliminasi
empedu.
15
15
4) Eliminasi
Dieliminasi melalui ginjal dan mekanisme nonrenal (diluar ginjal)
33-67% dieliminasi dalam urin oleh filtrasi glomerulus sebagai obat tidak
berubah, sisanya dieliminasi dalam feses melalui empedu sebagai obat
tidak berubah dan metabolit mikrobiologis tidak aktif.
Rata-rata waktu paruh eliminasi plasma adalah 8 jam. Waktu paruh
pada bayi dan anak-anak adalah 6,5 dan 12,5 jam pada pasien dengan
umur lebih dari 70 tahun (Pireira et al., 2004).
Penggunaan dosis ceftriaxone untuk terapi pneumonia dapat dilihat
pada Tabel III :
Tabel III. Dosis ceftriaxone untuk terapi pneumonia (PDPI, 2003)
3. Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mempunyai inti dan tidak mengandung Hb.
Leukosit sering disebut sel darah putih. Jumlah leukosit lebih sedikit daripada
eritrosit, yaitu antara 5-10 juta sel/m darah, dengan rerata 7 juta sel/mm
(Sherwood, 2001).
Patogen Dosis Anak
(mg/kg/hari)
Dosis Dewasa (dosis
total/hari)
S. Pneumonia, Hemophilus
influenza, Moraxella
Catarrhalis, Mycoplasma,
Chlamydia Pneumonia dan
Legionella
50-75
1-2g
16
16
Hasil pemeriksaan ini dapat menggambarkan secara spesifik kejadian dan
proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit infeksi. Tipe leukosit yang
dihitung ada 5 yaitu (Sherwood, 2001) :
a. Neutrofil, berwarna biru keunguan bila diberi pewarnaan asam dan basa,
intinya mempunyai tiga atau lima lobus. Sel ini merupakan leukosit dengan
jumlah paling banyak. Neutrofil merupakan spesialis fagositik. 2.
b. Basofil, Sel basofil menyerap pewarnaan basa dan menjadi biru. Inti
kasarnya berbentuk huruf S. Jika sel ini telah mencapai jaringan, maka akan
berubah menjadi sel mast. Baik basofil maupun sel mast mensintesis dan
menyimpan histamin dan heparin, yaitu bahan kimia poten yang dapat
dibebaskan jika terdapat rangsangan yang sesuai.
c. Eosinofil, sel golongan ini hanya sedikit dijumpai. Sel ini menyerap
pewarna yang bersifat asam (eosin) dan kelihatan merah. Intinya memiliki
dua lobi oval. Peningkatan eosinofil dalam darah berkaitan dengan keadaan
alergik (misalnya asma dan hay fever) dan dengan infestasi parasit internal
(misalnya cacing). Eosinofil jelas tidak dapat menelan parasit cacing yang
ukurannya jauh lebih besar, tetapi sel ini melekat ke cacing dan
mengeluarkan bahan-bahan yang mematikannya. Kelompok kedua adalah
kelompok leukosit yang sitoplasmanya tidak bergranula, disebut leukosit
agranula (agranulosit). Agranulsoit berkembang
d. Limposit, salah satu leukosit yang berperan dalam proses kekebalan dan
pembentukan antibodi. Nilai normal: 20 – 35% dari seluruh leukosit.
Peningkatan limposit terdapat pada leukemia limpositik, infeksi virus,
17
17
infeksi kronik, dan Iain-Iain. Penurunan limposit terjadi pada penderita
kanker, anemia aplastik, gagal ginjal, dan Iain-Iain.
e. Monosit merupakan salah satu leukosit yang berinti besar dengan ukuran 2x
lebih besar dari eritrosit sel darah merah), terbesar dalam sirkulasi darah dan
diproduksi di jaringan limpatik. Nilai normal dalam tubuh: 2 – 8% dari
jumlah seluruh leukosit. Peningkatan monosit terdapat pada infeksi
virus,parasit (misalnya cacing), kanker, dan Iain-Iain. Penurunan monosit
terdapat pada leukemia limposit dan anemia aplastik.
B. Kerangka Pemikiran
C. Keterangan Empiris
Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya tentang penggunaan
antibiotik pada pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSUD Dokter Moewardi
Surakarta tahun 2013 menunjukan penggunaan antibiotik yang paling banyak
Riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukan prevalensi penderita
pneumonia di Indonesia sebesar 4,5%.
Semakin tingginya prevalensi penderita pneumonia di Indonesia.
Salah satu terapi yang diberikan adalah antibiotik ceftriaxone,
penelitian sebelumnya menunjukan penggunaan ceftriaxone untuk
pengobatan pneumonia memiliki presentasi paling banyak
digunakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Dilakukan penelitian untuk mengetahui keefektifan penggunaan
antibiotik ceftriaxone sebagai terapi pengobatan pneumonia
18
18
digunakan adalah ceftriaxone dengan nilai persentase mencapai 44,19%, dan
pengobatan dengan antibiotik disimpulkan telah rasional, dan membutuhkan
penelitian lebih lanjut (Yudha,2013). Pada penelitian ini akan diperoleh hasil
gambaran mengenai kesesuaian pemilihan antibiotik ceftriaxone dengan standar
pelayanan rumah sakit yang ada, serta tingkat keberhasilan atau efektivitas
antibiotik dilihat dari respon klinis pasien berdasarkan suhu badan pasien, data
laboratorium, kondisi klinis dan lama perawatan.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian
observasional dengan pengambilan data secara retrospektif cohort. Penelitian
dilakukan dengan menganalisis efektivitas penggunaan antibiotik ceftriaxone
pada pasien pneumonia dewasa yang dirawat inap.
B. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi
terutama di Instalasi Catatan Medik. Pengumpulan data dilaksanakan pada
Januari-April tahun 2016.
C. Subjek Penelitian
Populasi penelitian adalah pasien dewasa yang didiagnosis pneumonia
yang menjalani rawat inap pada tahun 2014 - 2015. Untuk memperoleh
sampel, digunakan teknik purposive sampling.
1. Kriteria inklusi meliputi :
a. Pasien dengan diagnosa pneumonia tanpa disertai penyakit infeksi
lain yang berusia 18 – 65 tahun. Diagnosa pneumonia pada pasien
berdasarkan tanda dan gejala dengan atau tanpa menggunakan cara
dan alat seperti laboratorium, dan gejala klinik yang telah ditetapkan
oleh dokter.
20
20
b. Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik ceftriaxone > 3 hari.
Proses penyembuhan penyakit berdasarkan diagnosis
menggunakan obat berupa antibiotik ceftriaxone.
c. Pasien rawat inap di rumah sakit.
d. Pasien dengan data rekam medik lengkap. Data rekam medis harus
mencakup identitas pasien, diagnosa, terapi pengobatan kondisi
klinis dan nilai laboratorium yaitu jumlah leukosit.
2. Kriteria Ekslusi : Pasien yang meninggal dunia.
D. Definisi Operasional
1. Pasien adalah pasien dewasa yang berusia 18-65 tahun dan di diagnosa
pneumonia yang menjalani perawatan di instalasi rawat inap RSUD Dr.
Moeawardi Surakarta Tahun 2014-2015.
2. Antibiotik adalah antibakteri yang digunakan untuk pengobatan pasien
penderita pneumonia yang menjalani perawatan inap di RSUD Dr.
Moewardi Surkarta. Data yang diambil yaitu antibiotik ceftriaxone yang
digunakan, aturan pakai, dan lama penggunaan.
3. Efektivitas antibiotik adalah kemampuan antibiotik dalam menghambat
patogen penyebab pneumonia dalam dosis dan rentang waktu lazim
sehingga menyebutkan kesembuhan pada pasien dengan cara melihat
kondisi klinis dan hasil laboratorium pasien.
4. Kondisi klinis dalam penelitian ini adalah adanya respon fisiologi pasien
akibat adanya perlakuan pemberian obat antibiotik selama proses terapi
21
21
pneumonia pasien seperti perubahan suhu tubuh, keluhan sesak nafas,nyeri
dada, dan batuk.
E. Analisis Data
Data yang sudah dikelompokan di identifikasi sesuai dengan
diagnosis masing-masing untuk memperoleh informasi tentang :
1. Profil pasien dari data demografi pasien yang diperoleh kemudian
dianalisis untuk mendapatkan persentase pasien berdasarkan rentang usia,
jenis kelamin, lama perawatan serta pola penggunaan antibiotik
ceftriaxone.
2. Analisis efektivitas penggunaan antibiotik ceftriaxone dilakukan dengan
membandingkan perbaikan kondisi klinis dan hasil pemeriksaan darah
pasien yaitu leukosit sebelum dan sesudah terapi antibiotik ceftriaxone.
Efektivitas dapat dibuktikan dengan nilai uji T-test berpasangan pada data
kondisi klinis dan data laboratorium.
F. Alur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
i. Tahapan Persiapan
Meliputi pengurusan ijin serta persiapan lembar pencatatan data
pasien dan lembar pencatatan penggunaan obat pada pasien.
22
22
ii. Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam bentuk kegiatan:
a. Tahap awal yaitu pengumpulan berkas rekam medis yang
memenuhi kriteria inklusi penelitian.
b. Melakukan review rekam medis di rumah sakit untuk mendapatkan
data karakteristik pasien meliputi profil pasien (no. rekam medis,
nama, umur, jenis kelamin), diagnosa pasien, data penggunaan
obat antibiotik ceftriaxone, data uji laboratorium pasien yaitu
leukosit saat masuk dan keluar, data kondisi klinis pasien saat
masuk dan keluar, lama perawatan pasien. Data tersebut
dimasukkan dalam lembar pencatatan data pasien dan lembar
pencatatan peresepan obat pada pasien.
iii. Tahap Pengolahan dan Analisis Data
Data dari rekam medis pasien dan data penggunaan obat pasien
sesudah terkumpul maka dilakukan pengolahan dan analisis data
sesuai metode analisis yang ditentukan. Data tentang deskripsi pasien
disajikan dalam bentuk tabel dan persentase rata – rata yang meliputi
data karakteristik demografi pasien yang mencakup umur, jenis
kelamin, data penggunaan antibiotik ceftriaxone, data uji laboratorium
pasien yaitu leukosit saat sebelum dan sesudah perawatan, data
kondisi klinis pasien saat sebelum dan sesudah perawatan, dan lama
perawatan pasien. Data yang didapatkan diolah secara statistik
menggunakan program SPSS (Statistical Package for the Social
23
23
Science). Pengolahan data awalnya dilakukan dengan menguji
normalitas dari data yang telah didapatkan. Tujuan dari uji normalitas
adalah untuk mengetahui terdistribusi secara secara normal atau
tidaknya data tersebut dan dapat dikatakan normal jika memiliki nilai
sig > 0,05. Uji normalitas yang digunakan oleh peneliti adalah
menggunakan metode Kolmogorof – Smirnov. Dasar pemilihan
metode uji normalitas ini adalah data yang didapatkan oleh peneliti
lebih dari 50 sampel. Sehingga, metode yang cocok untuk melakukan
uji normalitas adalah metode Kolmogorof – Smirnov. Setelah
dilakukan uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji homogenitas. Uji
homogenitas bertujuan untuk memperlihatkan bahwa kelompok data
sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang sama dan
dikatakan homogen jika memiliki nilai sig > 0,05. Pada uji normalitas,
apabila data yang dihasilkan terdistribusi normal, maka data tersebut
merupakan data parametrik. Setelah data dipastikan terdistribusi
normal maka efektivitas dapat dibuktikan dengan nilai t-test
berpasangan pada data kondisi klinis dan data laboratorium.
24
24
Skema alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema Alur Penelitian
Pembuatan proposal penelitian
Perijinan
Pengambilan data, meliputi no.rekam medik, umur,
jenis kelamin,lama perawatan, pengobatan antibiotik
ceftriaxone yang digunakan, data laboratorium, kondisi
klinis pasien saat masuk dan keluar.
Pembahasan
Pengolahan data
Penelitian dimulai
Kesimpulan dan Saran
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian observasional dengan
pengambilan data secara retrospektif, pengambilan data untuk penelitian ini
mengambil data dari rekam medis pasien di RSUD Dr. Moewardi. Jumlah
populasi pasien pneumonia yang mendapatkan terapi antibiotik ceftriaxone pada
tahun 2014 – 2015 yang menjalani rawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
adalah 292 pasien, dari jumlah populasi yang memenuhi kriteria inklusi adalah 54
pasien.
A. Gambaran Umum Karakteristik Pasien
Karakteristik subjek penelitian ini dilihat berdasarkan jenis kelamin, usia
pasien dan lama perawatan yang dimaksudkan untuk mengetahui gambaran umum
pasien.
1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
Karakteristik pasien Pneumonia berdasarkan jenis kelamin di instalasi rawat
inap RSUD Dokter Moewardi Tahun 2014 – 2015 dapat dilihat pada Tabel IV.
Tabel IV. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
*Persentase dihitung dari jumlah jenis kelamin dibagi total pasien dikalikan 100%
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukan kejadian jumlah pasien laki –
laki yang menderita pneumonia selalu lebih dominan dari pasien jenis kelamin
perempuan. Penelitian Subhan (2006) menyebutkan bahwa angka kejadian
No Jenis Kelamin Jumlah Pasien Persentase (%)
1 Perempuan 24 44,45
2 Laki – Laki 30 55,55
Total 54 100
26
26
penyakit pneumonia di RS Panti Rapih Yogyakarta pada periode Januari 2004 –
November 2006 diketahui pasien laki – laki sebanyak 51% dan pasien perempuan
sebanyak 49%. Sedangkan pada penelitian Yudha (2013) menyebutkan bahwa
angka kejadian penyakit pneumonia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tahun
2013 diketahui pasien laki – laki sebanyak 56,86% dan pada pasien perempuan
sebanyak 43,14%. Lebih dari 50% pasien yang menderita pneumonia merupakan
pasien dengan jenis kelamin laki – laki. Hal ini dikarenakan laki - laki lebih sering
beraktivitas di luar rumah sehingga mudah terpapar polusi udara dan lebih
cenderung mengkonsumsi rokok, karena polusi udara dan asap rokok mempunyai
banyak zat kimia yang dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernafasan
(Gondodiputro, 2007).
2. Karakteristik pasien Berdasarkan Usia
Karakteristik pasien pneumonia berdasarkan usia di instalasi rawat inap
RSUD Dokter Moewardi Tahun 2014 – 2015 dapat dilihat pada Tabel V
dengan penggolongan usia berdasarkan Depkes RI (2009).
Tabel V. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia
*Persentase dihitung dari jumlah rentang usia dibagi total pasien dikalikan 100 %
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa pasien pneumonia terjadi paling banyak
pada usia 56 – 65 tahun yaitu sejumlah 38,89%.
No Rentang Usia Jumlah Pasien Persentase
(%)
1 18 – 25 tahun 6 11,11
2 26 – 35 tahun 5 9,26
3 36 – 45 tahun 9 16,67
4 46 – 55 tahun 13 24,07
5 56 – 65 tahun 21 38,89
Total 54 100
27
27
Menurut Stephen (2005) umumnya peningkatan pertambahan usia akan
identik dengan semacam penyakit dan diketahui resiko mengalami pneumonia
semakin meningkat, hal ini terkait dengan semakin besar resiko terhadap aspirasi.
Penyebab lain penyakit degeneratif serta adanya penurunan respon imun yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap bakteri penyebab infeksi pneumonia. Pada
Tabel V dapat dilihat bahwa hasil penelitian sesuai dengan faktor resiko, karena
pasien dengan rentang 56 - 65 tahun merupakan pasien dengan jumlah paling
banyak.
3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Lama Perawatan
Karakteristik pasien pneumonia berdasarkan lama perawatan di instalasi
rawat inap RSUD Dokter Moewardi Tahun 2014 – 2015 dpat dilihat pada Tabel
VI.
Tabel VI. Karakteristik Pasien Berdasarkan Lama Perawatan
*Persentase dihitung dari jumlah lama perawatan dibagi total pasien dikalikan 100 %
Tujuan karakteristik pasien berdasarkan lama perawatan adalah untuk
mengetahui seberapa lama pasien dirawat di rumah sakit. Karakteristik pasien
berdasarkan lama perawatan dari beberapa subyek penelitian yaitu 1 - 4 hari, 5
- 8 hari, 9 - 12 hari, 13 – 16 hari, dan lebih dari 16 hari. Lama perawatan pasien
mempengaruhi tingkat keparahan pasien dan efektivitas pengobatan di rumah
sakit. Menurut Depkes RI (2005) antibiotik efektif digunakan untuk terapi
No Lama Perawatan Jumlah Persentase (%)
1 1 - 4 hari 3 5,56
2 5 - 8 hari 20 37,04
3 9 - 12 hari 16 29,63
4 13 - 16 hari 12 22,22
5 > 16 hari 3 5,56
Total 54 100
28
28
selama kurang dari 10 hari sehingga kebanyakan pasien sudah diperbolehkan
pulang sesudah mendapatkan perawatan di rumah sakit selama kurang dari 10
hari. Hal ini sesuai dengan hasil pada Tabel VI yang menyebutkan bahwa lama
perawatan pada pasien pneumonia paling banyak dalam kurun waktu 5 – 8
hari.
B. Pola Penggunaan Antibiotik Ceftriaxone
Pada umumnya penggunaan antibiotik ada yang dalam bentuk tunggal ada
juga yang diberikan kombinasi. Selain mendapatkan kombinasi antibiotik
beberapa pasien juga mendapatkan pergantian antibiotik. Pergantian antibiotik
seharusnya hanya dilakukan jika diketahui adanya resistensi terhadap hasil kultur
terbaru pasien atau jika diketahui antibiotik yang diberikan menimbulkan reaksi
efek samping pada pasien (Guglielmo, 2001). Tujuan pergantian antibiotik pasien
seharusnya diarahkan untuk mendapatkan hasil terapi yang lebih baik sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi klinis pasien (Gleckman, 2007).
Dapat dilihat dari Tabel VII sebanyak 81,49% pasien tidak mengalami
pergantian antibiotik hingga akhir perawatan, dan 18,52% mengalami pergantian
antibiotik. Dalam penelitian ini ditemukan 2 pasien mengalami pergantian
antibiotik dikarenakan alergi terhadap antibiotik ceftriaxone pada awal pemberian.
Hal ini dibuktikan dari laporan penggunaan obat yang tercatat dalam rekam
medik pasien, reaksi alergi pasien ditandai dengan adanya gejala seperti ruam
kulit. Pergantian antibiotik pada pasien lainnya dikarenakan antibiotik ceftriaxone
yang diberikan di awal kurang efektif memperbaiki kondisi pasien (selama
29
29
perawatan kondisi pasien tidak membaik) sehingga diperlukan terapi antibiotik
lain yang lebih efektif. Pergantian antibiotik dapat dilihat pada Tabel VII.
Tabel VII. Pergantian Antibiotik Ceftriaxone Pada Pasien Pneumonia
No Antibiotik
Ceftriaxone Keterangan
Pergantian
Antibiotik
Jumlah
Pasien
Persentase (%)
1 Tidak mengalami
pergantian - 44 81,49
2 Mengalami
Pergantian
Ceftriaxone
diganti
Levofloxacin 3
5,56
18,51
Ceftriaxone
diganti
Ciprofloxacin 4
7,41
Ceftriaxone
diganti
Gentamycin 3
5,56
Total 54 100
*Persentase dihitung dari jumlah penggunaan antibiotik dibagi total pasien dikalikan 100 %
Antibiotik kombinasi adalah penggunaan lebih dari satu jenis dan macam
sediaan antibiotik yang digunakan bersama – sama dengan tujuan mendapatkan
efek eradikasi mikroorganisme penyebab pneumonia secara lebih baik
dibandingkan antibiotik tersebut digunakan secara tunggal. Pengobatan infeksi
pneumonia pemberian antibiotik secara kombinasi kepada pasien harus didasarkan
pada beberapa hal diantaranya, kombinasi antibiotik akan memberikan efek
sinergis dalam menurunkan infeksi (British Thoraric society, 2004).
Pada penelitian ini untuk melihat seberapa banyak digunakannya antibiotik
tunggal dan kombinasi dapat dilihat dari jumlah penggunaan antibiotik pada
pasien terapi pneumonia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang disajikan pada
Tabel VIII.
30
30
Tabel VIII. Penggunaan Antibiotik Tunggal dan Kombinasi Pada Pasien Pneumonia
No
Penggunaan
Antibiotik
Nama
Antibiotik
Jumlah
Penggunaan Persentase (%)
1 Tunggal Cefriaxone 20 34,48
2
Kombinasi
Ceftriaxone +
Levofloxacin 7 12,07
Ceftriaxone +
Ciprofloxacin 2 3,45
Ceftriaxone +
Metronidazole 2 3,45 46,55
Ceftriaxone +
Gentamycin 6 10,34
Ceftriaxone +
Azitromicyn 8 13,79
Ceftriaxone +
Cotrimoxazole 2 3,45
3
Obat yang
dibawa pulang Cefixime 11 18,97
Total 58 100
*Persentase dihitung dari jumlah antibiotik dibagi total penggunaan dikalikan 100 %
Dari Tabel VIII dapat diketahui terapi pneumonia menggunakan antibiotik
ceftriaxone tunggal sebanyak 34,48%. Sebanyak 46,55% menggunakan antibiotik
kombinasi dan 18,97% menggunakan terapi antibiotik untuk dibawa pulang.
Dalam penelitian ini ceftriaxone banyak digunakan untuk kasus yang berat
terutama bila penyebabnya belum diketahui. Ceftriaxone adalah antibiotik yang
paling umum digunakan karena potensi antibakteri yang tinggi, spektrum yang
luas dan potensi yang rendah untuk toksisitas. Alasan yang paling mungkin untuk
digunakan secara luas karena ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin
generasi ketiga yang merupakan antibiotik spektrum luas dapat mengatasi baik
pada bakteri gram positif maupun gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007).
31
31
Hal ini didukung dengan hasil penelitian Yudha (2013) yang menyebutkan bahwa
antibiotik yang paling banyak digunakan untuk pasien terapi pneumonia di RSUD
Dr. Moewardi tahun 2013 adalah ceftriaxone.
Selain digunakan tunggal, antibiotik ceftriaxone juga digunakan secara
kombinasi. Dari Tabel VIII dapat diketahui kombinasi antara ceftriaxone dengan
azitromycin paling banyak digunakan yaitu 13,79%. Ceftriaxone memiliki
hambatan yang baik terhadap S Pneumonia. Ceftriaxone merupakan antibiotik
golongan sefalosporin generasi III yang secara umum menunjukan aktivitas
terhadap gram negatif yang lebih besar jika dibandingkan dengan generasi I dan
II, sedangkan azitromicyn (golongan makrolida) yang karena keterbatasan
spektrum hambatan bakterinya di beberapa pedoman terapi penelitian memang
disarankan untuk diberikan secara kombinasi dengan antibiotik lain khususnya
dengan golongan sefalosporin III. Hasil penelitian Meltzer (2002) menunjukan
bahwa kombinasi antara azitromicyn (makrolida) dengan ceftriaxone (sefalosporin
III) dapat memberikan hasil yang signifikan pada perbaikan hasil terapi pasien
jika dibandingkan dengan pemberian ceftriaxone tunggal.
Terapi kombinasi selanjutnya antara ceftriaxone dengan antibiotik
golongan floroquinolon yaitu ceftriaxone dengan levofloxacin (12,47%) dan
ceftriaxone dengan ciprofloxacin (3,45%). Antibiotik golongan flouroquinolon
merupakan antibiotik yang memiliki aktivitas baik pada bakteri gram negatif.
Penggunaan terapi pasien Community Acquired Pneumonia (CAP) pada rawat
inap non-ICU direkomendasikan pemberian antibiotik kombinasi antara antibiotik
betalaktam dengan golongan floroquinolon (Mandell et al., 2007).
32
32
Pada penggunaan terapi kombinasi antara ceftriaxone dengan
metronidazole digunakan sebanyak 3,45%. Ceftriaxone tidak bisa mengatasi
infeksi dari bakteri anareob sehingga dikombinasikan dengan metronidazole yang
dapat mengatasi infeksi dari bakteri anaerob. Bakteri anaerob penyebab
pneumonia adalah Klebsiella pneumonia. Penggunaan metronidazole juga
digunakan untuk mengatasi pneumonia yang diakibatkan oleh jamur. Jamur yang
bisa menyebabkan pneumonia adalah Histoplasma capsulatum, Cryptococcus
neoformans, Pneumocystis jiroveci dan Coccidioides immitis (Khairudin, 2009).
Kombinasi lainnya yaitu penggunaan terapi kombinasi ceftriaxone dengan
gentamycin sebanyak 3,45%. Gentamycin sebagai terapi kombinasi biasanya
dikombinasikan dengan antibiotik golongan sefalosorin generasi ketiga untuk
mengatasi pseudomonas (Tjay dan Rahardja, 2007). Penggunaan kombinasi antara
ceftriaxone dengan cotrimoxazole sebanyak 5%. Seperti halnya ceftriaxone,
cotrimoxazole juga mempunyai spektrum aktivitas luas dan efektif terhadap
bakteri gram-positif dan gram-negatif. Tetapi cotrimoxazole lebih efektif
digunakan sebagai terapi pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocystis carinii
(Miller, 2006).
Pada pasien yang dinyatakan pulang dari rumah sakit dan masih menjalani
terapi antibiotik diberikan pilihan terapi cefixime sebagai pengganti antibiotik
ceftriaxone. Hal ini dikarenakan ceftriaxone dan cefixime berada pada golongan
antibiotik yang sama, yaitu golongan sefalosporin generasi ketiga yang memiliki
aktivitas terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif terutama pada
bakteri S pneumoniae (Tjay dan Rahardja, 2007). Selain itu cefixime merupakan
33
33
salah satu antibiotik yang memiliki bentuk sediaan tablet, hal ini sesuai untuk
penggunaan pada pasien yang menjalani rawat jalan sehingga mudah untuk
dikonsumsi sendiri oleh pasien dan tanpa membutuhkan bantuan ahli untuk
pemakaian.
C. Efektivitas Terapi
Efektivitas terapi dapat diukur berdasarkan 2 parameter yaitu kondisi klinis
dan hasil uji laboratorium.
1. Kondisi Klinis
Kondisi klinis merupakan keadaan yang dapat diamati pada pasien. Kondisi
klinis pada pasien pneumonia dapat meliputi gejala seperti demam atau kenaikan
suhu tubuh, keluhan sesak nafas, nyeri dada, dan batuk.
a. Perubahan Suhu Tubuh
Salah satu kondisi klinis pasien berupa perubahan suhu badan pasien dapat
diketahui secara keseluruhan baik saat awal perawatan dan akhir perawatan.
Perubahan suhu tubuh sebagai salah satu pertanda adanya infeksi maka perlu
dilakukan perhatian saat pengukuran seperti ketepatan pemilihan bagian tubuh
untuk pengukuran suhu. Demam merupakan salah satu gejala dari infeksi, demam
terjadi karena adanya infeksi dari mikroorganisme yang menyebabkan tubuh
mengeluarkan zat anti infeksi yaitu pirogen endogen yang merangsang
hipotalamus mengeluarkan prostaglandin yang mempengaruhi thermostat
sehingga patokan suhu meningkat dan tubuh menjadi demam (Sherwood, 2001).
Sebagai contoh pada kasus geriatri dijumpai tidak adanya kenaikan suhu tubuh
meskipun dikatakan terjadi infeksi. Hal ini terkait dengan fungsi homeostasis
34
34
tubuh pasien (Burgess dan Abate 2005). Perubahan suhu tubuh pasien dapat
dilihat pada Tabel IX.
Tabel IX. Perubahan Suhu Tubuh Pasien Sebelum dan Sesudah Perawatan
*Persentase dihitung dari jumlah suhu tubuh sebelum dan sesudah perawatan dibagi total
pasien dikalikan 100 %
Pada penelitian ini rata-rata suhu tubuh pasien pneumonia yang menjalani
perawatan rawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama rentang waktu
penelitian dapat diketahui pada saat awal perawatan sebanyak 83,33% tergolong
suhu normal (36-37°C), sebnayak 16,67% tergolong suhu tubuh tinggi (>37°C),
sedangkan pada akhir perawatan diketahui sebanyak 98,15% tergolong suhu tubuh
normal dan sebanyak 1,75% tergolong suhu tinggi. Pada penelitian ini suhu tubuh
pasien tidak dapat dijadikan parameter untuk mengetahui efektivitas terapi
antibiotik, karena meskipun data perbandingan suhu tubuh lengkap tetapi hampir
semua pasien tidak mengalami demam atau masih pada suhu tubuh normal.
Kondisi Klinis Nilai hasil
Pengukuran
Sebelum Perawatan Sesudah Perawatan
Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
Suhu Badan
Rendah ( < 36°C ) 0 0 0 0
Normal ( 36°C -
37°C ) 45 83,33 53 98,15
Tinggi ( > 37°C ) 9 16,67 1 1,75
35
35
b. Keluhan Lain
Kondisi klinis lainya yang dapat diketahui selama sebelum hingga sesudah
perawatan pada pasien pneumonia seperti keluhan sesak nafas, nyeri dada, dan
batuk dapat dilihat dari Tabel I0.
Tabel X. Kondisi Klinis Pasien Sebelum dan Sesudah Perawatan
*Persentase dihitung dari jumlah kondisi klinis sesudah dan sebelum perawatan dibagi total
pasien dikalikan 100 %
Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai pada penyakit saluran
nafas, terutama terkait dengan adanya beberapa proses patofisiologi penyakit
seperti adanya obstruksi saluran nafas, perubahan ekspermeabilitas paru, adanya
kelemahan otot pernafasan (pada penyakit neuromuscular, kegagalan aspirasi
kronis) atau adanya kelemahan akibat adanya hiperinflamasi paru. Tanda obyektif
yang dapat diamati antara lain adanya nafas yang cepat, terengah – engah,
bernafas dengan bibir tertarik kedalam hipoksemia dan hiperkapnia. Sesak nafas
dapat muncul sebagai presentasi penyakit pneumonia pada kondisi akut maupun
Kondisi
Klinis
Nilai hasil
Pengukuran
Sebelum Perawatan Sesudah Perawatan
Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
Jumlah
Pasien Persentase (%)
Keluhan
Batuk
Normal ( Tidak
ada keluhan ) 41 75,92 52 96,30
Batuk 13 24,07 2 3,70
Keluhan
Sesak Nafas
Normal ( Tidak
ada keluhan ) 15 27,78 43 79,63
Sesak Nafas 39 72,22 11 20,37
Keluhan
Nyeri Dada
Normal ( Tidak
ada keluhan ) 43 79,63 52 96,30
Nyeri Dada 11 20,27 2 3,70
36
36
kronis (Ikawati, 2006). Dari Tabel X dapat diketahui adanya perubahan kondisi
sesak nafas pada pasien saat sebelum dan sesudah menjalani perawatan. Pada
pasien dengan keluhan sesak nafas pada awal perawatan sebanyak 72,22% dan
pada akhir perawatan mengalami penurunan keluhan sesak nafas yaitu menjadi
sebanyak 20,37%. Pasien dengan kondisi sesak nafas bisa dilihat dari posisi tidur
pasien dengan posisi tidur tegak atau setinggi 3-4 bantal, adanya perubahan
kondisi keluhan sesak nafas dapat dilihat dari posisi tidur seperti orang normal
atau dengan posisi tidur dengan satu bantal.
Nyeri dada pada saluran pernafasan dapat diakibatkan oleh adanya
inflamasi pleural. Radang trakhea atau bronkus dan emboli paru juga memberikan
rasa nyeri terutama jika emboli telah menjadi infark (Ikawati, 2006). Tabel X
menunjukan keluhan nyeri dada yang dirasakan pasien adalah sebanyak 20,27%
dan pada akhir perawatan keluhan nyeri dada teratasi dan diketahui berkurang
menjadi 3,70%.
Gejala simptomatik lain yang terkait dengan pneumonia adalah keluhan
batuk yang dirasakan oleh pasien. Batuk merupakan gejala yang paling umum
pada gangguan saluran pernafasan. Batuk juga dapat menjadi pertanda adanya
gangguan pernafasan jika terjadi secara resisten persisten atau diikuti dengan
nyeri atau produksi sputum yang berlebihan. Lamanya batuk dapat
mengindikasikan penyakit tertentu adanya suatu gangguan pernafasan, batuk
sendiri merupakan proses ekspirasi yang eksplosif yang memberikan mekanisme
proteksi normal untuk membersihkan saluran pernafasan dan adanya sekresi atau
benda asing yang mengganggu pada saluran pernafasan (Ikawati, 2006). Tabel X
37
37
menunjukan adanya perubahan keluhan batuk pada awal perawatan sebanyak
24,07% berkurang menjadi 3,70% diakhir perawatan.
Dari data tersebut dapat dianalisis lebih secara statistik untuk mengetahui
adanya perbedaan kondisi klinis pasien sebelum dan sesudah terapi. Untuk
analisis data secara statistik, perbedaan kondisi klinis pasien dapat dilihat
berdasarkan keluhan yang dialami pasien yaitu kondisi klinis memburuk atau
membaik. Kondisi klinis pasien dikatan memburuk apabila pasien mengalami
keluhan seperti sesak nafas, nyeri dada dan batuk, sedangkan kondisi klinis pasien
membaik apabila pasien tidak mengalami keluhan baik sebelum maupun sesudah
terapi. Sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu diuji normalitasnya fungsi
dari uji normalitas adalah untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data
sehingga dapat diketahui jenis uji yang dapat digunakan selajutnya. Dari hasil uji
normalitas data menggunakan Kolmogorof - Smirnov diketahui telah terdistribusi
normal dan uji homogenitas menunjukan kesamaan variansi antar kelompo
(homogeny) baik sebelum terapi maupun data sesudah terapi, sehingga dapat
dilakukan analisis parametrik. Analisis dilakukan dengan uji t berpasangan untuk
membandingkan ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara sebelum dan
sesudah terapi.
Dari hasil analisis didapatkan harga signifikasi (p) yaitu 0.000, nilai tersebut
<0.05 maka Ho ditolak sehingga dapat dikatakan adanya perbedaan yang
signifikan antara kondisi klinis pasien sebelum dan sesudah terapi. Hasil
pengujian menggunakan uji paired t-test dapat dilihat pada Tabel XI.
38
38
Tabel XI. Hasil uji t berpasangan kondisi klinis
Dari hasil analisis parameter keefektifan terapi, dapat dilihat dari kondisi
klinis pasien dikatakan membaik diakhir perawatan semakin meningkat sehingga
dapat disimpulkan bahwa terapi yang diberikan sudah efektif dalam mengatasi
keluhan pasien yang dapat dilihat dari parameter kondisi klinis.
2. Hasil Uji Laboratorium
Parameter lain yang digunakan yaitu hasil uji laboratorium. Hasil uji
laboratorium merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk
mengetahui efektivitas terapi dari obat terutama antibiotik yang ditandai dengan
turunnya kadar leukosit dalam darah. Jumlah pasien yang mencapai target terapi
atau pemeriksaan setelah terapi kadar leukosit normal atau belum normal
terlampir pada lampiran 2. Persentase tercapai tidaknya target terapi dapat dilihat
pada Tabel XII.
Paired Samples Test
Paired Differences
T df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviatio
n
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
Kondisi klinis
sebelum –
kondisi klinis
sesusah
.8333
3
.37618 .05119 .73066 .93601 16.27
9
53 .000
39
39
Tabel XII. Persentase Target Terapi Leukosit Darah Sesudah Terapi
*Persentase dihitung dari jumlah leukosit sesudah terapi dibagi total pasien dikalikan 100%
Pada Tabel XII. Dapat dilihat persentase tercapainya target terapi, pasien
yang dapat mencapai target terapi 77,78% sedangkan 22,22% tidak dapat
mencapai target terapi. Rentang nilai normal dari leukosit menurut Instalasi
laboratorium patologi klinik RSUD Dr. Moewardi Surakarta adalah (4ribu/ul – 11
ribu/ul). Jumlah leukosit bisa mengalami peningkatan, hal ini bisa terjadi sebagai
respon terhadap adanya infeksi atau sebab lain selain infeksi, seperti karena strees,
kasus inflamasi, leukemia, atau karena juga obat (seperti kortikosteroid).
Dari data tersebut dapat dianalisis lebih secara statistik untuk mengetahui
adanya perbedaan sebelum dan sesudah terapi. Sebelum dilakukan analisis data
terlebih dahulu diuji normalitasnya fungsi dari uji normalitas adalah untuk
mengetahui normal atau tidaknya data terdistribusi sehingga dapat diketahui jenis
uji yang dapat digunakan selajutnya . Dari hasil uji normalitas data menggunakan
Kolmogorof - Smirnov diketahui telah terdistribusi normal baik dan uji
homogenitas menunjukan kesamaan variansi antar kelompo (homogeny) sebelum
terapi maupun data sesudah terapi, sehingga dapat dilakukan analisis parametrik.
Analisis dilakukan dengan uji t berpasangan untuk membandingkan ada tidaknya
perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah terapi.
No Keterangan
Leukosit Sesudah
Terapi
Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
1 Target Terapi Tercapai
Normal 23 77,78
Turun menjadi normal 19
3
Target Terapi Tidak
Tercapai
Turun belum normal 6 22,22
Belum Normal 6
Total 54 100
40
40
Dari hasil analisis didapatkan harga signifikasi (p) yaitu 0.000, nilai
tersebut <0.05 maka Ho ditolak sehingga dapat dikatakan adanya perbedaan yang
signifikan antara kadar leukosit sebelum dan sesudah terapi. Hasil pengujian
menggunakan uji paired t-test dapat dilihat pada Tabel XIII.
Tabel XIII. Hasil uji t berpasangan kadar leukosit darah
Menurut Rybak dan Aesehlimann (2005) pada umumnya leukosit
merupakan komponen tubuh yang aktif melawan terhadap penginfeksi sehingga
hal ini menjadi penting dalam hal penegakan diagnosa terhadap adanya kasus
infeksi, pilihan terapi obat yang sesuai atau untuk memantau perkembangan
pasien. Secara prinsip leukosit melindungi tubuh dari penginfeksi yang
kemungkinan bersumber dari bakteri , virus, ataupun jamur. Tingginya kadar
leukosit menunjukan adanya infeksi sehingga menjadi indikasi pemberian obat
antibiotik. Antibiotik berperan mematikan atau menghambat petumbuhan bakteri
penyebab infeksi. Sesudah bakteri berhasil dimatikan ataupun dihambat maka
jumlah bakteri akan berkurang dengan demikian kadar leukosit yang tinggi
sesudah terjadinya infeksi akan kembali normal. Tubuh tidak lagi memproduksi
Paired Samples Test
Paired Differences
T Df Sig. (2-tailed)
Mea
n
Std.
Deviati
on
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pai
r 1
Leukosit
sebelum -
leukosi t
sesudah
3.18
519
5.3716
0
.73098 1.7190
2
4.6513
5
4.35
7
53 .000
41
41
leukosit sebagai antibodi karena telah berkurangnya bakteri. Keefektifan
penggunaan antibiotik salah satunya dapat dilihat dari kadar leukosit pasien.
Dari hasil analisis parameter keefektifan dari antibiotik, dilihat dari hasil
laboratorium yaitu kadar leukosit dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik
sudah efektif dalam mengatasi infeksi yang dapat dilihat dari parameter
penurunan kadar leukosit.
D. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah beberapa parameter seperti
kondisi klinis dan hasil uji laboratorium tidak terdapat dokumentasinya sehingga
tidak dapat dilakukan analisis. Karakteristik hasil uji laboratorium pasien
sebenarnya dapat menggunakan sputum. Tetapi dalam penelitian ini, karena
keterbatasan data jadi hanya menggunakan parameter leukosit sebagai
karakteristik hasil uji laboratorium.
42
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penggunaan antibiotik ceftriaxone pada pasien pneumonia di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta tahun 2014-2015 sudah efektif, hal ini berdasarkan parameter
kondisi klinis dan leukosit yang didukung dengan uji t berpasangan dengan
signifikansi (p = 0.000) dengan taraf kepercayaan 95%.
B Saran
Demi perbaikan dan peningkatan bidang kesehatan pada umumnya, dan
bidang kesehatan pada khususnya, maka penulis menyampaikan beberapa saran
sebagai berikut :
i. Untuk RSUD Moewardi Surakarta dapat menyediakan informasi yang lebih
lengkap pada rekam medik pasien yaitu parameter obyektif dan subyektif
khususnya pada pemeriksaan hasil kultur bakteri sehingga memudahkan
pendataan dan pembacaan rekam medik.
ii. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian secara prospektif yang
mencakup parameter obyektif maupun subyektif untuk lebih mengetahui
tingkat efektivitas terapi antibiotik ceftriaxone dan dibandingkan dengan
antibiotik lain.
43
DAFTAR PUSTAKA
British Thoraric Society, 2004, GuiedelInes for Management of Community-
Acquired Pneumoni in Adults – 2004 update, British Thoraric Society
(BTS) UK, di akses pada tanggal 28 desember 2015 di www.
brit.thoraric.org/guidelines
Bugess Ds., dan Abate IU, 2005, Antimicrobial Regimen seletion dalam
Pharmacotherapy_A Phatophisiologic Approach Sixth edition. Editor,
Dipiro JT., McGraw-hill Medical Companies Inc.
Dahlan, Z., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.
Depkes RI., 2005, Pharmaceutical Care Untuk Infeksi Saluran Pernafasan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Depkes RI (2009). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depertemen Republik
Indonesia
Depkes RI., 2013, Riset Kesehatan Dasar Tahun 20013, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Gleckman, RA., Borrego, F., Adverse Reactions to Antibiotics: Clues for
Recoginizing, Understanding, and Avoid Them, Postgrad Med, 2007,
101: 4.
Gondodiputro, S., 2007, Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan
Tembakau, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.
Guglielmo, BJ., 2001, Infectious Disease, dalam Koda Kimble and Young, L.,Y.,
(eds): Applied Therapeutics, the Clinical Use of Drugs, Lippineot
Williams & Wilkins, Philadelphia. Pp.S4.
Ikawati Z., 2006, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan, Laboratorium
farmakologi dan farmasi klinik bagian farmakologi dan farmasi klinik
Fak., Farmasi UGM, Yogyakarta.
Katzung, B. G., 2012, Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi X, Salemba Medika,
Jakarta.
Kemenkes., 2011, Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik,
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
44
44
Khairudin., 2009, Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien
Pneumonia Yang Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di RSUP DR.
Kariadi Semarang Tahun 2008, Fakultas Kedokteran Universitas
Dipenogoro, Semarang.
Lauralee, Sherwood, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, EGC, Jakarta.
Lionel A. Mandell, Richard G. Wunderink, Antonio Anzueto, John G. Bartlett,
Douglas Campbell, Nathan C. Dean, Scott F. Dowell, Thomas M. File,
Daniel M. Musher, Michael S. Niederman, Antonio Torres, dan Cynthia
G. Whitney, 2007, GuidelInes on the Management of Community-
Acquired Pneumoni in Adults. IDSA Guidelines, America, Pp 22-72,
2007. DOI : 10.1086/511159.
Meltzer, DM., 2002, Medication Errors in Emergency Departement Patients
Admitted with pneumonia, Abstract 127, AmericanCollege of
Emergency Physicans, ACEP Scientifie Assembly.
PDPI, 2003, Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta.
Pireira, L.M., Phillips, M., Ramlal, H., Teemul, K., Prabhakar. P., Third
generation cephalosporin use in a tertiary hospital in Port of Spain,
Trinidad: Need for an antibiotik policy. BMC Infect Dis, 2004;4(1):59.
Robert , F., Miller, Jo Le Noury, Elizabeth, L., Corbetf, J., Mark Felton' dan
Kevin M. De Cock', 2006, Pneumocystis carinii infection: current
treatment and prevention, J. Antimicrob Chemother, 12006, 37(B) : 33-
53.
Rybbak , M.J dan Aesehlimann J.R., 2005, Laboatory test todirect antimicrobial
pharmacotherapy in Pharmacotherapy, A Phatophysiologic Approach
Sixth edition, Editor, Dipiro JT., MvGraw-hill Medical Companies Inc.
Said , M., 2008, Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi I, Badan Penerbit IDAI,
Jakarta.
Stephen, J., 2005, Pneumonia, Bacterial, eMedecIne – Pneumonia, Bacterial,
htm.2005, di akses pada tanggal 28 desember 2015 di
http//:www.emedicine.com/pneumonia
45
45
Subhan, A., 2006, Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia Di
Bangsal Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, Periode
Oktober – Desember 2006, Tesis, Pasca Sarjana Ilmu Farmasi, UGM.,
Yogyakarta.
Tierney , L. M., S. J. McPhee dan M.A. Papadakis, 2002, Diagnosa dan Terapi
(Penyakit Dalam), Salemba Medika, Jakarta.
Tjay, T.H dan Rahardja, K., 2007, Obat – obat Penting : khasiat, penggunaan,
dan Efek- efek sampingnya. Edisi ke VI. Cetakan I, Hal. 263, 270,
Penerbit Gramedia, Jakarta.
World Health Organization, 2012, Guidelines for ATC Classification and DDD
Assignment 2013.
Yudha, 2013, Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia Dengan
Metode Gyssens Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dokter
Moewardi Surakarta Tahun 2013, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Muhamadyah, Surakarta.
46
Lampiran
Lampiran1 . Data Pasien Pneumonia RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun
2014-2015
Pasien
Jenis
usia
Lama Pemeriksaan
darah rutin (obat, dosisdan aturan pakai)
Kelamin Rawat Leukosit (ribu/ul) Antibiotik Waktu
Inap sebelum sesudah
Pemberian
1 L 49th 6 hari 4 3.6 inj. Ceftriakson 2 g/24 jam 5 hari
levofloxacin 500mg (2x1) 5hari
cotrimoxazol 60mg (1x1) 2hari
2 L
65 th
12
hari 6,2 4,0 Ceftriaxone 2gr/24 jam
3 L
59
16
hari 16.7 9.1 gentamicin 80 mg 10hari
inj. Ceftriakson 1 g/24 jam 12 hari
cefixim 100 mg 2x1 Pulang
4 L 65th 6 hari 18.4 10 inj. Ceftriakson 2 g/24 jam 4hari
azitromicin 500 (1dd1) 1 hari
5 L 65 th 9 hari 27.5 15,9 ceftriaxone 2gr/24 jam
ciprofloxacin 200mg/12
jam
6 L 64 th 8 hari 11,8 8,9 Ceftriaxone 2gr/24 jam
Ciprofloxacin 200mg/12
jam
7 L 63th 9 hari 6.7 6,7 Ceftriaxon 2gr/24jam
8 L 53 th 5 hari 6,3 6,3 Ceftriaxone 2gr/24 jam
9 P
60 th
12
hari 3,5 3,6 Inj Ceftriaxone 2gr/24 jam
Inj Levofloxacin 2hari
10 L
57th
13
hari 5.5 2 inj. Ceftriakson 2 g/24 jam 8hari
inj. Gentamicin 80 mg/12
jam 9hari
inj. Metronidazol 500 mg/8
jam 9hari
11 P
22
21
hari 2.5 6.3 inj. Ceftriakson 1gr 2x1
12 L
56
14
hari 24.6 6.9 inj. Ceftriakson 2 g/24 jam
cefixime 100 mg 2x1 Pulang
13 L 65 th 11 10,1 9,0 Inj Ceftriaxone 2gr/24 jam < 3 hari
47
47
hari
14 P
29 th
11
hari 13,0 12,3 Inj Ceftriaxone 2gr/24 jam 11hari
Azithromicin 500mg 1xsehari 1tab 2hari
15 P 39 4 hari 7.5 7.5 ceftriakson < 3hari
cefixime 100 mg
2x1 Pulang
16 L
23 7 hari 10.9 10.9
inj. Ceftriakson 2
g/24 jam 6hari
levoflox 1x1 6hari
cefixime 100 mg
2x1 Pulang
17 Laki - Laki
65 th 5 hari 8,2 8,2
Inj Ceftriaxone
2gr/24 jam < 3hari
18 L
62 th 8 hari 32,1 14,3
Inj Ceftriaxone
2gr/24 jam 7hari
Inj Levofloxacin
750mg/24 jam 7hari
19 P
59 th
10
hari 11,8 11
Ceftriaxone 2gr/24
jam 8 hari
Azithromicin
500mg 1 xsehari 1
tab 8 hari
20 L
24
31
hari 15 7.5
inj. Cetriakson
1g/12 jam < 3hari
21 L
65
11
hari 17 13.7
inj. Ceftriakson
2g/24 jam 4hri
azitromicin 100 1x1 3hari
22 P
27 th
12
hari 11,3 9,5
Inj Ceftriaxone
2gr/24 jam
Inj Levofloxacin
750mg/24 jam
23 L 33 8 hari 11.1 5.8 Ceftriakson 6hari
cotrimoksazol 500
mg/24 jam 5hari
24 P
57 th
15
hari 9,3 9,1
Inj Ceftriaxone
2gr/24 jam
Inj Gentamycin
160mg/24 jam
25 L
61 9 hari 9.5 4.8
inj. Ceftriakson
2g/24 jam
ciprofloxacin 500
mg 2x1
48
48
26
P 36 11hari 8.5 9.6
Ceftriaxon 1gr/12
jam
7hari
27
L
48
8 hari
11
14.4
inj. Levofloxacin
750 mg/24j
2hari
inj. Ceftriakson
2g/24jam 1hari
levofloxacin 500
mg 1x1 5hari
28 P
49 4 hari 7.1 7.1
Ceftriaxon
2gr/24jam
cefixime 2x1 Pulang
29 P
53
13
hari 6.9 6.9
inj. Ceftriakson
2g/24 jam 11hari
cefixime 2x1 Pulang
30 L 51 7hari 3.9 3.9
Ceftriaxon 2 gr/ 24
jam < 3hari
31 L
24 8 hari 3.5 8
inj. Ceftriakson 2
g/24 jam 4hari
19/7 -
26/7
2014
inj. Gentamicin /24
jam 4hari
cefixime 100 mg
2x1 Pulang
32 L
52 th
15
hari 10 10
Inj Ceftriaxone
2gr/24 jam Alergi
Ciprofloxacin
200mg/12 jam
33 L
49th 1 hari 11,1 8,8
Inj Ceftriaxone
2gr/24 jam < 3hari
34 laki-laki 61th
16
hari 7,3 6,9
inj ceftriaxone
2gr/24j 7hari
35 P 50 12hari 3.7 5.1
Inj. Ciprofloxacin
200mg/ 12jam
inj ceftriaxone
2gr/24j
36 P
24th 8hari 11,5 9,7
inj ceftriaxone
2gr/24j
inj metronidazol
500mg/8jam
cefixime 100mg 2xi Pulang
37 L 54th 8hari 10,6 9,8 inj ceftriaxone < 3hari
49
49
2gr/24j
inj levofloxacin
75mg/24j
cefixime 100mg 2xi Pulang
38 P
56th 15hari 4,3 5,8
inj ceftriaxone
2gr/24j <3hari
39 perempuan 22th
13
hari 5,5 5,0
inj ceftriaxone
2gr/24j 4hari
gentamicyn
2amp/24j
40 P
41th 14hari 4,9 2,8
inj ceftriaxone
2gr/24j
inj levofloxacin
75mg/24j
41 L 45 7 hari 15.4 10.3
inj. Ceftriaxon
2g/24 jam
ciprofloxacin
42 P 28 14hari 6.5 7.4
Ceftriaxon
2gr/24jam < 3 hari
43 P
44 th 8 hari 19,6 9,8
Inj Ceftriaxon
2gr/24 jam
Azitromycin
500mg/24 jam
44 P
47
15
hari 18.6 10.2
inj. Ceftriakson
2g/24 jam
25/1 -
8/2
2015
levofloxacin 500
mg 1x1
azitromicin 500 1x1
cefixime 2x1 Pulang
45 L 65 7 hari 9.2
inj. Ceftriaxon
1g/12 jam
46 L 45 7 hari 14 5.7
inj. Ceftriaxon
2g/24 jam Alergi
ciprofloxacin 400
mg/12 jam
azitromicin 500 mg
50
50
1x1
47 P
60
13
hari 37.5 13.5
Inj. Ceftriaxon 2gr/
24jam
Inj. Gentamisin
240mg/24jam
Levoflocaaxin 1 x
500mg
48 Perempuan
43 th
10
hari 13,2 12,7
Inj Ceftriaxon
2gr/24 jam
Inj Gentamicin
160mg/24 jam
49 L
53 8 hari 9.8
inj. Ceftriakson
2g/24 jam < 3 hari
50 P
44 th 6 hari 11,8 7,3
Inj Ceftriaxon
2gr/24 jam
Azitromicin 500mg 1xsehari 1tab 3hari
51 P 37 9 hari 1.8 2.9
inj. Ceftriaxon
2g/24 jam < 3 hari
52 perempuan 31th
21
hari 19,3 10,8
inj ceftriaxone
2gr/24j
ciprofloxacin
200mg / 12 j
cefixime 2x1 Pulang
53 perempuan 61th 8hari 12,5 7,4
inj ceftriaxone
1gr/12 j
< 3 hari
54 L
48 8 hari 14,4 11
inj. Levofloxacin
750 mg/24j
inj. Ceftriakson
2g/24jam
levofloxacin 500
mg 1x1
51
51
Lampiran 2. Leukosit pasien sebelum dan sesudah terapi
No
Pemeriksaan darah rutin
Keterangan WBC (ribu/ul)
sebelum Sesudah
1 4 3.6 Belum normal
2 6,2 4,0 Normal
3 16.7 9.1 turun jadi normal
4 18.4 10 turun jadi normal
5 27.5 15,9 turun belum normal
6 11,8 8,9 turun jadi normal
7 6.7 6.7 Normal
8 6,3 6,3 Normal
9 3,5 3,6 Belum Normal
10 5.5 2 Belum Normal
11 2.5 6.3 Normal
12 10,1 9,0 Normal
13 24.6 6.9 turun jadi normal
14 13,0 12,3 turun belum normal
15 7.5 7,5 Normal
16 10.9 10,9 Normal
17 8,2 8,2 Normal
18 32,1 14,3 turun belum normal
19 11,8 11 turun jadi normal
20 15 7.5 turun jadi normal
21 17 13.7 turun belum normal
22 11,3 9,5 turun jadi normal
23 11.1 5.8 turun jadi normal
24 9,3 9,1 Normal
25 9.5 4.8 Normal
26 8.5 9.6 Normal
27 14,4 11 turun jadi normal
28 7.1 7,1 Normal
29 6.9 6,9 Normal
30 3.9 3,9 Belum Normal
31 3.5 8 Normal
32 10 10 Normal
33 11,1 8,8 Turun jadi normal
34 7,3 6,9 Normal
35 3.7 5.1 Normal
36 11,5 9,7 turun jadi normal
37 10,6 9,8 Normal
38 4,3 5,8 Normal
39 5,5 5,0 Normal
40 4,9 2,8 Belum Normal
41 15.4 10.3 Turun jadi normal
42 6.5 7.4 Normal
52
52
43 19,6 9,8 turun jadi normal
44 18.6 10.2 turun jadi normal
45 9.2 9,2 Normal
46 14 5.7 Turun jadi normal
47 37.5 13.5 Turun belum normal
48 13,2 12,7 turun belum normal
49 9.8 9,8 Normal
50 11,8 7,3 Turun jadi normal
51 1.8 2.9 Belum Normal
52 19,3 10,8 turun jadi normal
53 12,5 7,4 turun jadi normal
54 14,4 11 turun jadi normal
Lampiran 3. Uji Normalitas Kadar Kondisi Klinis
Lampiran 4. Uji Homogenitas Kondisi Klinis
Test of Homogeneity of Variancea
Levene Statistic df1 df2 Sig.
VAR00001 Based on Mean 16.968 1 101 .200
Based on Median 3.671 1 101 .512
Based on Median and with
adjusted df
3.671 1 78.865 .520
Based on trimmed mean 15.492 1 101 .206
a. VAR00001 is constant when waktu sebelum = 22.00. It has been omitted.
Tests of Normality
waktus
ebelum
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
sebelum 1.00 .139 54 .200* .938 54 .179
sesudah 1.00 .075 54 .200* .986 54 .798
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
53
53
Lampiran 5. Uji Normalitas Kadar LEukosit Darah
Lampiran 6. Hasil Transform Uji Normalitas Kadar Leukosit Darah
Sebelum Tarapi
Tests of Normality
waktus
ebelum
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Sebelum 1.00 .146 54 .006 .879 54 .000
Sesudah 1.00 .075 54 .200* .986 54 .798
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Tests of Normality
waktus
ebelum
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
ln_sebelum 1.00 .139 22 .200* .938 22 .179
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Lampiran 7. Uji Homogenitas Kadar LEukosit Darah
Test of Homogeneity of Variance
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
jumlah Based on Mean 13.528 1 106 .225
Based on Median 11.836 1 106 .523
Based on Median and
with adjusted df
11.836 1 65.733 .533
Based on trimmed mean 12.213 1 106 .293
54
54
54
55
55
55