EFEKTIVITAS PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH...
Transcript of EFEKTIVITAS PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH...
i
EFEKTIVITAS PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH
PADA PRODUK MURABAHAH DI BMT KOTA SORONG
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
OLEH
Amalia Karim Seknun
11140460000014
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
ii
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Amalia Karim Seknun
NIM : 11140460000014
Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh strata satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini sudah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan.
4. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau
tanpa izin pemilik karya.
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggungjawab atas karya
ini.
Jika dikemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah
melakukan pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan, ternyata memang
ditemukan bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan ini, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian pernyataan ini saya buat
dengan sesungguhnya.
Ciputat, 17 Januari 2019
Penulis
Amalia Karim Seknun
v
ABSTRAK
Amalia Karim Seknun. NIM 11140460000014. EFEKTIVITAS
PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PRODUK
MURABAHAH DI BMT KOTA SORONG. Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
1439/2019. x + 93 halaman 5 lampiran.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan salah satu indikator penting
dalam mewujudkan tatanan perekonomian syariah yang lebih baik. Kepengawasan
DPS menjadi aktivitas penting untuk mengawasi perkembangan produk-produk di
lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk pada Baitul Maal wat Tamwil
(BMT). DPS pada BMT Al-Hijrah, BMT Aisyiyah, dan BMT Nur Rahmah Kota
Sorong melakukan pengawasan terhadap produk-produk di BMT tersebut
terutama pada produk pembiayaan murabahah. Pembiayaan murabahah kini
menjadi permintaan pembiayaan terbanyak oleh nasabah BMT kota Sorong,
sehingga skripsi ini bertujuan untuk menganalisis bagaimanakah implementasi
akad murabahah yang terjadi pada BMT Kota Sorong dengan kesesuaiannya pada
fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
apakah DPS telah mengawasi akad pembiayaan murabahah ini sesuai dengan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian hukum normatif-empiris dengan menggunakan pendekatan Statue
Approach dan Case Approach yangmana menggunakan teknik pengumpulan data
dengan melakukan kajian dengan cara studi pustaka, studi lapangan dengan corak
wawancara, studi dokumen, dan teknik triangulasi.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi akad
murabahah di BMT Kota Sorong masih belum sesuai dengan yang diatur oleh
fatwa-fatwa DSN MUI dan Peraturan Perundang-undangan. Ketidaksesuain ini
dikarenakan kurangnya evaluasi DPS dalam pengawasan BMT tersebut, sehingga
kepengawasan DPS dalam produk Murabahah di BMT Al-Hijrah, BMT Aisyiyah
dan BMT Nur Rahmah Kota Sorong dapat dikatakan belum efektif.
Kata Kunci : Dewan Pengawas Syariah (DPS), Baitul Maal wat
Tamwil (BMT), Akad Murabahah, dan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesi (SKKNI).
Dosen Pembimbing : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H.
Daftar Pustaka : 1992 s.d 2017
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمان الرحيم
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Pertama-tama penulis panjatkan puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan melimpahkan
segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan dengan seizin Nya. Shalawat serta Salam semoga tercurahkan kepada baginda
Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya dan semoga dapat
menjadi suri tauladan bagi kita semua umat manusia dan semoga kita dapat
mendapatkan syafa‟atnya.
Penulisan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak dalam penyusunannya.
Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada segenap civitas
akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara
khusus pula penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Asep Saifudin Jahar selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Hasan Ali selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah dan
Bapak Abdul Rouf selaku Sekretaris Jurusan Hukum Ekonomi Syariah.
3. Bapak Ah. H. Azharuddin Lathief selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan
Bapak Fathurrahman Djamil selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis
hingga skripsi ini dapat diselesaikan.
4. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Para Pengurus Perpustakaan
Fakultas, dan Para Pengurus Perpustakaan Utama.
5. Para pengurus akademik Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak Guruh, Ibu
Mia, Ibu Senja, Ibu Susi, Ibu Rohaya, Ibu Yanti, Pak Mara dan lain-lain
para pengurus Fakultas Syariah dan Hukum.
6. Bapak Nursono Sidik,Bapak Mungawan, Bapak Syamsul Arifin, Bapak
Siswanto, Mas Hakin, dan Ibu Astini selaku Dewan Pengawas Syariah
BMT Kota Sorong dan Para Manager BMT di Kota Sorong yang sudah
meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan wawancara
yang penulis ajukan dan telah memberikan dokumen yang penulis
butuhkan.
7. Orang Tua tercinta dan tersayang Ayahanda Abdul Karim Seknun dan
Ibunda Dince Ajub yang selalu memberikan dukungannya kepada penulis,
baik dukungan spiritual maupun dukungan material.
vii
8. Abang-abang tercinta Ali Zainal Abidin dan Muslih Muhaimin serta adik
tercinta Dinda Maharani Seknun yang selalu memberikan dukungan baik
spiritual maupun material.
9. Teman-teman penulis, Faa Izah, Syifa Conita, Dina Ismiyanti, Apriyani,
Thoivah, dan Saniyyah serta teman-teman HES angkatan 2014 yang selalu
setia menemani dan memberikan banyak kenangan selama masa-masa
perkuliahan.
10. Teman-teman penulis tercinta yang selalu ada saat suka dan duka, Bens,
Bakrie, Tacki, Ammar, Richard, Ferdian, Nadir, Daffa, Oji, Fathur, Ulum,
Rifqi, Aulia, Amri, Fachri, Mine, Unuy, Indah, dan Leha.
11. Keluarga HMI dan KOHATI KOMFAKSY, Keluarga Lawson, Keluarga
HMPS HES, Keluarga DEMA FSH 2017, Keluarga IKPDN Jakarta, serta
seluruh adik-adik mahasiswa-mahasiswi FSH yang tidak bisa disebutkan
satu persatu yang selalu memberikan semangat dan senyum terbaiknya
kepada penulis.
12. Abang-abang, kakak-kakak, adik-adik terbaik selama masa perkuliahan,
Bang Husnul Qari, Bang Kevin, Bang Ume, Bang Abenk, Bang Zaki,
Bang Aslam, Bang Diaz, Bang Cenna, Bang Binjo, Bang Fawwaz, Ka
Matin, Ka Aam, Ka Nurul, Ka Dendi, Ka Wirda, Riri, Dhea, Yuni, Kiki,
Ayu, Vania, Fanny, Acong, Akmal, Umam, Rikas, Rayhan, Yasin, Kemal,
Dita, Cika, Diah, Fildzah, Juray, Ikhwan, Hafsah, Nina, Uum, Arul, Egar,
dan Arsyad yang selalu memberikan waktu-waktu terbaiknya untuk
penulis.
Terima kasih atas semua dukungan yang telah diberikan oleh orang-orang
yang telah hadir di dalam kehidupan penulis, yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu. Semoga semua dukungan dan kebaikan yang telah kalian berikan
mendapat balasan yang mulia dari Allah SWT dan kita semua selalu berada dalam
lindungan-Nya serta dipermudah segala urusan di dunia maupun di akhirat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh
dari kata sempurna, namun semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Semoga kita semua selalu
berada dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.
Penulis
Amalia Karim Seknun
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 6
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah............................................. 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 7
E. Kajian (review) Studi Terdahulu ................................................ 8
A. Metode Penelitian ........................................................................ 13
B. Sistematika Penulisan .................................................................. 18
BAB II EFEKTIVITAS PENGAWASAN DAN FATWA DALAM
TINJAUAN TEORITIS ................................................................... 20
A. Kerangka Teori ............................................................................ 20
B. Konsep Dewan Pengawas Syariah (DPS) ................................... 26
C. Baitul Maal Wat Tamwil ............................................................. 39
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG IMPLEMENTASI AKAD
MURABAHAH ................................................................................ 44
A. Akad Murabahah ......................................................................... 44
B. Profil BMT Al-Hijrah .................................................................. 62
C. Profil BMT Aisyiyah ................................................................... 64
D. Profil BMT Nur Rahmah ............................................................ 67
ix
BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PENGAWASAN DPS
DENGAN SKNNI NO. 25 TAHUN 2017 ........................................ 70
A. Analisis Pelaksanaan Inventarisasi Bahan Pengawasan DPS
di BMT Kota Sorong sesuai dengan SKKNI No.25 Tahun
2017 ............................................................................................. 71
B. Analisis Pelaksanaan Pengawasan DPS Terhadap Akta
Perjanjian Murabahah di BMT Kota Sorong sesuai dengan
SKKNI No.25 Tahun 2017 .......................................................... 72
C. Analisis Pelaksanaan Pengawasan DPS Terhadap Prosedur
Produk dan/atau Layanan Baru di BMT Kota Sorong sesuai
dengan SKKNI No.25 Tahun 2017 ............................................. 79
D. Analisis Pelaksanaan Pengawasan DPS Terhadap Pemasaran
Produk di BMT Kota Sorong sesuai dengan SKKNI No.25
Tahun 2017 .................................................................................. 81
E. Analisis Pelaksanaan Pengawasan DPS Terhadap Laporan
Keuangan di BMT Kota Sorong sesuai dengan SKKNI No.25
Tahun 2017 .................................................................................. 82
F. Analisis Pelaksanaan Pengawasan DPS Terhadap
Penyusunan Opini Syariah di BMT Kota Sorong sesuai
dengan SKKNI No.25 Tahun 2017 ............................................. 85
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 87
A. Kesimpulan .................................................................................. 87
B. Rekomendasi ............................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI)
PengawasanSyariah .......................................................................... 34
Tabel 2.2 Ruang Lingkup Pengawasan ........................................................... 35
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kegiatan Usaha KSPPS/USPPS Koperasi ..................................... 35
Gambar 3.1 Skema Pembiayaan Murabahah ..................................................... 47
Gambar 3.2 Akad murabahah li al-amir bi al-syira‟ .......................................... 60
Gambar 3.3 Akad Murabahah di LKS versi Fatwa DSN-MUI. ........................ 60
Gambar 3.4 Produk murabahah ......................................................................... 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai cita-cita yakni untuk
menyejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia secara merata
dan berkeadilan, sesuai dengan amanat pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Dengan cita-cita negara yang
seperti ini, dapat diwujudkan dengan memberikan kesehjateraan
perekonomian yang baik kepada warga negara Indonesia tanpa terkecuali baik
dari daerah yang terpencil maupun daerah yang telah maju pesat, baik dari
kepulauan yang terkecil sampai pulau yang paling besar.
Maka itu, perlu diperhatikan bahwa masih banyak perekonomian
daerah-daerah yag jauh dari pengamatan pemerintahan, sehingga harus
adanya kebijakan-kebijakan yang menjadi pembaharu untuk dapat
mewujudkan cita-cita Indonesia. Perekonomian yang tumbuh dengan pesat
juga tidak luput dari berbagai macam transaksi yang dilakukan setiap individu
di negeri ini. Dari transaksi yang berbasis konvensional sampai dengan
transaksi yang berbasis syariah. Transaksi berbasis syariah mulai
menunjukkan perkembangan yang pesat yang mampu disetarakan dengan
transaksi yang bersifat konvensional.2
Terjadinya transaksi syariah ini merupakan peningkatan terhadap
mekanisme pada transaksi konvensional yang tidak sesuai dan bertentangan
dengan Hukum Islam. Maka dengan peningkatan ini, muncul berbagai
lembaga keuangan makro maupun mikro syariah. Tidak bisa dinafikkan
bahwa perkembangan lembaga mikro syariah tumbuh cepat, baik bank
maupun non bank. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya koperasi syariah
dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) yang muncul di tengah masyarakat.3
1Pembukaan UUD 1945
2Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wat Tamwil, (Jakarta:UUI Pres, 2004), h.129.
3Abdul Aziz, Hisyam Faturrahman, Nugraha, “Peran DPS dalam pengawasan Operasional
BMT” , (Vol.III No.II, 2015), h. 21.
2
BMT ini muncul bukan hanya di daerah-daerah pusat yang telah
berkembang, tetapi juga daerah-daerah terpencil di ujung pulau yang
menandakan telah adanya kemajuan perekonomian yang bersifat syariah.
Salah satunya adalah di daerah Papua Barat yakni Kota Sorong telah berdiri
empat BMT yang membantu aktivitas ekonomi masyarakat kota Sorong,
sebagaimana yang diketahui bahwa Papua-Papua Barat adalah daerah yang
berdomisili dengan keyakinan yang dianut sebagian besarnya adalah non
muslim, tetapi aspek syariah kini dapat berdiri di tengah-tengah Kota
tersebut. BMT sebagai bagian instrument pengembang aktivitas di bidang
ekonomi, juga mengalami beragam tantangan yang dihadapi system
keuanganislam seperti aspek teoritis, operasional, maupun implementasi.4
Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) merupakan pelaku ekonomi baru
dalam kegiatan perekonomian nasional yang beroperasi dengan menggunakan
prinsip syariah dimana Baitul Maal Wat Tamwil bersifat sosial, namun dalam
pelaksanaannya juga berorientasi untuk kepentingan bisnis namun
operasional dan transaksi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam
Hukum Islam.5 BMT didirikan dari, oleh, dan untuk masyarakat setempat
sehingga mengakar pada masyarkat dan perputaran dana semaksimal
mungkin digunakan.
Kemudian untuk menjaga agar BMT ini tidak menyimpang dari rambu-
rambu yang telah diatur maka harus ada kepengawasan tentang hal tersebut.
Perlunya pengawasan tersebut dibutuhkannya Dewan Pengawas Syariah
(DPS), seperti halnya yang ada pada perbankan syariah. Peraturan yang
menyebutkan bahwa lembaga keuangan yang menjalankan bidang usahanya
berdasarkan prinsip syariah harus terdapat Dewan Pengawas Syariah di
dalamnya, khususnya pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.6
Tugas dan fungsi DPS pada BMT tidak jauh berbeda dengan apa yang
terdapat pada perbankan. Dewan Pengawas Syariah ini diberi kewenangan
4Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam : Teori dan Praktek, terj.Oleh
A.K. Anwar, (Jakarta:Prenada Media Group, 2008), h. 373. 5Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wat Tamwil, (Jakarta:UUI Pres, 2004), h. 34.
6Heri Sudarsono, Bank& Lembaga Keuangan Syariah, Deskrpsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta:Ekonisia,2004), h. 45.
3
untuk mengawasi dan mengarahkan aktivitas lembaga keuangan tersebut agar
tetap berada pada koridor yang ditetapkan Hukum Islam. Permasalahan yang
kemudian timbul yaitu apakah DPS yang ada pada BMT sekarang ini telah
mengawasi prosedur sesuai dengan syariat serta tidak melanggar aturan-
aturan yang terdapat di dalam Hukum Islam.7
Beberapa tahun terakhir ini lembaga keuangan syariah dihantam berita-
berita kurang baik soal pelaksanaan tata kelola dan pengawasan yang ternyata
dapat dibobol dan dipermainkan bahkan oleh pihak internal sendiri.
Lemahnya pengendalian internal ini disinyalir dari kurang kuatnya sistem
pengawasan yang dijalankan oleh entitas tersebut. Namun yang lebih
disayangkan lagi, adalah nama besar syariah yang diusungnya, yang
kemudian menjadi demikian tercemar. Meski yang dibenturkan adalah resiko
operasionalnya, sisi syariah tetap saja dipertanyakan. Sebab untuk kesekian,
lembaga ini diuji, bahwa entitas syariah juga ternyata tidak kebal dari moral
hazard.8
Mohammad Hudaib, dari University of Glasglow, UK, dalam sebuah
diskusi yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam (STEI)
SEBI, Depok, mengkritik pelaksanaan pengawasan syariah yang selama ini
hanya mengandalkan komite syariah atau Dewan Pengawas Syariah.
Sementara manajemen sendiri tidak memiliki kapabilitas syariah yang cukup.
Beliau menyampaikan bahwa setidaknya ada empat, isu utama yang menjadi
tantangan penerapan pengawasan atau audit syariah di lembaga keuangan
syariah. Meliputi, masih terpisahnya pelaksanaan audit syariah dan
konvensional, masih lemahnya independensi auditor syariah, kurang jelasnya
ruang lingkup audit syariah, serta kompetensi dan kualifikasi dari pelaksana
audit syariah itu sendiri yang perlu ditingkatkan.9
Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha lebaga keuangan
syariah dan bank agar tidak menyimpang dari prinsip syariah yang telah
7Abdul Latif, “Mekanisme Pengawasan Dewan Pengawas Syariah pada BMT Tumang”,
(Vol.III no.III, 2017), h. 14. 8Diakses tanggal 28 November 2016 dalam Mysharing.co/Dewan-Pengawas-Syariah-Saja-
Tidak-Cukup. 9Diakses tanggal 28 November 2016 dalam Mysharing.co/Dewan-Pengawas-Syariah-Saja-
Tidak-Cukup.
4
difatwakan oleh DSN. Pengawasan yang dilakukan oleh DPS mengalami
kesulitan dikarenakan banyak faktor, seperti anggota DPS yang tidak
menguasai fiqh muamalah terapan dan penguasaan ilmu ekonomi dan
keuangan khususnya perbankan. 10
Kesalahan dalam penetapan DPS di Indonesia adalah mengangkat DPS
yang sangat terkenal dari organisasi masyarakat (ormas) Islam atau terkenal
dalam ilmu agamanya (ulama), tetapi tidak berkompeten dalam bidang
ekonomi perbankan dan keuangan syariah, akibatnya pengawasan dan peran-
peran strategis lainnya sangat tidak optimal.
Dewan Pengawas Syariah juga harus memiliki ilmu yang terkait
dengan perbankan syariah seperti ilmu ekonomi moneter misalnya, dampak
bunga terhadap investasi, produksi, unemployment. Dampak bunga terhadap
inflasi dan volatilitas currency. Maka dari itu, peran dan fungsi DPS
sangatlah penting dalam rangka menjaga kemurnian ajaran islam dalam
bermuamalah dan dalam praktik perbankan, sehingga belum optimalnya
peran DPS memungkinkan terjadinya pelanggaran aspek syariah dalam
kegiatan usaha keuangan syariah.
Banyak kasus yang menyimpang yang terjadi pada lembaga keuangan
syariah dari kurangnya peran Dewan Pengawas Syariah seperti adanya DPS
dalam melakukan pertemuan dengan manajemen seminggu sekali, tapi ada
juga yang dalam setahun tidak pernah muncul. Kisah kurang aktifnya para
Dewan Pengawas Syariah mengakibatkan manajemen yang mengelola
lembaga keuangan syariah mendasarkan operasionalnya kepada
pengetahuannya sendiri yang tentunya terbatas. Hal ini dapat menimbulkan
pertanyaan akan keabsahan operasional di mata masyarakat.
Para dewan pengawas syariah yang kurang aktif tentu tanpa sebab.
Petama, bisa jadi DPS yang ditempatkan di lembaga keuangan syariah
tersebut adalah tokoh masyarakat yang sangat sibuk sehingga tidak punya
waktu untuk mengawasi laporan dari manajemen. Kedua, DPS yang merasa
10
Abdul Aziz, Hisyam Faturrahman, Nugraha, “Peran DPS dalam pengawasan Operasional
BMT “, (Vol.III No.II, 2015), h. 22.
5
kurang pengetahuannya dalam bidang itu sehingga menyerahkan saja
sepenuhnya masalah lembaga keuangan syariah kepada manajemen. Padahal,
DPS biasanya terdiri dari ulama yang memiliki spesialisasi dalam fiqh
muamalah maaliyah atau hukum syariah mengenai transaksi yang
berhubungan dengan utang-piutang dan sejenisnya.11
Adapula yang DPS nya memang selalu hadir dalam pertemuan
seminggu sekali dan mengkaji kajian ekonomi syariah dengan para
manajemennya dalam dua atau tiga bulan sekali, namun tetap saja hasil dari
kegiatan tersebut tidak berimpek kepada pembiayaan yang diterapkan oleh
manajemennya di BMT itu sendiri. Salah satu contohnya adalah, DPS yang
berada di daerah Papua-Papua Barat tidak bersertifikasi Dewan Syariah
Nasional (DSN) karena kurangnya pemahaman yang memumpuni soal
hukum ekonomi Syariah. Ditambah lagi, kurangnya pengetahuan dari
manajemen itu sendiri, sehingga kurangnya kesesuaian dalam penerapan
pembiayaan syariah yang berada di BMT-BMT kota Sorong.
Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik
untuk membahas masalah keefektivitasan pengawasan Dewan Pengawas
Syariah (DPS) pada produk Murabahah di BMT kota Sorong, Papua Barat.
Karena pada dasarnya pembiayaan murabahahlah yang paling banyak
digunakan di BMT Kota Sorong. Terdapat tiga BMT di kota Sorong yang
akan menjadi objek penelitian ini. Dalam observasi pertama yang dilakukan
penulis, ketiga BMT ini masing-masing memiliki tiga orang Dewan
Pengawas Syariah. Dari permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap evektivitas pengawasan DPS dengan
mengambil judul : “EFEKTIVITAS PENGAWASAN DEWAN
PENGAWAS SYARIAH PADA PRODUK MURABAHAH DI BMT
KOTA SORONG”.
11
Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam: Catatan kritis Terhadap
Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, (Tanggerang: Shuhuf Media Insani,
2012), h. 252-253.
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis
mengidentifikasi adanya masalah yang diantaranya adalah :
1. Bagaimanakah peran dan wewenang DPS di Lembaga Keuangan
Syariah ?
2. Apakah penunjukan DPS sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur ?
3. Bagaimana cara DPS mengawasi kegiatan usaha yang berprinsip
syariah ?
4. Apa saja akad-akad pembiayaan yang digunakan oleh BMT Kota
Sorong ?
5. Apakah mekanisme akad pembiayaan yang digunakanoleh BMT Kota
Sorong sudah sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia ?
6. Apakah semua lini baik DPS maupun manajemen BMTtelah
mengetahui ketentuan dan mekanisme akad-akad pembiayaan yang
digunakan oleh BMT Kota Sorong ?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Setelah latar belakang dan identifikasi masalah diuraikan, untuk
membuat penelitian ini menjadi lebih terarah, pembatasan masalah perlu
dilakukan. Untuk memfokuskan penelitian dan memudahkan proses
analisis, maka penelitian ini dibatasi hanya dengan membahas tentang
efektivitas pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) terhadap produk
murabahah di BMT Kota Sorong berdasarkan Peraturan Menteri
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 2017 Tentang Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonsesia (SKKNI). Hal ini mencakup peran,
pelaksanaan, serta kendala yang terjadi di dalam BMT Kota Sorong
selama melaksanakan regulasi tersebut. BMT kota Sorong yang menjadi
fokus penelitian yakni pada BMT Al-Hijrah, BMT Aisyiyah, dan BMT
Nur Rahmah.
7
2. Rumusan Masalah
Berikut merupakan perumusan masalah penelitian yang dirincikan
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah kesesuaian akad murabahah di BMT kota Sorong
dengan Fatwa DSN MUI tentang Murabahah ?
b. Bagaiamanakah mekanisme pengawasan DPS terhadap produk
Murabahah di BMT kota Sorong ? apakah sudah efektif sesuai dengan
Surat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 2017
Tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonsesia (SKKNI) ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a) Tujuan Umum
1) Secara umum, tujuan penelitian atas beberapa permasalahan
yang telah dipaparkan di atas untuk mengetahui dan memahami
efektivitas suatu pengawasan DPS terhadap produk Murabahah
di BMT kota Sorong. Yakni pada BMT Al-Hijrah, BMT
Aisyiyah, dan BMT Nur Rahmah.
b) Tujuan Khusus
Secara khusus, tujuan penelitian atas beberapa permasalahan
yang telah dipaparkan di atas untuk:
1) Mengetahui kesesuaian akad murabahah di BMT kota Sorong
dengan Fatwa DSN MUI tentang Murabahah.
2) Mengetahui mekanisme pengawasan DPS terhadap produk
Murabahah di BMT kota Sorong dan efektivitas pengawasan
DPS terhadap produk Murabahah di BMT kota Sorongsesuai
dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 25 Tahun
2017 Tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonsesia
(SKKNI).
8
2. Manfaat Penelitian
Pada permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, diharapkan
dapat memberikan beberapa manfaat. Terdapat dua hal yang dapat
memberikan manfaat dari penilitian ini, yaitu manfaat secara teoritis dan
praktis.
a) Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat serta
pembelajaran kepada para pihak yang akan melakukan penelitian pada
bidang Hukum Ekonomi Syariah terkait keefektivitasan pengawasan
DPS terhadap produk Murabahah di BMT kota Sorong berdasarkan
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 2017 Tentang
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonsesia (SKKNI).
b) Manfaat Praktis
Penelitian ini, secara praktis diharapkan bisa memberikan
manfaat bagi penulis guna menambah wawasan dan pengetahuan
sertamenambah rujukan kepada para praktisi dalam mengevaluasi
perkembangan pengawasan DPS terhadap produk BMT maupun
melihat kemajuan dari BMT sebagai perekonomian masyarakat di
Kota Sorong. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan kepada masyarakat tentang efektivnya suatu
kepengawasan terhadap produk di BMT kota Sorong, sehinnga mampu
mewujudkan perkembangan dan kemajuan perekonomian di daerah itu
sendiri maupun negara sesuai pada cita-cita yang terdapat pada pilar
bangsa.
E. Kajian (review) Studi Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian yang membahas mengenai efektivitas
pengawasan DPS terhadap produk di BMT oleh para akademisi. Agar
penelitian yang dilakukakn penulis mengenai pengawasaan ini tidak sama
dengan penelitian sebelumnya, maka penulis mencari data serta memahami
penelitian yang sudah ada. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari adanya
9
kesamaan dengan penelitian sebelumnya dan penulis akan menyertakan
beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai pembanding mengenai penelitian
yang akan penulis bahas. Adapun penelitian terdahulu sebagai berikut:
Penulis yang bernama Ulfa Fauziah, dengan judul jurnal “Analisis
Peranan Dewan Pengawas Syariah (DPS) Terhadap produk BMT As-
Syafi’iyyah Gisting Tanggamus Menurut Etika Kerja Islam” Tahun 2017.
Membahas tentang tugas dan fungsi dewan pengawas syariah pada lembaga
keuangan syariah yakni BMT As-Syafi‟iyyah Gisting Tanggamus. Pembinaan
dan pengawasan BMT dilakukan oleh DPS terkait dengan pemenuhan prinsip
atau produk dan lembaga keuangan syariah. Namun apakah DPS telah
melaksanakan setiap tugasnya dengan baik dan mengawasi prinsip syariah
yang disusun oleh BMT. Bahwa tugas pokok dewan pengawas syariah KJKS
BMT sebenarnya telah disebutkan secara jelas dalam Standar Operasional
Prosedur (SOP) KJKS yang tertuang dalam peraturan Mentri Negara
Koperasi Dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesai Nomor:
35.2/Per/Mkum/X/2007. Peran utama para ulama dalam DPS adalah
mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku
di BMT sangat khusus dibanding bank konvensional. Karena itu diperlukan
garis panduan yang mengaturnya. Garis panduan itu disusun dan ditentukan
oleh DSN.
Salah satu yang masih menjadi tanda tanya di lapangan adalah tugas
pokok DPS pada KJKS BMT, kebingungan dan ketidakjelasan ini
menjadikan sebagian besar DPS menjadi pasif dan memposisikan diri hanya
sebagai konsultan syari‟ah padahal berbeda tugas pokok konsultan syariah
dengan pengawas syariah. Dengan demikian, bahwa DPS yang ada pada
BMT As-Syafi‟iyyah Gisting Tanggamus fungsi sebagai DPS jauh dari
optimal. Banyak diantaranya anggota DPS tidak berperan sama sekali
mengawasi operasional perbankan atau lembaga syariah tersebut. Hal ini
disebabkan dari beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja, tugas,
wewenang, dan tanggungjawab DPS dalam mengawasi produk-produk di
10
BMT tersebut. Fenomena yang ada pada BMT ini bahwa peran DPS tidak
sesuai dengan kewajibannya.
Pada jurnal ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang diteliti oleh
penulis, yakni pada keefektivitasan pengawasan DPS. Keefektivitasan
pengawasan DPS ini akan diukur dengan kepatuhan syariahnya, bukan hanya
pada peran dan fungsi DPS pada BMT tersebut. Perbedaan yang sangat jelas
pula pada objeknya yakni BMT kota Sorong yangmana terdiri dari empat
BMT. Akan dihimpun hasil keefektivitasan pengawasan DPS terhadap satu
akad yang berada di keempat BMT di kota Sorong tersebut dengan tolak ukur
yang dipakai adalah kepatuhan syariah itu sendiri.
Penulis yang bernama Sofiyah dengan judul jurnal “Analisis
Efektivitas Keputusan DSN-MUI No.3 Tahun 2000 Berkaitan dengan
Dewan Pengawas Syariah di Baitul Mal Wa Tamwil Studi Kasus di BMT
Magelang” Tahun 2012. Membahas tentang upaya untuk menelaah dan
menganalisa kembali efektivitas Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000
berkaitan dengan DPS di Lembaga Keuangan Syariah. Kemudian keputusan
DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 ini masih berkaitan dengan DPS di LKS efektif
untuk dilaksanakan pada BMT atau tidak. Maka analisis ini menunjukkan
bahwa Keputusan DSN-MUI No.3 tahun 2000 berkaitan dengan DPS yang
ada di BMT belum mampu memenuhi sebagian persyaraan penetapan
anggota dewan pengawas syariah diantaranya syarat tiap anggota BMT
minimal memiliki tiga orang DPS serta syarat untuk memenuhi kelayakan
sebagai Dewan Pengawas Syariah harus memiliki surat/sertifikasi dari DSN.
Selain itu, keberadaan DSN baru sebatas memayungi hukum lingkup lembaga
keuangan makro, sementara itu, lembaga keuangan mikro belum terlingkupi
olehnya.
Pada jurnal ini terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan ditulis
oleh penulis yakni penulis akan membahas tentang efektivitasnya
pengawasan DPS terhadap produk di BMT kota Sorong, yangmana tolak
ukurnya ada pada kepatuhan syariahnya. Kemudian tidak hanya terfokus pada
Keputusan DSN-MUI No.3 Tahun 2000 saja, karena dengan adanya
11
Keputusan Menteri Koperasi No. 2 Tahun 2017 yang baru, maka menjadi
regulasi yang kuat terkait kepengawasan DPS pada BMT itu sendiri.
Penulis yang bernama Devika Refgiani, dengan Judul “Efektivitas
Pengawasan Penerapan Prinsip Syariah Oleh Dewan Pengawas Syariah
(Studi Kasus pada BPRS Amanah Sejahtera)” Tahun 2016. Membahas
tentang efektivitas pengawasan penerapan prinsip syariah dengan pendekatan
dari penilaian informan. Yangmana informan memiliki pertimbangan lain
dalam menilai efektivitas pengawasan oleh DPS. Pertimbangan dalam menilai
pengawasan DPS adalah bagaimana DPS sendiri telah melakukan
pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan dengan baik. Kemudian DPS juga
menjalankan pengawasan dengan kemampuan terbaiknya. DPS juga
memberikan prioritas kepada BPRS Amanah Sejahtera dan memberikan
kemudahan dalam komunikasi.
Jurnal diatas memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan ditulis
oleh peneliti, yakni pada jurnal ini akan meneliti pada BMT kota Sorong
bukan pada BPRS. Kemudian penilaian DPS bukan hanya pada penilaian
informan melainkan pada kepatuhan syariah. Pada jurnal ini juga akan
menjadikan keputusan Mentri Ketenagakerjaan sebagai landasan hukum
untuk mengkur keefektivitasan pengawasan DPS pada produk di BMT kota
Sorong.
Penulis yang bernama Abdul Latif, dengan judul “Mekanisme
Pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada Baitul Mal Wat
Tamwil (BMT) Tumang”. Tahun 2017. Membahas bahwa mekanisme
pengawasan DPS di BMT Tumang melakukan pengawasan setiap bulannya,
yakni tiga kali dalam satu bulan. Proses mekanisme pengawasan DPS atas
penerapan prinsip syariah di BMT Tumang dilakukan secara on the spot, tiba-
tiba DPS datang untuk melihat dan meminta data. mekanisme pengawasan
DPS di BMT Tumang melakukan pengawasan setiap bulannya, yakni tiga
kali dalam satu bulan. Proses mekanisme pengawasan DPS atas penerapan
prinsip syariah di BMT Tumang dilakukan secara on the spot, tiba-tiba DPS
datang untuk melihat dan meminta data. Aktivitas DPS pada BMT ini murni
12
pengawasan, dalam praktiknya ke cabang-cabang BMT Tumang agenda
dengan audit internal. DPS juga turut menjadi bagian untuk menyusun SOP
pada BMT tersebut.
Jurnal diatas memiliki perbedaan dengan penelitian yang diteliti oleh
penulis yakni, penulis akan membahas tentang keefektivitasan pengawasan
DPS pada produk di BMT kota Sorong, yangmana akan mencakup
mekanisme DPS tetapi berkesimpulan pada keefektivitassannya. Mekanisme
pengawasan DPS nantinya akan menjadi tolak ukur saja. Karena pada
mekanisme hanya membahas bagaimana cara kerja atau aturan main dalam
kepengawasan DPS itu sendiri, sedangkan keefektivitasan kepengawasan
DPS pada produk BMT di Kota Sorong membutuhkan lebih daari itu, harus
pada kesesuaian Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 2017
Tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
Penulis yang bernama Khotibul Umam, dengan judul “Urgensi
Standarisasi Dewan Pengawas Syariah dalam Meningkatkan Kualitas
Audit Kepatuhan Syariah”. Tahun 2015. Membahas Standarisasi Dewan
Pengawas Syariah perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat kapasitas
mereka sebagai audit kepatuhan yariah yang memberikan jaminan kepada
masyarakat atas kehalalan investasi dan aktivitas ekonomi di lingkungan
lembaga keuangan syariah. Keberadaan standarisasi DPS akan menjadi suatu
keniscayaan mengingat bentuk jasa yang diberikan oleh DPS menyangkut
penegasan tentang suatu kualitas pernyataan kesesuaian syariah yang harus
mempertanggungungjawabkan asersi tersebut kepada pihak lain, baik kepada
masyarakat maupun kepada regulator yang mengawasi kinerja dan
perkembangan lembaga keuangan syariah seperti DSN, BI maupun OJK.
Dengan memasukkan syariah kedalam sekolah profesi di perguruan tinggi,
niscaya akan dapat meningkatkan profesionalisme DPS.
Jurnal diatas memiliki perbedaan dengan penelitian yang diteliti oleh
penulis yakni, penulis akan membahas tentang keefektivitasan pengawasan
DPS pada produk di BMT kota Sorong, bukan pada urgensi standarisasi DPS
itu sendiri. Walaupun penulis akan membahas keefektivitasan pengawasan ini
13
diukur pada kepatuhan syariah, sepeerti yang dibahas oleh jurnal diatas, tetapi
penulis menekankan pada Efektivitas kepengawasan yang dilakukan oleh
DPS pada produk BMT di kota Sorong
Penulis yang bernama Abdul Aziz, Hisyam, Nugraha dengan judul
jurnal “Peran Dewan Pengawas Syariah dalam Pengawasan Operasional
Baitul Mal Wat Tamwil (Studi di BMT Alfa Dinar Karanganyar)” Tahun
2017. Membahas tentang Dewan Pengawas Syariah yang menjalankan tugas
dan wewenangnya dengan cukup baik. Karena proses pengawasan dari DPS
telah dilakukan sesuai patokan. Mulai dari mengawasi kesesuaian kegiatan
operasional BMT terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI serta
pedoman Akad Syariah BMT, dan juga penilaian aspek syariah terhadap
pedomann operasional dan produk yang dikeluarkan oleh BMT. Pengawasan
ini meliputi pemeriksaan terhadap jenis akad yang akan diterapkan pada
produk BMT agar tidak terjadi penyimpangan transaksi syariah, serta
pengawasan pada saat proses transaksi sedang dilakukan.
Pada jurnal ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang diteliti oleh
penulis, yakni pada keefektivitasan pengawasan DPS. Keefektivitasan
pengawasan DPS ini akan diukur dengan kepatuhan syariahnya, bukan hanya
pada peran dan fungsi DPS pada BMT tersebut. Perbedaan yang sangat jelas
pula pada objeknya yakni BMT kota Sorong yangmana terdiri dari empat
BMT. Akan dihimpun hasil keefektivitasan pengawasan DPS terhadap satu
akad yang berada di keempat BMT di kota Sorong tersebut dengan tolak ukur
yang dipakai adalah kepatuhan syariah itu sendiri. Pada jurnal diatas
membahas peran DPS pada operasionalnya jadi secara keseluruhan, tidak
seperti yang akan dibahas oleh penulis yangmana hanya mencakup pada satu
akad di BMT kota Sorong.
C. Metode Penelitian
Penelitian (research) berarti pencarian kembali, yaitu pencarian
terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah) dan hasil dari pencarian tersebut
14
digunakan untuk menjawab permasalahan tertentu.12
Penelitian pada dasarnya
adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah
bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran
ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada.13
Inti daripada metodelogi dalam setiap penelitian hukum adalah
menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus
dilakukan. Disini peneliti menentukan metode apa yang akan diterapkan, tipe
penelitian yang dilakukan, metode populasi dan sampling, bagaimana
pengumpulan data akan dilakukan serta analisis yang dipergunakan. Seorang
peneliti sebelum melakukan penelitian dituntut umtuk menguasai dan dapat
menerapkan metodologi penelitian hukum dengan baik.14
Agar penelitian ini memiliki metode yang sesuai dalam penelitian yang
akan dilakukan. Oleh karena itu, pada bab ini akan membahas mengenai
metode penelitian hukum yang digunakan, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini jelas penelitian yang digunakan adalah jenis
penelitian hukum normatif-empiris. Jenis penelitian hukum normatif
empiris ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara jenis penelitian
hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris.
Metode penelitian normatif-empiris adalah sebuah implementasi ketentuan
hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa
hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Hukum empiris normatif, yaitu pendekatan yang bergerak dari teori
ke fakta/pengalaman untuk menguji kebenaran teori atau teori sebagai
pintu masuk ke dalam permasalahan. Pendekatan ini diarahkan kepada
identifikasi terhadap hukum nyata yang berlaku sepenuhnya di dalam
perundangan atau yang diuraikan dalam kepustakaan dan diarahkan
12
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm.19 13
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.2 14
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.17
15
kepada efektivitas hukum itu dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan ini
melakukan pengamatan langsung ke lapangan.
Penelitian hukum pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang berdasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum
tertentu dengan jalan menganalisisnya.15
Mengenai penelitian normatif hanya ditujukan pada peraturan
tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan
karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada
perpustakaan. Dalam penelitian hukum normatif hukum yang tertulis
dikaji dari berbagai aspek seperti teori, filosofi, perbandingan, struktur
atau komposisi, konsistensi, penjelasan umum dan penjelasan pada tiap
pasal, formalitas, dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta
bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum.16
Sedangkan penelitian empiris yang menjadikan hukum sebagai
refleksi pengalaman manusia yang mana penelitian empiris
memperhatikan orang-orang yang terlibat, lokasi suatu kasus terjadi, dan
waktu penelitian. Penelitian empiris merupakan penelitian yang bergerak
dari teori ke fakta atau pengalaman untuk menguji kebenaran teori atau
teori sebagai pintu masuk ke permasalahan. Model penelitian ini disebut
dengan aliran deduktif.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan ini peneliti akan menggunakan pendekatan
perundang-undangan atau Statue Approach, karena yang akan diteliti
adalah sebagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus pusat dari
suatu penelitian.17
15
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 83. 16
Metode Penelitian Hukum Empiris dan Normatif, ID, Tesis, https://idtesis.com/metode-
penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/, 14 April 2018. 17
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media,
2006), h. 302.
16
Penulis juga menggunakan pendekatan Case Approach atau
pendekatan khusus, pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah
pada kasus-kasus yang berkaitan dengan keefektivitasan Dewan Pengawas
Syariah. Dengan pendekatan ini penulis mengumpulkan dan memaparkan
data yang diperoleh dengan melakukan studi lapangan (Field research)
dan penelitian kepustakaan dengan cara mengadakan wawancara, yang
kemudian hasil penelitian tersebut akan dipaparkan oleh penulis dalam
bentuk kata-kata tanpa menggunkan data angka.
3. Data Penelitian
Adapun kriteria dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
a. Data primer, merupakan data utama untuk menjadikan keabsahan dari
skripsi ini, berupa data observasi dengan cara melakukan wawancara
kepada BMT yang ada di kota Sorong yakni BMT Al-Hijrah, BMT
Aisyiyah, dan BMT Nur Rahmah. Bahkan hukum primer dalam
penelitian ini ialah fatwa-fatwa DSN MUI dan Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 2017 Tentang Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
b. Data sekunder, merupakan data yang bersumber dari literatur
kepustakaan yakni dari sumber Al-Qur‟an , Hadist, buku-buku ilmiah,
kitab-kitab, makalah-makalah, dan bahan bacaan lainnya yang
berkaitan erat dengan skripsi ini.Serta data hukum primer atau bahan
hukum lainnya yang bersifat mengikat dan hukum sekunder yaitu
bahan hukum yang melengkapi data hukum primer seperti rancangan
perundang-undangan. Adapun bahan hukum tersier yaitu bahan hukum
yang berupa informasi yang tersaji melalui media.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhan dalam
penelitian ini, penulis melakukan kajian dengan cara :
17
b. Studi Pustaka, studi pustaka ialah serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat serta mengolah bahan penelitian.18
Dengan teknik
pengumpulan studi pustaka ini digunakan untuk mendapatkan acuan
teori dalam mempelajari serta melengkapi data yang akan digunakan
dalam penulisan skripsi. Data-data yang digunakan diperoleh dari
mempelajari berbagai macam teori yang diperoleh dari membaca dan
mempelajari beberapa literatur, buku-buku, dan catatan yang sesuai
dengan pembahasan yang akan diteliti.
c. Studi lapangan, studi lapangan adalah studi yang dilakukan langsung
oleh penulis untuk mendapatkan data yang akurat. Studi ini dilakukan
bertujuan untuk mendapatkan data primer yang merupakan data utama
dalam penelitian ini. Studi lapangan yang dilakukan penulis berupa
upaya observasi dengan melakukan wawancara dengan pihak terkait
serta dengan melakukan pengumpulan data-data yang diperoleh
langsung dari studi lapangan yang dilakukan.
d. Studi dokumentasi, studi dokumentasi adalah suatu teknik
pengumpulan data melalui cara mempelajari dokumen yang terkait
dengan bahan penelitian. Tujuan dari studi dokumentasi ini ialah untuk
mendapatkan data atau informasi yang berhubungan dengan rumusan
masalah yang telah dirumuskan. Studi dokumentasi ini dilakukan
dengan cara mengumpulkan data-data pendukung yang berkaitan
dengan data utama pada penelitian ini, yakni berupa data yang ditulis
oleh lembaga terkait, catatan, buku, surat kabar, laporan tahunan
lembaga, dan lain sebagainnya.
e. Triangulasi, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data
yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data
dan sumber data yang telah ada. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan teknik triangulasi teknik, yang berarti penulis
menggunakan tenik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk
mendapatkan dari data sumber yang sama. Penulis menggunakan
18
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,2008), h.3.
18
observasi partisipatif, wawancara, dan dokumentasi untuk sumber data
yang sama secara serempak.19
5. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam tulisan ini adalah efektivitas pengawasan
DPS pada produk Murabahah di BMT kota Sorong. Berdasarkan sumber
penelitian pada tulisan ini yang menggunakan data sekunder berupa
hukum primer UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, UU No.1
Tahun 2013 Tentang LKM dan Keputusaan Menteri Koperasi No.
02/PER/M.UKM/II/2017, Fatwa-fatwa DSN MUI dan Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 2017 Tentang Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonsesia (SKKNI).
Bogdan dan Taylor, mereka menjelaskan bahwa analisis data
adalah proses yang merinci usaha formal untuk menemukan tema dan
merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai
usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa analisis data adalah telaah terhadap data-data
yang sudah diperoleh kemudian membandingkannya dengan teori-teori
yang ada.20
Data yang sudah diperoleh dalam penelitian ini secara konkrit akan
dihubungkan dengan teori yang ada. Sehingga data tersebut bisa
disimpulkan sesuai dengan pembahasan masalah dalam penelitian ini.
Penelitian ini juga dapat dianggap sudah sesuai antara data hasil penelitian
dengan teori yang digunakan dan dapat dikatakan sebagai hasil yang
konkrit.
D. Sistematika Penulisan
Penulisan proposal skripsi ini disusun secara sistematis menjadi lima
babyang terdiri dari atas beberapa sub bab sesuai dengan pembahasan dan
materiyang diteliti dengan rincian sebagai berikut :
19
Sugiyono, Metode Penelitin Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2011).
h.241. 20
Diakses dari http://metode360.blogspot.co.id/2015/08/pengertian-metode-analisis-data.html
pada 11 Februari 2018
19
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan pendahuluan, yang memuat latar belakang
masalah, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, review studi
terdahulu dan sistematika penulisan
BAB II LANDASAN TEORI
Membahas teori-teori tentang efektivitas, Pengawasan,
Fatwa DSN, Baitul Mal Wat Tamwil dan Dewan Pengawas
Syariah.
BAB III GAMBARAN AKAD MURABAHAH DI BMT KOTA
SORONG
Membahas penerapan akad murabahah di BMT Kota
Sorong, juga sekilas profil yang terdiri dari latar belakang,
tugas dan fungsi, visi dan misi, serta badan hukum yang ada
pada BMT Al-Hijrah, BMT Aisyiyyah, dan BMT Nur
Rahmah.
BAB IV PEMBAHASAN
Dari pembahasan mengenai efektivnya suatu pengawasan
Dewan Pengawas Syariah terhadap produk Murabahah Di
BMT kota Sorong berdasarkanKeputusan Menteri
Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 2017 Tentang Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonsesia (SKKNI).
BAB V PENUTUP
Pada bab ini penulis akan menguraikan kesimpulan dari
hasil penulisan yang telah dilakukan diBMT Al-Hijrah,
BMT Aisyiyah, dan BMT Nur Rahmah, serta memberikan
simpulan dan rekomendasi atas permasalahan dari rumusan
masalah yang telah dipaparkan.
20
BAB II
EFEKTIVITAS PENGAWASAN DAN FATWA DALAM TINAJAUAN
TEORITIS
A. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kumpulan gambaran terhadap seperangkat
kumpulan konsep/kontrak, definisi, dan proposisi yang terkait secara
sistematis untuk menjelaskan dan memprediksi tentan suatu
fenomena/gejala21
, dengan hukum atau aturan yang mengatur keterkaitan
antara konstruk dengan lainnya.
Teori berguna menjadi titik tolak atau landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti masalah. Dalam sebuah tulisan ilmiah kerangka
teori adalah hal yang sangat penting, karena dalam kerangka teori tersebut
akan dimuat teori-teori yang relevan dalam menjelaskan masalah yang sedang
diteliti. Kemudian kerangka teori ini digunakan sebagai landasan teori atau
dasar pemikiran dalam penelitian yang dilakukan.22
Fungsi kerangka teori tersebut untuk pengembangan penelitian yang
direncanakan, pengembangan konsep dan variable, pengembangan hipotesis,
pengembangan definisi operasional, dan pengembangan instrumen
pengumpulan data. Dengan adanya kerangka teori ini pembaca dapat melihat
batasan-batasan dari penelitian dan variable apa saja yang akan menjadi
pembahasan dalam penelitian. Adapun kerangka yang akan penulis jelaskan
adalah teori efektivitas, teori pengawasan, dan fatwa DSN MUI, berikut
penjelasannya :
1. Teori Efektivitas
Teori yang pertama adalah teori efektivitas, efektivitas adalah
ukuran dalam menilai sejauh mana kinerja yang telah dilakukan mencapai
tujuan atau sasaran. Efektivitas diukur atau dilihat dari kenyataan bahwa
sesuatu itu berhasil, memiliki dampak atau menjadi sebab tercapainya
21
Juliansyah Noor, Metode Penelitian, Skripsi, Tesis & Karya Ilmiah, (Jakarta:Kencana
Prenada Media Group, 2012), h. 65. 22
Diakses dari http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-kerangka-teori-definisi.html
pada 11 Februari 2018
21
tujuan atau sasaran. Efektivitas merupakan unsur penting dalam mencapai
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh sebuah organisasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikemukakan
efektif berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), manjur
atau mujarab, dapat membawa hasil. Masih menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki hasil dan
merupaan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan.
Efektivitas merupakan salah satu pencapaian yang ingin diraih oleh
sebuah organisasi. Untuk memperoleh teori efektivitas peneliti dapat
menggunakan konsep-konsep dalam teori manajemen dan organisasi
khusunya yang berkaitan dengan teori efektivitas. Oleh karena itu,
efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih rencana yang tepat
untuk mencapai target yang telah ditetapkan ataupun konsistensi kerja
yang tinggi untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.23
Efektivitas tidak dapat disamakan dengan efisiensi. Karena
keduanya memiliki arti yang bebeda, walaupun dalam berbagai
penggunaan kata efisiensi lekat dengan efektivitas. Efisiensi mengandung
pengertian perbandingan antara biaya dan hasil, sedangkan efektivitas
secara langsung dihubungkan dengan pencapaian tujuan.
Efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini dalah penerapan
yang dilakukan oleh DPS terhadap regulasi yang telah ditetapkan oleh
DSN-MUI. Bagaimana pelaksanaan serta peran DPS terhadap lembaga
keuangan syariah yang mereka awasi, kemudian melihat tindakan korektif
apa yang dilakukan oleh DPS dalam mengatasi masalah tersebut.
Peran DPS sangat menentukan dalam memberikan penilaian
apakah lembaga keuangan syariah dan fatwa yang telah ditetapkan oleh
DSN-MUI. Selain itu efektivitas disini juga untuk memastikan standar
pengawasan yang dilakukan oleh DPS telah dilakukan secara maksimal.
Sehingga peran dan fungsi DPS dalam pengawasan dapat menambah
23
T. Hani Handoko, Manajemen Edisi 2 (Yogyakarta: BPFE, 2013), h.363.
22
kepercayaan nasabah bahwa penerapan prinsip syariah yng digunakan
dalam lembaga keuangan syariah telah sesuai dengan prinsip syariah.
2. Teori Pengawasan
Teori selanjutnya adalah teori pengawasan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pengawasan berarti penilikan atau penjagaan.24
Sedangkan dalam istilah umum pengawasan merupakan bagian dari fungsi
manajemen yang khusus berupaya agar rencana yang sudah ditetapkan
dapat tercapai sebagaimana mestinya.25
Menurut T. Hani Handoko, pengawasan dapat didefinisikan
sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan
manajemen tercapai. Menurut George R. Terry, pengawasan dapat
didefinisikan sebagai proses penentuan, apa yang harus dicapai mengenai
standar apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan
dan apabila perlu dilakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan
sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar.
Pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen yang
bertujuan untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen
tercapai. Secara fungsional terdapat banyak sebutan pengawasan
(controlling), seperti evaluating dan correcting, hanya saja pengawasan
lebih banyak digunakan karena lebih mengandung konotasi yang
mencakup penetapan standar, pengukuran kegiatan, dan pengambilan
tindakan korektif.26
Proses pengawasan terdiri dari beberapa tindakan (langkah pokok)
tertentu yang bersifat fundamental bagi seluruh pengawasan manajerial,
langkah-langkah pokok ini menurut George R. Terry pertama, menetapkan
standar pengawasan dimana menjadi standar (tolak ukur) yang merupakan
patokan bagi pengawas dalam menilai apakah objek atau pekerjaan yang
diawasi berjalan dengan semestinya atau tidak. Standar pengawasan ini
24
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), h.108. 25
Sukarna, Dasar-dasar Manajemen (Bandung: Mandar Maju, 1992), h.360 26
Hani Handoko, Manajemen (Yogyakarta: BPFE, 2003), h.359.
23
mengandung tiga aspek, yaitu rencana yang telah ditetapkan, ketentuan
serta kebijakan yang berlaku, dan prinsip-prinsip daya guna dan hasil guna
dalam melaksanakan pekerjaan. Kedua, mengukur pelaksanaan pekerjaan
dengan cara pengukuran terhadap pekerjaan yang sudah atau senyatanya
dikerjakan dapat melalui laporan, buku catatan harian, jadwal atau grafik
hasil kerja dan inspeksi atau pengawasan langsung. Ketiga,
membandingkan standar pengawasan dengan hasil pelaksanaan pekerjaan,
dan tindakan koreksi apabila diketahui adanya perbedaan, sebab-sebab
perbedaan dan letak sumber perbedaan.
Pengawasan dalam pengertian istilah syariah bermakna
pemantauan (ishraf), pemeriksaan (muraja‟ah) dan investigasi (fahsh)
bertujuan untuk menjaga manfaat (mura‟at mashlahah) dan menghindari
kehancuran (idra‟mafsadah).27
Pengawasan dalam pandangan Islam
dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah, dan
membenarkan yang hak.28
Pengawasan (control) dalam ajaran Islam
(hukum syariah) terbagi menjadi dua hal :
Pertama, control yang berasal dari diri sendiri yang bersumber dari
tauhid dan keimanan kepada Allah SWT. Seseorang yang yakin bahwa
Allah pasti mengawasi hamba-Nya, maka ia akan bertindak hati-hati.29
Ketika sendiri, ia yakin bahwa Allah yang kedua dan ketika berdua, ia
yakin Allah yang ketiga Allah SWT berfirman dalam Surat Al-
Mujadilah:(7)
27
Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia (Yogyakarta: Pustaka SM, 2007),
h. 27. 28
Didin Hafidhuddin, Manajemen Syariah dalam Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2003), h.156. 29
Nana Herdiana Abdurrahman, Manajemen Bisnis Syariah dan Kewirausahaan (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), h.135.
24
Artinya :”Tidaklah kamu perhatikan, bahwa seseungguhnya Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan dibumi ? Tiada pembicaraan
rahasi antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada
(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan
tiada pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih
banyak, melainkan Dia berada bersama mereka dimanapun mereka
berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari
kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah itu Maha
mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Mujadilah:7)30
Pengawasan internal yang melekat dalam setiap pribadi muslim
akan menjauhkannya dari bentuk penyimpangan, dan menuntutnya
konsisten menjalankan hukum-hukum dan syariah Allah dalam setiap
aktivitasnya, dan ini menerapkan tujuan utama Islam. Akan tetapi, mereka
hanyalah manusia biasa yang berpotensi melakukan kesalahan. Dalam
sebuah masyarakat, salah seorang dari mereka pasti ada yang cenderung
menyimpang dari kebenaran, atau menurti hawa nafsu. Oleh karena itu,
Islam menetapkan sistem sosio politik untuk menjalankan fungsi
pengawasan pelaksanaan hukum dan syariat Allah. Pengawasan
merupakan tangung jawab sosial dan public yang harus dijalankan
masyarakat, baik dalam bentuk lembaga formal maupun non formal.
Kedua, sebuah pengawasan akan lebih efektif jika system
pengawasan tersebut juga dilakukan dari luar diri sendiri. Sistem
pengawasan tersebut dapat terdiri dari mekanisme pengawasan dari
pemimpin yang berkaitan dengan penyelesaian tugas yang didelegasikan,
kesesuaian antara penyelesaian tugas dan perencanaan tugas.
3. Teori Fatwa
Teori selanjutnya adalah teori fatwa. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia fatwa adalah keputusan atau pendapat yang diberikan oleh mufti
tentang suatu masalah dengan kata lain yaitu nasihat orang alim. Definisi
fatwa secara terminologi, dikemukakan oleh para ulama dengan pengertian
yang beragam. Muhammad Rowas Qal‟aji, fatwa adalah hukum syar‟i
30
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, 2007), h.910.
25
yang dijelaskan oleh seorang faqih untuk orang yang bertanya kepadanya.
Menurut Sulaiman Abdullah, fatwa sahabat diterbitkan berdasarkan
pemikiran dan ijtihad melalui riwayat yang masyhur dan tidak diingkari
seorang pun, termasuk dalam kategori ijma‟ syukuty.
Menurut Wahbah Al-Zuhaili, fatwa didefinisikan sebagai jawaban
atas pertanyaan mengenai hukum syariat yang sifatnya tidak mengikat.
Makna yang serupa juga dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa fatwa
diartikan sebagai sebuah keterangan atau ketentuan hukum syara‟ dari
suatu permasalahan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik yang
bertanya itu jelas identitasnya maupun tidak baik secara personal maupun
kolektif.31
Para sarjana kontemporer seperti Joseph Schacht
mendefinisikan fatwa sebagai “formal legal opinion” (opini legal formal).
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan, fatwa adalah upaya
penjelasan dari seorang mufti disebabkan adanya pertanyaan tentang
hukum syara‟, baik pertanyaan itu bersifat individual maupun kolektif
alam rangka kepentingan masyarakat dan penjelasan fatwa bisa dalam
bentuk tulisan maupun lisan yang sifatnya tidak mengikat. Apabila
dihubungkan otoritas fatwa lebih bersifat kelembagaan dari individual.
Jarang lagi ditemukan fatwa yang bersifat individual. Kebutuhan
masyarakat terhadap hukum selalu dipertanyakan kepada lembaga yang
mempunyai otoritas untuk itu. Dalam posisi ini fatwa semakin luas bukan
hanya sebatas persoalan hukum begitu juga kelembagaannya. Posisi mufti
pun semakin penting dalam berbagi sektor dan lini kehidupan, seperti
kepentingan politik, fatwa dibutuhkan dalam konstelasi politik tertentu
begitu juga halnya pada aspek ekonomi dan kesehjateraan masyarakat,
produk-produk fatwa dibutuhkan oleh masyarakat.
Perubahan paradigma ini ditegaskan oleh Muhammad Atho
Mudhar, fatwa dalam perspektif bentuk dan kekuatan hukum, perannya
lebih luas tidak hanya sebatas “legal opinium” (pendapat hukum), tetapi
31
Yusuf Qardhawi, al-Fatwa Baina al-Indibad aw al-Tasayyub (Mesir: Maktabah Wahbah,
1997), h. 5.
26
juga sebuah produk interaksi sosial antara mufti dengan komunitas politik,
ekonomi dan budaya yang mengelilinya yang memberikan ragam
informasi terhadap perkembangan sosial umat islam.32
Pendapat yang sama juga ditegaskan Wael B. Hallaq, setelah
melihat para ahli ushul fiqh menyamakan antara mujtahid dengan mufti, di
semua karya mereka kedua istilah (mujahid/mufti) dipakai secara sinonim.
Persyaratan apapun yang dimiliki mujtahid juga berlaku pada mufti.33
Mufti tidak hanya harus bersifat adil dan dapat dipercaya, tetapi juga harus
diketahui bahwa ia menjadikan agama dan persoalan agama dengan sangat
serius. Perubahan paradigma fatwa juga telah terlihat dalam pedoman dan
penyelenggaraan organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dimana MUI
berperan sebagai mufti. Peran ini menempatkan MUI untuk memberikan
fatwa terutama persoalan berkaitan dengan hukum Islam, baik diminta
maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa, MUI
mengakomodir dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia yang
sangat beragam aliran, pemahaman, dan pemikiran serta organisasi
keagamannya. 34
Dalam kondisi tertentu akhirnya menurut Yeni Salma Barlinti
dalam penyelesaian doktoralnya tentang kedudukan fatwa dalam hukum
positif bahwa beberapa fatwa yang dikeluarkan DSN MUI merupakan
hukum positif yang mengikat dikarenakan keberadaan fatwa sering
dilegitimasi lewat peraturan perundang-undangan oleh lembaga
pemerintah, sehingga harus dipatuhi pelaku ekonomi syariah.
B. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
1. Pengertian DPS
Dalam kamus bahasa Indonesia kata “dewan” adalah badan yang
terdiri dari beberapa orang yang pekerjaannya memutuskan sesuatu
32
Muhammad Atho Mudhar, Islam and Islamic Law in Indonesia : Asocial Historycal
Approach (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 93. 33
Wael B Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 182. 34
Hasil Rakernas tahun 2011, Pedoman Penyelenggara Organisasi MUI (Jakarta: Sekretariat
MUI pusat, 2011), h.13.
27
dengan jalan berunding. Sedangkan Pengawas dari kata “awas” yang
artinya dapat melihat baik-baik; tajam penglihatan. Pengawas berarti orang
yang mengawasi.35
Sedangkan “syariah” adalah komponen ajaran Islam
yang mengatur tentang kehidupan seorang muslim baik dari bidang ibadah
(habl minallah) maupun dalam bidang muamalah (habl minannas) yang
merupakan aktualisasi akidah yang menjadi keyakinannya. Sementara
muamalah sendiri meliputi berbahgai bidang kehidupan antara lain yang
menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan yang disebut muamalah
maliyah.36
Dewan Pengawas Syariah merupakan dewan pakar ekonomi dan
ulama yang menguasai bidang Fiqh Muamalah (Islamic commercial
Jurisprudence) yang berdiri sendiri dan bertugas mengamati dan
mengawasi operasional lembaga keuangan syariah dan produk-produknya
agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat islam, yaitu dengan
mengawasi secara teliti bagaimana bentuk-bentuk perikatan/akad yang
dilaksanakan oleh lembaga keuangan syariah.37
Supaya dewan tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik
dengan tetap berpijak pada fungsi amanah tersebut, maka keanggotaannya
disyaratkan terdiri dari orang-orang yang ahli syariah dan sedikit banyak
menguasai Hukum Dagang positif serta sudah berpengalaman dalam
penyelenggaraan kontrak-konrak bisnis. DPS juga merupakan unit yang
hanya dimiliki oleh perusahaan atau organisasi yang dijalankan sesuai
syariat islam. DPS adalah suatu lembaga yang berkewajiban mengarahkan,
dan menguasai aktifitas lembaga keuangan agar dapat diyakinkan bahwa
mereka memenuhi aturan dan prinsip syariat Islam.38
DPS juga terdiri dari
35
Poewadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.289. 36
Amir Machmud, Rukmana, Bank Syariah Teori Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia
(Jakarta: Erlangga, 2010), h.24. 37
Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta:
Ekonisia, 2004), h.45. 38
Sofyan Syafri Harahap, Auditing dalam Perspektif Islam. (Jakarta: Pustaka Quantum 2002),
h.207.
28
pakar syariah yang mengawasi aktivitas dan operasional institusi financial
untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. 39
Merujuk pada surat keputusan Dewan Pengawas Syariah Nasional
No.3 Tahun 2000 bahwa DPS adalah bagian dari lembaga keuangan mikro
syariah yang bersangkutan yang penetapannya atasa persetujuan Dewan
Syariah Nasional (DSN) DPS adalah suatu yang mengawasi pelaksanaan
keputusan DSN di lembaga keuangan mikro syariah.Menurut Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 tentang Perbankan Syariah Pasal
19 ayat (2), DPS adalah institusi independen dalam bank syariah yang
fungsi utamanaya adalah melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah
dalam kegiatan operasional bank syariah. Keputusan Dewan Pimpinan
MUI No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN-MUI,
DPS adalah badan yang ada di Lembaga Keuangan Syariah dan bertugas
mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional.
DPS adalah suatu dewan yang sengaja dibentuk untuk mengawasi
jalannya Bank Islam sehingga senantiasa sesuai dengan prinsip muamalah
dalam islam. Praturan Bank Indonesia No.06/24/PBI/2004 mengenai tugas
dan fungsi serta keberadaan dewan pengawas syariah dalam bank syariah
memiliki landasan hukum baik dari sisi fiqih maupun undang-undang
perbankan di Indonesia. Dewan Pengawas Syariah merupakan istilah
umum yang digunakan di Indonesia untuk menyebut institusi pengawasan
internal syariah di bank syariah. Jumlah keanggotaan berbeda-beda untuk
setiap negara meskipun secara fungsi dan tugasnya sama.
DPS juga bertugas mengawasi operasional produk-produk lembaga
keuangan mikro syariah sesuai dengan ketentuan syariah. DPS biasanya
diletakkan pada posisi setingkat dengan Dewan Komisaris. Disamping itu,
DPS juga harus membuat laporan berkala (biasanya tiap bulan) bahwa
produk-produk yang diawasinya telah berjalan dengan optimal sesuai
dengan syariat. Pernyataan biasanya dimuat dalam laporan tahunan
(annual report) yang bersangkutan DPS juga meneliti dan membuat
39
Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011), h.37
29
rekomendasi produk-produk yang akan dikeluarkan dari lembaga
keuangan mikro syariah yang diawasi oleh DPS. 40
Berdasarkan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 pasal 14
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah oleh Koperasi Bagian Ketiga Dewan Pengawas Syariah adalah :
1) KSPPS dan koperasi yang menyelenggarakan kegiatan usaha simpan
pinjam pembiayaan syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah
yang ditetapkan oleh Rapat Anggota.
2) Jumlah Dewan Pengawas Syariah paling sedikit berjumlah 2 orang dan
setengahnya memiliki sertifikasi DSN MUI.
3) Persyaratan untuk dapat dipilih menjadi Dewan Pengawas Syariah
meliputi :
a) Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang
merugikan korporasi, keuangan negara, dan/atau yan berkaitan
dengan sector keuanagn, dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum
pengangkatan;
b) Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda
sampai derajat kesatu dengan pengurus.
4) Dewan Pengawas Syariah diutamakan dari anggota koperasi dan dapat
diangkat dari luar anggota koperasi untuk masa jabatan paling lama 2
(dua) tahun.
5) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (satu)
bertugas :
a. Memberikan nasehat dan saran kepada pengurus dan pengawas
serta mengawasi kegiatan KSPPS agar sesuai dengan prinsip
syariah.
b. Menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan oleh KSPPS.
40
Ghufron Safinyah, Mengatasi Masalah dengan Pengadaian Syariah, (Jakarta : Renaisan,
2007), h.50.
30
c. Mengawasi pengembangan produk baru
d. Meminta fatwa kepada DSN MUI untuk produk baru yang belum
ada fatwanya.
e. Melakukan review secara berkala terhadap produk-produk
simpanan dan pembiayaan syariah.
Mekanisme pengawasan Dewan Pengawas Syariah, setidak-
tidaknya setiap enam bulan sekali Dewan Pengawas Syariah
menganalisa operasional Bank Syariah/Lembaga Keuangan
Syariah dan menilai kegiatan maupun produk bank/Lembaga
Keuangan Syariah tersebut yang pada akhirnya Dewan Pengurus
Syariah dapat memastikan bahwa kegiatan operasional bank
syariah telah sesuai fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional kemudian menyampaikan hasil pengawasan tersebut
kepada pihak yang bersangkutan.
Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian DPS dapat
disimpulkan bahwa DPS merupakan dewan yang dibentuk oleh DSN-MUI
sebagai perwakilan DSN-MUI dalam melakukan pengawasan terhadap
operasional Lembaga Keuangan Syariah.41
Hal ini dilakukan untuk
memastikan bahwasetiap kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga
Keuangan Syariah telah sesuai dengan prinsip syariah sekaligus fatwa
yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI.
2. Dasar Hukum Dewan Pengawas Syariah
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu komponen
organisasi Bank Syariah adalah adanya Dewan Pengawas Syariah. Dasar
hukum dibentuknya DPS dan implementasinya dapat dilihat dari perintah
Allah dalam Q.S. Al-Taubah 9 : 105
41
Ghufron Safinah, Sistem Dan Mekanisme Pengawasan Syariah, (Jakarta : Renaisan, 2007),
h. 17.
31
Artinya : “dan katakanlah :”bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul- Nya
serta orang mu‟min melihat pekerjaan itu dan kamu akan dikembalikan
kepada Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata lalu
diberikannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S Al-
Taubah: 105).42
Pengawasan yang dilakukan oleh DPS wajib mengacu pada
prinsip-prinsip dasar pengawasan dalam Islam yang meliputi :
a. Jalb al-Mashalih, yaitu menerapkan, mengambil dan menjaga unsure-
unsur kebaikan (maslahah) serta memaksimalkan kebaikan tersebut.
Jalb al-Mashalih dilaksanakan dalam rangka memelihara maqasid al-
shariah (terpeliharanya lima masalah), yakni resiko moral dan agama
(Hifz al-Din), resiko akal/intelektual (Hifz al-„Aql), resiko keuangan
(Hifz al-Mal), resiko keturunan (Hifz al-Nasl), serta resiko reputasi
(Hifzal-Nafs).43
b. Dar al-Mafasid, yaitu menghindarkan dari unsure-unsur yang dapat
menimbulkan kerusakan dan keburukan (mafsadah) serta dapat
menimalisir resiko. Prinsip ini dilakukan dalam rangka
menghindarkan praktik atau kegiatan yang dapat menyebabkan
timbulnya kerusakan maqasid al-shari‟ah serta kerugian material
lainnya.
c. Sad al-Dzari‟ah yaitu prinsip kehati-hatian untuk mencegah dan
mengantisipasi adanya resiko pelarangan terhadap syariah dan
peraturan lainnya yang berlaku. Prinsip ini mengandung makna bahwa
setiap individu, satuan organisasi maupun pihak otoritas dapat
melaksanakan tindakan pencegahan dan sikap kehati-hatian untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya praktik pelanggaran terhadap
ketentuan syariah dengan tetap mempertimbangkan aspek
pertumbuhan, produktivitas, profotabilitas, kemanfaatan dan
kemaslahatan.
42
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, 2007), h.204. 43
Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam, Menggali Hakikat, Sumber dan Tujuan Hukum Islam
(Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2006), h.127-130.
32
3. Tugas, Peran, dan Fungsi DPS
a. Tugas Dewan Pengawas Koperasi Syariah :44
1) Memberikan nasehat dan saran kepada pengurus dan pengawas
serta mengawasi kegiatan koperasi agar sesuai prinsip syariah;
2) Menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan oleh koperasi;
3) Mengawasi perkembangan produk baru;
4) Meminta fatwa kepada DSN-MUI untuk produk baru yang belum
ada fatwanya; dan
5) Melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk simpanan dan
pembiayaan syariah.
b. Peran dan Fungsi
Peran dan fungsi DPS antara lain :
1) Memberikan nasehat dan saran kepada pengurus dan pengawas
serta mengawasi kegiatan KSPPS agar sesuai dengan prinsip
syariah;
2) Menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan oleh KSPPS;
3) Mengawasi pengembangan produk baru;
4) Meminta fatwa kepada DSN-MUI untuk produk baru yang belum
ada fatwanya.
5) Melakukan review secara berkala terhadap produk-produk
simpanan dan pembiayaan syariah.
c. Wewenang Dewan Pengawas Syariah
1) Memberikan pedoman serta garis besar tentang aspek syariah dari
operasional bank Islam, baik penyerahan dana maupun kegiatan-
kegiatan yang lainnya pada lembaga keuangan mikro syariah dan
perbankan syariah.
2) Mengadakan perbaikan terhadap suatu produk lembaga keuangan
mikro syariah dan bank Islam yang telah atau sedang berjalan,
44
DSNMUI.INSTITUT
33
namun dinilai pelaksanannya bertentangan dengan ketentuan
syariah. Berhasil atau tidaknya DPS tergantung pada indepensinya
didalam membuat suatu putusan atau penilaian yang dibutuhkan
indepensinya DPS ini diharapkan dapat dijamin karena beberapa
hal yaitu sebagai berikut :
a) Mereka bukan staf bank, sehingga tidak tunduk pada kekuasaan
administratif.
b) Mereka dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
demikian juga dengan penentuan hororiumnya.
c) DPS mempunyai sistem kerja tugas-tugas seperti halnya
dengan pengawas lainnya.
Untuk menyatukan pendapat antara DPS yang mungkin
berbeda yang satu dengan yang lainnya. Untuk tingkat
internasional telah dibentuk “Internasional Asociation Of
Islamic Bank‟s” yang kedudukannya di Cairo. Sedangkan
ditingkat Nasional dibentuklah suatu “Konsorsium
(penyusunan) Dewan Pengawas Syariah Nasional” yang
dibawah naungan MUI yang bekerja sama dengan Bank
Indonesia”.45
d. Persyaratan Anggota DPS
Dalam Keputusan DSN MUI No:03 DSN Tahun 2000
disebutkan tentang keanggotaan Dewan Pengawas Syariah yaitu :
1) Jumlah anggota DPS untuk bank umum syariah sekarang-
kurangnya 2-5 orang. Sedangkan untuk BPR Syariah sekurang-
kurangnya harus berjumlah 2-3 orang.
2) Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua
3) Masa tugas anggota DPS adalah empat tahun dan akan mengalami
pergantian antar waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti,
diusulkan oleh lembaga keuangan syariah yang bersangkutan, atau
telah merusak citra DSN.
45
Harahap S.Sofyan, Auditing Dalam Perspektif Islam. (Jakarta : Tim Quantum. 2002), h.208.
34
e. Kedudukan DPS
1) Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan
Unit Usaha Syariah, dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan aspek syariah.
2) Sebagai mediator antara bank dengan DSN dalam
mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk yang
memerlukan kakajian dan fatwa dari DSN.
3) Sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada lembaga
keuangan syariah. DPS wajib melaporkan kegiatan usaha dan
perkembangan lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada
DSN satu kali dalam satu bulan minimal. Selain itu DPS juga
berkedudukan sebagai penjamin bahwa lembaga keuangan syariah
yang diawasinya sesuai dengan prinsip syariah.
f. Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKNNI) Pengawasan Syariah46
Tabel 2.1
Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKNNI) Pengawasan
Syariah
No Kode Unit Judul Unit Kompetensi
1 M.74DPS00.001.1 Menginventarisasi bahan pengawasan
syariah sesuai tugasnya
2 M. 74DPS00.002.1 Melakukan pengawasan terhadap akta
perjanjian
3 M. 74DPS00.003.1 Melakukan pengawasan terhadap
prosedur produk dan / atau layanan
baru
4 M.74DPS00.004.1 Melakukan pengawasan terhadap
pemasaran produk
5 M.74DPS00.005.1 Melakukan pengawasan terhadap
laporan keuangan
6. M.74DPS00.006.1 Menyusun Opini
46
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No.25 Tahun 2017
35
g. Ruang Lingkup Pengawasan
Tabel 2.2
Ruang Lingkup Pengawasan No Ruang lingkup Obyek Pengawasan Syariah 1 Akad yang digunakan
dalam hubungan hukum para pihak
1. Antar anggota koperasi (keanggotaan : simpanan pokok dan simpanan wajib)Syirkah (musahamah)
2. Pengurus Vs Anggota (Wakalah bil Ujrah/Mudharabah)
3. Pengurus Vs Anggota (Wakalah bil Ujrah/ Ijarah)
4. Pengelola Vs Anggota/ Calon Anggota (Dalam penghimpunan dan Penyaluran pinjaman dan Pembiayaan)
2 Produk /Kegiatan Usaha Baru Out Put : Opini/Pernyataan Kesesuaian Syariah
1. akad yang digunakan 2. Penuangan akad dalam akta perjanjian 3. SOP/SOM Produk 4. Dokumen lainnya yang menyertai 5. Konsep dan media pemasarannya
3 Implementasi Produk Laporan dan Opini
1. Implementasi akad dalam dokumen-dokumen produk (perjanjian, SOP, pemasaran, dokumen MoU dengan pihak lain)
2. Analisa aspek syariah atas laporan keuangan
h. Kegiatan Usaha KSPPS/USPPS Koperasi47
Gambar 2.1
Kegiatan Usaha KSPPS/USPPS Koperasi
47
Peraturan Menteri KUKM No.11 Tahun 2017 tentang Pedoman Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi
KSPPS/USPPS
Simpanan
Baitul Maal
Zakat
Infaq
Shadaqah Pembiayaan
Pinjaman
Wakaf
Baitul Tamwil
36
i. Pengawasan Terhadap Produk Baru Koperasi Syariah (Model di
Perbankan)
Langkah-langkah strategis
1) Meminta penjelasan dari pengurus/pengelola Kopsyah yang
berwenang mengenai tujuan, karakteristik, dan fatwa dan/atau
akad yang digunakan sebagai dasar dalam rencana penerbitan
produk dan aktivitas baru;
2) Memeriksa ada/tidak fatwa DSN terhadap akad yang akan
digunakan. Jika ada: melakukan analisa atas kesesuaian akad
tentang fatwa. Jika ada : melakukan analisa atas kesesuaian akad
dengan fatwa. Jika “tidak ada” : mengusulkan kepada direksi
untuk melengkapi fatwanya (meminta fatwa ke DSN-MUI)
3) Mengkaji fitur, mekanisme, persyaratan, ketentuan, system dan
prosedur produk dan aktivitas baru terkait dengan pemenuhan
prinsip syariah (SOP/SOM);
4) Memeriksa draf akta perjanjian (akad) yang akan digunakan dalam
produk baru;
5) Memeriksa draf sistem dan media pemasaran produk baru;
6) Memberikan pendapat terkait aspek pemenuhan prinsip syariah
atas produk dan aktivitas baru yang akan dikeluarkan; dan
7) Menjelaskan secara mendalam dan holistic mengenai pemenuhan
prinsip syariah atas produk dan aktivitas baru LKS.
j. Format Pernyataan Kesesuaian Syariah/ Opini
1) Format opini syariah mengikuti ketetapan fatwa, namun dengan
bentuk yang lebih sederhana
2) Sebuah opini harus ditulis dengan kepala surat “Dewan Pengawas
Syariah” dari bank yang bersangkutan
3) Kata “Opini Syariah” harus menjadi judul pernyataan
4) Apabila diperlukan opini dapat diberikan nomor yang diletakkan
dibawah kata “opini syariah”
37
5) Opini harus berisi konsideran
Bahwa DPS telah membaca dan mengerti tentang produk dan
transaksi tersebut serta dokumen-dokumen terkait
Bahwa pengurus LKS telah menjelaskan secara detail produk
dan transaksi dimaksud
6) Opini harus berisi penetapan
Bahwa produk dan transaksi dimaksud telah sesuai dengan
syariah
Opini belum dapat dikeluarkan apabila salah satu anggota
DPS tidak sepakat atas kesesuain syariah dari produk dan
transaksi dimaksud
7) Opini harus berisi Pernyataan Kondisi ketika opini disampaikan
Bahwa tidak ada informasi penting mengenai produk dan
transaksi itu yang tidak disampaikan oleh pengurus kepada
DPS
Bahwa tidak terdapat perbedaan antara teori tentang produk
dan transaksi yang disampaikan dengan kenyataan yang
dipraktekkan dalam bank
8) Opini harus berisi hak DPS untuk mencabut kembali opininya
Apabila terdapat perbedaan antara keterangan pengurus bank
dengan hal-hal yang diperoleh dalam kenyataan
k. Teknik Pelaporan Hasil Pengawasan DPS
Pengawasan terhadap kegiatan penghimpunan dana, pembiayaan dan
kegiatan jasa Koperasi Syariah lainnya.
1. Ruang lingkup pengawasan
a. Kesesuaian produk dan jasa dengan prinsip syariah/fatwa
DSN-MUI;
b. Kesesuaian akta perjanjian dan dokumen yang menyertainya
dengan fatwa DSN-MUI
c. Kesesuaian pedoman Operasional dan Produk LKS dengan
Fatwa DSN-MUI;
38
d. Kesesuaian Laporan Keuangan dengan Prinsip Syariah/Fatwa
DSN-MUI;
2. Langkah-langkah pengawasan
a. Melakukan pemeriksaan di kantor Koperasi Syariah paling
kurang sekali sebulan;
b. Meminta laporan kepada pengurus/pengelola mengenai
pelaksanaan produk dan jasa koperasi syariah, misalnya di
koperasi syariah ada produk penghimpunan dana, produk
penyaluran dana, dan produk layanan jasa keuangan.
c. Melakukan pemeriksaan secara uji petik (sampling) paling
kurang sebanyak tiga nasabah untuk masing-masing produk
dan/atau akad penghimpunan dana, pembiayaan dan kegiatan
jasa lainnya termasuk penanganan pembiayaan yang
direstrukturisasi oleh LKS;
d. Memeriksa dokumen transaksi dari nasabah yang ditetapkan
sebagai sampel untuk mengetahui pemenuhan prinsip syariah;
Misalnya:
Pemenuhan syarat dan rukun dalam akad (perjanjian),
pembiayaan maupun akad penghimpunan dana antara
LKS dengan nasabah;
Kecukupan dan kelengkapan bukti pembelian barang
dalam pembiayaan murabahah;
Kecukupan dan kelengkapan bukti laporan hasil usaha
nasabah yang dibiayai sebagai dasar perhitungan bagi
hasil untuk pembiayaan mudharabah atau pembiayaan
muyarakah ; dan
Penetapan dan pembebanan ujrah (fee) kepada nasabah
untuk produk pembiayaan qardh untuk meyakini bahwa
penetapan ujrah (fee) tidak terkait dengan besarnya
pembiayaan qardh;
39
e. Melakukan inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan
dan/atau konfirmasi kepada pegawai LKS dan/atau nasabah
untuk memperkuat hasil pemeriksaan dokumen;
f. Meminta bukti dokumen kepada pimpinan LKS;
Perhitungan dan pembayaran bonus atau bagi hasil
kepada nasabah penyimpan;
Pembayaran bagi hasil kepada LKS lain dalam hal LKS
menerima pembiayaan dari LKS lain;
Pencatatan dan pengakuan pendapatan yang berasal dari
pengenaan denda, penempatan pada LKS lain
konvensional, dan pendapatan non halal lainnya; dan
Pencatatan dan pelaporan penerimaan dana dari zakat,
infak, dan sedekah
g. Memberikan pendapat (opini) terkait aspek pemenuhan
prinsip syariah atas kegiatan penghimpunan dana,
pembiayaan dan kegiatan jasa, dan perhitungan dan
pencatatan transaksi keuangan;
h. Melakukan pembahasan dengan LKS mengenai hasil temuan
pengawasan penerapan prinsip syariah yang hasilnya
dituangkan dalam risalah rapat;
i. Menyusun laporan hasil pengawasan penerapan prinsip
syariah atas kegiatan usaha LKS kepada pengurs; dan
j. Menyampaikan hasil laporan pengawasan penerapan prinsip
syariah kepada otoritas terkait.
C. Baitul Maal Wat Tamwil
Baitul maal Wat Tamwil (BMT) secara etimologis, istilah “Baitul
Maal” berarti “rumah uang” sedangkan “Baiut Tamwil” mengandung
pengertian “rumah pembiayaan”.48
Sehingga dikatakan bahwa Baitul Maal
48
Dr.Jamal Lulail Yunus, SE,. M.M, Managemen Bank Syariah “Mikro”, (Malang:UIN
Malang press, 2009), h. 5.
40
Wat Tamwil (BMT) merupakan suatu lembaga yang terdiri dari dua istilah,
yaitu baitul maal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha –
usaha non profit, seperti zakat , infaq, dan sedekah. Adapun baitul tamwil
sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial.49
BMT menurut para ahli yaitu menurut Karnaen A. Perwataatmadja,
Baitul Mal Wal Tamwil merupkan pengembangan ekonomi berbasis masjid
sebagai sarana untuk memakmurkan masjid.50
Menurut Abdul Aziz dan Mariyah Ulfah Baitul Mal wa Tamwil
(BMT) adalah lembaga mkro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil,
menumbuh kembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka
mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir
miskin.
Baitul Mal wa Tamwil (BMT) adalah lembaga keuangan nonbank
yang beroperasi berdasarkan syariah dengan prinsip bagi hasil, yang didirikan
oleh dan untuk masyarakat di suatu tempat atau daerah.51
Dapat disimpulkan
bahwa Baitul Mal wa Tamwil adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya
berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-
usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi
pengusaha kecil bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan
menabung dan menunjang pembiyaan kegiatan ekonominya.52
Baitul Mal wa Tamwil merupakan lembaga ekonomi atau keuangan
syariah non perbankan yang sifatnya informal. Lembaga yang didirikan oleh
Kelompok Swadaya Masyarkat (KSM) yang berbeda dengan lembaga
keuangan perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya sehingga BMT
disebut bersifat informal. Selain berfungsi sebagai lembaga keuangan, BMT
juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi (Baitul Tamwil). Selain BMT
bertugas menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada
49
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis, (Jakarta : PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2013), h. 363. 50
Karnaen A. Perwataatmadja, Membmikan Ekonomi Islam Di Indonesia, (Depok:Usaha
Kami,2002), h. 17. 51
Azyumardi Azra, Berdema Untuk Semua, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2003), h.236. 52
PINBUK, "Pedoman Cara Pembentuk BMT Balai Usaha Mandiri Terpadu”, (PINBUK,
Jakarta), h. 1
41
masyarkat. BMT berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti pedagangan,
industri, dan pertanian.53
BMT merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial. Sebagai
lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor keuangan
yakni simpan pinjam. Usaha ini seperti usaha perbankan, yakni menghimpun
dana anggota dan calon anggota (nasabah) serta menyalurkannya pada sektor
ekonomi yang halal dan menguntungkan. Namun demikian, terbuka luas bagi
BMT untuk mengembangkan lahan bisnisnya pada sektor riil maupun sektor
keuangan lain yang dilarang dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Karena
BMT bukan bank, maka ia tidak tunduk pada aturan perbankan.54
Secara etimologis adalah suatu lembaga yang memunyai tugas khusus
menangani segara harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran
Negara. Baitul Maal Wat Tamwil sebenarnya adalah lembaga swadaya
masyarakat dalam pengertian didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat.
Terutama sekali pada awal berdiri, biasanya dilakukan dengan menggunakan
sumber daya, termasuk dana atau modal dari masyarakat setempat itu
sendiri.55
Sebagai bentuk lembaga keuangan syariah non bank, BMT
mempunyai cirri-ciri utama yang membedakannya dengan Lembaga
Keuangan Bank, yaitu :56
1. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan
ekonomi, terutama untuk anggota dan lingkunganya.
2. Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengaktifkan
penggunaan dana sosial untuk kesehjateraan orang banyak serta dpat
menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk memberdayakan
anggotanya dalam rangka menunjang kegiatan ekonomi.
53
A. Djazuli dan Yadi Yanwari, Lembaga-Lembaga perekonomian Umat Sebuah
Pengenalan, (Jakarta: Rajawali Press,2002), h. 98. 54
Muhammad Ridwan, manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2003),
h.256. 55
Awalil Rizky, BMT Fakta dan Prospek Baitul Maal Wat Tamwil, (Yogyakarta: Kreaso
Wacana, 2007), h.3. 56
Sri Dewi Yusuf, “Peran Strategis BMT dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat”, (Volume 10
No.1), Edisi Juni 2014, h.74.
42
3. Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat
sekitarnya.
4. Milik bersama masyarakat kecil, bawah dan menengah, yang berada di
lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang
lain dari luar masyarakat itu.
Filosofis kegiatan BMT terdapat dalam beberapa surat di dalam Al-
Qur‟an dan hadist diantaranya adalah :
1. Surat Al-Baqarah ayat 275 :
Artinya :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba)maka baginya
apa apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”.
2. Surah Al-Baqarah ayat 279
43
Artinya :
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
3. Surah At-Taubah ayat 103
Artinya :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658]
dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan allah maha mendengar lagi maha
mengetahui.
44
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG IMPLEMENTASI AKAD
MURABAHAH
A. Akad Murabahah
1. Pengertian Akad Murabahah
Al murabahah berasal dari kata al-ribh yang secara bahasa berarti
al-ziyadah (tambahan) dan al-nama‟ (tumbuh dan berkembang) dalam
perniagaan (al-tijarah). Arti al-murabahah secara harfiah sama dengan arti
al-riba secara harfiah, yaotu bertambah, tumbuh, dan berkembang.
Jual beli al-murabahah adalah kebalikan dari jual beli al-wadhi‟ah,
yaitu penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli mengenai objek
tertentu yang harganya lebih tinggi dinbandingkan dengan harga
perolehan. Wahbah al-Zuhaili menegaskan bahwa jual-beli murabahah
adalah :
ح ب ر دة ا ي ز ع م ل و ال ن م الث ل ث م ب ع ي ب و )بيع المرابحة( ه “jual beli dengan harga perolehan disertai tambahan sebagai
keuntungan”.
Jual beli murabahah merupakan akad yang sangat mahsyur di
kalangan pelaku usaha perbankan syariah. Karena dihubungkan dengan
praktik bisis yang demikian kompleks, akad murabahah yang pada
dasarnya merupakan bagian dari akad amanah merupakan topik akad yang
banyak didiskusikan di berbagai kalangan. Diantara cirinya adalah
banyaknya fatwa DSN-MUI terkait jual beli murabahah.
Murabahah adalah penjualan dan pembelian yang meliputi
penetapan harga dan ditambah dengan keuntungan yang disepakati oleh
pihak penjual dan pembeli. Murabahah pada dasarnya yaitu penjualan
yang berasaskan kepercayaan, dimana pembeli tergantung dan bergantung
pada kejujuran penjual dan penjual menyebutkan biaya sesungguhnya atas
perolehan barang tersebut.57
Murabahah adalah sebuah pergeseran kepemilikan sesuatu yang
dimiliki yang kemudian dijual dengan harga pertama lalu diberikan sedikit
57
Usmani, Taqi. 2002. An Introduction To Islamic Finance. Makataba Ma‟arif Quran
Karachi. h. 167.
45
tambahan keuntungan. Dari seluruh definisi yang dinyatakan beberapa
sumber intinya adalah sama, bahwa murabahah adalah kegiatan beli
dimana penjual menceritakan biaya perolehan barang yang sesungguhnya
kepada pembeli lalu ditambahkan keuntungan atas penjualan tersebut
berdasarkan biaya yang dikeluarkan dan kesepakatan antara penjual dan
pembeli. Oleh karena itu seringkali salah presepsi mengenai penetapan
margin murabahah menjadi hal yang kurang menguntungkan, karena
tujuan jual beli yang baik bisa disalah artikan.58
2. Margin dalam murabahah
Pendapat ahli hukum islam menjelaskan mengenai biaya yang
dapat ditambahkan ke harga dan merupakan dasar untuk perhitungan laba.
Menurut hanafi semua biaya yang diterima dari praktek komersial atau jual
beli dapat ditambahkan ke harga biaya mengenai biaya perolehan dari
komoditas tersebut. Menurut Hanbali dan Imam Syafi‟i semua biaya aktual
yang terjadi sehubungan pembelian komoditas dapat ditambahkan asal ada
kesepakatan dengan nasabah. Menurut Maliki biaya yang dapat
ditambahkan kedalam harga adalah biaya yang dikeluarkan seperti
penyimpanan barang atau biaya pengangkutan, namun biaya tersebut tidak
termasuk dalam keuntungan dan untuk keuntungan dapat ditambahkan
lagi.59
Selain itu penetapan pada margin murabahah menurut otoritas jasa
keuangan ada beberapa point, sebagai berikut :
a. Margin jual beli murabahah merupakan tingkat keuntungan yang
diharapkan (expected yield) oleh Lembaga Keuangan Syariah.
b. Margin (mark up price) ditentukan berdasarkan kesepakatan antara
lembaga keuangan syariah dan nasabah.
c. Margin dinyatakan dalam bentuk nominal atau presentase tertentu dari
harga pook lembaga keuangan syariah.
58
Lukman Haryono, “Penerapan Prinsip Pembiayaan Syariah (Murabahah) pada BMT
Usaha di Kabupaten Semarang”, (Jurnal Law and Justice Vol. 2 No. 1), pada April 2017, h. 81. 59
M. Tahir Mansuri,“Islamic Law Of Contracts And Bussiness Transactions”, (New Dellhi:
Adam Publisher And Distribution, 2006) h. 95.
46
d. Perhitungan margin dapat mengacu pada tingkat imbalan yang berlaku
umum pada pasar keuangan dengan mempertimbangkan ekspektasi
biaya dana, risk premium dan tingkat keuntungan.
e. Margin tidak boleh bertambah sepanjang masa pembiayaan setelah
kontrak disepakati dan ditandatangani kedua belah pihak.
f. Lembaga keuangan syariah dapat memberikan potongan margin
murabahah sepanjang tidak menjadi kewajiban bank yang tertuang
dalam perjanjian.
3. Aplikasi Modern Murabahah Dan Skema Pembiayaan Murabahah
Lembaga keuangan syariah menggunakan teknik ini untuk
membiayai proyek-proyek. Mereka membeli komoditas untuk kas dan
kemudian menjualnya kepada nasabah dengan biaya ditambah keuntungan
atas dasar pembayaran tangguhan. Di lembaga keuangan syariah
murabahah dipraktekkan dengan cara berikut :60
a. Nasabah mengajukan kepada lembaga keuangan syariah untuk
melakukan permintaan pembelian terhadap barang-barang tertentu.
Nasabah juga diminta untuk mendeskripsikan spesifikasi barang yang
diminta.
b. Dalam hal ini lembaga keuangan syariah menyetujui permintaannya,
kenudian meminta nasabah yang membeli barang tersebut membuat
kesepakatan mengenai margin yang ditetapkan.
c. Setelah penandatanganan usaha untuk pembelian, lembaga keuangan
syariah melakukan pembelian barang yang dibutuhkan.
d. Setelah lembaga keuangan syariah telah membeli dan megambil
kepemilikan dari mereka, itu masuk ke dalam kontrak murabahah
dengan nasabah. Kontrak termasuk mark-up atas biaya barang dan
jadwal pembayaran. Lembaga keuangan syariah menyerahkan barang
ke nasabah sebagai pengganti cek barang tanggal masa sesuai dengan
jadwal pembayaran.
60
Lukman Haryono, “Penerapan Prinsip Pembiayaan Syariah (Murabahah) pada BMT
Usaha di Kabupaten Semarang”, (Jurnal Law and Justice Vol. 2 No. 1), pada April 2017, h. 82.
47
e. Untuk menjamin pembayaran harga, lembaga keuangan syariah dapat
meminta pembeli untuk memberikan keamanan dalam bentuk jaminan.
Gambar 3.1
Skema Pembiayaan Murabahah
Tipe pertama penerapan murabahah adalah tipe konsisten terhadap
fikih muamalah. Dalam tipeini, Lembaga Keuangan Syariah membeli
dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian
sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama Lembaga Keuangan Syariah
kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin
keuntungan sesuai kesepakatan. Pembelian dapat dilakukan secara tunai
(cash), atau tangguh, baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu
tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh.
Tipe kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan
kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan
pembayaran dilakukan lembaga keuangan syariah langsung kepada penjual
pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah
sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan lembaga keuangan
syariah. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik
berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya,
nasabah membayar secara tangguh. Transaksi ini lebih dekat dengan
murabahah yang asli, tapi rawan dari aspek legal.61
61
Lathif, A.A, “Konsep Dan Aplikasi akad Murabahah pada Perbankan Syariah di
Indonesia”. (Jurnal Ahkam : Vol.XII, No.2, 2012), h.69-78.
Negoisasi dan persyaratan
Lembaga keuangan
syariah
penjual
Nasabah
48
Contoh lain dengan skema ini untuk seorang pedagang yang
hendak membeli barang dagangan melalui pembiayaan murabahah.
Pedagang tersebut mengajukan permohonan kepada BMT, lalu BMT
membelikan barang tersebut kepasa supplier, kemudian BMT
menyerahkan barang pesanan kepada pedagang dengan tingkat margin
yang telah disepakati ketika akad, lalu pedagang membayar harga barang
kepada BMT secara tunai maupun melalui cicilan beserta margin yang
disepakati.
4. Rukun Dan Syarat Murabahah
Murabahah sebagai wujud dari kegiatan muamalah tentu memiliki rukun
dan syarat, agar kegiatannya bisa sah menurut syariah Islam. Dibawah ini
ada beberapa point mengenai rukun dan syarat pembiayaan murabahah
yaitu :62
a. Rukun Murabahah
1) Pihak yang berakad: penjual dan pembeli
2) Objek yang diakadkan : barang yang diperjualbelikan dan harga
3) Sighat / Akad : Serah (ijab) dan terima (qabul)
b. Syarat murabahah
1) Pihak yang berakad :
a) Sebagai keabsahan suatu perjanjian (akad) para pihak harus
cakap hukum.
b) Sukarela (ridho), tidak dalam keadaan terpaksa/ dipaksa dan
tidak di bawah tekanan.
2) Obyek yang diperjualbelikan :
a) Barang yang diperjualbelikan tidak termasuk barang yang
dilarang (haram), dan bermanfaat serta tidak menyembunyikan
adanya cacat barang.
b) Merupakan hak milik penuh pihak yang berakad
c) Sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang
diterima pembeli.
d) Penyerahan dari penjual ke pembeli dapat dilakukan
62
Anggadini, S. D. “Penerapan Margin Pembiayaan Murabahah pada BMT Pacet Cianjur.”
(Fakultas Ekonomi Unikom. Vol. 9 No. 2, 2008),h.187-198.
49
3) Sighat :
a) Harus jelas dan disebutkan secara spesifik (siapa) para pihak
yang berakad
b) Antara ijab qabul (serah terima) harus selaras dan transparan
baik dalam spesifikasi barang (penjelasan fisik barang) maupun
harga yang disepakati (memberitahu biaya modal kepada
pembeli).
c) Tidak mengundang klausul yang bersifat menggantungkan
keabsahan transaksi pada kejadian yang akan datang.
5. Murabahah Sebagai Model Pembiayaan
Pada awalnya murabahah hanya dijadikan sebagai model jual beli
saja bukan pembiayaan. Model pembiayaan yang sesungguhnya menurut
syariah adalah mudharabah dan musyarakah namun ada kesulitan terdiri
dalam praktiknya. Oleh sebab itu ahli syariah kontemporer telah
memungkinkan murabahah dijadikan sebagai model pembiayaan sesuai
dengan kondisi tertentu. Terdapat dua poin penting yang harus dipahami
dalam hal ini: 63
a. Hal ini tidak boleh diabaikan pada konteks aslinya bahwa murabahah
bukanlah sebuah model pembiayaan, namun murabahah dijadikan
sebagai pembiayaan karena untuk menghindar dari adanya bunga dan
bunga bukanlah sebuah instrumen yang ideal untuk melakukan tujuan
riil ekonomi islam. Dan untuk penggunanya harus dibatasi pada
kasus-kasus tertentu dimana mudharabah dan musyarakah tidak lagi
praktis.
b. Hal yang penting kedua adalah pembiayaan murabahah tidak hanya
mengganti bunga dengan laba atau mark-up saja, namun murabahah
digunakan sebagai model keuangan oleh para ulama dengan model jual
beli barang produktif atau yang dapat dijual kembali. Oleh sebab itu
murabahah haruslah sesuai dan tidak boleh sama dengan pinjaman
berbunga. Apabila sama maka transaksi murabahah tidak valid.
63
Usmani, Taqi. 2002. An Introduction To Islamic Finance. Makataba Ma‟arif Quran
Karachi.
50
6. Fatwa DSN MUI Terkait Murabahah
Murabahah sebagai pembiayaan tentu memiliki seuah aturan
khusus agar transaksinya tidak keluar dari syariah Islam. Aturan khusus
tersebut dimuat dalam sebuah fatwa MUI (2000) tentang ketentuan
murabahah yang dapat disarikan sebagai berikut :64
a. barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam
b. BMT membiayai sebaguan atau keseluruhan harga pembelian barang
yang telah disepakati kualifikasinya.
c. BMT membelikan barang yang diperlukan atas nama BMT sendiri dan
pembelian ini harussah dan bebas riba.
d. BMT harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
e. BMT kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan
ini BMT harus memberitahukan secara jujur harga pokok pembelian
barang berikut biaya yang diperlukan.
f. Jika BMT hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah
barang secara prnsip menjadi milik BMT.
g. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil
BMT harus dibayar dari uang muka tersebut.
h. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan
pesanannya.
7. Akad Murabahah di Lembaga Keuangan Syariah
Jual beli murabahah, berdasarkan fatwa DSN MUI yang dijadikan
dasar hukum tidak tertulis bagi perbankan syariah, merupakan akad yang
kurang lebih sama dengan keputusan Mi‟yar Syar‟iyyah mengenai akad
murabahah. Pada prinsipnya, akad murabahah di perbankan syariah
merupakan jalan tengah antara mazhab pembiayaan dan mazhab fikih,
terutama mengenai syarat sah akad murabahah.
64
Lukman Haryono, “Penerapan Prinsip Pembiayaan Syariah (Murabahah) pada BMT
Usaha di Kabupaten Semarang”, (Jurnal Law and Justice Vol. 2 No. 1), pada April 2017, h. 84.
51
Dalam fatwa DSN MUI Nomor 04 Tahun 2000 tentang Murabaah
dijelaskan bahwa jual beli murabahah adalah penjualan suatu barang
dengan menegaskan (menjelaskan) harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan.
Fatwa tersebut memperlihatkan akad jual beli murabahah, sebagaimana
dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah dijelaskan bahwa pembiayaan murabahah adalah
penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berupa
transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan atau Unit Usaha
Syariah (UUS) serta pihak lain (nasabah) yang mewajibkan pihak yang
dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan yang berupa keuntungan (al-
ribh).
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, pasal 1 angka 25 menyebutkan bahwa pembiayaan adalah
penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berupa :65
a) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk Ijarah Muntahiya bittamlik;
c) Transaksi jual beli dalam piutang murabahah, salam, dan ishtishna‟;
d) Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e) Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
syariah dan/atau fasilitas dana untuk mengembalikan data tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalam ujrah, tanpa imbalan,
atau bagi hasil. Murabahah dalam praktik di LKS telah dimodifikasi
sehingga dikenal dengan nama akad murabahah li al-amir bi al-syira‟.
Akad jual beli murabahah dalam Undang-Undang Perbankan Syariah
merupakan pengembangan akad jual beli murabahah yang terdapat
65
Jaih Mubarak dan Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyyah: Akad Jual Beli, (Jakarta :
Simbiosa Rekatama Media, 2018), h. 216.
52
dalam kitab fikih. Jual beli murabahah dalam kitab fikih merupakan
jual beli yang bersifat langsung, sedangkan jual beli murabahah dalam
praktik perbankan merupakan akad jual beli yang bersifat tidak
langsung karena fungsi Intermediary bank (sebagai institusi keuangan)
dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Mi‟yar Syar‟i dikenalkan akad murabahah li al-Amir bi al-
Syira‟ (akad jual beli murabahah yang disertai dengan perintah kepada
nasabah untuk membeli barang yang diperlukan). Sedangkan dalam
fatwa DSN MUI dikenalkan akad wakalah sebagai jembatan
pemenuhan syarat mutsman, yaitu mutsman harus milik penjual
(Lembaga Keuangan Syariah) pada saat akad murabahah dilakukan.
Kiranya penting untuk diperhatikan substansi fatwa DSN MUI
Nomor 04 Tahun 2000 tentang Murabahah yang terdiri atas enam
keputusan, antara lain :66
1. Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah adalah sebagai
berikut :
b. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas
riba.
c. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah.
d. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang
yang telah disepakati kualifikasinya.
e. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri dan pembelian ini harus sah serta bebas riba.
f. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
g. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah
(pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus
keuntungannya. Dalam kaitan ini, bank harus memberi tahu secara
66
Jaih Mubarak dan Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyyah: Akad Jual Beli, (Jakarta :
Simbiosa Rekatama Media, 2018), h.217.
53
jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biayay yang
diperlukan.
h. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut
pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
i. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad
tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan
nasabah.
j. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan
setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
2. Ketentuan murabahah bagi nasabah adalah sebagai berkut :
a. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu
barang atau asset kepada bank.
b. Jika bank menerima permohonan tersbut, ia harus membeli terlebih
dahulu asset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
c. Bank kemudian menawarkan asset tersebut kepada nasabah dan
nasabah harus menerima (membeli)nya sesuai dengan janji yang
telah disepakatinya karena secara hukum janji tersebut mengikat;
kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
d. Dalam jual beli ini, bank dibolehkan meminta nasabah untuk
membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal
pemesan.
e. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya
riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
f. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung
oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya pada
nasabah.
g. Jika uang muka memakai kontrak „urbun sebagai alternatif dari
uang muka maka;
54
1) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia
tinggal membayar sisa harga.
2) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank
maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat
pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi,
nasabah wajib melunasi kekurangannya.
3. Ketentuan terkait jaminan dalam murabahah adalah sebagai berikut :
a. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan
pesanannya.
b. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang
dapat dipegang.
4. Ketentuan terkait uang murabahah adalah sebagai berikut :
a. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi
murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang
dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika
nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau
kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya
kepada bank.
b. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran
berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
c. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah
tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia
tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta
kerugian itu diperhitungkan.
5. Ketentuan mengenai penundaan pembayaran utang murabahah adalah
sebagai berikut :
a. nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda
penyelesaian utangnya.
b. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja atau jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, penyelesaiannya
55
dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
6. Ketentuan mengenai bankrut dalam murabahah adalah jika nasabah
telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus
menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali atau
berdasarkan kesepakatan.
8. Uang Muka dan Diskon Murabahah
DSN MUI telah menerbitkan fatwa mengenai uang muka dan
diskon murabahah, yaitu Fatwa DSN MUI Nomor 13 Tahun 2000 tentang
Uang Muka dalam Murabahah dan Fatwa DSN MUI Nomor 16 Tahun
2000 tentang Diskon Murabahah.
Substansi fatwa DSN MUI Nomor 13 Tahun 2000 tentang Uang
Muka Dalam Murabahah terdiri atas lima butir, yaitu :67
a) Dalam akad pembiayaan murabahah, lembaga keuangan syariah
dibolehkan meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat.
b) Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.
c) Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus
memberikan ganti rugi kepada Lembaga Keuangan Syariah dari uang
muka tersebut.
d) Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, lembaga keuangan
syariah dapat meminta tambhan kepada nasabah.
e) Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, lembaga keuangan
syariah harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.
f) Uang muka dalam fatwa ini bukan terjemahan dari „urbun (ba‟i al-
„urbun) sebagaimana larangan jual-beli „urbun yang dilarang oleh
Rasulullah SAW, tetapi merupakan terjemahan dari Hamisy jiddiyah
karena kesamaan substansi atau dhawabith-nya. Karena ciri utama
„urbun adalah down payment (uang muka) menjadi milik calon penjual
meskipun jual beli tidak jadi dilakukan sehingga terjadi gharar atas
kepemilikan uang muka tersebut. Sementara ketentuan fatwa terkait
67
Jaih Mubarak dan Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyyah: Akad Jual Beli, (Jakarta :
Simbiosa Rekatama Media, 2018), h.220.
56
uang muka, uang muka tidak atau bukan menjadi milik penjual dalam
jual beli gagal dilakukan.
g) Sementara itu, substansi fatwa Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Diskon
dalam murabahah terdiri atas lima butir, yaitu :
1) Harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati
oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qimah) benda yang
menjadi objek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah.
2) Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang
diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
3) Jika dalam jual beli murabahah lembaga keuangan syariah
mendapat diskon dari supplier, harga sebenarnya adalah harga
setelah diskon. Karena itu, diskon adalah hak nasabah.
4) Jika pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon
tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian (persetujuan) yang
dimuat dalam akad.
5) Pembagian diskon setelah akad hendaklah diperjanjikan dan
ditandatangani.
9. Potongan dan Penyelesaian Piutang Murabahah
DSN MUI telah menerbitkan dua fatwa mengenai potongan dalam
murabahah, yaitu fatwa DSN MUI Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Potongan Pelunasan dalam Murabahah dan fatwa Nomor 46 Tahun 2005
tentang Potongan Tagihan Murabahah. Sedangkan fatwa mengenai
penyelesaian piutang murabahah diatur dalam fatwa DSN MUI Nomor 47
Tahun 2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah yang
Tidak Mampu Membayar.
Substansi fatwa DSN MUI Nomor 23 Tahun 2002 tentang
potongan pelunasan dalam murabahah adalah sebagai berikut :68
1. Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan
pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah
68
Jaih Mubarak dan Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyyah: Akad Jual Beli, (Jakarta :
Simbiosa Rekatama Media, 2018), h.221.
57
disepakati, Lembaga Keuangan Syariah boleh memberikan potongan
dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan
dalam akad.
2. Besar potongan, sebagaimana dimaksud di atas, diserahkan pada
kebijakan dan pertimbangan Lembaga Keuangan Syariah.
Sementara itu, substansi Fatwa Nomor 46 Tahun 2005 tentang
Potongan Tagihan Murabahah adalah :
1. Lembaga Keuangan Syariah boleh memberikan potongan dari total
kewajiban pembayaran kepada nasabah dalam transaksi (akad)
murabahah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya
dengan tepat waktu dan nasabah yang mengalami penurunan
kemampuan pembayaran.
2. Besar potongan, sebagaimana dimaksud di atas, diserahkan pada
kebijakan Lembaga Keuangan Syariah.
3. Pemberian potongan tidak boleh diperjanjikan dalam akad.
Substansi fatwa DSN MUI Nomor 47 Tahun 2005 tentang
Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah yang Tidak Mampu
Membayar adalah bahwa Lembaga Keuangan Syariah boleh melakukan
penyelesaian/ melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang
telah disepakati, dengan ketentuan :
1. Objek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada
atau melalui lembaga keuangan syariah dengan harga pasar yang
disepakati.
2. Nasabah melunasi sisa utangnya kepada Lembaga Keuangan Syariah
dari hasil penjualan.
3. Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang maka Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) mengembalikan sisanya kepada nasabah.
4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa utang
tetap menjadi utang nasabah.
5. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya maka
lembaga keuangan syariah dapat membebaskannya.
58
10. Penjadwalan Ulang dan Konversi Murabahah
DSN MUI menerbitkan dua fatwa mengenai penjadwalan ulang
tagihan murabahah dan konversi akad murabahah, yaitu fatwa Nomor 48
Tahun 2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah dan fatwa
Nomor 49 Tahun 2005 tentang Konversi Akad Murabahah.
Konteks penerbitan Fatwa Nomor 48 Tahun 2005 adalah
pertanyaan masyarakat mengenai adanya nasabah yang mengalami
penurunan kemampuan dalam membayar utang secara angsur kepada
Lembaga Keuangan Syariah. Substansi fatwanya adalah lembaga
keuangan syariah boleh melakukan penjadwalan kembali (rescheduling)
tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan / melunasi
pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan
ketentuan :69
1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa.
2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya
riil.
3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdassarkan kesepakatan kedua
belah pihak.
Fatwa ini secara lagsung berhubungan dengan teori harga, di mana
semakin lama jangka waktu yang digunakan untuk membayar utang
secara angsuran maka harga semakin tinggi. Semntara apabila nasabah
mengalami penurunan kemampuan membayar cicilan, jangka
waktunya boleh diperpanjang (misalnya dari 60 bulan menjadi 120
bulan), tetapi harganya tidak boleh berubah (ditambah). Apabila
harganya ditambah, transaksi tersebut termasuk riba (riba jahiliyah).
Untuk menghindari riba tersebut, salah satu solusinya adalah konversi
akad murabahah, sebagaimana diatur dalam fatwa nomor 49 Tahun
2005.
69
Jaih Mubarak dan Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyyah: Akad Jual Beli, (Jakarta :
Simbiosa Rekatama Media, 2018), h.222
59
Substansi fatwa DSN MUI Nomor 49 Tahun 2005 tentang
Konversi akad murabahah adalah bahwa lembaga keuangan syariah boleh
melakukan konversi dengan membuat akad (membuat akad baru) bagi
nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/ melunasi pembiayaan
murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia
masih prospektif, dengan ketentuan dipatuhi dua langkah berikut :
1. memberhentikan/menyelesaikan akad murabahah yang eksisting.
2. Membuat akad baru sebagai tindakan konversi akad.
Ketentuan fatwa mengenai pemberhentian atau penyelesaian akad
murabahah adalah :
1. objek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar.
2. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan.
3. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang, kelebihan itu dapat
dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari
mudharabah dan musyarakah.
4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang, sisa utang tetap
menjadi utang nasabah yang secara pelunasannya disepakati antara
lembaga keuangan syariah dan nasabah.
Ketentuan fatwa mengenai pembuatan akad baru adalah bahwa
lembaga keuangan syariah dan nasabah ex-murabahah dapat membuat
akad baru dengan akad :
1. Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik atas ex-objek murabahah dengan tunduk
dan patuh pada ketentuan fatwa DSN No.27 /DSN-MUI/III/2002
tentang al-Ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik.
2. Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No.07/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
3. Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN No.08/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.
Dengan adanya konversi akad maka lembaga keuangan syariah
terhindar dari kerugian dan sekaligus terhindar dari riba jahiliah. Fatwa
60
ini merupakan solusi yang saling menguntungkan dalam melakukan
usaha atau bisnis secara syariah. Pada tahapan penerapan fatwa, pada
prinsipnya pilihan tiga akad tersebut harus mempertimbangkan kondisi
usaha nasabah yang eksisting.
11. Produk Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan dengan menggunakan skema akad murabahah
merupakan pembiayaan yang paling popular di Indonesia karena Lembaga
Keuangan Syariah pada umumnya, baik bank maupun non bank, sangat
banyak menggunakan skema ini. Pada saat akad murabahah dipraktikkan
di LKS, akad murabahah tidak lagi merupakan akad yang berdiri sendiri.
Pada umumnya, akad murabahah digandengkan secara paralel dengan janji
(al-wa‟d) pemberian kuasa (akad wakalah). Penggandengan akad ini dalam
literature disebut „aqd al-murabahah li al-amir bi al-syira‟ yang secara
harfiah berarti akad murabahah yang disertai dengan perintah untuk
membeli. Ada sedikit perbedaan antara skema jual beli murabahah
berdasarkan fatwa DSN-MUI dan skema murabahah yang ditetapkan
dalam Mi‟yar Syar‟i (standar syariah). Akad murabahah dalam ketentuan
standar syariah menganut akad mu‟allaq (efektif [nafadz] akad murabahah
setelah pembeli menyatakan telah membeli barang). Berarti, barang yang
menjadi objek akad belum menjadi milik LKS pada saat akad. Sedangkan
dalam fatwa DSN MUI lebih berhati-hati karena LKS tidak boleh menjual
barang, kecuali barang tersebut sudah menjadi LKS (ba‟i ma la yamlik).
Lihat dua gambar berikut :
Gambar 3.2
Akad murabahah li al-amir bi al-syira’
Gambar 3.3
Akad Murabahah di LKS versi Fatwa DSN-MUI.
Wa’d Wakalah Murabahah
Murabahah Wakalah Wa’d
61
Adapun akad murabahah pada saat menjadi produk di LKS dapat
mengikuti alur yang terdapat pada gambar berikut :
Gambar 3.4
Produk murabahah
Keterangan :
1. Nasabah mengajukan (wa‟d) pembiayaan kepada LKS. LKS melakukan
analisis kelayakan dan pemohon dapat diminta uang panjar (hamsy
jiddiyah).
2. LKS memberikan kuasa (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli
barang yang sesuai dengan pesanannya.
3. Nasabah memberitahukan kepada LKS bahwa ia telah mebeli barang
sesuai dengan kuasa yang diberikan (barang secara prinsip telah menjadi
milik LKS).
4. LKS melakukan akad murabahah dengan nasabah ; LKS sebagai penjual
dan nasabah sebagai pembeli (LKS memperoleh keuntungan);
5. Barang yang dibeli nasabah dijadikan agunan (al-rahn) di LKS sampai
pembayaran utang lunas.
Gambar Nasabah Gambar LKS 1. nasabah memesan (wa‟d) barang untuk
dibelinya dengan akad murabahah
2. LKS memberikan kuasa (wakalah) kepada
nasabah untuk membeli barang yang
diinginkan
3. dilkukan akad murabahah antara LKS dan
nasabah
62
B. Profil BMT Al-Hijrah
1. Sejarah BMT Al-Hijrah
Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Al-Hijrah didirikan pada tanggal
16 Agustus 1995, oleh para tokoh dari berbagai kalangan di Kota Sorong,
pejabat pemerintah, pengusaha muslim dan para aktifis dakwah yang
memiliki komitmen keumatan. Setelah melalui berbagai proses persiapan,
pada tanggal 02 Oktober 1995 BMT Al-Hijrah resmi beroperasi sebagai
KSM pra koperasi yang selanjutnya pada akhir tahun 1996 resmi
memperoleh pengesahan badan hukum dari Departemen Koperasi sebagai
KSP BMT.
Dengan modal awal dua belas juta rupiah dari dua puluh empat
orang pendiri, BMT Al-Hijrah terus berupaya membangun citranya
sebagai lembaga keuangan mikro yang berusaha menerapkan transaksi
syariah. Pada akhir tahun 2009, asset yang dihimpun BMT Al-Hijrah telah
lebih dari dua milyar rupiah, artinya kepercayaan umat Islam terhadap
institusi ini telah mulai tumbuh. Perspalannya adalah, bagaimana agar
semua pihak (pendiri, pengurus, pengelola dan anggota) dapat menjaga
amanah ini serta secara bersama-sama untuk terus berikhtiar
memberdayakan ekonomi umat seraya menjaga konsistensi dalam
penerapan syariat (ekonomi) Islam. Diharapkan, BMT Al-Hijrah
menggandengkan integrasi dan kerjasama vertikal serta horizontal antar
anggota BMT, antar BMT dan lembaga yang ada diatasnya.
2. Landasan Hukum
Adapun dasar pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wat
Tamwil (BMT) Al-Hijrah Sorong adalah :
1. Undang-Undnag Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentnag
Perkoperasian;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi;
3. Keputusan Rapat Badan Pendiri KJKS BMT Al-Hijrah Sorong tanggal
16 Agustus 1995
63
3. Nature of Bussiness
BMT Al-Hijrah merupakan badan usaha yang kegiatan usahanya
diarahkan pada bidang yang berkaitan langsung dengan kepentingan
anggota, baik untuk menunjang usaha maupun kesehjateraannya.
Kelebihan kemampuan pelayanan dapat digunakan untuk memenuhi
kebtuhan masyarakat yang bukan anggota dengan tujuan untuk
mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar volume usaha
dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat sebesar-besarnya
kepada anggotanya untuk memasyaratkan koperasi.
4. Visi dan Misi
Untuk meningkatkan pelayanan kepada para anggota serta meningkatkan
kesehjateraannya, KJKS BMT Al-Hijrah memiliki visi :
Menjadi motor penggerak perekonomian masyarakat, khususnya
masyarakat lapisan menengah dan bawah
Sebagai pelaksana sistem ekonomi syariah
Penghubung antara pemilik dana (shahibul maal) dengan anggota
Sebagai Mudharib yang secara berkesinambungan meningkatkan nilai
tambah bagi usaha anggotanya.
Untuk mewujudkan visi tersebut maka dijabarkan dalam misi sebagai
berikut :
Memperluas dan memperbesar pangsa pasar usaha anggota dan
masyarakat lapisan bawah.
Meningkatkan efisiensi usaha kecil dan menengah dan lembaga
pendukung lainnya.
Memobilisasi dana sehingga berkembang dan bisa dijangkau oleh
masyarakat bagian bawah dan menengah guna mengembangkan
kesempatan kerja.
Mempertinggi kualitas SDM anggota menjadi lebih professional dan
Islami
Meningkatkan kesehjateraan anggota
64
5. Maksud dan Tujuan
BMT Al-Hijrah didirikan dengan maksud untuk meningkatkan
kesehjateraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan
syariah Islam.
6. Metode dan Obyek Pengawasan
Pengawasan syariah oleh DPS pada KSPPS BMT Al-Hijrah selama
tahun 2017 dilaksanakan dengan dua pendekatan, yakni pencegahan atau
antisipasi dan pemeriksaan. Pencegahan dilaksanakaan dengan senantiasa
memberikan nasehat dalam setiap forum kajian dan rapat-rapat, serta
membuka ruang konsultasi sampai melahirkan keputusan boleh atau
tidaknya terhadap permasalahn yang dihadapi. Sedangkan pemeriksaan
yang dimaksud adalah upaya untuk mengungkap kebenaran sebuah
tindakan atau transparansi yang dilakukan oleh KSPPS BMT Al-Hijrah
dengan cara memeriksa dokumen transaksi atau akad dan
membandingkannya dengan fatwa DSN. Obyek pengawasan DPS untuk
tahun 2017 ini, meliputi kegiatan operasional, produk dan aktivitas KSPPS
BMT Al-Hijrah serta pemeriksaan terhadap akad pembiayaan.
Pemeriksaan akad pembiayaan dimulai dari proses pengajuan yakni
proposal permohonan, analisa kelayakan pembiayaan, surat persetujuan
prinsip pembiayaan serta akad yang telah ditandatangani kedua belah
pihak. DPS belum melakukan pemeriksaan langsung kepada anggota
penerima pembiayaan untuk memastikan kebenaran penggunaan dana
tidak menyimpang dari akad.
C. Profil BMT Aisyiyah
1. Sejarah BMT Aisyiyah
Koperasi primer ini adalah koperasi jasa keuangan syariah Baitul
Maal wat Tamwil Aisyiyah selanjutnya dalam anggaran dasar ini disebut
BMT Aisyiyah. Koperasi jasa keuangan syariah BMT Aisyiyah
berkedudukan di kantor Pimpinan daerah Muhammadiyyah kota Sorong,
65
jalan Merpati No.17 Kelurahan Malaingkedi distrik Malaimsimsa kota
Sorong Papua Barat. Koperasi Jasa Keuangan Syariah BMT Aisyiyah
didirikan pada tanggal 21 April 2015 bersama dengan Anggaran Dasar
disetujui dan disahkan oleh pejabat berwenang, dan didirikan untuk jangka
waktu tidak terbatas.
Koperasi Jasa Keuangan Syariah BMT Aisyiyah merupakan suatu
lembaga yang didirikan oleh organisasi Aisyiyah. Adapun pertama kali
yang mengusulkan untuk pendiri BMT Aisyiyah adalah Ibu Sumaryati,
S.H. Ibu Sumaryati adalah salah satu anggota pemimpin daerah Aisyiyah
Kota Sorong yang menduduki jabatan sebagai bendahara. Karena beliau
melihat potensi asset yang dimiliki Aisyiyah dan Muhammadiyyah cukup
banyak maka perlu adanya sebuah lembaga yang mengelola asset tersebut.
Maka beliau dan beberapa teman Aisyiyah yang lainnya menggagas untuk
pendirian BMT Aisyiyah. Maksud dari BMT Aisyiyah itu sendiri pertama,
membuat daya tarik agar jama‟ah Aisyiyah dapat berkumpul, selain
pengajian yang di program, pengurus Aisyiyah membuat strategi yang
berbeda dalam menghidupkan anggota-anggota Aisyiyah. Kedua,
diharapkan saling membantu sesame manusia dengan memegang prinsip
rahmatan lil alamiin.
Koperasai jasa keuangan syariah „Aisyiyah‟ berdiri dengan
berlandaskan pada Undang-Undnag Dasar 1945 dan pancasila dengn
memegang prinsip kekeluargaan, keikhlasan, dan gotong-royong.
Koperasai jasa keuangan syariah „Aisyiyah‟ melaksanakan dan
menjalankan prinsip perkoperasian adalah sebagai berikut :
a) Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
b) Pengelolaan secara demokratis
c) Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secra adil sebanding dengan
besarnya jasa usaha masing-masing anggota
d) Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
e) Kemandirian
66
2. Visi Misi
Visi BMT Aisyiyah Kota Sorong adalah meningkatkan kualitas ibadah
anggota BMT sehinggamampu berperan sebagai khalifa Allah.Misi BMT
Aisyiyah Kota Sorong adalah menerapkan prinsip-prinsip Syariah dalam
kegiatan ekonomi, UKM (Usaha Kecil Menengah), serta membina
kepedulian aghnia kepada dhuafa secara terpola dan berkesinambungan.
3. Tujuan BMT Aisyiyah Kota Sorong
Koperasi Jasa Keuangan Syariah „Aisyiyah bertujuan untuk :
Meningkatkan kesehjateraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya, serta membangun tatanan perekonomian yang
berkeadilan sesuai prinsip-prinsip Islam.
a. memperluas dan memperbesar pangsa pasar usaha anggota dan
masyarakat lapisan bawah
b. meningkatkan efisiensi usaha kecil dan menengah, dan lembaga
pendukung
c. ikut membangun tatanan perekonomian ummat dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur yang diridhai
Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
4. Kelebihan BMT Aisyiyah
BMT Aisyiyah lahir dari organisasi Aisyiyah, dimana organisasi
Aisyiyah ini adalah salah satu organisasi ortom Muhammadiyah dimana
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi terbesar di Indonesia dengan
ratusan bahkan ribuan amal usaha yang dimilikinya seperti sekolah, rumah
sakit, universitas, dan lain sebagainya. Untuk organisasi muhammadiyah
yang berada di kota Sorong pun memiliki beberapa amal usaha yang
otomatis akan menjadi anggota BMT Aisyiyah itu sendiri, beberapa amal
usaha Muhammadiyah yang telah menjadi nasabah yaitu
SD Muhammadiyah 1
SD Muhammadiyah 2
67
MTS Muhammadiyah Al-Amin
SMP Muhammadiyah Al-Amin
SMA Muhammadiyah Al-Amin
TK ABA 2
TK ABA 3
D. Profil BMT Nur Rahmah
1. Sejarah BMT Nur Rahmah
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Baitul Maal wat
Tamwil (KSPPS BMT) Nur Rahmah didirikan pada tanggal 03 Desember
2016, yang memiliki komitmen untuk meningkatkan perekonomian
anggota pada khususnya dan umat pada umumnya. Sejak berdirinya dan
ditetapkan kepengurusan KSPPS BMT Nur Rahmah periode 2016-2017
pada Rapat Angggota Pendiri tanggal 03 Desember 2016, seluruh
pengurus dengan didukung oleh jajaran manajemen (pengelola) telah
mengupayakan berbagai langkah dalam rangka meningkatkan kerja
KSPPS. Adapun dasar pendirian KSPPS BMT Nur Rahmah adalah :
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian;
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Taun 1995 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi;
2. Nature Of Busines
BMT Nur Rahmah merupakan badan usaha yang kegiatan
usahanya diarahkan pada bidang yang berkaitan langsung dengan
kepentingan anggota, baik untuk menunjang usaha maupun
kesehjateraannya. Kelebihan kemampuan pelayanan dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota dengan
tujuan untuk mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar
volume usaha dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat
sebesar-besarnya kepada anggotanya serta untuk memasyarakatkan
koperasi.
68
3. Visi Misi
Untuk meningkatkan pelayanan kepada para anggota sarta
meningkatkan kesehjateraannya, KSPPS BMT Nur Rahmah memiliki visi
yaitu menjadi Lembaga Keuangan Mikro yang terbesar di wilayah Papua,
terluas jaringan pelayanannya, terbaik dalam pelayanan, dan konsisten
pada nilai & kaidah syariat serta ditunjang teknologi informasi yang
paripurna. Sedangkan untuk mewujudkan visi tersebut, KSPPS BMT Nur
Rahmah menjabarkan dalam misi utamanya sebagai berikut :
Membeikan layanan yang prima kepada seluruh angota dan masyarakat
luas
Mendorong anggota dan masyarakat luas untuk menabung dan
investasi
Mengembangkan SDM yang amanah, tangguh, kreartif dan inovatif.
Membangun industry Jasa Keuangan yang kokoh untuk kesehjateraan
semua pihal terkait
Berkomitmen mengembangkan lembaga dengan mengaplikasikan
nilai-nilai Islam dalam operasionalnya dan prinsip serta budaya
lembaga.
4. Maksud Dan Tujuan
BMT Nur Rahmah didirikan dengan maksud untuk meningkatkan
kesehjateraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umunya serta
ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berdasarkan
syariah Islam.
5. Budaya Kerja
Dalam rangka mewujudkan visi, misi dan tujuan perusahaan untuk KSPPS
BMT Nur Rahmah mengembangkan bdaya perusahaan dengan komitmen
pada :
69
Menciptakan suasana kerja yang kondusif serta kerjasama antar
karyawan yang harmonis guna meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia
Memberikan pelayanan kepada anggota dengan cepat dan tepat secara
profesional
Pengelolaan usaha yang bersih, terbuka (transparan) dan akuntabel.
70
BAB IV
ANALISIS PELAKSANAAN PENGAWASAN DPS
DENGAN SKNNI NO. 25 TAHUN 2017
Standarisasi dan pengembangan kompetensi, mutu serta profesionalitas
profesi Pengawas Syariah menjadi sebuah keniscayaan. Hal ini mengingat penting
dan strategisnya profesi tersebut dalam memastikan kesesuaian syariah (sharia
compliance) pada produk dan aktivitas usaha yang dijalankan oleh Lembaga
Keuangan Syariah (LKS), Lembaga Bisnis Syariah (LBS), dan Lembaga
Perekonomian Syariah (LPS).
Kesesuaian syariah tersebut merupakan tujuan dari Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 109 yang berbunyi : (1)
Perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah
selain memiliki Dewan Komisaris, wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (2)
Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri dari seorang
ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia, dan (3) Dewan Pengawas
Syariah sebagaimana dimkasud pada ayat 1 bertugas memberikan saran dan
nasihat pada direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan
prinsip syariah.
Berdasarkan amanat Undang-Undang tersebut, MUI memandang perlu
menyusun SKKNI bidang Pengawas Syariah untuk dijadikan acuan baku standar
kompetensi kerja pengawas syariah yang profesional.
Untuk dapat melahirkan Pengawasan Syariah yang berkualitas dan
kompeten, dianjurkan langkah nyata dengan mempersiapkan perangkat standar
(acuan baku) yang dapat mengukur kualitas kerja pengawas syariah. Dalam
undang-undang nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, pada pasal 10
ayat (2), telah dijelaskan bahwa pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan
program pelatihan yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja. Hal itu
diperjelas lagi dengan peraturan pelaksanaannya yang tertuang dalam pasal 3
huruf (b) Peratuan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan
71
Kerja Nasional yang menyatakan bahwa prinsip dasar pelatihan kerja adalah
berbasis pada kompetensi kerja dan pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa program
pelatihan kerja disusun berdasarkan SKKNI, Standar Internasional, dan/atau
Standar Khusus.
Ketentuan mengenai pengaturan standar kompetensi di Indonesia tertuang
di dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Maka, DSN
membuat SKKNI untuk menjadi stadar kepengawasan oleh para DPS seluruh
Indonesia, dengan mengeluarkan SKKNI No. 25 Tahun 2017.
A. Analisis Pelaksanaan Inventarisasi Bahan Pengawasan DPS di BMT Kota
Sorong sesuai dengan SKKNI No. 25 Tahun 2017
Dalam SKKNI untuk melaksanakan persiapan pengawasan syariah
dengan Kode unit M. 74DPS00.001.1 yaitu dengan menginventarisasi bahan
pengawasan syariah sesuai tugasnya mempunyai kriteria untuk kerja dalam
menyiapkan bahan yaitu bahan diidentifikasi sesuai tujuan pengawasan dan
dikumpulkan sesuai kebutuhan. Sedangkan, dalam mengelompokkan bahan
kriterianya adalah bahan-bahan dipilih antara fatwa DSN-MUI dan Peraturan
Perundang-undangan, kemudian dikelompokkan berdasarkan entitas dan
pokok masalahsertadikelompokkan berdasarkan jenis usaha, produk, dan
pelayanan.
DPS pada BMT Al-Hijrah, BMT Aisyiyah, dan BMT Nur Rahmah
mempunyai persiapan pengawasan untuk mengawasi kegiatan di BMT
tersebut terutama pada pembiayaan murabahah. Para DPS telah menyiapkan
bahan sesuai dengan standar SKKNI pada unit ini, yaitu bahan yang
digunakan adalah seluruh fatwa DSN MUI dan Peraturan Perundang-
undangan terkait Murabahah. DPS Pada BMT Al- Hijrah, BMT Aisyiyah dan
BMT Nur Rahmah telah menyiapkan dan mengidentifikasi fatwa DSN-MUI
dan Peraturan perundang-undangan terkait murabahah sesuai tujuan
pengawasan. Tetapi Dewan Pengawas Syariah tidak mengelompokkan
72
berdasarkan entitas dan pokok masalah serta jenis usaha, produk, dan
pelayanan. 70
Peraturan tersebut meliputi, UU No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, Permenkop No.16 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah, serta Fatwa yang digunakan adalah
fatwa DSN MUI No. 04 Tahun 2000 Tentang Murabahah, fatwa DSN MUI
No. 13 Tahun 2000 Tentang Uang Muka dalam Murabahah, fatwa DSN MUI
No. 16 Tahun 2000 Tentang Diskon dalam Murabahah, fatwa DSN MUI No.
23 Tahun 2002 Tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah, fatwa DSN
MUI No.46 Tahun 2005 Tentang Potongan Tagihan Murabahah, fatwa DSN
MUI No.47 Tahun 2005 Tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi
Nasabah Tidak Mampu Membayar, fatwa DSN MUI No. 48 Tahun 2005
Tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah, fatwa DSN MUI No. 49
Tahun 2005 Tentang Konversi Akad Murabahah, fatwa DSN MUI No. 50
Tahun 2006 Tentang Akad Murabahah Musytarakah, fatwa DSN MUI No. 77
Tahun 2010 Tentang Murabahah Emas, fatwa DSN MUI No. 84 Tahun 2012
Tentang Metode Pengakuan Keuntungan Pembiayaan Murabahah, dan fatwa
DSN MUI No. 90 Tahun 2013 Tentang Pengalihan Pembiayaan Murabahah
antar Lembaga Keuangan Syariah.
B. Analisis Pelaksanaan Pengawasan DPS Terhadap Akta Perjanjian
Murabahah di BMT Kota Sorong sesuai dengan SKKNI No. 25 Tahun
2017
Dalam melaksanakan pengawasan syariah Pada kode unit M.
74DPS00.002.1 dengan Judul Unit Melakukan pengawasan terhadap akta
perjanjian. Terdapat 3 (tiga) kompetensi dalam unit ini dengan 8 (delapan)
kriteria, kompetensi yang pertama yaitu mengkaji draf akta perjanjian dengan
kriteria yaitu draf akta perjanjian dikaji dari segi terpenuhi atau tidaknya
70
Wawancara pribadi dengan Mungawan, Dewan Pengawas Syariah BMT Nur Rahmah
Sorong, Jakarta, 26 Desember 2018
73
rukun dan syarat akad. Kemudian, hasil pengkajian draf akta perjanjian ditulis
salam Kertas Kerja Pengkajian (KKP). Serta, Laporan Hasil Pengkajian
(LHP) draf akta perjanjian disusun berdasarkan standar otoritas.
Kompetensi kedua yaitu mengevaluasi implementasi Akta Perjanjian
dengan kriteria yaitu permohonan penyediaan dokumen perjanjian diajukan
kepada manajemen entitas dengan cara uji petik. Kemudian, dokumen
perjanjian dianalisis kesesuaiannya dari aspek syariah dan Peraturan
Perundang-undangan. Serta Laporan Hasil Evaluasi (LHE) disusun
berdasarkan standar otoritas.
Elemen ketiga yaitu menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan (LHP)
dengan kriteria bahwa Surat pengantar dibuat untuk menyampaikan LHP/LHE
pengawasan akta perjanjian. LHP/LHE pengawasan akta perjanjian
disampaikan kepada manajemen.
Pada DPS BMT Al-Hijrah, BMT Aisyiyah dan BMT Nur Rahmah juga
melakukan pengawasan pada akta perjanjian murabahah yang dibuat oleh
manajemen dengan nasabah. DPS mengkaji dari segi terpenuhi atau tidaknya
rukun dan syarat akad murabahah. DPS juga menulis hasil pengkajian draf
akta perjanjian murabahah tersebut pada kertas kerja pengkajian, juga
membuat laporan hasil pengkajian draf akta perjanjian murabahah.71
Hanya saja DPS tidak mengevaluasi implementasi akta perjanjian
murabahah tersebut. Akta perjanjian murabahah yang dibuat belum
sepenuhnya sesuai dengan standar otoritas. Masih banyak ketidaksesuaian
dalam akta perjanjian murabahah yang dibuat oleh manajemen, tetapi tidak
dievaluasi oleh DPS. DPS juga tidak membuat surat pengantar kepada
manajemen untuk menyampaikan laporan hasil evaluasiakta akad murabahah,
hanya saja laporan akta perjanjian tersebut yang belum dievalusi disampaikan
kepada manajemen.72
71
Wawancara pribadi dengan Mungawan, Dewan Pengawas Syariah BMT Nur Rahmah
Sorong, Jakarta, 26 Desember 2018. 72
Wawancara pribadi dengan Nur Hakin, Asisten Manajer BMT Al-Hijrah Sorong, Sorong,
21 September 2018.
74
Sehingga, akta perjanjian murabahah yang dibuat belum sesuai dengan
standar akta perjanjian pada umumnya dan diberlakukan oleh manajemen
dengan nasabah. DPS mengakui mengkaji draf akta perjanjian murabahah,
dan mengevaluasi akta perjanjian tersebut. Namun, masih banyak
ketidaksesuaian dalam draf akta perjanjian murabahah yang ditemukan,
diantaranya :
a. Pada akta perjanjian murabahah BMT Al- Hijrah, akta perjanjian
murabahah BMT Aisyiyah, dan akta perjanjian murabahah BMT Nur
Rahmah masih banyak salah penulisan yang terjadi. Padahal, dalam draf
akta perjanjian, kata yang ditulis harus jelas maknanya dan sesuai dengan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sehingga, makna dan maksud
dapat tersampaikan dengan baik. Tidak hanya pada kesalahan penulisan
saja, tetapi tidak teraturnya format akta perjanjian juga ditemukan dalam
akta perjanjian ketiga BMT ini.
b. Dalam akta perjanjian murabahah ketiga BMT tersebut masih banyak
klausula yang belum dimasukkan, terutama pada akta perjanjian
murabahah BMT Aisyiyah, dan akta perjanjian murabahah BMT Nur
Rahmah. Sehingga kontrak belum memenuhi standar perjanjian.
c. Dalam akta perjanjian murabahah di BMT Al-Hijrah, keterangan setelah
identitas seharusnya menyebutkan “PIHAK PERTAMA dan PIHAK
KEDUA secara bersama-sama disebut “PARA PIHAK” dan masing-
masing disebut „PIHAK”. Karena penjelasan selanjutnya di dalam pasal
akan menyebutkan diksi tersebut.
d. Dalam akta perjanjian murabahah di BMT Al-Hijrah, terdapat klausul
yang mengatur sesuai dengan standar perjanjian murabahah, hanya saja
klausul tersebut belum sepenuhnya menjelaskan secara rinci. Seperti :
1) Pasal 1 (satu) terkait Definisi belum dicantumkan definisi-definisi
lainnya untuk menjelaskan kata yang termuat dalam pasal-pasal
selanjutnya. Definisi lain yang seharusnya dimuat dalam akta
perjanjian murabahah ini adalah Masa Pencairan, Deklarasi
Murabahah, Dokumen Perjanjian, Jaminan, Margin atau Keuntungan,
75
Nasabah, Pembelian, Pembiayaan Murabahah, Utang Murabahah serta
Surat Sanggup Untuk Membayar.
2) Pasal 1 (satu) terkait Definisi Hari Kerja pihak pertama adalah Hari
Kerja Pihak Pertama Indonesia. Jika dilihat, maka hari kerja pihak
pertama yang dimaksud dalam akta perjanjian ini adalah orang
perseorangan bukan lembaga, sehingga masih rancu jika dikatakan hari
kerja pihak pertama Indonesia.
3) Pasal 5 (lima) terkait Jangka Waktu dan Tata Cara Pembayaran. Dalam
pasal ini, tidak dicantumkan secara rinci, kapan waktu pembayaran
setiap bulannya, dan tidak menyebutkan secara eksplisit tanggal
penyelesaiaan pembayaran.
4) Pasal 7 (tujuh) terkait Biaya. Dalam pasal ini, tidak dijelaskan definisi
Biaya Administrasi, Biaya Asuransi, dan Biaya Lain-lain. Sehingga,
tidak diketahui alasan nasabah harus membayar biaya-biaya seperti ini.
5) Pasal 9 (sembilan) terkait Jaminan. Dalam pasal ini, seharusnya
menambahkan klausul “ jika jaminan tidak lagi cukup untuk menjamin
utang murabahah PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA, maka
atas permintaan PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA wajib
menambah jaminan lainnya yang disetujui PIHAK PERTAMA.
6) Pasal 13 (tiga belas) terkait Penyelesaian Perselisihan. Dalam pasal ini,
masih digunakan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI),
sedangkan sesuai peraturan MUI No. 23 Tahun 2003 Tentang telah
dihapus dan digantikan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS).
7) Pasal 13 (tiga belas) terkait Penyelesaian Perselisihan. Dalam pasal ini,
seharusnya menambahkan klausul “PIHAK PERTAMA tidak akan
melakukan eksekusi jaminan secara langsung sesaat setelah terjadi
tunggakan ataupun wanprestasi sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan bahwa PIHAK KEDUA lalai dan Pengadilan telah
memberikan hak kepada PIHAK PERTAMA untuk melakukan
eksekusi Jaminan.”
76
e. Dalam akta perjanjian murabahah di BMT Al-Hijrah, tidak dicantumkan
pasal yang menerangkan tentang hal-hal berikut ini ;
1) Prinsip Pembiayaan Murabahah
2) Penunjukan Nasabah Sebagai Kuasa Bank (Wakalah)
3) Ketentuan Uang Muka dan Margin
4) Denda
5) Pelunasan Dipercepat
6) Kewajiban Nasabah
7) Larangan Bagi Nasabah
8) Force Majeur atau Keadaan Memaksa
f. Dalam akta perjanjian murabahah di BMT Aisyiyah, dan akta perjanjian
murabahah di BMT Nur Rahmah, seharusnya mencantumkan pernyataan
waktu perjanjian dibuat, sebelum mencantumkan identitas, seperti
“Perjanjian Jual Beli murabahah dibuat di BMT Aisyiyah dan
ditandatangani pada Hari Senin, Tanggal 23 Mei 2018, oleh dan antara
pihak-pihak.”
g. Dalam akta perjanjian murabahah di BMT Aisyiyah, dan akta perjanjian
murabahah di BMT Nur Rahmah, keterangan setelah identitas seharusnya
menyebutkan “PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA secara bersama-
sama disebut “PARA PIHAK” dan masing-masing disebut „PIHAK”.
Karena penjelasan selanjutnya di dalam pasal akan menyebutkan diksi
tersebut.
h. Dalam akta perjanjian murabahah di BMT Aisyiyah, dan akta perjanjian
murabahah di BMT Nur Rahmah, tertulis Judul dahulu kemudian Pasal,
yang seharusnya menuliskan Pasal dahulu kemudian Judul. Beberapa pasal
juga tidak mempunyai judul, sehingga ketika membaca akta perjanjian,
terdapat kekeliruan. Seharusnya, ketika pasal dicantumkan tanpa memuat
judul, maka yang dipakai adalah Bab per Bab, bukan Pasal per Pasal.
i. Dalam akta perjanjian murabahah di BMT Aisyiyah, dan akta perjanjian
murabahah di BMT Nur Rahmah sudah ada klausul-klausul yang
mengatur sesuai dengan standar perjanjian murabahah, hanya saja klausul
tersebut belum sepenuhnya menjelaskan secara rinci. Seperti :
77
1) Pasal 2 (dua) terkait Biaya.73
Dalam pasal ini, tidak dijelaskan definisi
Biaya Administrasi, Biaya Asuransi, dan Biaya Lain-lain. Sehingga,
tidak diketahui alasan nasabah harus membayar biaya-biaya seperti
ini. Dalam pasal ini juga tidak mengatur tentang biaya yang
ditimbulkan akibat cedera janji karena penggunaan jasa penasihat
hukum/kuasa.
2) Pasal 7 (Tujuh) terkait Jaminan.74
Dalam pasal ini, seharusnya
menambahkan klausul “ jika jaminan tidak lagi cukup untuk
menjamin utang murabahah PIHAK KEDUA kepada PIHAK
PERTAMA, maka atas permintaan PIHAK PERTAMA, PIHAK
KEDUA wajib menambah jaminanlainnya yang disetujui PIHAK
PERTAMA.
3) Pasal 9 (sembilan) terkait Pengawasan Dan Pemeriksaan. Dalam pasal
ini seharusnya ditambahkan penjelasan “pengawasan/pemeriksaan
terhadap barang maupun barang jaminan, serta pembukuan dan
catatan pada setiap saat selama berlangsungnya Perjanjian ini, dan
kepada petugas PIHAK PERTAMA tersebut diberi hak untuk
mengambil gambar (foto), memuat fotokopi dan/atau catatan-catatan
yang dianggap perlu.”
4) Pasal 11 (sebelas) terkait Wanprestasi. Dalam pasal ini, seharusnya
menambahkan klausul :75
a) “PIHAK KEDUA dinyatakan dalam pailit, ditaruh di bawah
pengampuan, dibubarkan, insolvensi dan/atau likuidasi.”
b) Apabila karena suatu sebab, seluruh atau sebagian akta jaminan
dinyatakan batal atau dibatalkan berdasarkan Putusan Pengadilan
atau Badan Arbitrase”
c) Apabila pihak yang bertindak untuk dan atas nama serta mewakili
PIHAK KEDUA dalam Perjanjian ini menjadi pemboros,
pemabuk, atau dihukum berdasarkan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan tetap dan pasti karena tindak pidana yang
73
Bahan Ajar Kontrak Bisnis Syariah, Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. Hal. 185. 74
Bahan Ajar Kontrak Bisnis Syariah, Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. Hal. 187. 75
Bahan Ajar Kontrak Bisnis Syariah, Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. Hal. 190.
78
dilakukannya, yang diancam dengan hukuman penjara atau
kurungan selama satu tahun atau lebih.
5) Pasal 16 (enam belas) terkait Domisili atau seharusnya ditulis
Penyelesaian Sengketa.76
Dalam pasal ini,masih digunakan Pengadilan
Negeri Sorong. Sedangkan kewenangan pengadilan dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah kewenangan
Pengadilan Agama. 77
6) Pasal 16 (enam belas) terkait Domisili atau seharusnya ditulis
Penyelesaian Sengketa. Dalam pasal ini, seharusnya menambahkan
klausul “PIHAK PERTAMA tidak akan melakukan eksekusi jaminan
secara langsung sesaat setelah terjadi tunggakan ataupun wanprestasi
sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa PIHAK
KEDUA lalai dan Pengadilan telah memberikan hak kepada PIHAK
PERTAMA untuk melakukan eksekusi Jaminan.”
j. Dalam akta perjanjian murabahah di BMT Aisyiyah, dan akta perjanjian
murabahah di BMT Nur Rahmah, tidak dicantumkan pasal yang
menerangkan tentang hal-hal berikut ini :78
1) Pokok Perjanjian
2) Syarat dan Tata Cara Realisasi Pembiayaan
3) Prinsip Pembiayaan Murabahah
4) Penunjukan Nasabah Sebagai Kuasa BMT
5) Penyerahan Barang
6) Jangka Waktu dan Cara Pembayaran
7) Pengakuan Utang dan Pemberian Jaminan
8) Biaya
9) Force Majeur atau Keadaan Memaksa.
10) Penutup
k. Dalam akta perjanjian murabahah di BMT Aisyiyah, dan akta perjanjian
murabahah di BMT Nur Rahmah banyak klausul yang belum dimuat atau
dimasukkan, sehingga klausul yang terdapat dalam kontrak tidak memuat
76
Ajar Kontrak Bisnis Syariah, Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. Hal. 193. 77
UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama 78
Ajar Kontrak Bisnis Syariah, Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. Hal. 171.
79
rukun dan syarat akad murabahah sendiri, sehingga akad jual beli
murabahah yang tertuang dalam akad murabahah BMT Aisyah dan BMT
Nur Rahmah dapat dikatakan batal atau tidak sah, dan dapat dikategorikan
sebagai akad konvensional.
C. Analisis Pelaksanaan Pengawasan DPS Terhadap Prosedur Produk
dan/atau Layanan Baru di BMT Kota Sorong sesuai dengan SKKNI
No.25 Tahun 2017
Untuk melaksanakan pengawasan syariah Pada kode unit M.
74DPS00.003.1 dengan Judul melakukan pengawasan terhadap prosedur
produk dan/atau layanan Baru terdapat 3 (tiga) kompetensi dengan 8 (delapan)
kriteria.
Kompetensi pertama yaitu mengkaji draf prosedur produk dan/atau
layanan baru dengan kriteria yaitu draf prosedur produk dan/atau layanan baru
dikaji dari segi terpenuhi atau tidaknya prinsip-prinsip syariah, kemudian hasil
pengkajian draf prosedur produk dan/atau layanan baru ditulis dalam Kertas
Kerja Pengkajian (KKP), serta Laporan Hasil Pengkajian (LHP) draf prosedur
produk dan/atau layanan baru disusun brdasarkan standar otoritas.
Kompetensi kedua yaitu mengevaluasi implementasi prosedur produk
dan/atau layanan baru dengan kriteria permohonan penyediaan dokumen
prosedur produk dan/atau layanan baru yang telah diimplementasikan
diajukan kepada manajemen. Kemudian dokumen prosedur dan/atau layanan
baru dianalisis kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip syariah. Serta LHE
implementasi layanan baru disusun berdasarkan standar otoritas.
Kompetensi ketiga yaitu menyampaikan LHP prosedur produk
dan/atau layanan baru dengan kriteria surat pengantar dibuat untuk
menyampaikan LHP/LHE pengawasan prosedur produk dan/atau layanan
baru, serta LHP/LHE prosedur produk dan/atau layanan baru disampaikan
kepada manajemen.79
79
Wawancara pribadi dengan Mungawan, Dewan Pengawas Syariah BMT Nur Rahmah
Sorong, Jakarta, 26 Desember 2018
80
Dalam unit ini, DPS pada BMT Al-Hijrah, DPS BMT Aisyiyah dan
DPS BMT Nur Rahmah mengakui melakukan pengkajian terhadap Standar
Operasional Prosedur (SOP) pada akad murabahah. Seperti menuliskan
laporan hasil pengawasan yang disampaikan kepada manajemen. Hanya saja,
dalam wawancara dengan manajemen BMT Al-Hijrah, BMT Aisyiyah, dan
BMT Nur Rahmah tidak dikatakan bahwa DPS mengawasi Standar
Operasional Produk tersebut. Dalam SOP akad murabahah yang
diimplementasikan, banyak yang tidak sesuai dengan SOP yang sesuai dengan
peraturan. SOP yang tidak sesuai tersebut dalam hal :80
a. Dalam praktek murabahah, seharusnya barang atau objek tersebut menjadi
milik BMT dahulu, lalu kemudian diperjualbelikan dengan nasabah. Jika
BMT ingin mewakilakan pembelian barang tersebut kepada nasabah
seharusnya adanya akad wakalah yang digunakan, yang termasuk dalam
konversi akad murabahah yang diatur dalam fatwa DSN MUI. Hanya saja,
pada implementasi akad murabahah pada BMT Al-Hijrah, BMT Aisyiyah
dan BMT Nur Rahmah tidak mengimplementasikannya. Barang atau
objek tersebut belum menjadi milik BMT, dan jika mewakilkan barang
tersebut kepada nasabah, maka tidak terjadi konversi dengan akad
wakalah seperti yang diatur oleh fatwa DSN MUI.
b. Seharusnya Ijab Qabul yang dilakukan setelah barang secara prinsip
menjadi milik BMT juga tidak dilakukan oleh ketiga BMT tersebut.
Beberapa akad murabahah yang terjadi, barang atau objeknya belum
menjadi milik BMT.
c. Seharusnya Bukti pembelian (jika menggunakan wakalah) diserahkan
nasabah kepada BMT. Tetapi pada implementasinya hanya diperlihatkan
kepada BMT, bukti tetep dipegang oleh nasabah, karena akan menjadi
catatan nasabah untuk memperhitungkan usahanya. Hanya modal
kepercayaan dari BMT kepada nasabah, dan mencatat pengeluaran/biaya
80
Wawancara pribadi dengan Syamsul Arifin, Manajer BMT Nur Rahmah Sorong, Sorong,
24 September 2018
81
yang dikeluarkan dalam catatan biasa, dan tidak menyertakan bukti
pembelian berupa nota.81
d. Tidak pernah diimplementasikan adanya uang muka. Manajemen tidak
pernah menyampaikan prosedur uang muka kepada nasabah, sehingga
tidak ada pula nasabah yang membayar dengan uang muka.
e. Tidak memberlakukan denda ketika terjadi kemacetan dalam pelunasan
utang murabahah.
f. Bagi BMT Nur Rahmah, denda adalah sesuatu yang haram diberlakukan
karena akan menyusahkan para nasabah.82
g. DPS tidak menyampaikan surat pengantar yang dibuat untuk
menyampaikan laporan hasil pengawasan SOP murabahah kepada
manajemen. 83
D. Analisis Pelaksanaan Pengawasan DPS Terhadap Pemasaran Produk di
BMT Kota Sorong sesuai dengan SKKNI No. 25 Tahun 2017
Untuk melaksanakan pengawasan syariah Pada kode unit M.
74DPS00.004.1 dengan Judul melakukan pengawasan terhadap pemasaran
produk adalah tugas Dewan Pengawas Syariah dengan deskripsi Unit yaitu
unit kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap kerja yang dibutuhkan dalam melakukan pengawasan terhadap
pemasaran produk berdasarkan prinsip syariah. Terdapat 3 (tiga) elemen
kompetensi dengan 8 (delapan) kriteria.
Elemen pertama yaitu mengkaji rancangan pemasaran produk dengan
kriteria rancangan pemasaran produk dikaji dari segi terpenuhi atau tidaknya
prinsip-prinsip syariah. Kemudian Hasil pengkajian Rancangan pemasaran
produk ditulis dalam KKP, serta LHP rancangan pemasaran produk disusun
berdasarkan standar otoritas.
81
Wawancara pribadi dengan Astini, Manajer BMT Aisyiyah Sorong, Sorong, 21
September 2018. 82
Wawancara pribadi dengan Syamsul Arifin, Manajer BMT Nur Rahmah Sorong, Sorong,
28 September 2018. 83
Wawancara pribadi dengan Mungawan, Dewan Pengawas Syariah BMT Nur Rahmah
Sorong, Jakarta, 26 Desember 2018.
82
Elemen kedua yaitu mengevaluasi implementasi pemasaran produk
dengan kriteria permohonan penyediaan dokumen pemasaran produk yang
telah diimplementasikan diajukan kepada manajemen. Kemudian dokumen
pemasaran produk dianalisis kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip syariah.
Serta LHP implementasi pemasaran produk disusun berdasarkan standar
otoritas.
Elemen ketiga yaitu menyampaikan LHP pemasaran produk dengan
kriteria, Surat pengantar dibuat untuk menyampaikan LHP/LHE pemasaran
produk disampaikan kepada manajemen.
Pada kepengawasan BMT Al-Hijrah, BMT Aisyiyah dan BMT Nur
Rahmah, DPS telah mengkaji rancangan pemasaran produk. Rancangan
pemasaran produk yang dibuat sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Hasil rancangan pemasaran produk tersebut ditulis dalam kertas pengkajian,
laporan juga telah disusun berdasarkan standar otoritas. Laporan pemasaran
produk juga disampaikan kepada manajemen.84
Tetapi laporan manajemen bahwa rancangan pemasaran produk dikaji
oleh manajemen sendiri dan dievalusi oleh DPS. Kajian pemasaran produk
oleh manjemen sendiri sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk
pengkajian pemasaran produk pada ketiga BMT ini oleh manajemen masing-
masing BMT, masih banyak yang perlu dikembangkan sehingga pemasaran
produk disesuaikan dengan teknologi maupun media lain yang lebih
mengikuti perkembangan jaman. 85
E. Analisis Pelaksanaan Pengawasan DPS Terhadap Laporan Keuangan di
BMT Kota Sorong sesuai dengan SKKNI No. 25 Tahun 2017
Dalam melaksanakan pengawasan syariah Pada kode unit M.
74DPS00.005.1 dengan Judul melakukan pengawasan terhadap laporan
keuangan adalah tugas DPS dengan deskripsi Unit yaitu unit kompetensi ini
84
Wawancara pribadi dengan Mungawan, Dewan Pengawas Syariah BMT Aisyiyah,
Jakarta, 26 Desember 2018. 85
Wawancara pribadi dengan Nur Hakin Asisten Manajer BMT Al-Hijrah Sorong, Sorong,
25 September 2018.
83
berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang
dibutuhkan dalam melakukan pengawasan laporan keuangan. Terdapat 7
(tujuh) elemen kompetensi dengan 14 (empat belas) kriteria.
Kompetensi pertama yaitu memperoleh laporan keuangan dari
manajemen entitas syariah dengan kriteria laporan keuangan diminta dari
manajemen dan laporan keuangan diterima dalam bentuk tertulis. Kedua,
mengevaluasi laporan keuangan menyangkut kesesuaian akun dengan standar
akuntansi syariah dengan kriteria akun-akun yang dipergunakan dalam
laporan keuangan entitas syariah dikaji dan akun-akun yang dipergunakan
dibandingkan dengan standar akuntansi syariah.
Ketiga, mengevaluasi kesesuaian pengakuan atas bagi hasil, marjin,
hasil denda, kontribusi asuransi, dan pos-pos non-halal dengan ketentuan
syariah dengan kriteria pengakuan atas pendapatan bagi hasil, marjin, ujrah,
hasil denda, dan kontribusi asuransi, dan pos-pos non-halal dikaji, serta
pengakuan yang dilakukan dibandingkan dengan fatwa DSN-MUI.
Keempat, memastikan kebenaran pengakuan atas penerimaan dan
penyaluran dana ZIS dan wakaf dengan kriteria laporan penerimaan dana ZIS
dan wakaf dikaji serta penerimaan dan penyaluran dana ZIS dibandingkan
dengan ketentuan syariah , terutama fatwa MUI dan DSN MUI.
Kelima, menyimpulkan kesesuaian umum laporan keuangan dengan
ketentuan syariah dengan kriteria laporan keuangan entitas syariah secara
umum dinyatakan tidak melanggar fatwa DSN MUI serta laporan keuangan
entitas syariah secara umum dinyatakan sesuai/belum sesuai dengan prinsip
syariah.
Keenam, memberikan masukan dan/atau rekomendasi terkait
pelaporan keuangan entitas syariah dengan kriteria masukan dan rekomendasi
dirumuskan serta dicatat dalalm dokumen.
Ketujuh adalah menyelesaikan dokumen catatan
masukan/rekomendasi dengan kriteria dokumen catatan masukan/rekomendai
diselesaikan dan diserahkan.
84
Pada kepengawasan laporan keuangan akad murabahah BMT Al-
Hijrah, BMT Aisyiyah dan BMT Nur Rahmah, DPS telah menerima laporan
keuangan murabahah dari manajemen dalam bentuk tertulis.86
Laporan
keuangan murabahah yang dibuat oleh manajemen juga sudah disesuaikan
dengan standar akuntansi syariah. Laporan keuangan yang diberikan dari
manajemen kepada DPS juga dinyatakan tidak melanggar fatwa DSN MUI
dan sudah sesuai dengan prinsip syariah.87
Laporan Keuangan BMT Al-Hijrah, yaitu :88
Sebagai indikator dalam penilaian kinerja sebuah lembaga keuangan
mikro, beberapa pos keuangan yang dapat diukur kemajuannya antara lain :
a. Total Asseet mengalami peningkatan 64,67% dari sebelumnya.
b. Simpanan anggota mengalami peningkatan sebesar 79,42% dari
sebelumnya.
c. Outstanding pembiayaan mengalami peningkatan sebesar 32,26% dari
sebelumnya.
d. Realisasi pembiayaan mengalami kenaikan sebesar 72,92 dari
sebelumnya.
e. Pendapatan yang diterima mengalami kenaikan sebesar 48,04%
dibandingkan dengan jumlah pendapat tahun sebelumnya.
f. Biaya yang dikeluarkan naik 25,23% dibanding jumlah biaya tahun
sebelumnya.
g. Sedangkan laba bersih atau Sisa Hasil Usaha sebelum Zakat
mengalami peningkatan besar 106,66% dari sebelumnya.
h. Peningkatan modal sendiri.
86
Wawancara pribadi dengan Nursono Sidik Dewan Pengawas Syariah BMT Al-Hijrah
Sorong, Sorong, 30 September 2018. 87
Wawancara pribadi dengan Mungawan, Dewan Pengawas Syariah BMT Nur Rahmah
Sorong, Jakarta, 26 Desember 2018. 88
Laporan Tahunan dalam Rapat Anggota Tahunan BMT Al-Hijrah Kota Sorong tahun
2017.
85
Laporan Keuangan pada BMT Nur Rahmah
Sebagai indikator dasar dalam penilaian kerja sebuah lembaga
keuangan mikro, beberapa pos keuangan yang dapat dilihat kemajuannya
antara lain;89
a. Total asset bertambah
b. Outstanding pembiayaan pada akhir bertambah dengan 46 orang
anggoa peminjam
c. Laba bersih sebelum zakat dan pajak bertambah
d. Simpanan anggota bertambah
e. Modal sendiri bertambah
f. Aktiva tetap bertambah
F. Analisis Pelaksanaan Pengawasan DPS Terhadap Penyusunan Opini
Syariah di BMT Kota Sorong sesuai dengan SKKNI No. 25 Tahun 2017
Untuk melaksanakan pengawasan syariah Pada kode unit M.
74DPS00.006.1 dengan Judul Menyusun Opini Syariah adalah tugas DPS
dengan deskripsi Unit yaitu unit kompetensi ini berhubungan dengan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam menyusun
opini sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Terdapat 4 (empat) elemen
kompetensi dengan 10 (sepuluh) kriteria.
Kompetensi pertama yaitu menyiapkan bahan penyusunan opini
syariah dengan kriteria yaitu masalah yang diajukan pemohon opini
diidentifikasi secara cermat dan teliti, kemudian bahan penyusunan opini
syariah disiapkan secara lengkap sesuai dengan pokok maslah yang
disampaikan, serta bahan opini syariah berupa data dan/atau informasi
diperoleh dari pihak peminta opini syariah secara lisan dan/atau tertulis.
Kompetensi kedua yaitu mendeskripsikan pokok persoalan dengan
kriteria yaitu pokok persoalan dipaparkan secara tertulis dengan jelas, serta
89
Laporan Tahunan dalam Rapat Anggota Tahunan BMT Nur Rahmah Kota Sorong tahun
2017.
86
deskripsi pokok masalah dikonfirmasikan kembali kepada pihak peminta opini
syariah.
Kompetensi ketiga yaitu menganalisis masalah berdasarkan prinsip
syariah dengan kriteria pokok maslah dianalisis kesesuaiannya dengan
prinsip-prinsip syariah, serta hasil analisisis pokok masalah opini syariah
dibuat secara tertulis.
Kompetensi keempat yaitu, menyampaikan hasil opini syariah kepada
pihak-pihak terkait dengan kriteria surat pengantar dibuat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kemudian hasil opini syariah
dikirimkan kepada DSN MU, regulator, dan pihak terkait, serta hasil opini
syariah diarsipkan.
DPS pada BMT Al-Hijrah, DPS BMT Aisyiyah dan DPS BMT Nur
Rahmah juga telah membuat opini syariah terkait murabahah yang diajukan
oleh pemohon opini yaitu manajemen masing-masing BMT. Opini terkait
murabahah dibuat dalam bentuk tulisan dan diberikan kepada DPS.90
DPS
kemudian menyampaikan hasil opini syariah terkait murabahah kepada DSN
MUI. Permintaan opini biasanya dikumpulkan pada rapat seluruh BMT di
Kota Sorong, yang dilakukan setiap satu minggu sekali pada hari Selasa pukul
08.00 – 10.00 Waktu Indonesia Timur (WIT).91
90
Wawancara pribadi dengan Nur Hakin Asisten Manajer BMT Al-Hijrah Sorong, Sorong,
25 September 2018. 91
Wawancara pribadi dengan Syamsul Arifin, Manajer BMT Nur Rahmah Sorong, Sorong,
28 September 2018.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang sudah penulis kemukakan pada bab
sebelumnya, dan merujuk pada rumusan masalah yang terdapat di bab
pendahuluan, maka simpulan dari penelitian ini dapat dilihat pada uraian
berikut :
1. Implementasi akad murabahah di BMT Kota Sorong masih belum sesuai
dengan aturan yang diatur oleh fatwa-fatwa DSN MUI dan Peraturan
Perundang-undangan. Dapat dilihat dari implementasi yang dilakukan oleh
manajemen kepada nasabah pembiayaan Murabahah di BMT Kota Sorong,
diantaranya :
a. Dalam praktek murabahah, seharusnya barang atau objek tersebut
menjadi milik BMT dahulu, lalu diperjualbelikan dengan nasabah.
b. Seharusnya Ijab Qabul yang dilakukan setelah barang secara
prinsip menjadi milik BMT juga tidak dilakukan oleh ketiga BMT
tersebut.
c. Seharusnya Bukti pembelian (jika menggunakan wakalah)
diserahkan nasabah kepada BMT.
d. DPS tidak menyampaikan surat pengantar yang dibuat untuk
menyampaikan laporan hasil pengawasan SOP murabahah kepada
manajemen.
e. Pada BMT Aisyiyah dan BMT Nur Rahmah, kontrak yang dibuat
tidak memuat klausul yang seharusnya, sehingga kontrak dapat
dikatakan batal atau tidak sah dan termasuk dalam akad
konvensional.
2. Mekanisme Pengawasan DPS terhadap produk murabahah di BMT Kota
Sorong belum maksimal sehingga belum efektif sesuai dengan SKKNI.
Pada SKKNI ini terdapat enam standar kepengawasan dengan empat
stnadar kepengawasan yang belum dicapai oleh DPS BMT Kota Sorong,
diantaranya :
88
a. DPS tidak mengelompokkan bahan pengawasan berdasarkan
entitas dan pokok masalah serta jenis usaha, produk, dan
pelayanan.
b. DPS tidak mengevaluasi implementasi akta perjanjian murabahah.
c. DPS tidak mengevaluasi prosedur produk dan/atau layanan baru.
d. Dalam hal pengawasan pemasaran produk, DPS menyerahkan
pengkajian kepada para management, dan tidak dievaluasi oleh
DPS.
B. Rekomendasi
1. Pengawasan Dewan Pengawas Syariah di BMT Al-Hijrah, terutama di
BMT Aisyiyah, dan BMT Nur Rahmah perlu ditingkatkan lagi. Walaupun
pengawasan sekarang sudah baik, ditambah dengan menimbulkan adanya
aspek ruhiyah kepada manajemen BMT dan para anggotanya, sehingga
para manajemen dan anggota BMT sadar akan kepentingan membangun
lingkungan yang bernuansa syariah. Tetapi tidak cukup untuk
menanamkan kepada semua lini di BMT agar paham dan sadar dalam
menyesuaikan produk dan implementasi sesuai peraturan yakni
perundang-undangan maupun fatwa DSN MUI.
2. Para manajemen dan seluruh anggota BMT Al-Hijrah, terutama BMT
Aisyiyah dan BMT Nur Rahmah harus memahami dengan baik standar
operasional prosedur akad pembiayaan murabahah, karena akad
pembiayaan murabahah yang paling banyak diminati oleh para nasabah.
Sehingga, perlu pemahaman yang lebih secara rinci terkait pembiayaan
murabahah.
3. Akan jauh lebih baik lagi jika semua lini di BMT Al-Hijrah, terutama pada
BMT Aisyiah, dan BMT Nur Rahmah mensosialisasikan lagi kepada
masyarakat terkait produk-produk BMT, sehingga masyarakat sadar akan
adanya pertumbuhan ekonomi mikro syariah yang menjangkau masyarakat
ekonomi menengah di kota Sorong.
89
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrahman Nana Herdiana, Manajemen Bisnis Syariah dan Kewirausahaan. Bandung: CV Pustaka Setia, 2013.
Abu Sinn, Ahmad Ibrahim. Manajemen Syariah : Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Atho, Mudhar Muhammad, Islam and Islamic Law in Indonesia : A social Historical Approach. Jakarta: Departemen Agama, 2003.
Azra Azyumardi.Berdema Untuk Semua. Jakarta: PT. Mizan Publika.
Bambang Waluyo.Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Bungin Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Burhanuddin. Koperasi Syariah dan Pengaturannya di Indonesia. Malang: UIN-Maliki Press, 2013.
Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2007.
Djazuli Ahmad dan Yadi Yanwari. Lembaga-Lembaga perekonomian Umat Sebuah Pengenalan, Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Hafidhuddin Didin. Manajemen Syariah dalam Praktik. Jakarta: Gema Insani, 2003.
Hakim Cecep Maskanul. Belajar Mudah Ekonomi Islam: Catatan kritis Terhadap Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, Tanggerang: Shuhuf Media Insani), 2012.
HandokoT. Hani. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE, 2013.
Harahap Sofyan Syafri, Auditing dalam PerspektifIslam. Jakarta: Pustaka Quantum, 2002.
Hasil Rakernas. Pedoman Penyelenggara Organisasi Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2011.
Huda Miftahul.Filsafat Hukum Islam : Menggali Hakikat, Sumber dan Tujuan Hukum Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2006.
Huda Nurul dan Mohamad Heykal.Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta : PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2013.
90
Ibrahim Johny. Teori dan Metodologi Penelitan Hukum Normatif. Malang:Bayu Media, 2006.
Iqbal Zamir dan Abbas Mirakhor.Pengantar Keuangan Islam : Teori dan Praktek, terjemahan oleh A.K. Anwar. Jakarta:Prenada Media Group, 2008.
Ismail,Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011.
Karim Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Lathif, A.H Azharuddin.Bahan Ajar Kontrak Bisnis Syariah, Jakarta: UIN Press, 2016.
Machmud Amir dan Rukmana. Bank Syariah Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010.
Mubarak Jaih dan Hasanudin. Fikih Muamalah Maliyyah: Akad Jual Beli. Jakarta : Simbiosa Rekatama Media, 2018.
Muhammad. Audit & Pengawasan Syariah Pada Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press, 2011.
Muhammad. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2005.
Noor Juliansyah. Metode Penelitian, Skripsi, Tesis & Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Perwataatmadja Karnaen A.Membumikan Ekonomi Islam Di Indonesia. Depok: Usaha Kami,
PINBUK, Pedoman Cara Pembentuk BMT Balai Usaha Mandiri Terpadu, PINBUK, Jakarta
Poewadarmita. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Qardawi, Yusuf. al-fatwa Baina al-Indibad awa al-Tasayyub. Mesir; Maktabah Wahbah, 1997.
Ridwan, Muhammad. Konstruksi Bank Syariah Indonesia. Yogyakarta: Pustaka SM, 2007.
Ridwan, Muhammad.Manajemen Baitul Maal Wat Tamwil. Jakarta:UUI Press, 2004.
Ridwan, Muhammad.Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2003.
Rizky Awalil.BMT : Fakta dan Prospek Baitul Maal Wat Tamwil. Yogyakarta: Kreaso Wacana, 2007.
Safinyah Ghufron, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah. Jakarta : Renaisan, 2007.
Sudarsono Heri. Bank& Lembaga Keuangan Syariah, Deskrpsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2004.
Sugiyono. Metode Penelitin Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2011.
Sukarna. Dasar-dasar Manajemen. Bandung: Mandar Maju, 1992.
91
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Usmani, Taqi. An Introduction To Islamic Finance. Makataba Ma‟arif Quran Karachi, 2002.
Yunus Jamal Lulail, Managemen Bank Syariah “Mikro”. Malang: UIN Malang press, 2009.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Peraturan-Peraturan
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 4 Tahun 2000 Tentang Murabahah
Fatwa DSN MUI No. 13 Tahun 2000 Tentang Uang Muka dalam Murabahah
Fatwa DSN MUI No. 16 Tahun 2000 Tentang Diskon dalam Murabahah
Fatwa DSN MUI No. 23 Tahun 2002 Tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
Fatwa DSN MUI No.46 Tahun 2005 Tentang Potongan Tagihan Murabahah
Fatwa DSN MUI No.47 Tahun 2005 Tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar
Fatwa DSN MUI No. 48 Tahun 2005 Tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah
Fatwa DSN MUI No. 49 Tahun 2005 Tentang Konversi Akad Murabahah
Fatwa DSN MUI No. 50 Tahun 2006 Tentang Akad Murabahah Musytarakah
Fatwa DSN MUI No. 77 Tahun 2010 Tentang Murabahah Emas
Fatwa DSN MUI No. 84 Tahun 2012 Tentang Metode Pengakuan Keuntungan Pembiayaan Murabahah
Fatwa DSN MUI No. 90 Tahun 2013 Tentang Pengalihan Pembiayaan Murabahah antar Lembaga Keuangan Syariah.
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 2017 Tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
Peraturan Menteri Koperasi No. 2 Tahun 2017 Tentang Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi
Peraturan Menteri KUKM No.11 Tahun 2017 Tentang Pedoman Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi
Jurnal, Skripsi, dan Tesis Abdul Aziz, Hisyam Faturrahman, dan Nugraha “Peran DPS dalam pengawasan
Operasional BMT” , Vol.III No.II, 2015.
92
Aisyiah, Novita Dewi “Analisis Normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) atas status Badan Hukum Dan Pengawasan Baitul Maal wat Tamwil (BMT)”, jurnal Ekonomika Volume V, edisi 2, Oktober 2014.
Anggadini, S. D“Penerapan Margin Pembiayaan Murabahah pada BMT Pacet Cianjur”, Fakultas Ekonomi. Unikom. Vol. 9 No. 2, 2008.
Ansori, Isa “Problematika Dewan Pengawaws Syariah Dan Solusinya”,Jurnal Studi Keislaman, No. 1 Juni-Januari 2013.
Dewi, Nourma “Regulasi Keberadaan Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Dalam Sistem Perekonomian di Indonesia”,Jurnal Serambi Hukum Vol. 11 No. 01 Februari – Juli 2017.
Faozan, Akhmad “Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) Di Lembaga Keuangan Syariah”, Jurnal FH. UNISBA, Vol.8 No.3. Tahun 2011.
Haitam, Ibnu “Review Of The Theory And Practice Of Islamic Banking In Indonesia. AICIF, 2015.
Heykal, Mohammad “Perbandingan Pembiayaan Murabhah & Musyarakah Menurun Untuk Produk Pembiayaan Konsumtif Pada Bank Syariah”. CBAM. ISSN : 2302 – 9791. Vol : 1. No : 1, 2012.
Hidayat, Farid “Alternatif Sistem Pengawasan Pada Koperasi Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) Dalam Mewujudkan Shariah Compliance, Mahkamah”Vol. 2, No. 1, Desember 2016.
Lathif, A.A “Konsep Dan Aplikasi akad Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia”. MES. Jakarta. Ahkam : Vol.XII, No.2, 2012.
Latif, Abdul“MekanismePengawasan Dewan Pengawas Syariah pada BMT Tumang”,Vol.III no.III, 2017.
Lukman, Haryono “Penerapan Prinsip Pembiayaan Syariah (Murabahah) pada BMT Usaha di Kabupaten Semarang”. Jurnal Law and Justice Vol. 2 No.1, 1 April 2017 .
Mansuri, M. Tahir “Islamic Law Of Contracts And Bussiness Transactions”, New Dellhi Adam Publisher And Distribution, 2006.
Sa‟diyah, Mahmudatul“Pengembangan Produk-Produk Lembaga Keuangan Mikro Syariah”, Vol. 2 No. 1,
Umam, Khotibul“Urgensi Standarisasi Dewan Pengawas Syariah Dalam Meningkatkan Kualitas Audit Kepatuhan Syariah”,Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakrta, Vol. 1 No. 2 Tahun 2015.
Usmani, Taqi. An Introduction To Islamic Finance.Makataba Ma‟arif Quran Karachi, 2002.
93
Website Mysharing.co/Dewan-Pengawas-Syariah-Saja-Tidak-Cukup pada 28 November
2016. Metode Penelitian Hukum Empiris dan Normatif, ID, Tesis,
https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/, 14 April
2018. Otoritas Jasa Keuangan. 2016. Standar Produk Perbankan Syariah.
http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Buku Standar-Produk-Perbankan-Syariah-Syariah-Murabahah/Buku Standar Produk Murabahah.pdf. pada Desember 2016.
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-kerangka-teori-definisi.html
pada 11 Februari 2018. http://metode360.blogspot.co.id/2015/08/pengertian-metode-analisis-data.html
pada 11 Februari 2018. Wawancara Wawancara pribadi dengan Nur Hakin Asisten Manajer BMT Al-Hijrah Sorong,
Sorong, 19 September 2018. Wawancara pribadi dengan Astini, Manajer BMT Aisiyah Sorong, Sorong, 19
September 2018. Wawancara pribadi dengan Nur Hakin Asisten Manajer BMT Al-Hijrah Sorong,
Sorong, 21 September 2018. Wawancara pribadi dengan Astini, Manajer BMT Aisyiyah Sorong, Sorong, 21
September 2018. Wawancara pribadi dengan Syamsul Arifin, Manajer BMT Nur Rahmah Sorong,
Sorong, 24 September 2018. Wawancara pribadi dengan Nur Hakin Asisten Manajer BMT Al-Hijrah Sorong,
Sorong, 25 September 2018. Wawancara pribadi dengan Syamsul Arifin, Manajer BMT Nur Rahmah Sorong, Sorong, 28 September 2018. Wawancara pribadi dengan Nursono Sidik Dewan Pengawas Syariah BMT Al-
Hijrah Sorong, Sorong, 30 September 2018. Wawancara pribadi dengan Mungawan, Dewan Pengawas Syariah BMT
Aisyiyah, Jakarta, 26 Desember 2018. Wawancara pribadi dengan Mungawan, Dewan Pengawas Syariah BMT Nur
Rahmah Sorong, Jakarta, 26 Desember 2018.
94
LAMPIRAN – LAMPIRAN
95
Lampiran 1
Hasil analisisis kesesuaian akad Murabahah
BMT Al-Hijrah sesuai Fatwa DSN MUI
No Deskripsi B S Keterangan
1.
Para pihak jelas dan memenuhi syarat
akad
√
2. Obyek murabahah jelas dan tidak
bertentangan dengan syariah
√
3. Obyek murabahah berupa barang atau
dominanberupa barang bukan jasa
√
4. Ijab qobul secara lisan dan/atau tulisan √ Lebih banyak secara lisan
5. Penjual/kopsyah memberitahu biaya
modal kepada pembeli (nasabah)
√
6.
Spesifikasi obyek jual beli jelas dan
tertentu
√
7.
Jika penjual (kopsyah) mewakilkan
pembelian barang kepada nasabah ada
akad wakalah
√ Tapi tidak menuliskan akad wakalah
8. Resiko atas pelaksanaan akad wakalah
pada prinsipnya ada pada kopsyah
√
9.
Ijab qabul akad dilaksanakan setelah
barang secara prinsip telah menjadi
milik penjual/kopsyah
√ Tapi tidak semua dilangsungkan
seperti itu, kebanyakan belum menjadi
milik kopsyah, karena barang yang
diperjualbbelikan adalah barang-
barang eceran meupun barang” mentah
10.
Akta perjanjian murabahah
ditandatangani setelah akta perjanjian
wakalah
√ Hanya saja akad wakalah belum
sempurna, karena tidak ada perjanjian
tertulis dalam akad wakalah
11. Bukti pembelian (jika menggunakan
wakalah) diserahkan nasabah kepada
kopsyah (penjual)
√ Hanya diperlihatkan kepada kopsyah,
bukti tetep dipegang oleh nasabah,
karena akan menjadi catatan nasabah
untuk memperhitungkan usahanya.
Terutama barang eceran kios.
Karena bukti pembelian eceran, jadi
hanya modal kepercayaan dari kopsyah
kepada nasabah, dan mencatat
pengeluaran/biaya yang dikeluarkan
dalam catatan biasa, dan tidak
menyertakan bukti pembelian berupa
nota.
12.
Jika kopsyah membeli sendiri barang
pesanan murabahah, akad murabahah
dilakukan setelah barang telah dibeli
kopsyah
√
13. Harga jual adalah harga beli (termasuk
biaya perolehan) ditambah margin
keuntungan disampaikan secara jelas
√
14. Jika ada jaminan atas pembiayaan, √ Hanya saja jaminan berupa BPKP, atau
96
proses pengikatan jaminan dan obyek
jaminan telah sesuai syariah (fidusia,
APHT, Gadai, Hipotik)
Akta tanah
15. Uang muka diperlukan sebagai
pemotong harga pembelian obyek jual
beli (membiayai sebagian obyek
murabahah)
√ Tidak pernah memberlakukan uang
muka
16.
Uang muka diperlakukan sebagai
pemotong harga pembelian obyek jual
beli (membiayai sebagian obyek
murabahah)
√ Tidak pernah memberlakukan uang
muka sebagai pemotong harga
17. Biaya asuransi obyek pembiayaan
dihitung sebagai paket harga barang
(harga perolehan)
√ Karena BMT di seluruh kota Sorong
mempunyai PUSKOPSYAH yang
dikelola bersama untuk kepentingan
asuransi
18.
Jika ada discount menjadi hak nasabah √
19. Jika ada discount setelah akad jual beli
berlangsung telah disepakati pihak
yang berhak atasnya
√
20. Perlunasan dipercepat kopsyah tidak
menjanjikan adanya discount
√ Memang tidak dijanjikan
21. Denda (ta‟zir) ditentukan berdasarkan
nominal atau prosentase tertentu sesuai
kesepakatan
√ Belum ada denda yang diberlakukan,
karena dengan cara menagih dan
menegur secara baik-baik, ataupun
mendatangi ke tempat nasabah untuk
diberitahukan secara baik-baik
22. Denda (ta‟zir) untuk dana sosial √
23. Ganti rugi (ta‟zir) disebutkan sesuai
prinsip syariah/fatwa DSN MUI
√
24.
Jumlah nominal ta‟zir tidak disebutkan
di akta perjanjian (akad)
√
25. Akad murabahah bukan digunakan
untuk kepentingan refinancing
√ Karena murni akad murabahah dan
hasilnya untuk semestinya
26. Penyelesaian sengketa dilakukan
melalui musyawarah, arbitrase,
dan/atau pengadilan agama.
√ Selalu dengan cara musyawarah,
karena tidak pernah diselesaikan di
arbitrase manapun atupun di
pengadilan agama, karena pada
hakikatnya diselesaikan dengan cra
musyawarah dengan permasalahan
penunggakan.
97
Lampiran 2
Hasil analisisis kesesuaian akad Murabahah
pada BMT Aisyiyah sesuai Fatwa DSN MUI
No Deskripsi B S Keterangan
1.
Para pihak jelas dan memenuhi
syarat akad
√
2. Obyek murabahah jelas dan tidak
bertentangan dengan syariah
√
3. Obyek murabahah berupa barang
atau dominan berupa barang bukan
jasa
√
4.
Ijab qobul secara lisan dan/atau
tulisan
√ Lebih banyak secara lisan
5. Penjual/kopsyah memberitahu
biaya modal kepada pembeli
(nasabah)
√
6.
Spesifikasi obyek jual beli jelas dan
tertentu
√
7.
Jika penjual (kopsyah) mewakilkan
pembelian barang kepada nasabah
ada akad wakalah
√ Mewakilkan hanya saja tidak pernah
terjadi akad wakalah
8. Resiko atas pelaksanaan akad
wakalah pada prinsipnya ada pada
kopsyah
√ Adanya perwakilan terhadap nasabah,
tetapi tidak menggunakan akad
wakalah, jadi resiko atas pelaksanaan
perwakilan kepada nasabah pada
kopsyah lebih besar, karena hanya
modal kepercayaan, tidak ada bukti
tertulis dalam perwakilan tersebut.
9.
Ijab qabul akad dilaksanakan
setelah barang secara prinsip telah
menjadi milik penjual/kopsyah
√ Tapi tidak semua dilangsungkan seperti
itu, kebanyakan belum menjadi milik
kopsyah, karena barang yang
diperjualbbelikan adalah barang-barang
eceran meupun barang” mentah. Dari
50 nasbah atau berlangsungnya
transaksi murabahah, hanya 2-3 saja
98
transaksi yang barangnya menjadi
milik kopsyah dahulu.
10.
Akta perjanjian murabahah
ditandatangani setelah akta
perjanjian wakalah
√ Tidak ada akad wakalah, hanya secara
lisan dalam member perwakilan, jadi
langsung murabahah
11. Bukti pembelian (jika
menggunakan wakalah) diserahkan
nasabah kepada kopsyah (penjual)
√ Ada bukti pembelian seperti nota
barang yang diberikan kepada kopsyah,
tetapi dengan perwakilan kepada
nasabah tadi.
12.
Jika kopsyah membeli sendiri
barang pesanan murabahah, akad
murabahah dilakukan setelah
barang telah dibeli kopsyah
√
13. Harga jual adalah harga beli
(termasuk biaya perolehan)
ditambah margin keuntungan
disampaikan secara jelas
√
14. Jika ada jaminan atas pembiayaan,
proses pengikatan jaminan dan
obyek jaminan telah sesuai syariah
(fidusia, APHT, Gadai, Hipotik)
√ Hanya saja jaminan berupa BPKP, atau
Akta tanah
15. Uang muka diperlukan sebagai
pemotong harga pembelian obyek
jual beli (membiayai sebagian
obyek murabahah)
√ Tidak pernah memberlakukan uang
muka
16.
Uang muka diperlakukan sebagai
pemotong harga pembelian obyek
jual beli (membiayai sebagian
obyek murabahah)
√ Tidak pernah memberlakukan uang
muka sebagai pemotong harga
17. Biaya asuransi obyek pembiayaan
dihitung sebagai paket harga barang
(harga perolehan)
√ Karena BMT di seluruh kota Sorong
mempunyai PUSKOPSYAH yang
dikelola bersama untuk kepentingan
asuransi
18.
Jika ada discount menjadi hak
nasabah
√
99
19. Jika ada discount setelah akad jual
beli berlangsung telah disepakati
pihak yang berhak atasnya
√
20. Perlunasan dipercepat kopsyah
tidak menjanjikan adanya discount
√ Memang tidak dijanjikan, dan
walaupun adanya discount hanya
berlaku pada pembayaran yang jangka
waktunya 1-2 bulan. Selebihnya bila
perlunasan dipercepat dalam waktu
memajukan 2-3 bulan, maka tetap
membayar seperti yang tertera dalam
akad.
21. Denda (ta‟zir) ditentukan
berdasarkan nominal atau
prosentase tertentu sesuai
kesepakatan
√ Belum ada denda yang diberlakukan,
karena dengan cara menagih dan
menegur secara baik-baik, ataupun
mendatangi ke tempat nasabah untuk
diberitahukan secara baik-baik. (pernah
ada permasalahan, yang ketika uangnya
sudah dicairkan, tetapi usaha si nasabah
tidak dilanjutkan atau berhenti, tetapi
cicilannya tetap berlanjut )
22.
Denda (ta‟zir) untuk dana sosial √
23. Ganti rugi (ta‟zir) disebutkan sesuai
prinsip syariah/fatwa DSN MUI
√
24.
Jumlah nominal ta‟zir tidak
disebutkan di akta perjanjian (akad)
√
25. Akad murabahah bukan digunakan
untuk kepentingan refinancing
√ Karena murni akad murabahah dan
hasilnya untuk semestinya
26. Penyelesaian sengketa dilakukan
melalui musyawarah, arbitrase,
dan/atau pengadilan agama.
√ Selalu dengan cara musyawarah,
karena tidak pernah diselesaikan di
arbitrase manapun atupun di
pengadilan agama, karena pada
hakikatnya diselesaikan dengan cra
musyawarah dengan permasalahan
penunggakan.
100
Lampiran 3
Hasil analisisis kesesuaian akad Murabahah
pada BMT Nur Rahmah sesuai Fatwa DSN MUI
No Deskripsi B S Keterangan
1.
Para pihak jelas dan memenuhi
syarat akad
√
2. Obyek murabahah jelas dan tidak
bertentangan dengan syariah
√
3. Obyek murabahah berupa barang
atau dominan berupa barang bukan
jasa
√
4.
Ijab qobul secara lisan dan/atau
tulisan
√ Lebih banyak secara lisan
5. Penjual/kopsyah memberitahu
biaya modal kepada pembeli
(nasabah)
√
6.
Spesifikasi obyek jual beli jelas dan
tertentu
√
7.
Jika penjual (kopsyah) mewakilkan
pembelian barang kepada nasabah
ada akad wakalah
√ Tapi tidak menuliskan akad wakalah
8. Resiko atas pelaksanaan akad
wakalah pada prinsipnya ada pada
kopsyah
√
9.
Ijab qabul akad dilaksanakan
setelah barang secara prinsip telah
menjadi milik penjual/kopsyah
√ Tapi tidak semua dilangsungkan seperti
itu, kebanyakan belum menjadi milik
kopsyah, karena barang yang
diperjualbbelikan adalah barang-barang
eceran meupun barang” mentah
10.
Akta perjanjian murabahah
ditandatangani setelah akta
perjanjian wakalah
√ Akta wakalah dahulu baru akta
perjanjian murabahah. Hanya saja akad
wakalah belum sempurna, karena tidak
ada perjanjian tertulis dalam akad
wakalah.
11. Bukti pembelian (jika
menggunakan wakalah) diserahkan
nasabah kepada kopsyah (penjual)
√ Hanya diperlihatkan kepada kopsyah,
bukti tetep dipegang oleh nasabah,
karena akan menjadi catatan nasabah
101
untuk memperhitungkan usahanya.
Terutama barang eceran kios.
Karena bukti pembelian eceran, jadi
hanya modal kepercayaan dari kopsyah
kepada nasabah, dan mencatat
pengeluaran/biaya yang dikeluarkan
dalam catatan biasa, dan tidak
menyertakan bukti pembelian berupa
nota.
( al- hijrah juga sama sebenarnya)
12.
Jika kopsyah membeli sendiri
barang pesanan murabahah, akad
murabahah dilakukan setelah
barang telah dibeli kopsyah
√ Karena pada hakkikatnya, barang harus
milik kopsyah.
13. Harga jual adalah harga beli
(termasuk biaya perolehan)
ditambah margin keuntungan
disampaikan secara jelas
√
14. Jika ada jaminan atas pembiayaan,
proses pengikatan jaminan dan
obyek jaminan telah sesuai syariah
(fidusia, APHT, Gadai, Hipotik)
√ Hanya saja jaminan berupa BPKP, atau
Akta tanah
15. Uang muka diperlukan sebagai
pemotong harga pembelian obyek
jual beli (membiayai sebagian
obyek murabahah)
√ Tidak pernah memberlakukan uang
muka
16.
Uang muka diperlakukan sebagai
pemotong harga pembelian obyek
jual beli (membiayai sebagian
obyek murabahah)
√ Tidak pernah memberlakukan uang
muka sebagai pemotong harga
17. Biaya asuransi obyek pembiayaan
dihitung sebagai paket harga
barang (harga perolehan)
√ Karena BMT di seluruh kota Sorong
mempunyai PUSKOPSYAH yang
dikelola bersama untuk kepentingan
asuransi
18.
Jika ada discount menjadi hak
nasabah
√
102
19. Jika ada discount setelah akad jual
beli berlangsung telah disepakati
pihak yang berhak atasnya
√
20. Perlunasan dipercepat kopsyah
tidak menjanjikan adanya discount
√ Memang tidak dijanjikan, tetapi tetap
diberikan diskon sesuai kesepakatan
manager kopsyahnya.
21. Denda (ta‟zir) ditentukan
berdasarkan nominal atau
prosentase tertentu sesuai
kesepakatan
√ Belum ada denda yang diberlakukan,
karena dengan cara menagih dan
menegur secara baik-baik, ataupun
mendatangi ke tempat nasabah untuk
diberitahukan secara baik-baik.
Denda bagi kopsyah ini hukumnya
haram. Karena ini sangat mempersulit
nasabah.
22.
Denda (ta‟zir) untuk dana sosial √ Haram hukumnya.
23. Ganti rugi (ta‟zir) disebutkan sesuai
prinsip syariah/fatwa DSN MUI
√
24.
Jumlah nominal ta‟zir tidak
disebutkan di akta perjanjian (akad)
√
25. Akad murabahah bukan digunakan
untuk kepentingan refinancing
√ Karena murni akad murabahah dan
hasilnya untuk semestinya.
26. Penyelesaian sengketa dilakukan
melalui musyawarah, arbitrase,
dan/atau pengadilan agama.
√ Selalu dengan cara musyawarah, karena
tidak pernah diselesaikan di arbitrase
manapun atupun di pengadilan agama,
karena pada hakikatnya diselesaikan
dengan cara musyawarah dengan
permasalahan penunggakan.
103
Lampiran 4
Hasil wawancara tentang Pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) terkait Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) No. 25 Tahun 2017 dengan DPS BMT
Aisyiyah dan BMT Nur Rahmah
No. Pertanyaan Jawaban Keterangan dan/atau jawaban
yang terkait Ya Tidak
1. Apakah DPS mempunyai standar
untuk mengawasi kegiatan BMT ?
√
2. Apa standar yang digunakan DPS
dalam mengawasi tersebut ?
√ Misalnya :
Standar kepengawasan DPS adalah
Fatwa MUI
3. Apakah DPS menggunakan
Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia (SKKNI) yang
dikeluarkan oleh Keputusan
Menteri Ketenagakerjaan no 25
Tahun 2017 ?
√
4. Apakah DPS menginventarisasi
bahan pengawasan syariah sesuai
tugasnya ? sesuai SKNNI No. 25
Tahun 2017 ?
V
5. Apakah DPS melakukan
pengawasan terhadap Akta
Perjanjian ?
V
6. Apakah DPS mempunyai Draf
Akta Perjanjian yang dikaji dari
segi terpenuhi atau tidaknya rukun
dan syarat akad ?
V
7. Apakah DPS menulis hasil
pengkajian draf akta perjanjian
pada Kertas Kerja Pengkajian ?
V
8. Apakah DPS membuat Laporan
Hasil Pengkajian draf akta
perjanjian yang disusun
berdasarkan standar otoritas ?
V
9. Apakah DPS mengevaluasi
implementasi akta perjanjian ?
V
10. Apakah DPS membuat
permohonan penyediaan dokumen
perjanjian yang dilakukan kepada
manajemen ?
V
11. Apakah DPS menganalisis
dokumen perjanjian dari segi
kesesuainnyya dengan aspek
syariah dan Peraturan Perundang-
undangan ?
V
12. Apakah DPS membuat Laporan
Hasil Evaluasi yang disusun
berdasarkan standar otoritas ?
V
13. Apakah DPS menyampaikan
Laporan Hasil Pengawasan ?
V
104
14. Apakah DPS mebuat surat
pengantar untuk menyampaikan
Laporan Hasil Evaluasi ?
V
15. Apakah DPS mengkaji draf
prosedur produk dan/atau layanan
baru ?
V
16. Apakah DPS mengkaji draf
tersebut sesuai dengan
terpenuhinya prinsip syariah ?
V
17. Apakah DPS menuliskan draf
tersebut dalam Kertas Kerja
Pengkajian ?
V
18. Apakah DPS menyusun Laporan
Hasil Pengkajian draf tersebut
berdasarkan standar otoritas ?
V
19. Apakah DPS mengevaluasi
prosedur produk dan/atau layanan
baru ?
V
20. Apakah DPS membuat
permohonan penyediaan dokumen
tersebut ?
V
21. Apakah dokumen tersebut
disesuaikan dengan prinsip syariah
?
V
22. Apakah DPS membuat laporan
Hasil Evaluasi berdasarkan standar
otoritas ?
V
23. Apakah DPS menyempaikan
Laporan Hasil Pengawasan
prosedur tersebut ?
V
24. Apakah DPS Mengkaji Rancangan
Pemasaran Produk ?
V
25. Apakah Hail Pengkajian
Rancangan Produk terebut ditulis
dalam Kertas Kerja Pengkajian ?
V
26. Apakah Laporan Hasil Pengkajian
disusun berdasarkan standar
otoritas ?
V
27. Apakah DPS mengevaluasi
implementasi pemasaran produk
dengan permohonan penyediaan
dokumen pemasaran produk ?
V
28. Apakah Laporan Hasil Evaluasi
tersebut disusun berdasarkan
standar otoritas ?
V
29. Apakah DPS menyampaikan
Laopran Hasil Pengawasan tersebut
kepada manajemen ?
V
30. Apakah DPS melakukan
pengawasan terhadap laporan
keuangan ?
V
31. Apakah DPS memperoleh laporan
keuangan dari manajemen ?
V
32. Apakah laporan keuangan diterima
dalam bentuk tertulis ?
V
105
33. Apakah DPS mengevaluasi laporan
keuangan menyangkut kesesuaian
akun dengan standar akuntansi
syariah ?
V
34. Apakah DPS mengevaluasi
kesesuain pengakuan atas bagi
hasil, marjin, hasil denda,
kontribusi asuransi, dan pos-pos
non-halal dengan syariah ?
V
35. Apakah DPS menyimpukan
kesesuaian umum laporan
keuangan dengan ketentuan syariah
?
V
36. Apakah DPS memberikan masukan
dan/atau rekomendasi terkait
pelaporan keuangan entitas syariah
?
V
37. Apakah rekomendasi tersebut
dicatat dalam dokumen ?
V
38. Apakah DPS menyelesaikan
dokumen masukan/rekomendasi
tersebut dan diserahkan kepada
manajemen ?
V
39. Apakah DPS menyiapkan bahan
penyusunan opini syariah ?
V
40. Apakah Bahan penyusunan opini
syariah disisapkan secara lengkap
dengan pokok masalah yang
disampaikan ?
V
41. Apakah bahan opini syariah
tersebut diperoleh dari pihak
peminta opini syariah secara
lisan/tertulis ?
V
42. Apakah DPS mendeskripsikan
pokok persoalan ? dan
menganalisis masalah berdasarkan
prinsip syariah ?
V
43. Apakah Hasil analisis tersebut
dibuat secara tertulis ?
V
44. Apakah DPS menyampaikan hasil
opini syariah kepada DSN MUI,
regulator, dan pihak terkait ?
V
45. Apakah DPS mengarsipkan hasil
opini syariah ?
V
106
Lampiran 5
Hasil Wawancara tentang pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) terkait Standar
Kompetensi Kerja √Nasional Indonesia (SKKNI) No. 25 Tahun 2017 dengan Managemen
BMT Al-Hijrah
No. Pertanyaan Jawaban Keterangan dan/atau jawaban
yang terkait Ya Tidak
1. Apakah DPS mempunyai standar
untuk mengawasi kegiatan BMT ?
√
2. Apa standar yang digunakan DPS
dalam mengawasi tersebut ?
Misalnya :
Standar kepengawasan DPS adalah
Permenkop Tahun 2017.
3. Apakah DPS menggunakan Standar
Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia (SKKNI) yang
dikeluarkan oleh Keputusan
Menteri Ketenagakerjaan no 25
Tahun 2017 ?
√
4. Apakah DPS menginventarisasi
bahan pengawasan syariah sesuai
tugasnya ? sesuai SKNNI No. 25
Tahun 2017 ?
√
5. Apakah DPS melakukan
pengawasan terhadap Akta
Perjanjian ?
√
6. Apakah DPS mempunyai Draf Akta
Perjanjian yang dikaji dari segi
terpenuhi atau tidaknya rukun dan
syarat akad ?
√
7. Apakah DPS menulis hasil
pengkajian draf akta perjanjian
pada Kertas Kerja Pengkajian ?
√
8. Apakah DPS membuat Laporan
Hasil Pengkajian draf akta
perjanjian yang disusun
berdasarkan standar otoritas ?
√
9. Apakah DPS mengevaluasi
implementasi akta perjanjian ?
√
10. Apakah DPS membuat permohonan
penyediaan dokumen perjanjian
yang dilakukan kepada manajemen
?
√
11. Apakah DPS menganalisis
dokumen perjanjian dari segi
kesesuainnyya dengan aspek
syariah dan Peraturan Perundang-
undangan ?
√
12. Apakah DPS membuat Laporan
Hasil Evaluasi yang disusun
berdasarkan standar otoritas ?
√
13. Apakah DPS menyampaikan
Laporan Hasil Pengawasan ?
√
14. Apakah DPS mebuat surat √
107
pengantar untuk menyampaikan
Laporan Hasil Evaluasi ?
15. Apakah DPS mengkaji draf
prosedur produk dan/atau layanan
baru ?
√
16. Apakah DPS mengkaji draf tersebut
sesuai dengan terpenuhinya prinsip
syariah ?
√
17. Apakah DPS menuliskan draf
tersebut dalam Kertas Kerja
Pengkajian ?
√
18. Apakah DPS menyusun Laporan
Hasil Pengkajian draf tersebut
berdasarkan standar otoritas ?
√
19. Apakah DPS mengevaluasi
prosedur produk dan/atau layanan
baru ?
√
20. Apakah DPS membuat permohonan
penyediaan dokumen tersebut ?
√
21. Apakah dokumen tersebut
disesuaikan dengan prinsip syariah
?
√
22. Apakah DPS membuat laporan
Hasil Evaluasi berdasarkan standar
otoritas ?
√
23. Apakah DPS menyempaikan
Laporan Hasil Pengawasan
prosedur tersebut ?
√
24. Apakah DPS Mengkaji Rancangan
Pemasaran Produk ?
√
25. Apakah Hail Pengkajian Rancangan
Produk terebut ditulis dalam Kertas
Kerja Pengkajian ?
√
26. Apakah Laporan Hasil Pengkajian
disusun berdasarkan standar
otoritas ?
√
27. Apakah DPS mengevaluasi
implementasi pemasaran produk
dengan permohonan penyediaan
dokumen pemasaran produk ?
√
28. Apakah Laporan Hasil Evaluasi
tersebut disusun berdasarkan
standar otoritas ?
√
29. Apakah DPS menyampaikan
Laopran Hasil Pengawasan tersebut
kepada manajemen ?
√
30. Apakah DPS melakukan
pengawasan terhadap laporan
keuangan ?
√
31. Apakah DPS memperoleh laporan
keuangan dari manajemen ?
√
32. Apakah laporan keuangan diterima
dalam bentuk tertulis ?
√
33. Apakah DPS mengevaluasi laporan
keuangan menyangkut kesesuaian
√
108
akun dengan standar akuntansi
syariah ?
34. Apakah DPS mengevaluasi
kesesuain pengakuan atas bagi
hasil, marjin, hasil denda,
kontribusi asuransi, dan pos-pos
non-halal dengan syariah ?
√
35. Apakah DPS menyimpukan
kesesuaian umum laporan keuangan
dengan ketentuan syariah ?
√
36. Apakah DPS memberikan masukan
dan/atau rekomendasi terkait
pelaporan keuangan entitas syariah
?
√
37. Apakah rekomendasi tersebut
dicatat dalam dokumen ?
√
38. Apakah DPS menyelesaikan
dokumen masukan/rekomendasi
tersebut dan diserahkan kepada
manajemen ?
√
39. Apakah DPS menyiapkan bahan
penyusunan opini syariah ?
√
40. Apakah Bahan penyusunan opini
syariah disisapkan secara lengkap
dengan pokok masalah yang
disampaikan ?
√
41. Apakah bahan opini syariah
tersebut diperoleh dari pihak
peminta opini syariah secara
lisan/tertulis ?
√
42. Apakah DPS mendeskripsikan
pokok persoalan ? dan menganalisis
masalah berdasarkan prinsip
syariah ?
√
43. Apakah Hasil analisis tersebut
dibuat secara tertulis ?
√
44. Apakah DPS menyampaikan hasil
opini syariah kepada DSN MUI,
regulator, dan pihak terkait ?
√
45. Apakah DPS mengarsipkan hasil
opini syariah ?
√