DNA Rekombinan 3A
-
Upload
ulfah-magefirah -
Category
Documents
-
view
109 -
download
9
Transcript of DNA Rekombinan 3A
MATA KULIAH REKAYASA GENETIKA
PROGRAM PASCASARJANA
TUGAS
DNA REKOMBINAN
Oleh :
KELOMPOK III A
1. Nana Juniarti N.D.
2. Sukarmi
3. Jef Gishard Kalalo
4. Syarifah Zahra
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Teknologi rekayasa genetika mencakup berbagai teknik termasuk
teknologi DNA rekombinan untuk memperoleh organisme baru dengan sifat
yang dikehendaki. Salah satu aplikasi teknologi rekayasa genetika adalah
proses pemindahan gen ke dalam sel makhluk hidup sehingga organisme
penerima transfer gen dapat memproduksi protein yang disandi oleh gen
yang dimasukkan ke dalam organisme tersebut (1).
Objek rekayasa genetika mencakup hampir semua golongan organisme,
mulai dari bakteri, fungi, hewan tingkat rendah, hewan tingkat tinggi hingga
tumbuh-tumbuhan. Bidang kedokteran dan farmasi paling banyak
berinvestasi di bidang yang relatif baru ini (2).
Tujuan mempelajari teknologi DNA rekombinan ialah supaya dapat
memahami metode isolasi DNA, ekspresi gen rekombinan pada sel prokariot
dan eukariot, hibdridisasi, sekuensing, amplifikasi fragmen DNA (PCR) dan
mutasi terarah (3).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Umum Teknologi DNA Rekombinan
Pada tahun 1971-1973, penelitian genetika kembali bergairah dengan
dikembangkannya metodologi baru oleh Herbert Boyer dan Stanley Cohen,
suatu revolusi dalam percobaan biologi. Metode ini dinamakan Teknologi
DNA Rekombinan dengan pokok proses adalah kloning gen.
Boyer dan Cohen berhasil mengekspresikan gen dari suatu bakteri
dalam Escherichia coli. Fragmen DNA disisipkan pada vektor,
ditransformasikan ke dalam sel dan dilakukan penapisan terhadap koloni
bakteri yang tumbuh. Teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetik,
yang juga dinamakan kloning gen atau kloning molekular merupakan istilah
yang meliputi sejumlah cara kerja yang mengarah kepada pemindahan
informasi genetik (DNA) dari satu organisme ke organisme lainnya (2).
II.2 Komponen Penting dalam Teknologi DNA Rekombinan
II.2.1 Sumber DNA
Sebagaimana telah diketahui bahwa struktur kimia protein manusia telah
dipetakan. Apabila ingin mengetahui susunan DNA yang mengkode urutan
asam amino dalam suatu protein maka harus diketahui sekuen basa-basa
DNA yang digunakan dalam mengkonstruksi DNA rekombinan (1).
Strategi yang dilakukan untuk mendapatkan sumber DNA yang
diinginkan adalah dengan dengan cara (1):
a. Mensintesis molekul DNA. Hal ini dapat dilakukan apabila jumlah basa-
basa DNA yang akan disintesis tidak terlalu besar. Hanya DNA yang
menyandi protein yang berukuran kecil saja yang dapat disintesis.
Sebagai contoh, sintesis DNA telah dilakukan untuk mendapatkan DNA
yang menyandi ekspresi gen insulin, sehingga menghasilkan insulin
manusia dalam skala besar.
b. Membuat cDNA. Seperti telah diketahui bahwa mRNA ditranslasi
menjadi protein berdasarkan sandi genetik yang dibawa oleh mRNA.
Dengan demikian, mRNA merupakan sumber yang tepat untuk
mendapatkan DNA. Dengan ditemukannya enzim reverse transcriptase,
dapat dibuat cDNA (copy DNA) menggunakan cetakan mRNA. Sebagai
contoh, dengan cara mengisolasi mRNA manusia yang menyandi
protein atau hormon tertentu misalnya hormon pertumbuhan, kita dapat
membuat cDNA sehingga didapatkan gen yang menyandi ekspresi
hormon pertumbuhan. Untuk gen eukariot, cDNA yang tidak lagi
mengandung fragmen intron, memiliki keuntungan karena langsung bisa
dimasukkan ke dalam sel prokariot yang tidak memiliki sistem splicing
DNA.
c. Pustaka DNA (DNA Libraries). Pendekatan untuk memperoleh sumber
DNA melalui produksi cDNA tidak dapat dilakukan jika tidak diketahui
secara pasti mRNA yang menyandi produksi protein yang dikehendaki.
Untuk itu, cara yang dilakukan untuk memperoleh sumber DNA adalah
melalui pustaka DNA. Pustaka DNA merupakan kumpulan fragmen-
fragmen DNA yang berasal dari genom suatu sistem biologis tertentu,
yang dipotong dengan enzim restriksi endonuklease, dan secara acak
digabung dengan vektor yang sesuai. Fragmen-fragmen DNA dengan
berbagai ukuran tersebut digabung secara individual dengan vektor,
sehingga membentuk ratusan DNA rekombinan yang berbeda.
Pustaka DNA diasumsikan dapat mewakili seluruh fragmen DNA
yang terdapat dalam kromosom sel, yang telah terpotong-potong
dengan ukuran yang berbeda, sehingga apabila dimasukkan ke dalam
sel hospes yang sesuai, diharapkan sel hospes mengandung fragmen
gen yang secara acak telah ditransfer ke dalam sel hospes. Dengan
demikian, melalui proses seleksi, dapat diketahui gen yang bertanggung
jawab dalam mengekspresi jenis protein tertentu yang dikehendaki.
Dengan cara mengisolasi kembali fragmen DNA dari sel hospes yang
mengandung DNA rekombinan tersebut, dapat diperoleh sumber DNA
yang dikehendaki.
d. Struktur dan sekuen DNA yang diinginkan dapat juga diperoleh dari
bank gen apabila genom organisme yang diinginkan telah secara utuh
dipetakan. Dengan mengetahui sekuen DNA dari gen yang dikehendaki,
dapat dirancang suatu primer oligonukleotida yang komplementer
terhadap urutan basa-basa DNA gen yang diinginkan, sehingga melalui
teknik amplifikasi DNA secara polymerase chain reaction (PCR) dapat
diklon fragmen DNA yang dikehendaki.
II.2.2 Enzim-Enzim dalam Manipulasi Gen
Hampir semua teknik manipulasi DNA menggunakan enzim yang telah
dimurnikan. Enzim-enzim ini berperan dalam proses penting di dalam sel,
seperti replikasi dan transkripsi DNA, DNA proofreading, enzim kelompok ini
dapat mengidentifikasi, memotong dan memperabiki urutan basa nukleotida
terhadap mutasi yang ada di molekul DNA, degradasi DNA/RNA asing serta
rekombinasi antara molekul-molekul DNA yang berbeda. Enzim-enzim untuk
manipulasi ini dapat dikelompokkan menjadi lima golongan besar, tergantung
dari jenis reaksi yang dikatalisis (2):
1) Nuklease, kelompok enzim ini dapat memotong, memendekkan, atau
mendegradasi molekul DNA. Enzim kelompok ini mempunyai sifat
eksonuklease (menghilangkan nukleotida satu persatu dari ujung bebas
molekul DNA) dan endonuklease (memecah ikatan fosfodiester internal
pada molekul DNA). Contoh enzim ini misalnya S1-Nuclease, DNaseI dan
enzim restriksi.
2) Ligase, menyambung potongan DNA menjadi satu.
3) Polimerase, mampu mensintesis untai DNA baru yang komplementer dari
cetakan DNA. Contoh enzim ini misalnya fragmen Klenow, T4-DNA
polimerase, dan reverse transcriptase.
4) Enzim modifikasi, berperan untuk menghilangkan atau mengubah gugus
kimiawi. Contoh enzim ini ialah alkalin fosfatase (memotong gugus fosfat
pada ujung-5’ molekul DNA), polinukleoid kinase (menambah gugus fosfat
pada ujung-5’ yang bebas); dan deoksinukleotidil transferase terminal
(menambah satu atau lebih deoksinukleotida pada ujung-3’ molekul DNA).
5) Topoisomerase, membuat atau mengubah DNA-supercoiled yang tertutup
secara kovalen.
II.2.2.1 Endonuklease (1)
Pada tahun 1960-an, enzim restriksi endonuklease ditemukan oleh
Werner Arber dan Hamilton Smith yang diisolasi dari mikroorganisme. Secara
alamiah bakteri menghasilkan enzim endonuklease untuk mempertahankan
diri dari keberadaan DNA asing yang masuk ke dalam sel bakteri. Jika ada
DNA asing masuk ke dalam bakteri melalui proses transfer genetik yang
terjadi secara alamiah, misalnya virus bakteriofaga, maka untuk
mempertahankan dirinya dari keberadaan DNA asing tersebut, sel bakteri
melepaskan enzim endonuklease yang dapat memotong DNA asing pada
situs yang sangat spesifik dan restriktif. Oleh sebab tersebut enzim tersebut
dikenal dengan ‘enzim restriksi endonuklease’.
Setiap enzim mengenali rangkaian 4-8 pasang basa tertentu yang
terdapat dalam untai DNA. Bagian atau situs pada molekul DNA yang
dikenali oleh enzim ini dikenal sebagai sekuen situs pemotongan enzim.
Rangkaian-rangkaian situs pemotongan DNA oleh enzim ini apabila terdapat
dalam gugus metil pada residu basa adenin (A) dan sitosin (C) sehingga tidak
dapat dipotong oleh enzim nuklease yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri.
Enzim restriksi endonuklease yang berbeda memiliki situs pemotongan
yang berbeda, namun ada beberapa jenis enzim ini yang diisolasi dari
sumber yang berbeda namun memiliki situs pemotongan yang sama, hal ini
disebut dengan isoschizomer.
Sekuen basa pada situs pemotongan memiliki urutan basa yang sama
pada untai DNA heliks ganda, yang dikenal dengan sekuen palindromik.
Misalnya enzim EcoRI, yang diisolasi pertama kali oleh Herbert Boyer pada
tahun 1969 dari E.coli yang memotong DNA pada bagian antara basa G dan
A pada sekuen GAATTC. Hasil pemotongan enzim restriksi endonuklease
ada dua macam yaitu menghasilkan ujung tumpul (blunt) dan ujung lengket
(sticky) atau kohesif. Enzim yang memotong molekul DNA heliks ganda tidak
berhadapan langsung tetapi berselisih 2-4 pasang basa menghasilkan
potongan dengan ujung lengket, sedangkan enzim yang memotong pada
tempat yang berhadapan menghasilkan ujung tumpul.
Pada dasarnya, enzim restriksi endonuklease yang digunakan harus
dipilih dengan baik berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain:
1. Mudah didapat.
2. Enzim hanya memotong DNA di bagian hulu dan hilir dari gen dan tidak
boleh memotong di bagian tengah gen. jika enzim yang digunakan
memotong bagian tengah gen maka akan merusak gen penyandi protein
yang diinginkan.
3. Enzim biasanya dipilih dari enzim yang memiliki situs pemotongan yang
juga terdapat pada vektor plasmid.
4. Enzim yang digunakan dalam kloning biasanya terdiri dari 2 jenis enzim
restriksi endonuklease yang berbeda. Hal ini untuk menghindari
keterbalikan arah transkripsi atau translasi gen yang disisipkan ke dalam
plasmid.
Tabel 2.1. Sekuen Pengenalan Beberapa Restriksi EndonukleaseBakteri Enzim Lokus Pengenalan
Bacillus amyloliquefaciens H BamHI GGATCCBacillus globigii BglII AGATCT
Escherichia coli RY13 EcoRI GAATTCHaemophillus aegyptius HaeIII GGCCKlebsiella pneumoniae KpnI GGTACC
Providencia stuartii PstI CGTGAGSerratia marcescens SmaI CCCCCC
Xanthomonas malvacearum XmaI CCCGGG
II.2.2.2 Enzim Ligase
Fragmen-fragmen DNA heliks ganda yang telah dipotong oleh enzim
restriksi endonuklease tidak dapat dengan sendirinya bereaksi kembali
membentuk ikatan fosfodiester menjadi untai DNA, sehingga diperlukan
suatu katalisator yang dapat mereaksikan kembali fotongan fragmen DNA
tersebut. Enzim yang dapat mengkatalisis reaksi potongan fragmen DNA
yang telah dipotong oleh enzim restriksi endonuklease adalah enzim DNA
ligase. Enzim DNA ligase pertama kali ditemukan oleh Gellert pada tahun
1967, yaitu enzim yang terdapat pada sistem biologis yang dapat
mengkatalisis pembentukan ikatan kovalen yang merekatkan kembali
fragmen-fragmen DNA. Enzim DNA ligase merupakan salah satu enzim yang
sangat penting dalam perkembangan teknologi DNA rekombinan (1).
Ligase T4 (diisolasi dari bakteriofaga T4) mengkatalisis ikatan
fosfodiester antara kedua ujung DNA sehingga kedua fragmen DNA menjadi
satu. Ligase T4 memerlukan kofaktor ATP yang kemudian membentuk
kompleks enzim-AMP. Kompleks ini menempel dan menyambung gugus 5’-
fosfat dan 3’-hidroksi dengan ikatan kovalen sehingga terbentuk rantai
fosfodiester. Temperatur optimum untuk ligasi adalah 37°C, tetapi pada suhu
ini ikatan hidrogen antara kedua ujung kohesif kurang stabil. Ujung yang
dihasilkan EcoRI hanya dilekatkan oleh ikatan hidrogen dari empat pasang A-
T. Hal ini tidak cukup kuat jika ada kenaikan suhu. Suhu optimum untuk ligasi
merupakan kompromi antara kecepatan aksi enzim dan penyambungan
kedua ujung dan telah diperoleh berdasarkan percobaan sekitar 4-15°C (2).
II.2.3 Vektor
Dalam menghantarkan gen yang diinginkan ke dalam hospes, DNA
harus disisipkan terlebih dahulu dalam suatu ‘kendaraan’ yang dikenal
dengan nama vektor (4). Jenis vektor yang digunakan untuk menghantar gen
ke dalam nukleus sel adalah vektor viral dan vektor non-viral (1). Vektor yang
paling sering digunakan adalah bakteriofag, plasmid, kosmid (5). Saat ini
telah dikembangkan vektor baru yang dapat membawa DNA berukuran
kurang lebih 1.000.000 pasang basa. Vektor tersebut dikenal sebagai Yeast
Artificial Chromosom (YAC) (4).
Tabel 2.2. Tipe Vektor yang Sering Digunakan dalam DNA Rekombinan
II.2.3.1 Plasmid
Salah satu vektor untuk pengklonan gen yang sering digunakan adalah
plasmid. Plasmid merupakan gen ekstrakromosomal yang dimiliki oleh bakteri
Gram negatif, Gram positif, khamir dan fungi. Plasmid DNA terdiri dari DNA
untai ganda yang berbentuk sirkuler. Plasmid dapat melakukan replikasi
secara otonom di dalam sel hospesnya (1). Plasmid banyak terdapat di
kelompok prokariot dengan ukuran yang sangat bervariasi antara kurang dari
1 juta dalton sampai 200 juta dalton, dan biasanya sifat fenotip dari plasmid
telah teridentifikasi, misalnya resisten terhadap antibiotik, memproduksi
antibiotik, degradasi aroma, tahan terhadap logam berat, fermentasi gula dan
lain-lain (4).
Setiap plasmid mempunyai suatu urutan basa tertentu yang berfungsi
sebagai daerah awal replikasi (replikon), yang tanpa lokus ini plasmid tidak
dapat memperbanyak diri dalam sel inang. Jenis replikon ini menentukan
jumlah duplikat plasmid dalam setiap sel inang. Beberapa plasmid terdapat
dalam jumlah 10, 30, sampai 100 molekul plasmid dalam setiap sel. Plasmid
jenis ini dinamakan plasmid berduplikat tinggi. Sedangkan plasmid jenis lain
terdapat 2,4, dan 8 duplikasi persel yang dinamakan plasmid berduplikat
rendah. Beberapa mikroorganisme membawa 8 sampai 10 macam plasmid.
Beberapa plasmid hanya dapat bereplikasi dalam satu spesies tertentu.
Sedangkan plasmid jenis lain dapat melakukan replikasi pada sejumlah
spesies bakteri. Hal ini tergantung pada jenis replikon yang dibawanya.
Plasmid tersebut berturut-turut dinamakan plasmid rentang inang sempit dan
plasmid rentang inang luas (3).
Plasmid alami dapat dikelompokkan berdasarkan sifat yang disandinya.
Ada lima jenis plasmid yaitu (3):
1. Plasmid F, membawa gen tra dan tidak mempunyai hal yang spesifik
kecuali kemampuannya melakukan pemindahan secara konjugasi,
misalnya plasmid F.
2. Plasmid R, membawa gen resistensi terhadap satu antibiotik atau lebih,
seperti kloramfenikol dan ampisilin.
3. Plasmid Col, menyandi kolisin, suatu protein yang dapat membunuh
bakteri lain, misalnya ColE1.
4. Plasmid degradatif, menyebabkan bakteri pembawa plasmid itu dapat
memetabolisme molekul yang biasanya tidak dapat dimetabolisme,
seperti toluen dan asam salisilat. Sebagai contoh adalah plasmid TOL
pada Pseudomonas putida.
5. Plasmid virulen, membawa sifat patogen pada sel inang, seperti plasmid
Ti Agrobacterium tumifaciens yang menginduksi tumor pada tanaman
dikotil.
Plasmid ideal yang digunakan sebagai vektor kloning harus mempunyai
sifat (4):
a) Mampu melakukan replikasi sendiri.
b) Mempunyai ukuran relatif kecil sehingga mudah diisolasi dan ditransfer ke
dalam sel organisme tertentu. Efisiensi transformasi ini menurun sesuai
dengan kenaikan ukuran plasmid (3).
c) Plasmid mempunyai situs pemotongan yang beragam (multiple cloning
site) untuk memasukkan gen yang akan disisipkan.
d) Mempunyai gen marker selektif yang mudah untuk diseleksi. Pada
umumnya gen yang digunakan sebagai marker selektif adalah gen yang
resisten terhadap antibiotika tertentu.
Salah satu plasmid yang digunakan sebagai vektor adalah pBR322.
Pada umumnya, plasmid ditandai dengan p yang berarti plasmid, dan
beberapa singkatan seperti BR yang menunjukkan pembuatnya: F. Bolivar
dan R. Rodrigues; dan 3222 adalah angka yang menunjukkan urutan
pembuatannya. Plasmid pBR322 mempunyai ukuran 4.361 pasang basa,
mempunyai dua gen resistensi terhadap antibiotik ampisilin (ampr) dan
tetrasiklin (tetr). Plasmid ini juga mempunyai lokus tunggal untuk BamHI,
HindIII, dan SalI dalam gen tetr dan lokus PstI terdapat dalam gen ampr.
Gambar 2.1 Restriksi Peta Plasmid pBR322Plasmid lain yang sangat terkenal adalah pUC18 dan pUC19 yang
merupakan vektor yang sama, kecuali susunan pada lokus kloning yang
tersusun dengan arah yang berlawanan. plasmid jenis ini juga dinamakan
plasmid ekspresi karena plasmid ini membawa promoter yang menghadap
pada lokus kloning. Plasmid ini berukuran 2.686 pasang bawa dan membawa
gen resistensi terhadap ampisilin, promoter dari operon laktosa dari E. coli,
membawa gen lacZ, sebagian gen lacZ yaitu ujung amino dari β-
galaktosidase, bagian yang dinamakan lokus untuk kloning (EcoRI, SacI,
KpnI, XmaI, SmaI, BamHI, XbalI, SalI, PstI, SphI dan HindIII) dan replikon
pMB1 yang telah dimutasi pada gen rop sehingga jumlah duplikatnya
mencapai 500 per sel (3).
Gambar 2.2 Restriksi Peta Plasmid pUC19
II.2.3.2 Virus
Vektor plasmid biasanya hanya dapat disisipi sampai 10 kb fragmen
DNA sedangkan untuk keperluan pembentukan pustaka dari organisme
dengan ukuran genom yang besar, diperlukan vektor yang dapat disispi
fragmen DNA berukuran besar (3). Virus dapat digunakan sebagai
biotranspor, karena virus dalam siklus hidupnya hanya dapat berkembang
biak pada sel organisme lain. Di antara bermacam-macam virus, Lamda
Bacteriophage merupakan jenis virus yang berkembang biak di dalam sel
bakteri Escherichia coli dan kemudian merusaknya (4).
Sejak pertama digunakan sebagai vektor kloning pada tahun 1974,
bakteriofaga telah berkembang menjadi vektor yang sangat baik. Genom
bakteriofaga adalah DNA untai ganda dengan ukuran sekitar 50 kb. DNA
dalam partikel bakteriofaga merupakan molekul DNA untai ganda linier
dengan ujung kohesif 12 nukleotida (cos). Setelah masuk dalam bakteri
inang, ujung kohesif berpasangan membentuk molekul sirkular. Selama
tahapan ini, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi (3):
a. Masuk siklus lisis, DNA virus sirkuler bereplikasi berkali-kali, sejumlah
protein disintesis dan dalam waktu sekitar 20 menit terbentuk 100 partikel
bakteriofaga . Berikutnya sel lisis dan melepaskan partikel virus yang
siap menginfeksi sel tetangga yang sedang tumbuh.
b. Masuk dalam siklus lisogenik, genom bakterofaga dalam sel
berintegrasi dalam DNA kromosom bakteri inang dengan cara
rekombinasi pada lokus spesifik. DNA bakteriofaga ini akan diturunkan
kepada bakteri anakan seperti halnya kromosom bakteri.
Sepertiga bagian dari genom yang berukuran 50.000 pasang basa
(atau sekitar 15.000 pasang basa) membawa gen-gen yang tidak penting
sedangkan dua pertiga lainnya membawa gen-gen yang penting untuk
kelangsungan hidup virus (4). Gen berukuran 15.000 pasang basa tersebut
dapat digantikan dengan 15.000 pasang basa DNA yang tiklon. Molekul ini
dinamakan bakteriofaga rekombinan yang tidak dapat masuk dalam siklus
lisogenik tetapi pasti masuk dalam siklus lisis (3).
Gambar 2.3 Siklus Hidup fag
II.2.3.3 Cosmid
Cosmid adalah plasmid yang telah direkayasa yang membawa sekuen
cos yang diperlukan untuk memasukkan DNA ke dalam partikel bakteriofaga
. Cosmid membawa replikon seperti ColE1 dan gen resistensi terhadap
antibiotik. Cosmid dapat dimasukkan ke dalam E. coli dengan cara
transformasi dan diperlakukan seperti plasmid (3).
Plasmid yang berukuran kecil (kira-kira 5.000 pasang basa) dan
mengandung gen resistensi antibiotik digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan cosmid. Selanjutnya gen cos (berukuran sekitar 30 pasang basa)
digabungkan ke dalam plasmid tersebut. Telah diuraikan sebelumnya bahwa
genom virus yang bisa masuk ke partikel virus adalah sekitar 50.000 pasang
basa sedangkan cosmid berukuran 5030 pasang basa, sehingga agar kosmid
dapat dimasukkan ke dalam partikel virus dibutuhkan sekitar 45.000 pasang
basa yang harus ditambahkan pada cosmid.
Dalam keadaan normal, cosmid berbentuk lingkaran seperti pada
plasmid. Agar dapat disisipkan dengan gen klon, cosmid harus dibuat linear
dengan cara pemotongan pada satu tempat tertentu. Kemudian gen klon
yang berukuran 45.000 pasang basa digabungkan dengan cosmid yang linier
tadi dengan bantuan enzim penggabung. Melalui reaksi kimia, rekombinan
cosmid dimasukkan ke dalam partikel virus. Selanjutnya, partikel virus yang
berisi rekombinan cosmid ini akan diinfeksikan secara in-vitro pada sel
bakteri Escherichia coli (4).
II.3 Tahapan Dalam Teknologi DNA Rekombinan
II.3.1 Isolasi dan Purifikasi DNA Genom (1)
Molekul DNA yang sering digunakan dalam teknologi DNA rekombinan
adalah DNA plasmid dan DNa genom yang berasal dari sel bakteri. Pada
dasarnya, isolasi DNA genom total dari sel bakteri, terdiri dari beberapa tahap
yaitu: (1) kultivasi sel dalam media yang sesuai, (2) pemecahan dinding sel,
(3) ekstraksi DNA genom dan (4) purifikasi DNA.
Pemecahan dinding sel bakteri dilakukan secara fisik misalnya dengan
cara sonikasi, maupun dengan cara kimia yaitu dengan menggunakan enzim
lisozim, etilendiamin tetra asetat (EDTA) atau kombinasi dari keduanya. Pada
kondisi tertentu, pemecahan dinding sel cukup dilakukan dengan lisozim dan
EDTA, akan tetapi sering ditambahkan bahan lain yang dapat melisiskan
dinding sel antara lain deterjen triton X-100 atau sodium dodesil sulfat (SDS).
Setelah sel mengalami lisis, tahap selanjutnya adalah memisahkan sel debris
dengan sentrifugasi. Komponen sel yang tidak larut diendapkan dengan
sentrifugasi sehingga meninggalkan ekstrak sel dalam supernatan yang
jernih.
Tahap akhir dari isolasi DNA adalah pemurnian DNA. Disamping DNA,
ekstrak sel mengandung protein dan RNA dalam jumlah yang cukup besar.
Umumnya cara pemurnian DNa dilakukan dengan penambahan larutan fenol
atau campuran fenol dan kloroform dengan perbandingan 1:1, untuk
mengendapkan protein dengan cara disentrifugasi dan dihancurkan secara
enzimatis dengan proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari protein masih
tercampur dengan RNA sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk
membersihkan DNA dari RNA. Molekul DNA yang telah diisolasi tersebut
kemudian dimurnikan dengan cara presipitasi etanol. Dengan adanya larutan
garam (kation monovalen seperti Na+), pada suhu -20°C etanol absolut dapat
mengendapkan DNA dengan baik sehingga mudah dipisahkan dengan cara
sentrifugasi.
Pada isolasi dan purifikasi DNA sel total yang berasal dari sel eukariot,
misalnya sel tanaman atau sel hewan, walaupun pada dasarnya tahapan
isolasi dan purifikasinya sama, namun memerlukan suatu modifikasi cara
isolasi sehubungan dengan sifat-sifat khusus dari sel yang digunakan.
Modifikasi yang sering dilakukan adalah pada proses pemecahan sel
eukariot. Senyawa kimia yang digunakan untuk memecah sel bakteri, tidak
selalu dapat digunakan untuk memecah sel tanaman atau sel hewan. Untuk
memecah sel tanaman dibutuhkan enzim-enzim degeneratif yang spesifik
dan sering dikombinasi degan cara pemecahan dinding sel secara fisik
antara lain menggunakan butiran-butiran gelas (glass beads). Sedangkan
untuk mengisolasi DNA total dari sel hewan yang tidak memiliki dinding sel
umunya hanya digunakan deterjen untuk memecah membran sel dan
membran nukleusnya.
Gambar 2.4 Bagan Cara Isolasi dan Purifikasi Genom DNA Total Dari Kultur Bakteri
II.3.2 Isolasi dan Purifikasi DNA Plasmid (1)
Isolasi dan purifikasi DNA plasmid dari sel bakteri pada dasarnya sama
dengan cara isolasi DNA genom. Sel bakteri yang mengandung DNA plasmid
dibiakkan dan dipanen. Sel bakteri dilisiskan dengan penambahan deterjen
(EDTA) dan enzim lisozim kemudian disentrifugasi untuk memecahkan debris
sel dengan ekstrak sel. Proses selanjutnya adalah memisahkan protein dan
RNA dari DNA plasmid. Namun demikian terdapat perbedaan penting dalam
isolasi DNA plasmid dengan isolasi DNA genom. Isolasi DNA plasmid harus
memperhatikan keberadaan DNA genom yang berasal dari sel bakteri.
Pemisahan antara DNA plasmid dengan DNA genom sangat penting untuk
dilakukan apabila DNA plasmid akan digunakan sebagai vektor kloning.
Adanya sedikit kontaminasi DNA genom bakteri dalam jumlah kecilpun dapat
mempengaruhi keberhasilan kloning DNA.
Beberapa cara untuk menghilangkan DNA genom pada pemurnian DNA
plasmid telah banyak dikembangkan. Cara pemisahan DNA plasmid dengan
DNA genom pada prinsipnya berdasarkan ukuran dan konformasinya.
Ukuran DNA plasmid sangat kecil dibandingkan dengan ukuran DNA genom.
Ukuran DNA plasmid yang terbesar, kurang dari 8% ukuran DNA genom
bakteri, dan sebagian besar DNA plasmid berukuran lebih kecil daripada
ukuran tersebut. Dengan demikian teknik yang dapat memisahkan molekul
DNA yang kecil dengan DNA yang berukuran besar akan sangat efektif untuk
memisahkan DNA plasmid.
Salah satu cara yang lazim digunakan untuk memisahkan DNA plasmid
dengan DNA genom adalah dengan menggunakan cara sentrifugasi gradien
densitas. Teknik sentrifugasi gradien densitas etidium bromia sesium klorida,
yang berkecepatan tinggi, merupakan cara yang sangat efektif untuk
memperoleh DNA plasmid murni. Dengan teknik tersebut, DNA plasmid akan
membentuk pita pada titik tertentu yang terpisah dengan pita DNA genom,
dimana protein akan mengapung pada permukaan gradien, dan RNA akan
berada pada dasar tabung. Posisi pita-pita DNA dalam tabung dapat terlihat
melalui pendaran etidium bromida yang disinari dengan sinar UV. DNA
plasmid dapat diambil dengan menusukkan jarum suntik pada dinding tabung
dimana pita DNA plasmid terlihat dan menyedotnya. Sedangkan etidium
bromida yang terikat pada DNA plasmid dapat diekstraksi dengan n-butanol
dan sesium klorida dapat dihilangkan dengan cara dialisis. Teknik pemisahan
ini dapat memperoleh DNA plasmid murni yang dapat digunakan sebagai
vektor kloning.
II.3.3 Pembuatan Vektor Rekombinan
DNA dari organisme donor yang telah diekstraksi dipotong dengan
enzim restriksi endonuklease, disambung (ligasi) dengan DNA vektor
sehingga membentuk molekul DNA rekombinan (DNA donor tersisipkan pada
DNA vektor) (3).
Misalnya pada plasmid pBR322, molekul pBR322 dipotong dengan
enzim restriksi endonuklease, misalnya BamHI yang mempunyai lokus
pengenal pada gen tetr. Pemotongan ini menghasilkan fragman DNA linier
berujung kohesif. Molekul ini dicampur dengan DNA kromosom yang juga
dipotong dengan enzim yang sama. Campuran ini diinkubasi dengan ligasi
DNA T4 dengan tambahan ATP. Dalam kondisi ini berbagai kombinasi akan
dihasilkan, termasuk resirkulerisasi plasmid. Untuk mengurangi jumlah
plasmid resirkuler ini, plasmid linier terlebih dahulu diinkubasi dengan
fosfatase (Calf Intestinal Phosphatase, CIP) untuk mengubah ujung 5’-fosfat
menjadi 5’-hidroksi. Sifat ligase T4 tidak dapat menyambung ujung-ujung
DNA yang tidak mempunyai ujung fosfat. Akan tetapi, dua ikatan fosfodiester
akan terbentuk oleh ligase yang cukup kuat menyambung dua molekul, di
samping masih ada dua noktah. Setelah transformasi, kedua celah ini akan
disambung oleh sistem ligase sel inang. Di samping itu ada kemungkinan
bahwa fragmen dari DNA kromosom akan saling bersambungan karena kerja
ligase (3).
Untuk vektor bakteriofaga, galur virus bakteriofaga dimodifikasi secara
genetik sedemikian rupa sehingga didapat bakteriofaga yang memiliki sifat
diinginkan dan menghilangkan sifat-sifat virus yang merugikan. DNA
bakteriofaga dibungkus dengan cara mencampur partikel kepala kosong,
DNA (50 kb) dan partikel ekor akan menghasilkan partikel bakteriofaga .
II.3.4 Transfer DNA
Sebagaimana telah disebutkan di atas, transfer molekul DNA
rekombinan ke dalam sel merupakan tahap yang paling penting pada
teknologi DNA. Beberapa spesies bakteri antara lain Bacillus subtilis,
Escherichia coli dan Saccharomyces cerevisiae sering digunakan dalam
industri bioteknologi. Beberapa teknik transfer yang telah disebutkan di atas
pada dasarnya tidak selalu efisien sehingga banyak sel yang mengalami
kematian pada saat ditransformasi. Di samping itu, keberhasilan transfer gen
ke dalam sel hospes tidak dapat diprediksi secara tepat. Sebagai contoh
misalnya DNA yang akan ditransfer dalam banyak kasus sering terdegradasi
oleh adanya enzim nuclease yang ada dalam sel hospes. Demikian pula
pada transfer DNA ke dalam sel hewan atau tanaman seringkali tidak dapat
terintegrasi dengan tepat ke dalam genom hewan atau tanaman sehingga
tidak dapat mengekspresikan protein yang disandi oleh DNA rekombinan.
(1).
Supaya DNA yang masuk ke dalam E. coli tidak mengalami perubahan
susunan, sel inang E. coli yang digunakan dipilih tidak membawa
endonuklease dan tidak terjadi rekombinasi antara molekul DNA. Dalam hal
ini dipilih sel inang yang gen restriksi endonukleasenya dan gen recA telah
dihilangkan tetapi masih mempunyai gen modifikasi (3).
Proses transfer DNA rekombinan ke dalam sel hospes tergantung pada
jenis vektor yang digunakan. Beberapa cara transefer DNA adalah (1):
1. Transformasi. Apabila vektor yang dipakai adalah plasmid DNA dapat
dapat ditransformasi ke dalam sel inang dengan cara:
a. Induksi kimia menggunakan perlakuan kejut panas (heat shock)
dengan CaCl2 pada suhu 42°C dalam waktu 90 detik. Adanya ion Ca2+
dapat menyebabkan perubahan permeabilitas dinding sel bakteri
sehingga plasmid DNA rekombinan yang berada media akan masuk
ke dalam sel bakteri yang dindingnya lebih permeabel tersebut.
b. Elektroporasi. Selain induksi kimia, permeabilitas dinding sel bakteri
dapat ditingkatkan dengan cara menempatkan sel bakteri di medan
listrik yang kuat. DNA dan sel bakteri dimasukkan bersama-sama
dalam kuvet khusus yang kemudian ditempatkan di bawah medan
listrik (1,8 kv), dalam waktu yang sangat singkat sekitar 4-5 detik. Di
bawah medan listrik ini, dinding sel bakteri dipaksa terbuka dengan
sendirinya, sehingga DNA dapat masuk ke dalam sel bakteri melalui
‘lubang’ yang terbentuk tersebut. Teknik elektroporasi dapat
menyebabkan sebagian besar bakteri mati, namun sel yang bertahan
hidup akan menerima DNA. Dewasa ini, elektroporasi sering
digunakan untuk transfer DNA karena prosesnya lebih cepat.
c. Konyugasi. Proses transfer DNA ke dalam sel bakteri melalui
konyugasi umumnya terjadi secara alamiah antar sel bakteri melalui
pili. Pada transfer DNA melalui konyugasi diperlukan jenis plasmid
khusus yang disebut dengan plasmid konyugatif. Apabila sel bakteri
memiliki plasmid tersebut (sel donor) bertemu dengan bakteri yang
tidak memiliki plasmid (sel penerima), maka akan terjadi agregasi sel
dari keduanya. Pada saat itu akan terjadi transfer plasmid dari sel
donor ke dalam sel penerima. Manipulasi terhadap plasmid konyugatif
dapat dilakukan untuk membuat plasmid konyugatif membawa molekul
DNA rekombinan yang dikehendaki sehingga dapat ditransfer kepada
sel bakteri lain melalui kontak antar sel bakteri. Salah satu cara teknik
konyugasi khusus yang berhasil dilakukan adalah teknik konyugasi
menggunakan bakteri Agrobacterium tumifaciens yang mengandung
plasmid konyugatif yang disebut dengan plasmd Ti (tumor inducing).
Jika bakteri Agrobacterium tumifaciens menginfeksi bagian tertentu
dari tanaman, maka fragmen plasmid Ti akan ditransfer ke dalam sel
tanaman menyerupai proses konyugasi dimana fragmen DNA yang
ditransfer kemudian akan terintegrasi ke dalam kromosom tanaman.
Bagian sel tanaman yang terinfeksi akan kehilangan kontrol terhadap
pertumbuhan sel normal, sehingga menyebabkan terbentuknya sel
tumor pada tanaman yang disebut dengan ‘crown gall’. Plasmid Ti
dapat dimanipulasi dengan cara menghilangkan sifat yang dapat
menginduksi sel tumornya dan menggabungkan fragmen DNA asing
ke dalam plasmid Ti. Berbagai fragmen DNA asing dapat ditransfer
dengan baik melalui bakteri Agrobacterium tumifaciens ke dalam sel
tanaman yang dikehendaki.
2. Transfeksi. Transfer DNA melalui proses transfeksi apabila vektor yang
digunakan adalah virus bakteriofag. DNA rekombinan yang akan
ditransfer dikemas terlebih dahulu dalam kapsid bakteriofaga, kemudian
diinfeksikan ke dalam sel penerima. Proses transfer DNA melalui
transfeksi ini menyerupai proses infeksi oleh virus yangterjadi secara
alamiah. Replikasi dan propagasi sel penerima akan meningkatkan jumlah
DNA rekombinan.
3. Mikroinjeksi. Teknik mikroinjeksi digunakan untuk mentransfer DNA
secara langsung ke dalam sel menggunakan jarum suntik yang berukuran
sangat kecil atau mikro. Umumnya teknik ini digunakan untuk mentransfer
DNA ke dalam sel hewan atau sel tanaman, karena sel tersebut
berukuran relatif lebih besar daripada sel bakteri. DNA rekombinan yang
akan ditransfer diinjeksikan langsung ke dalam nukleus sel penerima.
4. Mikroprojektil. Teknik ini umumnya digunakan untuk mentransfer DNA ke
dalam sel atau jaringan tanaman. Partikel DNA ditembakkan langsung
dengan suatu alat penembak khusus langsung ke dalam sel tanaman.
Dewasa ini terdapat berbagai jenis alat penembak gen, salah satunya
antara lain adalah pistol penembak gen.
II.3.5 Seleksi/Penapisan Transforman
Pada dasarnya, terdapat 3 kemungkinan yang terjadi setelah
transformasi DNA, yaitu (i) sel hospes tidak dapat menerima DNA, (ii) sel
hospes hanya menerima vektor yang tidak mengandung DNA rekombinan,
(iii) sel hospes menerima vektor yang mengandung DNA rekombinan yang
dikehendaki. Oleh sebab itu, teknik seleksi sel transforman yang membawa
gen yang dikehendaki merupakan tahapan yang sangat penting dalam
teknologi DNA. Seleksi sel transforman biasanya didasarkan pada marker
selektif yang terdapat dalam vektor (1).
Masalah utama untuk mendapatkan suatu klon yang diinginkan terletak
pada strategi identifikasi yang mudah dan cepat untuk membedakan satu
koloni yang membawa klon yang diinginkan darii sekian ribu koloni yang ada.
Bahkan organisme yang sederhana seperti E. coli untuk mendapat suatu
fragmen DNA yang diinginkan diperlukan ribuan koloni yang membawa
plasmid rekombinan (3).
Ada dua cara pokok untuk mengidentifikasi klon (3):
1. Komplementasi, digunakan mutan bakteri sebagai sel inang dan seleksi
pada media tertentu sehingga koloni yang hidup berarti membawa gen
yang termutasi itu.
2. Hibridisasi, baik dengan pelacak DNA maupun dengan antibodi.
II.3.5.1 Komplementasi
Marker yang terdiri gen yang resisten terhadap jenis antibiotika tertentu,
seringkali digunakan untuk menyeleksi sel transforman, yaitu dengan cara
membiakkan dalam medium yang mengandung antibiotika. Apabila sel
menangkap vektor yang membawa DNA rekombinan, maka sel akan kebal
terhadap antibiotika yang terdapat di dalam medium sehingga sel
transforman dapat tumbuh dengan baik. Sedangkan sel yang tidak
mendapatkan transfer DNA, sensitif terhadap antibiotika sehingga akan mati,
tidak dapat tumbuh dalam media yang mengandung antibiotika (1).
Sebagai contoh untuk identifikasi terhadap sel yang membawa fragmen
DNA kromosom pada BamHI, identifikasi dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, sel dari campuran transformasi ditumbuhkan pada media padat
yang mengandung ampisilin. Hanya sel yang membawa pBR322 atau
pBR322 rekombinan yang dapat hidup karena plasmid ini gen ampr masih
utuh. Sel yang tidak tertransformasi peka terhadap ampisilin. BamHI pada
pBR322 terletak dalam gen tetr sehingga penyisipan dalam gen ini merusak
gen tetr. Oleh karena itu sel yang membawa plasmid rekombinan resisten
terhadap ampisilin dan peka terhadap ampisilin dan tetrasiklin. Tahap kedua
adalah membedakan antara kedua jenis transforman itu. Sel yang tumbuh
dalam medium yang mengandung ampisilin dipindahkan ke dalam medium
yang mengandung tetrasiklin. Sel yang hidup pada medium yang
mengandung tetrasiklin berarti membawa pBR322 utuh. Sedangkan sel yang
tidak hidup pada medium yang mengandung tetrasiklin, peka terhadap
tetrasiklin, membawa pBR322 rekombinan.
Sedangkan pada penggunaan plasmid pUC19, sel yang membawa
vektor ini ditumbuhkan dalam medium yang mengandung X-gal dan IPTG.
Isopropiltiogalaktosida (IPTG) akan menginduksi ekspresi gen lacZ karena
repressor LacI tidak dapat menempel pada operator lac. IPTG ini merupakan
induser yang tidak dimetabolisme oleh sel (gratuitous). Vektor ini membawa
gen lacZ yang merupakan bagian ujung amino dengan 146 asam amino β-
galaktosidase yang meliputi lokus kloning. Penggunaan vektor jenis ini
memerlukan sel inang yang menyandi ujung karboksi β-galaktosidase. Baik
protein yang dihasilkan oleh sel inang maupun vektor merupakan bagian β-
galaktosidase yang tidak aktif. Kedua protein ini dapat bergabung
membentuk β-galakosidase aktif. Jenis komplementasi ini dinamakan
komplementasi β. Bakteri Lac+ yang merupakan hasil komplementasi β
mudah dikenali karena mereka membentuk koloni biru jika ada senyawa
kromogenik 5-bromo-4-kloro-3-indolil-D-galaktosida (X-gal). akan tetapi
penyisipan suatu fragmen DNA pada lokus kloning akan mengganggu
ekspresi lacZ sehingga tidak terjadi komplementasi. Bakteri membawa
plasmid rekombinan akan membentuk koloni putih (3).
Bila digambarkan secara keseluruhan maka cara penapisan klon
menggunakan metode komplementasi ialah sebagai berikut (4):
Molekul DNA plasmid yang berbentuk bulat dan berukuran sekitar 3 kb
dipotong dengan enzim restriksi endonuklease yang sama dengan enzim
endonuklease yang digunakan untuk memotong gen X tersebut di atas. Yang
terpenting diperhatikan disini adalah tempat pemotongan pada molekul DNA
plasmid yaitu pada lokasi gen lacZ. Pentingnya pemotongan pada lokasi gen
ini akan dijelaskan kemudian. Kedua jenis potongan molekul DNA tersebut
kemudian digabungkan oleh enzim ligase. Penggabungan kedua macam
molekul dapat terjadi secara acak, sehingga sedikitnya ada dua kemungkinan
yang terjadi, yaitu:
a. Molekul DNA plasmid bergabung kembali seperti bentuk semula dan tidak
membawa gen X. pada kasus ini molekul DNA tetap 5 kb.
b. Molekul DNA plasmid bergabung dengan gen X. ini merupakan DNA
rekonbinan yang dikehendaki, dengan ukuran 5 kb + 3 kb = 8 kb.
Untuk mengetahui ketiga kemungkinan yang terjadi pada sel kompeten,
tiga cawan yang berisi media padat disiapkan, yang masing-masing dilabel A,
B, dan C. cawan A hanya berisi media padat, cawan B berisi media padat
yang mengandung antibiotik, cawan C berisi media padat yang mengandung
antibiotik, X-gal dan IPTG. Masing-masing cawan digunakan untuk
menumbuhkan sel kompeten hasil transformasi. Ketika sel ditumbuhkan pada
ketiga cawan tersebut, jumlah koloni terbanyak diperoleh pada cawan A,
karena semua sel kompeten dapat hidup semua. Pada cawan B, jumlah
koloni jauh lebih sedikit daripada jumlah koloni pada cawan A karena sel
kompeten kosong akan mati semua. Hanya sel pembawa plasmid yang dapat
hidup karena pada plasmid terdapat gen resistensi antibiotik. Pada cawan C
jumlah koloni relatif sama dengan jumlah koloni pada cawan B tetapi ada dua
macam warna koloni, yaitu putih dan biru. Adanya perbedaan warna koloni ini
terjadi akibat adanya zat kimia X-gal dan IPTG yang bereaksi dengan produk
gen lacZ pada plasmid. Warna putih pada koloni diakibatkan adanya
kerusakan pada gen lacZ yang disisipi oleh gen X.
Secara teoritis, koloni berwarna putih dapat diyakinkan merupakan sel
yang membawa DNA rekombinan. Untuk meyakinkan hal itu, ada langkah
berikutnya yang meliputi isolasi DNA rekombinan dari sel E. coli, pemotongan
DNA dengan enzim restriksi yang digunakan dalam pembuatan DNA
rekombianan, pemisahan DNA melalui gel elektroforesis dan visualisasi DNA.
Satu koloni berwarna putih dan satu berwarna biru masing-masing
diambil dan ditumbuhkan secara terpisah di dalam labu Erlenmeyer
berkapasistas 100 mL. Erlenmeyer tersebut diisi dengan media cair yang
mengandung antibiotik. Dengan menyimpan labu tersebut di dalam inkubator
pada suhu 37°C semalam, koloni akan tumbuh dengan pesat sehingga
diperoleh DNA dalam jumlah besar. Melalui prosedur standar, DNA dari
koloni putih maupun koloni biru diisolasi dan dimurnikan. Masing-masing
DNA diotong dengan enzim restriksi yang juga digunakan ketika dalam
proses pembuatan DNA rekombinan.
Pada tahap akhir, gel-agarose disiapkan untuk pemisahan DNA
tersebut. Adapun DNA yang akan dielektroforesis meliputi: (1) DNA yang
berasal dari koloni biru (yang dipotong dan yang tidak dipotong dengan enzim
restriksi), (2) DNA yang ebrasal dari koloni putih (yang dipotong maupun
yang tidak), dan (3) DNA marker. Masing-masing DNA tersebut dimasukkan
ke dalam gel yang telah ditempatkan di dalam tangki elektroforesis dan
proses elektroforesis dilakukan selama kurun waktu tertentu. Segera setelah
elektroforesis, gel yang mengandung kelima macam DNA tadi diinkubasi
dalam larutan yang mengandung etidium bromida. Terakhir gel ini
ditempatkan di bawah sinar ultra violet yang kemudian akan tampak pita
dengan ukuran bervariasi.
Pada lajur M ada beberapa yang masing-masing berukuran 1, 2, 3, 4, 5,
6, 7, dan 8 kb seperti ditulis pada sisi kanan gambar. Pada lajur A1 dan A2,
masing-masing hanya terdapat satu pita saja berukuran sekitar 3 kb (dengan
cara menarik garis lurus posisi pita tersebut dengan pita pada lajur M). Kedua
pita tersebut merupakan representasi dari DNA plasmid yang tidak membawa
gen X. Pada lajur B1 terdapat satu pita berukuran 8 kb yang merupakan
representasi dari DNA plasmid yang membawa gen X (DNA rekombinan
yang tidak dipotong dengan enzim restriksi). Pada lajur B2 terdapat dua pita
masing-masing berukuran 5 kb dan 3 kb (DNA rekombinan yang telah
dipotong dengan enzim restriksi). Pita berukuran 3 kb merupakan
representasi dari DNA plasmid dan pita berukuran 5 kb merupakan
representasi dari DNA asing (gen X) (4).
II.3.5.2 Hibridisasi
Metode lain yang juga dapat digunakan untuk menyeleksi klon sel yang
dikehendaki adalah dengan cara melacak fragmen DNA yang diinginkan
dengan teknik pelacak DNA (DNA probe). Setelah dikembangkannya teknik
sekuensing DNA, saat ini cara yang paling efektif untuk memastikan
keberadaan DNA rekombinan dalam sel transforman adalah dengan cara
mensekuen urutan basa-basa DNA rekombinan yang terdapat pada sel
hospes (1).
Pada identifikasi dengan hibridisasi dengan pelacak DNA, koloni
transforman dipindahkan pada membran nitroselulosa. Kemudian sel dipecah
dan DNA diikatkan pada membran. Pelacak DNA dengan urutan komplemen
dengan fragmen yang diinginkan dan berlabel diberi kesempatan untuk
menempel pada komplemennya. Koloni yang ditempeli pelacak itu berarti
membawa fragmen yang diinginkan. Metode ini hanya dapat digunakan jika
telah ada informasi tentang urutan DNA target. Jika yang ada adalah
informasi tentang sebagian urutan asam aminonya yang kemudian digunakan
utntuk membuat urutan asam aminonya telah diketahui. Sebagai contoh, jika
urutan asam aminonya telah diketahui, sedangkan urutan nukleotidanya
belum, maka perlu menentukan kemungkinan urutan nukleotida dengan
menggunakan kode genetik sesuai dengan urutan asam amino yang ada.
Metode hibridisasi lainnya adalah dengan antibodi dinamakan
penapisan imunologi. Metode ini mendeteksi protein yang disandi oleh gen
yang diklon. Teknik ini hanya dapat digunakan jika gen yang diklon
terekspresi dan protein itu terdapat secara utuh bukan hanya sebagian dari
seluruh protein.
Penapisan bakteriofaga dapat dilakukan dengan pelacak DNA atau uji
imunologi. Pada sistem kloning dengan plasmid, koloni bakteri digunakan
untuk diuji. Pada sistem dengan bakteriofag setiap daerah lisis (plaque)
mengandung bakteriofaga dan ditinggalkan dalam membran dan diproses.
Untuk uji imunologi, protein yang dihasilkan oleh gen terklon disintesis
selama siklus lisis. Protein ini dipindahkan dan kemudian diikatkan pada
membran. Bagian membran yang memberikan respon positif, diidentifikasi
dan dilacak pada plaque yang sesuai dengan lempeng asli. Kemudian
dihidupkan lagi sebagai sumber bakteriofaga rekombinan (3).
II.3.6 Kultur Sel (1)
Kultur sel berperan penting dalam bidang rekayasa genetika dan
bioteknologi. Teknik pengembangbiakan sel baik sel prokariot maupun sel
eukariot mendapat perhatian utama karena kultur sel merupakan sumber
produk biologis atau mediator dari berbagai reaksi biokonversi.
Mikroorganisme umumnya dapat dibiakkan pada media pembenihan cair
atau meda perbenihan padat yang mengandung agar. Selama proses
pertumbuhan mikroorganisme dalam kondisi media perbenihan tersebut,
jumlah sel secara bertahap akan menurun setelah mencapai pertumbuhan
yang stabil karena selain nutrisi dalam media perbenihan menipis juga
karena akumulasi metabolit mikroorganisme dapat menghambat
pertumbuhan. Dengan demikian, pada kondisi tersebut pertumbuhan
mikroorganisme akan berhenti setelah mencapai waktu tertentu.
Salah satu cara untuk mengatasi penurunan pertumbuhan
mikroorganisme yang sedang dibiakkan, telah dikembangkan suatu metode
yang mampu terus-menerus dapat membiakkan sel mikroorganisme yaitu
dengan menambahkan medium perbenihan segar secara
berkesinambungan. Kemudian sel yang telah tumbuh dan metabolitnya
dialirkan ke luar bejana perbenihan melalui pipa khusus yang dapat diatur
waktu alirannya. Dengan cara tersebut, akan dapat dibuat situasi dimana sel
mikroorganisme dapat terus-menerus dibiakkan. Metode kultivasi ini disebut
dengan ‘kultur berkesinambungan’ (continuous culture). Namun demikian,
sebagian besar industri bioteknologi masih menggunakan metode kulutr di
dalam tangki tanpa aliran masuk medium segar dan aliran keluar biakan
mikroorganisme. Metode kultur statis ini disebut dengan ‘batch culture’.
Pertumbuhan bakteri terdiri dari beberapa fase yaitu (i) fase lag, (ii) fase
log (eksponensial), (iii) fase pertumbuhan tetap dan (iv) fase
penurunan/kematian sel. Dalam rekayasa genetika, fase eksponensial
merupakan fase yang sangat penting karena pad afase ini, sebagian besar
mikroorganisme mensintesis metabolit sekunder.
Efektivitas dan efisiensi metode kultur sangat penting dalam pembuatan
sediaan farmasi berbasis rekayasa genetika. Oleh sebab itu, dalam kultivasi
mikroorganisme seringkali diupayakan agar (i) fase lag dapat berlangsung
sesingkat mungkin dan (ii) mengupayakan untuk menunda agar biakan tidak
cepat masuk pada fase pertumbuhan tetap. Untuk tujuan yang pertama
biasanya diupayakan dengan cara memasukkan sejumlah inokulum yang
tepat yang telah dilakukan prekultur sehingga inokulum dapat beradaptasi
secara optimal dengan volume medium perbenihan yang ada dalam tangki
kultur. Sedangkan untuk tujuan yang kedua, dapat diupayakan berbagai cara,
salah satunya yang berhasil adalah dengan cara menambahkan kembali
medium segar tepat pada waktu akhir fase eksponensial. Teknik
penambahan medium segar pada akhir fase eksponensial ini disebut dengan
‘fed batch culture’. Untuk mencapai pertumbuhan mikroorganisme yang
optimal, tidak hanya harus memberikan medium perbenihan dengan nutrisi
yang sesuai, tetapi juga harus diperhatikan beberapa faktor lainnya yaitu
kondisi pH medium, oksigen, dan suhu inkubasi. di samping itu, kultur
mikroorganisme juga harus bebas dari kontaminasi mikroorganisme lainnya.
Proses selanjutnya ialah isolasi serta pemurnian protein yang diinginkan
dari kultur menggunakan teknik yang seuai dengan sifat fisikokimia protein,
uji bioaktifitas, dan karakteristik protein yang telah dimurnikan, dan pemilihan
teknologi formulasi yang sesuai untuk membuat sediaan farmasi yang dapat
digunakan dalam pengobatan.
II.4 Pemanfaatan Teknologi DNA Rekombinan dalam Bidang Medis
II.4.1 Vaksin
Sebelum penemuan teknik DNA rekombinan, vaksin dibuat dari zat
berinfeksi yang dimatikan atau dilemahkan atau perubahan zat berinfeksi
sehingga tidak lagi dapat berkembang biak dalam individu yang
diinokulasikan dengan zat tersebut. Kedua jenis vaksin ini kemungkinan
besar berbahaya karena dapat tercemar oleh zat berinfeksi yang masih
hidup. Pada kenyataannya, terdapat sejumlah kecil kasus penyakit yang
disebabkan oleh vaksinasi.
Karena sistem kekebalan manusia berespon terhadap protein antigenik
yang terdapat pada permukaan berinfeksi, kemungkinan pembuatan antigen
ini melalui teknik DNA rekombinan sangat menarik. Dengan teknik DNA
rekombinan, dapat dihasilkan protein yang benar-benar bebas dari zat
berinfeksi dan digunakan sebagai vaksin. Vaksin DNA rekombinan pertama
yang berhasil dibuat adalah vaksin untuk virus hepatitis B (5).
II.4.2 Protein Terapetik
Sebelum perkembangan teknologi DNA rekombinan, kebanyakan
protein farmasetik hanya terdapat dalam jumlah yang sangat terbatas,
dengan ongkos produksi yang tinggi dan dalam banyak hal mekanisme
aksinya belum diketahui. Ketika teknologi DNA rekombinan berkembang,
maka teknik ini merupakan cara yang sangat penting untuk menghasilkan
sejumlah protein farmasetik dan jumlah cukup, baik untuk efikasi dan
kemudian penggunaan pada manusia. Sampai saat ini gen (cDNA) dari lebih
400 macam protein manusia yang berpotensi sebagai agen terapi telah
diklon. Kebanyakan dari gen itu telah diekspresikan dalam sel inang dan
sedang diuji untuk pengobatan berbagai penyakit (3).
Tabel II.1. Beberapa protein yang telah dibuat dengan teknologi DNA rekombinan untuk pengobatan berbagai kelainan
Protein KelainanΑ1-antitripsin Emfisema
Hormon adrenokortikotropik Penyakit reumatikFaktor tumbuh sel b Kelainan kekebalan
Faktor neurotropik (dari otak) Sklerosis lateralKalsitonin Osteomalasia
Faktor pemacu koloni KankerGonadotropin korionik Mandul pada wanitaEndorfin dan enkafalin Keju
Faktor viii HemofiliaFaktor ix HemofiliaInsulin Diabetes
Interferon (αβγ) Infeksi virus, kanker
Albumin serum Kekurangan protein plasmaUrokinase Penggumpalan darah
Relaksin Pernafasan
Insulin
Sekarang ini, teknik DNA rekombinan digunakan untuk menghasilkan
protein yang memiliki khasiat terapetik. Salah satu protein semacam ini yang
pertama kali diubat adalah insulin manusia. Karena tidak mengalami
glikosilasi, protein dapat dihasilkan dalam E. coli. DNA yang sesuai
dipersiapkan untuk rantai A dan B insulin manusia dan disisipkan ke dalam
plasmid yang digunakan untuk mengubah bentuk sel E. coli. Selanjutnya,
bakteri ini mensintesis rantai insulin yang kemudian dimurnikan dan dibiarkan
membentuk lipatan serta ikatan disulfida sehingga dihasilkan molekul insulin
yang aktif (5).
Beradasarkan informasi tentang struktur dan fungsi protein insulin
manusia, dirancang strategi kloning gen insulin manusia untuk memproduksi
protein insulin rantai A dan rantai B secara terpisah. Gen yang menyandi
protein rantai A dan rantai B dibuat secara sintesis dengan mensintesis
oligonukleotida yang sesuai dengan sekuen nukleotida gen A dan gen B.
untai DNA gen A dan untai DNA gen B, masing-masing kemudian difusikan
dengan operon laktosa, yaitu promoter, operator dan gen LacZ yang
menyandi β-galaktosidase pada plasmid pBR322. Masing-masing gen A dan
gen B disisipkan secara terpisah ke dalam plasmid, yaitu pada bagian
sebelah kanan gen LacZ, kemudian ditransfer ke dalam bakteri E. coli.
Ekspresi operon laktosa masing-masing menghasilkan protein β-
galaktosidase dan protein insulin A atau B yang saling terikat. Protein
gabungan antara β-galaktosidase dan protein insulin A atau B ini dimurnikan,
kemudian dihidrolisa dengan larutan sianogen bromide untuk memecah
ikatan insulin dengan protein β-galaktosidase. Dengan cara ini akan diperoleh
polipeptida insulin rantai A dan rantai B, yang apabila difusikan akan
membentuk protein insulin, dimana rantai A dan B dihubungkan oleh ikatan
bisulfida.
Insulin rekombinan manusia (Humulin®) pertama kali disetujui
penggunaannya untuk pengobatan DM pada tahun 1982 sekaligus
merupakan senyawa protein terapetik rekombinan manusia yang pertama kali
diproduksi secara komersial. Dewasa ini, berbagai jenis insulin rekombinan
manusia telah dikembangkan baik dalam proses produksi maupun
pengembangan formulasinya. Insulin “lispro”, merupakan salah satu contoh
hasil rekayasa protein insulin. Perbedaan rangkaian asam amino insulin
manusia alami dengan insulin lispro terletak pada posis B28 dan B29 dimana
urutan prolin-lisin dibalik menjadi lisin-prolin. Pembalikan urutan prolin-lisin
menjadi lisin-prolin (lispro) tersebut meningkatkan kerja insulin lispro menjadi
lebih cepat (1).
Gambar 2. Sintesis Insulin Menggunakan Teknik DNA Rekombinan
Gambar II.6 Sediaan Insulin Hasil Rekayasa Genetika yang Beredar.
Hormon Pertumbuhan
Strategi untuk mengklon dan memproduksi hormon pertumbuhan
rekombinan manusia berbeda dengan strategi rekayasa protein insulin
manusia. Gen untuk merekayasa protein hormon pertumbuhan didapat dari
cDNA yang dibuat dari mRNA dengan enzim reverse transcriptase. mRNA
yang digunakan sebagai cetakan DNA diisolasi dari kelenjar hormon manusia
yang menghasilkan hormon pertumbuhan.
Molekul cDNA yang menyandi ekspresi hormon pertumbuhan manusia,
yang terdiri dari 24 asam amino digabung dengan suatu plasmid vektor
bakteri, yang memiliki sekuen promotor yang kuat dan fragmen DNA
penuntun. Apabila gen hormon pertumbuhan manusia (gen hGH) digabung
dengan suatu fragmen DNA penuntun yang menyandi peptida penuntun
(sekitar 20 asam amino), ditransformasikan ke dalam sel bakteri E. coli,
molekul hormon pertumbuhan akan berada di antara lapisan membran luar
dan lapisan membran dalam, pada dinding sel bakteri E. coli yang disebut
dengan lapisan perifplasma. Dengan demikian proses purifikasi hormon
pertumbuhan yang diproduksi oleh E. coli dapat dilakukan dengan mudah,
yaitu dengan cara melisiskan lapisan membran luar dinding sel bakteri (1).
Protein Manusia Kompleks
Protein kompleks semakin banyak dihasilkan dalam biakan sel. Pada
individu yang menderita hemofilia, terjadi defek pada gen untuk faktor VIII,
suatu protein yang terlibat dalam pembekuan darah. Sebelum tersedianya
faktor VII yang dirancang secara genetik, banyak penderita hemofilia
meninggal akibat AIDS atau hepatitis yang mereka dapatkan saat transfusi
darah yang tercemar. Aktivator plasminogen jaringan atau TPA adalah suatu
protease dalam darah yang mengubah plasminogen menjadi plasmin (suatu
protease yang memutuskan fibrin sehingga bekuan darah larut). TPA
rekonbinan yang dihasilkan dalam biakan sel mamalia sering diberikan
selama atau segera setelah serangan jantung untuk melarutkan trombus
yang menyumbat arteri koroner dan menghambat aliran oksigen ke jantung
(5).
BAB III
KESIMPULAN
DNA rekombinan atau disebut juga dengan kloning gen merupakan
suatu eksperimen yang menunjukkan informasi transfer genetik (DNA) dari
satu organisme ke organisme lain. Pembuatan DNA rekombinan mengikuti
tahapan berikut ini:
a. DNA yang akan disispkan dari suatu organisme donor diekstraksi,
dipecah secara enzimatik dan digabung dengan vektor.
b. Vektor klon kemudian ditransfer ke dalam sel klon.
c. Sel yang membawa DNA diidentifikasi dan dilakukan kultur sel klon.
d. Hasil produk DNA rekombinan dipanen dan dipurifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Radji M. Rekayasa Genetika: Pengantar untuk Profesi Kesehatan. Sagung Seto. Jakarta. 2011.
2. Fatchiyah, Arumingtyas EL, Widyarti S, Rahayu S. Biologi Molekular: Prinsip Dasar Analisis. Erlangga. Jakarta. 2011.
3. Sudjadi. Bioteknologi Kesehatan. Kanisius. Yogyakarta. 2008.
4. Mulandno. Teknologi Rekayasa Genetika. Edisi Kedua. IPB Press. Bogor. 2010.
5. Dinata I. Bioteknologi: Pemanfaatan Mikroorganisme & Teknologi Bioproses. Penerbit EGC. Jakarta. 2009.