DISFUNGSI POLA URIN klpk 1
-
Upload
ners-erfina -
Category
Documents
-
view
1.226 -
download
0
Transcript of DISFUNGSI POLA URIN klpk 1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembuangan normal urine merupakan suatu fungsi dasar yang sangat penting
dalam sistem metabolisme tubuh. Apabila sistem perkemihan tidak dapat berfungsi
dengan baik, sebenarnya semua sistem organ pada akhirnya akan terpengaruh. Perubahan
eliminasi urin me;iputi inkontinensia urin dan retensi urin yang bisa disebabkan
berbagai hal. Inkontinensia tidak harus selalu dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia
dapat dialami setiap individu pada usia berapa pun, walaupun kondisi ini lebih umum
dialami oleh lansia. Diperkirakan bahwa 37% wanita berusia 60 tahun atau lebih
mengalami beberapa tingkatan inkontinensia (Brooks, 1993). Retensi urin bisa disebabkan
oleh berbagai penyakit Klien yang mengalami perubahan eliminasi urine juga dapat
menderita secara emosional akibat perubahan citra tubuhnya. Perawat berusaha memahami
dan menunjukkan sikap yang peka terhadap kebutuhan klien, Perawat harus
memahami alasan terjadinya masalah dan berupaya mencari penyelesaian yang dapat
diterima.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana aplikasi konsep perawatan pada klien dengan perubahan pola eliminasi urin ?
C. Tujuan
Tujuan umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan dengan perubahan pola eliminasi
urin.
Tujuan khusus
1. Menjelaskan pengertian retensi urine, etiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan dan
konsep keperawatannya.
2. Menjelaskan pengertian inkontinensia urine, etilogi, manifestasi klinis, penatalaksanaan
dan konsep keperawatannya.
3. Menjelaskan pengertian neurogenic bledder, etilogi, manifestasi klinis, penatalaksanaan
dan konsep keperawatannya.
4. Mengelola asuhan keperawatan pada klien dengan perubahan pola eliminasi urin.
D. Manfaat Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan aplikasi konsep perawatan pada klien dengan
perubahan pola eliminasi urin sehingga dapat digunakan sebagai referensi asuhan
keperawatan pada klien dengan perubahan pola eliminasi urin.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori
1. Anatomi Bladder dan Uretra
(Gambar : sistem perkemihan)
Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri atas tiga lapisan otot detrusor yang
saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot
sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa buli-buli terdiri atas sel-sel
transisional yang sama seperti pada mukosa pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada
dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra interna membentuk suatu segitiga yang
disebut trigonom buli-buli.
Secara anatomi betuk buli-buli terdiri atas tiga permukaan, yaitu
1. Permukaan posterior yang berbatasan dengan rongga peritonium
Permukaan superior merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding buli-buli
berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra
dalam mekanisme miksi.
2. Dua permukaan inferiolateral
3. Permukaan posterior
Dalam menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal yang volumenya
untuk orang dewasa kurang lebih 360-450 ml, sedangkan kapasitas buli-buli pada anak
menurut formula dari Kuff adalah
kapasitas buli-buli= {umur (tahun) + 2 } x 30 ml
Kandung kemih merupakan suatu organ cekung yang dapat berdistensi dan
tersusun atas jaringan otot serta merupakan wadah tempat urin dan merupakan organ
ekskresi. Apabila kosong, kandung kemih berada di dalam rongga panggul di belakang
simfisis pubis. Pada pria, kandung kemih terletak pada rektum bagian posterior dan pada
wanita kandung kemih terletak pada dinding anterior uterus dan vagina.
Bentuk kandung kemih berubah saat ia terisi dengan urin. Dinding kandung kemih
dapat mengembang. Tekanan di dalam kandung kemih biasanya rendah, bahkan saat
sebagian kandung kemih penuh, suatu faktor yang melindungi kandung kemih dari infeksi.
Kandung kemih dapat menampung sekitar 600 ml urine, walaupun pengeluaran urine normal
sekitar 300 ml.
Dalam keadaan penuh, kandung kemih membesar dan membentang sampai ke atas
simfisis pubis. Kandung kemih yang mengalami distensi maksimal dapat mencapai
umbilikus. Pada wanita hamil, janin mendorong kandung-kemih, menimbulkan suatu perasaan
penuh dan mengurangi daya tampung kandung kemih. Hal ini dapat terjadi baik pada
trimester pertama ataupun trimester ketiga.
Trigonum (suatu daerah segitiga yang halus pada permukaan bagian dalam kandung
kemih) merupakan dasar kandung kemih. Sebuah lubang terdapat pada setiap sudut segitiga.
Dua lubang untuk ureter serta satu lubang untuk uretra.
Dinding kandung kemih memiliki empat lapisan: lapisan mukosa di dalam, sebuah
lapisan submukosa pada jaringan penyambung, sebuah lapisan otot, dan sebuah lapisan
serosa di bagian luar. Lapisan otot memiliki berkas-berkas serabut otot yang membentuk otot
detrusor. Serabut saraf parasimpatis menstimulasi otot detrusor selama proses perkemihan.
Spingter uretra interna, yang tersusun atas kumpulan otot yang berbentuk seperti cincin,
berada pada dasar kandung kemih tempat sfingter tersebut bergabung dengan uretra. Spingter
mencegah urine keluar dari kandung kemih dan berada di bawah kontrol volunter (kontrol otot
yang disadari).
Anatomi Uretra
Urine keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui meatus
uretra. Dalam kondisi normal, aliran urine yang mengalami turbulansi membuat urine bebas
dari bakteri. Membran mukosa melapisi uretra, dan kelenjar uretra mensekresi lendir ke dalam
saluran uretra. Lendir dianggap bersifat bakteriostatis dan membentuk plak mukosa untuk
mencegah masuknya bakteri. Lapisan otot polos yang tebal mengelilingi uretra. Pada wanita,
meatus urinarius (lubang) terletak di antara labia minora, di atas vagina dan di bawah klitoris.
Pada pria, meatus terletak pada ujung distal penis.
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi.
Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior.
Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra dilengkapi dengan
spinter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra. Serta spinteruretra
eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Spinter uretra interna
terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik, sehingga pada saat buli-buli
penuh spingter terbuka. Spinter urtra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh saraf
somatik yang dapat diperintah sesuai keinginan seseorang. Pada saat kencing spingter ini
terbuka. Dan tetap tertutup saat menahan kencing.
Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang
lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang ini yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran
urine lebih sering terjadi pada pria. Ureter posterior pada pria terdiri atas uretra pars
prostatika, yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, uretra pras
membranasea. Dibagian pisterior lumen uretra prostatika, terdapat suatu tonjolan
verumontanum, dan disebelah proksimal distal verummontanum terdapat kristal uretralis.
Bagian akhir dari vas deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kiri dan
kanan verumonyanum. Sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus
prostatikus yang tersebar uretra prostatikan.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang terbungkus korpus spongiosum penis.
Dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi sebagai proses
reproduksi, yaitu kelenjar cowperi berada di dalam diafragma urogenitalis dan bermuara di
uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra
pars pendularis.
Panjang uretra wanita kurang lebih 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada di bawah
simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Di dalam uretra bermuara kelenjar
periuretra, di antaranya adalah kelenjar skene. Kurang lebih sepertiga medial uretra, terdapat
sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan
tonus otot levator ani berfungsi mempertahankan agar urin tetap berada di dalam buli-buli
pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan
intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.
2. Proses Miksi
Fase pengisian
Tekanan vesika (P ves) : < 15 cm H2O
Tekanan uretra posterior (P up) : 60 – 100 cm H2O
Fase ekspulsi :
Isi blader 150-200 ml
Reseptor Strecth
Terasa ingin kencing
Syaraf Otonom Pubosakral (S 2 – 4)
Detrusor berkontraksi
Uretra prostatika membuka, spingter Eksterna masih menutup
Kontraksi detrusor meningkat
Tekanan uretra menurun
Spingter uretra eksterna membuka
Urin keluar
Beberapa struktur otak yang mempengaruhi fungsi kandung kemih meliputi korteks
serebral, thalamus, hipotalamus, dan batang otak. Secara bersama-sama, struktur otak ini
menekan kontraksi otot detrusor kandung kemih sampai individu ingin berkemih atau buang
air. Dua pusat di pons yang mengatur mikturisi atau berkemih, yaitu; pusat M mengaktifkan
refleks otot detrusor dan pusat L mengkoordinasikan tonus otot pada dasar panggul. Pada saat
berkemih, respons yang terjadi ialah kontraksi kandung kemih dan relaksasi otot pada dasar
panggul yang terkoordinasi.
Kandung kemih dalam kondisi normal dapat menampung 600 ml urine. Namun,
keinginan untuk berkemih dapat dirasakan pada saat kandung kemih terisi urine dalam
jumlah yang lebih kecil (150 sampai 200 ml pada orang dewasa dan 50 sampai 200 ml pada
anak kecil). Seiring dengan peningkatan volume urine, dinding kandung kemih meregang,
merangsang saraf aferen untuk mengirim impuls-impuls sensorik ke pusat mikturisi di medulla
spinalis pars sakralis (S2,S4). Impuls saraf parasimpatis dari pusat mikturisi menstimulasi otot
detrusor untuk berkontraksi secara teratur. Sfingter uretra interna juga berelaksasi sehingga
urine dapat masuk ke dalam uretra, walaupun berkemih belum terjadi. Saat kandung kemih
berkontraksi, impuls saraf naik ke medulla spinalis sampai ke pons dan korteks serebral.
Kemudian individu akan menyadari keinginannya untuk berkemih. Remaja dan orang dewasa
dapat berespons terhadap dorongan berkemih ini atau malah mengabaikannya sehingga
berkemih berada di bawah kontrol volunter. Apabila individu memilih untuk tidak berkemih,
sfingter urinarius eksterna dalam keadaan berkontraksi dan refleks mikturisi dihambat.
Namun pada saat individu siap berkemih, sfingter eksterna berelaksasi, refleks mikturisi
menstimulasi otot detrusor untuk berkontraksi sehingga terjadilah pengosongan kandung
kemih yang efisien.
Apabila keinginan untuk berkemih diabaikan berulang kali, daya tampung kandung
kemih dapat menjadi maksimal dan menimbulkan tekanan pada sfingter sehingga dapat
membuat kontrol volunter tidak mungkin lagi dilanjutkan. Kerusakan pada medulla spinalis
di atas daerah sakralis menyebabkan hilangnya kontrol volunter berkemih, tetapi jalur
refleks berkemih dapat tetap utuh sehingga memungkinkan terjadinya berkemih secara
refleks. Kondisi ini disebut refleks kandung kemih.
3. Perubahan dalam Eliminasi Urine
Klien yang memiliki masalah perkemihan paling sering mengalami gangguan dalam
aktivitas berkemihnya. Gangguan ini diakibatkan oleh kerusakan fungsi kandung kemih,
adanya obstruksi pada aliran urine yang mengalir keluar, atau ketidakmampuan mengontrol
berkemih secara volunter. Beberapa klien dapat mengalami perubahan sementara atau
permanen dalam jalur normal ekskresi urine. Klien yang menjalani diversi urine memiliki
masalah khusus karena urine keluar melalui sebuah stoma.
A. RETENSI URINE
1) Definisi
Retensi urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin yang
terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui. Proses miksi
terjadi karena adanya koordinasi harmonik antara otot detrusor buli-buli sebagai penampung
dan pemompa urin dengan uretra yang bertindak sebagai pipa untuk menyalurkan urine.
Adanya penyumbatan pada uretra, kontraksi buli-buli yang tidak adekuat, atau tidak adanya
koordinasi antara buli-buli dan uretra dapat menimbulkan terjadinya retensi urine.
2) Etiologi
a) Kelemahan otot detrusor
Kelainan medulla spinal, kelainan saraf perifer.
b) Inkoordinasi antara detrusor-uretra
Cidera kauda ekuina.
c) Hambatan / obstruksi uretra
Gumpalan darah, sklerosis leher buli-buli, hiperplasia prostat, Ca prostat, striktur
uretra, batu uretra, tumor uretra, klep uretra, cidera uretra, fimosis, para fimosis,
stenosis meatus uretra.
d) Kecemasan
e) Efek obat-obatan (preparat antispasmodic-antikolinergik,preparat antidepresan –anti
psikotik,antihistamin,preparat penyekat b-adrenergic.)
3) Patofisiologi
Pada kondisi normal urin mengisi kandung kemih dengan perlahan dan mencegah
aktivasi reseptor regangan sampai distensi kandung kemih meregang pada level tertentu.
Refleks berkemih terjadi dan kandung kemih menjadi kosong. Dalam kondisi retensi urine,
kandung kemih tidak mampu berespons terhadap refleks berkemih sehingga tidak mampu
untuk mengosongkan diri.
Seiring dengan berlanjutnya retensi urine, dapat menyebabkan overflow retensi.
Tekanan dalam kandung kemih meningkat sampai suatu titik di mana spingter uretra
eksterna tidak mampu lagi menahan urine. Sfingter untuk sementara terbuka
memungkinkan sejumlah kecil urine 25 sampai 60 ml keluar. Setelah urine keluar,
tekanan kandung kemih cukup menurun sehingga sfingter memperoleh kembali kontrolnya
dan menutup. Seiring dengan overflow klien mengeluarkan sejumlah kecil urin dua atau tiga
kali sejam tanpa adanya penurunan distensi atau rasa nyaman yang jelas. Perawat harus
mengetahui volume urine dan frekuensi berkemih supaya dapat mengkaji kondisi ini pada
klien. Spasme kandung kemih dapat timbul ketika klien berkemih.
4) Tanda dan Gejala
a. Tidak ada pengeluaran urine selama beberapa jam dan terdapat distensi
kandung kemih. Pada retensi urine yang berat, kandung kemih dapat menahan
2000 sampai 3000 ml urine.
b. Klien yang berada di bawah pengaruh anestesi atau analgesik hanya merasakan
adanya tekanan, tetapi klien yang sadar akan merasakan nyeri hebat karena
distensi kandung kemih melampaui kapasitas normalnya.
5) komplikasi
Urin yang tertahan lama di dalam buli-buli secepatnya harus dikeluarkan karena jika
dibiarkan akan menimbulkan beberapa masalah antara lain :
a. Infeksi saluran kencing
Retensi urin dapat menimbulkan infeksi yang bisa terjadi akibat distensi
kandung kemih yang berlebihan
b. Kerusakan kandung kemih
Terjadi karena gangguan suplai darah pada dinding kandung kemih dan
proliferasi bakteri sehingga kontraksi otot buli menjadi lemah.
c. Gagal Ginjal
Terjadi apabila terjadi obstruksi pada saluran kemih sehingga memperberat
kerja ginjal.( hidroureter dan hidronefrosis )
5) Penatalaksanaan
Urin dapat dikeluarkan dengan cara kateterisasi atau sistostomi. Tindakan penyakit
primer dikerjakan setelah keadaan pasien stabil. Untuk kasus-kasus tertentu mungkin
tidak perlu pemasangan kateter terlebih dahulu melainkan dapat langsung dilakukan
tindakan definitif terhadap penyebab retensi urin, misalnya batu dimiatus uretra
eksternum atau meatal stenosis dilakukan meatotomi, fimosis atau parafimosis
dilakukan sirkumsisi atau dorsumsisi.
B. INKONTINENSIA URINE
1) Definisi
Inkontinensia Urine merupakan kehilangan kontrol berkemih. Inkontinensia dapat
bersifat sementara atau menetap. Klien tidak lagi dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urin dapat berlangsung terus menerus atau sedikit-sedikit. Lima tipe
inkontinensia adalah inkontinensia fungsional, inkontinensia refleks (overflow), inkontinensia
stres, inkontinensia urgensi, dan inkontinensia total.
2) Patofisiologi
Inkontinensia tidak harus selalu dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat
dialami setiap individu pada usia berapa pun, walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh
lansia. Diperkirakan bahwa 37% wanita berusia 60 tahun atau lebih mengalami beberapa
tingkatan inkontinensia (Brooks, 1993). Inkontinensia dapat merusak citra tubuh. Pakaian
yang dapat menjadi basah oleh urine dan bau yang menyertainya dapat menambah rasa malu.
Akibatnya, klien yang mengalami masalah ini sering menghindari aktivitas sosial.
Lansia mungkin mengalami masalah khusus dengan inkontinensia akibat keterbatasan
fisik dan lingkungan tempat tinggalnya. Lansia yang mobilitasnya terbatas mempunyai
peluang lebih besar untuk mengalami inkontinensia karena ketidakmampuan mereka untuk
mencapai toilet pada waktunya. Kursi yang dirancang pendek dan tempat tidur yang
ditinggikan di atas lantai dapat menjadi halangan bagi lansia yang harus bangun untuk
mencapai ke toilet. Lansia yang mengalami kesulitan untuk membuka kancing atau
memanipulasi ritsleting menghadapi masalah yang lain. Lansia sering mengalami kekurangan
energi untuk berjalan yang sangat jauh pada satu waktu. Toilet mungkin terlalu jauh bagi klien
yang mengalami inkontinensia urgensi.
3) Tipe Inkontinensia dan Manifestasi klinis
Ada beberapa macam jenis inkontinensia :
a) Inkontinensia stress
Inkontinensia stress disebabkan oleh peninggian tekanan intra abdomen yang melebihi
tahanan dan tekanan urtra tanpa kontraksi otot dekstrusor misalnya saat batuk, bersin,
angkat barang dan tertawa.
Penanganan
Penanganan dilakukan oleh ahli ginekologi, bila penderita datang dengan keluhan
utama prolapsus uterus dan inkontinensia.
Dilakukan pemeriksaan lengkap untuk menjaminkan indikasi operasi yang tepat.
Pengobatan konsevatif pada wanita menopause kadang sediaan estrogen bisa
membantu. Digunakan pula alfa simpatikomimetig.
Fisioterapi berupa latihan otot panggul mungkin berakhir baik.
Pengobatan pesarium seperti digunakan pada desensus uterus dapat juga digunakan
untuk inkontinensia strees pada penderita yang tidak dapat dioperasi. Ukurannya
harus cocok betul dan penderita harus diperiksa berulang-ulang untuk mencegah
infeksi dan ulkus vagina.
b) Inkontinensia urgensi
inkontinensia urgensi, keinginan untuk berkemih begitu mendesak berupa bentuk
perintah. Biasanya terjadi kontraksi dekstrusor yang tak dapat ditekan atau diabaikan,
dan tergantung tahanan uretra terjadi inkontinensia.
Penanganan
Dilakukan latihan kandung kemih
Terapi bedah, seperti transeksi kandung kemih, blok saraf sakral, atau
neourektomi sakral jarang menghasilkan perubahan atau keadaan yang
memuaskan.
c) Inkontinensia fungsional
Pada pasien inkontinensia fungsional terjadi adanya hambatan tertentu, pasien tidak
mampu untuk menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga
kencingnya keluar tanpa dapat ditahan. Hambatan itu dapat berupa gangguan fisik,
gangguan kognitif, maupun pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obat tertentu
misalnya diuretikum (bulu-buli cepat terisi), antikolinergik (gangguan kontraksi
detrusor), sedativa/hipnotikum (gangguan kognitif), narkotikum (gangguan kontraksi
detrusor), antagonis adrenergik alfa (menurunkan tonus spingter internus),
penghambat kanal kalsium (menurunkan kontraksi detrusor). Gangguan fisik yang
dapat menimbulkan inkontinensia fungsional antara lain : gangguan mobilisasi akibat
arthritis, stroke, atau ganggguan kognitif akibat suatu delirium maupun demensia.
Pada pasien tua sering kali mengeluh inkontinensia urin sementara (transient), yang
dipacu oleh beberapa keadaan yang disingkat dengan DIAPPERS Delirium, Infection
(infeksi saluran kemih), Atrophic vaginitis uretrhitis, Pharmaceutical, Psycological,
Excess urin output, Restricted mobility, dan Stool impaction.
d) Inkontinensia refleks (overflow)
Iskuria paradoks merupakan retensi urine yang menjadi inkontinensia, artinya betul-
betul bertentangan dengan yang disangka. Karena kandung kemih penuh dan
melampaui kapasitasnya, maka urine yang dihasilkan ginjal langsung keluar dari
kandung kemih yang penuh, sehingga terdapat kesan inkontinensia.
Penanganan
Kateterisasi kandung kemih untuk megosongkannya dan kemudian harus
diambil tindakan untuk mencegah kekambuhan.
4) Pemeriksaan Diagnostik
Setelah adanya inkontinensia dikenali,anamneses riwayat sakit yang cermat
diperlukan.tindakan ini mencakup uraian yang rinci mengenai masalah tersebut dan
riwayat penggunaan obat-obatan.Riwayat urinasi,catatan eliminasi urin dan hasil tes
bedside(volume urine sisa sesudah urinasi,maneuver stress)dapat diginakan untuk
membantu menentukan tipe inkontinensia urin.Evaluasi diagnostic urodinamik yang lebih
ekstensif dapat dilakukan.
C. NEUROGENIC BLADDER
1) Definisi
Merupakan disfungsi blader (flaksid atau spastik) yang terjadi akibat lesi neurologi dengan
tanda utama inkontinensia reflek.
2) Etiologi
Kondisi yang mempengaruhi bladder dan signal saraf aferent dan eferent menyebabkan
neurogenik bladder, yaitu :
a) CNS (stroke, injury spinal, sklerosis over amiotropik,tumor).
b) Saraf perifer (diabetes, alkoholik, neuropati, defisiensi vitamin B12, kerusakan akibat
pembedahan pelvis, herniasi piringan sendi spinal)
c) Keduanya (syndrome parkinson, sklerosis multiple, siphylis).
3) Tipe neurogenik bladder :
a) Flaksid (hipotonik)
Volume banyak, tekanan rendah, tidak ada kontraksi.
Penyebab :
Kerusakan saraf perifer atau korda spinalis pada S2 sampai S4. Setelah kerusakan
akut korda spinalis segera terjadi flateriditas dan spastisitas yang lama, atau fungsi
bladder membaik setelah berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.
b) Spastik
Volume normal dan kecil, terjadi kontraksi involunter.
Penyebab :
Kerusakan otak atau kordaspina di atas T12. Gejalanya bervariasi tergantung lokasi
dan keparahan lesi. Kontraksi bledder dan relaksasi spincter urinary externa tidak
terkoordinasi (disfungsi spincter).
c) Campuran
Penyebab :
Siphylis, diabetes, tumor otak atau spinal cord, stroke, ruptur piringan sendi
intervertebra, kelainan degeneratif, atau demielinasi (sklerosis multple, sklerosis
lateral amiotropik).
5) Tanda dan gejala
Utama : inkontinensia reflek dengan blader spatik atau flaksid.
Urin tertumpuk di blader, menetes konstan.
Disfungsi ereksi
Pada blader spastik terjadi frekuensi, nokturia, urgensy atau paralysis spastik dengan
defisit sensori.
6) Komplikasi :
Infeksi saluran kemih berulang dan batu urinarius.
Bisa terjadi hidronefrosis dengan refluk vesikoureter karena volume urine yang besar
meningkatkan tekanan pada percabangan vesikoureter, menyebabkan disfungsi
dengan refluks, padas kasus yang berat terjadi nefropati.
Pada lesi korda spinal thorax tinggi atau servikal terjadi disrefleksia otonomik
(syndrome hipertensi maligna yang mengancam jiwa, Bradikardi atau takikardi, nyeri
kepala, keringat berlebihan akibat hiperaktivitas simpatis yang tidak teratur).
Kelaianan ini dipicu distensi bledder akut (retensi urine) atau distensi usus (akibat
konstipasi atau impaksi fekal).
7) Test Diagnostik
1. Volume risidu post miksi.
2. USG renal
Untuk mendeteksi hidronefrosis.
3. Serum kreatinin
Untuk mengkaji fungsi renal.
4. Sistografi
Untuk mengevaluasi kapasitas bladder dan mendeteksi refluks.
5. Sistoskopi
Untuk mengevaluasi durasi dan keparahan retensi (dengan mendeteksi turborkulasi
blader) dan untuk memeriksa obstruksi saluran luar bladder
6. Sistometografi
Menentukan volume dan tekanan bladder jika dilakukan selama fase lekovery pada
bladder yang fraksid sesudah trauma corda spinal, bisa membantu evaluasi kapasitas
fungsional detensor dan memprediksi prospek rehabilitasi.
a. Test urodinamik terhadap pancaran urine rata-rata dengan elektromiografi
spingter bisa menunjukkan apakah kontraksi bladeer dan relaksasi spincter
terkoordinasi.
8) Penatalaksanaan
1. Kateterisasi
Pada blader flaksid terutama jika disebabkan trauma korda spinal, dilakukan
kateterisasi menetap atau intermitten. Kateterisasi intermitten .... dipilih daripada
kateterisasi indwelling, karena kateterisasi indwelling lebih beresiko terjadi infeksi
saluran kemih (ISK) berulang, pada laki-laki beresiko tinggi terjadi ureteritis,
perinetritis, abses prostat, fistula uretra. Kateterisasi supra pubik dipasang jika pasien
tidak bisa melakukan kateterisasi mandiri.
2. Penatalaksanaan umum
Pengawasan fungsi renal
Mengontrol ISK
Asupan cairan adekuat untuk menurunkan ISK dan batu urinarius (meskipun
bisa memperoleh inkontinensia)
Ambulasi dini
Penggantian posisi yang sering
Restruksi diet Ca untuk menghambat pembentukan batu
3. Pada blader spastik, penanganan tergantung pada kemampuan pasien menahan urine.
Pasien yang bisa menahan kencing dengan volume normal bisa menggunakan teknik
merangsang kemih (menekan daerah suprapubik, merentangkan paha) atau diberi
antikolinergik. Bagi pasien yang tidak bisa menahan kencing secara normal,
penangannya sama dengan inkontinensia urgensi terutama obat-obatan dan stimulasi
saraf sakral.
4. Pembedahan
Merupakan pilihan terakhir. Indikasinya jika pasien mengalami kejadian akut yang
parah atau kronis kedua atau jika kondisi sosial, spastisitas atau kuadriplegi tidak
memungkinkan kateterisasi intermitten maupun menetap.
Spingterotomy (pada laki-laki)
Mengubah blader menjadi saluran drainage terbuka
Rizotomi sacral (S3 dan S4)
Mengubah blader spastik menjadi flaksid
Diversi urinarius
Meliputi saluran ileum atau ureterostomy
Pemasangan spingter urin buatan yang dikontrol secara mekanis dilakukan
pada pasien yang memiliki kapasitas blader adekuat, pengosongan blader yang
baik dan tergolong kelainan kemampuan motorik ekstremitas atas (UMN),
pasien bisa memahami penggunaan obat. Jika pasien tidak mengikuti instruksi
bisa terjadi situasi mengancam jiwa (gagal ginjal, urosepsis).
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Untuk mengidentifikasi masalah eliminasi urine dan mengumpulkan data guna
menyusun suatu rencana kepe-rawatan, perawat melakukan pengkajian riwayat kepe-rawatan,
melakukan pengkajian fisik, mengkaji urine klien, dan meninjau kembali informasi yang
telah diperoleh dari tes dan pemeriksaan diagnostik.
Riwayat Keperawatan
Riwayat keperawatan mencakup tinjauan ulang pola eliminasi dan gejala-gejala
perubahan urinarius, serta mengkaji faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan
klien untuk berkemih secara normal.
a. Pola Perkemihan
Perawat menanyakan pada klien mengenai pola berkemih hariannya, termasuk
frekuensi dan waktunya, volume normal urine yang dikeluarkan setiap kali berkemih, dan
adanya perubahan yang terjadi baru-baru ini. Frekuensi berkemih bervariasi pada setiap
individu dan sesuai dengan asupan serta jenis-jenis haluaran cairan dari jalur yang lain.
Waktu berkemih yang umum saat bangun tidur, setelah makan, dan sebelum tidur.
Kebanyakan orang berkemih rata-rata sebanyak lima kali atau lebih dalam satu hari. Klien
yang sering berkemih pada malam hari kemungkinan mengalami penyakit ginjal atau
pembesaran prostat. Informasi tentang pola berkemih merupakan dasar yang tidak dapat
dipungkiri untuk membuat suatu perbandingan.
b. Faktor yang Mempengaruhi Perkemihan
Perawat merangkum faktor-faktor dalam riwayat klien, yang dalam kondisi normal
mempengaruhi perkemihannya, seperti usia, faktor-faktor lingkungan, dan riwayat
pengobatan. Pengkajian pada lansia perlu dilakukan dengan teliti. Perubahan normal
dalam proses penuaan memprediposisi timbulnya masalah eliminasi pada lansia. Nama,
jumlah, dan frekuensi obat-obatan yang diresepkan harus dicatat. Obat-obatan yang dijual
bebas dan terpapar dengan larutan pembersih, pestisida, atau obat-obatan lain yang bersifat
nefrotoksik juga merupakan aspek penting pada riwayat klien. Barier lingkungan di rumah
atau di unit perawatan kesehatan juga dievaluasi. Klien mungkin membutuhkan sebuah tempat
duduk toilet yang tinggi, tempat pegangan tangan, atau wadah berkemih yang portabel
(mudah dibawa). Perawat mengobservasi adanya keterbatasan sensorik, misalnya pada klien
yang memiliki masalah penglihatan dan mungkin memiliki kesulitan untuk mencapai
toilet. Apabila klien mengalami kesulitan dalam mengkoordi-nasikan tangannya, perawat
perlu mengkaji jenis pakaian yang dapat klien kenakan dan kemudahan klien dalam
mengajicingkan pakaiannya.
E. PENGKAJIAN FISIK
1) B1 breathing
Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya pada sistem pernapasan
tidak ditemukan kelainan.
2) B2 blood
Perawat perlu mengkaji apakah klien merasakan nyeri dada, pusing, kram kaki, sakit
kepala, palpitasi, clubing finger, suara jantung, edema, dan CRT.
3) B3 brain
Kaji tingkat kesadaran klien dengan GCS.
GCS : E= 4 V=5 M= 6 Total nilai: 15
4) B4 blader
- Ginjal
Apabila ginjal terinfeksi atau mengalami peradangan, biasanya akan timbul nyeri
di daerah pinggul. Adanya nyeri tekan di daerah pinggul pada awal penyakit pada
saat memperkusi sudut kostovertebra (sudut yang dibentuk oleh tulang belakang
dan tulang rusuk ke-12). Peradangan ginjal menimbulkan nyeri selama perkusi
dilakukan. Auskultasi juga dilakukan untuk mendeteksi adanya bunyi bruit di arteri
ginjal (bunyi yang dihasilkan dari perputaran aliran darah yang melalui arteri yang
sempit).
Perawat yang memiliki keterampilan tinggi belajar mempalpasi ginjal selama
proses pemeriksaan abdomen. Posisi, bentuk, dan ukuran ginjal dapat
mengungkapkan adanya masalah seperti tumor.
- Kandung Kemih
Pada orang dewasa, kandung kemih terletak di bawah simfisis pubis dan tidak
dapat diperiksa oleh perawat. Saat kandung kemih berdistensi, kandung kemih
terangkat sampai ke atas simfisis pubis pada garis tengah abdomen dan dapat
membentang sampai tepat di bawah umbilikus. Pada inspeksi, perawat dapat
melihat adanya pembeng-kakan atau lekukan konveks pada abdomen bagian bawah.
Perawat dengan perlahan mempalpasi abdomen bagian bawah. Kandung kemih
dalam keadaan normal teraba lunak dan bundar. Saat perawat memberi tekanan
ringan pada kandung kemih, klien mungkin akan merasakan suatu nyeri tekan
atau bahkan sakit. Walaupun kandung kemih tidak terlihat, palpasi dapat
menyebabkan klien merasa ingin berkemih. Perkusi pada kandung kemih yang
penuh menimbulkan bunyi perkusi tumpul.
5) B5 bowel
Perubahan pada bising usus, distensi abdomen. Perubahan pada pola defekasi misal
terdapat darah pada feses, nyeri pada defekasi.
6) B6 bone
Perawat mengkaji kondisi kulit klien. Masalah eliminasi urine sering dikaitkan
dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Perawat mengkaji status hidrasi
klien dengan mengkaji turgor kulit dan mukosa mulut. kelemahan/ keletihan,
keterbatasan partisipasi pada latihan.
F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan pada kasus urologi.
Pemeriksaannya meliputi :
1. Makroskopik dengan menilai warna, bau, dan berat jenis urine.
2. Kimiawi, meliputi : pemeriksaan derajat keasaman (Ph), protein, dan gula dalam
urine.
3. Mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, cast (silinder) atau bentukan lain
dalam urin.
Urine mempunyai Ph yang bersifat asam yaitu rata-rata 5,5 – 6,5. Jika didapatkan Ph yang
relatif basa kemungkinan terdapat infeksi oleh bakteri pemecah urea,sedangkan jika pH
yang terlalu asam kemungkinan terdapat asidosis pada tubulus ginjal atau ada batu asam
urat.
BAB 3
TINJAUAN KASUS DAN ASKEP
TINJAUAN KASUS
PASIEN DATANG DI UGD RSUD DR SOETOMO DENGAN KELUHAN TIDAK BISA
KENCING SEJAK TADI MALAM,KENCING HANYA MENETES BERWARNA
KEMERAHAN DAN SAKIT,PERUT BAGIAN BAWAH MEMBESAR DAN NYERI
BILA DITEKAN.
A. PENGKAJIAN DATA
Tanggal pengkajian : 19 Maret 2011
Tanggal MRS : 19 Maret 2011
1. IDENTITAS
Nama : Tn.J.
Umur : 63 tahun.
Jenis Kelamin : Laki-laki.
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia.
Agama : Islam.
Pekerjaan : wiraswasta.
Pendidikan : SLTA
Alamat : Kali Tengah Lamongan
Diagnosa medis: Tumor prostat
2. Keluhan Utama
Pasien mengatakan kencing hanya bisa menetes, tidak dapat tuntas, terasa ada sisa, dan
terasa nyeri.
3. Riwayat Keperawatan (Nursing History)
a. Riwayat Penyakit Sebelumnya:
Klien ada riwayat kencing menetes sejak 6 bulan yang lalu dan 2 hari yang lalu klien
merasa diperut bagian bawahnya terasa membesar dan nyeri tekan
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Klien mengatakan kencing hanya bisa menetes, tidak dapat tuntas, terasa ada sisa,
pancaran tidak jauh dan terasa nyeri disertai dengan keluar darah. Klien merasa ada
benjolan pada perut bagian bawah dan masih kecil. Upaya yang telah dilakukan berobat
ke RS Muhammadiyah kemudian dirujuk ke RSU Dr. Soetomo pada tanggal 19 Maret
2011 pukul 12.00 WIB dan telah dilakukan pemasangan kateter dan diberikan irigasi
cairan untuk mengurangi perdarahan.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Dalam keluarganya tidak ada yang menderita penyakit seperti yang diderita oleh klien
sekarang ini.
d. Keadaan Kesehatan Lingkungan:
Klien tinggal di perkampungan yang kondisinya sangat sederhana.
e. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum: CM, terbaring di tempat tidur, kondisi umum terlihat lemah.
Klien tampak pucat, melakukan aktivitas seperlunya.
Tanda-tanda Vital:
Suhu 36,5oC/axilla, nadi kuat dan teratur, 84x/menit, tensi diukur dengan klien berbaring
pada lengan kiri, hasilnya 130/90 mmHg, pernafasan normal, 20x/menit.
SISTEM TUBUH (BODY SYSTEMS):
a. PERNAFASAN (B1: BREATHING)
Pernafasan vesikuler, tidak ada retraksi intercostals, Rh -/-. Wh -/-/, batuk (-), pilek
(-)
b. CARDIOVASCULAR (B2: BLEEDING)
Nyeri dada (-), Jantung S1S2 tunggal normal HT 130/90 mmHg, Odema
ekstremitas atas dan bawah (-)
c. PERSYARAFAN (B3: BRAIN)
Kesadaran: compos mentis.
GCS : E= 4 V=5 M= 6 Total nilai: 15
Kepala dan wajah: tidak ada kelainan, kesan= pucat.
Mata sklera: tidak icterus, conjunctiva: pucat, pupil : isokor.
Leher: tekanan vena jugularis normal. Klien tidak mengalami cegukan.
d. PERKEMIHAN- ELIMINASI URI (B4: BLADDER)
Produksi urine : dalam 24 jam + 700 ml, keluar melalui dower kateter yang
terpasang sejak tanggal 19 Maret 2011, terpasang irigrasi Nacl
0,9 %
Warna : merah. Bau: agak amis.
Lainnya : teraba massa supra sympisis, diameter 10 x 10 cm, keras,
fixed.
e. PENCERNAAN – ELIMINASI ALVI (B5: BOWEL)
Mulut dan tenggorok : kering, agak merah (iritasi).
Abdomen : supel, distensi (-)
Rectum : tidak ada kelainan.
BAB : 1 kali/ hari.
Konsistensi : keras. Ada konstipasi.
Berat Badan (BB) : sebelum MRS = 70 kg.
Pada waktu pengkajian = 65 kg.
Diet : TKTPRG.
Pelvis :
- Flank mass _/-, flank pain -/-
RT :
- BCR (-), TSA (+), Prostat membesar, Nodul (-)
f. TULANG – OTOT – INTEGUMEN (B6: BONE)
Kemampuan pergerakan sendi: bebas. Tidak ada parese, paralise maupun
hemiparese.
Extremitas:
- Atas : tidak ada kelainan.
- Bawah : tidak terdapat edema pada tungkai kiri.
Tulang Belakang: tidak ada kelainan.
Kulit:
-Warna kulit: pucat.
- Akral : hangat kering.
- Turgor: cukup.
g. SISTEM ENDOKRIN
Terapi hormon: tidak ada.
h. SISTEM HEMATOPOITIK
Diagnosis penyakit hematopoitik yang lalu:
- Anemia.
- Transfusi darah.
- Tipe darah: PRC 2 kolf
i. REPRODUKSI
Laki-laki
Penis : klien telah disirkumsisi.
Scrotum: tidak terdapat edema minimal.
j. PSIKOSOSIAL
Konsep diri:
Identitas
Status klien dalam keluarga: suami dari 1 isteri dan anak satu
Kepuasan klien terhadap status dan posisinya dalam keluarga: puas.
Peran
Tanggapan klien terhadap perannya: senang.
Kemampuan/kesanggupan klien melaksanakan perannya: sanggup.
Kepuasan klien melaksanakan perannya: puas.
Ideal diri/Harapan
Harapan klien terhadap:
- Tugas/pekerjaan: dapat melakukan pekerjaan seperti biasa (sebagai wirawasta).
- Tempat/lingkungan kerja: dapat kembali bekerja seperti semula.
Harapan klien terhadap penyakit yang sedang dideritanya:
Klien berharap agar segera dilakukan operasi biar cepat sembuh.
Lainnya: klien menganggap apabila tumornya diangkat dengan operasi maka ia
akan sembuh total.
Harga diri
Tanggapan klien terhadap harga dirinya: sedang.
Sosial/Interaksi
Hubungan dengan klien : tidak kenal.
Dukungan keluarga : aktif.
Dukungan kelompok/teman/masyarakat : kurang.
Reaksi saat interaksi : kontak mata.
Konflik yang terjadi terhadap : tidak ada
k. SPIRITUAL
1. Konsep tentang penguasa kehidupan: Allah SWT.
2 Sumber kekuatan/harapan saat sakit: Allah SWT, tenaga dokter dan perawat serta
dukungan keluarga.
3 Ritual agama yg berarti/diharapkan saat ini: dapat melaksanakan sholat dengan baik
(selama dirawat klien sholat di TT).
4 Sarana/peralatan/orang yg diperlukan dlm melaksanakan ritual agama yg diharapkan
saat ini: taa
5 Upaya kesehatan yang bertentangan dgn keyakinan agama: taa
6 Keyakinan/kepercayaan bahwa Tuhan akan menolong dlm menghadapi situasi sakit
saat ini: sangat yakin Tuhan akan membantu kesembuhan.
7 Keyakinan/kepercayaan bahwa penyakit dapat disembuhkan: sangat yakin.
8 Persepsi thd penyebab penyakit: tidak tahu.
IV Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 19-03-2011:
- Leukosit : 9,9 x 1000/UL
- Erythrocyt: 3,33 x 1 juta/UL
- Hb : 10,4 g/dl.
- PCV : 30,1%
- MCV : 40,4 FL
- MCH : 31,2
- Trombosit : 310 x 1000/UL
- Albumin : 3,5 g/dl.
- Diff count : 2/-/3/31/14/-
- LED : 98 mm/jam.
Pemeriksaan mikrobiologi
Tanggal 20-03-2011 hasil; tanggal 22-03 -2011
Sediaan mengandung sedikit sel epithel squamosa, sel-sel radang tidak ditemukan
keganansan
IVP : Iregulasitas dinding buli-buli oleh karena obstruksi kronis, keadaan ginjal dan
ureter normal
- USG urologis tanggal 21-03-2011
Ditemukan Bood clot di buli-buli
Terapi:
Infus RL : D5= 2 : 3 20 tetes/menit.
Irigasi PZ
Klanex 3x1 amp
Mobilisasi
Kultur urine, IVP, Endosopi
Gangguan saluran kemih (ISK)
Efek obat (diuretik, antikolinergik)
Produksi urine meningkat (DM, gagal jantung kongestif)
Disfungsi pola berkemih berkemih
Hambatan / obtruksi uretra Inkoordinasi antara detrusor uretra
Kelainan otot detrusor
Kegagalan pengeluaran urineKegagalan pengisian
Inkontinensia urine
Distensi VU
ISKKerusakan kandung kemih
Inkontikensia fungsional
Nyeri akut
Retensi urin
Gangguan pola eliminasi urine
Cemas
kronis
Inkontinensia overflow/refleks
Genetalia eksterna basah
Resiko infeksi Iritasi kulit
Gangguan integritas kulit
Kelainan VU (overaktifitas detrusor, komplians VU ↓)
Kelainan uretra (hipermobilitas uretra, defisiensi spingter intrinstrik)
Inkontinensia urgensi
Frekuensi/nokturia
Gangguan pola tidur
urgensi
ngompol
Gangguan konsep diri : HDR
Inkontinensia stres
Takut minum
Resiko kurang volume cairan
Perubahan pola seksualitas
WOC INKONTINENSI DAN RETENSI URIN
Hidroureter dan hidro
nefrosisi
WOC NEUROGENIC BLADDER
Lesi otak / supraspinal
Kelainan neurologis UMN suprapontin: stroke, tumor otak, Parkinson, hidrosepalus, cerebral palsy, sky-drager syndrome
Lesi korda spinal
Kecelakaan lalu lintas, menyelam, sklerosis multipel
Cidera korda sacral
Tumor korda sacral, herniasi piringan sendi korda sacral, cidera pelvis, laminektomi lumbal, histerektomy radikal, reseksi abdominoperineal
Cidera saraf perifer
DM, AIDS
Hiperrefleksia detrusor / overaktif
Blader spastik
Frekuensi, urgensi, nokturia, inkontinensia urgensi
Perubahan pola eliminasi urin
Disinergi spingter detrusor dengan hiperefleksia detrusor
(DSD-DH)
Blader & spingter eksterna spastik
Detrusor arefleksia
Sensasi penuh pada blader (-)
Kontraksi blader (-)
Neuropati saraf perifer
Inkontinensia overflow
Retensi urin
Saraf blader terkena terkenarusak
Retensi urin kronisGangguan pola
tidurGangguan citra
tubuh
Distensi blader tanpa gejala
Cemas
ANALISA DATA
TANGGAL KELOMPOK DATA KEMUNGKINAN
PENYEBAB
MASALAH DIAGNOSA
KEPERAWATAN
29 -03-2009 S: Klien mengatakan kencingnya
masih berwarna merah &
menetes.
O:-Warna kencing merah & berbau
amis.
-Produksi urine dalam 24
jam:500 ml.
S: Klien menanya- kan kapan
opera-sinya dilaksana-kan,
karena biaya selama menunggu
jadwal operasi se-makin menipis.
O: -Operasi belum di lakukan.
-Klien gelisah.
Blood Clothing akibat tumor
prostat.
Situasi krisis & sosio
ekonomi.
Gangguan eli-minasi
urine (retensi)
Cemas
Gangguan eliminasi urine
(retensi) berhubungan dengan
blood clothing sekunder
terhadap adanya tumor.
Cemas berhubungan dengan
situasi krisis dan sosio
ekonomi.
-Klien tampak kelelahan.
-Mata klien tam-pak merah kare-
na kurang tidur.
RENCANA TINDAKAN PERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
& HASIL YANG DIHARAPKAN
RENCANA TINDAKAN RASIONAL
1 Gangguan eliminasi urine (retensi)
berhubungan dengan pembesaran
prostat(tumor).
Tujuan:
- Retensi urine berkurang dalam waktu 1x24
jam.
Kriteria Hasil:
- Klien berkemih volunteer
- Residu urine kurang dari 50 cc.
- Urine tidak lagi berwarna merah &
menetes.
a. Anjurkan klien untuk banyak minum air putih.
b. Kembangkan kembali program latihan Buli-buli
atau pengkondisian kembali.
c. Ajarkan klien meregangkan abdomen &
melakukan manuver varsava jika diindika-sikan.
d. Ajarkan klien manuver crede jika diindikasikan.
e. Ajarkan klien manuver regangan anal jika
diindikasikan.
f. Ukur residu pasca berkemih setelah usaha
g. Mengosongkan Buli-buli jika volume urine lebih
dari 100 cc. Jadwalkan program kateterisasi
intermitten.
h. Observasi pemberian cairan irigasi pada
kandung kencing lewat kateter three way
i. Observasi intake dan output cairan
a. Agar tidak sempat terbentuk
bekuan darah.
b. Agar kandung ke-mih dapat
berfungsi kembali secara nor-mal.
c, d, dan e.
Untuk melatih mengosongkan kandung
kemih secara bertahap/sesuai teknik-
teknik tertentu.
f. Untuk mengetahui efektifitas latihan
Buli-buli, bila gagal dapat segera
diambil tindakan dengan kateterisasi.
g.Observasi intake dan output untuk
mengkaji konsistensi, warna dan
2. Cemas berhubungan dengan situasi krisis
(kanker) & sosio ekonomi.
Tujuan:
a. Klien dapat mengurangi rasa cemasnya.
b. Klien rileks & dapat melihat dirinya
secara objektif.
c. Menunjukkan koping yang efektif.
Kriteria Hasil:
j. Lakukan perawatan kateter setiap hari
a. Tentukan pengalaman klien sebelumnya terhadap
penyakit yang dideritanya.
b.Berikan informasi tentang prognosis secara akurat.
c. Jelaskan pengobatan, tujuan dan efek samping. Bantu
klien mempersiapkan diri dalam pengobatan.
obstruksi dalam kandung kencing.
h. Intake dan output untuk menentukan
balance cairan.
i. Mencegah infeksi
a. Data-data mengenai pengalaman
klien se-belumnya akan mem berikan
dasar untuk penyuluhan dan
menghindari adanya duplikasi.
b.Pemberian informasi dapat membantu
klien dalam memahami proses
penyakitnya.
c. Membantu klien dalam memahami ke-
butuhan untuk pengobatan dan efek
sampingnya.
a. Klien melaporkan perasaan cemasnya
berkurang.
b. Klien menyatakan pemahamannya
tentang penyakit.
d. Catat koping yang tidak efektif seperti kurang
interaksi sosial.
e. Anjurkan untuk mengembangkan interaksi dengan
support sistem.
f. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.
d. Mengetahui dan menggali pola
koping klien serta
mengatasinya/memberikan solusi
dalam upaya meningkatkan kekuatan
dalam mengatasi kecemasan.
e. Agar klien memperoleh dukungan
dari orang yang terdekat/keluarga.
f. Memberikan kesempatan pada klien
untuk istirahat.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M & Esther Matassarin-Jacobs. 1997. Medical Surgical Nursing : Clinical
Management for Continuity of Care, Edisi 5, W.B. Saunders Company,
Philadelphia
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta.
Doenges, Marilyn E, et all. 1993. Nursing Care Plans : Guidelines for Planning and
Documenting Patient Care, Edition 3, F.A. Davis Company, Philadelphia.
Gale, Danielle & Charette, Jane. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. EGC.
Jakarta.
Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Alih Bahasa: Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung, Edisi 1, Yayasan IAPK Pajajaran,
Bandung.
Purnomo, Basuki. (1999). Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto.
Guyton & Hall. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Luckman & Sorensen . (1990). Medical Surgical Nursing. Philadelphia: W.B Saunders
Company
MAKALAH KEPERAWATAN PERKEMIHAN
ASUHAN KEPERAWATAN DISFUNGSI POLA BERKEMIH
( RETENSI URINE,INCONTINENSIA URINE,NEUROGENIC BLADDER)
KELOMPOK I :
INDAH NURSANTI M.HARTONO
MARIA D. DARI DEVI HERINA L
YUSI YANUARI MAYA SINDHI
TEGUH HERI K YULIS ROMADHONA
MARGARETHA D
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2011