DEPRESI PADA NYERI KRONIS
Transcript of DEPRESI PADA NYERI KRONIS
1
DEPRESI PADA NYERI KRONIS
Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum Nasution, Hardi Edward Sibagariang
Divisi Psikosomatis, Dept. Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/ RSUP HAM/ RSPM
1. PENDAHULUAN
Nyeri kronis dan depresi sering terjadi secara komorbid. Timbulnya depresi pada
pasien dengan nyeri kronis dikaitkan dengan penurunan fungsi, respon pengobatan yang lebih
buruk dan peningkatan biaya perawatan. Diagnosis depresi yang akurat dapat menjadi
tantangan tersendiri pada keadaan dengan morbiditas nyeri kronis. Antidepresan dan
perawatan psikologis dapat efektif dan yang terbaik adalah dilakukan sebagai bagian dari
rencana manajemen nyeri yang terpadu, terkoordinasi dan multidisiplin.1
The International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai
suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan
kerusakan yang nyata atau potensial suatu jaringan.2,3 Dari definisi tersebut maka nyeri
terdiri dari dua komponen utama, yaitu sensorik (fisik) dan emosional (psikologik).
Komponen sensorik merupakan mekanisme neurofisiologi yang menerjemahkan sinyal
nosiseptor menjadi informasi tentang nyeri (durasi, intensitas, lokasi, dan kualitas
rangsangan). Sedangkan komponen emosional adalah komponen yang menentukan berat
ringannya individu merasa tidak nyaman, dapat mengawali kelainan emosi seperti cemas dan
depresi jika menjadi nyeri kronik, serta diperankan oleh rangsangan nosiseptik melalui
penggiatan sistem limbik dan kondisi lingkungan (asal penyakit, hasil pengobatan yang tidak
jelas, dan dukungan sosial/keluarga). Nyeri bersifat sangat subyektif. Terlepas dari ada
tidaknya kerusakan jaringan, nyeri sebaiknya diterima sebagai keluhan yang harus
dipercaya.2
Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung sampai melebihi
perjalanan suatu penyakit akut, berjalan terus menerus sampai melebihi waktu yang
dibutuhkan untuk penyembuhan suatu trauma, dan terjadinya secara berulang-ulang dengan
interval waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan atau beberapa tahun. Banyak klinikus
memberi batasan lamanya nyeri 3 atau 6 bulan.2,4,5 Terdapat perbedaan antara nyeri
neuropatik dan nosiseptif yang mencerminkan perbedaan mekanisme patologis, gambaran
klinis dan pengobatan. Nyeri neuropatik disebabkan oleh lesi atau penyakit yang melibatkan
2
sistem saraf, yang memiliki tanda-tanda perubahan respon nyeri (allodynia, hiperalgesia) dan
dengan target terapi pada kelainan sistem saraf. Nyeri nosiseptif terjadi sebagai konsekuensi
dari kerusakan yang sebenarnya atau kemungkinan untuk terjadi kerusakan pada jaringan
bukan saraf. Hal ini mencerminkan sistem saraf somatosensori berfungsi normal dan respon
terhadap analgesik umum dan obat anti inflamasi.1
2. KETERKAITAN NYERI DAN DEPRESI
Kisaran pengalaman nyeri adalah luas dan beragam. Respons seseorang terhadap
nyeri kronis mencerminkan karakteristik rasa sakit, pikiran dan perilaku seseorang yang
berkembang selama perjalanan penyakit yang bergantung pada penguatan positif dan negatif.
Tantangan sehari-hari pada nyeri kronis yang umumnya muncul meliputi penurunan dalam
menikmati aktivitas normal, kehilangan fungsi, perubahan peranan dan kesulitan dalam
hubungan. Munculnya nyeri kronis telah dikaitkan dengan berbagai faktor risiko fisik,
psikologis dan sosial. Faktor-faktor ini berinteraksi dengan cara yang kompleks dan dinamis,
sering dikonseptualisasikan dalam kerangka biopsikososial. Penelitian biologi telah
mengidentifikasi mekanisme potensial untuk nyeri kronis pada nosiseptif, konduksi saraf,
regulasi saraf sumsum tulang belakang, plastisitas neuron dan ekspresi gen. Misalnya, ada
bukti bahwa perubahan neuroplastik timbul dari rasa sakit terus-menerus yang diterapi
dengan buruk dapat menyebabkan sensitisasi yang didefinisikan sebagai suatu peningkatan
respon neuron pada impuls normal atau peningkatan respon terhadap ambang batas bawah
impuls. Perubahan neuroplastik adalah salah satu penjelasan yang mungkin untuk perubahan
persepsi nyeri, nyeri yang menetap setelah penyembuhan jaringan, dan resistensi terhadap
analgesik yang biasa digunakan. Hal ini yang sering ditemukan pada nyeri kronis.1
Nyeri akan memprovokasi respons emosional dalam diri setiap orang. Kecemasan,
mudah tersinggung, dan agitasi. Semua ini adalah perasaan yang normal ketika kita sedang
mengalami nyeri. Biasanya bila rasa nyeri sudah reda akan diikuti respon stres yang
membaik. Namun jika rasa nyeri berlangsung terus maka seiring waktu respon stres terus-
menerus diaktifkan sehingga dapat menjadi masalah yang terkait dengan depresi. Masalah
dapat mencakup; kecemasan kronis, tidak dapat berpikir jernih, kelelahan, mudah marah,
gangguan tidur, kehilangan berat badan atau sebaliknya. Ketidakpastian untuk bebas dari
rasa nyeri atau kemungkinan memburuknya nyeri yang timbul disertai dengan perasaan
cemas, sedih, dukacita dan rasa marah. Bagi sebagian orang beban nyeri ini sulit untuk diatasi
dan dapat menyebabkan munculnya gangguan mental.1,6
3
Respon maladaptif terhadap rasa nyeri dapat memperburuk pengalaman terhadap
rasa nyeri dan gangguan fungsi lebih lanjut. Menjadi suatu masalah besar bila terjadi respon
yang berlebihan terhadap rasa sakit, distress yang berlebihan dan ketidakberdayaan, yang
berhubungan dengan respon yang lebih buruk terhadap pengobatan nyeri dan kecacatan yang
lebih besar. Misalnya pada pasien dengan nyeri punggung: siklus ketakutan yang berlebihan
untuk melakukan gerakan yang mengakibatkan perburukan nyeri lebih lanjut dan ketakutan
yang lebih lanjut disebut sebagai rasa takut “penghindaran”. Perilaku seperti meringis atau
mengerang, mengurangi tingkat aktivitas, menjaga terhadap gerakan, dan penggunaan alat
pelindung sering dikaitkan dengan kognisi negatif terhadap nyeri, dan juga dapat
menghalangi pemulihan.1 Bila depresi sudah terjadi maka akan memperberat nyeri yang
sudah ada karena mengurangi kemampuan untuk mengatasi keadaan nyeri. Penelitian telah
membandingkan orang dengan nyeri kronis dan depresi dengan yang hanya menderita nyeri
kronis. Mereka dengan nyeri kronis dan depresi maka akan; mengeluhkan nyeri yang lebih
intens, lebih sedikit kontrol atas kehidupannya, dan lebih banyak menggunakan strategi
coping yang kurang sehat. Karena nyeri kronis dan depresi saling terjalin, maka depresi dan
nyeri kronis sering diterapi secara bersama.6
Ada beberapa cara nyeri dan depresi mungkin berhubungan, satu atau lebih yang
mungkin ada pada satu pasien; Pertama, tekanan psikologis dan fisik terhadap nyeri persisten
berinteraksi dengan kerentanan individu dan sosial dapat memicu episode depresi berat.
Penanda umum kerentanan terhadap depresi berat adalah riwayat depresi pribadi atau
keluarga sebelumnya, gangguan perkembangan, kehilangan dini orangtua, dan
penyalahgunaan zat. Kedua, depresi bisa menjadi prekusor untuk dan dengan suatu cara
berkontribusi terhadap rasa nyeri. Toleransi terhadap nyeri berkurang pada depresi dan tanda
somatik dapat menjadi gejala yang menonjol terutama pada orang tua. Sebagai catatan, lebih
dari setengah dari pasien dengan depresi dalam perawatan primer dilaporkan mengalami
nyeri. Dalam keadaan ini dapat terjadi keterlambatan dalam membuat diagnosis, terutama
ketika anhedonia lebih mendominasi dan menurunkan suasana mood. Mekanisme lain yang
diajukan adalah bahwa nyeri kronis adalah subtipe depresi. Neurotransmiter serotonergik dan
noradrenergik telah terlibat dalam kedua kondisi ini, dan memberikan pola klinis yang
persisten diluar faktor pencetus. Namun hanya ada sedikit bukti lain untuk mendukung
gagasan ini. Cara terakhir dimana nyeri kronis dan depresi berat mungkin terkait adalah
ketika keduanya timbul dari proses dasar umum. Hal ini mungkin pada penyakit neurologis,
4
seperti multiple sclerosis, atau dimana mekanisme tersebut belum dipahami dengan baik
seperti fibromialgia.1,4
3. MEKANISME HUBUNGAN NYERI DAN DEPRESI
Mekanisme yang mendasari hubungan timbal balik antara nyeri dan depresi masih
belum jelas. Namun studi biologis, psikologis, dan pencitraan otak telah membantu dalam
pemahaman.7
Hubungan Biologis/Neuropatofisiologi
Hubungan yang kuat antara nyeri kronis dan depresi telah lama diduga. Tidak
mengherankan mengingat serotonin dan norepinefrin yang merupakan neurotransmitter yang
paling terkait dengan depresi memainkan peran kunci dalam modulasi nyeri.6,8,9,10
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa jalur umum antara rasa nyeri dan
depresi dapat dikaitkan dengan dua neurotransmiter serotonin (5-HT) dan norepinefrin (NE).
Transmisi nyeri terjadi melalui jalur ascending (excitatory) dan descending (inhibitory)
melibatkan NE dan 5-HT. Neuron serotoninergik berasal dari batang otak dan diproyeksikan
pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), termasuk proyeksi desending ke sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan supresi input sensorik, juga diproyeksikan ke daerah otak
termasuk korteks frontal (mediasi mood), hipotalamus (mediasi nafsu makan dan tidur), dan
amigdala (memediasi rasa cemas dan respon rasa takut). Stres kronis dapat mengakibatkan
deplesi serotonin pusat. Penurunan pelepasan serotonin presinaptik dan peningkatan
kompensasi up-regulation 5-HT yaitu serotonin neuron postsinaptik telah ditemukan pada
pasien dengan depresi. Penelitian terbatas juga menunjukkan bahwa nyeri dapat
meningkatkan turnover serotonin.3,8,9
Sehubungan dengan depresi, bukti yang telah terkumpul mendukung gagasan bahwa
5-HT dan NE mengendalikan banyak aspek fisiologis tubuh dan memainkan peran penting
dalam patofisiologi. Gangguan neurotransmiter ini ditengarai memiliki efek pada rasa
bahagia, motivasi dan bertanggung jawab secara keseluruhan untuk banyak gejala depresi.
Serotonin juga memiliki peran dalam pengolahan rasa nyeri dan persepsi dalam sistem saraf
perifer. Jalur serotonergik dan norepinergik dari batang otak ascending ke otak dan
memediasi berbagai fungsi emosional dan fisik, juga descending ke bawah ke sumsum tulang
belakang yang akan menekan input nociseptive. Dengan demikian disregulasi terhadap 5-HT
dan NE pada sumsum tulang belakang mungkin sebagian memediasi peningkatan respon
5
nyeri pada individu yang mengalami depresi dengan memodulasi sensasi nyeri yang
ascending dari sumsum tulang belakang.9,11
Penurunan serotonin sentral mungkin juga menyebabkan peningkatan ascending
transmisi nociseptive, terkait dengan radang perifer atau cedera neuropatik. Mekanisme
patologis yang serupa juga dapat menjelaskan penurunan tingkat noradrenalin batang otak
dan sumsum tulang belakang yang mengakibatkan ke peningkatan transmisi nociceptive.
Down-regulation dan kehilangan umpan balik negatif pada reseptor glukokortikoid pada area
seperti sistem limbik juga mungkin memiliki konsekuensi yang merugikan pada penilaian
kognitif terhadap respon nyeri. Dengan demikian ambang nyeri dapat menurun pada pasien
yang menderita depresi yang merupakan manifestasi sebagai bagian dari patologi depresi.
Seperti nyeri akut yang mengaktifkan sumbu HPA (hypothalamic-pituitary-adrenal axis) via
jalur ascending spinal, sehingga adalah layak bahwa nyeri kronis mungkin menyebabkan
gangguan yang mendalam pada fungsi aksis HPA. Telah dibuktikan bahwa disfungsi dari
sumbu HPA terjadi pada pasien dengan depresi, yang ditunjukkan oleh peningkatan hormon
adrenokortikotropik dan konsentrasi kortisol plasma. Sumbu HPA neuroendokrin juga terlibat
dalam memediasi respon stres yang akan diaktifkan sebagai respon terhadap stressor fisik
atau emosional dan membantu dalam adaptasi. Dengan demikian rasa nyeri mungkin terkait
dengan perubahan dalam pusat regulasi sumbu HPA. Mekanisme umpan balik negatif akan
mempertahankan homeostasis, namun tekanan dan stres yang berlanjut atau berkepanjangan
yang berhubungan dengan rasa nyeri akan mengganggu respon tersebut, yang pada gilirannya
dianggap terkait dengan penurunan serotonin pusat dan disregulasi reseptor terkait lainnya
pada depresi. Potensi analgesik dari beberapa kelas obat antidepresan menunjukkan bahwa
setidaknya beberapa mekanisme yang terlibat sama. Dengan demikian, gejala depresi dapat
bermanifestasi pada pasien nyeri kronis sebagai konsekuensi tidak langsung aktivasi
nosiseptif jangka panjang dari sumbu HPA.3,9,10,11
Studi Pencitraan Otak (MRI)
Studi menggunakan MRI juga telah mengaitkan nyeri dengan amigdala, serta anterior
cingulate cortex (ACC). ACC adalah wilayah yang terbukti memiliki keterlibatan yang
signifikan pada gangguan mood. Perubahan volume amigdala telah dilaporkan dalam studi
MRI penyandang gangguan afektif. Buffington menemukan aktivasi distribusi cluster yang
luas pada ACC ketika stimulus nyeri (nyeri tekan pada jari telunjuk) diberikan kepada
delapan subyek sehat dan fokus cluster ACC yang berbeda dengan stimulus yang
6
menyakitkan pada delapan penderita nyeri kronis. Schneider, megidentifikasi peningkatan
sinyal di daerah subkortikal khususnya amigdala pada enam laki-laki yang sehat yang
mengalami nyeri vaskular dengan memperlebar indwelling balon kateter pada vena punggung
kaki. Dengan menerapkan stimulus panas yang menyakitkan dan stimulus hangat yang tidak
menyakitkan pada 12 subjek sehat, Ploghaus menunjukkan bahwa rasa sakit mengaktifkan
bagian caudal ACC, medial insula dan anterior cerebellum sedangkan untuk mengantisipasi
nyeri yang diaktifkan adalah wilayah yang lebih anterior, anterior medial fronta korteks,
insula anterior dan posterior otak serebelum.11
Hubungan Psikologis
Rasa sakit dan depresi dapat dilihat sebagai fenomena biopsikososial di mana faktor-
faktor biologis, psikologis dan sosial berinteraksi untuk menghasilkan suatu hasil seperti
nyeri. Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak faktor psikologis seperti penghindaran,
ketidakberdayaan, penderitaan, self-efficacy dan stres memediasi interaksi timbal balik antara
rasa nyeri dan depresi. Suasana hati yang menurun diduga mempengaruhi bagaimana seorang
individu memahami nyeri. Gildenberg menyatakan bahwa pasien depresi mungkin memiliki
toleransi yang lebih rendah terhadap nyeri. Demikian pula, Katon melaporkan bahwa keadaan
mood yang sedih dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri
dengan gejala penyakit medis kronis yang merugikan. Dalam percobaan laboratorium
terkontrol jelas bahwa induksi perasaan depresi dikaitkan dengan perubahan dalam
menanggapi rasa nyeri. Stress fisik dan psikologis dari adanya nyeri memprovokasi atau
memperburuk distress psikologis, dimana depresi diduga mempengaruhi pengalaman
terhadap rasa nyeri. Endler, menemukan bahwa intensitas nyeri dan gangguan kehidupan
yang lebih besar memberikan kontribusi ke tingkat yang lebih tinggi terhadap rasa cemas dan
depresi.11
Selanjutnya konseptualisasi individu terhadap nyeri seperti penderitaan atau perasaan
tidak berdaya telah dikaitkan dengan pengalaman nyeri yang lebih intens, gangguan emosi
meningkat, depresi dan disfungsi fisik. Studi yang dilakukan oleh McCracken telah
menunjukkan bahwa penerimaan terhadap rasa nyeri yang terkait dengan penurunan tekanan
psikologis, rasa nyeri dan disabilitas. Jelaslah bahwa adanya depresi, respon kognitif negatif
dan nyeri yang lebih besar mengganggu fungsi dan dapat menjadi target terapi. Endler
menyatakan bahwa peningkatan distress, tingkat nyeri yang lebih besar dan gangguan
kehidupan berkaitan dengan coping styles tertentu seperti; berorientasi emosi, penghindaran,
7
konfontasi, dan aktif. Selain itu pola pikir tertentu seperti self-efficacy yang rendah diduga
menjadi kontributor penting dalam manajemen nyeri dan depresi. Arnstein menyimpulkan
bahwa keyakinan self efficacy adalah prediktor depresi pada sampel 126 pasien nyeri. Ada
bukti pentingnya penggunaan tindakan self-efficacy sebagai prediktor hasil pengobatan pada
pasien sakit kronis.11,12
4. PREVALENSI
Nyeri kronis dilaporkan pada 18,6% orang dewasa Australia. Hal ini lebih sering
terjadi pada wanita dan mereka yang berpendidikan rendah, pengangguran, usia tua, dan
dengan kecacatan. Penyebab umumnya adalah arthritis sendi, penyakit degeneratif, luka
traumatis dan berbagai jenis sakit kepala. Nyeri kronis juga dapat terjadi sebagai bagian dari
sindroma nyeri umum seperti fibromialgia.1
Depresi adalah gangguan mental yang paling umum terkait dengan nyeri kronis.
Tingginya tingkat gangguan kecemasan umum, gangguan stres pasca-trauma dan
penyalahgunaan zat juga telah dilaporkan sebelumnya. Prevalensi depresi seumur hidup di
Australia adalah 11,6%, tetapi 1,6 kali lebih tinggi pada mereka dengan arthritis. Di Kanada,
prevalensi depresi tiga kali lebih besar pada mereka dengan nyeri punggung bawah kronis.
Pada pasien dengan nyeri kronis yang datang untuk pengobatan, prevalensi depresi adalah
30% - 40%.1
Prevalensi depresi yang dilaporkan pada pasien dengan kondisi nyeri kronis
bervariasi dari 5% sampai 87% (±50%). Disparasi yang besar ini disebabkan sejumlah
kriteria studi, termasuk kriteria diagnostik yang digunakan, jenis nyeri yang dipelajari, bias
seleksi, tipe interview (terstruktur vs tidak terstruktur), dan jenis pasien yang diteliti (pasien
depresi klinis vs pasien dengan gejala depresi). Kriteria somatik gangguan depresi dapat
tumpang tindih dengan gejala nyeri kronis.8,9,10,13 Perbedaan jenis kelamin telah diamati
sehubungan dengan hubungan antara depresi dan nyeri, dimana prevalensi lebih tinggi dari
gejala depresi pada wanita dengan nyeri kronis bila dibandingkan dengan pria dengan nyeri
kronis.12
Gejala depresi telah terbukti memprediksi perkembangan nyeri muskuloskeletal
kronis pada beberapa studi populasi. Magni et al dan Fishbain et al melaporkan tingkat
depresi yang lebih tinggi pada pasien nyeri kronis dibandingkan pada pasien tanpa nyeri
kronis. Studi populasi juga telah meneliti kemungkinan prediktor depresi pada nyeri kronis.
Intensitas dan frekuensi nyeri, self-efficacy yang rendah, dan kurangnya keyakinan seseorang
8
atas kemampuannya untuk mengontrol rasa sakit juga dapat berkontribusi terhadap
perkembangan depresi pada pasien nyeri kronis. Studi juga menunjukkan bahwa pasien
depresi lebih mungkin untuk mengeluhkan jumlah dan tingkat keparahan gejala fisik yang
lebih besar. Selain itu nyeri kronik dan depresi menunjukkan tumpang tindih klinis yang
signifikan dengan gangguan nyeri yang berhubungan dengan stress, seperti nyeri punggung
bawah kronis, nyeri wajah, fibromyalgia, sindrom iritasi usus, migrain, nyeri anggota badan
phantom, dan gangguan temporomandibular (Table 1).4,8
Tabel 1. Prevalensi depresi pada nyeri spesifik
Sejumlah studi ditinjau untuk mengidentifikasi tingginya gangguan depresi pada
pasien nyeri kronis, dengan tingkat saat ini dan selama hidup masing-masing sekitar 45% dan
65% pada populasi nyeri punggung bawah kronis, dan baik saat ini maupun selama hidup
sekitar 80% pada populasi dengan nyeri ekstremitas atas kronis. Namun, kebanyakan studi
melaporkan prevalensi di kisaran yang cukup tinggi. Misalnya, Bank dan Kerns meninjau 14
penelitian yang menggunakan kriteria DSM untuk mendiagnosis depresi pada pasien nyeri
kronis dan menemukan bahwa 9 dari studi ini melaporkan prevalensi saat ini antara 30% dan
54%.7
Nyeri dipandang baik secara fisik dan psikologis, Sullivan menyatakan depresi
menjadi gangguan kejiwaan yang paling umum ditemukan dalam hubungan dengan nyeri
kronis. Sebuah studi yang dilakukan di Kingdo Serikat melaporkan bahwa 16,9% dari peserta
dengan nyeri kronis juga memiliki penyakit jiwa, terutama depresi mayor dan disthimia.
Selanjutnya Ruoff menyatakan bahwa depresi terjadi pada sebanyak 50% pasien nyeri
kronis.11
9
5. DIAGNOSIS
Penilaian depresi pada pasien dengan nyeri kronis harus dilakukan dalam
hubungannya dengan penilaian nyeri. Penilaian nyeri menggambarkan rasa nyeri,
mengidentifikasi kognisi dan perilaku yang menonjol, membedakan nyeri nosiseptif dan
neuropatik, dan menentukan dampak dari rasa sakit pada fungsi. Sebuah kajian komprehensif
mungkin termasuk masukan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk obat anti nyeri.1
Diagnosis depresi pada pasien dengan nyeri kronis menjadi lebih kompleks dengan
tumpang tindih antara gejala depresi dan yang berkaitan dengan komorbiditas penyakit fisik
dan nyeri. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorders, edisi ke 4,
Text Revision, (DSMIV-TR), diagnosis depresi membutuhkan penurunan mood atau
berkurangnya ketertarikan atau kesenangan untuk lebih dari 2 minggu, dengan tambahan
gejala somatik (gangguan tidur, kelelahan, berkurang kemampuan untuk berpikir, gangguan
berat badan) dan gejala kognitif (merasa tidak berharga, rasa bersalah, keinginan bunuh diri),
semua mengarah ke distress atau disfungsi yang signifikan.1,4 Namun, kebanyakan pasien
dengan nyeri kronis menggambarkan penurunan inisiatif, anhedonia, gangguan tidur dan
nafsu makan. Beberapa pendekatan dapat digunakan untuk mengatasi diagnostic
overshadowing, masing-masing mewakili keseimbangan yang berbeda pada sensitivitas dan
spesifisitas.1
Pertama, metode inklusif memungkinkan untuk semua gejala untuk dimasukkan
dalam pembuatan diagnosis, bahkan jika dapat dijelaskan sebagai penyakit fisik atau nyeri.
Pendekatan ini memiliki keuntungan pada kesederhanaan dan dapat dipercaya, tetapi dapat
mengakibatkan diagnosis yang berlebihan pada depresi.1
Kedua, metode eksklusif mengharuskan gejala somatik tidak digunakan, dan gejala
kognitif yang dipakai untuk membuat diagnosis. Pasien dengan nyeri kronis dan depresi lebih
cenderung menunjukkan peningkatan kesedihan, rendah diri, merasa tidak berharga dan
bunuh diri dibandingkan mereka dengan nyeri saja; menyokong pada pendekatan eksklusif.
Metode eksklusif adalah baik untuk mengatasi masalah diagnostic overshadowing tapi
akibatnya pada beberapa kasus termasuk pada pasien dengan gejala depresi yang lebih berat
yang menunjukkan keluhan somatik mungkin terlewatkan.1
Ketiga, menggunakan metode substitusi, gejala somatik depresi diganti dengan
gejala kognitif atau afektif tambahan. Hal ini mungkin termasuk keputusasaan, pesimisme,
lekas marah, penuh kesedihan, merasa dihukum, atau penarikan sosial. Tidak ada konsensus
10
yang mana gejala yang dapat digunakan sebagai pengganti, maupun jumlah yang
dibutuhkan.1
Pendekatan etiologi membutuhkan penilaian oleh dokter apakah gejala yang muncul
terkait dengan penyakit fisik atau depresi. Metode ini didukung oleh DSM-IV-TR, namun
dengan kelemahan dimana tersirat kurangnya kepercayaan dalam pembuatan keputusan.1
Tidak ada satu pendekatan yang jelas lebih unggul atas yang lain. Dalam beberapa
kasus, kesimpulan yang sama akan dicapai terlepas dari metode yang dipakai, seperti pada
pasien dengan perubahan suasana mood yang jelas, perenungan, pesimisme, keputusasaan,
rasa bersalah, rendah diri, dan tertekan mempengaruhi pemeriksaan kondisi mental. Ketika
diagnosis kurang jelas, seperti pada pasien dengan gejala yang berfluktuasi, gejala kurang
jelas apakah kognitif atau somatik, maka anamnesa riwayat dari orang-orang dekat, seperti
keluarga pasien untuk menentukan perubahan keadaan mental yang jelas dan terus-menerus
dari waktu ke waktu dapat berguna.1
6. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan depresi berat pada pasien dengan nyeri kronis harus terjadi sebagai
bagian dari pendekatan yang terkoordinasi untuk manajemen nyeri, dengan memperhatikan
proses psikologis yang relevan dan isu-isu sosial. Selain intervensi spesifik, manajemen nyeri
termasuk identifikasi dan menetapkan tujuan pengobatan bersama, perawatan multidisiplin
kolaboratif dan saling pengertian tentang peran praktisi yang berbeda dan tanggung jawab.1
Terapi farmakologi
Target manajemen pengobatan untuk rasa nyeri dan depresi adalah analgesia yang
dapat meningkatkan mood. Selain itu, terapi fisik dan okupasi, serta intervensi psikologis,
menulis rencana perawatan manajemen nyeri yang komprehensif. Modulasi nyeri di perifer,
saraf tulang belakang, dan sampai ke otak, jelas merupakan target terapi.8
Bermacam obat telah dilaporkan bermanfaat bagi pasien yang menderita nyeri dan
depresi. Obat antidepresan khususnya, mungkin berkhasiat sebagai analgesik. Penggunaan
antidepresan trisiklik (TCA) untuk analgesia telah didukung dalam berbagai uji coba
terkontrol dan meta-analisis (Tabel 2).1,8,14
TCA memiliki sifat analgesik secara independen dari efek antidepresannya. Diduga
sifat analgesik ini adalah melalui penguatan saraf-saraf noradrenergik descending spinal dan
penginhibisi serotonergik. Data dari controlled trials menunjukkan bahwa TCA fektif sebagai
analgesik dalam mengobati neuropati yang menyakitkan pada diabetes, neuralgia
11
postherpetik, nyeri sentral, nyeri kepala tipe tension, dan migrain. Studi meta-analisis
plasebo-terkontrol menemukan bahwa pasien nyeri kronis lebih mungkin untuk mendapatkan
keuntungan dari pengobatan antidepresan daripada dari plasebo.1,8
Tabel 2. Antidepresan untuk nyeri dan depresi
Dosis yang digunakan dalam studi analgesik dan dalam pengobatan nyeri (10-50
mg) adalah lebih rendah daripada yang digunakan untuk depresi (100-200 mg). Studi
Analgesik telah menunjukkan penurunan gejala depresi bersama pengurangan rasa nyeri,
tetapi pengobatan depresi belum tercapai pada dosis tersebut. Jika TCA digunakan untuk
mengobati depresi, maka dosis antidepresan yang dibutuhkan. Dosis yang lebih tinggi
menyebabkan peningkatan efek samping, termasuk sedasi, penglihatan kabur, hipotensi
ortostatik, jatuh dan peningkatan risiko delirium. Kekhawatiran akan toksisitas pada jantung
12
terutama pada dosis yang berlebihan sehingga diperlukan kehati-hatian pada penggunaan
TCA sebagai antidepresan (Table 2). Pada pasien tanpa penyakit kardiovaskular dan
kekhawatiran untuk menyakiti diri sendiri adalah rendah, TCA masih memiliki peranan,
terutama ketika antidepresan lain belum efektif. Amina nortriptyline sekunder dan
desipramine lebih baik ditoleransi daripada imipramine dan amitriptyline pada pasien dengan
sakit medis dan juga mungkin lebih dipilih pada pasien dengan nyeri.1,8
Obat baru yang digunakan untuk mengobati nyeri dan depresi termasuk selective
serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan serotonin–norepinephrine reuptake inhibitors
(SNRIs). Obat-obat ini mempengaruhi jenis reseptor tunggal dan ganda dan bisa menyerupai
TCA tetapi umumnya tanpa efek samping antikolinergik dan kardiovaskular yang terkait
dengan spesifisitas relatif mereka (Tabel 3). Yang menarik adalah serotonin–noradrenaline
reuptake inhibitors (SNRIs), mengingat kesamaannya dengan TCA.1,4,8
Tabel 3. SSRI dan SNRI untuk nyeri dan depresi
13
Duloxetine, suatu SNRI dengan penghambatan reuptake serotonin dan noradrenalin
yang seimbang, efektif untuk nyeri neuropatik dan nosiseptif, suatu efek independen dari
pengurangan depresi atau kecemasan. The United States Food and Drug Administration telah
menyetujui duloxetine untuk pengobatan fibromialgia dan neuropati diabetes yang
menyakitkan pada dosis 60 mg setiap hari. Duloxetine suatu SNRI, telah menunjukkan
khasiat dalam mengobati depresi pada double-blind, placebo-controlled, studi dosis tetap.
Duloxetine efektif untuk pengobatan nyeri neuropati perifer pada 2 studi acak 12 minggu,
double-blind, placebo-controlled, studi dosis tetap. Efek samping yang umum dari duloxetine
adalah mual, muntah, sembelit, mulut kering dan insomnia, tetapi ini sering ringan dan
sementara. Meskipun ada bukti bahwa depresi respon dengan duloxetine pada dosis 60 mg,
beberapa pasien memerlukan dosis 120 mg. Untuk mengobati depresi dengan efektif,
antidepresan harus digunakan pada dosis terapi untuk setidaknya 4 minggu, sebelum
meningkatkan ke dosis yang lebih tinggi atau mengganti dengan preparat lain.1,4,8
Venlafaxine suatu SNRI dimana sifat penghambat reuptake serotonin lebih dominan
terutama pada dosis rendah adalah kurang kuat. Laporan kasus dan beberapa bukti studi
menunjukkan potensi aktivitas analgesik untuk nyeri neuropatik pada dosis sekitar 75 mg. 1
TCA dan venlafaxine pada dosis analgesik adalah subterapeutik untuk depresi berat.
Menggabungkan TCA dengan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) berpotensi
menginduksi sindrom serotonergik.1,4,8
SSRI yang memiliki efek analgesik terbatas sering digunakan sebagai pengobatan
lini pertama pada depresi, diantaranya escitalopram dan sertraline adalah yang paling efektif
dan ditoleransi baik, yang mana escitalopram memiliki kecenderungan rendah untuk terjadi
interaksi obat melalui induksi enzim hati. Bahkan dengan pengobatan yang optimal,
bagaimanapun antidepresan mungkin tidak efektif untuk menginduksi remisi depresi,
terutama dalam konteks nyeri berat dan berkepanjangan.1,4
Intervensi Psikologis
Terapi psikologis digunakan dalam pengobatan depresi dan mengurangi gejala
depresi yang nyata dengan nyeri kronis. Bukti yang paling kuat penggunaannya dalam
pengobatan depresi berat dari uji coba terkontrol secara acak yang melibatkan populasi umum
dan pasien dengan komorbiditas medis lainnya. Dalam sebuah riset, cognitive behaviour
therapy (CBT) atau terapi interpersonal ditemukan setara dengan imipramine (200 mg) dan
lebih efektif daripada plasebo atau terapi suportif dalam mengobati depresi. Sebuah studi
14
CBT dan terapi antidepresan pada pasien dengan multiple sclerosis menunjukkan tingkat
depresi yang lebih rendah pada dua kelompok perlakuan, dibandingkan dengan kelompok
yang menerima pengobatan seperti biasa.1
Tantangan kognisi negatif pada CBT untuk depresi berhubungan dengan dunia
(pesimisme), masa depan (keputusasaan) dan diri (rendah diri), dan fokus perubahan perilaku
penarikan dan penghentian kegiatan menyenangkan. Tujuan dari CBT untuk depresi adalah
untuk remisi dan pemulihan. CBT merupakan jenis psikoterapi, atau terapi bicara yang
membantu perubahan orang terhadap gaya berpikir negatif dan perilaku yang dapat
berkontribusi terhadap depresi yang terjadi.1,4
Terapi psikologis efektif dalam mengurangi gejala depresi pada pasien dengan
penyakit medis atau nyeri kronis. CBT pada pasien dengan nyeri kronis ditujukan pada
penderita yang mengalami maladaptif kognisi nyeri dan perilaku seperti perasaan menderita
dan rasa takut penghindaran. Tujuan CBT pada nyeri kronis adalah lebih kepada pengurangan
gejala dan perbaikan fungsional daripada mengatasi nyeri sepenuhnya. Dalam program
tatalaksana nyeri multidisiplin, metode ini dapat meningkatkan kontrol perasaan, yang
mengarah ke penurunan rasa sakit dan gejala depresi dan perbaikan fungsi.1,4 Terapi kognitif
juga merupakan pengobatan yang telah terbukti pada depresi. Menurut Thorn, terapi kognitif
mengurangi gejala depresi dan kecemasan pada pasien nyeri kronis. Dalam satu studi Thorn
program terapi kognitif selama 10 minggu, didapatkan 95% dari pasien merasa hidup mereka
membaik, dan 50% mengatakan mereka nyeri berkurang, juga menyatakan banyak peserta
juga mengurangi kebutuhan mereka terhadap obat-obatan.6
Teknik yang ditujukan untuk perubahan rasa kehilangan, kesulitan dalam hubungan,
penerimaan dan pengaturan diri-sendiri mungkin juga dapat berguna. Pengobatan
farmakologis dan psikologis biasanya dikombinasikan, suatu pendekatan yang telah terbukti
efektif dalam pengelolaan gejala depresi pada pasien dengan nyeri muskuloskeletal dalam
perawatan primer.1
7. KESIMPULAN
Depresi adalah umum terjadi pada pasien dengan nyeri kronis. Depresi pada pasien
dengan nyeri kronis dikaitkan dengan fungsi yang menurun, respon pengobatan yang lebih
buruk dan peningkatan biaya perawatan. Pengalaman dan ekspresi nyeri kronis bervariasi
antara individu yang mencerminkan proses yang kompleks dan perubahan interaksi antara
proses fisik, psikologis dan sosial.
15
Membuat diagnosis bisa sulit dan paling baik dilakukan sebagai bagian dari
penilaian nyeri yang lebih luas. Diagnosis depresi pada pasien dengan nyeri kronis
membutuhkan diferensiasi antara gejala nyeri dan gejala penyakit fisik. Tatalaksana depresi
secara farmakologi dan psikologis, meskipun khasiat pengobatan dapat berkurang pada
pasien dengan nyeri berat dan berkepanjangan. Antidepresan dan terapi psikologis dapat
efektif dan harus dilakukan secara terkoordinasi, bersamaaan, dan rencana pengelolaan yang
multidisiplin. Kolaborasi antar sesama dokter dan saran dari ahli/spesialis sangat berguna,
terutama dalam kasus-kasus yang kompleks. Dibalik tantangan tersebut, keberhasilan
pengobatan depresi akan mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan fungsi dan kualitas hidup
pasien dengan nyeri kronis.
.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Holmes Alex, Christelis Nicholas, Arnold Carolyn. Depression And Chronic Pain. MJA
Open. October 2012. 1 Suppl 4: 17–20.
2. Juiwta Sandra. Pengaruh Derajat Depresi Dengan Intensitas Nyeri Kronik. Available at;
http://eprints.undip.ac.id/46834/1/Sandra_Juiwta_WP_22010111140159_Lap.KTI_BabII
.pdf.
3. Verdu B´en´edicte, Decosterd Isabelle, Buclin Thierry, Stiefel Friedrich, Berney
Alexandre. Review Article; Antidepressants for the Treatment of Chronic Pain. Drugs
2008; 68 (18): 2611-2632.
4. National Institute of Mental Health. Depression and Chronic Pain. Available at;
http://www.selfhelpcenter.org/page12.php.
5. Castro Martha, Kraychete Durval, Daltro Carla, Lopes Josiane, Menezes Rafael, Oliveira
Irismar. Comorbid Anxiety And Depression Disorders In Patients With Chronic Pain.
Arq Neuropsiquiatr 2009;67(4):982-985.
6. Chronic Pain and Depression: Managing Pain When You’re Depressed. Available at;
https://wellness.unl.edu/wellness_documents/chronic_pain_and_depression.pdf.
7. Dersh Jeffrey, Polatin Peter B, Robert J Gatchel. Chronic Pain and Psychopathology:
Research Findings and Theoretical Considerations. Psychosomatic Medicine. 2002.
64:773–786.
8. Stanos Steven. Pain & Depression: Pathology, Prevalence, and & Treatment. CNS
News. Special Edition. December 2005. pp; 35-40.
9. Blackburn G Munro, Blackburn R. E Munro. Review Article; Chronic Pain, Chronic
Stress and Depression: Coincidence or Consequence?. Journal of Neuroendocrinology,
2001, Vol. 13, 1009-1023.
10. Kaplan Gary. TOTAL Recovery Solving The Mystery Of Chronic Pain & Depression.
Available at; http://www.aapainmanage.org/wp-content/uploads/1_Solving-the-
Mystery_Kaplan_FINAL_HANDOUTS.pdf.
11. Lana J. Williams, Felice N. Jacka, Julie A. Pasco, Seetal Dodd, Michael Berk.
Depression And Pain: An Overview. Blackwell Munksgaard, Acta Neuropsychiatrica.
2006: 18, 79–87.
17
12. Alexandra Maria, Luís José, Jensen Mark P. Coping, Depression, Anxiety, Self-Efficacy
and Social Support: Impact on Adjustment to Chronic Pain. Escritos de Psicología. Vol.
2. 2009. pp. 8-17.
13. Bruns Daniel, Mark John Disorbio. Chronic Pain and Biopsychosocial Disorders.
Practical Pain Management. Nov/Dec 2005. Volume 5. pp; 1-9.
14. Bair Matthew, Robinson Rebecca, Katon Wayon, Kroenke Kurt. Review Article;
Depression And Pain Comorbidity. Arch Intern Med. Nov 2003; 163: 2433-2445.