demam thyfoid

52
BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama di daerah tropis dan subtropis. Lingkungan yang buruk dapat berperan dalam penyebaran penyakit menular. Demam tifoid atau typhoid fever merupakan salah satu penyakit menular yang berkaitan erat dengan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. 1 Infeksi oleh Salmonella sp, hampir selalu melalui jalan oral, yaitu melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi, masuk ke mulut, melalui saluran pencernaan, melalui dinding usus halus, masuk ke sistem limpa, beredar melalui aliran darah, menyerang liver, kantung empedu, limpa, ginjal, dan sumsum tulang, kemudian bakteri berkembang biak dan melakukan penyerangan ke berbagai organ. 1,2,3 Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica, terutama serotype Salmonella typhi. Bakteri ini termasuk kuman gram negatif yang memiliki flagel, tidak berspora, motil, berbentuk batang berkapsul dan bersifat fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H dan Vi. Demam dan sakit kepala 1

description

tinjauan pustaka demam thyfoid

Transcript of demam thyfoid

Page 1: demam thyfoid

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang,

terutama di daerah tropis dan subtropis. Lingkungan yang buruk dapat berperan

dalam penyebaran penyakit menular. Demam tifoid atau typhoid fever merupakan

salah satu penyakit menular yang berkaitan erat dengan lingkungan yang tidak

memenuhi syarat kesehatan.1

Infeksi oleh Salmonella sp, hampir selalu melalui jalan oral, yaitu melalui

makanan dan minuman yang telah terkontaminasi, masuk ke mulut, melalui saluran

pencernaan, melalui dinding usus halus, masuk ke sistem limpa, beredar melalui

aliran darah, menyerang liver, kantung empedu, limpa, ginjal, dan sumsum tulang,

kemudian bakteri berkembang biak dan melakukan penyerangan ke berbagai

organ.1,2,3 Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica,

terutama serotype Salmonella typhi. Bakteri ini termasuk kuman gram negatif yang

memiliki flagel, tidak berspora, motil, berbentuk batang berkapsul dan bersifat

fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H dan Vi. Demam dan sakit kepala

merupakan keluhan dan gejala klinis yang timbul pada penderita demam tifoid ini.1

Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17 juta

kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000

kasus. Insidensi di Indonesia rata-rata 900.000 kasus per tahun dengan angka

kematian > 20.000 dan 77% kasus terjadi pada umur 3-19 tahun. Menurut data Hasil

Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007, demam tifoid menyebabkan 1,6%

kematian penduduk Indonesia untuk semua umur.1,4 Pada tahun 2009 kasus demam

tifoid di Indonesia meningkat menjadi 80.850 dengan angka kematian 1.013 kasus.

Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap daerah. Menurut data Bulletin

Kewaspadaan Dini dan Respons Departemen Kesehatan, insiden demam tifod di Bali

pada minggu ke 51 pada tahun 2009 mencapai 47 kasus (proporsi 0,2%).5

1

Page 2: demam thyfoid

Mengingat banyaknya jumlah kasus demam tifoid dan terus berkembangnya

ilmu pengetahuan mengenai diagnosis serta penatalaksanaan demam tifoid, maka

penulis tertarik untuk mengangkat kasus demam tifoid ke dalam sebuah laporan

kasus. Diharapkan laporan kasus ini demam tifoid ini dapat menjadi sebuah pustaka

tambahan yang mampu membantu klinisi dalam melakukan diagnosis dan

memberikan terapi kasus demam tifoid dengan lebih tepat.

2

Page 3: demam thyfoid

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Demam Tifoid

Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17 juta kasus

demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 kasus.

Insiden di Indonesia rata-rata 900.000 kasus/tahun dengan angka kematian > 20.000

dan 77% kasus terjadi pada umur 3-19 tahun.1,4 Menurut data Hasil Riset Dasar

Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007, demam tifoid menyebabkan 1,6% kematian

penduduk Indonesia untuk semua umur. Pada tahun 2009 kasus demam tifoid di

Indonesia meningkat menjadi 80.850 dengan angka kematian 1.013 kasus.1

Demam Tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini

termasuk penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga

dapat menimbulkan wabah. Menurut surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi

kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994

terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei

berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986

memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596

menjadi 26.606 kasus.2

Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan

sanitasi lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,

sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan

insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum

memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang

memenuhi syarat kesehatan lingkungan.2 Menurut data Bulletin Kewaspadaan Dini

dan Respons Departemen Kesehatan, insiden demam tifod di Bali pada minggu ke 51

pada tahun 2009 mencapai 47 kasus (proporsi 0,2%).5

3

Page 4: demam thyfoid

2.2 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi

dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk

spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar).

Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air,

es, sampah dan debu.

Gambar 2.1. Bakteri Sakmonella typhi 3

Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600 C) selama 15 - 20 menit,

pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam

antigen, yaitu :4

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh

kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga

endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan

terhadap formaldehid.

4

Page 5: demam thyfoid

2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili

dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan

terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan

pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.4

2.3 Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyhi (S. paratyphi)

ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian

kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan

selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus

kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan

selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan

difagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke

kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang

terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan

bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ

retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman

meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang

sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan

bakterimia yang kedua kalinya disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit

infeksi sistemik.2

5

Page 6: demam thyfoid

Gambar 2.2 Patofisiologi Demam Tifoid.2

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,

dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus.

Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam

sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung

makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella

6

Page 7: demam thyfoid

telah terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan

menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise mialgia, sakit

kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.2,3

Di dalam plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia

jaringan (S. typhi) intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat

erosi pembuluh darah sekitar plaque Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan

hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis

jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat

mengakibatkan perforasi.2

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernafasan,

dan gangguan organ lainnya.2

2.4 Diagnosis

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi

yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini

sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus

tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan

diagnosis.2,6

2.4.1 Manifestasi Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang

timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran

penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala

serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,

pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak

di perut, batuk dan epistaksis.2

7

Page 8: demam thyfoid

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam

adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi

relatif (peningkatan suhu 10 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit),

lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),

hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,

stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang

Indonesia.2,6

2.4.2 Pemeriksaan Laboratorium

A. Pemeriksaan Rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia,

dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi

walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia

ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi

aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat

meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan menjadi normal

setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.2

B. Uji Widal

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).

Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita

demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang

pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.4

Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella typhi

yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk

menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam

tifoid.2,4

Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang

ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar

8

Page 9: demam thyfoid

pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang

aktif, titer aglutinin akan meningkat pada waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan

titer agglutinin empat kali lipat selama 1 sampai 3 minggu memastikan diagnosis

demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :4

a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut

b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah

menderita infeksi

c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :4

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita

a. Keadaan umum gizi penderita

Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit

Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama

satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.

c. Pengobatan dini dengan antibiotik

Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan

antibodi.

d. Penyakit-penyakit tertentu

Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi

pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.

e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat

pembentukan antibodi.

f. Vaksinasi

Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat.

Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan

titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu

titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai

nilai diagnostik.

9

Page 10: demam thyfoid

g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya

Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya

rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-

orang yang sehat.

2. Faktor-faktor teknis

a. Aglutinasi silang

Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang

sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi

aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi

tidak dapat ditentukan dengan uji widal.

b. Konsentrasi suspensi antigen

Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi

hasilnya.

c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen

C. Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif

tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh beberapa hal,

yaitu : 2

1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah

telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat

dan hasil mungkin negatif.

2. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah

yang dibiakan terlalu sedikit, hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil

sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu

(oxygall) untuk pertumbuhan kuman.

3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam

darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga

biakan darah dapat negatif.

10

Page 11: demam thyfoid

4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin

meningkat.

E. Kriteria Diagnosis

Berikut ini kriteria diagnosis Demam Tifoid :10

1. Gambaran klinis demam tifoid tanpa uji Widal, didiagnosis dengan possible

demam tifoid.

2. Gambaran klinis demam tifoid disertai dengan hasil uji Widal titer O dan H

1/160 pada 1 kali pemeriksaan, didiagnosis dengan probable demam tifoid.

3. Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji Widal >4 kali

lipat setelah satu minggu, memastikan diagnosis atau definitif demam tifoid.

4. Gambaran klinis demam tifoid disertai dengan hasil uji Widal tunggal dengan

titer antibodi O 1/320 atau H 1/640, memastikan diagnosis atau definitif

demam tifoid.

5. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis.

2.5 Penatalaksanaan Demam Tifoid

2.5.1 Istirahat dan Perawatan

Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring

dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air

kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.

Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, perlengkapan

yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia

ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.2

2.5.2 Diet dan Terapi Penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan peenyakit

demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan

gizi penderita akan semakin menurun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.

11

Page 12: demam thyfoid

Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian

ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet

tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring

tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau

perforasi usus. Hal ini disebabkan oleh pendapat bahwa usus harus diistirahatkan.

Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi

dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat)

dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.2

2.5.2 Pemberian Antimikroba

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah

sebagai berikut : 2

a. Kloramfenikol

Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk

mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari

dapat diberikan secara oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari

bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan karena hidrolisis

ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari

pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.

Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah

hari ke 5.

b. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan

kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan

terjadinya aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis

tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5

sampai ke-6.

12

Page 13: demam thyfoid

c. Kotrimoksazol

Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis

untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoxazol

400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.

d. Ampisilin dan Amoksisilin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan

dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

e. Sefalosporin Generasi Ketiga

Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif

untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-

4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam per infus sekali sehari,

diberikan selama 3 hingga 5 hari. Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1

gram, sefoperazon 2 x 1 gram.

f. Golongan Fluorokuinolone.

Berikut beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya :

- Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

- Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

- Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ketiga atau menjelang hari

keempat. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan

norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki

bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuonolone yang dikembangkan kemudian.

g. Kombinasi Obat Antimikroba

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu

saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang

13

Page 14: demam thyfoid

pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain

kuman Salmonella.

h. Kortikosteroid

Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid

yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

2.5.3 Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ketiga kehamilan karena

dikhawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey

syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester

pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada

manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat

digunakan. Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol

tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah

ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.2

2.6 Penatalaksanaan pada Pengidap Tifoid Karier

Kasus demam tifoid karier merupakan faktor risiko terjadinya outbreak demam tifoid.

Pada daerah endemik dan hiperendemik penyandang kuman S. typhi ini jauh lebih

banyak serta sanitasi lingkungan dan sosial ekonomi rendah semakin mempersulit

usaha penganggulangannya. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia sebesar

1000/100.000 populasi per tahun, insiden rata-rata 62% di Asia dan 35% di Afrika

dengan mortalitas rendah 2-5% dan sekitar 3% menjadi kasus karier. Di antara

demam tifoid yang sembuh klinis, pada 20% di antaranya masih ditemukan kuman S.

typhi setelah 2 bulan dan 10% masih ditemukan pada bulan ke-3 serta 3% masih

ditemukan setelah 1 tahun. Kasus karier meningkat seiring peningkatan umur dan

adanya penyakit kandung empedu, serta gangguan traktus urinarius.2

2.6.1 Definisi dan Manifestasi Tifoid Karier

14

Page 15: demam thyfoid

Definisi pengidap tifoid (karier) adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)

mengandung S. typhi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai dengan

gejala klinis. Kasus tifoid dengan kuman S. typhi masih dapat ditemukan di feses atau

urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca penyembuhan. Pada penelitian di Jakarta

dilaporkan bahwa 16,18% (N = 68) kasus demam tifoid masih didapatkan kuman S.

typhi pada kultur fesesnya.2

Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatik) dan 25% kasus

menyangkal adanya riwayat sakit demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian

dilaporkan pada tifoid karier sering disertai infeksi kronik traktus urinarius serta

terdapat peningkatan risiko terjadinya karsinoma kolorektal, karsinoma pankreas,

karsinoma paru, dan keganasan di bagian organ atau jaringan lain. Peningkatan faktor

risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan populasi pasca ledakan kasus luar

biasa demam tifoid, hal ini diduga faktor infeksi kronis sebagai faktor risiko

terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi tifoid akut.2

Proses patofisiologis dan pathogenesis kasus tifoid karier belum jelas.

Mekanisme pertahanan tubuh terhadap Salmonella typhi belum jelas. Imunitas selular

diduga punya peran sangat penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada penderita sickle

cell disease dan systemic lupus eritematosus (SLE) maupun penderita AIDS bila

terinfeksi Salmonella maka akan terjadi bakterimia yang berat. Pada pemeriksaan

inhibisi migrasi leukosit (LMI) dilaporkan terjadi penurunan respon reaktivitas selular

terhadap Salmonella typhi, meskipun tidak ditemukan penurunan imunitas selular dan

humoral. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada

sistem imunitas humoral dan selular serta respon limfosit terhadap Salmonella typhi

antara pengidap tifoid dan kontrol. Pemeriksaan respon imun berdasarkan serologi

antibody IgG dan IgM terhadap S. typhi antara tifoid karier dibanding tifoid akut

tidak berbeda bermakna.2

2.6.2 Diagnosis Tifoid Karier

15

Page 16: demam thyfoid

Diagnosis tifoid karier ditegakkan atas dasar ditemukannya kuman Salmonella typhi

pada biakan feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada

seseorang setelah 1 tahun pasca-demam tifoid. Dinyatakan kemungkinan besar

sebagai tifoid karier bila setelah dilakukan biakan secara acak serial minimal 6 kali

pemeriksaan tidak ditemukan kuman S. typhi.2,6,7

Sarana lain untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan serologi Vi,

dilaporkan bahwa sensitivitas 75% dan spesifisitas 92% bila ditemukan kadar titer

antibody Vi sebesar 160. Nolan CM dkk (1981) meneliti pengidap tifoid (karier)

beserta keluarganya, ditemukan titer 1:40 sampai 1:2560 pada 7 kasus biakan positif

S. typhi sedangkan pada 37 kasus dengan kultur S. typhi negatif, 36 kasus tidak

ditemukan antibodi Vi, 1 kasus dengan antibodi Vi positif 1:10.2,6

2.6.3 Penatalaksanaan Tifoid Karier

Kesulitan eradikasi kasus karier berhubungan dengan ada tidaknya batu empedu dan

sikatrik kronik pada saluran empedu. Kasus karier ini juga meningkat pada seseorang

yang terkena infeksi saluran kencing secara kronis, batu, striktur, hidronefrosis, dan

tuberculosis maupun tumor di traktus urinarius. Oleh karena itulah insiden tifoid

karier meningkat pada wanita maupun pada usia lanjut karena adanya faktor tersebut

di atas.2 Penatalaksanaan tifoid karier dibedakan berdasarkan ada tidaknya penyulit

yang dapat dilihat pada table 2.1.

Tabel 2.1 Terapi antibiotik pada Kasus Demam Tifoid Karier.2

Tanpa Disertai Kasus KolelitiasisPilihan regimen terapi selama 3 bulan

1. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari2. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari3. Trimetoprin-sulfametoksazol 2 tablet/2kali/hari

Disertai Kasus KolelitiasisKolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau kolesistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini

1. Siprofloksasin 750 mg/2 kali/hari2. Norfloksasin 400 mg/2 kali/hari

16

Page 17: demam thyfoid

Disertai infeksi Schistosoma Haematobium pada traktus urinariusPengobatan pada kasus ini harus dilakukan eradikasi S. Haematobium

1. Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau2. Mtrifonat 7,5 10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu.

Setelah eradikasi S. Haematobium tersebut baru diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas.

2.7 Pencegahan Demam Tifoid

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena

berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam

tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara, mendatangkan

devisa negara yang berasal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya

predikat negara endemik dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi

terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata.2

2.7.1 Preventif dan Kontrol Penularan

Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar

biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman

Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor

lingkungan.2

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu :

1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid

maupun kasus karier tifoid

2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun

karier

3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.

2.7.2 Identifikasi dan Eradikasi S. typhi

17

Page 18: demam thyfoid

Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup sulit dan

memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara

pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu

bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih

diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan minuman baik

tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik beserta distributornya.

Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu pertugas

kesehatan, guru, petugas kebersihan, dan pengelola sarana umum lainnya.2

2.7.3 Pencegahan Transmisi Langsung dari Penderita Terinfeksi S. Typhi Akut

maupun Karier

Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan

sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.2

2.7.4 Proteksi pada Orang yang Berisiko Tinggi Tertular dan Terinfeksi

Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah

endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis

atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan

perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko, yaitu

golongan imunokompromais maupun golongan rentan. Tindakan preventif

berdasarkan lokasi daerah, yaitu : 2

a. Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemik

- Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

- Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-

minuman

- Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemi tifoid

- Pencarian dan eliminasi sumber penularan

- Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus

- Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

18

Page 19: demam thyfoid

b. Daerah endemik

- Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang

memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 57o C, iodisasi, dan

klorinisasi)

- Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,

menjauhi makanan segar (sayur, buah)

- Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun

pengunjung

2.8 Vaksinasi

Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1986 dan setelah tahun 1960 efektivitas

vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar

67% (Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi tidak mampu proteksi

bila terpapar 107 bakteri.

Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah

lain. Indikasi vaksinasi adalah bila :2

1. Hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin

tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika)

2. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid

3. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan

2.8.1 Jenis Vaksin

Terdapat 2 jenis vaksin yaitu :2

- Vaksin oral : Ty21a (vivotif Berna), belum beredar di Indonesia

- Vaksin parenteral : ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul

polisakarida

2.8.2 Pemilihan Vaksinasi19

Page 20: demam thyfoid

Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna

menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia

sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insiden turun 53% pada anak >

10 tahun sedangkan pada anak usia 5-9 tahun insidennya turun 17%.

Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek

samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis

vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS

(Typhim Vi).2

2.8.3 Indikasi Vaksinasi

Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko yang

berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya: 2

- Populasi: anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, pertugas

rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman.

- Individual: pengunjung/wisatawan di daerah endemik, orang yang kontak

erat dengan pengidap tifoid (karier)

Pada anak usia 2-5 tahun, toleransi dan respon imunologisnya sama dengan anak usia

lebih besar.

2.8.4 Kontraindikasi Vaksinasi

Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang alergi

atau yang mengalami reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan

(karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria

(klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru

dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat

sulfonamide atau antimikroba lainnya.2

2.8.5 Efek Samping Vaksinasi

20

Page 21: demam thyfoid

Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%, sakit

kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%;

malaise 0,5%, sakit kepala 1,5% , rash 5%, reaksi nyeri local 17%). Efek samping

terbesar pada vaksin parenteral adalah heat phenol inactivated, yaitu demam 6,7% -

24%, nyeri kepala 9-10%, reaksi lokal nyeri dan edema 3-35% bahkan reaksi berat

termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi meskipun

sporadik dan sangat jarang terjadi.2

2.8.6 Efektivitas Vaksinasi

Serokonversi (peningkatan titer antibody 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS

terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari-3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.

Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik (Nepal) dan sebesar 60%

untuk daerah hiperendemik.2

2.9 Komplikasi Demam Tifoid

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :

2.9.1 Komplikasi Intestinal

a. Perdarahan Usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak

membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita

mengalami syok. Secara klinis perdarahan darurat ditegakkan bila terdapat

perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.4

b. Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu

ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid

dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan

bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah

nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.4

21

Page 22: demam thyfoid

2.9.2. Komplikasi Ekstraintestinal

a. Komplikasi kardiovaskuler (kegagalan sirkulasi perifer/syok sepsis, miokarditis,

trombosis dan tromboflebitis).

b. Komplikasi darah (anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler

diseminata, dan sindrom uremia hemolitik).

c. Komplikasi paru (pneumonia, empiema, dan pleuritis).

d. Komplikasi hepar dan kandung kemih (hepatitis dan kolelitiasis).

e. Komplikasi ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis).

f. Komplikasi tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis).

g. Komplikasi neuropsikiatrik (delirium, meningismus, meningitis, polineuritis

perifer, psikosis, dan sindrom katatonia).4

22

Page 23: demam thyfoid

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : HAB

Umur : 20 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Hindu

Pendidikan : Tamat SMA

Status : Belum Menikah

Pekerjaan : Buruh

Alamat : Medewi, Pekutatan, Jembrana

MRS : 25 Juni 2013

Tanggal pemeriksaan : 28 Juni 2013

3.2 ANAMNESIS

Keluhan utama :

Demam

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum berobat ke

Puskesmas. Demam dikatakan dirasakan di seluruh tubuh. Pasien tidak sempat

mengukur suhu tubuhnya karena tidak memiliki thermometer di rumah. Namun

menurut pasien, awalnya demam hanya dirasakan sumer-sumer namun lama

kelamaan suhu badan dikatakan semakin meningkat. Suhu tubuh dikatakan

meningkat terutama pada malam hari, sedangkan pada pagi serta siang hari suhu

tubuh dikatakan menurun namun tidak sampai normal. Demam dikatakan berkurang

jika pasien mengkonsumsi obat paracetamol, namun tidak ada kondisi yang

23

Page 24: demam thyfoid

memperberat keluhan demam pada pasien. Selain demam, pasien juga mengeluhkan

mual, muntah, nafsu makan menurun dan nyeri kepala.

Pasien juga mengeluh mual dan muntah yang munculnya bersamaan dengan

kemunculan demam. Awalnya pasien tidak terlalu merasa mual namun lama

kelamaan rasa mual semakin parah. Mual dirasakan seperti rasa tidak nyaman di ulu

hati yang kemudian diikuti dengan muntah. Muntah dikatakan tidak menyembur dan

berisi makanan atau minuman yang dikonsumsi. Mual dan muntah akan bertambah

parah jika pasien minum air dan mengkonsumsi makanan. Mual dan muntah akan

berkurang jika pasien tidak mengkonsumsi makanan dan minuman.

Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan sejak 3 hari sebelum berobat

ke puskesmas. Pasien merasa tidak ingin makan dan minum. Awalnya pasien dapat

makan seperti biasa namun lama kelamaan keinginan untuk mengkonsumsi makanan

semakin berkurang. Dalam sehari pasien biasanya hanya makan 2 kali sehari dengan

porsi makanan setiap kali makan juga sangat sedikit. Penurunan nafsu makan ini

semakin diperparah dengan rasa pahit di lidah dan rasa mual serta muntah yang

dialami pasien. Tidak ada kondisi yang membuat penurunan nafsu makan ini

membaik.

Pasien mengeluhkan nyeri kepala yang muncul bersamaan dengan

kemunculan demam. Nyeri kepala dirasakan di seluruh bagian kepala, seperti diremas

namun nyerinya tidak berdenyut. Awalnya pasien hanya mengalami nyeri kepala

ringan namun lama kelamaan nyeri kepala semakin memberat hingga pasien merasa

tidak nyaman ketika menggerakkan kepalanya mengingat nyeri kepala akan

bertambah jika pasien beraktivitas atau menggerakkan kepalanya. Nyeri kepala akan

membaik jika pasien mengkonsumsi paracetamol dan tiduran.

Buang air kecil pasien dikatakan normal tanpa rasa nyeri saat buang air kecil

dengan frekuensi 3-4 kali dalam sehari, volume sekitar ¾ gelas, warna kuning jernih

tanpa disertai darah dan tidak berbuih. Buang air besar dikatakan normal dengan

frekuensi 1 kali dalam sehari dengan warna kuning kecoklatan, konsistensi padat

tanpa disertai darah dan lendir. Keluhan seperti nyeri pada persendian, nyeri di

belakang mata, gusi berdarah, bintik-bintik kemarahan di kulit disangkal pasien.

24

Page 25: demam thyfoid

a. Riwayat Penyakit Sebelumnya dan Riwayat Pengobatan:

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya dan tidak

memiliki penyakit lain. Sebelum ke puskesmas pasien sempat berobat ke dokter

umum dan diberikan paracetamol 3 x 1, antibiotik (pasien lupa nama

antibiotiknya) 3 x 1, dan obat mual yang dikonsumsi sebelum makan 3 x 1.

Setelah berobat ke dokter pasien merasa tidak terjadi perbaikan.

b. Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan di Denpasar. Sebelum sakit

pasien dapat melakukan aktifitasnya dengan baik, kini aktifitas kesehariannya

dikatakan menurun oleh pasien. Dikatakan bahwa sebelum sakit pasien berkerja

terlalu berlebihan. Pasien sering mengkonsumsi makanan yang dibeli di warung

dan jarang memasak makanan sendiri. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok

maupun minum minuman beralkohol.

c. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.

Riwayat asma, penyakit jantung, hipertensi, dan kencing manis pada keluarga

disangkal.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

• Kesadaran : compos mentis

• Kesan sakit : sedang

• VAS : 4/10 (kepala)

• Tekanan Darah : 110/70 mmHg

• Nadi : 88 x/menit

• Respirasi : 18 x/menit

• Temp. Axilla : 390 C

25

Page 26: demam thyfoid

• Antropometri

Berat badan : 65 kg

Tinggi badan : 170 cm

BMI : 22,49 kg/m2

 

Status General

Mata : Konjungtiva pucat -/-, Ikterus -/-, Reflek Pupil +/+

isokor

Telinga : Daun telinga N/N, Cairan -/-

Hidung : Hidung luar N/N, Cairan -/-

Tenggorok : Tonsil T1/ T1, hiperemi -/-, permukaan rata, detritus

-/-, kripte tidak melebar, faring dalam batas normal

Mulut :

• Bibir sianosis : (-)

• Mukosa mulut : Dalam batas normal

• Gusi : Dalam batas normal

• Gigi geligi : Gigi berlubang (-), berwarna kehitaman (-), gigi

ompong (-)

• Lidah : Dalam batas normal, typhoid tongue (-)

Leher : Kaku kuduk (-), Pembesaran kelenjar getah bening

(-)

kelenjar tiroid dalam batas normal,

vena jugularis : PR + 1 cmH2O26

Page 27: demam thyfoid

Thorax : Simetris

Cor :

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi :

Batas atas : ICS II PSL sinistra

Batas bawah : setinggi ICS V

Batas kanan : PSL dekstra

Batas kiri : MCL sinistra ICS V

Auskultasi :S1S2 tunggal regular murmur (-)

Pulmo :

Inspeksi : Pergerakan dada simetris

Palpasi : Pergerakan simetris, taktil vokal fremitus simetris

Perkusi : Batas bawah kanan ICS V, batas bawah kiri ICS V

sonor/sonor

Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-

Abdomen :

Inspeksi : distensi (-)

Auskultasi: bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba

Balotment ginjal -/-, nyeri tekan (-), nyeri ketok CVA

-/-,

Perkusi : Thympani, ascites (-)

Ekstremitas : Hangat

27

+ +

+ +

Page 28: demam thyfoid

Edema

3.4 DIAGNOSIS BANDING

- Demam Tifoid

- Demam Berdarah Dengue

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap (25/06/2013)

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

HGB 17 g% 14-18

Leucocyte 8.400 /m3 4.700-10.800

Trombosit 100.000 /mm3 150.000-450.000 Rendah

Hematokrit 51 % 37-50% Tinggi

Uji Widal (25/06/2013)

Pemeriksaan Hasil Normal

Salmonella Typhi O 1/320 Negatif

Salmonella Typhi H 1/320 Negatif

Salmonella Para Typhi AH 1/160 Negatif

28

- -

- -

Page 29: demam thyfoid

Salmonella Para Typhi BH 1/80 Negatif

3.6 DIAGNOSIS KERJA

Demam Tifoid

3.7 PENATALAKSANAAN

- Rawat inap (tirah baring)

- IVFD RL : D5 = 1 : 1 = 20 tpm

- Paracetamol 3 x 500 mg

- Cefotaxime injeksi 2 x 1 gram

- Antacida 3 x 1

- Ranitidin injeksi 2 x 1 ampul (K/P)

- Diet bubur

- Monitoring : Keluhan,vital sign.

3.8 FOLLOW UP

NO Tanggal Catatan Terapi

1. 26/06/2013 S : Panas (+) menurun, Lemas

(+), mual/muntah (+) berkurang,

makan/minum (+) sedikit-sedikit,

BAB (-), BAK (+)

O :

St. present

TD : 110/70 mmHg

N : 80 kali/menit

- IVFD RL : D5 = 1 :

1 = 20 tpm

- Paracetamol 3 x

500 mg

- Cefotaxime injeksi

2 x 1 gram

- Antacida 3 x 1

- Ranitidin injeksi 2

29

Page 30: demam thyfoid

T ax : 37,60 C

RR : 18 kali/menit

St. general

Mata : konjungtiva pucat -/-,

ikterus -/-, RP +/+ isokor

THT : kesan tenang

Thorax :

Cor S1S2 tunggal reguler

murmur (-)

Pulmo ves +/+, rh -/-,wh -/-

Abdomen : dist (-), BU (+)

normal, H/L ttb

Ekstremitas :

Hangat

Edema

A : Demam Tifoid

x 1 ampul (K/P)

- Monitoring :

Keluhan,vital sign.

2. 27/06/2013 S : Panas (-), Lemas (+),

mual/muntah (-), makan/minum

(+) baik, BAB (+), BAK (+)

O :

St. present

- IVFD RL : D5 = 1 :

1 = 20 tpm

- Paracetamol 3 x

500 mg

- Cefotaxime injeksi

30

+ +

+ +

- -

- -

Page 31: demam thyfoid

TD : 120/80 mmHg

N : 80 kali/menit

T ax : 36,80 C

RR : 18 kali/menit

St. general

Mata : konjungtiva pucat -/-,

ikterus -/-, RP +/+ isokor

THT : kesan tenang

Thorax :

Cor S1S2 tunggal reguler

murmur (-)

Pulmo ves +/+, rh -/-,wh -/-

Abdomen : dist (-), BU (+)

normal, H/L ttb

Ekstremitas :

Hangat

Edema

A : Demam Tifoid

2 x 1 gram

- Antacida 3 x 1

- Ranitidin injeksi 2

x 1 ampul (K/P)

- Monitoring :

Keluhan,vital sign.

3. 28/06/2013 S : Panas (-), Lemas (-),

mual/muntah (-), makan/minum

(+) baik, BAB (+), BAK (+)

BPL :

- Vitamin B 1 x 1

31

+ +

+ +

- -

- -

Page 32: demam thyfoid

O :

St. present

TD : 110/70 mmHg

N : 80 kali/menit

T ax : 36,40 C

RR : 18 kali/menit

St. general

Mata : konjungtiva pucat -/-,

ikterus -/-, RP +/+ isokor

THT : kesan tenang

Thorax :

Cor S1S2 tunggal reguler

murmur (-)

Pulmo ves +/+, rh -/-,wh -/-

Abdomen : dist (-), BU (+)

normal, H/L ttb

Ekstremitas :

Hangat

Edema

A : Demam Tifoid

32

+ +

+ +

- -

- -

Page 33: demam thyfoid

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada demam tifoid, gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai

berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi

hingga kematian. Pada kasus, pasien mengalami demam, nyeri kepala, mual dan

muntah. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka bahwa pada minggu pertama gejala

klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut

yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau

diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis.

Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam

adalah meningkat perlahan-lahan, terutama pada sore hingga malam hari. Sifat

demam seperti ini ditemukan pada pasien ini dimana pasien mengatakan bahwa suhu

badannya meningkat pada malam hari. Sementara itu menurut teori, dalam minggu

kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif (peningkatan

suhu 10 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang

berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali,

splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,

delirium, atau psikosis. Sedangkan pada kasus, pasien tidak mengalami gejala

tersebut mengingat pasien belum memasuki minggu kedua.

Dalam menegakkan diagnosis demam tifoid, dapat dilakukan pemeriksaan

penunjang diantaranya pemeriksaan darah lengkap, uji Widal, dan kultur darah.

Pemeriksaan ini dapat menuntun klinisi dalam mendiagnosis demam tifoid. Pada

kasus hanya dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan uji Widal, mengingat tidak

terdapat fasilitas pemeriksaan kultur darah di puskesmas. Adapun hasil pemeriksaan

darah lengkap menunjukkan bahwa hemoglobin dalam batas normal, leukosit masih

dalam batas normal, trombositopenia dan peningkatan hematokrit yang tidak

signifikan. Hal ini sesuai dengan teori kepustakaan yang ada dimana pada demam

33

Page 34: demam thyfoid

tifoid dapat ditemukan adanya kadar leukosit yang masih normal serta

trombositopenia. Sementara itu dari hasil uji Widal didapatkan titer O 1/320 dan H

1/320.

Pada kasus, pasien didiagnosis dengan demam tifoid. Diagnosis ini sudah

sangat tepat mengingat pada kasus didapatkan gambaran klinis yang khas demam

tifoid (demam tipe remiten, mual, dan muntah) dengan titer antibodi O 1/320, yang

menurut tinjauan pustaka tergolong ke dalam kriteria diagnosis definitif demam

tifoid.

Bila ditinjau dari segi terapi, di puskesmas pasien menjalani tirah baring, diet

bubur, terapi IVFD RL dan D5, paracetamol 3 x 500 mg, cefotaxime injeksi 2 x 1

gram, antacida 3 x 1, ranitidin injeksi 2 x 1 ampul (kalau perlu). Sesuai dengan

tinjauan pustaka, tirah baring bertujuan untuk mencegah komplikasi dan

mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat

tidur seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan

membantu dan mempercepat masa penyembuhan.

Pasien juga diberikan diet bubur saat perawatan. Diet merupakan hal yang

cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan

yang kurang akan menurunkan keadaan umum, gizi penderita akan semakin menurun

dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Penerapan terapi diet bubur ini sejalan

dengan tinjauan pustaka yang ada di mana penderita awalnya diberi diet bubur saring,

kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi. Perubahan

diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring

ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi

usus. Hal ini berdasarkan adanya pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Tetapi

beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu

nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang

berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

Terapi cairan RL dan D5 diberikan untuk mengganti cairan yang hilang akibat

muntah, memberikan asupan kalori yang cukup mengingat asupan kalori pasien

menurun akibat mual/muntah, dan memudahkan akses intravena untuk obat-obatan

34

Page 35: demam thyfoid

injeksi. Paracetamol diberikan untuk terapi simtomatik febris, sedangkan ranitidin

dan antacida diberikan untuk mengatasi gejala mual/muntah.

Salah satu terapi medikamentosa yang paling penting pada penatalaksanaan

demam tifoid adalah terapi antibiotik. Pada kasus, pasien diberikan terapi antibiotik

cefotaxime intravena. Hal ini sudah sesuai dengan tinjauan pustaka, yang mana pada

pasien demam tifoid dapat diberikan terapi antibiotik golongan sefalosporin generasi

ketiga. Salah satu golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk

demam tifoid adalah cefotaxime (sefotaksim) 2-3 x 1 gram. Setelah diberikan 6 kali

injeksi cefotaxime, tampak bahwa pasien mengalami perbaikan yang signifikan.

35

Page 36: demam thyfoid

BAB V

SIMPULAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang masih dijumpai secara

luas di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2009 kasus

demam tifoid di Indonesia meningkat menjadi 80.850 dengan angka kematian 1.013

kasus. Menurut data Bulletin Kewaspadaan Dini dan Respons Departemen

Kesehatan, insiden demam tifod di Bali pada minggu ke 51 pada tahun 2009

mencapai 47 kasus (proporsi 0,2%).

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak

membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut

getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di

dalam air, es, sampah dan debu.

Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penegakan diagnosis

kasus ini sebagai demam tifoid sudah tepat. Hal ini berdasarkan ditemukannya

gambaran klinis demam tifoid yang khas disertai dengan hasil uji Widal titer O 1/320.

Penanganan demam tifoid pada kasus juga sudah tepat. Disamping dilakukannya tirah

baring, terapi diet dan penanganan simtomatis, pemilihan antibiotika telah sesuai

dengan kepustakaan terbaru, di mana penggunaan cefotaxime (sefalosporin ketiga) 2-

3 x 1 gram, tergolong efektif untuk terapi demam tifoid. Efektivitas yang disebutkan

dalam kepustakaan ini sejalan dengan yang terjadi pada kasus, dimana pada hari

ketiga perawatan, pasien sudah tidak mengalami febris serta keadaan umumnya

membaik.

36