demam thyfoid
-
Upload
ary-wismayana -
Category
Documents
-
view
87 -
download
0
description
Transcript of demam thyfoid
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang,
terutama di daerah tropis dan subtropis. Lingkungan yang buruk dapat berperan
dalam penyebaran penyakit menular. Demam tifoid atau typhoid fever merupakan
salah satu penyakit menular yang berkaitan erat dengan lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan.1
Infeksi oleh Salmonella sp, hampir selalu melalui jalan oral, yaitu melalui
makanan dan minuman yang telah terkontaminasi, masuk ke mulut, melalui saluran
pencernaan, melalui dinding usus halus, masuk ke sistem limpa, beredar melalui
aliran darah, menyerang liver, kantung empedu, limpa, ginjal, dan sumsum tulang,
kemudian bakteri berkembang biak dan melakukan penyerangan ke berbagai
organ.1,2,3 Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica,
terutama serotype Salmonella typhi. Bakteri ini termasuk kuman gram negatif yang
memiliki flagel, tidak berspora, motil, berbentuk batang berkapsul dan bersifat
fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H dan Vi. Demam dan sakit kepala
merupakan keluhan dan gejala klinis yang timbul pada penderita demam tifoid ini.1
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000
kasus. Insidensi di Indonesia rata-rata 900.000 kasus per tahun dengan angka
kematian > 20.000 dan 77% kasus terjadi pada umur 3-19 tahun. Menurut data Hasil
Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007, demam tifoid menyebabkan 1,6%
kematian penduduk Indonesia untuk semua umur.1,4 Pada tahun 2009 kasus demam
tifoid di Indonesia meningkat menjadi 80.850 dengan angka kematian 1.013 kasus.
Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap daerah. Menurut data Bulletin
Kewaspadaan Dini dan Respons Departemen Kesehatan, insiden demam tifod di Bali
pada minggu ke 51 pada tahun 2009 mencapai 47 kasus (proporsi 0,2%).5
1
Mengingat banyaknya jumlah kasus demam tifoid dan terus berkembangnya
ilmu pengetahuan mengenai diagnosis serta penatalaksanaan demam tifoid, maka
penulis tertarik untuk mengangkat kasus demam tifoid ke dalam sebuah laporan
kasus. Diharapkan laporan kasus ini demam tifoid ini dapat menjadi sebuah pustaka
tambahan yang mampu membantu klinisi dalam melakukan diagnosis dan
memberikan terapi kasus demam tifoid dengan lebih tepat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Demam Tifoid
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 kasus.
Insiden di Indonesia rata-rata 900.000 kasus/tahun dengan angka kematian > 20.000
dan 77% kasus terjadi pada umur 3-19 tahun.1,4 Menurut data Hasil Riset Dasar
Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007, demam tifoid menyebabkan 1,6% kematian
penduduk Indonesia untuk semua umur. Pada tahun 2009 kasus demam tifoid di
Indonesia meningkat menjadi 80.850 dengan angka kematian 1.013 kasus.1
Demam Tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga
dapat menimbulkan wabah. Menurut surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi
kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994
terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei
berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus.2
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.2 Menurut data Bulletin Kewaspadaan Dini
dan Respons Departemen Kesehatan, insiden demam tifod di Bali pada minggu ke 51
pada tahun 2009 mencapai 47 kasus (proporsi 0,2%).5
3
2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk
spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar).
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air,
es, sampah dan debu.
Gambar 2.1. Bakteri Sakmonella typhi 3
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600 C) selama 15 - 20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam
antigen, yaitu :4
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid.
4
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.4
2.3 Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyhi (S. paratyphi)
ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik.2
5
Gambar 2.2 Patofisiologi Demam Tifoid.2
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
6
telah terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise mialgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.2,3
Di dalam plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. typhi) intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plaque Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.2
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernafasan,
dan gangguan organ lainnya.2
2.4 Diagnosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi
yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini
sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus
tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis.2,6
2.4.1 Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk dan epistaksis.2
7
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relatif (peningkatan suhu 10 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit),
lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.2,6
2.4.2 Pemeriksaan Laboratorium
A. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi
aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat
meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan menjadi normal
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.2
B. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang
pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.4
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella typhi
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam
tifoid.2,4
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar
8
pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang
aktif, titer aglutinin akan meningkat pada waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan
titer agglutinin empat kali lipat selama 1 sampai 3 minggu memastikan diagnosis
demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :4
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :4
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama
satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan
antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat
pembentukan antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat.
Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan
titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu
titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai
nilai diagnostik.
9
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya
rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-
orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi
aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi
tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi
hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
C. Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu : 2
1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif.
2. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah
yang dibiakan terlalu sedikit, hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu
(oxygall) untuk pertumbuhan kuman.
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga
biakan darah dapat negatif.
10
4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat.
E. Kriteria Diagnosis
Berikut ini kriteria diagnosis Demam Tifoid :10
1. Gambaran klinis demam tifoid tanpa uji Widal, didiagnosis dengan possible
demam tifoid.
2. Gambaran klinis demam tifoid disertai dengan hasil uji Widal titer O dan H
1/160 pada 1 kali pemeriksaan, didiagnosis dengan probable demam tifoid.
3. Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji Widal >4 kali
lipat setelah satu minggu, memastikan diagnosis atau definitif demam tifoid.
4. Gambaran klinis demam tifoid disertai dengan hasil uji Widal tunggal dengan
titer antibodi O 1/320 atau H 1/640, memastikan diagnosis atau definitif
demam tifoid.
5. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
2.5 Penatalaksanaan Demam Tifoid
2.5.1 Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring
dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air
kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, perlengkapan
yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia
ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.2
2.5.2 Diet dan Terapi Penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan peenyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan
gizi penderita akan semakin menurun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
11
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Hal ini disebabkan oleh pendapat bahwa usus harus diistirahatkan.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi
dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat)
dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.2
2.5.2 Pemberian Antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
sebagai berikut : 2
a. Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk
mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari
dapat diberikan secara oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari
bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan karena hidrolisis
ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari
pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.
Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah
hari ke 5.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis
tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5
sampai ke-6.
12
c. Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoxazol
400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
d. Ampisilin dan Amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
e. Sefalosporin Generasi Ketiga
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif
untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-
4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam per infus sekali sehari,
diberikan selama 3 hingga 5 hari. Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1
gram, sefoperazon 2 x 1 gram.
f. Golongan Fluorokuinolone.
Berikut beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya :
- Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ketiga atau menjelang hari
keempat. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan
norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki
bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuonolone yang dikembangkan kemudian.
g. Kombinasi Obat Antimikroba
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu
saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang
13
pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain
kuman Salmonella.
h. Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid
yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
2.5.3 Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ketiga kehamilan karena
dikhawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey
syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester
pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada
manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat
digunakan. Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol
tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.2
2.6 Penatalaksanaan pada Pengidap Tifoid Karier
Kasus demam tifoid karier merupakan faktor risiko terjadinya outbreak demam tifoid.
Pada daerah endemik dan hiperendemik penyandang kuman S. typhi ini jauh lebih
banyak serta sanitasi lingkungan dan sosial ekonomi rendah semakin mempersulit
usaha penganggulangannya. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia sebesar
1000/100.000 populasi per tahun, insiden rata-rata 62% di Asia dan 35% di Afrika
dengan mortalitas rendah 2-5% dan sekitar 3% menjadi kasus karier. Di antara
demam tifoid yang sembuh klinis, pada 20% di antaranya masih ditemukan kuman S.
typhi setelah 2 bulan dan 10% masih ditemukan pada bulan ke-3 serta 3% masih
ditemukan setelah 1 tahun. Kasus karier meningkat seiring peningkatan umur dan
adanya penyakit kandung empedu, serta gangguan traktus urinarius.2
2.6.1 Definisi dan Manifestasi Tifoid Karier
14
Definisi pengidap tifoid (karier) adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung S. typhi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai dengan
gejala klinis. Kasus tifoid dengan kuman S. typhi masih dapat ditemukan di feses atau
urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca penyembuhan. Pada penelitian di Jakarta
dilaporkan bahwa 16,18% (N = 68) kasus demam tifoid masih didapatkan kuman S.
typhi pada kultur fesesnya.2
Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatik) dan 25% kasus
menyangkal adanya riwayat sakit demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian
dilaporkan pada tifoid karier sering disertai infeksi kronik traktus urinarius serta
terdapat peningkatan risiko terjadinya karsinoma kolorektal, karsinoma pankreas,
karsinoma paru, dan keganasan di bagian organ atau jaringan lain. Peningkatan faktor
risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan populasi pasca ledakan kasus luar
biasa demam tifoid, hal ini diduga faktor infeksi kronis sebagai faktor risiko
terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi tifoid akut.2
Proses patofisiologis dan pathogenesis kasus tifoid karier belum jelas.
Mekanisme pertahanan tubuh terhadap Salmonella typhi belum jelas. Imunitas selular
diduga punya peran sangat penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada penderita sickle
cell disease dan systemic lupus eritematosus (SLE) maupun penderita AIDS bila
terinfeksi Salmonella maka akan terjadi bakterimia yang berat. Pada pemeriksaan
inhibisi migrasi leukosit (LMI) dilaporkan terjadi penurunan respon reaktivitas selular
terhadap Salmonella typhi, meskipun tidak ditemukan penurunan imunitas selular dan
humoral. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada
sistem imunitas humoral dan selular serta respon limfosit terhadap Salmonella typhi
antara pengidap tifoid dan kontrol. Pemeriksaan respon imun berdasarkan serologi
antibody IgG dan IgM terhadap S. typhi antara tifoid karier dibanding tifoid akut
tidak berbeda bermakna.2
2.6.2 Diagnosis Tifoid Karier
15
Diagnosis tifoid karier ditegakkan atas dasar ditemukannya kuman Salmonella typhi
pada biakan feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada
seseorang setelah 1 tahun pasca-demam tifoid. Dinyatakan kemungkinan besar
sebagai tifoid karier bila setelah dilakukan biakan secara acak serial minimal 6 kali
pemeriksaan tidak ditemukan kuman S. typhi.2,6,7
Sarana lain untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan serologi Vi,
dilaporkan bahwa sensitivitas 75% dan spesifisitas 92% bila ditemukan kadar titer
antibody Vi sebesar 160. Nolan CM dkk (1981) meneliti pengidap tifoid (karier)
beserta keluarganya, ditemukan titer 1:40 sampai 1:2560 pada 7 kasus biakan positif
S. typhi sedangkan pada 37 kasus dengan kultur S. typhi negatif, 36 kasus tidak
ditemukan antibodi Vi, 1 kasus dengan antibodi Vi positif 1:10.2,6
2.6.3 Penatalaksanaan Tifoid Karier
Kesulitan eradikasi kasus karier berhubungan dengan ada tidaknya batu empedu dan
sikatrik kronik pada saluran empedu. Kasus karier ini juga meningkat pada seseorang
yang terkena infeksi saluran kencing secara kronis, batu, striktur, hidronefrosis, dan
tuberculosis maupun tumor di traktus urinarius. Oleh karena itulah insiden tifoid
karier meningkat pada wanita maupun pada usia lanjut karena adanya faktor tersebut
di atas.2 Penatalaksanaan tifoid karier dibedakan berdasarkan ada tidaknya penyulit
yang dapat dilihat pada table 2.1.
Tabel 2.1 Terapi antibiotik pada Kasus Demam Tifoid Karier.2
Tanpa Disertai Kasus KolelitiasisPilihan regimen terapi selama 3 bulan
1. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari2. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari3. Trimetoprin-sulfametoksazol 2 tablet/2kali/hari
Disertai Kasus KolelitiasisKolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau kolesistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini
1. Siprofloksasin 750 mg/2 kali/hari2. Norfloksasin 400 mg/2 kali/hari
16
Disertai infeksi Schistosoma Haematobium pada traktus urinariusPengobatan pada kasus ini harus dilakukan eradikasi S. Haematobium
1. Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau2. Mtrifonat 7,5 10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu.
Setelah eradikasi S. Haematobium tersebut baru diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas.
2.7 Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam
tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara, mendatangkan
devisa negara yang berasal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya
predikat negara endemik dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi
terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata.2
2.7.1 Preventif dan Kontrol Penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar
biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman
Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor
lingkungan.2
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu :
1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid
maupun kasus karier tifoid
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun
karier
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.
2.7.2 Identifikasi dan Eradikasi S. typhi
17
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup sulit dan
memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara
pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu
bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih
diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan minuman baik
tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik beserta distributornya.
Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu pertugas
kesehatan, guru, petugas kebersihan, dan pengelola sarana umum lainnya.2
2.7.3 Pencegahan Transmisi Langsung dari Penderita Terinfeksi S. Typhi Akut
maupun Karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan
sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.2
2.7.4 Proteksi pada Orang yang Berisiko Tinggi Tertular dan Terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah
endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis
atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan
perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko, yaitu
golongan imunokompromais maupun golongan rentan. Tindakan preventif
berdasarkan lokasi daerah, yaitu : 2
a. Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemik
- Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
- Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-
minuman
- Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemi tifoid
- Pencarian dan eliminasi sumber penularan
- Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
- Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
18
b. Daerah endemik
- Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 57o C, iodisasi, dan
klorinisasi)
- Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (sayur, buah)
- Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung
2.8 Vaksinasi
Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1986 dan setelah tahun 1960 efektivitas
vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar
67% (Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi tidak mampu proteksi
bila terpapar 107 bakteri.
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah
lain. Indikasi vaksinasi adalah bila :2
1. Hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin
tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika)
2. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid
3. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan
2.8.1 Jenis Vaksin
Terdapat 2 jenis vaksin yaitu :2
- Vaksin oral : Ty21a (vivotif Berna), belum beredar di Indonesia
- Vaksin parenteral : ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul
polisakarida
2.8.2 Pemilihan Vaksinasi19
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna
menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia
sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insiden turun 53% pada anak >
10 tahun sedangkan pada anak usia 5-9 tahun insidennya turun 17%.
Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek
samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis
vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS
(Typhim Vi).2
2.8.3 Indikasi Vaksinasi
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko yang
berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya: 2
- Populasi: anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, pertugas
rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman.
- Individual: pengunjung/wisatawan di daerah endemik, orang yang kontak
erat dengan pengidap tifoid (karier)
Pada anak usia 2-5 tahun, toleransi dan respon imunologisnya sama dengan anak usia
lebih besar.
2.8.4 Kontraindikasi Vaksinasi
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang alergi
atau yang mengalami reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan
(karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria
(klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru
dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat
sulfonamide atau antimikroba lainnya.2
2.8.5 Efek Samping Vaksinasi
20
Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%, sakit
kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%;
malaise 0,5%, sakit kepala 1,5% , rash 5%, reaksi nyeri local 17%). Efek samping
terbesar pada vaksin parenteral adalah heat phenol inactivated, yaitu demam 6,7% -
24%, nyeri kepala 9-10%, reaksi lokal nyeri dan edema 3-35% bahkan reaksi berat
termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi meskipun
sporadik dan sangat jarang terjadi.2
2.8.6 Efektivitas Vaksinasi
Serokonversi (peningkatan titer antibody 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS
terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari-3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.
Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik (Nepal) dan sebesar 60%
untuk daerah hiperendemik.2
2.9 Komplikasi Demam Tifoid
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
2.9.1 Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan darurat ditegakkan bila terdapat
perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.4
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid
dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah
nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.4
21
2.9.2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler (kegagalan sirkulasi perifer/syok sepsis, miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis).
b. Komplikasi darah (anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik).
c. Komplikasi paru (pneumonia, empiema, dan pleuritis).
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih (hepatitis dan kolelitiasis).
e. Komplikasi ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis).
f. Komplikasi tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis).
g. Komplikasi neuropsikiatrik (delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, psikosis, dan sindrom katatonia).4
22
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : HAB
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Hindu
Pendidikan : Tamat SMA
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Medewi, Pekutatan, Jembrana
MRS : 25 Juni 2013
Tanggal pemeriksaan : 28 Juni 2013
3.2 ANAMNESIS
Keluhan utama :
Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum berobat ke
Puskesmas. Demam dikatakan dirasakan di seluruh tubuh. Pasien tidak sempat
mengukur suhu tubuhnya karena tidak memiliki thermometer di rumah. Namun
menurut pasien, awalnya demam hanya dirasakan sumer-sumer namun lama
kelamaan suhu badan dikatakan semakin meningkat. Suhu tubuh dikatakan
meningkat terutama pada malam hari, sedangkan pada pagi serta siang hari suhu
tubuh dikatakan menurun namun tidak sampai normal. Demam dikatakan berkurang
jika pasien mengkonsumsi obat paracetamol, namun tidak ada kondisi yang
23
memperberat keluhan demam pada pasien. Selain demam, pasien juga mengeluhkan
mual, muntah, nafsu makan menurun dan nyeri kepala.
Pasien juga mengeluh mual dan muntah yang munculnya bersamaan dengan
kemunculan demam. Awalnya pasien tidak terlalu merasa mual namun lama
kelamaan rasa mual semakin parah. Mual dirasakan seperti rasa tidak nyaman di ulu
hati yang kemudian diikuti dengan muntah. Muntah dikatakan tidak menyembur dan
berisi makanan atau minuman yang dikonsumsi. Mual dan muntah akan bertambah
parah jika pasien minum air dan mengkonsumsi makanan. Mual dan muntah akan
berkurang jika pasien tidak mengkonsumsi makanan dan minuman.
Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan sejak 3 hari sebelum berobat
ke puskesmas. Pasien merasa tidak ingin makan dan minum. Awalnya pasien dapat
makan seperti biasa namun lama kelamaan keinginan untuk mengkonsumsi makanan
semakin berkurang. Dalam sehari pasien biasanya hanya makan 2 kali sehari dengan
porsi makanan setiap kali makan juga sangat sedikit. Penurunan nafsu makan ini
semakin diperparah dengan rasa pahit di lidah dan rasa mual serta muntah yang
dialami pasien. Tidak ada kondisi yang membuat penurunan nafsu makan ini
membaik.
Pasien mengeluhkan nyeri kepala yang muncul bersamaan dengan
kemunculan demam. Nyeri kepala dirasakan di seluruh bagian kepala, seperti diremas
namun nyerinya tidak berdenyut. Awalnya pasien hanya mengalami nyeri kepala
ringan namun lama kelamaan nyeri kepala semakin memberat hingga pasien merasa
tidak nyaman ketika menggerakkan kepalanya mengingat nyeri kepala akan
bertambah jika pasien beraktivitas atau menggerakkan kepalanya. Nyeri kepala akan
membaik jika pasien mengkonsumsi paracetamol dan tiduran.
Buang air kecil pasien dikatakan normal tanpa rasa nyeri saat buang air kecil
dengan frekuensi 3-4 kali dalam sehari, volume sekitar ¾ gelas, warna kuning jernih
tanpa disertai darah dan tidak berbuih. Buang air besar dikatakan normal dengan
frekuensi 1 kali dalam sehari dengan warna kuning kecoklatan, konsistensi padat
tanpa disertai darah dan lendir. Keluhan seperti nyeri pada persendian, nyeri di
belakang mata, gusi berdarah, bintik-bintik kemarahan di kulit disangkal pasien.
24
a. Riwayat Penyakit Sebelumnya dan Riwayat Pengobatan:
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya dan tidak
memiliki penyakit lain. Sebelum ke puskesmas pasien sempat berobat ke dokter
umum dan diberikan paracetamol 3 x 1, antibiotik (pasien lupa nama
antibiotiknya) 3 x 1, dan obat mual yang dikonsumsi sebelum makan 3 x 1.
Setelah berobat ke dokter pasien merasa tidak terjadi perbaikan.
b. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan di Denpasar. Sebelum sakit
pasien dapat melakukan aktifitasnya dengan baik, kini aktifitas kesehariannya
dikatakan menurun oleh pasien. Dikatakan bahwa sebelum sakit pasien berkerja
terlalu berlebihan. Pasien sering mengkonsumsi makanan yang dibeli di warung
dan jarang memasak makanan sendiri. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok
maupun minum minuman beralkohol.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.
Riwayat asma, penyakit jantung, hipertensi, dan kencing manis pada keluarga
disangkal.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
• Kesadaran : compos mentis
• Kesan sakit : sedang
• VAS : 4/10 (kepala)
• Tekanan Darah : 110/70 mmHg
• Nadi : 88 x/menit
• Respirasi : 18 x/menit
• Temp. Axilla : 390 C
25
• Antropometri
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 170 cm
BMI : 22,49 kg/m2
Status General
Mata : Konjungtiva pucat -/-, Ikterus -/-, Reflek Pupil +/+
isokor
Telinga : Daun telinga N/N, Cairan -/-
Hidung : Hidung luar N/N, Cairan -/-
Tenggorok : Tonsil T1/ T1, hiperemi -/-, permukaan rata, detritus
-/-, kripte tidak melebar, faring dalam batas normal
Mulut :
• Bibir sianosis : (-)
• Mukosa mulut : Dalam batas normal
• Gusi : Dalam batas normal
• Gigi geligi : Gigi berlubang (-), berwarna kehitaman (-), gigi
ompong (-)
• Lidah : Dalam batas normal, typhoid tongue (-)
Leher : Kaku kuduk (-), Pembesaran kelenjar getah bening
(-)
kelenjar tiroid dalam batas normal,
vena jugularis : PR + 1 cmH2O26
Thorax : Simetris
Cor :
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas : ICS II PSL sinistra
Batas bawah : setinggi ICS V
Batas kanan : PSL dekstra
Batas kiri : MCL sinistra ICS V
Auskultasi :S1S2 tunggal regular murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : Pergerakan dada simetris
Palpasi : Pergerakan simetris, taktil vokal fremitus simetris
Perkusi : Batas bawah kanan ICS V, batas bawah kiri ICS V
sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba
Balotment ginjal -/-, nyeri tekan (-), nyeri ketok CVA
-/-,
Perkusi : Thympani, ascites (-)
Ekstremitas : Hangat
27
+ +
+ +
Edema
3.4 DIAGNOSIS BANDING
- Demam Tifoid
- Demam Berdarah Dengue
3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (25/06/2013)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks
HGB 17 g% 14-18
Leucocyte 8.400 /m3 4.700-10.800
Trombosit 100.000 /mm3 150.000-450.000 Rendah
Hematokrit 51 % 37-50% Tinggi
Uji Widal (25/06/2013)
Pemeriksaan Hasil Normal
Salmonella Typhi O 1/320 Negatif
Salmonella Typhi H 1/320 Negatif
Salmonella Para Typhi AH 1/160 Negatif
28
- -
- -
Salmonella Para Typhi BH 1/80 Negatif
3.6 DIAGNOSIS KERJA
Demam Tifoid
3.7 PENATALAKSANAAN
- Rawat inap (tirah baring)
- IVFD RL : D5 = 1 : 1 = 20 tpm
- Paracetamol 3 x 500 mg
- Cefotaxime injeksi 2 x 1 gram
- Antacida 3 x 1
- Ranitidin injeksi 2 x 1 ampul (K/P)
- Diet bubur
- Monitoring : Keluhan,vital sign.
3.8 FOLLOW UP
NO Tanggal Catatan Terapi
1. 26/06/2013 S : Panas (+) menurun, Lemas
(+), mual/muntah (+) berkurang,
makan/minum (+) sedikit-sedikit,
BAB (-), BAK (+)
O :
St. present
TD : 110/70 mmHg
N : 80 kali/menit
- IVFD RL : D5 = 1 :
1 = 20 tpm
- Paracetamol 3 x
500 mg
- Cefotaxime injeksi
2 x 1 gram
- Antacida 3 x 1
- Ranitidin injeksi 2
29
T ax : 37,60 C
RR : 18 kali/menit
St. general
Mata : konjungtiva pucat -/-,
ikterus -/-, RP +/+ isokor
THT : kesan tenang
Thorax :
Cor S1S2 tunggal reguler
murmur (-)
Pulmo ves +/+, rh -/-,wh -/-
Abdomen : dist (-), BU (+)
normal, H/L ttb
Ekstremitas :
Hangat
Edema
A : Demam Tifoid
x 1 ampul (K/P)
- Monitoring :
Keluhan,vital sign.
2. 27/06/2013 S : Panas (-), Lemas (+),
mual/muntah (-), makan/minum
(+) baik, BAB (+), BAK (+)
O :
St. present
- IVFD RL : D5 = 1 :
1 = 20 tpm
- Paracetamol 3 x
500 mg
- Cefotaxime injeksi
30
+ +
+ +
- -
- -
TD : 120/80 mmHg
N : 80 kali/menit
T ax : 36,80 C
RR : 18 kali/menit
St. general
Mata : konjungtiva pucat -/-,
ikterus -/-, RP +/+ isokor
THT : kesan tenang
Thorax :
Cor S1S2 tunggal reguler
murmur (-)
Pulmo ves +/+, rh -/-,wh -/-
Abdomen : dist (-), BU (+)
normal, H/L ttb
Ekstremitas :
Hangat
Edema
A : Demam Tifoid
2 x 1 gram
- Antacida 3 x 1
- Ranitidin injeksi 2
x 1 ampul (K/P)
- Monitoring :
Keluhan,vital sign.
3. 28/06/2013 S : Panas (-), Lemas (-),
mual/muntah (-), makan/minum
(+) baik, BAB (+), BAK (+)
BPL :
- Vitamin B 1 x 1
31
+ +
+ +
- -
- -
O :
St. present
TD : 110/70 mmHg
N : 80 kali/menit
T ax : 36,40 C
RR : 18 kali/menit
St. general
Mata : konjungtiva pucat -/-,
ikterus -/-, RP +/+ isokor
THT : kesan tenang
Thorax :
Cor S1S2 tunggal reguler
murmur (-)
Pulmo ves +/+, rh -/-,wh -/-
Abdomen : dist (-), BU (+)
normal, H/L ttb
Ekstremitas :
Hangat
Edema
A : Demam Tifoid
32
+ +
+ +
- -
- -
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada demam tifoid, gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai
berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi
hingga kematian. Pada kasus, pasien mengalami demam, nyeri kepala, mual dan
muntah. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka bahwa pada minggu pertama gejala
klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut
yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan, terutama pada sore hingga malam hari. Sifat
demam seperti ini ditemukan pada pasien ini dimana pasien mengatakan bahwa suhu
badannya meningkat pada malam hari. Sementara itu menurut teori, dalam minggu
kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif (peningkatan
suhu 10 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis. Sedangkan pada kasus, pasien tidak mengalami gejala
tersebut mengingat pasien belum memasuki minggu kedua.
Dalam menegakkan diagnosis demam tifoid, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang diantaranya pemeriksaan darah lengkap, uji Widal, dan kultur darah.
Pemeriksaan ini dapat menuntun klinisi dalam mendiagnosis demam tifoid. Pada
kasus hanya dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan uji Widal, mengingat tidak
terdapat fasilitas pemeriksaan kultur darah di puskesmas. Adapun hasil pemeriksaan
darah lengkap menunjukkan bahwa hemoglobin dalam batas normal, leukosit masih
dalam batas normal, trombositopenia dan peningkatan hematokrit yang tidak
signifikan. Hal ini sesuai dengan teori kepustakaan yang ada dimana pada demam
33
tifoid dapat ditemukan adanya kadar leukosit yang masih normal serta
trombositopenia. Sementara itu dari hasil uji Widal didapatkan titer O 1/320 dan H
1/320.
Pada kasus, pasien didiagnosis dengan demam tifoid. Diagnosis ini sudah
sangat tepat mengingat pada kasus didapatkan gambaran klinis yang khas demam
tifoid (demam tipe remiten, mual, dan muntah) dengan titer antibodi O 1/320, yang
menurut tinjauan pustaka tergolong ke dalam kriteria diagnosis definitif demam
tifoid.
Bila ditinjau dari segi terapi, di puskesmas pasien menjalani tirah baring, diet
bubur, terapi IVFD RL dan D5, paracetamol 3 x 500 mg, cefotaxime injeksi 2 x 1
gram, antacida 3 x 1, ranitidin injeksi 2 x 1 ampul (kalau perlu). Sesuai dengan
tinjauan pustaka, tirah baring bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat
tidur seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan
membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
Pasien juga diberikan diet bubur saat perawatan. Diet merupakan hal yang
cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan
yang kurang akan menurunkan keadaan umum, gizi penderita akan semakin menurun
dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Penerapan terapi diet bubur ini sejalan
dengan tinjauan pustaka yang ada di mana penderita awalnya diberi diet bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi. Perubahan
diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi
usus. Hal ini berdasarkan adanya pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Tetapi
beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu
nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang
berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
Terapi cairan RL dan D5 diberikan untuk mengganti cairan yang hilang akibat
muntah, memberikan asupan kalori yang cukup mengingat asupan kalori pasien
menurun akibat mual/muntah, dan memudahkan akses intravena untuk obat-obatan
34
injeksi. Paracetamol diberikan untuk terapi simtomatik febris, sedangkan ranitidin
dan antacida diberikan untuk mengatasi gejala mual/muntah.
Salah satu terapi medikamentosa yang paling penting pada penatalaksanaan
demam tifoid adalah terapi antibiotik. Pada kasus, pasien diberikan terapi antibiotik
cefotaxime intravena. Hal ini sudah sesuai dengan tinjauan pustaka, yang mana pada
pasien demam tifoid dapat diberikan terapi antibiotik golongan sefalosporin generasi
ketiga. Salah satu golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah cefotaxime (sefotaksim) 2-3 x 1 gram. Setelah diberikan 6 kali
injeksi cefotaxime, tampak bahwa pasien mengalami perbaikan yang signifikan.
35
BAB V
SIMPULAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang masih dijumpai secara
luas di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2009 kasus
demam tifoid di Indonesia meningkat menjadi 80.850 dengan angka kematian 1.013
kasus. Menurut data Bulletin Kewaspadaan Dini dan Respons Departemen
Kesehatan, insiden demam tifod di Bali pada minggu ke 51 pada tahun 2009
mencapai 47 kasus (proporsi 0,2%).
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut
getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu.
Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penegakan diagnosis
kasus ini sebagai demam tifoid sudah tepat. Hal ini berdasarkan ditemukannya
gambaran klinis demam tifoid yang khas disertai dengan hasil uji Widal titer O 1/320.
Penanganan demam tifoid pada kasus juga sudah tepat. Disamping dilakukannya tirah
baring, terapi diet dan penanganan simtomatis, pemilihan antibiotika telah sesuai
dengan kepustakaan terbaru, di mana penggunaan cefotaxime (sefalosporin ketiga) 2-
3 x 1 gram, tergolong efektif untuk terapi demam tifoid. Efektivitas yang disebutkan
dalam kepustakaan ini sejalan dengan yang terjadi pada kasus, dimana pada hari
ketiga perawatan, pasien sudah tidak mengalami febris serta keadaan umumnya
membaik.
36