Definisi epilepsi
-
Upload
anonymous-kzxklq6 -
Category
Documents
-
view
50 -
download
0
description
Transcript of Definisi epilepsi
1. Definisi epilepsi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data World
Health Organization (WHO), 2001 menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk
dunia, nilai yang sama dengan kanker payudara pada perempuan dan kanker prostat pada
pria.
2. Klasifikasi epilepsi
Prinsip klasifikasi didasarkan pada data rekaman elektroensefalogram (EEG) dan
manifestasi klinis. Klasifikasi epilepsi memudahkan pertukaran informasi tentang
epilepsi dan bermanfaat untuk menentukan terapi yang tepat.
Klasifikasi yang sekarang dipergunakan secara luas adalah 7 klasifikasi oleh
International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 yang terdiri dari 3 kategori utama
yaitu kejang parsial, kejang umum dan kejang yang tak terklasifikasi.
Serangan epilepsi tidak selalu disertai dengan kejang dan sebaliknya, kejang
belum tentu dapat dikatakan epilepsi. Berikut gambaran klinis berdasarkan tipe
kejangnya:
a. Kejang parsial (fokal/lokal) Kejang ini terjadi pada salah satu atau lebih lokasi
yang spesifik pada otak. Dalam beberapa kasus, kejang parsial dapat menyebar luas di
otak. Kejang ini terkadang disebabkan terjadinya trauma spesifik, namun dalam banyak
kasus penyebabnya tidak dapat diketahui (idiopatik).
1) Kejang parsial sederhana
Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian epilepsy), pasien tidak
mengalami kehilangan kesadaran, namun dapat mengalami kebingungan, jerking
movement, atau kelainan mental dan emosional. Manifestasi klinis dari kejang parsial
sederhana ini yaitu klonik 8 (repetitif, gerakan kepala dan leher menengok ke salah satu
sisi). Beberapa pasien dapat pula terjadi gejala somatosensorik berupa aura, halusinasi,
atau perasaan kuat pada indra penciuman dan perasa. Setelah kejang, pasien biasanya
mengalami kelemahan pada otot tertentu. Umumnya kejang terjadi selama 90 detik.
2) Kejang parsial kompleks
Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian otak yang
berdekatan dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran atau dapat terjadi perubahan tingkah laku misalnya automatisme.
Pasien kemungkinan mengalami kehilangan kesadaran secara singkat dan tatapan kosong.
Kejang ini seringkali diawali dengan aura. Episode serangan biasanya tidak lebih dari 2
menit. Sakit kepala yang berdenyut kemungkinan terjadi pada kejang tipe ini.
3) Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder
Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan kehilangan
kesadaran dan kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti periode kontraksi otot bertukar
dengan relaksasi (klonik). Seringkali sulit dibedakan dengan kejang umum. Hal ini
karena kejang parsial dengan generalisata sekunder mempunyai onset fokal yang
seringkali tak teramati. Onset fokal kejang diidentifikasi melalui analisis riwayat kejang
dan EEG secara cermat.
b. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi pada daerah
otak yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial. Oleh karena itu, kejang ini
memiliki efek yang lebih serius pada pasien.
1) Kejang absence (petit mal)
Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung sangat
singkat sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang dijumpai dan umumnya hanya
terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Sekitar 15-20% anak-anak
menderita kejang tipe ini. Penderita tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-
kedip dengan kepala terkulai. Kejang ini kemungkinan tidak disadari oleh
orang di sekitarnya. Petit mal terkadang sulit dibedakan dengan kejang parsial
sederhana atau kompleks, atau bahkan dengan gangguan attention
deficit. Selain itu terdapat jenis kejang atypical absence seizure, yang
mempunyai perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh atipikal
mempunyai jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang, serangan
terjadi tidak dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi diikuti dengan tanda
gejala motorik yang jelas. Kejang ini diperantarai oleh ketidaknormalan yang
menyebar dan multifokal pada struktur otak. Kadangkala diikuti dengan gejala
keterlambatan mental. Kejang tipe ini kurang efektif dikendalikan dengan
antiepilepsi dibandingkan tipe kejang absence tipikal.
2) Kejang tonik-klonik (grand mal)
Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Fase awal dari
terjadinya kejang biasanya berupa kehilangan kesadaran disusul dengan gejala
motorik secara bilateral, dapat berupa ekstensi tonik beberapa menit disusul
gerakan klonik yang sinkron dari otototot yang berkontraksi, menyebabkan
pasien tiba-tiba terjatuh dan terbaring kaku sekitar 10-30 detik. Beberapa
pasien mengalami pertanda atau aura sebelum kejang. Kebanyakan
mengalami kehilangan kesadaran tanpa tanda apapun. Dapat juga terjadi
sianosis, keluar air liur, inkontinensi urin dan atau menggigit lidah. Segera
sesudah kejang berhenti pasien tertidur. Kejang ini biasanya terjadi sekitar 2-3
menit.
3) Kejang atonik Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba
mengalami kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh,
namun dapat segera pulih kembali. Terkadang terjadi pada salah satu bagian
tubuh, misalnya mengendurnya rahang dan kepala yang terkulai.
4) Kejang mioklonik Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh
secara cepat, bilateral, dan terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot
tertentu. Biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur, pasien mengalami
hentakan yang terjadi secara tiba-tiba.
5) Simply tonic atau clonic seizures Kejang kemungkinan terjadi secara tonik
atau klonik saja. Pada kejang tonik, otot berkontraksi dan gangguan kesadaran
terjadi sekitar 10 detik, tetapi kejang ini tidak berkembang menjadi klonik
atau jerking phase. Kasus kejang klonik yang jarang ditemukan, terutama
terjadi pada anak-anak, yang mengalami spasme otot tetapi bukan kekakuan
tonik.
c. Kejang yang tak terklasifikasikan Serangan kejang ini merupakan jenis
serangan yang tidak didukung oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini
termasuk serangan kejang yang sering terjadi pada neonatus. Hal ini
kemungkinan disebabkan adanya perbedaan fungsi dan hubungan saraf pada
sistem saraf pusat di bayi dan dewasa.
3. Etiologi epilepsi
Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas muatan
listrik secara abnormal. Apapun yang mengganggu homeostasis normal dan
stabilitas saraf, dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Ada ribuan kondisi
medis yang dapat menyebabkan epilepsi, dari adanya mutasi genetik hingga
luka trauma pada otak.
Etiologi kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis terapi yang tepat bagi
pasien. Beberapa etiologi kejang pada pediatrik yang dikelompokkan
berdasarkan umur antara lain sebagai berikut:
Kejang terjadi akibat pengeluaran sejumlah neuron yang abnormal akibat
dari berbagai proses patologi sehingga berdampak pada otak. Epilepsi
bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat timbul karena
suatu penyakit. Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat
timbul jika terjadinya pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan
mendadak dalam otak, sehingga menyebabkan terganggunya kerja otak.
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
a. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik Epilepsi primer tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak
yang abnormal. Dalam jenis ini, tidak 13 ada kelainan anatomik seperti
trauma maupun neoplasma yang menimbulkan kejang, maka sindrom
ini disebut epilepsi idiopatik atau primer. Kejang dapat ditimbulkan
karena abnormalitas susunan sistem saraf pusat. Epilepsi idiopatik
merupakan 2/3 kasus yang tidak diketahui penyebabnya. Lebih kurang
65% dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya.
Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik.
Insidensi epilepsi idiopatik lebih tinggi pada anak-anak. Diduga bahwa
serangan terjadi karena cetusan listrik abnormal yang terjadi akibat
kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam neuron-
neuron pada area jaringan otak yang abnormal. Etiologi idiopatik
digunakan pada kejang dengan tipe umum, sedangkan etiologi
kriptogenik digunakan bila tidak ada penyebab yang diketahui pada
onset kejang parsial.
b. Epilepsi sekunder
Disebut epilepsi sekunder berarti gejala yang timbul ialah akibat dari
adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan
bawaan sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat
kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak.
Gangguan ini bersifat reversibel, misalnya karena tumor, trauma, luka
kepala, infeksi atau radang selaput otak, penyakit keturunan seperti
fenilketonuria (FKU) dan kecenderungan timbulnya epilepsi yang
diturunkan.
Epilepsi sekunder merupakan 1/3 kasus yang diketahui penyebabnya.
Kelainan dapat terjadi bawaan atau pada masa perkembangan anak.
Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma
kepala, trauma persalinan, demam tingi, stroke, intoksikasi, tumor
otak, masalah kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan
elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis) dan reaksi alergi. Untuk
menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia
serangan pertama kali.
4. Patogenesis epilepsi
Serangan epilepsi disebabkan adanya proses eksitasi di dalam otak
lebih dominan daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi
gangguan fungsi neuron. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi
aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-
gated-ion-channel opening dan menguatnya sinkroni neuron sangat
penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan
epileptik. Neurotransmiter eksitasi yaitu glutamat, aspartat dan
asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi yang paling dikenal
adalah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin.
Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik
tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan
mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik. 15 Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi
ion-ion dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, serta gerakan keluar
masuk ion-ion menembus membran neuron. Aktivitas dari ion-ion
tersebut yang menimbulkan potensial membran sel. Potensial
membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran
neuron, yakni membran mudah dilewati oleh ion K dari ekstraseluler
ke intraseluler dan kurang untuk ion Ca, Na dan Cl. Perbedaan
konsentrasi yang dibuat ini yang akan menimbulkan potensial
membran.
Beberapa mekanisme yang dapat mempengaruhi keseimbangan
hipereksibilitas antara lain:
a. Perubahan distribusi, jumlah, tipe dan kandungan kanal ion pada
membran saraf. Faktor-faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat
merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran
mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari ruang ekstrasel ke intrasel.
Influks dari Ca ini akan menimbulkan letupan depolarisasi membran
dan melepas muatan listrik yang berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Cetusan listrik abnormal ini yang kemudian menstimulasi
neuron-neuron sekitarnya yang terkait di dalam sel. Sifat khas dari
epilepsi ialah terjadinya penghentian serangan akibat proses inhibisi.
Diduga sistem inhibisi ini merupakan pengaruh neuron-neuron
disekitarnya. Keadaan lain yang menyebabkan hentinya serangan
epilepsi ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
penting untuk fungsi otak.
b. Perubahan sistem biokimia reseptor
c. Modulasi dari second messaging systems dan ekspresi gen
d. Perubahan konsentrasi ion ekstraseluler
e. Perubahan pada uptake neurotransmitter dan metabolisme sel glial
f. Modifikasi pada rasio dan fungsi dari sirkuit inhibitor.
Perhatian utama pada serangan epilesi adalah adanya faktor
pencetus. Faktor-faktor pencetus yang telah dikenal yaitu:
a. Kurang tidur, berakibat pada gangguan aktivitas saraf-saraf otak;
b. Stres emosional atau stres fisik yang berat;
c. Infeksi yang biasanya disertai demam, terutama pada anak-anak;
d. Anak dengan kejang demam kompleks memiliki risiko epilepsy
yang lebih besar daripada anak dengan kejang sederhana;
e. Obat-obat tertentu dan alkohol, misalnya sedatif atau
antidepresan trisiklik;
f. Perubahan hormonal;
g. Terlalu lelah, sehingga terjadi hiperventilasi dengan peningkatan
kadar CO2 darah yang dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh
darah otak.
5. Diagnosis epilepsi
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
a. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat
paroksisimal merupakan bangkitan epilepsi.
b. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi,
maka
tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang
mana.
c. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang
ditunjukkan
oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh
pasien dan tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan
epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau
tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG.14
Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis
adalah sebagai berikut :
a. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan
menyeluruh. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan
lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti
dan
merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
a) Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri /
berbaring / tidur / berkemih.
b) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech
arrest).
c) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk
bangkitan) : gerakan tonik / klonik, vokalisasi,
otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, maupun deviasi mata.
d) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala,
tidur, gaduh gelisah, atau Todd’s paresis.
e) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau
terdapat perubahan pola bangkitan.
2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun
riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik
maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval
terpanjang antar bangkitan.
4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada pasien anak, pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh
dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium, bilirubin, dan ureum dalam darah. Keadaan seperti
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan
hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan
kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan
glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen,
kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan
petunjuk yang sangat berguna.19,20
2) Elektro ensefalografi (EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam
aktifitas listrik di otak melalui elektroda yang ditempatkan
dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada
penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau
epileptiform activity. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada
semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.6
Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas
dasar adanya:
a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah
yang sama di kedua hemisfer otak.
b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.
c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada
anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike),
paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal.
3)Rekaman video EEGPemeriksaan video-EEG ini berhasil
membedakanapakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau
bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-
menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil
rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang
epilepsi.
4) Pemeriksaan Radiologis
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan
MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala merupakan
pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang
bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan
struktural di otak dan melengkapi data EEG.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada
kontra indikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini
merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi
dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding
dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang
sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan
kiri.
5) Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien
epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi
pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan
apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian
juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada
dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.
7. Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal,
diantaranyajenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan
dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis epilepsi cukup
menggembirakan.Pada 50-70% penderita epilepsi serangan
dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada
suatu waktu akan dapat berhenti minum
obat. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi
serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial,
dan status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang
sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan
terapi.
Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus
dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat
secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi
adalah bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam
terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan
atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk
menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat
dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps
setelah penghentian obat. Berbagai faktor predictor yang
meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada
remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran
abnormalitas EEG.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa
penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi
dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi
adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi
akibat penyakit kongenital. Kematian pada penderita epilepsi
anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan
saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.
6. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi pada anak adalah tidak hanya
membebaskan pasien dari serangan kejang tanpa mengganggu fungsi
normal saraf pusat, tetapi juga mengoptimalkan kualitas hidup
penderita epilepsi. Pertimbangan untuk memulai pemberian obat
antiepilepsi memperhatikan faktor-faktor atau kondisi-kondisi yang
mempengaruhi yang memerlukan pertimbangan tertentu, yaitu:
a. Diagnosa
b. Risiko bangkitan ulang setelah kejang pertama
c. Etiologi; adanya lesi struktural otak (simptomatik), idiopatik,
atau kriptogenik
d. Elektroensefalogram
e. Umur
f. Tipe kejang
g. Jenis, waktu dan frekuensi bangkitan
h. Jenis epilepsi
i. Kepatuhan dalam meminum obat
j. Bangkitan reflektoris dan bangkitan simptomatik akut (bangkitan
yang timbul karena keadaan tertentu seperti fotosensitif, kelelahan, dan
alkohol)
k. Harapan penderita
Prinsip penatalaksanaan terapi pada pasien pediatrik sedikit lebih
kompleks dibandingkan kelompok pasien lainnya dan memerlukan
perhatian yang khusus. Penentuan diagnosis epilepsi yang tepat akan
membantu dalam menentukan terapi, meramalkan prognosis dan
pemberian informasi kepada pasien dan keluarganya. Banyak dokter
tidak mulai memberikan pengobatan hingga bangkitan kejang yang
selanjutnya terjadi. Sebaliknya beberapa dokter lain, langsung
memberikan pengobatan ketika kejang pertama terjadi.
Hal yang paling penting adalah memastikan bahwa monoterapi
yang diberikan mempunyai dosis terendah efektif untuk
mengendalikan kejang. Apabila kejang tetap tidak dapat dikendalikan
(suboptimal) maka dosis dapat dinaikkan secara bertahap hingga
kejang terkontrol atau hingga munculnya efek samping obat yang tidak
dapat diterima. Ketika efek samping terjadi sebelum kendali kejang
dicapai, maka obat sebelumnya diganti atau ditambah dengan obat
antiepilepsi (OAE) lain sebagai politerapi.
Pilihan politerapi harus didasarkan atas interaksi yang mungkin
terjadi diantara kedua obat. Umumnya obat yang dipilih bergantung
pada kepercayaan dan pengalaman dari dokter yang memeriksa.
7. Obat Antiepilepsi (OAE)
Obat antiepilepsi merupakan obat yang mampu mengontrol jenis
kejang tertentu yang sesuai dengan mekanisme aksi obat tersebut. Obat
antiepilepsi digolongkan dalam, yaitu:
a. Senyawa lama, terdiri dari karbamazepin, klonazepam,
ethosuksimid, fenobarbital, fenitoin, pirimidon, dan asam valproat.
Senyawa ini telah ditemukan, digunakan cukup banyak dan sering kali
dijadikan obat-obat lini pertama.
b. Senyawa baru, terdiri dari felbamat, gabapentin, lamotrigin,
topiramat, levetiracetam, oxcarbazepin, zonisamid dan pregabalin.
Obat ini baru ditemukan dan digunakan sehingga data-data mengenai
penggunaan obat tersebut masih sedikit. Selain itu, ada obat yang
diciptakan sebagai terapi adjuvant/add-on.
Ada 4 mekanisme aksi utama OAE yaitu:
a. Mengikat kanal Na menjadi inaktif
Contoh obat: Fenitoin, Karbamazepin, Oxcarbazepin,
Zonisamid, Lamotrigin, Topiramat, Gabapentin.
b. Memodulasi GABA, menginhibisi reuptake GABA
Contoh obat: Agonis GABAa (Benzodiazepin, Barbiturat,
Topiramat); Inhibitor reuptake (Tiagabin); GABA-transaminase
(Vigabatrin); Modulasi GAD (Felbamate).
c. Mengikat reseptor glutamate
Contoh obat: Reseptor NMDA (Felbamate) dan Reseptor
AMPA/Kainat (Topiramat).
d. Mengikat kanal Ca
Contoh obat: Ethosuksimid, Fenitoin, Karbamazepin,
Oxcarbazepin, Zonisamid.